SEBUAH ANALISIS KRISIS YUNANI DAN DAMPAK

ANALISIS SEBUAH DRAMA TRAGEDI BERTAJUK
"KRISIS YUNANI"

Yunani adalah sebuah negara yang terletak di tengah benua eropa.Negara tetangga
Yunani, diantaranya adalah Irlandia, Portugal, Italia dan beberapa negara maju seperti
Jerman, Inggris dan Prancis. Jika ditilik dari besar wilayahnya, sebenarnya Yunani termsuk
negara kecil dengan jumlah penduduk sekitar 11 juta jiwa dan luas wilayah….namun ketika
terjadi krisis hebat di dalam negeri Yunani, mengapa hal itu menimbulkan euphoria ketakutan
yang sangat diantisipasi oleh negara-negara tetangganya? Jawabannya adalah karena integrasi
ekonomi. Dan integrasi itu bernama Uni Eropa.
Bagaimana bisa?
Bermula dari pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa (European Economic
Community) melalui Pakta Roma pada bulan Maret 1957 yang negara perintisnya adalah
Jerman Barat, Perancis, Italia, Belgia, Belanda dan Luxemburg. Di mana saat itu telah terjadi
kesepakatan kebijakan ekonomi berkenaan dengan penurunan hambatan perdagangan
diantara mereka dan penyeragaman tarif kepada non-anggota yang secara resmi dipraktikan
mulai 1 Januari 1958. Inilah momentum penting yang menjadi tonggak perkembangan Uni
Eropa pada masa selanjutnya. Komunitas ini selanjutnya semakin berkembang dengan
bertambahnya anggota baru, yakni Inggris, Irlandia dan Denmark pada tahun 1973, kemudian
Yunani menyusul pada 1981, dan selanjutnya pada 1986 diikuti oleh Portugal dan Spanyol.
Selain perkembangan jumlah anggota, seiring dengan waktu komunitas ini juga

mengembangkan berbagai kesepakatan strategis yang berorientasi utama pada aspek
ekonomi. Seperti penghapusan segala bentuk hambatan perdagangan demi menstimulasi
kemudahan perpindahan arus barang dan jasa antar anggota. Hasilnya adalah terjadi
peningkatan perdagangan yang signifikan di dalamnya. Dan pada masa sekarang, integrasi
ekonomi di negara-negara eropa telah mencapai tahap paling dewasa –menurut Bella Balasa-,
yakni Economic Union (EU). Di mana telah tercapai penyeragaman kebijakan fiskal dan
moneter. Salah satu praktiknya yakni penyamaan mata uang antar anggota. Akhirnya hingga
kini dikenal mata uang Euro sebagai mata uang resmi yang dipakai dalam Uni Eropa.

Dari sini mari beranjak sejenak untuk mengkaji bahasan utama tulisan ini, yakni Yunani.
Kenapa bisa terjadi shocking crisis di negara Yunani? Pertama mari kita bahas dari aspek
hutang-piutang Yunani.Gelombang hutang Yunani dimulai pada tahun 1947. Saat itu Yunani
memasuki babak baru pemerintahan dari junta militer menjadi sosialis. Dengan adanya
pemerintahan baru ini, Yunani butuh banyak bantuan dana guna pembangunan
infrastrukturnya. Dana utang juga banyak tersedot untuk alokasi biaya subsidi, dana pensiun,
gaji PNS, dll. Rupanya, karena banyak hal, Yunani gagal membayar hutangnya. Dana
pinjaman tersebut terus saja menumpuk, hingga diperkirakan mulai tahun 1993 nilai hutang
Yunani telah melampaui GDP-nya. Bahkan saat ini hutang Yunani diperkirakan telah
mencapai 120% dari posisi GDP-nya. Dunia mulai mengendus adanya ketidakberesan dalam
sistem perekonomian Yunani.

Fakta ini semakin terang ketika awal 2010,

pemerintah Yunani diketahui telah

membayar Goldman Sachs dan beberapa bank investasi lainnya guna memanipulasi nilai
transaksi yang dapat menyembunyikan jumlah sesungguhnya dari hutang pemerintah.
Kemudian diketahui pula bahwa pemerintah Yunani telah merubah data-data statistik mikro
guna menimbulkan kesan pada dunia bahwa perekonomian mereka baik-baik saja. Padahal
yang terjadi adalah sebaliknya.
Yang Kedua adalah membudayanya praktik korupsi di sistem pemerintahan Yunani.
Selain itu terdapat birokrasi yang amat gemuk yang juga sarat akan praktik KKN di setiap
tingkatannya. Sehingga bisa dikatakan terdapat korupsi+KKN multilevel di dalamnya. Salah
satu contohnya adalah rahasia umum bahwa terdapat budaya "fakelaki" di Yunani. Apa itu
"fakelaki"? arti dari "fakelaki" adalah amplop kecil. Ialah kebiasaan memberikan amplop
kecil berisikan uang yang lazim terjadi dalam birokrasi Yunani. Misalnya, permohonan
imigrasi akan menjadi mulus jika pemohon telah memberikan amplop ini kepada petugas,
cepat tidaknya pemberian izin pendirian bangunan adalah berbanding lurus dengan jumlah
Euro yang dimasukkan ke dalam amplop untuk diberikan kepada pejabat yang bersangkutan.
Kemudian korupsi terbesar dapat ditemui di kantor perpajakan Yunani yang setiap tahunnya
tercatat bahwa hampir 30% dari total penerimaan pajak, atau sekitar US$ 20 milyar, hilang.

Alias masuk ke kantong koruptor. Hal-hal demikian juga sering ditemui di institusi lain.
Hingga

membuat

pemerintah

kebingungan.

Karena

harus

dimulai

dari

mana

pemberantasannya. Praktik nista seperti inilah yang membuat yunani banyak mengalami

defisit. Karena jumlah sebesar tadi seharusnya masuk ke kantong pemerintah yang bisa

dimaksimalkan untuk berbagai pembangunan infrasruktur yang hasilnya nanti bisa membantu
perekonomian yunani.
Yang ketiga adalah adanya defisit dalam nilai perdagangan Yunani. Hal ini dapat
dipantau dari nilai ekspor Yunani yang berjumlah $12,5 miliar. Bandingkan dengan nilai
impornya yang mencapai $18,9 miliar. Artinya terjadi selisih yang cukup signifikan antara
nilai ekspor-impornya. Dan ini berimplikasi pada berkurangnya cadangan devisa Yunani. Hal
ini menunjukkan adanya Budget Deficit Financed di Yunani. Aspek ketiga ini memiliki
keterkaitan dengan aspek-aspek sebelumnya. Misalkan, dana pinjaman dari luar dan juga
pajak yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur berorientasi ekonomi
yang dapat menggenjot ekspor justru dipakai untuk kegiatan konsumtif dan teralokasi pada
bagian-bagian yang tidak produktif. Dan tentu saja korupsi.
Itulah tadi tiga aspek internal yang bisa dijadikan kajian untuk menganalisa krisis di
Yunani. Bisa dibilang bahwa sebagian besar penyebabnya memang dikarenakan dari
kebobrokan Yunani sendiri.
Lalu bagaimana keikutsertaan Yunani dalam Uni Eropa mempengaruhi krisis Yunani?
Seperti yang telah disebutkan singkat di atas, yaitu karena adanya integrasi ekonomi. Ketika
Yunani bergabung dalam Uni Eropa, Yunani bukanlah negara maju seperti Jerman dan juga
tidak memiliki sistem birokrasi sebaik Inggris. Keikutsertaan Yunani semata-mata karena

faktor wilayahnya yang strategis karena terletak di antara benua Eropa. Maka ketika lahir
banyak sistem perekonomian mutakhir dari induk Uni Eropa, sistem perekonomian yang
dimiliki Yunani belum mampu mengakomodasinya karena masih lemah, tidak sejajar dengan
negara-negara sekitar. Inilah penyebab krisis yang dinamakan Weak Financial System.
Terlebih-lebih ketika integrasi ekonomi telah mencapai tahap Economic Union, membuat
Yunani harus siap mengubah mata uangnya dengan Euro. Yunani ibaratnya seperti bayi yang
dipaksa dewasa. Penyeragaman mata uang Euro tidak diimbangi dengan kesiapan Yunani
dalam menghadapinya. Misalnya dalam budaya konsumsi, Yunani yang nilai pendapatan
perkapitanya hanya mencapai $6340, tentu tidak mampu menyaingi daya konsumsi negara
lain seperti Perancis dengan GNP $20.380, Jerman dengan GNP $ 23.650, atau bahkan negara
kecil tapi maju seperti Luxemburg dengan GNP $ 31.271. Akibat hal tadi adalah adanya arus
perputaran uang yang tidak seimbang antara Yunani dengan negara-negara tetangganya.
Krisis model seperti ini sejatinya juga sudah mulai dirasakan negara-negara lainnya seperti
Portugal, Irlandia, dan Italia.

Ketika semua penyebab krisis ini diformulasikan, hasilnya adalah sebuah drama
tragedi yang hebat berjudul "Krisis Yunani". Yah, saking hebatnya sampai-sampai ia mampu
menggoncang Uni Eropa, bahkan global. Karena krisis di yunani berdampak pada
melemahnya kepercayaan publik dunia, terutama investor, terhadap nilai mata uang Yunani.
Mari kita segarkan kembali ingatan kita bagaimana krisis ekonomi di Indonesia pada 1997

silam membuat nilai mata rupiah tidak hanya melemah, namun merosot tajam. Itulah juga
yang terjadi di Yunani sekarang ini. Masalahnya mata uang yang dipakai yunani adalah Euro.
Yakni mata uang yang sama dipakai dengan negara-negara uni eropa lainnya. krisis di yunani
tidak hanya berefek pada turunnya nilai euro di Yunani sendiri, namun mempengaruhi nilai
euro secara keseluruhan. Bisa dikatakan Uni Eropa saat ini sedang mengalami apa yang
dikatakan para ahli sebagai Domino Effect Theory.
Selain itu kepanikan Uni Eropa adalah wajar karena adanya integrasi ekonomi
diantara mereka menyebabkan adanya arus barang, modal dan jasa yang bebas diantara
mereka. Maka tentu akan banyak sekali modal asing yang tertanam di tubuh Yunani. Dan jika
yunani collapse, investor juga collapse.
Melihat tragedi ini, banyak pihak yang mulai sigap memberikan bantuan. Seperti IMF
yang pada 2010 memberikan dana segar bagi Yunani sebesar 110 miliar euro. Namun dana ini
ternyata menjadi buah simalakama bagi Yunani. Karena IMF menyaratkan beberapa syarat
pemotongan tunjangan bagi PNS dan pensiunan, peningkatan cukai pada barang-barang
mewah, peningkatan pajak hingga 23%, Hingga privatisasi BUMN dalam jumlah besar.
Pensyaratan IMF ini, terlepas dari segala kepentingan yang ada, bertujuan untuk membantu
Yunani bangkit dari krisis dan mengentas Yunani dari default. Namun memang kenyataannya
sulit dilakukan. Dan dampaknya adalah timbul reaksi keras dari para warga yang tidak setuju
dengan implementasi ini. Hasilnya terjadi demo besar-besaran oleh para warga serta ratusan
ribu pekerja dan pegawai pemerintah yang mengakibatkan lumpuhnya berbagai sektor di

Yunani. Ini adalah akibat dari kebijakan pemerintah di masa lalu yang terlalu banyak
menggelontorkan dana subsidi dan tunjangan kepada warganya. Sehingga masyarakat tidak
siap ketika kesejahteraan mereka terancam. Yah, Yunani semakin akut.
Uni Eropa sendiri telah menggelontorkan miliaran euro terhadap krisis ini. Untuk
kelanjutan dari drama krisis ini, yang bertindak sebagai sutradara penuh adalah Yunani
sendiri. Jika memang ada itikad baik dan kuat dari pemerintah untuk menyelesaikannya,
maka yang harus dilakukan adalah pembenahan akar muasal penyebab krisis. Bagaikan

memotong daun, setiap kali dipotong ia akan terus tumbuh kembali. Kecuali jika dicabut
langsung ke akarnya. Baru bisa hilang sepenuhnya. Maka Yunani harus mau untuk
melakukan reformasi total terhadap sistem pemerintahan internalnya. Mulai dari penanganan
kasus KKN+korupsi secara tegas, atau mungkin secara totaliter bila perlu, kemudian
pemangkasan birokrasi yang gemuk dan juga penghematan besar-besaran terhadap segala
macam dana konsumtif yang nantinya bisa dialokasikan kepada pembangunan infrastruktur
berbagai sektor riil guna memacu pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan meningkatkan
orientasi ekspor serta mengurangi impor. Diharapkan nantinya masalah Budget Deficit
Financed dapat teratasi. Kemudian mengenai timbulnya dampak sosial yang terjadi, misalkan
demo, menurut hemat saya itu adalah karena sikap pemerintah yang masih gengsi untuk jujur
dan transparan kepada publik mengenai kehancuran sistem pemerintahannya. Sehingga
wawasan rakyat masih minimal. Pelan-pelan pemerintah harus menjelaskan kepada publik

mengenai kronologi kenyataan yang sebenarnya terjadi. Diharapkan hal ini bisa
meminimalisir protes dari rakyat.
Setelah masalah budget teratasi dan akhirnya Yunani memiliki dana yang cukup
banyak, meskipun entah kapan, Yunani mulai bisa menata ulang sistem keuangannya dan
memilih rezim yang tepat guna mengatasi Weak Financial System-nya.
Tapi bagaimanapun juga, masalah yang terjadi sudah sangat kompleks. Namun
setidaknya dunia bisa mengambil banyak pelajaran dari krisis ini, agar nantinya tidak
terulang di masa depan. Yunani oh Yunani.

NAMA : AHMAD SYAFIQUL UMAM
NIM

: 105120400111011

Bagaimana Neo-Marxis melihat krisis Yunani?
Neo-Marxis memiliki pandangan dasar yang berangkat dari Marxisme.
Keduanya memiliki pandangan bahwa fenomena kehidupan manusia, khususnya dari
segi ekonomi, terdiferensi menjadi dua sisi. Yakni agen ekspolitasi dan korban
eksploitasi. Agen ekspolitasi oleh Marxisme dinamakan kaum Borjuis, sedangkan untuk
korban eksploitasi dinamakan kaum Proletar. Faktor prinsip yang membedakan

keduanya adalah perihal kepemilikan modal. Hal ini sangatlah urgent menurut Marxis,
karena dengan modal yang dimiliki Borjuis, membuat mereka mampu mendirikan unitunit produksi yang kemudian pergerakannya disokong oleh kaum Proletar. Karena
Proletar tidak memilki modal, sedangkan mereka membutuhkan uang guna pemenuhan
kebutuhan harian, maka mereka harus mau "mengabdi" kepada Borjuis.
Borjuis sebagai pihak yang diatas akhirnya merasa berhak memainkan segala
aturan yang nantinya harus dipenuhi oleh Proletar. Dari sinilah fenomena ekspoitasi
dimulai. Borjuis mulai menerbitkan aturan yang berorientasi keuntungan mereka pribadi
tanpa mempertimbangkan hak-hak Proletar. Tenaga Proletar dikuras habis guna
memaksimalkan faktor produksi milik Borjuis. Singkatnya kondisi inilah yang disorot
utama oleh Marxis.
Neo-Marxis sendiri hampir identic dengan Marxis. Namun ia melihat kondisi
eksploitasi ini dalam lingkup lebih luas, yakni sistem internasional. Neo-Marxis melihat
bahwa eksploitasi yang terjadi tidaklah sesimpel antara Borjuis VS Proletar dalam
sebuah negara, namun sudah beranjak masuk ke dalam ekspoitasi antar negara dalam
sistem internasional. Oleh karenanya Neo-Marxis membagi dunia ini ke dalam kelaskelas, yakni Negara Core yang berperan sebagai kelas Borjuis, dan Negara Phery-Phery
yang berperan sebagai Proletar. NeoMarxis juga mengklasifikasikan negara SemyPhery
sebagai kelas yang berada di antara Core dan Phery-Phery. Neo-Marxis sangat
mengkritik Liberal karena salah satu instrument yang dihasilkannya, yakni Kapitalisme,
telah berhasil menjadi wahana kendaraan fenomena eksplotasi di arus global.
Bagaimana NeoMarxis melihat krisis yang terjadi di Uni Eropa (UE)?

Neo-Marxis melihat bahwa yang terjadi di Eropa saat ini telah membuktikan
kebenaran asumsi dasarnya. Yakni ekspoitasi oleh Core kepada negara Non-Core.

Melalui aplikasi integrasi bernama Uni eropa (UE), yang sangat berbau liberal, maka
negara-negara Core, yang diambil posisi oleh negara besar seperti Prancis dan Jerman,
leluasa mengeksploitasi negara-negara non-Core seperti Portugal, Spanyol, Italia, dan
tentu saja Yunani. Mereka yang tergabung dalam UE dipaksa mengikuti aturan
liberalisme perdagangan. Sebenarnya ini sangat baik dan ideal untuk diterapkan, namun
dengan catatan bahwa semua negara yang terintegrasi memiliki kemampuan ekonomi
yang hampir serupa. Karena dengan begitu impian Neo-Marxis untuk membentuk
sistem dengan kondisi equal akan terwujud. Namun yang terjadi tidak demikian. Yunani
yang nilai pendapatan perkapitanya hanya mencapai $6340, tentu tidak mampu
menyaingi Perancis yang pendapatan perkapitanya mencapai GNP $20.380, dan juga
Jerman dengan GNP $ 23.650.
Maka tidak bisa dipungkiri bahwa selain kondisi internal Yunani sendiri yang
buruk berupa penumpukan utang dan angka korupsi yang tinggi, kondisi tidak fair
dalam integrasi Uni Eropa ini juga mempengaruhi collapse-nya Yunani saat ini.

SOLUSI NEO-MARXISME
Solusi yang saya tawarkan dalam menangani krisis Yunani berdasarkan

perspektif Neo-Marxisme adalah melalui pengumpulan dana sosial yang diambil dari
iuran wajib masing-masing negara anggota UE selama setahun sekali yang akan
dikumpulkan pada bulan ke-12 tiap tahunnya. Jumlah yang saya tawarkan adalah 0,2%
dari APBN masing-masing negara. dengan sistem persen nantinya akan lebih adil
daripada mematok nilai angka secara pasti. Karena nilai sumbangan akan menyesuaikan
dari jumlah kemampuan negara penyumbang. Sehingga, misalnya, nantinya Jerman atau
Prancis tentu akan menyumbang lebih banyak karena APBN mereka yang besar
dikarenakan kemampuan mereka yang tergolong superior.
Kemudian UE harus membentuk komite khusus yang berposisi sebegai wadah
pengumpulan dan pengelolaan dana sosial ini. Dalam hal ini tidak akan begitu sulit
karena UE telah memiliki institusi yang independen sebelumnya. Institusi ini bisa
dinamakan Europe Social Bank (ESB). Untuk mengisi posisi staf pekerja dalam ESB,

nantinya masing-masing negara UE wajib mengirimkan satu tim ahli. Hal ini untuk
menjaga netralitas ESB sendiri.
Setelah dana sosial terkumpul secara keseluruhan, ESB akan mengalokasikan
70% total dana sosial untuk diberikan kepada negara-negara UE yang terkena krisis.
Dalam memilih negara mana yang akan diberi bantuan dana dan seberapa besar dana
yang akan diberikan, staf ahli ESB akan merapatkan hal tersebut terlebih dahulu agar
dana yang diberikan dapat tepat sasaran. Diharapkan ini akan berlangsung netral karena
staf ahli ESB merupakan kumpulan staf yang terdiri dari perwakilan masing-masing
negara anggota yang memiliki kapasitas yang sama. Dana yang diberikan ini bersifat
Hibah atau pemberian yang tidak wajib untuk dikembalikan. Namun sebagai gantinya
negara penerima akan diberikan Structural Adjustment dari ESB. Structural Adjustment
yang diberikan tentunya dipilih berdasarkan pertimbangan yang matang, dan karena
basic anggota staf ESB berasal dari UE sendiri, maka Structural Adjustment juga akan
sangat mempertimbangkan posisi negara tersebut sebagai anggota negara UE dan
kondisi perekonomian UE saat itu. Hal ini lebih mudah diterima daripada instrument
Strctural Adjustment yang ditawarkan oleh IMF. Karena IMF bukan institusi milik UE
dan berposisi di luar UE.
Dengan dana sosial yang diberikan, harapan idealnya adalah negara krisis
mampu bangkit dari krisisnya dan pelan-pelan mulai menyetarakan diri dengan negara
anggota lainnya. Dan misalnya suatu ketika muncul bibit krisis baru, ESB akan segera
tanggap mencegahnya dengan dana sosial yang dimilikinya sehingga tidak sampai
menimbulkan krisis domino.
Nantinya ketika kondisi krisis dapat teratasi secara baik, bukan berarti ESB akan
dihentikan. Ia akan terus beroperasi. Namun dengan fokus untuk memberikan dana
sosial secara proporsional kepada negara-negara anggota UE. Artinya dana yang ada
akan dibagikan kepada seluruh anggota UE sesuai nilai kebutuhan masing-masing
dengan orientasi untuk menyetarakan kemampuan, minimal secara ekonomi. Jadi
misalnya pada tahun 2020 Yunani akan diberikan dana sebesar 10% dari total dana
sosial sedangkan Jerman hanya diberikan 0,5% atau bahkan tidak diberi sama sekali.
Hal ini karena melihat kemampuan masing-masing negara yang berbeda dalam usaha

penyetaraan kemampuan. Ingat, orientasi dana sosial kali ini bukan untuk penanganan
krisis, namun penyetaraan kemampuan.
Kemudian, pelan tapi pasti. Lama-lama kondisi equal akan dapat tercapai. Tidak
akan ada lagi klasifikasi kelas dalam UE. Istilah Core, SemyPhery dan Phery-Phery
akan hilang. Karena masing-masing negara telah memilki kemampuan yang sama.
Liberalisasi Ekonomi sudah tidak lagi berorientasi ekspolitasi, namun kondisi saling
memenuhi dan melengkapi yang semua itu terangkum dalam sistem Uni Eropa yang
terintegrasi. Di sinilah Neo-Marxis mulai berjaya.
Nah, alokasi dana penanganan krisis tadi hanya 70%, lalu ke mana yang 30%?
Jawabannya adalah untuk ditawarkan kepada negara-negara luar UE, namun bukan
dalam status hibah, tapi hutang. Dari bunga yang dihasilkan dari pemberian hutang ini
dapat dijadikan sumber pemasukan bag ESB sendiri.
Lalu, jika ada yang mengkritik bahwa pendirian ESB ini sangat bersifat liberal
karena sedikit berbau kapitalisme dan jauh dari esensi Neo-Marxis sendiri. Satu hal
yang perlu ditegaskan lagi adalah, Neo-Marxis melihat kondisi kapitalisme adalah satu
tahap yang harus dilalui oleh dunia, dalam hal ini UE, guna meraih satu titik impian
tertinggi Neo-Marxis, yakni Sosialisme. Dengan kata lain, solusi yang saya tawarkan
memang tidak berjalan di atas rute Neo-Marxis dalam prosesnya, namun lebih
memberatkan pada hasil pencapain yang sesuai diharapkan oleh Neo-Marxis. Karena
jika harus mengacu pada Neo-Marxis, baik dalam proses maupun hasil, hal itu sangat
mustahil dan utopis. Zaman sekarang, apa ada orang yang mau memberikan uang secara
cuma-cuma tanpa tujuan terselubung? Jawabannya satu, Bulshit.

SOLUSI NEO-MARXIS DALAM KRISIS UNI EROPA

TUGAS
Disusun untuk memenuhi tugas UAS kuliah semester pendek mata kuliah
Teori Hubungan Internasional I

Oleh :
Ahmad Syafiqul Umam / 105120400111011

Program Studi Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
Malang
2012