Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan kepala

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM
KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN
(Kajian dari Perspektif Agama, Filosofis, Psikologis, dan
Sosiologis)

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Landasan Agama, Filosofi,
Psikologi, dan Sosiologi dari Kepemimpinan Pendidikan

DOSEN :
PROF. DR. H. ISHAK ABDULHAK
PROF. DR. H. SOFYAN SAURI, M.Pd

Oleh :
ASEP WAHYU
NIM. 4103810413003
DENNY KODRAT
NIM. 4103810413007
SLAMET
NIM. 4103810413018


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
2014
BAB I
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Organisasi pendidikan merupakan organisasi yang unik. Karena
keunikannya, lembaga pendidikan tidak dapat disejajarkan dengan
lembaga-lembaga atau organisasi lainnya. Keunikannya terletak dari
misinya sebagai lembaga pencetak manusia-manusia yang memiliki
kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan tertentu agar dapat hidup
sebagai manusia yang produktif dan beradab. Karena keunikannya itu
pulalah, lembaga pendidikan harus diselenggarakan dan dikelola oleh
lembaga dan orang-orang yang berkompeten.
Penyelenggara pendidikan, baik pemerintah, pemerintah daerah
maupun komunitas masyarakat (yayasan) harus memiliki kemampuan

yang handal dalam hal penyusunan dan pengembangan kurikulum,
penyediaan sarana dan prasarana, pengadaan tenaga pendidikan dan
tenaga kependidikan, kemampuan pendanaan dan berbagai hal yang
menjadi

standar

nasional

pendidikan.

Hal

ini

penting,

sehingga

penyelenggaraan pendidikan tidak mengabaikan kualitas.

Selain penyelenggara, unsur pengelola pendidikan (manajemen
sekolah) memiliki peran yang tidak kalah penting. Ia berada pada garis
depan (front office line) yang bertanggungjawab menyelenggarakan
proses pembelajaran. Di bawah kewenangannya, proses pembelajaran
dan bagaimana kualitas dari proses tersebut terjadi. Disinilah sejatinya
proses tranfer nilai (transfer of values) melalui proses imitasi, pewarisan
budaya, hingga proses pembentukan pengetahuan dan keterampilan
terjadi dengan memadai ataukah tidak memadai. Oleh karenanya,
pemahaman

pengelola

pendidikan

terhadap

tujuan

dan


fungsi

pendidikan akan sangat menentukan kualitas lembaga pendidikan yang
dikelolanya.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

2

Era desentralisasi dan otonomi daerah telah membawa implikasi
besar

terhadap

Kewenangan

penyelenggaraan

penyelenggaraan


dan

pengelolaan

pendidikan

dasar

pendidikan.

dan

menengah

(kecuali madrasah) berdasarkan PP No. 38 tahun 2007 didelegasikan
kewenangan

penyelenggaraannya

kepada


pemerintah

daerah

kabupaten/kota. Hanya Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah yang berada pada perbatasan
kabupaten/kota

berada

dalam

kewenangan

pemerintah

provinsi.

Sementara itu, pemerintah pusat berperan dalam menetapkan standar

penyelenggaraan pendidikan, yang meliputi : standar kompetensi
lulusan (SKL), standar isi, standar penilaian, standar pendidik dan
tenaga

kependidikan,

standar

pembiayaan,

standar

prasarana, standar pengelolaan, serta standar proses

sarana

dan

di jenjang


pendidikan dasar dan menengah.
Penyelenggara pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) di
Kabupaten/kota dilaksanakan oleh dinas

pendidikan, meski pada

kenyataannya, dinas pengelola pendidikan ini diberi pula tanggung
jawab mengelola urusan lain, seperti urusan pemuda, olah raga,
kebudayaan,

bahkan

pariwisata.

Oleh

karenanya,

dalam


penyelenggaran pendidikan di tingkat messo, dibutuhkan pula birokrasi
penyelenggara pendidikan yang kompeten. Penempatan personil, mulai
dari pimpinan hingga pelaksana dan pengelola pendidikan di satuansatuan

pendidikan,

harus

benar-benar

memperhatikan

aspek

kompetensi. Prinsip merit system dan the right man on the right place
perlu secara konsisten diimplementasikan.
Pimpinan dinas yang menyelenggarakan

pendidikan


di

kabupaten/kota dan pimpinan satuan pendidikan harus memiliki jiwa
kepemimpinan (leadership). Tead, Terry, Hoyt (dalam Kartono, 2003)
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

3

menyatakan

bahwa

kepemimpinan

adalah

kegiatan

atau


seni

mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada
kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam
mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Itu berarti bahwa
dalam diri seorang pemimpin harus memiliki kelebihan dibandingkan
pengikutnya, kelebihan yang utama adalah kemampuannya untuk
mengarahkan

agar pengikutnya tetap melaksanakan kegiatan sesuai

dengan tujuan-tujuan organisasi.
Dari sudut pandang penyelenggaraan pendidikan dewasa ini,
kepemimpinan menjadi sangat penting dan cenderung menyisakan
permasalahan, terutama bila dipandang dari 2 (dua) hal, pertama
adanya

kenyataan

bahwa

penggantian

pemimpin

(suksesi

kepemimipinan) seringkali mengubah kinerja suatu unit, instansi atau
organisasi; kedua, hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan
menjadi salah satu faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan
organisasi,

namun

pada

kenyataannya dipandang

tidak

penting.

Sehingga yang terjadi adalah organisasi memiliki pemimpin/kepala
namun gagal dalam menghadirkan leadership (Yukl, 1989). Hasil
penelitian tersebut membuktikan adanya jargon “ganti pimpinan, ganti
kebijakan”, bahkan sampai hal-hal teknis seperti ganti tata ruang
kantor, ganti kursi, atau ganti warna dinding, bukan sistem yang
bekerja.
Dalam perspektif religi, Rasulullah Saw mengingatkan bahwa
setiap orang adalah pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri,
hal ini sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits :
‫ الحديث " متفق عليه‬...‫م " كللكم راعع وكللكم مسئول عن رعليته‬.‫ قال رسول الله ص‬:‫ع قال‬.‫عن ابن عمر ر‬

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

4

Artinya: “Dari Ibnu Umar R.a ia berkata: bersabda Rasulullah saw
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan ditanya tentang
kepemimpinan kalian… al-hadits” (HR.Mutafaq `alaih).
Namun, terkadang manusia lupa tentang peranan dia sebagai
seorang pemimpin dan terkadang dia tidak tahu bahwa kelak dia akan
dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.

Adapula

manusia yang ditakdirkan menjadi seorang pemimpin tapi ia tidak tahu
apa yang harus diperbuat sebagai seorang pemimpin. Disinilah
diperlukan

pengetahuan

dan

keilmuan

tentang

kepemimpinan,

sehingga seseorang yang ditakdirkan menjadi pemimpin tidak gagap
dan

bingung

dengan

jabatannya

sehingga

dapat

menunaikan

amanahnya.
Sekurang-kurangnya terdapat tiga masalah mendasar yang
menandai

kekurangan

ini.

Pertama,

adanya

krisis

komitmen.

Kebanyakan orang tidak merasa mempunyai tugas dan tanggung jawab
untuk memikirkan dan mencari pemecahan masalah kemaslahatan
bersama, masalah harmoni dalam kehidupan dan masalah kemajuan
dalam kebersamaan. Kedua, adanya krisis kredibilitas. Sangat sulit
mencari pemimpin atau kader pemimpin yang mampu menegakkan
kredibilitas tanggung jawab. Kredibilitas itu dapat diukur misalnya
dengan kemampuan untuk menegakkan etika, memikul amanah, setia
pada kesepakatan dan janji, bersikap teguh dalam pendirian, jujur
dalam memikul tugas dan tanggung jawab yang dibebankan padanya,
kuat iman dalam menolak godaan dan peluang untuk menyimpang.
Ketiga, masalah kebangsaan dan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Saat ini tantangannya semakin kompleks dan rumit.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

5

Kepemimpinan sekarang tidak cukup lagi hanya mengandalkan
pada bakat atau keturunan. Pemimpin zaman sekarang harus belajar,
banyak

membaca,

dan

memiliki

pengetahuan

mutakhir

serta

pemahaman mengenai berbagai soal yang menyangkut kepentingan
orang-orang yang dipimpin. Selain itu, pemimpin harus memiliki
kredibilitas dan integritas, mampu bertahan (survive) dalam berbagai
macam

kondisi

yang

cepat

berubah,

serta

melanjutkan

misi

kepemimpinannya. Jika tidak memiliki kemampuan tersebut, pemimpin
tersebut hanya akan menjadi karikatur dan tertawaan dalam kurun
sejarah di kelak kemudian hari.
Sementara itu, permasalahan lain dalam kepemimpinan adalah
dalam proses pengambilan keputusan. Permasalahan yang muncul
dalam pengambilan keputusan menjadi persoalan yang tidak mudah
bagi seorang pemimpin. Persoalan ego, kepentingan, kondisi bawahan,
materi keputusan menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi seorang
pemimpin

dalam

mengambil

keputusan.

Pemimpin

harus

berani

mengambil keputusan terhadap kebijakan tertentu sesuai dengan
mekanisme dan ketentuan yang ada.
Pengambilan keputusan pada dasarnya tidak dapat didelegasikan
kepada pengikut atau pegawai di bawahnya. Sebab konsekuensi dari
keputusan tetap berada di level pemimpin.

Stoner (2003:205)

memandang pengambilan keputusan sebagai proses pemilihan suatu
arah tindakan sebagai cara untuk memecahkan sebuah masalah
tertentu.

Siagian

(1993:24)

mengartikan

pengambilan

keputusan

sebagai usaha sadar untuk menentukan satu alternatif dari berbagai
alternatif untuk memecahkan masalah.

Beberapa peluang masalah

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

6

dapat muncul dalam proses pengambilan keputusan ini disebabkan
beberapa

aspek,

diantaranya:

pertama,

pembuat

keputusan

(pemimpin) merupakan manusia dengan kompleksitas karakteristiknya.
Kedua, pembuat keputusan dalam organisasi pendidikan berhadapan
dengan manusia, mengurusi urusan manusia, bukan berhubungan
dengan mesin yang hanya berhubungan secara mekanis. Ketiga,
pembuat keputusan dihadapkan pula dengan sistem nilai (values) yang
hidup dalam organisasi tersebut serta dalam masyarakat. Walhasil
proses pengambilan keputusan itu sejatinya bukanlah hal yang
sederhana, melainkan hal yang komplek dan rumit. Disinilah kehadiran
leadership itu diperlukan.
Dalam makalah singkat ini, akan dibahas “Pengambilan
Keputusan

dalam

Kepemimpinan

Pendidikan

Kajian

dari

Presfektif Agama, Filosofis, Psikologis,dan Sosiologis”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditetapkan perumusan
masalah sebagai berikut ini.
1. Bagaimanakah
pengambilan

keputusan

dalam

kepemimpinan

pendidikan ditinjau dari perspektif agama?
2. Bagaimanakah pengambilan keputusan

dalam

kepemimpinan

pendidikan ditinjau dari perspektif filsafat?
3. Bagaimanakah pengambilan keputusan

dalam

kepemimpinan

pendidikan ditinjau dalam perspektif psikologis?
4. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam

kepemimpinan

pendidikan ditinjau dalam perspektif sosiologi?
C. Tujuan
Secara umum makalah ini bertujuan untuk
1. mengetahui
pengambilan keputusan

dalam

kepemimpinan

pendidikan ditinjau dari perspektif agama.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

7

2. mengetahui

pengambilan

keputusan

dalam

kepemimpinan

pendidikan ditinjau dari perspektif filsafat .
3. mengetahui
pengambilan
keputusan
dalam

kepemimpinan

pendidikan ditinjau dalam perspektif psikologis.
4. mengetahui
pengambilan
keputusan
dalam

kepemimpinan

pendidikan ditinjau dalam perspektif sosiologi.
Adapun secara khusus, makalah ini bertujuan untuk
1. mengetahui penerapan pengambilan keputusan dalam lingkup
messo dan mikro pendidikan menurut perspektif agama, filosofis,
psikologis dan sosiologis.
2. memenuhi salah satu tugas perkuliahan landasan agama, filosofi,
psikologi dan sosiologi dari kepemimpinan pendidikan.
5. Manfaat
Secara teoritis makalah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
manajemen khususnya menyangkut kepemimpinan dan pengambilan
keputusan. Selain itu, makalah ini menelaah berbagai macam teori
pengambilan keputusan dalam kepemimpinan ditinjau dari perspektif
agama, filosofis, psikologis dan sosiologi.
Adapun secara praktis, makalah ini bermanfaat bagi pembacanya
dalam meningkatkan kualitas kepemimpinan terutama dalam hal
pengambilan

keputusan

sebagai

pengelola

maupun

sebagai

penyelenggara organisasi pendidikan.
6. Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan pendekatan deduktif yakni melalui
metode studi kepustakaan, baik pada buku-buku, artikel jurnal, atau
pada online yang membahas mengenai kepemimpinan, pengambilan
keputusan, serta landasan-landasan dalam pengambilan keputusan.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

8

BAB II
PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN
A. Kepemimpinan Pendidikan
Secara berturut-turut pada bagian ini akan dibahas berbagai macam
teori dan pendapat berkenaan dengan pengertian kepemimpinan, teori
kepemimpinan, tipe

kepemimpinan, kepemimpinan partisipatif dari

aspek agama, filosofis, psikologis dan sosiologis.
1. Pengertian Kepemimpinan
Pengertian kepemimpinan

sangat

beragam.

Setiap

ahli

mengemukakan pengertiannya berdasarkan cara pandangnya masingmasing. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Koontz, O’Donnel &
Weihrich (1990:147) yang mendefinisikan kepemimpinan

sebagai

pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga
mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemauan
dan antusias. James. M Black dalam bukunya Management, A guide to
Executive Command menulis

bahwa “Leadership is capatibilty of

persuading others to work together undertheir direction as a team to
accomplish certain designated objectives”

(kepemimpinan adalah

kemampuan meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah
pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai atau melakukan suatu
tujuan tertentu).
Demikian

pula,

Kartono

(2005:187)

mendefinisikan

kepemimpinan sebagai satu bentuk dominasi yang didasari oleh
kapabilitas/kemampuan

pribadi,

yaitu

mampu

mendorong

dan

mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan
bersama. Sedangkan Stoner, Freeman dan Gilbert (1996) sebagaimana
dikemukakan oleh Kambey (2003:125) mendefinisikan kepemimpinan
manajerial sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas
yang berkaitan dengan tugas dari anggota kelompok. Sementara itu,
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

9

Rost (dalam Safira, 2004:3) mendefinisikan kepemimpinan sebagai
sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan
pengikut atau bawahan yang menginginkan perubahan nyata yang
mencerminkan tujuan bersamanya. Sedangkan Robbins (2003: 432)
mendefinisikan

kepemimpinan

sebagai

kemampuan

untuk

mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Selanjutnya
Gibson,

Ivancevich

dan

Donnely

(1991:334)

mendefinisikan

kepemimpinan sebagai suatu upaya penggunaan jenis pengaruh bukan
paksaan untuk memotivasi orang-orang mencapai tujuan tertentu.
Adapun Tead, Terry, Hoyt (dalam Kartono, 2003) berpendapat
bahwa kepemimpinan adalah kegiatan atau seni mempengaruhi orang
lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang
tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan
yang diinginkan kelompok. Menurut Young (dalam Kartono, 2003)
kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan
pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk
berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan
memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.
Moejiono (2002) memandang bahwa leadership sebenarnya
sebagai akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki
kualitas-kualitas

tertentu

yang

membedakan

dirinya

dengan

pengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance induction theorists)
cenderung

memandang

leadership sebagai

pemaksaan

atau

pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana untuk
membentuk kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin.
Abdulrachman (2004:16) berpendapat bahwa: "tidak semua
pemimpin akan dapat mempengaruhi dan menggerakkan orang lain
dalam rangka mencapai suatu tujuan secara efektif dan efisien, sebab

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

10

orang lain baru dapat dipengaruhi/digerakkan jika: (1) Ada kemampuan
pada pemimpin untuk menggunakan teknik kepemimpinan; (2) Ada
sifat-sifat khusus pada pemimpin yaitu sifat-sifat kepemimpinan yang
mempengaruhi jiwa orang-orang sehingga kagum dan tertarik pada
pemimpin tersebut".
Dengan
demikian,

untuk

mampu

mempengaruhi

atau

menggerakkan orang lain agar dengan penuh kesadaran dan senang
hati bersedia melakukan dan mengikuti kehendak pemimpin, maka
pemimpin harus memiliki kemampuan dan memiliki sifat-sifat khusus.
Sedangkan sifat-sifat yang harus dimiliki pemimpin menurut Harold
Koontz dan Cyrill O’Donnell (1990:21), yaitu:
a. Memiliki kecerdasan melebihi orang-orang yang dipimpinnya.
b. Mempunyai perhatian terhadap kepentingan yang menyeluruh.
c. Mantap dalam kelancaran berbicara.
d. Mantap berpikir dan emosi.
e. Mempunyai dorongan yang kuat dari dalam untuk memimpin
f. Memahami kepentingan tentang kerjasama.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang
untuk mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan orang lain agar
dengan penuh pengertian, kesadaran dan senang hati bersedia
mengikuti kehendaknya tersebut untuk mewujudkan suatu tujuan
bersama.
2. Teori-Teori tentang Kepemimpinan
Secara

singkat

dapat

dikemukakan

bahwa

teori

tentang

kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam tiga pendekatan, yaitu:
pendekatan sifat, pendekatan perilaku, dan pendekatan situasional
(Lunenburg & Ornstein,1991:129-153, Handoko, 2001:295; Gomes-Mejia
& Balkin, 2002: 290-312 2002, Wirjana & Supardo, 2005:13).

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

11

a. Pendekatan Sifat.
Teori pendekatan sifat memusatkan perhatian pada diri para
pemimpin itu sendiri, oleh karena itu teori ini lebih dikenal sebagai teori
pembawaan. Dalam teori ini disebutkan bahwa pemimpin memiliki ciriciri atau sifat-sifat tertentu yang menyebabkan ia dapat memimpin para
pengikutnya. Sifat-sifat tertentu itu menurut Ghiseli (1971) seperti yang
dikutip oleh Handoko (2001:297) antara lain: (1) kemampuan sebagai
sebagai pengawas, (2) kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, (3)
kecerdasan, (4) ketegasan, (5) kepercayaan diri, (6) inisiatif.
Sedangkan Davis menyimpulkan 4 (empat) ciri/sifat utama yang
mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan organisasi,
yaitu : (1) kecerdasan, (2) kedewasaan dan keluasan hubungan sosial,
(3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4) sikap-sikap
hubungan manusiawi.
b. Pendekatan Perilaku.
Pendekatan perilaku mencoba mengoreksi pendekatan sifat.
Menurut

pendekatan

perilaku,

pendekatan

sifat

tidak

dapat

menjelaskan apa yang menyebabkan kepemimpinan itu efektif. Oleh
karenanya, pendekatan perilaku tidak lagi berdasarkan pada sifat
seorang

pemimpin

dilakukan

oleh

mendelegasikan

melainkan

pemimpin
tugas,

mencoba

menentukan

apa

efektif,

seperti

bagaimana

bagaimana

mereka

berkomunikasi

yang

mereka
dan

memotivasi bawahan, bagaimana mereka menjalankan tugas-tugas dan
sebagainya.
Aspek perilaku kepemimpinan menekankan fungsi-fungsi yang
dilakukan pemimpin dalam kelompoknya. Agar kelompok berjalan
efektif, seseorang harus melaksanakan dua fungsi utama, yaitu (1)
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

12

fungsi-fungsi yang berhubungan dengan tugas (task-related) atau
pemecahan masalah, dan (2) fungsi-fungsi pemeliharaan kelompok
(Group-maintenance) atau sosial.
Fungsi pertama menyangkut pemberian saran penyelesaian,
informasi, dan pendapat. Fungsi kedua mencakup segala sesuatu yang
dapat

membantu

kelompok

berjalan

lebih

lancar,

memperoleh

persetujuan kelompok lain, penengahan perbedaan pendapat dan
sebagainya.
Selain itu, perilaku kepemimpinan juga dapat dilihat dari gaya
pemimpin dalam hubungannya dengan bawahan. Ada dua orientasi
gaya kepemimpinan yakni:
(1) gaya orientasi tugas (task oriented);
(2) gaya orientasi karyawan (employe-oriented).
Seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan berorientasi tugas akan
berusaha mendorong bawahannya melaksanakan tugas yang sesuai
dengan keinginannya. Jadi pelaksanaan pekerjaan lebih penting dari
pengembangan dan pertumbuhan karyawan. Sedangkan pemimpin
yang berorientasi pada karyawan lebih melihat karyawan secara
manusiawi,

sehingga

mereka

akan

selalu

memberikan

motivasi,

melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan, menciptakan
persahabatan dan saling menghormati.
c. Pendekatan Situasional.
Banyak penelitian mengindikasikan bahwa tidak ada satupun
gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap pemimpin untuk berbagai
kondisi. Oleh karenanya, lahirlah pendekatan situasional. Pendekatan ini
didasarkan pada keyakinan bahwa para pemimpin dalam menjalankan
kepemimpinannya, terutama pada aktifitas pengambilan keputusan,
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

13

Pendekatan situasional menekankan bahwa gaya kepemimpinan
sangat bergantung pada faktor-faktor seperti situasi, karyawan, tugas,
organisasi dan variabel-variabel lingkungan lainnya. Stogdill et.al,
(1956) sebagaimana dikemukakan oleh Koontz, O’Donnel & Wehirich
(1990:158-259)

mengatakan

bahwa

faktor-faktor

situasi

yang

mempengaruhi seorang pemimpin adalah pekerjaan yang sedang
ditangani, lingkungan organisasi, dan karakteristik orang yang mereka
hadapi. Sedangkan Fiedler (1974) mengemukakan ada tiga dimensi
utama

dalam

situasi

kepemimpinan

yang

mempengaruhi

gaya

pemimpin yang efektif yakni (1) kekuasaan posisi, (2) struktur tugas
dan (3) hubungan pemimpin-anggota. Reksohadiprodjo & Handoko
(2001:289) mencatat bahwa penemuan Fiedler menunjukkan bahwa
dalam

situasi

yang

sangat

menguntungkan

atau

sangat

tidak

menguntungkan, tipe pemimpin yang beorientasi pada tugas atau
pekerjaan

adalah

sangat

efektif.

Akan

tetapi

bila

situasi

yang

menguntungkan atau tidak menguntungkan hanya tipe pemimpin
hubungan manusiawi akan sangat efektif.
Teori lain tentang kepemimpinan situasional adalah Teori HerseyBlanchard.

Menurut

Siagian

(2003:139)

pada

intinya

teori

ini

menekankan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung
pada dua hal, yaitu pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat untuk
menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan (kedewasaan)
yang dipimpin. Dua dimensi kepemimpinan yang digunakan dalam teori
ini ialah perilaku seorang pimpinan yang berkaitan dengan tugas
kepemimpinannya dan hubungan atas-bawahan atau patron – client.
Tergantung pada orientasi

tugas kepemimpinan dan sifat hubungan

atasan dan bawahan yang digunakan, gaya kepemimpinan yang timbul
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

14

dapat mengambil empat bentuk, yaitu : memberitahukan, menjual,
mengajak bawahan berperan serta dan pendelegasian.
3. Gaya Kepemimpinan
Perilaku pemimpin dalam memimpin organisasi disebut juga gaya
kepemimpinan (Style of Leadership ). Setiap pemimpin memiliki
gayanya sendiri dalam memimpin. Oleh karenanya banyak penelitian
tentang gaya kepemimpinan seseorang.
Berbagai gaya kepemimpinan telah diteliti dan ditemukan bahwa
setiap pemimpin telah diteliti dan ditemukan bahwa setiap pemimpin
bisa mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda antara yang satu
dengan yang lain, dan tidak mesti suatu gaya kepemimpinan yang satu
lebih baik atau lebih jelek daripada gaya kepemimpinan yang lainya.
Studi kepemimpinan yang dilakukan oleh Universitas Ohio dan
Universitas Michigan maupun yang dilakukan oleh Tannenbaum dan
Schmidt

seperti

dikutip

oleh

Wahjosumidjo

(2001:40)

semuanya

berusaha mencari gaya kepemimpinan yang efektif. Berkaitan dengan
masalah gaya kepemimpinan, Ngalim Purwanto (1992, 48-50) membagi
tiga gaya kepemimpinan yang pokok yaitu gaya kepemimpinan
Otokratis, Demokratis, Laissez faire.
a. Gaya Kepemimpinan Otokratis
Gaya kepemimpinan Otokratis ini meletakkan seorang pemimpin
sebagai

sumber

kebijakan.

Pemimpin

merupakan

segala-galanya.

Bawahan dipandang sebagai orang yang melaksanakan perintah. Oleh
karena itu bawahan-bawahan hanya menerima instruksi saja dan tidak
diperkenankan membantah maupun mengeluarkan ide atau pendapat.
Dalam posisi demikian anggota atau bawahan tidak terlibat dalam soal
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

15

keorganisasian.

Pada

tipe

kepemimpinan

ini

segala

sesuatunya

ditentukan oleh pemimpin sehingga keberhasilan organisasi terletak
pada pemimpin. Pada gaya kepemimpinan ini terjadi dominasi yang
berlebihan mudah menghidupkan oposisi atau menimbulkan sifat
apatis, atau sifat-sifat pada anggota-anggota kelompok terhadap
pemimpinnya.
b. Gaya Kepemimpinan Demokratis
Gaya kepemimpinan ini memberikan

tanggung

jawab

dan

wewenang kepada semua pihak, sehingga mereka ikut terlibat aktif
dalam organisasi. Anggota diberi kesempatan untuk memberikan usul
serta saran dan kritik demi kemajuan organisasi. Gaya kepemimpinan
ini

memandang

bawahan

sebagai

bagian

dari

keseluruhan

organisasinya, sehingga bawahan mendapat tempat sesuai dengan
harkat dan martabatnya sebagai manusia. Pemimpin mempunyai
tanggung jawab dan tugas untuk mengarahkan, mengontrol dan
mengevaluasi serta mengkoordinasi.
Kepemimpinan demokratis senantiasa melibatkan partisipasi
bawahan atau pengikutnya untuk mengambil keputusan. Oleh karena
itu, gaya kepemimpinan demokratis kerap disebut dengan gaya
kepemimpinan partisipatif. Pemimpin tipe seperti ini kerap menjalankan
kepemimpinan

dengan

konsultasi.

Ia

tidak

mendelegasikan

wewenangnya untuk membuat keputusan akhir dan untuk memberikan
pengarahan tertentu kepada bawahanya. Tetapi ia mencari berbagai
pendapat dan pemikiran dari pada bawahanya mengenai keputusan
yang akan diambil. Ia akan secara serius mendengarkan dan menilai
pikiran-pikiran para bawahanya dan menerima sumbangan pikiran
mereka . Sejauh pemikiran tersebut bisa dipraktekkan .
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

16

Pemimpin dengan gaya partisipatif akan mendorong kemampuan
mengambil

keputusan

dari

bawahannya

sehingga

pikiran-pikiran

mereka akan selalu meningkat dan makin matang. Para bawahannya
juga didorong agar meningkatkan kemampuan mengendalikan diri dan
menerima tanggung jawab yang lebih besar. Pemimpin akan lebih
“supportive” dalam kontak dengan para bawahan dan bukan menjadi
bersikap diktator. Meskipun tentu saja, wewenang terakhir dalam
pengambilan keputusan terletak pada pimpinan.
Pemimpin

yang

demokratis

selalu

berusaha

menstimulasi

anggota-angotanya agar bekerja secara produktif untuk mencapai
tujuan bersama. Dalam tindakan dan usaha-usahanya, ia selalu
berpangkal pada kepentingaan dan kebutuhan kelompoknya, dan
memperimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.

c. Gaya Kepemimpinan Laissez faire
Pada prinsipnya, gaya kepemimpinan ini memberikan kebebasan
mutlak kepada para bawahan. Semua keputusan dalam pelaksanaan
tugas dan pekerjaan diserahkan sepenuhnya kepada bawahan. Dalam
hal ini pemimpin bersifat pasif dan tidak memberikan contoh-contoh
kepemimpinan (Purwanto,1992:48)
Pemimpin

mendelegasikan

wewenang

untuk

mengambil

keputusan kepada para bawahannya dengan agak lengkap. Pada
prinsipnya pimpinan akan mengatakan “inilah pekerjaan yang harus
saudara lakukan. Saya tidak peduli bagaimana kalau mengerjakannya,
asalkan pekerjaan tersebut bisa diselesaikan dengan baik “. Disini
pimpinan menyerahkan tanggung jawab atas pelaksanaan pekerjaan

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

17

tersebut

kepada

para

bawahannya.

Dalam

konteks

pimpinan

menginginkan agar para bawahannya bisa mengendalikan diri mereka
sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. Pimpinan tidak akan
membuat peraturan-peraturan tentang pelaksanaan pekerjaan tersebut
dan hanya para bawahan dituntut untuk memiliki kemampuan/keahlian
yang tinggi.
Dari beberapa gaya kepemimpinan tersebut akan mempunyai
tingkat efektivitas yang berbeda-beda, tergantung pada faktor yang
mempengaruhi

perilaku

pemimpin.

Seorang

pemimpin

dalam

menjalankan kepemimpinannya sangat dipengaruhi oleh faktor, baik
yang berasal dari dalam diri pribadinya maupun faktor yang berasal
dari luar individu pemimpin tersebut. Sifat dasar kepemimpinan yang
harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kepemimpinan yang
demokratis atau kepemimpinan partisipatif. Pemimpin demokratis akan
mampu mengambil keputusan sendiri dalam situasi tertentu. Jangan
ditafsirkan

bahwa

kepemimpinan

demokratis

selalu

meminta

pertimbangan bawahan untuk semua hal.

4. Kepemimpinan Partisipatif
Kalau dicermati kepemimpinan partisipatif muncul dari beberapa
teori kepemimpinan maupun dari berbagai studi dan penelitian tentang
kepemimpinan. Di antaranya adalah teori Path-Goal (jalan-tujuan). Teori
ini menganalisa pengaruh (dampak) kepemimpinan (terutama perilaku
pemimpin) terhadap motivasi bawahan, kepuasan, dan pelaksanaan
kerja. Teori path-goal memasukkan empat tipe atau gaya pokok perilaku
pemimpin

yaitu

kepemimpinan

direktif,

kepemimpinan

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

suportif,
18

kepemimpinan

partisipatif,

dan

kepemimpinan

orientasi-prestasi

(Lunenburg & Ornstein, 1991: 143-144; Reksohadiprojo dan Handoko,
2001:289-290). Menurut teori ini kepemimpinan partisipatif adalah
pemimpin meminta dan menggunakan saran-saran bawahan, tetapi
masih

membuat

keputusan.

Kebanyakan

studi

dalam

organisasi

menyimpulkan bahwa dalam tugas-tugas yang tidak rutin karyawan
lebih puas di bawah pimpinan yang partisipatif daripada pemimpin yang
non partisipatif.
Kepemimpinan

partisipatif

menyangkut

usaha-usaha

oleh

seorang manajer untuk mendorong dan memudahkan partisipasi orang
lain dalam pengambilan keputusan yang jika tidak akan dibuat
tersendiri oleh manajer tersebut (Yukl, 1998:132). Kepemimpinan ini
mencakup aspek-aspek kekuasaan seperti bersama-sama menanggung
kekuasaan, pemberian kekuasaan dan proses-proses mempengaruhi
yang timbal-balik. Sedangkan yang menyangkut aspek-aspek perilaku
kepemimpinan seperti prosedur-prosedur spesifik yang digunakan untuk
berkonsultasi dengan orang lain untuk memperoleh gagasan dan saransaran, serta perilaku spesifik yang digunakan untuk proses pengambilan
keputusan dan pendelegasian kekuasaan.

B. Landasan Agama, Filosofis, Psikologis, dan Sosiologis
1. Landasan Agama
Secara teologis, agama Islam telah menggariskan bahwa apabila
pemimpin akan mengambil keputusan diusahakan sejauh mungkin
dengan lemah lembut, bersiap untuk memaafkan, bermusyawarah dan
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

19

apabila keputusan telah diambil maka terhadap keputusan itu harus
patuh sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Imran ayat 159 di bawah
ini.

"Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemahlembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah

mereka,

mohonkanlah

ampun

bagi

mereka,

dan

bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya." (QS Ali-Imran: 159)
Musyawarah merupakan jalan yang baik untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang pelik, baik persoalan keluarga, kelompok,
bangsa atau persoalan apapun yang perlu segera dicarikan jalan keluar
sebagai pemecahannya. Dengan musyawarah maka orang-orang yang
ikut bermusyawarah merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Maka musyawarah sesungguhnya bentuk partisipatif anggota organisasi
dalam pengambilan keputusan.
Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang
amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga
dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian Al-Qur’an dan Hadist yang
memerintahkan

atau

menganjurkan

umat

pemeluknya

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

supaya

20

bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka
hadapi.
Dalam hal menyelesaikan urusan rumah tangga, Islam memberikan
petunjuk senagaimana tersurat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 233.
Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka
(sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara
mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)
Sesungguhnya
seharusnya

relasi

makna

suami-

ayat

istri

ini

saat

membicarakan
mengambil

bagaimana

keputusan

yang

berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak dilakukan. Di dalam
menyapih

anak

dari

menyusu

ibunya

kedua

orang

tua

harus

mengadakan musyawarah. Menyapih anak itu tidak boleh dilakukan
tanpa

ada

musyawarah.

Seandainya

salah

dari

keduanya

tidak

menyetujui, maka orang tua itu akan berdosa karena ini menyangkut
dengan kemaslahan anak tersebut. Jadi pada ayat di atas, al-Qur’an
memberi petunjuk agar setiap persoalan rumah tangga termasuk
persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami istri.
Musyawarah

itu

di

pandang

penting,

antara

lain

karena

musyawarah merupakan salah satu alat yang mampu mempersatukan
sekelompok orang atau umat di samping sebagai salah satu sarana
untuk menghimpun atau mencari pendapat yang lebih dan baik.
Adapun bagaimana sistem permusyawaratan itu harus dilakukan,
baik Al-Qur’an maupun Hadis tidak memberikan penjelasan secara
khusus. Oleh karena itu sistem permusyawaratan yang akan dipakai
sepenuhnya diserahkan kepada umat sesuai dengan cara yang mereka
anggap baik.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

21

Para ulama berbeda pendapat mengenai obyek yang menjadi
kajian dari permusyawaratan itu sendiri, adakah permusyawaratan itu
hanya dalam soal-soal keduniawian dan tidak tentang masalah-masalah
keagamaan? Sebagian dari mereka berpendapat bahwa musyawarah
yang dianjurkan atau diperintahkan dalam Islam itu khusus dalam
masalah-masalah yang diperbolehkan untuk dimusyawarahkan bukan
persoalan-persoalan yang sudah jelas hukumnya. Dalam sejarah
Rasulullah,

beliau

Saw

tidak

pernah

memberikan

contoh

memusyawarahkan status hukum khamar yang sudah jelas haram.
Tetapi Rasulullah Saw memberikan contoh memusyawarahkan teknis
penyergapan musuh dalam perang Badar.
Dengan kata lain, untuk persoalan-persoalan pokok (ushul) yang
sudah jelas hukum halal dan haramnya, umat Islam tidak bisa
melakukan musyawarah untuk mengubah status hukum tersebut,
misalnya dari status hukum halal berubah menjadi halal, dan sebalik.
Namun

musyawarah

dilakukan

untuk

persoalan-persoalan

dalam

domain teknis atau untuk mencari pendapat dan saran yang kuat. Oleh
karenanya, dalam konteks ini, para sahabat Rasulullah Saw sebelum
mereka mengeluarkan pendapat kepada beliau Saw selalu bertanya
dulu apakah pendapat Rasulullah itu merupakan wahyu atau pendapat
pribadi beliau yang masih memungkinkan untuk diberi saran. Bila
pendapat tersebut adalah wahyu, para shahabat melakukan sami’na wa
atha’na. Namun, bila pendapat tersebut bukan wahyu, para shahabat
banyak memberikan pendapat kepada Nabi Muhammad Saw.

2. Landasan Filosofis

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

22

Landasan filosifis mengandung makna bahwa dalam melakukan
suatu pekerjaan atau tindasan didasari oleh cara berpikir yang
mendalam

hingga

positifnya.

Bila

diperhitungkan

dikaitkan

dengan

benar-benar

sisi

negatif

pengambilan

keputusan,

dan
maka

pemimpin dalam mengambil keputusan harus menggunakan cara
berpikir yang benar, hingga terhindar dari keputusan-keputusan yang
keliru.
Secara etimologi, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani
“Philosophia” yang terdiri dari dua kata, yaitu philos/philein yang berarti
suka, cinta, mencintai dan shophia yang berarti kebijaksanaan, hikmah,
atau kependaian ilmu. Philosophia berarti “cinta kepada kebijaksanaan”
atau “ cinta kepada ilmu”. Dalam bahasa Belanda, filsafat berasal dari
kata “wijsbegeerte” yang berarti keingingan untuk pandai atau berilmu.
Berfilsafat berarti berfikir secara mendalam (radikal) atau dengan
sungguh-sungguh sampai keakar-akarnya terhadap suatu kebenaran.
Dengan kata lain, berfilsafat berarti mencari kebenaran atas sesuatu.
Mengingat filsafat telah lama lahir dan menjadi landasan bagi
semua ilmu yang ada, maka ilmu pendidikan pun dalam perkembangan
sejarahnya diwarnai oleh berbagai aliran filsafat yang satu sama lain
saling melengkapi atau terkadang saling bertentangan.
Setidaknya ada 9 (sembilan) aliran filsafat yang berpengaruh
terhadap ilmu pendidikan, yakni filsafat progresivisme, esensiaisme,
idealisme,

perenialisme, progresivisme,rekontruksionisme, realisme,

materialisme, dan eksistensialisme.

a. Aliran Filsafat pendidikan Progresivisme

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

23

Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan
asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa
survive menghadapi semua tantangan hidup. Progresivisme kerap
disebut

sebagai

instrumentalisme,

eksperimentalisme,

dan

enviomentalisme.


instrumentalisme,

karena

aliran

ini

beranggapan

bahwa

kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan

dan

untuk

mengembangkan

kepribadiaan

manusia.


eksperimentalisme,

karena

aliran

ini

menyadari

dan

mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu
teori.


environmentalisme, karena aliran ini menganggap lingkungan
hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadiaan.
Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain, adalah

William James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller dan
Georges Santayana.
Aliran progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di
dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar
kemerdekaan dan

kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan

kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan
bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat
oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat
progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter.
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan
sosialisasi. Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat
mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

24

Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu
dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Dengan

demikian,

sekolah

yang

ideal

adalah

sekolah

yang

isi

pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar, karena sekolah
adalah bagian dari masyarakat. Oleh karenanya, sekolah harus dapat
mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan
sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada.
Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan
program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak
didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah
itu. Fisafat progresivisme menghendaki sisi pendidikan dengan bentuk
belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing. Dengan kata
lain, akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik.
Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai
pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge) melainkan juga
berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value) sehingga
anak menjadi terampil dan berintelektual baik secara fisik maupun
psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus
dihilangkan.

b. Aliran Filsafat pendidikan Esensialisme
Aliran

esensialisme

merupakan

aliran

pendidikan

yang

didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal
peradaban

umat

manusia.

Esensialisme

muncul

pada

zaman

Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme.
Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan,
toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

25

Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan
kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Esensialisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai
pribadi

individu

dengan

menitikberatkan

pada

Aku.

Menurut

esensialisme, pada tarap permulaan seseorang belajar memahami
akunya sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia objektif. Dari
mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant, segala
pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera memerlukan unsur
apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu. Bila orang
berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti semua itu sudah
mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan
waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu
pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi pada benda,
tetapi benda-benda itu yang terarah pada budi. Budi membentuk dan
mengatur dalam ruang dan waktu.
Dengan
didefinisikan

mengambil
sebagai

landasan

substansi

pikir

tersebut,

belajar

dapat

spiritual

yang

membina

dan

menciptakan diri sendiri. Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan
filosof,

menerangkan

tentang

hakikat

sosial

dari

hidup

mental.

Dikatakan bahwa mental adalah keadaan ruhani yang pasif, hal ini
berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah
ditentukan dan diatur oleh alam sosial. Jadi, belajar adalah menerima
dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru
yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan
berikutnya.

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

26

c. Aliran Filsafat Pendidikan Perenialisme
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau
proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan
sumbangan

yang

berpengaruh

baik

teori

maupun

praktik

bagi

kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang. Dari pendapat ini
diketahui

bahwa

perenialisme

merupakan

hasil

pemikiran

yang

memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan
lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan
menemukan arah arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama
dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat
yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat
berpikir secara induktif. Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan
dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip
pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran
dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup,
orang akan mampu mengenal dan memahami faktor-faktor dan
problema

yang

perlu

diselesaikan

dan

berusaha

mengadakan

penyelesaian masalahnya.
Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan
karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental.
Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada masa lampau.
Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol
seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika,
ilmu

pengetahuan

alam,

dan

lain-lainnya,

yang

telah

banyak

memberikan sumbangan kepada perkembangan zaman dulu. Sekolah,
sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempersiapkan anak didik ke
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

27

arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan
tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran
(pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak
dalam nidang akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang
yang telah mendidik dan mengajarkan.

d. Aliran Filsafat pendidikan Rekonstruksionisme
Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct,
yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan,
rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak
tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan
aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern.
Menurut Muhammad Noor Syam (1985: 340), kedua aliran tersebut
memandang

bahwa

mempumyai
kebingungan,

keadaan

kebudayaan
dan

sekarang

yang

merupakan

terganggu

kesimpangsiuran.

Aliran

oleh

zaman

yang

kehancuran,

rekonstruksionisme

berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas
semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual
dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina
kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi
generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam
pengawasan umat manusia.Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi
bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur
dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang
dikuasai

oleh

golongan

tertentu.

Cita-cita

demokrasi

yang

sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

28

kenyataan,

sehingga

mampu

meningkatkan

kualitas

kesehatan,

kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa
membedakan

warna

kulit,

keturunan,

nasionalisme,

agama

(kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.

e. Aliran Filsafat pendidikan Idealisme
Tokoh

aliran

idealisme

adalah

Plato

(427-374

SM),

murid

Socrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang
mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang
semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli
(cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera.
Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu
dunia ide. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata
hanyalah ide. Dalam hal ini, ide sendiri selalu tetap atau tidak
mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak
dikategorikan ideal. Keberadaan ide tidak tampak dalam wujud lahiriah,
tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni.
Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan
lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang
tampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam
lingkungan ini seperti ada yang datang dan pergi, ada yang hidup dan
ada yang demikian seterusnya. Kedua, adalah realitas sejati, yang
merupakan sifat yang kekal dan sempurna (ide), gagasan dan pikiran
yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli,
kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari
yang tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.
f. Aliran Filsafat Pendidikan Realisme
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

29

Aliran ini berpendapat bahwa dunia rohani dan dunia materi
merupakan hakikat yang asli dan abadi. Kneller membagi realisme
menjadi dua :
1) Realisme rasional, memandang bahwa dunia materi adalah nyata
dan berada di luar pikiran yang mengamatinya, terdiri dari realisme
klasik dan realisme religi.
2) Realisme natural ilmiah, memandang bahwa dunia yang kita amati
bukan hasil kreasi akal manusia, melainkan dunia sebagaimana
adanya, dan substansialitas,sebab akibat, serta aturan-aturan alam
merupakan suatu penampakan dari dunia itu sendiri. Selain realisme
rasional dan realisme natural ilmiah, ada pula pandangan lain
mengenai realisme, yaitu neo-realisme dan realisme kritis. Neorealisme adalah pandangan dari Frederick Breed mengenai filsafat
pendidikan

yang

hendaknya

harmoni

demokrasi,

yaitu

menghormati

dengan

hak-hak

prinsip-prinsip

individu.

Sedangkan

realisme kritis didasarkan atas pemikiran Immanuel Kant yang
mensintesiskan

pandangan

berbeda

antara

empirisme

dan

rasionalisme, skeptimisme dan absolutisme, serta eudaemonisme
dengan prutanisme untuk filsafat yang kuat.
g. Aliran Filsafat Pendidikan Behaviorisme
Behaviorisme atau aliran perilaku merupakan filosoi dalam psikologi
yang berdasar pada proporsi bahwa semua yang dilakukan manusia,
termasuk tindakan, pikiran dan perasaan, dapat dianggap sebagai
perilaku.
h. Aliran Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles
sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos. Abad ke-19
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

30

menghasilkan tokoh-tokoh pemikir, diantaranya ialah Karl Marx (18181883) di kontinen Eropa dan William James (1842-1910) di kontinen
Amerika. Kedua pemikir itu mengklaim telah menemukan kebenaran.
Marx, yang terpengaruh positivisme, melahirkan sosialisme dan James,
seorang relativis, melahirkan pragmatisme. Baik sosialisme maupun
pragmatisme dimaksudkan supaya kemanusiaan dapat menghadapi
masalah besar, yaitu industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan,
getting things done. Menjadikan sesuatu dapat dikerjakan adalah
kriteria bagi kebenaran. James berpendapat bahwa kebenaran itu tidak
terletak di luar dirinya, tetapi manusialah yang menciptakan kebenaran.
It is useful because it is true, it is true because it is useful . Karena
kriteria kebenaran itulah, pragmatisme sering dikritik sebagai filsafat
yang mendukung bisnis dan politik Amerika.
i. Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat
pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang
bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana
yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang
benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar
bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing
individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat,
khususnya

tradisi

filsafat

Barat.

Eksistensialisme

mempersoalkan

keberadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan.
Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah
melulu soal kebebasan.
Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan

31

Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar
akan

tanggung

jawabnya

dimasa

depan

adalah

inti

dari

eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke
berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan
sebagainya, tet