Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan kepala
PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM
KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN
(Kajian dari Perspektif Agama, Filosofis, Psikologis, dan
Sosiologis)
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Landasan Agama, Filosofi,
Psikologi, dan Sosiologi dari Kepemimpinan Pendidikan
DOSEN :
PROF. DR. H. ISHAK ABDULHAK
PROF. DR. H. SOFYAN SAURI, M.Pd
Oleh :
ASEP WAHYU
NIM. 4103810413003
DENNY KODRAT
NIM. 4103810413007
SLAMET
NIM. 4103810413018
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
2014
BAB I
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Organisasi pendidikan merupakan organisasi yang unik. Karena
keunikannya, lembaga pendidikan tidak dapat disejajarkan dengan
lembaga-lembaga atau organisasi lainnya. Keunikannya terletak dari
misinya sebagai lembaga pencetak manusia-manusia yang memiliki
kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan tertentu agar dapat hidup
sebagai manusia yang produktif dan beradab. Karena keunikannya itu
pulalah, lembaga pendidikan harus diselenggarakan dan dikelola oleh
lembaga dan orang-orang yang berkompeten.
Penyelenggara pendidikan, baik pemerintah, pemerintah daerah
maupun komunitas masyarakat (yayasan) harus memiliki kemampuan
yang handal dalam hal penyusunan dan pengembangan kurikulum,
penyediaan sarana dan prasarana, pengadaan tenaga pendidikan dan
tenaga kependidikan, kemampuan pendanaan dan berbagai hal yang
menjadi
standar
nasional
pendidikan.
Hal
ini
penting,
sehingga
penyelenggaraan pendidikan tidak mengabaikan kualitas.
Selain penyelenggara, unsur pengelola pendidikan (manajemen
sekolah) memiliki peran yang tidak kalah penting. Ia berada pada garis
depan (front office line) yang bertanggungjawab menyelenggarakan
proses pembelajaran. Di bawah kewenangannya, proses pembelajaran
dan bagaimana kualitas dari proses tersebut terjadi. Disinilah sejatinya
proses tranfer nilai (transfer of values) melalui proses imitasi, pewarisan
budaya, hingga proses pembentukan pengetahuan dan keterampilan
terjadi dengan memadai ataukah tidak memadai. Oleh karenanya,
pemahaman
pengelola
pendidikan
terhadap
tujuan
dan
fungsi
pendidikan akan sangat menentukan kualitas lembaga pendidikan yang
dikelolanya.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
2
Era desentralisasi dan otonomi daerah telah membawa implikasi
besar
terhadap
Kewenangan
penyelenggaraan
penyelenggaraan
dan
pengelolaan
pendidikan
dasar
pendidikan.
dan
menengah
(kecuali madrasah) berdasarkan PP No. 38 tahun 2007 didelegasikan
kewenangan
penyelenggaraannya
kepada
pemerintah
daerah
kabupaten/kota. Hanya Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah yang berada pada perbatasan
kabupaten/kota
berada
dalam
kewenangan
pemerintah
provinsi.
Sementara itu, pemerintah pusat berperan dalam menetapkan standar
penyelenggaraan pendidikan, yang meliputi : standar kompetensi
lulusan (SKL), standar isi, standar penilaian, standar pendidik dan
tenaga
kependidikan,
standar
pembiayaan,
standar
prasarana, standar pengelolaan, serta standar proses
sarana
dan
di jenjang
pendidikan dasar dan menengah.
Penyelenggara pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) di
Kabupaten/kota dilaksanakan oleh dinas
pendidikan, meski pada
kenyataannya, dinas pengelola pendidikan ini diberi pula tanggung
jawab mengelola urusan lain, seperti urusan pemuda, olah raga,
kebudayaan,
bahkan
pariwisata.
Oleh
karenanya,
dalam
penyelenggaran pendidikan di tingkat messo, dibutuhkan pula birokrasi
penyelenggara pendidikan yang kompeten. Penempatan personil, mulai
dari pimpinan hingga pelaksana dan pengelola pendidikan di satuansatuan
pendidikan,
harus
benar-benar
memperhatikan
aspek
kompetensi. Prinsip merit system dan the right man on the right place
perlu secara konsisten diimplementasikan.
Pimpinan dinas yang menyelenggarakan
pendidikan
di
kabupaten/kota dan pimpinan satuan pendidikan harus memiliki jiwa
kepemimpinan (leadership). Tead, Terry, Hoyt (dalam Kartono, 2003)
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
3
menyatakan
bahwa
kepemimpinan
adalah
kegiatan
atau
seni
mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada
kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam
mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Itu berarti bahwa
dalam diri seorang pemimpin harus memiliki kelebihan dibandingkan
pengikutnya, kelebihan yang utama adalah kemampuannya untuk
mengarahkan
agar pengikutnya tetap melaksanakan kegiatan sesuai
dengan tujuan-tujuan organisasi.
Dari sudut pandang penyelenggaraan pendidikan dewasa ini,
kepemimpinan menjadi sangat penting dan cenderung menyisakan
permasalahan, terutama bila dipandang dari 2 (dua) hal, pertama
adanya
kenyataan
bahwa
penggantian
pemimpin
(suksesi
kepemimipinan) seringkali mengubah kinerja suatu unit, instansi atau
organisasi; kedua, hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan
menjadi salah satu faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan
organisasi,
namun
pada
kenyataannya dipandang
tidak
penting.
Sehingga yang terjadi adalah organisasi memiliki pemimpin/kepala
namun gagal dalam menghadirkan leadership (Yukl, 1989). Hasil
penelitian tersebut membuktikan adanya jargon “ganti pimpinan, ganti
kebijakan”, bahkan sampai hal-hal teknis seperti ganti tata ruang
kantor, ganti kursi, atau ganti warna dinding, bukan sistem yang
bekerja.
Dalam perspektif religi, Rasulullah Saw mengingatkan bahwa
setiap orang adalah pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri,
hal ini sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits :
الحديث " متفق عليه...م " كللكم راعع وكللكم مسئول عن رعليته. قال رسول الله ص:ع قال.عن ابن عمر ر
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
4
Artinya: “Dari Ibnu Umar R.a ia berkata: bersabda Rasulullah saw
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan ditanya tentang
kepemimpinan kalian… al-hadits” (HR.Mutafaq `alaih).
Namun, terkadang manusia lupa tentang peranan dia sebagai
seorang pemimpin dan terkadang dia tidak tahu bahwa kelak dia akan
dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.
Adapula
manusia yang ditakdirkan menjadi seorang pemimpin tapi ia tidak tahu
apa yang harus diperbuat sebagai seorang pemimpin. Disinilah
diperlukan
pengetahuan
dan
keilmuan
tentang
kepemimpinan,
sehingga seseorang yang ditakdirkan menjadi pemimpin tidak gagap
dan
bingung
dengan
jabatannya
sehingga
dapat
menunaikan
amanahnya.
Sekurang-kurangnya terdapat tiga masalah mendasar yang
menandai
kekurangan
ini.
Pertama,
adanya
krisis
komitmen.
Kebanyakan orang tidak merasa mempunyai tugas dan tanggung jawab
untuk memikirkan dan mencari pemecahan masalah kemaslahatan
bersama, masalah harmoni dalam kehidupan dan masalah kemajuan
dalam kebersamaan. Kedua, adanya krisis kredibilitas. Sangat sulit
mencari pemimpin atau kader pemimpin yang mampu menegakkan
kredibilitas tanggung jawab. Kredibilitas itu dapat diukur misalnya
dengan kemampuan untuk menegakkan etika, memikul amanah, setia
pada kesepakatan dan janji, bersikap teguh dalam pendirian, jujur
dalam memikul tugas dan tanggung jawab yang dibebankan padanya,
kuat iman dalam menolak godaan dan peluang untuk menyimpang.
Ketiga, masalah kebangsaan dan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Saat ini tantangannya semakin kompleks dan rumit.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
5
Kepemimpinan sekarang tidak cukup lagi hanya mengandalkan
pada bakat atau keturunan. Pemimpin zaman sekarang harus belajar,
banyak
membaca,
dan
memiliki
pengetahuan
mutakhir
serta
pemahaman mengenai berbagai soal yang menyangkut kepentingan
orang-orang yang dipimpin. Selain itu, pemimpin harus memiliki
kredibilitas dan integritas, mampu bertahan (survive) dalam berbagai
macam
kondisi
yang
cepat
berubah,
serta
melanjutkan
misi
kepemimpinannya. Jika tidak memiliki kemampuan tersebut, pemimpin
tersebut hanya akan menjadi karikatur dan tertawaan dalam kurun
sejarah di kelak kemudian hari.
Sementara itu, permasalahan lain dalam kepemimpinan adalah
dalam proses pengambilan keputusan. Permasalahan yang muncul
dalam pengambilan keputusan menjadi persoalan yang tidak mudah
bagi seorang pemimpin. Persoalan ego, kepentingan, kondisi bawahan,
materi keputusan menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi seorang
pemimpin
dalam
mengambil
keputusan.
Pemimpin
harus
berani
mengambil keputusan terhadap kebijakan tertentu sesuai dengan
mekanisme dan ketentuan yang ada.
Pengambilan keputusan pada dasarnya tidak dapat didelegasikan
kepada pengikut atau pegawai di bawahnya. Sebab konsekuensi dari
keputusan tetap berada di level pemimpin.
Stoner (2003:205)
memandang pengambilan keputusan sebagai proses pemilihan suatu
arah tindakan sebagai cara untuk memecahkan sebuah masalah
tertentu.
Siagian
(1993:24)
mengartikan
pengambilan
keputusan
sebagai usaha sadar untuk menentukan satu alternatif dari berbagai
alternatif untuk memecahkan masalah.
Beberapa peluang masalah
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
6
dapat muncul dalam proses pengambilan keputusan ini disebabkan
beberapa
aspek,
diantaranya:
pertama,
pembuat
keputusan
(pemimpin) merupakan manusia dengan kompleksitas karakteristiknya.
Kedua, pembuat keputusan dalam organisasi pendidikan berhadapan
dengan manusia, mengurusi urusan manusia, bukan berhubungan
dengan mesin yang hanya berhubungan secara mekanis. Ketiga,
pembuat keputusan dihadapkan pula dengan sistem nilai (values) yang
hidup dalam organisasi tersebut serta dalam masyarakat. Walhasil
proses pengambilan keputusan itu sejatinya bukanlah hal yang
sederhana, melainkan hal yang komplek dan rumit. Disinilah kehadiran
leadership itu diperlukan.
Dalam makalah singkat ini, akan dibahas “Pengambilan
Keputusan
dalam
Kepemimpinan
Pendidikan
Kajian
dari
Presfektif Agama, Filosofis, Psikologis,dan Sosiologis”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditetapkan perumusan
masalah sebagai berikut ini.
1. Bagaimanakah
pengambilan
keputusan
dalam
kepemimpinan
pendidikan ditinjau dari perspektif agama?
2. Bagaimanakah pengambilan keputusan
dalam
kepemimpinan
pendidikan ditinjau dari perspektif filsafat?
3. Bagaimanakah pengambilan keputusan
dalam
kepemimpinan
pendidikan ditinjau dalam perspektif psikologis?
4. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam
kepemimpinan
pendidikan ditinjau dalam perspektif sosiologi?
C. Tujuan
Secara umum makalah ini bertujuan untuk
1. mengetahui
pengambilan keputusan
dalam
kepemimpinan
pendidikan ditinjau dari perspektif agama.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
7
2. mengetahui
pengambilan
keputusan
dalam
kepemimpinan
pendidikan ditinjau dari perspektif filsafat .
3. mengetahui
pengambilan
keputusan
dalam
kepemimpinan
pendidikan ditinjau dalam perspektif psikologis.
4. mengetahui
pengambilan
keputusan
dalam
kepemimpinan
pendidikan ditinjau dalam perspektif sosiologi.
Adapun secara khusus, makalah ini bertujuan untuk
1. mengetahui penerapan pengambilan keputusan dalam lingkup
messo dan mikro pendidikan menurut perspektif agama, filosofis,
psikologis dan sosiologis.
2. memenuhi salah satu tugas perkuliahan landasan agama, filosofi,
psikologi dan sosiologi dari kepemimpinan pendidikan.
5. Manfaat
Secara teoritis makalah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
manajemen khususnya menyangkut kepemimpinan dan pengambilan
keputusan. Selain itu, makalah ini menelaah berbagai macam teori
pengambilan keputusan dalam kepemimpinan ditinjau dari perspektif
agama, filosofis, psikologis dan sosiologi.
Adapun secara praktis, makalah ini bermanfaat bagi pembacanya
dalam meningkatkan kualitas kepemimpinan terutama dalam hal
pengambilan
keputusan
sebagai
pengelola
maupun
sebagai
penyelenggara organisasi pendidikan.
6. Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan pendekatan deduktif yakni melalui
metode studi kepustakaan, baik pada buku-buku, artikel jurnal, atau
pada online yang membahas mengenai kepemimpinan, pengambilan
keputusan, serta landasan-landasan dalam pengambilan keputusan.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
8
BAB II
PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN
A. Kepemimpinan Pendidikan
Secara berturut-turut pada bagian ini akan dibahas berbagai macam
teori dan pendapat berkenaan dengan pengertian kepemimpinan, teori
kepemimpinan, tipe
kepemimpinan, kepemimpinan partisipatif dari
aspek agama, filosofis, psikologis dan sosiologis.
1. Pengertian Kepemimpinan
Pengertian kepemimpinan
sangat
beragam.
Setiap
ahli
mengemukakan pengertiannya berdasarkan cara pandangnya masingmasing. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Koontz, O’Donnel &
Weihrich (1990:147) yang mendefinisikan kepemimpinan
sebagai
pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga
mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemauan
dan antusias. James. M Black dalam bukunya Management, A guide to
Executive Command menulis
bahwa “Leadership is capatibilty of
persuading others to work together undertheir direction as a team to
accomplish certain designated objectives”
(kepemimpinan adalah
kemampuan meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah
pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai atau melakukan suatu
tujuan tertentu).
Demikian
pula,
Kartono
(2005:187)
mendefinisikan
kepemimpinan sebagai satu bentuk dominasi yang didasari oleh
kapabilitas/kemampuan
pribadi,
yaitu
mampu
mendorong
dan
mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan
bersama. Sedangkan Stoner, Freeman dan Gilbert (1996) sebagaimana
dikemukakan oleh Kambey (2003:125) mendefinisikan kepemimpinan
manajerial sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas
yang berkaitan dengan tugas dari anggota kelompok. Sementara itu,
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
9
Rost (dalam Safira, 2004:3) mendefinisikan kepemimpinan sebagai
sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan
pengikut atau bawahan yang menginginkan perubahan nyata yang
mencerminkan tujuan bersamanya. Sedangkan Robbins (2003: 432)
mendefinisikan
kepemimpinan
sebagai
kemampuan
untuk
mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Selanjutnya
Gibson,
Ivancevich
dan
Donnely
(1991:334)
mendefinisikan
kepemimpinan sebagai suatu upaya penggunaan jenis pengaruh bukan
paksaan untuk memotivasi orang-orang mencapai tujuan tertentu.
Adapun Tead, Terry, Hoyt (dalam Kartono, 2003) berpendapat
bahwa kepemimpinan adalah kegiatan atau seni mempengaruhi orang
lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang
tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan
yang diinginkan kelompok. Menurut Young (dalam Kartono, 2003)
kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan
pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk
berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan
memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.
Moejiono (2002) memandang bahwa leadership sebenarnya
sebagai akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki
kualitas-kualitas
tertentu
yang
membedakan
dirinya
dengan
pengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance induction theorists)
cenderung
memandang
leadership sebagai
pemaksaan
atau
pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana untuk
membentuk kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin.
Abdulrachman (2004:16) berpendapat bahwa: "tidak semua
pemimpin akan dapat mempengaruhi dan menggerakkan orang lain
dalam rangka mencapai suatu tujuan secara efektif dan efisien, sebab
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
10
orang lain baru dapat dipengaruhi/digerakkan jika: (1) Ada kemampuan
pada pemimpin untuk menggunakan teknik kepemimpinan; (2) Ada
sifat-sifat khusus pada pemimpin yaitu sifat-sifat kepemimpinan yang
mempengaruhi jiwa orang-orang sehingga kagum dan tertarik pada
pemimpin tersebut".
Dengan
demikian,
untuk
mampu
mempengaruhi
atau
menggerakkan orang lain agar dengan penuh kesadaran dan senang
hati bersedia melakukan dan mengikuti kehendak pemimpin, maka
pemimpin harus memiliki kemampuan dan memiliki sifat-sifat khusus.
Sedangkan sifat-sifat yang harus dimiliki pemimpin menurut Harold
Koontz dan Cyrill O’Donnell (1990:21), yaitu:
a. Memiliki kecerdasan melebihi orang-orang yang dipimpinnya.
b. Mempunyai perhatian terhadap kepentingan yang menyeluruh.
c. Mantap dalam kelancaran berbicara.
d. Mantap berpikir dan emosi.
e. Mempunyai dorongan yang kuat dari dalam untuk memimpin
f. Memahami kepentingan tentang kerjasama.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang
untuk mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan orang lain agar
dengan penuh pengertian, kesadaran dan senang hati bersedia
mengikuti kehendaknya tersebut untuk mewujudkan suatu tujuan
bersama.
2. Teori-Teori tentang Kepemimpinan
Secara
singkat
dapat
dikemukakan
bahwa
teori
tentang
kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam tiga pendekatan, yaitu:
pendekatan sifat, pendekatan perilaku, dan pendekatan situasional
(Lunenburg & Ornstein,1991:129-153, Handoko, 2001:295; Gomes-Mejia
& Balkin, 2002: 290-312 2002, Wirjana & Supardo, 2005:13).
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
11
a. Pendekatan Sifat.
Teori pendekatan sifat memusatkan perhatian pada diri para
pemimpin itu sendiri, oleh karena itu teori ini lebih dikenal sebagai teori
pembawaan. Dalam teori ini disebutkan bahwa pemimpin memiliki ciriciri atau sifat-sifat tertentu yang menyebabkan ia dapat memimpin para
pengikutnya. Sifat-sifat tertentu itu menurut Ghiseli (1971) seperti yang
dikutip oleh Handoko (2001:297) antara lain: (1) kemampuan sebagai
sebagai pengawas, (2) kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, (3)
kecerdasan, (4) ketegasan, (5) kepercayaan diri, (6) inisiatif.
Sedangkan Davis menyimpulkan 4 (empat) ciri/sifat utama yang
mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan organisasi,
yaitu : (1) kecerdasan, (2) kedewasaan dan keluasan hubungan sosial,
(3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4) sikap-sikap
hubungan manusiawi.
b. Pendekatan Perilaku.
Pendekatan perilaku mencoba mengoreksi pendekatan sifat.
Menurut
pendekatan
perilaku,
pendekatan
sifat
tidak
dapat
menjelaskan apa yang menyebabkan kepemimpinan itu efektif. Oleh
karenanya, pendekatan perilaku tidak lagi berdasarkan pada sifat
seorang
pemimpin
dilakukan
oleh
mendelegasikan
melainkan
pemimpin
tugas,
mencoba
menentukan
apa
efektif,
seperti
bagaimana
bagaimana
mereka
berkomunikasi
yang
mereka
dan
memotivasi bawahan, bagaimana mereka menjalankan tugas-tugas dan
sebagainya.
Aspek perilaku kepemimpinan menekankan fungsi-fungsi yang
dilakukan pemimpin dalam kelompoknya. Agar kelompok berjalan
efektif, seseorang harus melaksanakan dua fungsi utama, yaitu (1)
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
12
fungsi-fungsi yang berhubungan dengan tugas (task-related) atau
pemecahan masalah, dan (2) fungsi-fungsi pemeliharaan kelompok
(Group-maintenance) atau sosial.
Fungsi pertama menyangkut pemberian saran penyelesaian,
informasi, dan pendapat. Fungsi kedua mencakup segala sesuatu yang
dapat
membantu
kelompok
berjalan
lebih
lancar,
memperoleh
persetujuan kelompok lain, penengahan perbedaan pendapat dan
sebagainya.
Selain itu, perilaku kepemimpinan juga dapat dilihat dari gaya
pemimpin dalam hubungannya dengan bawahan. Ada dua orientasi
gaya kepemimpinan yakni:
(1) gaya orientasi tugas (task oriented);
(2) gaya orientasi karyawan (employe-oriented).
Seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan berorientasi tugas akan
berusaha mendorong bawahannya melaksanakan tugas yang sesuai
dengan keinginannya. Jadi pelaksanaan pekerjaan lebih penting dari
pengembangan dan pertumbuhan karyawan. Sedangkan pemimpin
yang berorientasi pada karyawan lebih melihat karyawan secara
manusiawi,
sehingga
mereka
akan
selalu
memberikan
motivasi,
melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan, menciptakan
persahabatan dan saling menghormati.
c. Pendekatan Situasional.
Banyak penelitian mengindikasikan bahwa tidak ada satupun
gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap pemimpin untuk berbagai
kondisi. Oleh karenanya, lahirlah pendekatan situasional. Pendekatan ini
didasarkan pada keyakinan bahwa para pemimpin dalam menjalankan
kepemimpinannya, terutama pada aktifitas pengambilan keputusan,
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
13
Pendekatan situasional menekankan bahwa gaya kepemimpinan
sangat bergantung pada faktor-faktor seperti situasi, karyawan, tugas,
organisasi dan variabel-variabel lingkungan lainnya. Stogdill et.al,
(1956) sebagaimana dikemukakan oleh Koontz, O’Donnel & Wehirich
(1990:158-259)
mengatakan
bahwa
faktor-faktor
situasi
yang
mempengaruhi seorang pemimpin adalah pekerjaan yang sedang
ditangani, lingkungan organisasi, dan karakteristik orang yang mereka
hadapi. Sedangkan Fiedler (1974) mengemukakan ada tiga dimensi
utama
dalam
situasi
kepemimpinan
yang
mempengaruhi
gaya
pemimpin yang efektif yakni (1) kekuasaan posisi, (2) struktur tugas
dan (3) hubungan pemimpin-anggota. Reksohadiprodjo & Handoko
(2001:289) mencatat bahwa penemuan Fiedler menunjukkan bahwa
dalam
situasi
yang
sangat
menguntungkan
atau
sangat
tidak
menguntungkan, tipe pemimpin yang beorientasi pada tugas atau
pekerjaan
adalah
sangat
efektif.
Akan
tetapi
bila
situasi
yang
menguntungkan atau tidak menguntungkan hanya tipe pemimpin
hubungan manusiawi akan sangat efektif.
Teori lain tentang kepemimpinan situasional adalah Teori HerseyBlanchard.
Menurut
Siagian
(2003:139)
pada
intinya
teori
ini
menekankan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung
pada dua hal, yaitu pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat untuk
menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan (kedewasaan)
yang dipimpin. Dua dimensi kepemimpinan yang digunakan dalam teori
ini ialah perilaku seorang pimpinan yang berkaitan dengan tugas
kepemimpinannya dan hubungan atas-bawahan atau patron – client.
Tergantung pada orientasi
tugas kepemimpinan dan sifat hubungan
atasan dan bawahan yang digunakan, gaya kepemimpinan yang timbul
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
14
dapat mengambil empat bentuk, yaitu : memberitahukan, menjual,
mengajak bawahan berperan serta dan pendelegasian.
3. Gaya Kepemimpinan
Perilaku pemimpin dalam memimpin organisasi disebut juga gaya
kepemimpinan (Style of Leadership ). Setiap pemimpin memiliki
gayanya sendiri dalam memimpin. Oleh karenanya banyak penelitian
tentang gaya kepemimpinan seseorang.
Berbagai gaya kepemimpinan telah diteliti dan ditemukan bahwa
setiap pemimpin telah diteliti dan ditemukan bahwa setiap pemimpin
bisa mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda antara yang satu
dengan yang lain, dan tidak mesti suatu gaya kepemimpinan yang satu
lebih baik atau lebih jelek daripada gaya kepemimpinan yang lainya.
Studi kepemimpinan yang dilakukan oleh Universitas Ohio dan
Universitas Michigan maupun yang dilakukan oleh Tannenbaum dan
Schmidt
seperti
dikutip
oleh
Wahjosumidjo
(2001:40)
semuanya
berusaha mencari gaya kepemimpinan yang efektif. Berkaitan dengan
masalah gaya kepemimpinan, Ngalim Purwanto (1992, 48-50) membagi
tiga gaya kepemimpinan yang pokok yaitu gaya kepemimpinan
Otokratis, Demokratis, Laissez faire.
a. Gaya Kepemimpinan Otokratis
Gaya kepemimpinan Otokratis ini meletakkan seorang pemimpin
sebagai
sumber
kebijakan.
Pemimpin
merupakan
segala-galanya.
Bawahan dipandang sebagai orang yang melaksanakan perintah. Oleh
karena itu bawahan-bawahan hanya menerima instruksi saja dan tidak
diperkenankan membantah maupun mengeluarkan ide atau pendapat.
Dalam posisi demikian anggota atau bawahan tidak terlibat dalam soal
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
15
keorganisasian.
Pada
tipe
kepemimpinan
ini
segala
sesuatunya
ditentukan oleh pemimpin sehingga keberhasilan organisasi terletak
pada pemimpin. Pada gaya kepemimpinan ini terjadi dominasi yang
berlebihan mudah menghidupkan oposisi atau menimbulkan sifat
apatis, atau sifat-sifat pada anggota-anggota kelompok terhadap
pemimpinnya.
b. Gaya Kepemimpinan Demokratis
Gaya kepemimpinan ini memberikan
tanggung
jawab
dan
wewenang kepada semua pihak, sehingga mereka ikut terlibat aktif
dalam organisasi. Anggota diberi kesempatan untuk memberikan usul
serta saran dan kritik demi kemajuan organisasi. Gaya kepemimpinan
ini
memandang
bawahan
sebagai
bagian
dari
keseluruhan
organisasinya, sehingga bawahan mendapat tempat sesuai dengan
harkat dan martabatnya sebagai manusia. Pemimpin mempunyai
tanggung jawab dan tugas untuk mengarahkan, mengontrol dan
mengevaluasi serta mengkoordinasi.
Kepemimpinan demokratis senantiasa melibatkan partisipasi
bawahan atau pengikutnya untuk mengambil keputusan. Oleh karena
itu, gaya kepemimpinan demokratis kerap disebut dengan gaya
kepemimpinan partisipatif. Pemimpin tipe seperti ini kerap menjalankan
kepemimpinan
dengan
konsultasi.
Ia
tidak
mendelegasikan
wewenangnya untuk membuat keputusan akhir dan untuk memberikan
pengarahan tertentu kepada bawahanya. Tetapi ia mencari berbagai
pendapat dan pemikiran dari pada bawahanya mengenai keputusan
yang akan diambil. Ia akan secara serius mendengarkan dan menilai
pikiran-pikiran para bawahanya dan menerima sumbangan pikiran
mereka . Sejauh pemikiran tersebut bisa dipraktekkan .
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
16
Pemimpin dengan gaya partisipatif akan mendorong kemampuan
mengambil
keputusan
dari
bawahannya
sehingga
pikiran-pikiran
mereka akan selalu meningkat dan makin matang. Para bawahannya
juga didorong agar meningkatkan kemampuan mengendalikan diri dan
menerima tanggung jawab yang lebih besar. Pemimpin akan lebih
“supportive” dalam kontak dengan para bawahan dan bukan menjadi
bersikap diktator. Meskipun tentu saja, wewenang terakhir dalam
pengambilan keputusan terletak pada pimpinan.
Pemimpin
yang
demokratis
selalu
berusaha
menstimulasi
anggota-angotanya agar bekerja secara produktif untuk mencapai
tujuan bersama. Dalam tindakan dan usaha-usahanya, ia selalu
berpangkal pada kepentingaan dan kebutuhan kelompoknya, dan
memperimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.
c. Gaya Kepemimpinan Laissez faire
Pada prinsipnya, gaya kepemimpinan ini memberikan kebebasan
mutlak kepada para bawahan. Semua keputusan dalam pelaksanaan
tugas dan pekerjaan diserahkan sepenuhnya kepada bawahan. Dalam
hal ini pemimpin bersifat pasif dan tidak memberikan contoh-contoh
kepemimpinan (Purwanto,1992:48)
Pemimpin
mendelegasikan
wewenang
untuk
mengambil
keputusan kepada para bawahannya dengan agak lengkap. Pada
prinsipnya pimpinan akan mengatakan “inilah pekerjaan yang harus
saudara lakukan. Saya tidak peduli bagaimana kalau mengerjakannya,
asalkan pekerjaan tersebut bisa diselesaikan dengan baik “. Disini
pimpinan menyerahkan tanggung jawab atas pelaksanaan pekerjaan
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
17
tersebut
kepada
para
bawahannya.
Dalam
konteks
pimpinan
menginginkan agar para bawahannya bisa mengendalikan diri mereka
sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. Pimpinan tidak akan
membuat peraturan-peraturan tentang pelaksanaan pekerjaan tersebut
dan hanya para bawahan dituntut untuk memiliki kemampuan/keahlian
yang tinggi.
Dari beberapa gaya kepemimpinan tersebut akan mempunyai
tingkat efektivitas yang berbeda-beda, tergantung pada faktor yang
mempengaruhi
perilaku
pemimpin.
Seorang
pemimpin
dalam
menjalankan kepemimpinannya sangat dipengaruhi oleh faktor, baik
yang berasal dari dalam diri pribadinya maupun faktor yang berasal
dari luar individu pemimpin tersebut. Sifat dasar kepemimpinan yang
harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kepemimpinan yang
demokratis atau kepemimpinan partisipatif. Pemimpin demokratis akan
mampu mengambil keputusan sendiri dalam situasi tertentu. Jangan
ditafsirkan
bahwa
kepemimpinan
demokratis
selalu
meminta
pertimbangan bawahan untuk semua hal.
4. Kepemimpinan Partisipatif
Kalau dicermati kepemimpinan partisipatif muncul dari beberapa
teori kepemimpinan maupun dari berbagai studi dan penelitian tentang
kepemimpinan. Di antaranya adalah teori Path-Goal (jalan-tujuan). Teori
ini menganalisa pengaruh (dampak) kepemimpinan (terutama perilaku
pemimpin) terhadap motivasi bawahan, kepuasan, dan pelaksanaan
kerja. Teori path-goal memasukkan empat tipe atau gaya pokok perilaku
pemimpin
yaitu
kepemimpinan
direktif,
kepemimpinan
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
suportif,
18
kepemimpinan
partisipatif,
dan
kepemimpinan
orientasi-prestasi
(Lunenburg & Ornstein, 1991: 143-144; Reksohadiprojo dan Handoko,
2001:289-290). Menurut teori ini kepemimpinan partisipatif adalah
pemimpin meminta dan menggunakan saran-saran bawahan, tetapi
masih
membuat
keputusan.
Kebanyakan
studi
dalam
organisasi
menyimpulkan bahwa dalam tugas-tugas yang tidak rutin karyawan
lebih puas di bawah pimpinan yang partisipatif daripada pemimpin yang
non partisipatif.
Kepemimpinan
partisipatif
menyangkut
usaha-usaha
oleh
seorang manajer untuk mendorong dan memudahkan partisipasi orang
lain dalam pengambilan keputusan yang jika tidak akan dibuat
tersendiri oleh manajer tersebut (Yukl, 1998:132). Kepemimpinan ini
mencakup aspek-aspek kekuasaan seperti bersama-sama menanggung
kekuasaan, pemberian kekuasaan dan proses-proses mempengaruhi
yang timbal-balik. Sedangkan yang menyangkut aspek-aspek perilaku
kepemimpinan seperti prosedur-prosedur spesifik yang digunakan untuk
berkonsultasi dengan orang lain untuk memperoleh gagasan dan saransaran, serta perilaku spesifik yang digunakan untuk proses pengambilan
keputusan dan pendelegasian kekuasaan.
B. Landasan Agama, Filosofis, Psikologis, dan Sosiologis
1. Landasan Agama
Secara teologis, agama Islam telah menggariskan bahwa apabila
pemimpin akan mengambil keputusan diusahakan sejauh mungkin
dengan lemah lembut, bersiap untuk memaafkan, bermusyawarah dan
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
19
apabila keputusan telah diambil maka terhadap keputusan itu harus
patuh sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Imran ayat 159 di bawah
ini.
"Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemahlembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah
mereka,
mohonkanlah
ampun
bagi
mereka,
dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya." (QS Ali-Imran: 159)
Musyawarah merupakan jalan yang baik untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang pelik, baik persoalan keluarga, kelompok,
bangsa atau persoalan apapun yang perlu segera dicarikan jalan keluar
sebagai pemecahannya. Dengan musyawarah maka orang-orang yang
ikut bermusyawarah merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Maka musyawarah sesungguhnya bentuk partisipatif anggota organisasi
dalam pengambilan keputusan.
Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang
amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga
dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian Al-Qur’an dan Hadist yang
memerintahkan
atau
menganjurkan
umat
pemeluknya
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
supaya
20
bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka
hadapi.
Dalam hal menyelesaikan urusan rumah tangga, Islam memberikan
petunjuk senagaimana tersurat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 233.
Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka
(sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara
mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)
Sesungguhnya
seharusnya
relasi
makna
suami-
ayat
istri
ini
saat
membicarakan
mengambil
bagaimana
keputusan
yang
berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak dilakukan. Di dalam
menyapih
anak
dari
menyusu
ibunya
kedua
orang
tua
harus
mengadakan musyawarah. Menyapih anak itu tidak boleh dilakukan
tanpa
ada
musyawarah.
Seandainya
salah
dari
keduanya
tidak
menyetujui, maka orang tua itu akan berdosa karena ini menyangkut
dengan kemaslahan anak tersebut. Jadi pada ayat di atas, al-Qur’an
memberi petunjuk agar setiap persoalan rumah tangga termasuk
persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami istri.
Musyawarah
itu
di
pandang
penting,
antara
lain
karena
musyawarah merupakan salah satu alat yang mampu mempersatukan
sekelompok orang atau umat di samping sebagai salah satu sarana
untuk menghimpun atau mencari pendapat yang lebih dan baik.
Adapun bagaimana sistem permusyawaratan itu harus dilakukan,
baik Al-Qur’an maupun Hadis tidak memberikan penjelasan secara
khusus. Oleh karena itu sistem permusyawaratan yang akan dipakai
sepenuhnya diserahkan kepada umat sesuai dengan cara yang mereka
anggap baik.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
21
Para ulama berbeda pendapat mengenai obyek yang menjadi
kajian dari permusyawaratan itu sendiri, adakah permusyawaratan itu
hanya dalam soal-soal keduniawian dan tidak tentang masalah-masalah
keagamaan? Sebagian dari mereka berpendapat bahwa musyawarah
yang dianjurkan atau diperintahkan dalam Islam itu khusus dalam
masalah-masalah yang diperbolehkan untuk dimusyawarahkan bukan
persoalan-persoalan yang sudah jelas hukumnya. Dalam sejarah
Rasulullah,
beliau
Saw
tidak
pernah
memberikan
contoh
memusyawarahkan status hukum khamar yang sudah jelas haram.
Tetapi Rasulullah Saw memberikan contoh memusyawarahkan teknis
penyergapan musuh dalam perang Badar.
Dengan kata lain, untuk persoalan-persoalan pokok (ushul) yang
sudah jelas hukum halal dan haramnya, umat Islam tidak bisa
melakukan musyawarah untuk mengubah status hukum tersebut,
misalnya dari status hukum halal berubah menjadi halal, dan sebalik.
Namun
musyawarah
dilakukan
untuk
persoalan-persoalan
dalam
domain teknis atau untuk mencari pendapat dan saran yang kuat. Oleh
karenanya, dalam konteks ini, para sahabat Rasulullah Saw sebelum
mereka mengeluarkan pendapat kepada beliau Saw selalu bertanya
dulu apakah pendapat Rasulullah itu merupakan wahyu atau pendapat
pribadi beliau yang masih memungkinkan untuk diberi saran. Bila
pendapat tersebut adalah wahyu, para shahabat melakukan sami’na wa
atha’na. Namun, bila pendapat tersebut bukan wahyu, para shahabat
banyak memberikan pendapat kepada Nabi Muhammad Saw.
2. Landasan Filosofis
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
22
Landasan filosifis mengandung makna bahwa dalam melakukan
suatu pekerjaan atau tindasan didasari oleh cara berpikir yang
mendalam
hingga
positifnya.
Bila
diperhitungkan
dikaitkan
dengan
benar-benar
sisi
negatif
pengambilan
keputusan,
dan
maka
pemimpin dalam mengambil keputusan harus menggunakan cara
berpikir yang benar, hingga terhindar dari keputusan-keputusan yang
keliru.
Secara etimologi, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani
“Philosophia” yang terdiri dari dua kata, yaitu philos/philein yang berarti
suka, cinta, mencintai dan shophia yang berarti kebijaksanaan, hikmah,
atau kependaian ilmu. Philosophia berarti “cinta kepada kebijaksanaan”
atau “ cinta kepada ilmu”. Dalam bahasa Belanda, filsafat berasal dari
kata “wijsbegeerte” yang berarti keingingan untuk pandai atau berilmu.
Berfilsafat berarti berfikir secara mendalam (radikal) atau dengan
sungguh-sungguh sampai keakar-akarnya terhadap suatu kebenaran.
Dengan kata lain, berfilsafat berarti mencari kebenaran atas sesuatu.
Mengingat filsafat telah lama lahir dan menjadi landasan bagi
semua ilmu yang ada, maka ilmu pendidikan pun dalam perkembangan
sejarahnya diwarnai oleh berbagai aliran filsafat yang satu sama lain
saling melengkapi atau terkadang saling bertentangan.
Setidaknya ada 9 (sembilan) aliran filsafat yang berpengaruh
terhadap ilmu pendidikan, yakni filsafat progresivisme, esensiaisme,
idealisme,
perenialisme, progresivisme,rekontruksionisme, realisme,
materialisme, dan eksistensialisme.
a. Aliran Filsafat pendidikan Progresivisme
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
23
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan
asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa
survive menghadapi semua tantangan hidup. Progresivisme kerap
disebut
sebagai
instrumentalisme,
eksperimentalisme,
dan
enviomentalisme.
instrumentalisme,
karena
aliran
ini
beranggapan
bahwa
kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan
dan
untuk
mengembangkan
kepribadiaan
manusia.
eksperimentalisme,
karena
aliran
ini
menyadari
dan
mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu
teori.
environmentalisme, karena aliran ini menganggap lingkungan
hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadiaan.
Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain, adalah
William James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller dan
Georges Santayana.
Aliran progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di
dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar
kemerdekaan dan
kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan
kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan
bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat
oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat
progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter.
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan
sosialisasi. Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat
mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
24
Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu
dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Dengan
demikian,
sekolah
yang
ideal
adalah
sekolah
yang
isi
pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar, karena sekolah
adalah bagian dari masyarakat. Oleh karenanya, sekolah harus dapat
mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan
sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada.
Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan
program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak
didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah
itu. Fisafat progresivisme menghendaki sisi pendidikan dengan bentuk
belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing. Dengan kata
lain, akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik.
Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai
pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge) melainkan juga
berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value) sehingga
anak menjadi terampil dan berintelektual baik secara fisik maupun
psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus
dihilangkan.
b. Aliran Filsafat pendidikan Esensialisme
Aliran
esensialisme
merupakan
aliran
pendidikan
yang
didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal
peradaban
umat
manusia.
Esensialisme
muncul
pada
zaman
Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme.
Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan,
toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
25
Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan
kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Esensialisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai
pribadi
individu
dengan
menitikberatkan
pada
Aku.
Menurut
esensialisme, pada tarap permulaan seseorang belajar memahami
akunya sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia objektif. Dari
mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant, segala
pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera memerlukan unsur
apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu. Bila orang
berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti semua itu sudah
mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan
waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu
pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi pada benda,
tetapi benda-benda itu yang terarah pada budi. Budi membentuk dan
mengatur dalam ruang dan waktu.
Dengan
didefinisikan
mengambil
sebagai
landasan
substansi
pikir
tersebut,
belajar
dapat
spiritual
yang
membina
dan
menciptakan diri sendiri. Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan
filosof,
menerangkan
tentang
hakikat
sosial
dari
hidup
mental.
Dikatakan bahwa mental adalah keadaan ruhani yang pasif, hal ini
berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah
ditentukan dan diatur oleh alam sosial. Jadi, belajar adalah menerima
dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru
yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan
berikutnya.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
26
c. Aliran Filsafat Pendidikan Perenialisme
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau
proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan
sumbangan
yang
berpengaruh
baik
teori
maupun
praktik
bagi
kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang. Dari pendapat ini
diketahui
bahwa
perenialisme
merupakan
hasil
pemikiran
yang
memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan
lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan
menemukan arah arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama
dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat
yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat
berpikir secara induktif. Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan
dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip
pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran
dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup,
orang akan mampu mengenal dan memahami faktor-faktor dan
problema
yang
perlu
diselesaikan
dan
berusaha
mengadakan
penyelesaian masalahnya.
Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan
karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental.
Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada masa lampau.
Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol
seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika,
ilmu
pengetahuan
alam,
dan
lain-lainnya,
yang
telah
banyak
memberikan sumbangan kepada perkembangan zaman dulu. Sekolah,
sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempersiapkan anak didik ke
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
27
arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan
tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran
(pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak
dalam nidang akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang
yang telah mendidik dan mengajarkan.
d. Aliran Filsafat pendidikan Rekonstruksionisme
Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct,
yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan,
rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak
tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan
aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern.
Menurut Muhammad Noor Syam (1985: 340), kedua aliran tersebut
memandang
bahwa
mempumyai
kebingungan,
keadaan
kebudayaan
dan
sekarang
yang
merupakan
terganggu
kesimpangsiuran.
Aliran
oleh
zaman
yang
kehancuran,
rekonstruksionisme
berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas
semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual
dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina
kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi
generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam
pengawasan umat manusia.Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi
bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur
dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang
dikuasai
oleh
golongan
tertentu.
Cita-cita
demokrasi
yang
sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
28
kenyataan,
sehingga
mampu
meningkatkan
kualitas
kesehatan,
kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa
membedakan
warna
kulit,
keturunan,
nasionalisme,
agama
(kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
e. Aliran Filsafat pendidikan Idealisme
Tokoh
aliran
idealisme
adalah
Plato
(427-374
SM),
murid
Socrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang
mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang
semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli
(cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera.
Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu
dunia ide. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata
hanyalah ide. Dalam hal ini, ide sendiri selalu tetap atau tidak
mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak
dikategorikan ideal. Keberadaan ide tidak tampak dalam wujud lahiriah,
tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni.
Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan
lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang
tampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam
lingkungan ini seperti ada yang datang dan pergi, ada yang hidup dan
ada yang demikian seterusnya. Kedua, adalah realitas sejati, yang
merupakan sifat yang kekal dan sempurna (ide), gagasan dan pikiran
yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli,
kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari
yang tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.
f. Aliran Filsafat Pendidikan Realisme
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
29
Aliran ini berpendapat bahwa dunia rohani dan dunia materi
merupakan hakikat yang asli dan abadi. Kneller membagi realisme
menjadi dua :
1) Realisme rasional, memandang bahwa dunia materi adalah nyata
dan berada di luar pikiran yang mengamatinya, terdiri dari realisme
klasik dan realisme religi.
2) Realisme natural ilmiah, memandang bahwa dunia yang kita amati
bukan hasil kreasi akal manusia, melainkan dunia sebagaimana
adanya, dan substansialitas,sebab akibat, serta aturan-aturan alam
merupakan suatu penampakan dari dunia itu sendiri. Selain realisme
rasional dan realisme natural ilmiah, ada pula pandangan lain
mengenai realisme, yaitu neo-realisme dan realisme kritis. Neorealisme adalah pandangan dari Frederick Breed mengenai filsafat
pendidikan
yang
hendaknya
harmoni
demokrasi,
yaitu
menghormati
dengan
hak-hak
prinsip-prinsip
individu.
Sedangkan
realisme kritis didasarkan atas pemikiran Immanuel Kant yang
mensintesiskan
pandangan
berbeda
antara
empirisme
dan
rasionalisme, skeptimisme dan absolutisme, serta eudaemonisme
dengan prutanisme untuk filsafat yang kuat.
g. Aliran Filsafat Pendidikan Behaviorisme
Behaviorisme atau aliran perilaku merupakan filosoi dalam psikologi
yang berdasar pada proporsi bahwa semua yang dilakukan manusia,
termasuk tindakan, pikiran dan perasaan, dapat dianggap sebagai
perilaku.
h. Aliran Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles
sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos. Abad ke-19
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
30
menghasilkan tokoh-tokoh pemikir, diantaranya ialah Karl Marx (18181883) di kontinen Eropa dan William James (1842-1910) di kontinen
Amerika. Kedua pemikir itu mengklaim telah menemukan kebenaran.
Marx, yang terpengaruh positivisme, melahirkan sosialisme dan James,
seorang relativis, melahirkan pragmatisme. Baik sosialisme maupun
pragmatisme dimaksudkan supaya kemanusiaan dapat menghadapi
masalah besar, yaitu industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan,
getting things done. Menjadikan sesuatu dapat dikerjakan adalah
kriteria bagi kebenaran. James berpendapat bahwa kebenaran itu tidak
terletak di luar dirinya, tetapi manusialah yang menciptakan kebenaran.
It is useful because it is true, it is true because it is useful . Karena
kriteria kebenaran itulah, pragmatisme sering dikritik sebagai filsafat
yang mendukung bisnis dan politik Amerika.
i. Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat
pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang
bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana
yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang
benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar
bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing
individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat,
khususnya
tradisi
filsafat
Barat.
Eksistensialisme
mempersoalkan
keberadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan.
Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah
melulu soal kebebasan.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
31
Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar
akan
tanggung
jawabnya
dimasa
depan
adalah
inti
dari
eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke
berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan
sebagainya, tet
KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN
(Kajian dari Perspektif Agama, Filosofis, Psikologis, dan
Sosiologis)
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Landasan Agama, Filosofi,
Psikologi, dan Sosiologi dari Kepemimpinan Pendidikan
DOSEN :
PROF. DR. H. ISHAK ABDULHAK
PROF. DR. H. SOFYAN SAURI, M.Pd
Oleh :
ASEP WAHYU
NIM. 4103810413003
DENNY KODRAT
NIM. 4103810413007
SLAMET
NIM. 4103810413018
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
2014
BAB I
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Organisasi pendidikan merupakan organisasi yang unik. Karena
keunikannya, lembaga pendidikan tidak dapat disejajarkan dengan
lembaga-lembaga atau organisasi lainnya. Keunikannya terletak dari
misinya sebagai lembaga pencetak manusia-manusia yang memiliki
kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan tertentu agar dapat hidup
sebagai manusia yang produktif dan beradab. Karena keunikannya itu
pulalah, lembaga pendidikan harus diselenggarakan dan dikelola oleh
lembaga dan orang-orang yang berkompeten.
Penyelenggara pendidikan, baik pemerintah, pemerintah daerah
maupun komunitas masyarakat (yayasan) harus memiliki kemampuan
yang handal dalam hal penyusunan dan pengembangan kurikulum,
penyediaan sarana dan prasarana, pengadaan tenaga pendidikan dan
tenaga kependidikan, kemampuan pendanaan dan berbagai hal yang
menjadi
standar
nasional
pendidikan.
Hal
ini
penting,
sehingga
penyelenggaraan pendidikan tidak mengabaikan kualitas.
Selain penyelenggara, unsur pengelola pendidikan (manajemen
sekolah) memiliki peran yang tidak kalah penting. Ia berada pada garis
depan (front office line) yang bertanggungjawab menyelenggarakan
proses pembelajaran. Di bawah kewenangannya, proses pembelajaran
dan bagaimana kualitas dari proses tersebut terjadi. Disinilah sejatinya
proses tranfer nilai (transfer of values) melalui proses imitasi, pewarisan
budaya, hingga proses pembentukan pengetahuan dan keterampilan
terjadi dengan memadai ataukah tidak memadai. Oleh karenanya,
pemahaman
pengelola
pendidikan
terhadap
tujuan
dan
fungsi
pendidikan akan sangat menentukan kualitas lembaga pendidikan yang
dikelolanya.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
2
Era desentralisasi dan otonomi daerah telah membawa implikasi
besar
terhadap
Kewenangan
penyelenggaraan
penyelenggaraan
dan
pengelolaan
pendidikan
dasar
pendidikan.
dan
menengah
(kecuali madrasah) berdasarkan PP No. 38 tahun 2007 didelegasikan
kewenangan
penyelenggaraannya
kepada
pemerintah
daerah
kabupaten/kota. Hanya Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah yang berada pada perbatasan
kabupaten/kota
berada
dalam
kewenangan
pemerintah
provinsi.
Sementara itu, pemerintah pusat berperan dalam menetapkan standar
penyelenggaraan pendidikan, yang meliputi : standar kompetensi
lulusan (SKL), standar isi, standar penilaian, standar pendidik dan
tenaga
kependidikan,
standar
pembiayaan,
standar
prasarana, standar pengelolaan, serta standar proses
sarana
dan
di jenjang
pendidikan dasar dan menengah.
Penyelenggara pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) di
Kabupaten/kota dilaksanakan oleh dinas
pendidikan, meski pada
kenyataannya, dinas pengelola pendidikan ini diberi pula tanggung
jawab mengelola urusan lain, seperti urusan pemuda, olah raga,
kebudayaan,
bahkan
pariwisata.
Oleh
karenanya,
dalam
penyelenggaran pendidikan di tingkat messo, dibutuhkan pula birokrasi
penyelenggara pendidikan yang kompeten. Penempatan personil, mulai
dari pimpinan hingga pelaksana dan pengelola pendidikan di satuansatuan
pendidikan,
harus
benar-benar
memperhatikan
aspek
kompetensi. Prinsip merit system dan the right man on the right place
perlu secara konsisten diimplementasikan.
Pimpinan dinas yang menyelenggarakan
pendidikan
di
kabupaten/kota dan pimpinan satuan pendidikan harus memiliki jiwa
kepemimpinan (leadership). Tead, Terry, Hoyt (dalam Kartono, 2003)
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
3
menyatakan
bahwa
kepemimpinan
adalah
kegiatan
atau
seni
mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada
kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam
mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Itu berarti bahwa
dalam diri seorang pemimpin harus memiliki kelebihan dibandingkan
pengikutnya, kelebihan yang utama adalah kemampuannya untuk
mengarahkan
agar pengikutnya tetap melaksanakan kegiatan sesuai
dengan tujuan-tujuan organisasi.
Dari sudut pandang penyelenggaraan pendidikan dewasa ini,
kepemimpinan menjadi sangat penting dan cenderung menyisakan
permasalahan, terutama bila dipandang dari 2 (dua) hal, pertama
adanya
kenyataan
bahwa
penggantian
pemimpin
(suksesi
kepemimipinan) seringkali mengubah kinerja suatu unit, instansi atau
organisasi; kedua, hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan
menjadi salah satu faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan
organisasi,
namun
pada
kenyataannya dipandang
tidak
penting.
Sehingga yang terjadi adalah organisasi memiliki pemimpin/kepala
namun gagal dalam menghadirkan leadership (Yukl, 1989). Hasil
penelitian tersebut membuktikan adanya jargon “ganti pimpinan, ganti
kebijakan”, bahkan sampai hal-hal teknis seperti ganti tata ruang
kantor, ganti kursi, atau ganti warna dinding, bukan sistem yang
bekerja.
Dalam perspektif religi, Rasulullah Saw mengingatkan bahwa
setiap orang adalah pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri,
hal ini sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits :
الحديث " متفق عليه...م " كللكم راعع وكللكم مسئول عن رعليته. قال رسول الله ص:ع قال.عن ابن عمر ر
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
4
Artinya: “Dari Ibnu Umar R.a ia berkata: bersabda Rasulullah saw
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan ditanya tentang
kepemimpinan kalian… al-hadits” (HR.Mutafaq `alaih).
Namun, terkadang manusia lupa tentang peranan dia sebagai
seorang pemimpin dan terkadang dia tidak tahu bahwa kelak dia akan
dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.
Adapula
manusia yang ditakdirkan menjadi seorang pemimpin tapi ia tidak tahu
apa yang harus diperbuat sebagai seorang pemimpin. Disinilah
diperlukan
pengetahuan
dan
keilmuan
tentang
kepemimpinan,
sehingga seseorang yang ditakdirkan menjadi pemimpin tidak gagap
dan
bingung
dengan
jabatannya
sehingga
dapat
menunaikan
amanahnya.
Sekurang-kurangnya terdapat tiga masalah mendasar yang
menandai
kekurangan
ini.
Pertama,
adanya
krisis
komitmen.
Kebanyakan orang tidak merasa mempunyai tugas dan tanggung jawab
untuk memikirkan dan mencari pemecahan masalah kemaslahatan
bersama, masalah harmoni dalam kehidupan dan masalah kemajuan
dalam kebersamaan. Kedua, adanya krisis kredibilitas. Sangat sulit
mencari pemimpin atau kader pemimpin yang mampu menegakkan
kredibilitas tanggung jawab. Kredibilitas itu dapat diukur misalnya
dengan kemampuan untuk menegakkan etika, memikul amanah, setia
pada kesepakatan dan janji, bersikap teguh dalam pendirian, jujur
dalam memikul tugas dan tanggung jawab yang dibebankan padanya,
kuat iman dalam menolak godaan dan peluang untuk menyimpang.
Ketiga, masalah kebangsaan dan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Saat ini tantangannya semakin kompleks dan rumit.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
5
Kepemimpinan sekarang tidak cukup lagi hanya mengandalkan
pada bakat atau keturunan. Pemimpin zaman sekarang harus belajar,
banyak
membaca,
dan
memiliki
pengetahuan
mutakhir
serta
pemahaman mengenai berbagai soal yang menyangkut kepentingan
orang-orang yang dipimpin. Selain itu, pemimpin harus memiliki
kredibilitas dan integritas, mampu bertahan (survive) dalam berbagai
macam
kondisi
yang
cepat
berubah,
serta
melanjutkan
misi
kepemimpinannya. Jika tidak memiliki kemampuan tersebut, pemimpin
tersebut hanya akan menjadi karikatur dan tertawaan dalam kurun
sejarah di kelak kemudian hari.
Sementara itu, permasalahan lain dalam kepemimpinan adalah
dalam proses pengambilan keputusan. Permasalahan yang muncul
dalam pengambilan keputusan menjadi persoalan yang tidak mudah
bagi seorang pemimpin. Persoalan ego, kepentingan, kondisi bawahan,
materi keputusan menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi seorang
pemimpin
dalam
mengambil
keputusan.
Pemimpin
harus
berani
mengambil keputusan terhadap kebijakan tertentu sesuai dengan
mekanisme dan ketentuan yang ada.
Pengambilan keputusan pada dasarnya tidak dapat didelegasikan
kepada pengikut atau pegawai di bawahnya. Sebab konsekuensi dari
keputusan tetap berada di level pemimpin.
Stoner (2003:205)
memandang pengambilan keputusan sebagai proses pemilihan suatu
arah tindakan sebagai cara untuk memecahkan sebuah masalah
tertentu.
Siagian
(1993:24)
mengartikan
pengambilan
keputusan
sebagai usaha sadar untuk menentukan satu alternatif dari berbagai
alternatif untuk memecahkan masalah.
Beberapa peluang masalah
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
6
dapat muncul dalam proses pengambilan keputusan ini disebabkan
beberapa
aspek,
diantaranya:
pertama,
pembuat
keputusan
(pemimpin) merupakan manusia dengan kompleksitas karakteristiknya.
Kedua, pembuat keputusan dalam organisasi pendidikan berhadapan
dengan manusia, mengurusi urusan manusia, bukan berhubungan
dengan mesin yang hanya berhubungan secara mekanis. Ketiga,
pembuat keputusan dihadapkan pula dengan sistem nilai (values) yang
hidup dalam organisasi tersebut serta dalam masyarakat. Walhasil
proses pengambilan keputusan itu sejatinya bukanlah hal yang
sederhana, melainkan hal yang komplek dan rumit. Disinilah kehadiran
leadership itu diperlukan.
Dalam makalah singkat ini, akan dibahas “Pengambilan
Keputusan
dalam
Kepemimpinan
Pendidikan
Kajian
dari
Presfektif Agama, Filosofis, Psikologis,dan Sosiologis”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditetapkan perumusan
masalah sebagai berikut ini.
1. Bagaimanakah
pengambilan
keputusan
dalam
kepemimpinan
pendidikan ditinjau dari perspektif agama?
2. Bagaimanakah pengambilan keputusan
dalam
kepemimpinan
pendidikan ditinjau dari perspektif filsafat?
3. Bagaimanakah pengambilan keputusan
dalam
kepemimpinan
pendidikan ditinjau dalam perspektif psikologis?
4. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam
kepemimpinan
pendidikan ditinjau dalam perspektif sosiologi?
C. Tujuan
Secara umum makalah ini bertujuan untuk
1. mengetahui
pengambilan keputusan
dalam
kepemimpinan
pendidikan ditinjau dari perspektif agama.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
7
2. mengetahui
pengambilan
keputusan
dalam
kepemimpinan
pendidikan ditinjau dari perspektif filsafat .
3. mengetahui
pengambilan
keputusan
dalam
kepemimpinan
pendidikan ditinjau dalam perspektif psikologis.
4. mengetahui
pengambilan
keputusan
dalam
kepemimpinan
pendidikan ditinjau dalam perspektif sosiologi.
Adapun secara khusus, makalah ini bertujuan untuk
1. mengetahui penerapan pengambilan keputusan dalam lingkup
messo dan mikro pendidikan menurut perspektif agama, filosofis,
psikologis dan sosiologis.
2. memenuhi salah satu tugas perkuliahan landasan agama, filosofi,
psikologi dan sosiologi dari kepemimpinan pendidikan.
5. Manfaat
Secara teoritis makalah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
manajemen khususnya menyangkut kepemimpinan dan pengambilan
keputusan. Selain itu, makalah ini menelaah berbagai macam teori
pengambilan keputusan dalam kepemimpinan ditinjau dari perspektif
agama, filosofis, psikologis dan sosiologi.
Adapun secara praktis, makalah ini bermanfaat bagi pembacanya
dalam meningkatkan kualitas kepemimpinan terutama dalam hal
pengambilan
keputusan
sebagai
pengelola
maupun
sebagai
penyelenggara organisasi pendidikan.
6. Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan pendekatan deduktif yakni melalui
metode studi kepustakaan, baik pada buku-buku, artikel jurnal, atau
pada online yang membahas mengenai kepemimpinan, pengambilan
keputusan, serta landasan-landasan dalam pengambilan keputusan.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
8
BAB II
PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN
A. Kepemimpinan Pendidikan
Secara berturut-turut pada bagian ini akan dibahas berbagai macam
teori dan pendapat berkenaan dengan pengertian kepemimpinan, teori
kepemimpinan, tipe
kepemimpinan, kepemimpinan partisipatif dari
aspek agama, filosofis, psikologis dan sosiologis.
1. Pengertian Kepemimpinan
Pengertian kepemimpinan
sangat
beragam.
Setiap
ahli
mengemukakan pengertiannya berdasarkan cara pandangnya masingmasing. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Koontz, O’Donnel &
Weihrich (1990:147) yang mendefinisikan kepemimpinan
sebagai
pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga
mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemauan
dan antusias. James. M Black dalam bukunya Management, A guide to
Executive Command menulis
bahwa “Leadership is capatibilty of
persuading others to work together undertheir direction as a team to
accomplish certain designated objectives”
(kepemimpinan adalah
kemampuan meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah
pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai atau melakukan suatu
tujuan tertentu).
Demikian
pula,
Kartono
(2005:187)
mendefinisikan
kepemimpinan sebagai satu bentuk dominasi yang didasari oleh
kapabilitas/kemampuan
pribadi,
yaitu
mampu
mendorong
dan
mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan
bersama. Sedangkan Stoner, Freeman dan Gilbert (1996) sebagaimana
dikemukakan oleh Kambey (2003:125) mendefinisikan kepemimpinan
manajerial sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas
yang berkaitan dengan tugas dari anggota kelompok. Sementara itu,
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
9
Rost (dalam Safira, 2004:3) mendefinisikan kepemimpinan sebagai
sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan
pengikut atau bawahan yang menginginkan perubahan nyata yang
mencerminkan tujuan bersamanya. Sedangkan Robbins (2003: 432)
mendefinisikan
kepemimpinan
sebagai
kemampuan
untuk
mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Selanjutnya
Gibson,
Ivancevich
dan
Donnely
(1991:334)
mendefinisikan
kepemimpinan sebagai suatu upaya penggunaan jenis pengaruh bukan
paksaan untuk memotivasi orang-orang mencapai tujuan tertentu.
Adapun Tead, Terry, Hoyt (dalam Kartono, 2003) berpendapat
bahwa kepemimpinan adalah kegiatan atau seni mempengaruhi orang
lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang
tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan
yang diinginkan kelompok. Menurut Young (dalam Kartono, 2003)
kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan
pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk
berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan
memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.
Moejiono (2002) memandang bahwa leadership sebenarnya
sebagai akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki
kualitas-kualitas
tertentu
yang
membedakan
dirinya
dengan
pengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance induction theorists)
cenderung
memandang
leadership sebagai
pemaksaan
atau
pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana untuk
membentuk kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin.
Abdulrachman (2004:16) berpendapat bahwa: "tidak semua
pemimpin akan dapat mempengaruhi dan menggerakkan orang lain
dalam rangka mencapai suatu tujuan secara efektif dan efisien, sebab
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
10
orang lain baru dapat dipengaruhi/digerakkan jika: (1) Ada kemampuan
pada pemimpin untuk menggunakan teknik kepemimpinan; (2) Ada
sifat-sifat khusus pada pemimpin yaitu sifat-sifat kepemimpinan yang
mempengaruhi jiwa orang-orang sehingga kagum dan tertarik pada
pemimpin tersebut".
Dengan
demikian,
untuk
mampu
mempengaruhi
atau
menggerakkan orang lain agar dengan penuh kesadaran dan senang
hati bersedia melakukan dan mengikuti kehendak pemimpin, maka
pemimpin harus memiliki kemampuan dan memiliki sifat-sifat khusus.
Sedangkan sifat-sifat yang harus dimiliki pemimpin menurut Harold
Koontz dan Cyrill O’Donnell (1990:21), yaitu:
a. Memiliki kecerdasan melebihi orang-orang yang dipimpinnya.
b. Mempunyai perhatian terhadap kepentingan yang menyeluruh.
c. Mantap dalam kelancaran berbicara.
d. Mantap berpikir dan emosi.
e. Mempunyai dorongan yang kuat dari dalam untuk memimpin
f. Memahami kepentingan tentang kerjasama.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang
untuk mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan orang lain agar
dengan penuh pengertian, kesadaran dan senang hati bersedia
mengikuti kehendaknya tersebut untuk mewujudkan suatu tujuan
bersama.
2. Teori-Teori tentang Kepemimpinan
Secara
singkat
dapat
dikemukakan
bahwa
teori
tentang
kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam tiga pendekatan, yaitu:
pendekatan sifat, pendekatan perilaku, dan pendekatan situasional
(Lunenburg & Ornstein,1991:129-153, Handoko, 2001:295; Gomes-Mejia
& Balkin, 2002: 290-312 2002, Wirjana & Supardo, 2005:13).
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
11
a. Pendekatan Sifat.
Teori pendekatan sifat memusatkan perhatian pada diri para
pemimpin itu sendiri, oleh karena itu teori ini lebih dikenal sebagai teori
pembawaan. Dalam teori ini disebutkan bahwa pemimpin memiliki ciriciri atau sifat-sifat tertentu yang menyebabkan ia dapat memimpin para
pengikutnya. Sifat-sifat tertentu itu menurut Ghiseli (1971) seperti yang
dikutip oleh Handoko (2001:297) antara lain: (1) kemampuan sebagai
sebagai pengawas, (2) kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, (3)
kecerdasan, (4) ketegasan, (5) kepercayaan diri, (6) inisiatif.
Sedangkan Davis menyimpulkan 4 (empat) ciri/sifat utama yang
mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan organisasi,
yaitu : (1) kecerdasan, (2) kedewasaan dan keluasan hubungan sosial,
(3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4) sikap-sikap
hubungan manusiawi.
b. Pendekatan Perilaku.
Pendekatan perilaku mencoba mengoreksi pendekatan sifat.
Menurut
pendekatan
perilaku,
pendekatan
sifat
tidak
dapat
menjelaskan apa yang menyebabkan kepemimpinan itu efektif. Oleh
karenanya, pendekatan perilaku tidak lagi berdasarkan pada sifat
seorang
pemimpin
dilakukan
oleh
mendelegasikan
melainkan
pemimpin
tugas,
mencoba
menentukan
apa
efektif,
seperti
bagaimana
bagaimana
mereka
berkomunikasi
yang
mereka
dan
memotivasi bawahan, bagaimana mereka menjalankan tugas-tugas dan
sebagainya.
Aspek perilaku kepemimpinan menekankan fungsi-fungsi yang
dilakukan pemimpin dalam kelompoknya. Agar kelompok berjalan
efektif, seseorang harus melaksanakan dua fungsi utama, yaitu (1)
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
12
fungsi-fungsi yang berhubungan dengan tugas (task-related) atau
pemecahan masalah, dan (2) fungsi-fungsi pemeliharaan kelompok
(Group-maintenance) atau sosial.
Fungsi pertama menyangkut pemberian saran penyelesaian,
informasi, dan pendapat. Fungsi kedua mencakup segala sesuatu yang
dapat
membantu
kelompok
berjalan
lebih
lancar,
memperoleh
persetujuan kelompok lain, penengahan perbedaan pendapat dan
sebagainya.
Selain itu, perilaku kepemimpinan juga dapat dilihat dari gaya
pemimpin dalam hubungannya dengan bawahan. Ada dua orientasi
gaya kepemimpinan yakni:
(1) gaya orientasi tugas (task oriented);
(2) gaya orientasi karyawan (employe-oriented).
Seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan berorientasi tugas akan
berusaha mendorong bawahannya melaksanakan tugas yang sesuai
dengan keinginannya. Jadi pelaksanaan pekerjaan lebih penting dari
pengembangan dan pertumbuhan karyawan. Sedangkan pemimpin
yang berorientasi pada karyawan lebih melihat karyawan secara
manusiawi,
sehingga
mereka
akan
selalu
memberikan
motivasi,
melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan, menciptakan
persahabatan dan saling menghormati.
c. Pendekatan Situasional.
Banyak penelitian mengindikasikan bahwa tidak ada satupun
gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap pemimpin untuk berbagai
kondisi. Oleh karenanya, lahirlah pendekatan situasional. Pendekatan ini
didasarkan pada keyakinan bahwa para pemimpin dalam menjalankan
kepemimpinannya, terutama pada aktifitas pengambilan keputusan,
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
13
Pendekatan situasional menekankan bahwa gaya kepemimpinan
sangat bergantung pada faktor-faktor seperti situasi, karyawan, tugas,
organisasi dan variabel-variabel lingkungan lainnya. Stogdill et.al,
(1956) sebagaimana dikemukakan oleh Koontz, O’Donnel & Wehirich
(1990:158-259)
mengatakan
bahwa
faktor-faktor
situasi
yang
mempengaruhi seorang pemimpin adalah pekerjaan yang sedang
ditangani, lingkungan organisasi, dan karakteristik orang yang mereka
hadapi. Sedangkan Fiedler (1974) mengemukakan ada tiga dimensi
utama
dalam
situasi
kepemimpinan
yang
mempengaruhi
gaya
pemimpin yang efektif yakni (1) kekuasaan posisi, (2) struktur tugas
dan (3) hubungan pemimpin-anggota. Reksohadiprodjo & Handoko
(2001:289) mencatat bahwa penemuan Fiedler menunjukkan bahwa
dalam
situasi
yang
sangat
menguntungkan
atau
sangat
tidak
menguntungkan, tipe pemimpin yang beorientasi pada tugas atau
pekerjaan
adalah
sangat
efektif.
Akan
tetapi
bila
situasi
yang
menguntungkan atau tidak menguntungkan hanya tipe pemimpin
hubungan manusiawi akan sangat efektif.
Teori lain tentang kepemimpinan situasional adalah Teori HerseyBlanchard.
Menurut
Siagian
(2003:139)
pada
intinya
teori
ini
menekankan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung
pada dua hal, yaitu pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat untuk
menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan (kedewasaan)
yang dipimpin. Dua dimensi kepemimpinan yang digunakan dalam teori
ini ialah perilaku seorang pimpinan yang berkaitan dengan tugas
kepemimpinannya dan hubungan atas-bawahan atau patron – client.
Tergantung pada orientasi
tugas kepemimpinan dan sifat hubungan
atasan dan bawahan yang digunakan, gaya kepemimpinan yang timbul
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
14
dapat mengambil empat bentuk, yaitu : memberitahukan, menjual,
mengajak bawahan berperan serta dan pendelegasian.
3. Gaya Kepemimpinan
Perilaku pemimpin dalam memimpin organisasi disebut juga gaya
kepemimpinan (Style of Leadership ). Setiap pemimpin memiliki
gayanya sendiri dalam memimpin. Oleh karenanya banyak penelitian
tentang gaya kepemimpinan seseorang.
Berbagai gaya kepemimpinan telah diteliti dan ditemukan bahwa
setiap pemimpin telah diteliti dan ditemukan bahwa setiap pemimpin
bisa mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda antara yang satu
dengan yang lain, dan tidak mesti suatu gaya kepemimpinan yang satu
lebih baik atau lebih jelek daripada gaya kepemimpinan yang lainya.
Studi kepemimpinan yang dilakukan oleh Universitas Ohio dan
Universitas Michigan maupun yang dilakukan oleh Tannenbaum dan
Schmidt
seperti
dikutip
oleh
Wahjosumidjo
(2001:40)
semuanya
berusaha mencari gaya kepemimpinan yang efektif. Berkaitan dengan
masalah gaya kepemimpinan, Ngalim Purwanto (1992, 48-50) membagi
tiga gaya kepemimpinan yang pokok yaitu gaya kepemimpinan
Otokratis, Demokratis, Laissez faire.
a. Gaya Kepemimpinan Otokratis
Gaya kepemimpinan Otokratis ini meletakkan seorang pemimpin
sebagai
sumber
kebijakan.
Pemimpin
merupakan
segala-galanya.
Bawahan dipandang sebagai orang yang melaksanakan perintah. Oleh
karena itu bawahan-bawahan hanya menerima instruksi saja dan tidak
diperkenankan membantah maupun mengeluarkan ide atau pendapat.
Dalam posisi demikian anggota atau bawahan tidak terlibat dalam soal
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
15
keorganisasian.
Pada
tipe
kepemimpinan
ini
segala
sesuatunya
ditentukan oleh pemimpin sehingga keberhasilan organisasi terletak
pada pemimpin. Pada gaya kepemimpinan ini terjadi dominasi yang
berlebihan mudah menghidupkan oposisi atau menimbulkan sifat
apatis, atau sifat-sifat pada anggota-anggota kelompok terhadap
pemimpinnya.
b. Gaya Kepemimpinan Demokratis
Gaya kepemimpinan ini memberikan
tanggung
jawab
dan
wewenang kepada semua pihak, sehingga mereka ikut terlibat aktif
dalam organisasi. Anggota diberi kesempatan untuk memberikan usul
serta saran dan kritik demi kemajuan organisasi. Gaya kepemimpinan
ini
memandang
bawahan
sebagai
bagian
dari
keseluruhan
organisasinya, sehingga bawahan mendapat tempat sesuai dengan
harkat dan martabatnya sebagai manusia. Pemimpin mempunyai
tanggung jawab dan tugas untuk mengarahkan, mengontrol dan
mengevaluasi serta mengkoordinasi.
Kepemimpinan demokratis senantiasa melibatkan partisipasi
bawahan atau pengikutnya untuk mengambil keputusan. Oleh karena
itu, gaya kepemimpinan demokratis kerap disebut dengan gaya
kepemimpinan partisipatif. Pemimpin tipe seperti ini kerap menjalankan
kepemimpinan
dengan
konsultasi.
Ia
tidak
mendelegasikan
wewenangnya untuk membuat keputusan akhir dan untuk memberikan
pengarahan tertentu kepada bawahanya. Tetapi ia mencari berbagai
pendapat dan pemikiran dari pada bawahanya mengenai keputusan
yang akan diambil. Ia akan secara serius mendengarkan dan menilai
pikiran-pikiran para bawahanya dan menerima sumbangan pikiran
mereka . Sejauh pemikiran tersebut bisa dipraktekkan .
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
16
Pemimpin dengan gaya partisipatif akan mendorong kemampuan
mengambil
keputusan
dari
bawahannya
sehingga
pikiran-pikiran
mereka akan selalu meningkat dan makin matang. Para bawahannya
juga didorong agar meningkatkan kemampuan mengendalikan diri dan
menerima tanggung jawab yang lebih besar. Pemimpin akan lebih
“supportive” dalam kontak dengan para bawahan dan bukan menjadi
bersikap diktator. Meskipun tentu saja, wewenang terakhir dalam
pengambilan keputusan terletak pada pimpinan.
Pemimpin
yang
demokratis
selalu
berusaha
menstimulasi
anggota-angotanya agar bekerja secara produktif untuk mencapai
tujuan bersama. Dalam tindakan dan usaha-usahanya, ia selalu
berpangkal pada kepentingaan dan kebutuhan kelompoknya, dan
memperimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.
c. Gaya Kepemimpinan Laissez faire
Pada prinsipnya, gaya kepemimpinan ini memberikan kebebasan
mutlak kepada para bawahan. Semua keputusan dalam pelaksanaan
tugas dan pekerjaan diserahkan sepenuhnya kepada bawahan. Dalam
hal ini pemimpin bersifat pasif dan tidak memberikan contoh-contoh
kepemimpinan (Purwanto,1992:48)
Pemimpin
mendelegasikan
wewenang
untuk
mengambil
keputusan kepada para bawahannya dengan agak lengkap. Pada
prinsipnya pimpinan akan mengatakan “inilah pekerjaan yang harus
saudara lakukan. Saya tidak peduli bagaimana kalau mengerjakannya,
asalkan pekerjaan tersebut bisa diselesaikan dengan baik “. Disini
pimpinan menyerahkan tanggung jawab atas pelaksanaan pekerjaan
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
17
tersebut
kepada
para
bawahannya.
Dalam
konteks
pimpinan
menginginkan agar para bawahannya bisa mengendalikan diri mereka
sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. Pimpinan tidak akan
membuat peraturan-peraturan tentang pelaksanaan pekerjaan tersebut
dan hanya para bawahan dituntut untuk memiliki kemampuan/keahlian
yang tinggi.
Dari beberapa gaya kepemimpinan tersebut akan mempunyai
tingkat efektivitas yang berbeda-beda, tergantung pada faktor yang
mempengaruhi
perilaku
pemimpin.
Seorang
pemimpin
dalam
menjalankan kepemimpinannya sangat dipengaruhi oleh faktor, baik
yang berasal dari dalam diri pribadinya maupun faktor yang berasal
dari luar individu pemimpin tersebut. Sifat dasar kepemimpinan yang
harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kepemimpinan yang
demokratis atau kepemimpinan partisipatif. Pemimpin demokratis akan
mampu mengambil keputusan sendiri dalam situasi tertentu. Jangan
ditafsirkan
bahwa
kepemimpinan
demokratis
selalu
meminta
pertimbangan bawahan untuk semua hal.
4. Kepemimpinan Partisipatif
Kalau dicermati kepemimpinan partisipatif muncul dari beberapa
teori kepemimpinan maupun dari berbagai studi dan penelitian tentang
kepemimpinan. Di antaranya adalah teori Path-Goal (jalan-tujuan). Teori
ini menganalisa pengaruh (dampak) kepemimpinan (terutama perilaku
pemimpin) terhadap motivasi bawahan, kepuasan, dan pelaksanaan
kerja. Teori path-goal memasukkan empat tipe atau gaya pokok perilaku
pemimpin
yaitu
kepemimpinan
direktif,
kepemimpinan
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
suportif,
18
kepemimpinan
partisipatif,
dan
kepemimpinan
orientasi-prestasi
(Lunenburg & Ornstein, 1991: 143-144; Reksohadiprojo dan Handoko,
2001:289-290). Menurut teori ini kepemimpinan partisipatif adalah
pemimpin meminta dan menggunakan saran-saran bawahan, tetapi
masih
membuat
keputusan.
Kebanyakan
studi
dalam
organisasi
menyimpulkan bahwa dalam tugas-tugas yang tidak rutin karyawan
lebih puas di bawah pimpinan yang partisipatif daripada pemimpin yang
non partisipatif.
Kepemimpinan
partisipatif
menyangkut
usaha-usaha
oleh
seorang manajer untuk mendorong dan memudahkan partisipasi orang
lain dalam pengambilan keputusan yang jika tidak akan dibuat
tersendiri oleh manajer tersebut (Yukl, 1998:132). Kepemimpinan ini
mencakup aspek-aspek kekuasaan seperti bersama-sama menanggung
kekuasaan, pemberian kekuasaan dan proses-proses mempengaruhi
yang timbal-balik. Sedangkan yang menyangkut aspek-aspek perilaku
kepemimpinan seperti prosedur-prosedur spesifik yang digunakan untuk
berkonsultasi dengan orang lain untuk memperoleh gagasan dan saransaran, serta perilaku spesifik yang digunakan untuk proses pengambilan
keputusan dan pendelegasian kekuasaan.
B. Landasan Agama, Filosofis, Psikologis, dan Sosiologis
1. Landasan Agama
Secara teologis, agama Islam telah menggariskan bahwa apabila
pemimpin akan mengambil keputusan diusahakan sejauh mungkin
dengan lemah lembut, bersiap untuk memaafkan, bermusyawarah dan
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
19
apabila keputusan telah diambil maka terhadap keputusan itu harus
patuh sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Imran ayat 159 di bawah
ini.
"Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemahlembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah
mereka,
mohonkanlah
ampun
bagi
mereka,
dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya." (QS Ali-Imran: 159)
Musyawarah merupakan jalan yang baik untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang pelik, baik persoalan keluarga, kelompok,
bangsa atau persoalan apapun yang perlu segera dicarikan jalan keluar
sebagai pemecahannya. Dengan musyawarah maka orang-orang yang
ikut bermusyawarah merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Maka musyawarah sesungguhnya bentuk partisipatif anggota organisasi
dalam pengambilan keputusan.
Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang
amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga
dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian Al-Qur’an dan Hadist yang
memerintahkan
atau
menganjurkan
umat
pemeluknya
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
supaya
20
bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka
hadapi.
Dalam hal menyelesaikan urusan rumah tangga, Islam memberikan
petunjuk senagaimana tersurat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 233.
Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka
(sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara
mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)
Sesungguhnya
seharusnya
relasi
makna
suami-
ayat
istri
ini
saat
membicarakan
mengambil
bagaimana
keputusan
yang
berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak dilakukan. Di dalam
menyapih
anak
dari
menyusu
ibunya
kedua
orang
tua
harus
mengadakan musyawarah. Menyapih anak itu tidak boleh dilakukan
tanpa
ada
musyawarah.
Seandainya
salah
dari
keduanya
tidak
menyetujui, maka orang tua itu akan berdosa karena ini menyangkut
dengan kemaslahan anak tersebut. Jadi pada ayat di atas, al-Qur’an
memberi petunjuk agar setiap persoalan rumah tangga termasuk
persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami istri.
Musyawarah
itu
di
pandang
penting,
antara
lain
karena
musyawarah merupakan salah satu alat yang mampu mempersatukan
sekelompok orang atau umat di samping sebagai salah satu sarana
untuk menghimpun atau mencari pendapat yang lebih dan baik.
Adapun bagaimana sistem permusyawaratan itu harus dilakukan,
baik Al-Qur’an maupun Hadis tidak memberikan penjelasan secara
khusus. Oleh karena itu sistem permusyawaratan yang akan dipakai
sepenuhnya diserahkan kepada umat sesuai dengan cara yang mereka
anggap baik.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
21
Para ulama berbeda pendapat mengenai obyek yang menjadi
kajian dari permusyawaratan itu sendiri, adakah permusyawaratan itu
hanya dalam soal-soal keduniawian dan tidak tentang masalah-masalah
keagamaan? Sebagian dari mereka berpendapat bahwa musyawarah
yang dianjurkan atau diperintahkan dalam Islam itu khusus dalam
masalah-masalah yang diperbolehkan untuk dimusyawarahkan bukan
persoalan-persoalan yang sudah jelas hukumnya. Dalam sejarah
Rasulullah,
beliau
Saw
tidak
pernah
memberikan
contoh
memusyawarahkan status hukum khamar yang sudah jelas haram.
Tetapi Rasulullah Saw memberikan contoh memusyawarahkan teknis
penyergapan musuh dalam perang Badar.
Dengan kata lain, untuk persoalan-persoalan pokok (ushul) yang
sudah jelas hukum halal dan haramnya, umat Islam tidak bisa
melakukan musyawarah untuk mengubah status hukum tersebut,
misalnya dari status hukum halal berubah menjadi halal, dan sebalik.
Namun
musyawarah
dilakukan
untuk
persoalan-persoalan
dalam
domain teknis atau untuk mencari pendapat dan saran yang kuat. Oleh
karenanya, dalam konteks ini, para sahabat Rasulullah Saw sebelum
mereka mengeluarkan pendapat kepada beliau Saw selalu bertanya
dulu apakah pendapat Rasulullah itu merupakan wahyu atau pendapat
pribadi beliau yang masih memungkinkan untuk diberi saran. Bila
pendapat tersebut adalah wahyu, para shahabat melakukan sami’na wa
atha’na. Namun, bila pendapat tersebut bukan wahyu, para shahabat
banyak memberikan pendapat kepada Nabi Muhammad Saw.
2. Landasan Filosofis
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
22
Landasan filosifis mengandung makna bahwa dalam melakukan
suatu pekerjaan atau tindasan didasari oleh cara berpikir yang
mendalam
hingga
positifnya.
Bila
diperhitungkan
dikaitkan
dengan
benar-benar
sisi
negatif
pengambilan
keputusan,
dan
maka
pemimpin dalam mengambil keputusan harus menggunakan cara
berpikir yang benar, hingga terhindar dari keputusan-keputusan yang
keliru.
Secara etimologi, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani
“Philosophia” yang terdiri dari dua kata, yaitu philos/philein yang berarti
suka, cinta, mencintai dan shophia yang berarti kebijaksanaan, hikmah,
atau kependaian ilmu. Philosophia berarti “cinta kepada kebijaksanaan”
atau “ cinta kepada ilmu”. Dalam bahasa Belanda, filsafat berasal dari
kata “wijsbegeerte” yang berarti keingingan untuk pandai atau berilmu.
Berfilsafat berarti berfikir secara mendalam (radikal) atau dengan
sungguh-sungguh sampai keakar-akarnya terhadap suatu kebenaran.
Dengan kata lain, berfilsafat berarti mencari kebenaran atas sesuatu.
Mengingat filsafat telah lama lahir dan menjadi landasan bagi
semua ilmu yang ada, maka ilmu pendidikan pun dalam perkembangan
sejarahnya diwarnai oleh berbagai aliran filsafat yang satu sama lain
saling melengkapi atau terkadang saling bertentangan.
Setidaknya ada 9 (sembilan) aliran filsafat yang berpengaruh
terhadap ilmu pendidikan, yakni filsafat progresivisme, esensiaisme,
idealisme,
perenialisme, progresivisme,rekontruksionisme, realisme,
materialisme, dan eksistensialisme.
a. Aliran Filsafat pendidikan Progresivisme
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
23
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan
asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa
survive menghadapi semua tantangan hidup. Progresivisme kerap
disebut
sebagai
instrumentalisme,
eksperimentalisme,
dan
enviomentalisme.
instrumentalisme,
karena
aliran
ini
beranggapan
bahwa
kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan
dan
untuk
mengembangkan
kepribadiaan
manusia.
eksperimentalisme,
karena
aliran
ini
menyadari
dan
mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu
teori.
environmentalisme, karena aliran ini menganggap lingkungan
hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadiaan.
Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain, adalah
William James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller dan
Georges Santayana.
Aliran progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di
dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar
kemerdekaan dan
kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan
kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan
bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat
oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat
progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter.
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan
sosialisasi. Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat
mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
24
Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu
dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Dengan
demikian,
sekolah
yang
ideal
adalah
sekolah
yang
isi
pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar, karena sekolah
adalah bagian dari masyarakat. Oleh karenanya, sekolah harus dapat
mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan
sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada.
Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan
program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak
didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah
itu. Fisafat progresivisme menghendaki sisi pendidikan dengan bentuk
belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing. Dengan kata
lain, akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik.
Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai
pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge) melainkan juga
berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value) sehingga
anak menjadi terampil dan berintelektual baik secara fisik maupun
psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus
dihilangkan.
b. Aliran Filsafat pendidikan Esensialisme
Aliran
esensialisme
merupakan
aliran
pendidikan
yang
didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal
peradaban
umat
manusia.
Esensialisme
muncul
pada
zaman
Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme.
Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan,
toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
25
Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan
kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Esensialisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai
pribadi
individu
dengan
menitikberatkan
pada
Aku.
Menurut
esensialisme, pada tarap permulaan seseorang belajar memahami
akunya sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia objektif. Dari
mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant, segala
pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera memerlukan unsur
apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu. Bila orang
berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti semua itu sudah
mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan
waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu
pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi pada benda,
tetapi benda-benda itu yang terarah pada budi. Budi membentuk dan
mengatur dalam ruang dan waktu.
Dengan
didefinisikan
mengambil
sebagai
landasan
substansi
pikir
tersebut,
belajar
dapat
spiritual
yang
membina
dan
menciptakan diri sendiri. Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan
filosof,
menerangkan
tentang
hakikat
sosial
dari
hidup
mental.
Dikatakan bahwa mental adalah keadaan ruhani yang pasif, hal ini
berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah
ditentukan dan diatur oleh alam sosial. Jadi, belajar adalah menerima
dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru
yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan
berikutnya.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
26
c. Aliran Filsafat Pendidikan Perenialisme
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau
proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan
sumbangan
yang
berpengaruh
baik
teori
maupun
praktik
bagi
kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang. Dari pendapat ini
diketahui
bahwa
perenialisme
merupakan
hasil
pemikiran
yang
memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan
lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan
menemukan arah arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama
dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat
yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat
berpikir secara induktif. Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan
dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip
pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran
dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup,
orang akan mampu mengenal dan memahami faktor-faktor dan
problema
yang
perlu
diselesaikan
dan
berusaha
mengadakan
penyelesaian masalahnya.
Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan
karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental.
Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada masa lampau.
Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol
seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika,
ilmu
pengetahuan
alam,
dan
lain-lainnya,
yang
telah
banyak
memberikan sumbangan kepada perkembangan zaman dulu. Sekolah,
sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempersiapkan anak didik ke
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
27
arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan
tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran
(pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak
dalam nidang akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang
yang telah mendidik dan mengajarkan.
d. Aliran Filsafat pendidikan Rekonstruksionisme
Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct,
yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan,
rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak
tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan
aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern.
Menurut Muhammad Noor Syam (1985: 340), kedua aliran tersebut
memandang
bahwa
mempumyai
kebingungan,
keadaan
kebudayaan
dan
sekarang
yang
merupakan
terganggu
kesimpangsiuran.
Aliran
oleh
zaman
yang
kehancuran,
rekonstruksionisme
berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas
semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual
dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina
kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi
generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam
pengawasan umat manusia.Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi
bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur
dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang
dikuasai
oleh
golongan
tertentu.
Cita-cita
demokrasi
yang
sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
28
kenyataan,
sehingga
mampu
meningkatkan
kualitas
kesehatan,
kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa
membedakan
warna
kulit,
keturunan,
nasionalisme,
agama
(kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
e. Aliran Filsafat pendidikan Idealisme
Tokoh
aliran
idealisme
adalah
Plato
(427-374
SM),
murid
Socrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang
mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang
semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli
(cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera.
Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu
dunia ide. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata
hanyalah ide. Dalam hal ini, ide sendiri selalu tetap atau tidak
mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak
dikategorikan ideal. Keberadaan ide tidak tampak dalam wujud lahiriah,
tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni.
Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan
lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang
tampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam
lingkungan ini seperti ada yang datang dan pergi, ada yang hidup dan
ada yang demikian seterusnya. Kedua, adalah realitas sejati, yang
merupakan sifat yang kekal dan sempurna (ide), gagasan dan pikiran
yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli,
kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari
yang tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.
f. Aliran Filsafat Pendidikan Realisme
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
29
Aliran ini berpendapat bahwa dunia rohani dan dunia materi
merupakan hakikat yang asli dan abadi. Kneller membagi realisme
menjadi dua :
1) Realisme rasional, memandang bahwa dunia materi adalah nyata
dan berada di luar pikiran yang mengamatinya, terdiri dari realisme
klasik dan realisme religi.
2) Realisme natural ilmiah, memandang bahwa dunia yang kita amati
bukan hasil kreasi akal manusia, melainkan dunia sebagaimana
adanya, dan substansialitas,sebab akibat, serta aturan-aturan alam
merupakan suatu penampakan dari dunia itu sendiri. Selain realisme
rasional dan realisme natural ilmiah, ada pula pandangan lain
mengenai realisme, yaitu neo-realisme dan realisme kritis. Neorealisme adalah pandangan dari Frederick Breed mengenai filsafat
pendidikan
yang
hendaknya
harmoni
demokrasi,
yaitu
menghormati
dengan
hak-hak
prinsip-prinsip
individu.
Sedangkan
realisme kritis didasarkan atas pemikiran Immanuel Kant yang
mensintesiskan
pandangan
berbeda
antara
empirisme
dan
rasionalisme, skeptimisme dan absolutisme, serta eudaemonisme
dengan prutanisme untuk filsafat yang kuat.
g. Aliran Filsafat Pendidikan Behaviorisme
Behaviorisme atau aliran perilaku merupakan filosoi dalam psikologi
yang berdasar pada proporsi bahwa semua yang dilakukan manusia,
termasuk tindakan, pikiran dan perasaan, dapat dianggap sebagai
perilaku.
h. Aliran Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles
sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos. Abad ke-19
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
30
menghasilkan tokoh-tokoh pemikir, diantaranya ialah Karl Marx (18181883) di kontinen Eropa dan William James (1842-1910) di kontinen
Amerika. Kedua pemikir itu mengklaim telah menemukan kebenaran.
Marx, yang terpengaruh positivisme, melahirkan sosialisme dan James,
seorang relativis, melahirkan pragmatisme. Baik sosialisme maupun
pragmatisme dimaksudkan supaya kemanusiaan dapat menghadapi
masalah besar, yaitu industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan,
getting things done. Menjadikan sesuatu dapat dikerjakan adalah
kriteria bagi kebenaran. James berpendapat bahwa kebenaran itu tidak
terletak di luar dirinya, tetapi manusialah yang menciptakan kebenaran.
It is useful because it is true, it is true because it is useful . Karena
kriteria kebenaran itulah, pragmatisme sering dikritik sebagai filsafat
yang mendukung bisnis dan politik Amerika.
i. Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat
pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang
bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana
yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang
benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar
bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing
individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat,
khususnya
tradisi
filsafat
Barat.
Eksistensialisme
mempersoalkan
keberadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan.
Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah
melulu soal kebebasan.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan
31
Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar
akan
tanggung
jawabnya
dimasa
depan
adalah
inti
dari
eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke
berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan
sebagainya, tet