Spiritualitas Megeng Dalam Tari Bedaya (1)

SPIRITUALITAS “MEGENG”1 DALAM TARI BEDHAYA KETAWANG
DI TENGAH BUDAYA KETERGESA-GESAAN
Disusun oleh Firdaus Tjahjanto Kurniawan
Sebagai Tugas Akhir Mata Kuliah Teologi, Spiritualitas dan Seni
(Bimbingan Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D)

1. Pendahuluan
Hampir setiap hari kita diberondong oleh reklame bahwa model baju, gaya rambut,
mobil, televisi, parfum, komputer atau HP yang kita punyai sudah ketinggalan jaman
alias jadul. Tentunya supaya kita membeli barang atau jasa terbaru yang lagi
diiklankan. Bahkan dalam gejala sehari-hari kita bisa menyaksikan praktek yang
melakukan penghapusan (deleting) masa lalu. Atau, secara konseptual dapat dikatakan
bahwa iklan-iklan tersebut menghasilkan histeria tentang kondisi melarikan diri dari
masa lalu. Dalam situasi seperti itu, pemeliharaan tradisi dengan segala nilai filosofis
bahkan relijius di dalamnya seringkali menjadi hilang.
Dalam dunia modern yang serba cepat, serba instan, segala sesuatu berjalan seakan
dengan penuh ketergesa-gesaan. Padahal, dalam ketergesa-gesaan, banyak hal pada
akhirnya terlewatkan, terlupakan atau bahkan luput dari perhatian. Jadi pada kondisi
yang semakin lepas-berlarian seperti demikianlah kita menghidupi dunia ini, yang
dalam bahasa Anthonyy Giddens : dunia yang tunggang-langgang (Runaway World)2.
Sifat tunggang-langgang ini tampak dari banyak gejala, misalnya; kecepatan

komunikasi, pergerakan modal saham, gejolak fluktuasi finansial, paket fastfood kilat,
cepat berubahnya cuaca-batin karena serbuan berita instan, sampai paket nikah instan.
Suasana hati susah-senang kita sangat cepat berubah-ubah.

1

2

Megeng, arti harafiahnya adalah : menahan. Dalam sebuah seni gerak Jawa, Megeng
menjadi sebuah gerak lambat dalam sebuah tarian.
Anthony Giddens, “Runaway World : Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan
Kita”, Jakarta : Gramedia, 2001.

Maka, di tengah dunia yang serba cepat, serba tergesa-gesa inilah, menjadi relevan
untuk kembali menghayati spiritualitas megeng, ‘kelambatan’, sebuah bentuk slow
motion yang terdapat dalam tarian Jawa (ataupun budaya Jawa pada umumnya yang
seringkali dituding lambat dan tidak sigap dalam menyikapi perubahan), dimana
ungkapan “Alon-alon wewaton kelakon”-pun seringkali salah ditafisrkan. Bahwa
rupanya tetap diperlukan ‘kelambatan’ (bukan ‘kelambanan’), yang memampukan
membaca teks-teks dunia ini dengan lebih cermat bahkan menghayatinya dalam

sebuah nilai relijiusitas yang tepat.

2. Megeng dalam Tari Bedhaya
2.1. Tari Bedhaya
Di dalam istana Sultan Jawa (Kraton Jogjakarta dan Kraton Solo) secara periodik
diadakan sebuah tarian sakral yang bernama tarian Bedhaya Ketawang. Secara
etimologi, Bedhaya berasal dari kata budha, yang berarti : yang awal atau yang
suci.3 Ada berbagai jenis Bedhaya, sesuai dengan tembang dan peruntukannya:
Bedhaya

Ketawang,

Mangunkarya,

Bedhaya

Bedhaya

Pangkur,


Sinom,

Bedhaya

Bedhaya

Duradasih,

Endhol-endhol,

Bedhaya
Bedhaya

Gandrungmanis, Bedhaya Kabor, Bedhaya Tejanata, dll.4 Tarian Bedhaya
Ketawang Ageng (Besar) hanya di lakukan setiap 8 tahun sekali atau sewindu
sekali sedangkan tarian Bedhaya Ketawang Alit (Kecil) dilakukan pada saat
Penobatan raja, pernikahan salah satu anggota Kraton yang ditambah simbolsimbol yang sesuai dengan maksud dan tujuan Bedhaya Ketawang di lakukan.5
Berbeda dengan tarian lainnya (bahkan dengan tari Bedhaya lainnya), Bedhaya
Ketawang khusus diperagakan oleh abdi dalem Kraton. Iramanya pun terdengar
lebih luruh (halus) dibanding dengan tari lainnya, dan dalam penyajiannya tanpa

disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan). Sebagai salah satu tari Klasik
Jawa, Tari Bedhaya Ketawang adalah sebuah tarian sakral Kraton dengan irama
lembut dan gerak gemulai yang sangat lambat (yang dikenal sebagai gerak
3

http://jv.wikipedia.org/wiki/Kategori:Tari_Jawa

4

Ibid.

5

Suharji, “Bedhaya Suryasumirat”, Semarang : Intra Pustaka Utama, 2004, hal. vi, 61-69.

megeng). Tarian ini dipentaskan dalam acara resmi oleh tujuh atau sembilan
penari wanita yang belum menikah (perawan, bahkan awalnya perawan yang
belum haid), yang telah dipingit (disendirikan secara khusus).6 Selain itu putriputri perawan yang ikut menari diwajibkan menjalankan puasa tertentu sebelum
melakukan tarian. Ada kepercayaan bahwa kanjeng Ratu Kidul sebagai Penguasa
Laut Selatan ikut menari dalam tarian ini.

Koreografi tarian Bedhaya Ketawang merupakan formasi kelompok dengan pola
dasar asimetris. Jalan cerita dibacakan seorang narator (dalang) dalam bentuk
prosa dan nyanyian dengan diiringi paduan suara (gerong) serta gamelan.7
Bedhaya Ketawang menggambarkan lambang cinta birahi Kanjeng Ratu Kidul
pada Panembahan Senopati, maka segala gerak melambangkan bujuk rayu dan
cumbu birahi.
Sebagai sebuah tari yang amat disakralkan dan hanya digelar satu tahun atau
bahkan delapan tahun (sewindu) sekali, banyak persiapan harus dilakukan untuk
mengawali tarian tersebut. Pihak Kraton harus melakukan upacara atau ritual
Labuhan Ageng atau Larungan (persembahan korban) berupa sesaji di 4 titik
ujung/titik mata angin disekitar Kraton. Letak geografis dan mitologis keempat
titik tersebut adalah: Gunung Merapi (di bagian Utara), Segoro Kidul atau laut
kidul (di Selatan), Tawang Sari Kahyangan (di Barat), Tawang Mangu dan
Gunung Lawu (di bagian Timur). Disini Kraton diibaratkan sebagai pusat dari
Kosmis dari dunia dan keempat titik penjuru melambangkan keempat penjuru
alam semesta.
Pementasan Tari Bedhaya Ketawang, dilakukan pada malam hari Anggara Kasih
(Selasa Kliwon), yang dipercaya sebagai hari turunnya wahyu Cakraningrat atau
wahyu Jatmika8 bagi sebuah penataan dunia.9 Diawali dengan iring-iringan ke 9
6


7
8

9

ibid
http://jelajahjogja.blogspot.com/
Wahyu Cakraningrat atau sering juga disebut wahyu jatmika adalah wahyu ‘wijining ratu’,
wahyu pewaris raja, wahyu yang sangat diminati oleh para raja dan satria, agar keturunannya
dapat menjadi raja di Nusantara. Dipercaya bahwa barang siapa yang memperolehnya, maka
keturunanannya akan memperoleh kemuliaan dan menguasai kerajaan di tanah Jawa. (lih.
Padmadihardja, “Wahyu Cakraningrat”, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1979)
http://jv.wikipedia.org/wiki/Kalendher_Jawa

penari memasuki sitihinggil dengan arah Pradaksina10 disekitar Sultan/Raja.
Mereka melambangkan cakrawala dan membuat formasi nawagraha11, Irama
gamelan para penari melambangkan peredaran tata tertib kosmis azali yang
teratur, kemudian bagaimana tata tertib tersebut menjadi kacau dan kemudian

dipuluhkan lagi. Tembang yang dinyanyikan melambangkan penataan kembali
kosmis. Durasi tarian yang dimainkan antara 2 – 5 jam (terkadang sampai tengah
malam/dini hari) mengajak hadirin berada dalam keadaan khusuk, semedi dan
hening. Selama tarian berlangsung tidak boleh berbicara, makan dan hanya boleh
diam dan menyaksikan gerakan demi gerakan sang penari. 12 Maka sesungguhnya,
tarian yang diikuti oleh segenap hadirin ini menjadi sebuah ritus yang dilakukan
yang pada umumnya dimaksudkan untuk memulihkan tata alam semesta dan
menempatkan manusia dan perbuatannya dalam tata alam semesta tersebut.13
2.2. Megeng
Megeng atau megeg mempunyai arti ”diam”, ”tidak bergerak/berubah”,
”menahan”.14 Dalam tradisi lisan masyarakat pengguna bahasa Jawa, kata megeng
selalu terkait dengan megeng nafas (menahan nafas) yang mempunyai makna
“terasa berat, meskipun berat harus ditahan”. Kata megeng juga biasa dipakai
untuk arti konotasi sebagai menahan hawa nafsu. Maka dalam masyarakat JawaIslam ada sebuah tradisi Megengan menjelang bulan puasa, untuk mengingatkan
makna dan hakekat berpuasa sebagai bentuk menahan diri dari segala hawa nafsu
duniawi.15 Di masyarakat Tengger, Jawa Timur, seorang dukun juga melakukan
ritual megeng. Untuk menjaga karisma, dukun diwajibkan menjalankan laku
tertentu, yaitu pada awal bulan kapitu tahun Saka melakukan diharuskan

10


Pradaksina adalah prosesi ritual mengelilingi suatu obyek yang dipandang suci. Dimulai
dari arah Timur, ke Selatan, dengan obyek di sebelah kanan badan (searah perputaran
matahari/searah jarum jam)

11

Nawagraha (har: sembilan tempat) adalah susunan tatasurya dalam navigasi Hindu, yang
terdiri dari 9 benda angkasa (planet) yakni Surya, Candra, Anggaraka, Budha, Wrehaspati,
Sukra, Sani, Rahu dan Ketu. (http://id.wikipedia.org/wiki/Templat:Nawagraha)

12

Rahmad Subagyo, “Agama dan Kerohanian asli Indonesia”, Jakarta : Yayasan Cipta Loka
Caraka, 1979, halaman 60-62

13

ibid


14

Balai Bahasa Yogyakarta, Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa), Kanisius: 2001, cetakan I.

15

http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?tag=tradisi-megengan-di-jawa

melakukan megeng patigeni, yaitu membisu selama satu hari satu malam (tidak
bicara, tidak makan, tidak minum, tidak kumpul isteri).16
Dalam tradisi Jawa kuno, sebagaimana tertuang dalam ”Serat Cemporet”, karya
Raden Ngabehi Ranggawarsita,

megeng menjadi

sebuah sarana untuk

mengetahui/mengenali kehendak Tuhan (maneges karsa tanduking don sang
murweng dumadi), sembari mengusahakan kebaikan bagi seluruh ciptaan (sru
marsudi sidhining parasdya).17 Maka dalam seni pertunjukan (tari ataupun teater

tradisional), megeng menjadi sebuah sarana olah tubuh, olah energi maupun olah
batin. Megeng menjadi kelanjutan dari meditasi (kalau tidak dikatakan sebagai
bagian dari meditasi itu sendiri). Dengan mengatur nafas, menahan gerak sembari
merasakan segala peredaran darah dalam tubuh, mengaktifkan keasadaran akan
kondisi dan situasi di sekelilingnya, dengan megeng sesungguhnya digali
penghayatan akan kedirian secara utuh dalam relasi dengan Yang Ilahi dan
sesamanya.

3. Kajian Seni dan Spiritualitas Megeng dalam Tari Bedhaya Ketawang
3.1. Seni, Meditasi dan Estetika
Seni adalah proses kreatif dan ekspresif dari manusia. Kata seni berasal dari kata
"sani" yang berarti "jiwa yang luhur/ ketulusan jiwa". 18 Makna ini nampaknya
terkait dengan motivasi seseorang/seniman saat akan membuat karya seni. Seni
adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari perasaan dan sifat indah, hingga
menggerakkan jiwa perasaan manusia. Seni juga adalah sesuatu yang apabila
dilihat/dirasa membuat senang. Seni adalah suatu kualitas yang mendatangkan
apresiasi. Seni juga merupakan sesuatu yang dapat memberi ide dan gagasan. 19
Seni menurut kamus ilmiah populer, diberi arti sebagai segala yang berkaitan
dengan karya cipta yang dihasilkan oleh unsur rasa. 20 Seni juga adalah kegiatan
rohani yang merefleksikan realitas dalam suatu karya yang bentuk dan isinya

16

http://jito-um.blogspot.com/2009/06/peranan-dukun-dalam-masyarakat-adat.html

17

Raden Ngabehi Ranggawarsita, ”Serat Cemporet”, Jakarta : Balai Pustaka, hal. 279.

18

Achmad Maulana, dkk. ”Kamus ilmiah”, Yogyakarta: Absolut, 2003. hal. 472

19

http://senirupa.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=116

mempunyai tujuan untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam rohani
penerimanya.
Meditasi sebagai praktik relaksasi melibatkan pengosongan pikiran dari semua hal
yang menarik, membebani, maupun mencemaskan dalam hidup kita sehari-hari.
Makna harafiah meditasi adalah kegiatan mengunyah-unyah atau membolak-balik
dalam pikiran, memikirkan, merenungkan.21 Sebagai kegiatan mental terstruktur,
yang dilakukan selama jangka waktu tertentu, untuk menganalisis, menarik
kesimpulan, dan mengambil langkah-langkah lebih lanjut untuk menyikapi,
menentukan tindakan atau penyelesaian masalah pribadi, hidup, dan perilaku.
Dengan kata lain, meditasi melepaskan kita dari penderitaan pemikiran baik dan
buruk yang sangat subjektif yang secara proporsional berhubungan langsung
dengan kelekatan kita terhadap pikiran dan penilaian tertentu. Hidup merupakan
serangkaian pemikiran, penilaian, dan pelepasan subjektif yang tiada habisnya
yang secara intuitif mulai kita lepaskan. Dalam keadaan pikiran yang bebas dari
aktivitas berpikir, ternyata manusia tidak mati, tidak juga pingsan, dan tetap
sadar.22
Estetika adalah salah satu cabang filsafat. yang membahas keindahan, bagaimana
ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Estetika adalah
sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap
sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang
sangat dekat dengan filosofi seni.23 Maka untuk dapat menghayati nilai-nilai
relijius maupun estetika di dalam sebuah karya seni, dapat dipakai baik metode
intrinsik maupun ekstrinsik. Dengan pendekatan intrinsik, coba digali rasa yang
melingkupi kreator seni secara obyektif dan memberi apresiasi dari dalam karya
seni itu sendiri. Sementara pendekatan ekstrinsik merupakan pendekatan dari luar
20

http://www.senirupa.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=116
diunduh pada 8 Nopember 2010

21

Drs. Agus M. Hardjana, M.Sc., Ed., "Komunikasi Interpersonal Dan Intrapersonal",
Yogyakarta : Kanisius, 1979, hal. 36-37.

22

Anand Krishna, "Meditasi untuk manajemen stres & neo zen reiki untuk kesehatan
jasmani & rohani", Gramedia Pustaka Utama, 2001, 9796059126, 9789796059126.

23

Band. Lim Chin Choy, “Keindahan yang Digemari dan Pengejawantahannya”, dalam
Mudji Sutrisno (Ed.) “Teks-teks Kunsi Filsafat Seni”, Yogyakarta : Galang Press, 2005, hal.281
– 283.

ke karya seni tersebut untuk membedahnya.24 Dalam hal ini, pendekatan yang bisa
dipakai untuk mengkaji nilai-nilai spiritualitas dalam Tari Bedhaya Ketawang lebih
pada pendekatan ekstrinsik.
3.2. Spiritualitas Megeng dalam Tari Bedhaya Ketawang
Heide Gottner-Abendroth dalam bukunya ”Dancing Goddess, Prisnciples of a
Matriarchal Aesthetic” mengungkapkan bahwa tarian bukan sekedar sebuah
ungkapan emosi sebagai praktek magi yang paling penting. Namun lebih dari itu,
sebuah tarian, dalam bentuk yang paling tua, adalah bentuk dasar dari sebuah
ekspresi relijius.25 Bahkan lebih jauh, Hegel memandang seni dalam dimensi
transendental, sebagai manifestasi dari Yang Absolut sendiri.26
Tari Bedhaya Ketawang sebagai sebuah seni pertunjukan yang digelarkan/disajikan
secara langsung, tentu saja berciri ”publik”. Maka dimensi seni maupun spiritulitas
di dalam tarian tersebut memiliki makna relijius yang bersifat komunal. Dengan
menyaksikan Tari Bedhaya Ketawang yang disajikan, sesungguhnya segenap
’penonton’/hadirin terhisab di dalam ritus penyembahan dan meditasi yang
terkandung dalam tarian tersebut. Di sinilah, Tari Bedaya Ketawang mengajak
seluruh yang hadir untuk masuk dalam meditasi melalui tarian yang disajikan.
Bahkan sebelum tarian disajikan, laku megeng/menahan diri-pun telah dimulai
sebagai persiapan memasuki ritual penyembahan di dalam tarian tersebut. Mulai
dari berpuasa, berpantang, sesuci (membersihkan diri), kesemuanya disertai
dengan doa-doa khusus (rapalan).
Menari memang tak hanya sekedar menghafal gerak. Menari adalah efek ekspresi
jiwa, sehingga dengan begitu seluruh tubuh jumbuh, menyatu dalam sebuah
kesatuan gerak. Gerakan tubuh bukan sekedar interprestasi dari fisik semata-mata,
tapi juga batin. Olah batin melalui tarian sebagai meditasi ini pada gilirannya akan
sangat mempengaruhi sikap keseharian. Di tengah situasi dunia yang serba ingin

24

Mudji Sutrisno, “Kritik Seni” dalam ibid, hal. 269.

25

Heide Gottner-Abendroth, ”Dancing Goddess, Prisnciples of a Matriarchal Aesthetic”,
Boston : Beacon Press, 1991, pp. 31-32.

26

Georg Wilhelm Friedrich Hegel, “Aestetics, Lectures on Fine Art, Volume I”
(diterjemahkan oleh T.M. Knox), Oxford : The Clarendon Press, 1975, pp. 103.

cepat ini, spiritualitas megeng menjadi sebuah alternatif membaca dan menyikapi
dunia.
Pengalaman mistik melalui dan di dalam tari Bedhaya Ketawang terlihat sangat
kaya dimensi. Dari sudut pandang Soelle, pengalaman mistik yang bisa digali dari
tarian ini bukan hanya pada sisi nature, namun juga pengalaman eroticism, bahkan
pengalaman bersama/komunal.27 Kemenyatuan antara manusia dengan Sang
Penciptanya dalam Tari Bedhaya Ketawang ini dihayati dalam kepercayaan akan
kehadiran Nyi Rara Kidul (sebagai penguasa Laut Selatan), yang ikut dalam
menari dalam tarian sakral tersebut.28 Jiwa ’kelambatan’ yang terkandung dalam
tarian ini, terbukti memampukan manusia Jawa membaca lingkungannya dengan
lebih cermat, hati-hati, dan tepat dalam bersikap (manjing ajur ajer), dan menjaga
harmoni diri, alam dan lingkungannya. Maka kita bisa memahami bagaimana
manusia Jawa menghayati ungkapan ”aja kagetan” (jangan mudah terkejut) dan
”aja gumunan” (jangan mudah terpana/terheran-heran) dengan segala perubahan
yang ada dalam dunianya. Semuanya bisa terbaca dengan lebih jelas dengan
prinsip spiritualitas megeng ini.

4. Refleksi Spiritualitas Megeng dalam Kehidupan Iman Sehari-hari
Dalam kondisi kehidupan yang bagaikan gelanggang balap Formula I yang bergerak
super cepat, penuh pilihan kritikal, sarat ketegangan ini, orang mendambakan pelatihan
olah batin yang memungkinkannya memiliki kedirian jasmani-rohani yang utuh
sejahtera, segar, vital, tanggap, menghasilkan kehidupan yang berhasil dalam segala
seginya.
Dalam praktik disiplin kerohanian seperti yang telah dikembangkan oleh banyak tokoh
spiritualitas Kristen dalam bebagai tradisi, kita jumpai banyak sekali variasi bentuk
dan kedalaman pengalaman meditasi/kontemplasi. Perenungan yang mengalir dari

27

Dorothee Soelle, “The Silent Cry, Mysticism and Resistance”, Minneapolis : Fortress
Press, 2001, pp. 110-111, 128-129, 165-173.

28

Band. pemahaman panentheisme Eckhart dalam Matthew Fox, “Breakthriugh, Meister
Eckhart’s Creation Spirituality in New translation”, Garden City, New York : Image Books,
1980, pp. 73.

tingkat pemfokusan pikiran kepada Allah dan firman-Nya, sampai pada penghayatan
hubungan kasih yang mesra dengan Allah.
Lingkup arti meditasi dalam Alkitab adalah: keadaan orang dalam kedalaman dirinya
mencari-cari kebenaran, merenung-renung keberadaannya dalam konteks mencari
kebenaran (Mzm 77:7); memandang jauh sambil berharap-harap (Kej 24:63);
merenungkan atau menyimpan dalam hati (Yos 1:8; Luk 2:51); mengingat atau
memikirkan berulang-ulang, memperhatikan untuk mengerti (Mzm 1:1; 49:4; 77:6;
2Tim 2:7).
Meditasi dalam Alkitab tidak hanya kegiatan yang dilakukan dalam kesunyian tetapi
bisa

juga

dilakukan

dengan

mengucap,

menyuarakan

berulang,

mendoakan/mendaraskan doa (Mzm 19:15). Dari ayat-ayat tersebut terlihat jelas
bahwa objek perenungan diam atau bersuara itu adalah firman Allah dan perbuatan
Allah dengan tujuan seseorang mengenali Allah secara lebih dalam dan bermakna
dalam kehidupannya. Kegiatan merenung atau meditasi itu berpangkal dari hati dan
melibatkan seluruh segi kemanusiaan orang itu: pikiran, perasaan, imajinasi, dengan
berbagai ungkapan wajarnya seperti suara, penglihatan dsb.29
Corak meditasi Calvin menekankan pada keheningan dan waktu khusus bersama
Tuhan.30 Calvin mengadopsi meditasi Santo Benedictus, Leksio Devina. Leksio
Devina adalah meditasi dengan tiga bagian yaitu; Leksio berupa pembacaan Alkitab,
Meditatio meditasi dengan mendaraskan Mazmur sedangkan Oratio adalah berbicara
langsung dengan Tuhan. Calvin bercaya bahwa pengampunan dan bimbingan dari
Tuhan akan diperoleh manusia pada waktu yang khusus. Selain itu, Calvin juga
menekankan pentingnya seseorang pembimbing dalam melakukan model meditasi ini.
Adapun sekarang ini yang dipraktekan dalam tradisi protestan langsung memotong
bagian Orasio. Dengan demikian doa sebagai sebuah kerangka besar meditasi hanya
dipahami berbicara langsung dengan Tuhan. Hal inilah yang membedakan protestan
yang pintar berdoa dengan kata-kata dibanding dengan Katholik yang doanya pada apa
yang sudah dibakukan dan menjadi hafalan.

29
30

http://www.ppa.or.id/artikel/meditasi-kristen-368.html
Howard L.Rice. Reformed an introduction for believe spirituality, (Kentucky: John Knox
Press, 1991), p, 2.

Tatkala kita berusaha memupuk disiplin kerohanian, kesadaran bahwa disiplin itu
adalah pemberian Allah untuk kita harus kita sadari sedalam-dalamnya. Seluruh segi
kehidupan rohani beserta aspek-aspek praktisnya adalah karunia Allah untuk kita.
Simbolisme tubuh pada Yehezkiel, Yeremia, Hosea menyampaikan berbagai pesan
kenabian dari Allah untuk umat-Nya (Yehez 4, 5; Yer 13:1-11; Hos 1, 2, 3). Ungkapan
tubuh seperti berlutut, menengadah, tiarap, mengangkat tangan, meloncat bahkan
menari adalah hal yang dianggap benar untuk dilakukan umat Tuhan dalam ibadah
mereka. Dengan berlutut kita mengungkapkan perendahan diri kita yang bercela dosa
dan kegagalan di hadapan Dia yang mulia dan tak bercela. Kita berlutut untuk
menunjukkan pertobatan, ketidakberdayaan, penundukan diri kita. Kita menengadah,
mengangkat tangan menunjukkan kerinduan kita untuk membuka diri lebih luas bagi
Allah dan kehendak-Nya. Kita meloncat atau menari dalam kesukaan yang ditanamkan
Roh Kudus sebab berbagai perbuatan besar yang Ia lakukan dalam Yesus Kristus sudah
kita alami.
Sikap hati mengalami penguatan ketika kita ungkapkan dalam berbagai kondisi
jasmani. Tubuh kita perlu kita perlakukan dengan tepat agar menjadi alat yang
menunjang terjadinya suasana disiplin kerohanian yang bermakna. Misalnya kita perlu
tahu kapan harus menenangkan tubuh kita dari segala ketegangan. Ketegangan fisik
seperti otot-otot lengan, leher, bahu yang kaku bisa jadi merupakan tanda dari
ketegangan lebih dalam dalam hidup kita, atau sekadar keletihan karena kesibukan
sehari-hari. Apabila kita merasakan ketegangan yang disebabkan oleh faktor rohani,
dengan jujur kita perlu memohon pemulihan Allah atas hidup kita kembali berlaku dan
dihayati secara baru. Kedamaian sejati bukan sekadar faktor emosional tetapi
bertumpu pada sumber spiritual. Hanya Allah sumber pengampunan dan pemulihan
yang di dalam Yesus Kristus dapat menganugerahkan kita keadaan hati damai sejahtera
penuh.

5. Penutup

Setiap tradisi memiliki nilai-nilai spiritulitasnya. Spiritualitas yang terkandung dalam
Tarian Bedhaya Ketawang, dengan gerak megeng-nya menyadarkan kita, manusiamanusia modern yang cenderung ingin cepat / instan, menuju pada pengenalan yang
benar akan Allah yang bisa diraih dalam suasana tenang. Desiran kuasa Roh Kudus
sebagai Ruakh (angin) seringkali justru lebih bisa dirasakan kuasa-Nya ketimbang
dalam hiruk pikuk dan ketergesa-gesaan hidup. Ketenangan dan kedamaian dalam
hidup rohani dicapai dengan duduk diam di depan salib. Banyak kesalah-pemahaman
mengenai ”Spiritualitas” yang dikacaukan dengan ”aktivisme”. Ketika hidup dihayati
sebagai laku doa, maka segala aktivitas kita tidak menjadi sebuah aktivisme belaka.
Ketika pengalaman perjumpaan dengan Tuhan dalam laku doa hening dan tenang
termanifestasi dalam laku keseharian, maka Cinta Tuhan juga akan termanifetasi dalam
cinta manusia kepada sesamanya.