Buku Sejarah Pendidikan Indonesia yang

S.NASUTION
Buku Sejarah Pendidikan Indonesia yang ditulis oleh Prof. Dr. S. Nasution, M.A. merupakan
buku yang layak dibaca oleh setiap pelajar di Indonesia, terlebih kalangan intelektual. Buku ini
mengantarkan kita kepada pemahaman potret pendidikan pada masa lampau di bawah payung
pemerintahan kolonial. Tentunya buku ini fokus mengupas genealogi pendidikan anak-anak
Indonesia, kendati ketika itu kondisi Indonesia sebagai sebuah bangsa belum ada dan masyarakat
Indonesia dalam keadaan terjajah.
Pada bagian awal buku ini diceritakan bagaimana perkembangan pendidikan di masa VOC.
Bahwa sebenarnya motif awal orang Belanda ke Indonesia adalah untuk berdagang bukan untuk
menjajah. Pada masa itu, Indonesia sudah terlanjur terpengaruh secara mengakar dari sisi agama
dan bahasa oleh bangsa Portugis yang datang sebelum Belanda. Sekolah pertama didirikan di
Ambon (Indonesia Timur) oleh VOC. Tujuannya adalah untuk melenyapkan agama Katolik dan
menyebarkan Protestan, Calvinisme. Sekolah pada masa ini berkaitan erat dengan gereja.
Kurikulum yang digunakan tidak ada secara sistematis, para siswa diajari tentang katekismus,
agama, membaca, menulis dan bernyanyi. Kemudian seiring dengan dinamikanya, VOC runtuh
pada tahun 1799. Pada tahun 1816 pemerintah Belanda memainkan peran selanjutnya di tanah
Indonesia dengan Statuta bahwa tanah jajahan harus memberikan keuntungan sebanyakbanyaknya bagi negeri Belanda.
Masa 1816-1891 sebagai masa Liberal dalam konteks pendidikan di bawah pemerintah Belanda
dimana ada kepercayaan kalau pendidikan merupakan alat untuk mencapai kemajuan ekonomi
dan sosial, paham ini di pengaruhi oleh aliran Aufklarung atau Enlightment. Pada masa
pemerintahan Belanda pendidikan dibedakan menjadi dua, yaitu untuk anak Belanda dan untuk

anak Indonesia. Pendidikan bagi anak Indonesia menempati posisi yang tidak mengenakkan, hal
ini karena faktor kesengajaan agar anak-anak Indonesia tidak berpikir terbuka untuk mengkritisi
pemerintah Belanda yang ketika itu sedang menjajah Indonesia. Dan dengan alasan lain agar
tidak lahirnya elite intelektual baru. Namun, demikian ada momentum yang menjadi sejarah
kolonial Belanda bahwa pada tahun 1848 pemerintah Belanda memberikan ƒ25.000 untuk
mendirikan sekolah bagi anak bumiputera. Sekolah ini tentu dimaksudkan untuk menyiapkan

pegawai dari kelompok bumiputera. Tahun 1854 ada instruksi dari Gubernur Jenderal Belanda
melalui Peraturan Pemerintah agar di setiap kabupaten didirikan sekolah untuk pendidikan anak
pribumi dengan pembatasan anggaran sebesar ƒ25.000. Pada tahun 1863, Menteri Jajahan
Fransen van de Putte menghapus pembatasan biaya ƒ25.000 bagi pendidikan dan pada 1883
anggaran pendidikan dinaikkan sampai hampir ƒ400.000.
Politik etis Pemerintah Belanda-lah yang menjadi batu loncatan memulai kemajuan sistem
pendidikan bagi Indonesia. Pada periode politik etis (1900-1920) sistem pendidikan di Indonesia
(masih dijajah) mencapai kelengkapannya. Ada sekolah dasar, MULO dan AMS. Dibukanya
keran pendidikan untuk anak-anak di Indonesia tidak lepas dari tokoh-tokoh Belanda sendiri.
Dari tokoh Liberal ada Van Hoevell (anggota Perlemen), Thorbecke (Perdana Menteri) dan
Fransen van de Putte (Menteri Jajahan). Di samping itu, ada tokoh politik etis yang benar-benar
menjalankan keetisan terhadap Indonesia yang sedang dijajah, yaitu Van Deventer, Van Kol,
Abendanon dan Snouck Hurgronye. Secara keseluruhan bahwa penyelenggaran pendidikan

pemerintah Belanda di Indonesia menerapkan prinsip-prinsip: a. gradualisme; b. dualisme; c.
kontrol pusat yang ketat; d. pendidikan untuk menghasilkan pegawai sebagai peranan sekolah; e.
konkordansi; f. tidak adanya organisasi pendidikan yang sistematis bagi anak Indonesia.
Pada bab selanjutnya dalam buku ini diulas kondisi sekolah bagi anak Indonesia sebelum
reorganisasi tahun 1892. Sekolah yang tersedia pada masa ini adalah sekolah rendah dimana
tidak ada kurikulum yang sistematis dalam penyelenggaraannya. Pola baku pengajaran yang
digunakan mengacu kepada petunjuk kegiatan pembelajaran di sekolah tahun 1871. Kurikulum
wajib yang diajarkan meliputi: membaca, menulis, bahasa (bahasa daerah dan melayu) dan
berhitung. Selebihnya guru diberikan kebebasan dalam mengajar seluruh mata pelajaran yang
mencakup: geometri, geografi, berhitung, pengetahuan alam, fisika, botani, biologi, pertanian,
etnologi dan menggambar. Pada masa ini jumlah guru mengalami keterbatasan, sehingga ada
dorongan massif agar masyarakat masuk ke Sekolah Guru (Kweekschool), Sekolah Guru
didirikan pertama kali di Solo tahun 1852 dan selanjutnya diikuti di daerah—daerah lainnya.
Penerimaan dan jumlah murid pada masa ini diulas dengan tiga pendekatan: murid menurut jenis
kelamin, penerimaan murid menurut kebangsaan dan penerimaan murid munurut kedudukan
sosial. Ketiga pendekatan penerimaan murid tidak lepas dari motif tujuan penyelenggaraan

sekolah. Adapun motif tersebut diantaranya adalah sekolah-sekolah pertama di Jawa
dimaksudkan untuk mendidik pegawai pemerintah serta juga untuk penyebaran agama Kristen,
selain itu juga ada prioritas pendidikan yang diperuntukkan untuk kalangan priyayi.

Pendidikan di Indonesia baru mendapatkan sistem pendidikan yang terstruktur pada tahun 1892 –
1920. Selama 28 tahun anak-anak Indonesia berusaha untuk memperjuangkan sistem pendidikan
yang menguntungkan bagi anak-anak Indonesia. Pemerintah Belanda ketika itu menerapkan
prinsip dualisme pendidikan. Pendidikan dibedakan untuk anak-anak Belanda dan anak-anak
Indonesia, disisi lain juga untuk anak-anak keturunan Cina. Anak-anak Belanda mengenyam
pendidikan di ELS (Europese Lagere School) setara tingkat dasar dan dilanjutkan HBS (Hogere
Burgerschool) setara tingkat menengah untuk melanjutkan jenjang pendidikan tinggi. Adapun,
untuk anak-anak Indonesia yang dapat mengakses ELS hanya segelintir orang golongan priyayi,
oleh sebab itu pemerintah membuat pendidikan khusus bagi anak-anak Indonesia. Sekolah Kelas
Satu dan Sekolah Kelas Dua. Bagi keturunan priyayi atau pejabat masuk ke Sekolah Kelas Satu,
sedangkan rakyat umum di Sekolah Kelas Dua yang biayanya relatif murah. Di dua sekolah
tersebut sama-sama mengalami permasalahan dari kaca mata anak-anak Indonesia, sebab setelah
mereka lulus nantinya tetap tidak dapat meneruskan ke jenjang pendidikan HBS. Ada momentum
yang baik bagi anak-anak Indonesia, ketika Pemerintah Belanda mendirikan HCS (Hollands
Chinese School) yang ekuivalen dengan ELS bagi anak-anak Cina. Sehingga masyarakat
Indonesia mendesak untuk diberikan hak pendidikan yang sama. Hasilnya adalah Sekolah Kelas
Satu bertansformasi menjadi HIS (Hollands Inlandse School) khusus untuk anak-anak Indonesia.
Sedangkan pada momentum lain, Sekolah Kelas Dua bertansformasi menjadi Sekolah
Desa (Volksschool) dan di tambah Sekolah Lanjutan (Schakeschool).
Melalui momentum-momentum berikutnya, sehingga lahirlah MULO di Bandung dan

Yogyakarta tahun 1903. MULO kemudian berkembang menjadi jembatan untuk meneruskan
pendidikan setelah dari HIS, dan lulusannya setingkat naik kelas III ke kelas IV di HBS. Setelah
MULO kemudian memunculkan momentum selanjutnya untuk melahirkan AMS (Almegene
Middelbare School) untuk anak-anak Indonesia setara dengan HBS. Sistem pendidikan AMS
dibuat penjurusan, yaitu: AMS-A mengutamakan sastra dan sejarah, terbagi menjadi AMS-A1
klasik Timur dan AMS-A2 klasik Barat dan AMS-B mengutamakan matematika dan fisika.

AMS-B pertama didirikan di Jakarta tahun 1919. AMS-A1 di Solo tahun 1926 dan AMS-A2 di
Bandung tahun 1920. Kehadiran AMS menjadi pelengkap bagi hadirnya pondasi sistem
pendidikan Indonesia yang lengkap dan terstruktur, sehingga dengan demikian anak-anak
Indonesia menjadi mudah untuk dapat meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi.
Berikut

merupakan

(a)

ELS

(b)


HIS

+
+

informasi

lama

studi

HBS

=

7

MULO


+

AMS

yang

tahun
=

dicantumkan
+

7

5
+

di

tahun

4

+3

dalam

buku

ini:

=

12

tahun

=

14


tahun

(c) Sekolah Desa + Schakeschool + MULO + AMS = 3 + 5 + 4+ 3 = 15 tahun
Pada puncaknya perjuangan pendidikan di Indonesia untuk anak-anak Indonesia adalah dengan
mengusahakan adanya pendidikan tinggi di Indonesia. Kendati demikian, pendirian pendidikan
tidak sepenuhnya diinisiasi oleh orang-orang Indonesia asli, pendidikan tinggi tersebut dapat
direalisasikan pada tahun 1920. Walaupun, pada waktu itu momentum pendirian pendidikan
tinggi tidak lepas dari kepentingan dari pemerintah Belanda. Pendidikan tinggi di Indonesia
didirikan di Bandung, dengan nama Technische Hogeschool atau Sekolah Tinggi Teknik
(sekarang ITB). Orang Indonesia asli yang pertama lulus adalah pada tahun akademik 1925-1926
yang terdiri dari 4 orang dan salah satunya Ir. Soekarno. Namun, tetap saja perjuangan
pendidikan tinggi di Indonesia belum selesai pada masa itu. Pasalnya, ketika itu tahun 1930 atau
sepuluh tahun setelah berdirinya lembaga pendidikan tinggi pertama, hanya ada 91 mahasiswa
Indonesia terdapat pada tiga lembaga pendidikan tinggi yang ada, atau yang menjadi mahasiswa
kurang dari 2 orang setiap sejuta penduduk. Selanjutnya pada tahun 1940 jumlah mahasiswa
Indonesia hanya 167 orang atau 3 orang per sejuta penduduk. Kalau kita refleksikan dengan
keadaan pendidikan tinggi dan minat masyarakat hingga saat ini, tentu perjuangan kemajuan
kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih menjadi pekerjaan besar yang senantiasa
ditingkatkan secara terus-menurus.
Dengan membaca buku ini akan mengantarkan kepada sebuah refleksi pendidikan di Indonesia

saat ini. Apabila pendidikan saat ini masih dilekatkan dan diorientasikan hanya sebatas untuk
menciptakan tenaga kerja (pegawai), maka sama saja pendidikan itu masih bermental terjajah.
Karena cikal-bakal pendidikan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan untuk kalangan pribumi
secara eksplisit adalah menciptakan pegawai yang handal bagi pemerintahan kolonial. Oleh

karena demikian, bagi bangsa Indonesia, pendidikan itu seyogyanya dimaksudkan untuk
penciptaan manusia yang unggul, yang sejahtera, yang merdeka secara pemikiran.
Kelebihan dan Kelemahan
Buku ini dipaparkan secara deskriptif-eksploratif. Penulis menyajikan data kuantitatif yang rinci,
hal ini membuat pembaca buku ini menjadi jelas bagaimana keadaan pendidikan yang
sesungguhnya pada masa itu. Kemudian, gaya bahasa yang digunakan oleh penulis dalam
menjelaskan cukup mudah dipahami maksud kalimatnya. Sedangkan kelemahan buku ini ada
pada periodisasi peristiwa berdasarkan tahun yang kurang terstruktur sehingga menjadikan
pembaca perlu membuka kembali halaman atau pembahasan sebelumnya. Sebab buku ini
diperiodisasi berdasarkan tingkatan pendidikan dan sudah spesifik berdasarkan bab per bab.
Selain itu, didalam pengeksplorasiannya penulis tidak secara eksplisit menyebutkan tokoh-tokoh
dari kalangan Indonesia yang memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak Indonesia ketika itu.
Hal tersebut mengurangi pemahaman yang komprehensif terhadap potret perjuangan pendidikan
di Indonesia.


Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

6 163 90

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Efek ekstrak biji jintan hitam (nigella sativa) terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diinduksi gentamisin

2 59 75