PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA MENYENANGK PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA MENYENANGK

PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA: MENYENANGKAN, KREATIF, DAN INOVATIF

Drs. Puji Santosa, M.Hum. (APU) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Abstrak

Pembelajaran apresiasi sastra di sekolah haruslah dapat menyenangkan, kreatif, dan inovatif bagi siswa dan guru. Pembelajaran apresiasi sastra yang dapat menyenangkan haruslah mengandung unsur hiburan dan tidak membosankan. Dengan adanya daya kreatif dan kreativitas itu siswa dan guru dapat melakukan kegiatan sehari-hari penuh vitalitas hidup, bersemangat, tidak mengenal kata putus asa, bahkan tampak lebih berseri, penuh rasa optimis. Daya kreatif siswa dan guru dapat menimbulkan daya inovatif, yakni kemampuan untuk diperdayakan dengan cara selalu mencari hal-hal yang baru, berbeda dari yang sudah ada, segar, dan cemerlang.

Kata Kunci: sastra, pembelajaran, apresiasi, menyenangkan, kreatif, inovatif

1. Pengantar

Salah satu faktor keberhasilan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah ditentukan oleh peranan guru yang profesional dalam menangani bidang garapannya. Guru memegang peranan utama dalam mencapai keberhasilan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah. Guru pulalah yang harus mampu memotivatasi siswanya untuk belajar membaca, mendengarkan, menonton, dan kemudian berbicara, menulis, mencintai, serta menghargai cipta sastra. Proses pembelajaran apresiasi sastra yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif itu bermula dari kemampuan persiapan seorang guru menyampaikan rencana pembelajaran apresiasi sastra di kelas kepada siswanya, kemudian terjadilah serentetan peristiwa pembelajaran apresiasi sastra yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif itu, seperti, (1) pemilihan materi pembelajaran apresaisi sastra, (2) pemilihan metode yang sesuai dengan keadaan siswa, (3) kegiatan belajar mengajar apresiasi sastra yang menyenagkan, kreatif, inovatif, dan (4) evaluasi belajar sebagai indikator keberhasilan pembelajaran apresaisi sastra.

Agar berhasil melakasanakan pembelajaran apresaisi sastra di sekolah yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif, seorang guru harus mempersiapkan kompetennya terlebih dahulu, baik fisik maupun mental. Secara fisik seorang guru yang kompeten mengajar di depan siswanya harus sehat jasmani dan rohaninya. Berpenampilan sehat, Agar berhasil melakasanakan pembelajaran apresaisi sastra di sekolah yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif, seorang guru harus mempersiapkan kompetennya terlebih dahulu, baik fisik maupun mental. Secara fisik seorang guru yang kompeten mengajar di depan siswanya harus sehat jasmani dan rohaninya. Berpenampilan sehat,

Apa artinya semunya itu? Kompeten mengusai materi ajar, artinya guru itu mampu atau dapat mengapresiasi sastra secara baik. Bekal utama dalam pembelajaran apresiasi sastra adalah mampu menguasai bahan atau materi ajar. Kompeten menguasai kelas, artinya guru itu mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, kreatif, inovatif, terkendali, dan dalam keadaan asah, asih, dan asuh. Kompeten mengusai metode dan kompeten menyelami jiwa anak didiknya, berarti seorang guru harus cakap dan mampu mencurahkan segala perhatiannya kepada siswa-siswanya agar mereka merasa mendapat siraman kasih sayang melalui didikan gurunya dengan tulus.

2. Persiapan Pembelajaran Apresiasi Sastra

Tahap persiapan pembelajaran apresiasi sastra yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif pada umumnya dapat meliputi tiga pokok masalah sebagai berikut. (1) Memilih Bahan atau Materi Ajar (2) Menentukan Metode Pembelajaran (3) Menulis Satuan Acara Pembelajaran (SAP) atau Rencana Pembelajaran (RP)

2.1 Memilih Bahan atau Materi Ajar

Kurikulum mana pun untuk mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tentu mensyaratkan pemilihan bahan atau materi ajar Pembelajaran Sastra yang sesuai dengan tingkat usia, kemampuan siswa, dan keadaan anak didik. Hal ini merupakan suatu kebijaksanaan yang disesuaikan dengan kompetensi sekolah masing-masing. Oleh karena itu, pandai-pandailah seorang guru bahasa Indonesia menentukan dan memilih bahan atau materi ajar. Bahan atau materi ajar itu dapat diperoleh dari mana saja, asalkan masih dalam lingkup kompetensi sekolah bersangkutan, misalnya dari (1) buku-buku karya sastra, buku paket pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, buku-buku pengajaran sastra, atau buku-buku teori dan ktitik sastra; (2) majalah sastra dan budaya, seperti Horison-Kakilangit, Kalam, Sastra, Basis; (3) surat kabar yang memuat karya sastra, seperti Kompas Minggu, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan; (4) Kurikulum mana pun untuk mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tentu mensyaratkan pemilihan bahan atau materi ajar Pembelajaran Sastra yang sesuai dengan tingkat usia, kemampuan siswa, dan keadaan anak didik. Hal ini merupakan suatu kebijaksanaan yang disesuaikan dengan kompetensi sekolah masing-masing. Oleh karena itu, pandai-pandailah seorang guru bahasa Indonesia menentukan dan memilih bahan atau materi ajar. Bahan atau materi ajar itu dapat diperoleh dari mana saja, asalkan masih dalam lingkup kompetensi sekolah bersangkutan, misalnya dari (1) buku-buku karya sastra, buku paket pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, buku-buku pengajaran sastra, atau buku-buku teori dan ktitik sastra; (2) majalah sastra dan budaya, seperti Horison-Kakilangit, Kalam, Sastra, Basis; (3) surat kabar yang memuat karya sastra, seperti Kompas Minggu, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan; (4)

Sebagai salah satu contoh bahan ajar apresiasi sastra, khususnya apresiasi puisi, berikut dikutipkan puisi bertema kenabian, sosok Nabi Nuh di mata penyair Indonesia modern Taufiq Ismail.

Balada Nabi Nuh

Gemuruh air jadi lautan Gemuruh dunia yang tenggelam Gemuruh air jadi lautan Gemuruh dunia yang tenggelam

Wahai kaum yang nestapa Wahai anakku yang malang Wahai kaum yang nestapa Wahai anakku yang malang

Ooh Nabi Nuh

(Taufiq Ismail, 1994. Balada Nabi-Nabi, Gema Nada Pertiwi)

Materi puisi-puisi di atas dipilih dengan alasan (1) pengarangnya brilian, (2) temanya menarik tentang teladan Nabi Nuh, (3) bahasanya puitis, tapi sederhana, (4) mengandung informasi tentang sejarah keimanan manusia sehingga mampu mendidik, memberi pelajaran, dan menambah wawasan pembaca, (5) kaya makna dan amanat, serta (6) memberi hiburan yang segar, menyenangkan, dan penuh pesona jika dibacakan, dideklamasikan, atau dinyanyikan oleh Bimbo.

Meteri pokok itu tentu harus dilengkapi dengan beberapa buku teori sastra tentang puisi, buku kritik sastra tentang penyair di atas, atau langsung membaca buku

Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh (Puji Santosa, 2003) yang membicarakan sepuluh puisi tentang Nabi Nuh, buku apresiasi sastra, buku sejarah kenabian atau kitab suci (Alkitab atau Al-Quran), buku Kamus Istilah Sastra dan buku Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pengertian bahan atau materi ajar di sini tidak sekadar teks karya sastranya, tetapi juga teori, kritik, sejarah, kamus, dan buku-buku lain yang berhubungan dengan isi teks karya sastra yang dijadikan materi pembelajaran.

2.2 Menentukan Metode Pembelajaran

Setelah bahan atau materi ajar apresiasi sastra kita persiapkan dengan cara memilih seperti di atas, langkah berikutnya adalah menentunkan metode pembelajaran. Penentuan metode pembelajaran semestinya dipilih sesuai dengan keadaan dan suasana kelas. Metode apa pun yang digunakan sangat bergantung pada kemampuan guru dan keadaan kelas. Metode hanya sebuah cara mengajar yang digunakan oleh seorang guru di depan kelas. Beberapa metode untuk pembelajaran apresiasi sastra yang sekiranya cocok dapat digunakan, antara lain:

(1) metode berkisah, (2) metode pembacaan, (3) metode peragaan (berdeklamasi, berteater) (4) metode tanya jawab, (5) metode diskusi, dan (6) metode penugasan. Metode berkisah dapat diberikan oleh bapak atau ibu guru di depan kelas

dengan membawakan sebuah kisah, misalnya Kisah Nabi Nuh dengan perahu dan banjir besarnya. Dongeng, legenda, dan fabel dapat juga dijadikan bahan ajar dalam menyampaikan metode berkisah. Secara lisan metode berkisah dapat disampaikan selama 10 –15 menit untuk menarik perhatian siswa. Metode berkisah ini tidak sama dengan metode berceramah. Kisah tidak semata-mata disampaikan monoton dengan narasi, tetapi perlu selingan dialog dan humor dengan suara yang berubah-ubah. Ibarat seorang dalang atau pemain drama monolog, seorang guru yang berkisah akan lebih menarik perhatian siswa. Metode berkisah dapat juga diberikan penugasan kepada siswa, yaitu siswa dibimbing menyampaikan kisahnya selama 5 –10 menit di depan kelas setelah membaca karya sastra yang menjadi bahan ajarnya. Di sini siswa dilatih dengan membawakan sebuah kisah, misalnya Kisah Nabi Nuh dengan perahu dan banjir besarnya. Dongeng, legenda, dan fabel dapat juga dijadikan bahan ajar dalam menyampaikan metode berkisah. Secara lisan metode berkisah dapat disampaikan selama 10 –15 menit untuk menarik perhatian siswa. Metode berkisah ini tidak sama dengan metode berceramah. Kisah tidak semata-mata disampaikan monoton dengan narasi, tetapi perlu selingan dialog dan humor dengan suara yang berubah-ubah. Ibarat seorang dalang atau pemain drama monolog, seorang guru yang berkisah akan lebih menarik perhatian siswa. Metode berkisah dapat juga diberikan penugasan kepada siswa, yaitu siswa dibimbing menyampaikan kisahnya selama 5 –10 menit di depan kelas setelah membaca karya sastra yang menjadi bahan ajarnya. Di sini siswa dilatih

Metode pembacaan perlu diberikan kepada siswa untuk melatih vokal. Pembacaan puisi dengan suara nyaring akan lebih menarik. Pembacaan cerpen, fragmen novel, dan dialog-dialog drama dapat disajikan di depan kelas oleh siswa. Dalam melaksanakan metode pembacaan ini perlu diperhatikan irama, intonasi, lagu kalimat, jeda, dan nada dengan tinggi rendahnya suara atau panjang pendeknya suara. Pembacaan yang menarik dicontohkan oleh seorang guru dapat mengundang perhatian siswa untuk ikut terlibat dan berempati dalam suasana karya sastra yang dibacanya. Siswa sekolah menengah umum dapat dengan cepat menangkap irama puisi yang dibaca oleh bapak atau ibu gurunya tanpa menghiraukan maknanya terlebih dahulu. Metode pembacaan dapat ditugaskan kepada siswanya yang berbakat (pilihan), atau secara bergiliran sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia. Anak-anak dapat diberi tugas membaca puisi, cerpen, fragmen novel, atau dialog drama di depan kelas dengan gayanya masing-masing sesuai dengan pembawaannya. Guru harus bertindak demokratis, merdeka, dan bertangung jawab.

Pada awalnya metode peragaan lebih cenderung diberikan oleh bapak/ibu guru untuk memperagakan gerakan-gerakan yang tersirat dalam teks sastra, seperti berdeklamasi atau berteater. Metode peragaan ini hampir sama dengan metode demonstrasi yang mengkombinasikan teknik lisan dengan suatu perbuatan. Gerak raut wajah dan ucapan seseorang ketika sedang marah tentu berbeda dengan raut wajah dan ucapan seseorang yang sedang dirundung kesedihan. Tutur kata, perubahan raut muka, dan gerakan badan seorang tokoh dapat diperagakan oleh guru di depan murid- muridnya. Sementara itu, murid-murid dapat diberi tugas peragaan di depan kelas untuk memerankan tokoh tertentu, misalnya tokoh Nabi Nuh, tokoh Anak Nuh, tokoh kaum Nuh, tokoh seekor burung tempua, tokoh penebang kayu, dan tokoh penumpang kapal Nuh. Adegan peragaan yang dilakukan oleh siswa di depan kelas itu akan menarik siswa lainnya ikut terlibat dalam suasana pembelajaran sastra yang menyenangkan.

Metode tanya jawab dapat diberikan setelah terlebih dahulu siswa ikut terlibat dalam apresiasi sastra secara langsung. Artinya, pertanyaan baru dapat diajukan oleh seorang guru kepada siswanya setelah siswa itu membaca, mendengar, atau menonton pertunjukan pentas sastra. Pertanyaan dapat diajukan dari yang paling sederhana Metode tanya jawab dapat diberikan setelah terlebih dahulu siswa ikut terlibat dalam apresiasi sastra secara langsung. Artinya, pertanyaan baru dapat diajukan oleh seorang guru kepada siswanya setelah siswa itu membaca, mendengar, atau menonton pertunjukan pentas sastra. Pertanyaan dapat diajukan dari yang paling sederhana

Banyak cara melaksanakan metode penugasan kepada siswa. Seorang guru dapat memberi tugas membaca, mendengar atau menyimak, ataupun menonton pertunjukan pentas sastra kepada murid-muridnya, berdiskusi, dan menulis laporan atau pendapatnya tentang karya sastra yang diapresiasi. Penugasan dapat dilakukan selama di dalam kelas ketika sedang berlangsung proses belajar mengajar atau dapat juga sebagai pekerjaan rumah. Jenis tugas pekerjaan rumah, misalnya siswa disuruh menghapalkan teks puisi, membaca cerpen atau novel yang akan dipelajarinya, membuat kliping, dan mencari makna kata-kata sukar yang tersurat dalam teks sastra. Pencarian makna kata-kata sukar yang tersurat dalam teks sastra itu dapat dengan cara membuka kamus. Dalam melaksanakan metode penugasan ini besar kecilnya tugas harus disesuaikan dengan kemampuan siswa.

2.3 Menuliskan Rencana Pembelajaran

Persiapan mengajar harian (PMH) merupakan suatu perencanaan yang dilakukan oleh seorang guru sebelum melaksanakan praktik pembelajaran di kelas. Di sekolah lanjutan (SLTP atau SLTA) PMH itu dikenal dengan istilah SAP (Satuan Acara Pembelajaran) atau RP (Rencana Pembelajaran). Bagi seorang guru menuliskan RP itu merupakan suatu usaha yang menuju keberhasilan pembelajaran di kelas yang terencana, terprogram, dan tersistem. Selain itu, penyusunan naskah RP menunjukkan bahwa guru tersebut profesional dalam mengelola bidang garapannya.

Banyak bentuk atau model penulisan RP. Model penulisan RP dapat bervariasi dan sesuai dengan keperluan. Sistematika penulisan RP biasanya meliputi beberapa komponen-komponen pembelajaran, yaitu: (1) mata pelajaran, (2) pokok bahasan, (3) kelas/semester, (4) alokasi waktu, (5) kompetensi dasar, (6) hasil belajar, (7) indikator, (8) langkah pembelajaran, (9) sarana dan sumber belajar, (10) penilaian.

Contoh Format SAP atau RP Model kolom ke samping

Mata Pelajaran

: Bahasa dan Sastra Indonesia

Pokok Bahasan

: Apresiasi Puisi Indonesia Modern

Kelas/Semester

Alokasi Waktu

: 90 menit/ dua jam pelajaran

Tema/Aspek

: Meneladani tokoh Nabi/ Religiusitas

Materi : Teks puisi “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail

(Terlampir)

Kompeten Hasil Belajar Indikator Langkah

Penilaian si Dasar

Sumber

Pembelajaran Belajar/Sara

na

- Langkah Awal a. a . Penugasan

- Langkah Inti

b. b. Tes Tertulis

- Langkah Akhir c.

Contoh SAP atau RP kita konkretkan sebagai berikut.

Mata Pelajaran

: Bahasa dan Sastra Indonesia

Pokok Bahasan

: Apresiasi Puisi Indonesia Modern

Kelas/Semester

Alokasi Waktu

: 90 menit/ dua jam pelajaran

Tema/Aspek

: Meneladani tokoh Nabi/ Religiusitas

Materi : Teks puisi “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail

(Terlampir)

Kompetensi Dasar

Mengapresiasi sastra melalui kegiatan mendengarkan pembacaan puisi

Hasil Belajar

Mendengarkan pembacaan puisi dengan pemahaman tema, makna, dan pesan yang terkandung dalam puisi yang dibacakan.

Indikator Hasil Belajar

* Siswa dapat menentukan tema puisi yang dibacakan. * Siswa dapat mengungkapkan makna yang terkandung dalam puisi yang

dibacakan * Siswa dapat mengungkapkan pesan yang terkandung dalam puisi yang dibacakan.

Langkah Pembelajaran

A. Langkah Awal

* Guru mengkondisikan kelas, mengabsen, mengatur tempat duduk siswa.

* Guru bertanya kepada siswa apakah sudah pernah mendengar Kisah Nabi Nuh? (Beberapa siswa ada yang menjawab sudah dari pelajaran agama, guru

merespon jawaban siswa, baiklah nanti kita simak kembali kisah Nabi Nuh itu dalam puisi)

* Guru menayangkan CD/DVD aminasi tentang kisah Nabi Nuh * Guru bertanya kepada siswa apakah sudah mendengar atau mengenal nama

penyair Taufiq Ismail dan Himpunan Musik Bimbo? (Beberapa siswa ada yang sudah mendengar dan mengetahui nama penyair Taufiq Ismail yang bekerja sama dengan Himpunan Musik Bimbo sejak tahun 1973, namun ada beberapa siswa yang belum tahu siapa Taufiq Ismail dan siapa Himpunan Musik Bimbo itu. Guru merepon jawaban siswa dengan menerangkan sekelumit biodata Taufiq Ismail, dapat dari Horison Kakilangit, atau buku-buku antologi yang ada riwayat Taufiq Ismail, dan Himpunan Musik Bimbo). * Guru memutar kaset Balada Nabi-Nabi dari Bimbo, salah satu lagunya berjudul

“Balada Nabi Nuh” yang ditulis oleh Taufiq Ismail.

B. Langkah Inti

* Guru mebagikan teks puisi “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail kepada para siswa (dapat fotokopian atau ditulis dengan cara didikte, ataupun ditulis

di papan tulis dan siswa disuruh untuk menuliskan puisi itu di bukunya) * Guru memberi kesempatan siswa untuk membaca teks itu dalam hati, kurang lebih selama lima menit. * Beberapa siswa disuruh ke depan kelas membaca teks puisi dengan suara nyaring atau yang sudah hapal dapat berdeklamasi. Sementara itu, siswa yang tidak maju ke depan kelas disuruh menyimak teks pembacaan puisi itu.

* Siswa diuberi kesempatan untuk bertanya tentang kata-kata sukar yang belum dipahami maknanya. * Guru membagikan Lembar Kerja Siswa (LKS). * Siswa ditugasi menuliskan nama dalam lembar LKS dan menjawab pertanyaan

dalam lembar LKS. Apabila pertanyaan itu belum ada, guru dapat membuat pertanyaan itu dengan cara didiktekan atau dituliskan di papan tulis. Pertanyaan itu berkisar pada tema, makna, dan pesan yang

terkandung dalam puisi “Balada Nabi Nuh”. * Hasil pekerjaan siswa dikumpulkan.

C. Langkah Akhir

* Siswa bersama guru membahas masalah tema, makna, dan pesan yang terkandung dalam teks puisi “Balada Nabi Nuh”. * Siswa diberi kesempatan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus

dengan argumen-argumennya. * Siswa dan guru membahas hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa. * Guru memberi tindak lanjut untuk mencari dan menemukan teks-teks puisi lain

yang berkisah tentang Nabi Nuh atau nabi-nabi lainnya. * Pembelajaran ditutup dengan kalimat yang mendorong motivasi siswa untuk giat belajar menambah wawasan dan pengetahuan.

Sarana dan Sumber

a. Teks puisi “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail.

b. Kaset CD/DVD animasi Kisah Nabi Nuh

c. Kaset Balada 25 Nabi Bimbo (Gema Nada Pertiwi, 1994)

d. Tipe rekorder

e. Komputer/Laptop

f. Proyektor LCD (Infokus), Layar

g. “Taufiq Ismail” dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2003.

h. “Gugus Sajak Kenabian Karya Taufiq Ismail” dan “Wakil Zaman yang Menyedihkan” dalam Puji Santosa (2003). Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

i. Papan tulis, spidol, kertas, alat tulis siswa

Penilaian

a. Tes tertulis

b. Penugasan

3. Pelaksanaan Pembelajaran

Pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra di kelas merupakan wujud nyata mempraktikan semua teori, pengetahuan yang dimiliki, dan pengabdian guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Demi masa depan negara dan generasi bangsanya, seorang guru rela berkorban mencurahkan ilmu dan pengetahuannya kepada siswa-siswanya. Dalam melaksanakan pembelajaran apresiasi sastra ini tugas guru hanya sebagai pembimbing, fasilatator, dan narasumber dari murid-murid yang sedang belajar. Seorang guru yang berdiri di depan kelas menjadi model dan teladan bagi murid- muridnya. Oleh karena itu, perilaku dan tindakan guru di depan kelas sering kali ditiru oleh murid-muridnya di rumah. Kadang secara cepat pula perilaku seorang guru dapat memperanguhi perilaku siswanya di rumah.

Pada hakikatnya pelaksanaan pembelajaran apresaisi sastra itu merupakan penjabaran dari kegiatan proses belajar mengajar. Adapun kegiatan proses belajar mengajar apresaisi sastra di sekolah lanjutan pertama itu dapat ditempuh dengan langkah-langkah atau prosedur yang telah umum dilakukan adalah sebagai berikut.

(1) Pra-Kegiatan Belajar Mengajar

Satu minggu sebelum kegiatan belajar mengajar di kelas dilaksanakan, siswa diberi salinan a tau fotokopi materi ajar, misalnya puisi “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail. Jika materi pembelajaran itu sudah terdapat dalam teks buku pelajaran dan Satu minggu sebelum kegiatan belajar mengajar di kelas dilaksanakan, siswa diberi salinan a tau fotokopi materi ajar, misalnya puisi “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail. Jika materi pembelajaran itu sudah terdapat dalam teks buku pelajaran dan

(2) Kegiatan Belajar Mengajar di Kelas

Sebagai kegiatan pendahuluan, seorang guru dapat menyapa siswa-siswanya dengan kalimat-kalimat puitis. Beberapa kalimat puitis dapat dikutip dari para penyair terkenal yang telah dipelajari siswa beberapa minggu sebelumnya. Sapaan guru ini sekadar memberi dorongan, menggugah ingatan, dan membangkitkan semangat siswa belajar apresiasi sastra, khususnya apresiasi puisi. Kemudian setelah itu guru baru menanyakan tugas mem baca atau menghapalkan puisi “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail, mencari dan menemukan kata-kata sukar yang terdapat dalam teks puisi yang telah diberikan minggu lalu.

Kegiatan berikutnya berupa informasi dari guru tentang hal-hal yang akan dilakukan d engan cipta sastra puisi “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail yang telah dibaca atau dihapalkan di rumah. Menonton tayangan CD/DVD animasi tentang Kisah

Nabi Nuh dan mendengarkan nyanyian “Balada Nabi Nuh” oleh himpunan musik Bimbo. Dua atau tiga orang siswa bergantian tampil di depan kelas membaca sajak atau

berdeklamasi. Murid-murid yang tidak tampil di depan kelas diharap menyimak, memperhatikan pembacaan sajak atau deklamasi itu, dan kemudian mencatat hal-hal yang mengesankan dari pembacaan sajak atau deklamasi tersebut. Beberapa siswa juga dapat ditugaskan memperhatikan lagu kalimat, jeda, intonasi, ataupun vokal pembaca sajak atau sang deklamator.

Setelah pembacaan sajak atau deklamasi itu dilakukan, kini giliran guru memberi tahu kekurangan ataupun kelebihan masing-masing siswa yang tampil di depan kelas, hubungannya dengan tayangan video dan mendengarkan lagu tentang Nabi Nuh. Setiap siswa boleh tampil dengan gaya dan gerakan bebas sesuai penghayatan atas cipta sastra Setelah pembacaan sajak atau deklamasi itu dilakukan, kini giliran guru memberi tahu kekurangan ataupun kelebihan masing-masing siswa yang tampil di depan kelas, hubungannya dengan tayangan video dan mendengarkan lagu tentang Nabi Nuh. Setiap siswa boleh tampil dengan gaya dan gerakan bebas sesuai penghayatan atas cipta sastra

Agar guru pun dapat memahami jeda-jeda ataupun intonasi sebuah sajak dibaca atau dideklamasikan, berikut puisi “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail. diberi batas jeda periodisasinya.

BALADA NABI NUH

Gemuruh air/ jadi lautan/ Gemuruh dunia/ yang tenggelam/ Gemuruh air/ jadi lautan/ Gemuruh dunia/ yang tenggelam//

Wahai/ kaum yang nestapa/ Wahai/ anakku yang malang/ Wahai/ kaum yang nestapa/ Wahai/ anakku yang malang//

Ooh/ Nabi Nuh//

Dengan bekal pembatas sistem periodisasi itu guru dapat menunjukkan irama, nada, dan jeda larik-larik puisi itu diucapkan atau dilisankan, lalu dibandingkan pula

dengan lagu “Balada Nabi Nuh” yang dinyanyikan Bimbo. Kemudian, dengan bekal itu pula guru memberi contoh pembacaan atau deklamasi dengan jeda yang benar. Setelah

guru membacakan atau berdeklamasi sajak itu, barulah siswa diajak mendalami makna kata-kata yang terdapat dalam teks sajak. Guru dapat bertanya kepada siswanya, siapa yang belum tahu dan yang sudah tahu arti masing-masing kata yang terdapat dalam teks sajak? Bagi siswa yang sudah tahu, mi salnya, judul sajak judul “Balada Nabi Nuh”, Sesuai dengan tugas yang diberikan minggu lalu, yaitu mencatat kata-kata sukar yang terdapat dalam teks puisi dan kemudian mencari dan menemukan arti kata itu dalam kamus.

Setelah semua kata-kata sukar yang terdapat dalam teks sajak dipahami artinya, kini giliran guru meminta siswanya untuk menceritakan kembali isi sajak tersebut.

Sebelum diungkapkan kembali secara lisan di depan kelas, siswa diminta untuk menuliskan selama sepuluh atau lima belas menit. Guru hendaknya bertindak demokratis mau menghargai apa pun yang ditulis oleh siswanya tentang puisi yang baru dibaca atau dideklamasikan. Setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda mengungkapkan kembali sajak tersebut. Hasil pencatatan dan pencarian arti kata-kata sukar di rumah minggu lalu dan pengungkapan kembali sajak itu dapat dikumpulkan untuk kemudian diberi penilaian.

Salah seorang siswa yang cerdas dapat mengungkapkan kembali sajak itu dengan baik sehingga guru pun berhak memberi nilai tinggi pula, misalnya 10. Sebaliknya, siswa yang kurang mampu mengungkapkan kembali sajak itu tentu dapat nilai sedang-sedang saja, misalnya 6. Seorang siswa yang cerdas dan pandai itu, misalnya saja, menghasilkan ungkapan yang baik sebagai berikut. Siswa Pertama:

Saja k “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail berbentuk syair lagu atau lirik lagu yang dinyanyikan oleh himpunan musik Bimbo. Bentuk balada dalam sajak ini amat pendek, sembilan larik yang dibagi menjadi tiga bait. Lazimnya sebuah syair lagu, bait pertama dan kedua berbentuk kuatrin atau sajak empat seuntai. Sedangkan yang satu bait hanya terdiri atas satu larik yang berupa frasa ekspresif berbentuk seruan. Dua bait dalam sajak “Balada Nabi Nuh” ini memiliki rima akhir yang menyerupai pantun, yaitu

rima bersilang [a b a b, c d c d]. Bentuk sajak konvensional ini setiap lariknya selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Larik-larik dikelompok menjadi bait yang disusun lurus ke bawah. Dengan kesederhanaan susunan bentuk sajak yang konvensional tersebut merepresentasikan umat yang masih terbelenggu oleh konvensi tertentu yang berlaku di masyarakatnya, misalnya adat-istiadat atau kebiasaan lama sebagai tradisi leluhurnya.

Siswa Kedua

Pemanfaatan bunyi dalam sajak ini penuh dengan perulangan, yaitu perulangan larik, kata, dan klausa. Perulangan larik terjadi pada setiap bait, yaitu larik pertama diulang pada larik ketiga dan larik kedua diulang lagi pada larik keempat sehingga Pemanfaatan bunyi dalam sajak ini penuh dengan perulangan, yaitu perulangan larik, kata, dan klausa. Perulangan larik terjadi pada setiap bait, yaitu larik pertama diulang pada larik ketiga dan larik kedua diulang lagi pada larik keempat sehingga

Perulangan bunyi kata diulang sebanyak empat kali adalah kata gemuruh dan wahai. Kata yang diulang sebanyak enam kali adalah kata yang, dan kata yang diulang sebanyak dua kali adalah kata: air, jadi, lautan, dunia, tenggelam, kaum, nestapa, anakku, dan malang. Kata yang sama sekali tidak mendapat perulangan adalah kata-kata yang

terdapat pada larik terakhir, yaitu “Ooh Nabi Nuh”. Perulangan bunyi-bunyi yang bergetar dan bernada suram, seperti gemuruh, air, lautan, dunia, tenggelam, dan nestapa

menggambarkan keadaan bunyi air yang bergerak mengejar ke dataran yang lebih rendah. Perulangan bunyi-bunyi seperti itu juga menunjukkan adanya gerakan ombak yang bergulung-gulung atau selalu berulang-ulang. Gerakan air ombak itu akan berhenti menghantam karang atau bukit. Gambaran penghentian ombak yang menghentak atau menghantam karang ataupun bukit itu dengan ditampilkannya ekspresi pernyataan

yang menghentak pula, hanya sekali, “Ooh Nabi Nuh”.

Siswa Ketiga

Bunyi- bunyi yang digunakan dalam sajak “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail ini cenderung merepresentasikan keadaan banjir besar yang dialami umat Nabi Nuh. Pemakaian bunyi konsonan getar [r], konsonan hambat velar [g], dan hambat dental [d] yang dipadukan dengan vokal berat-besar [u], seperti kata gumuruh, dunia, air, dan tenggelam yang diulang-ulang itu merepresentasikan gerak air yang besar dan berat mengejar siapa pun yang berada di hadapannya, kemudian air itu menghantam bangunan, pepohonan, bukit, dan siapa pun yang ada dihadapan air itu. Besarnya suara Bunyi- bunyi yang digunakan dalam sajak “Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail ini cenderung merepresentasikan keadaan banjir besar yang dialami umat Nabi Nuh. Pemakaian bunyi konsonan getar [r], konsonan hambat velar [g], dan hambat dental [d] yang dipadukan dengan vokal berat-besar [u], seperti kata gumuruh, dunia, air, dan tenggelam yang diulang-ulang itu merepresentasikan gerak air yang besar dan berat mengejar siapa pun yang berada di hadapannya, kemudian air itu menghantam bangunan, pepohonan, bukit, dan siapa pun yang ada dihadapan air itu. Besarnya suara

Gambaran keadaan yang bernada menyeramkan itu berubah menyedihkan, pilu, dan memprihatinkan pada bait kedua. Bunyi-bunyi yang digunakan seperti bunyi bilabial semivokal bersuara [w], glotal frikatif tak bersuara [h], dan velar hambat tak bersuara [k] yang dipadukan dengan vokal [í] seperti kata wahai, dipadukan dengan vokal [u] seperti kata kaum dan anakku menimbulkan semangat keprihatinan itu. Terlebih, pemakaian nasal dengung [n, m, ng] seperti kata lautan, tenggelam, nestapa, dan malang semakin memperkuat rasa iba tersebut. Pemakaian lambang bunyi dalam

sajak “Balada Nabi Nuh” mendukung isi yang menyeramkan dan menyedihkan. Irama bunyi pada larik terakhir, “Ooh Nabi Nuh”, terasa menyentak sehingga

menjadi fokus perhatian pembaca. Pusat perhatian pembaca atau pendengar adalah pernyataan ekspresif yang berisi seruan keprihatinan terhadap Nabi Nuh. Pernyataan terakhir ini juga menggambarkan akhir dari segala malapetaka yang terjadi, yaitu Nuh dan umatnya selamat berkat lindungan Tuhan Yang Maha Esa.

Siswa Keempat

Sajak "Balada Nabi Nuh" karya Taufik Ismail hanya terdiri atas lima klausa yang pendek-pendek. Susunan klausa itu tampak sederhana, yaitu satu berbentuk klausa tunggal, dan yang lainnya menggunakan klausa tidak sempurna, yaitu hanya berupa frasa nomina. Kelima bentuk klausa tersebut sebagai berikut.

(1) Gemuruh air jadi lautan. (2)

Gemuruh dunia yang tenggelam. (3)

Wahai kaum yang nestapa. (4)

Wahai anakku yang malang.

(5) Ooh Nabi Nuh. Klausa (1) berbentuk klausa tunggal yang berpola S-P-Pel. Subjek klausa terletak pada frasa gemuruh air, predikat terletak pada kata jadi yang merupakan bentuk pendek dari kata menjadi, dan pelengkapnya adalah kata lautan. Bentuk klausa ini sebagai perwujudan klausa rapatan. Setelah kita merasakan bunyi klausa pertama ini terdapat elipsis, ada sesuatu yang hilang, tidak lengkap. Secara transformatif dapat saja dipahami menjadi: Air (men-)jadi lautan (bersuara) gemuruh. Struktur klausa ini juga merepresentasikan sesuatu yang hilang, lenyap dari pandangan –misalnya manusia, binatang, pepohonan dan bangunan-bangunan--berubah menjadi lautan.

Klausa (2) berbentuk klausa yang hanya berupa subjek saja, yaitu gemuruh dunia. Kehadiran kata yang dalam klausa tersebut berfungsi menerangkan kata yang berada di depannnya. Jadi, gemuruh dunia diterangkan dalam keadaan tenggelam. Bentuk klausa ini hanya berupa frasa nomina. Seperti halnya bentuk klausa yang pertama, klausa kedua ini juga dapat dipahami secara transformasional, yaitu menjadi Dunia yang tenggelam (bersuara) gemuruh. Struktur klausa yang melesapkan predikat

ini juga merepresentasikan “sesuatu” yang lenyap, hilang tanpa bekas dalam proses gerakan ditelan oleh gemuruh air sehingga menjadi tenggelam.

Klausa (3) dan (4) merupakan klausa seruan dengan menghadirkan kata seru wahai yang berfungsi menarik perhatian, memanggil, atau mempengingatkan. Seperti halnya klausa(2), klausa (3) dan (4) ini berbentuk frasa nomina. Subjek klausa (3) adalah kaum yang diterangkan dalam keadaan nestapa. Klausa (4) memiliki subjek anakku yang diterangkan dalam keadaan malang. Adapun klausa (5) merupakan klausa seruan dengan menghadirkan kata seru ooh. Subjek yang mendapat seruan adalah Nabi Nuh. Struktur klausa ini merepresentasikan kedaan yang menyedihkan perasaan, dilambangkan dengan “sesuatu” yang terbuka menuju ke arah yang tertutup dengan

menghadirkan diftong [ai], wahai, vokal [a] terbuka menuju ke vokal [a] tertutup, nestapa ke malang. Dengan demikian, struktur kl ausa dalam sajak “Balada Nabi Nuh” ini menghadirkan diftong [ai], wahai, vokal [a] terbuka menuju ke vokal [a] tertutup, nestapa ke malang. Dengan demikian, struktur kl ausa dalam sajak “Balada Nabi Nuh” ini

Siswa Kelima

Taufiq Ismail memberi judul sajaknya "Balada Nabi Nuh". Kata "balada" artinya ‘sajak sederhana yang mengisahkan cerita rakyat, bersifat mengharukan dan romantis

dalam bentuk nyanyian’. Tradisi balada di Barat setiap baitnya berbentuk kuatrin dengan pola rima a-b-a-b. Sementara itu, nama Nabi Nuh adalah nama nabi-rasul yang

ketiga, setelah Adam dan Idris, yang dicatat sebagai nabi dan rasul dalam Al-Quran. Kata nabi yang melekat pada nama Nuh merupakan orang yang menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu. Nuh termasuk kategori 25 nabi dan rasul yang tercatat dalam Al- Quran. Kata rasul itu sendiri berarti orang yang menerima wahyu Tuhan untuk disampaikan kepada manusia yang lainnya. Berdasarkan pengertian di atas, judul

“Balada Nabi Nuh” dapat diartikan bahwa kisah Nabi Nuh yang berasal dari kitab suci ini sudah diangap sebagai cerita rakyat yang bersifat mengharukan dan romantis.

"Gemuruh air jadi lautan” merepresentasikan datangnya bencana air bah atau banjir besar yang melanda umat Nabi Nuh. Suara air itu gemuruh, yaitu bunyi yang menderu-deru seperti bunyi guruh atau suara ombak yang memecah menepis di pantai. Air yang datang begitu besar dan dahsyat sehingga meskipun masih berada di daratan, air itu telah berubah menjadi lautan, menjadikan daratan bagaikan lautan. Gerakan air itu ditampilkan oleh verba gemuruh dan verba jadi. Gemuruh adalah suara yang bergerak dalam banjir yang seakan-akan air itu mengejar manusia yang berusaha lari menghindar. Sementara itu, verba jadi menampilkan perubahan keadaan air yang sebelumnya tidak seberapa banyak, kuantitas air yang tidak seberapa banyak itu masih berada di daratan, menjadi kuantitas air yang begitu besar sehingga daratan telah berubah menjadi lautan.

Keadaan tersebut mengakibatkan "Gemuruh dunia yang tenggelam". Suara gaduh, hiruk-pikuk, hingar-bingar, jerit dan tangis makhluk hidup di dunia itu hilang musnah ditelan oleh datangnya suara gemuruh air bah. Seluruh permukaan dunia tenggelam oleh datangnya suara gemuruh air bah. Kata tenggelam bera rti ‘karam, terbenam dalam air, hilang atau musnah ditelan oleh air’. Ini berarti tidak ada lagi kehidupan di dunia. Sesuatu gambaran yang menyeramkan dan meruntuh-lantakan semua kehidupan. Dari segi semantik, pengulangan larik pertama dan kedua ke larik ketiga dan keempat menggambarkan suatu peristiwa banjir besar ini dapat terjadi pada suatu saat di berbagai daerah yang luas jangkauannya.

"Wahai kaum yang nestapa". Sang narator menyapa, berseru, kepada kaum, suku bangsa atau golongan umat Nabi Nuh yang nestapa. Peristiwa itu begitu tragis dan menyedihkan sekali. Seluruh umat yang durhaka dan jahat menjadi musnah dan umat Nuh yang beriman pun ikut menderita akibat bencana air bah. Terlebih, Nabi Nuh pun kehilangan salah seorang anaknya. "Wahai anakku yang malang" merupakan seruan Nuh kepada anaknya yang tidak penurut itu betul-betul bernasib malang, celaka atau sial. Anak itu membangkang tidak bersedia masuk ke dalam kapal Nuh yang membawa keselamatan, terhindar dari bencana. Gemuruh air bah menyeret anak itu hingga mati tenggelam bersama-sama umat Nabi Nuh yang durhaka lainnya. Anak itu ikut menjadi korban keganasan musibah air bah.

Perulangan pada bait kedua ini menunjukkan banyaknya “kaum yang nestapa” dan “anak-anak yang malang” menjadi korban keganasan musibah air bah. Sang narator

tidak hanya dapat berseru untuk menyatakan harunya terhadap satu kaum yang nestapa dan satu anak yang malang, tetapi suatu kaum Nabi Nuh yang nestapa dan anak-anak yang malang lainnya. "Ooh Nabi Nuh” merupakan wujud nyata ekspresi kesedihan dan keprihatinan yang amat mendalam terhadap sebuah bencana yang amat tragis. Dengan demikian, kehadiran Nuh dalam sajak ini merepresentasikan suatu wakil tidak hanya dapat berseru untuk menyatakan harunya terhadap satu kaum yang nestapa dan satu anak yang malang, tetapi suatu kaum Nabi Nuh yang nestapa dan anak-anak yang malang lainnya. "Ooh Nabi Nuh” merupakan wujud nyata ekspresi kesedihan dan keprihatinan yang amat mendalam terhadap sebuah bencana yang amat tragis. Dengan demikian, kehadiran Nuh dalam sajak ini merepresentasikan suatu wakil

Begitulah kegaiatan pembelajaran apresiasi puisi di kelas dilaksanakan dengan meminta lima orang atau lima kelompok menanggapi sajak “Balada Nabi Nuh”. Dengan berbagai perbedaan pendapat siswa seperti itu akan membuat siswa senang, kreatif,

dan inovatif. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan pembelajaran puisi itu seorang guru dapat meminta siswanya mengerjakan tes, memperluas pembacaan sajak dengan gaya tertentu, membuat kliping puisi-puisi sejenis, atau tugas lain yang berhubungan dengan mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

4. Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi pembelajaran apresiasi sastra yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif di sekolah merupakan indikator keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan. Evaluasi pembelajaran apresiasi sastra itu hendaknya mengandung tiga komponen dasar evaluasi, yaitu meliputi (1) kognisi, (2) afeksi, dan (3) ketrampilan. Aspek kognisi artinya lebih mengutamakan pengetahuan bernalar atau pengembangan daya pikir sebagai kecerdasan otak. Aspek afeksi artinya lebih mengutamakan unsur perasaan atau emosional. Adapun aspek ketrampilan itu lebih mengutamakan kemampuan siswa untuk menyelesaikan tugas. Artinya, siswa itu mampu dan memiliki cekatan menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya.

Dalam pembelajaran apresiasi sastra pada umumnya mengenal dua bentuk penilaian, yaitu (1) penilaian prosedur, yang meliputi penilaian proses belajar dan penilaian hasil belajar, dan (2) instrumen atau alat penilaian, yang meliputi esai tes dan pilihan ganda. Oleh karena itu, evaluasi harus dijelaskan komponen dasar yang akan dievaluasi, artinya harus jelas aspek-aspek yang akan dievaluasi. Cara yang digunakan untuk mengevaluasi, misalnya dengan (1) tanya jawab, (2) penugasan, (3) esai tes, dan (4) pilihan ganda, harus jelas pula.

Evaluasi dengan cara tanya jawab dapat diajukan secara lisan ketika sedang ber- langsung proses belajar mengajar di kelas. Bentuk pertanyaan dapat dibuat dari yang paling sederhana hingga yang paling sukar. Tentu setiap pertanyaan mengandung bobot, dari yang berbobot paling rendah hingga yang paling tinggi. Pertanyaan dapat diajukan kepada semua siswa dengan jawaban tertulis atau langsung tanya jawab Evaluasi dengan cara tanya jawab dapat diajukan secara lisan ketika sedang ber- langsung proses belajar mengajar di kelas. Bentuk pertanyaan dapat dibuat dari yang paling sederhana hingga yang paling sukar. Tentu setiap pertanyaan mengandung bobot, dari yang berbobot paling rendah hingga yang paling tinggi. Pertanyaan dapat diajukan kepada semua siswa dengan jawaban tertulis atau langsung tanya jawab

Penugasan merupakan cara evaluasi untuk pengembangan kepribadian, perluasan daya berpikir siswa dan kreativitas emosional, serta memupuk ketrampilan siswa. Bentuk penugasan dapat dipilih dari yang paling sederhana, misalnya membaca sajak secara bergantian, menghapalkan teks sajak yang pendek atau berdekalamasi di depan kelas, hingga meningkat yang paling kompleks, seperti mencatat dan mencari arti kata-kata sukar dalam kamus, memberi ulasan sajak, atau merumuskan amanat sajak. Penugasan dapat dilakukan di kelas ketika sedang berlangsung proses belajar mengajar, misalnya membaca sajak secara bergantian, berdeklamasi, dan bermain peran tokoh dalam sajak, atau juga sebagai tugas rumah untuk menghapalkan sajak, menceritakan kembali sajak yang dibacanya, dan menyusun kamus kecil dari kata-kata yang terdapat dalam teks sajak yang dibacanya.

Esai tes diberikan kepada siswa untuk melatih menyusun kalimat secara baik dan benar, berpikir secara teratur atau runtut, dan menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Untuk esai pembelajaran apresiasi sastra anak tingkat sekolah dasar perlu dipilih bentuk-bentuk yang paling sederhana, misalnya ceritakan kembali dengan

b ahasamu sajak “Balada Nabi Nuh” berikut, tulisalah contoh perbuatan baik yang terdapat dalam teks sajak “Balada Nabi Nuh”, tulislah alasan mengapa Nabi Nuh menyeru kaumnya yang nestapa, apa seruan Nabi Nuh kepada anaknya yang malang,

dan siapa yang perlu kita teladani dalam hidup ini? Dalam memberikan esai tes ini diharapkan seorang guru berpandai-pandailah membuat pertanyaan atau perintah yang sederhana kepada siswa.

Bentuk pilihan ganda dalam evaluasi sudah tidak asing lagi bagi anak-anak sekolah menengah umum. Dengan cara avaluasi pilihan ganda ini anak dilatih untuk memilih salah satu dari beberapa jawaban yang tersedia. Anak tidak diberi kemungkinan untuk mengembangkan diri di luar jawaban yang tersedia. Meskipun demikian, dengan cara evaluasi pilihan ganda ini sebenarnya juga menuntun dan membimbing siswa ke arah tujuan yang pasti, Oleh karena itu, evaluasi pembelajaran apresiasi puisi pun dapat dibuat dengan pilihan ganda. Jumlah jawaban dapat dibuat

hanya dua pilihan, misalnya “benar atau salah” dan “A atau B”, dapat juga tiga atau hanya dua pilihan, misalnya “benar atau salah” dan “A atau B”, dapat juga tiga atau

Bagaimana cara menilai pembacaan puisi atau deklamasi? Bentuk kegiatan ini merupakan latihan pengembangan diri kecerdasan emosional, memupuk bakat dan minat, serta melatih keterampilan siswa. Ada tiga unsur atau aspek utama yang dapat kita beri penilaian dalam kegiatan membaca sajak atau berdeklamasi, yaitu: (1) penghayatan, (2) vokal, dan (3) penampilan.

Unsur-unsur lain di luar ketiga hal itu, misalnya latar, musik, pakian, dan humor, dapat saja ditambahkan ataupun digabungkan dengan ketiga unsur utama. Termasuk dalam penghayatan adalah keterlibatan secara emosional, intelektual, dan imajinasi ke dalam teks sastra yang dibaca, dideklamasikan, atau dikisahkan. Seorang apresiator yang dapat terlibat masuk ke dalam nada, suasana, dan atmosfier sastra yang dibawakannya, tentu bernilai tinggi. Sementara itu, bagi mereka yang kurang mampu menghayati nada, suasana, dan atmosfier teks sastra yang diapresiasinya, tentu nilainya kurang. Unsur penghayatan ini penting sehingga dapat diberi bobot 40% dari keseluruhan komponen penilaian.

Unsur-unsur vokal dapat meliputi nada atau tinggi rendah dan panjang pendeknya suara, jeda, intonasi, irama, dan lagu kalimat. Seorang pembaca sajak, deklamator, dan pendongeng hendaknya memiliki suara yang jelas, jernih, dan segar untuk didengar orang lain. Suara yang pecah, tidak jelas, tidak jernih, dan kurang segar menyebabkan orang lain muak mendengarnya, bosan, dan tidak enak didengarkannya. Besar kecilnya nilai untuk komponen vokal ini sangat bergantung atas kejernihan, kejelasan, dan kesegaran suara yang diperdengarkan. Pesan utama sastra yang diperdengarkan itu sampai atau tidaknya kepada audien sangat bergantung dari vokal pembawanya. Untuk komponen vokal ini dapat diberi bobot 30% dari keseluruhan komponen penilaian.

Penampilan apresiator merupakan unsur komponen ketiga yang berbobot 30% dari keseluruhan komponen penilaian. Termasuk dalam komponen ini adalah segala sesuatu yang terlihat dalam pandangan mata atau unsur visual, misalnya ekspresi wajah, gerak tangan, akting, perpindahan tempat, pakaian, dan asesoris yang dikenakan apresiator. Komponen penampilan dan vokal tentu sangat mendukung penghayatan seseorang terhadap teks sastra yang dibaca atau diperdengarkannya.

Komponen untuk penilaian bentuk esai tes atau narasi dapat meliputi: (1) keruntutan gagasan atau isi jawaban, (2) penggunaan bahasa, dan (3) penyajian. Keruntutan gagasan dalam menjawab pertanyaan bukan hanya unsur benar dan salah, melainkan juga unsur keutuhan dan kemurnian pendapat. Unsur ini penting melatih siswa mengemukakan pendapatnya yang orisinal dan terpadu. Bobot nilai untuk keruntutan gagasan adalah 40%.

Adapun penggunaan bahasa dapat dilihat dari keteraturan susunan kalimat, kesalahan ejaan, pilihan kata, dan kesatuan wacananya. Bobot nilai untuk penggunaan bahasa ini adalah 30%.

Sementara itu, penyajian merupakan komponen yang menyajikan keseluruhan jawaban esai tes atau narasi, dari penyajian yang sederhana hingga yang kompleks, dari yang mudah hingga yang rumit. Bobot nilai untuk penyajian adalah 30% dari keseluruhan komponen penilaian.

Evaluasi tugas-tugas lain, seperti pencatatan dan pencarian arti kata-kata sukar yang terdapat dalam teks sastra dan menemukannya dalam kamus, dapat diukur dari banyak atau sedekitnya yang dicatat dan yang ditemukan, serta akurat atau tidaknya arti kata yang dicatat. Bagi siswa yang asal catat dan mengartikan kata yang ditemukan dalam kamus itu tidak akurat, tentu berbeda dengan siswa yang benar-benar memilih dan menemukan maknanya dalam kamus secara tepat. Terlebih, apabila siswa itu mampu memberi contoh pemakaian kata itu dalam kalimat dan menghubungkannya dengan konteks, tentu nilainya amat tinggi.

5. Penutup

Demikian uraian tentang pembelajaran apresiasi sastra yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif yang dapat diberikan dalam rangka kegiatan belajar mengajar apresiasi sastra di sekolah menengah. Apabila Anda mengalami kesulitan dalam memberikan mata pelajar apresiasi sastra ini dapat berdiskusi atau berkonsultasi dengan guru lain, sesama pengajar bahasa Indonesia melalui MGMP, atau dengan kepala

sekolah. Ada pepatah mengatakan “Malu bertanya, sesat di jalan”, kalau guru tidak tahu, bagaimana dengan muridnya? Penulis membuka diri untuk para pengajar dan calon

pengajar (guru) apresiasi sastra di sekolah sewaktu-waktu diperlukan, baik sekadar bertanya jawab, berdiskusi, atau membicarakan kegiatan apresiasi sastra yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, S. 1982. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam.

Endraswara, Suwardi. 2002. “Reformasi Pembelajaran Sastra Anak ke Arah Penanaman Budi Pekerti”. Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional (PILNAS)

XIII. Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI). Kerja Sama HISKI, Majalah Horison, Pusat Kebudayaan Jepang, Balai Bahasa Yogyakarta, dan Universitas Ahmad Dahlan. Yogyakarta: 8 –10 September 2002.

Ismail, Taufiq. 2008. Menggapai ke Langit Mengakar di Bumi. Jilid 4. Himpunan Puisi yang Dinyanyikan. 1973 —2008. Jakarta: Horison dan Yayasan Hasjim Djojohadikusuma.

Kamisa. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Besar. Surabaya: Kartika.

Rusyana, Yus. 1974. Penuntun Pengajaran Sastra di Sekolah. Bandung: CV Diponegoro.

--------- 1979. Meningkatkan Kegiatan Apresiasi Sastra di Sekolah Lanjutan. Bandung: Gunung Larangan.

Santosa, Puji . 1984. “Rakyat Adalah Sumber Ilmu Karya W.S. Rendra: Sebuah Pendekatan Dikotomis”. Praskripsi Sarjana Muda, Jurusan Sastra Indonesia. Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Santosa, Puji . 1986. “Tabiat Tanda-Menanda dan Tafsir Amanat dalam Puisi Rakyat Adalah Sumber Ilmu Karya Rendra: Sebuah Pendekatan Semiotika”. Skripsi Sarjana S-1, Jurusan Sastra Indonesia dan Filsafat, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Santosa, Puji. 1986. Teori Sastra. Madiun: IKIP PGRI Madiun. Modul kuliah S-1.

Dokumen yang terkait

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

2 5 46

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

6 77 70

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

11 75 34

ANALISIS HASIL BELAJAR FISIKA SISWA SMP DITINJAU DARI SKILL ARGUMENTASI ILMIAH SISWA PADA PEMBELAJARAN EKSPERIMEN DI LABORATORIUM NYATA DAN MAYA

4 85 57

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING(PBL) DAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION (GI)

6 62 67

MENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS III SD NEGERI I MATARAM KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

21 126 83

PENGARUH KEMAMPUAN AWAL MATEMATIKADAN MOTIFBERPRESTASI TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

8 74 14

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62