Filsafat Hukum dalam Kajian filsafat

Filsafat Hukum dalam Kajian
Aspek Ontologi, Epistomologi dan Aksiologi

1. Pemikiran Filsafat
Muara ilmu pengetahuan adalah filsafat ilmu (sciences of mother), demikian pula dalam ilmu
hukum, bahwa ilmu hukum tidak dapat melepaskan diri dari ketiga kodrati besar yakni
logika, etika dan estetika. Filsafat terhadap objek matrilnya; logika, etika dan estetika, yaitu
akal untuk logika, budi untuk etika dan rasa untuk estetika. Socrates pernah berkata ; bahwa
tugas filsafat bukan menjawab pertanyaan yang diajukan, melaikan mempersoalkan jawaban
yang diberikan. Karenanya, penjelasan dalam filsafat meliputi ajaran ontologis (ajaran
tentang hakekat), aksiologis (ajaran tentang nilai), ajaran epistimologis (ajaran tentang
pengetahuan) serta ajaran teologis (ajaran tentang tujuan) untuk memperjelas secara
mendalam sejauh dimungkinkan oleh pencapaian pengetahuan.

Sebelum kita masuk dalam cangkupan filsafat hukum dan objek materiil filsafat hukum, telah
dikatakan bahwa setiap objek matriil dari suatu disiplin ilmu pengetahuan bisa saja sama
dengan objek matriil ilmu pengetahuan lain, sehingga pokok bahasannya saling bertumpangtindih (covergency). Oleh karenanya terhadap filsafat hukum; ilmu hukum pidana, hukum
acara pidana, hukum perdata, hukum acara perdata, hukum tata usaha negara, hukum
administrasi negara, disamping yang lainnya, sama-sama membahas hukum sebagai objek
matrilnya juga selalu bertumpang tindih oleh sebab itu disebut juga sebagai ilmu-ilmu
hukum. Berkenaan dengan itu, Satjipto Rahadjo (1982 : 321) memberikan penjelasan tentang

pengertian filsafat hukum terhadap objeknya yakni ; filsafat hukum itu mempersoalkan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dari hukum. Gustav Radbruch (1952)
merumuskannya dengan sederhana, yaitu bahwa filsafat hukum itu adalah cabang filsafat
yang mempelajari hukum yang benar, sedangkan Langemeyer (1948) menyatakan
pembahasan secara filosofis tentang hukum. Dengan demikian pengertian filsafat hukum
pada tataran ontologi, epistimologi dan aksiologi, bahwa filsafat hukum bertujuan untuk
mempelajari bagaimana filsafat digunakan untuk menemukan hukum secara hakiki.

2. Ontologi Filsafat Hukum
Sebelum kita masuk pada cangkupan dan kajian aspek ontologi filsafat hukum, maka kita
perlu meletakan fungsi ontologi. Ajaran ontologi dalam filsafat ilmu, tidak membatasi
jangkauannya hanya pada suatu wujud tertentu. Penelusuran ontologi mengkaji apa yang
merupakan keseluruhan yang ada secara objektif ditangkap oleh panca indra, yaitu pada taraf
metafisika akan mengkaji dan membicarakan problem watak yang sangat mendasar dari

benda atau realitas yang ada dibelakang pengalaman yang langsung secara koperhensif, oleh
karena itu, ontologi akan mencari dan mengkaji serta membicarakan watak realitas tertinggi
(hakekat) atau wujud (being). Noeng Muhajir berpandangan bahwa objek telaah ontologi
adalah yang ada tidak terikat pada sesuatu perwujudan tertentu, ontologi membahas tentang
yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang

meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
titik tolak kajian ontologi dalam filsafat ilmu akan mempersoalkan; apa objeknya, bagaimana
hakekat dari keberadaan (wujud) objek tersebut, serta bagaimana perhubungan objeknya
terhadap jangkauan penalaran (pikiran) dan deteksi panca indara manusia.

Aspek Ontologi Filsafat Hukum, berusaha untuk menemukan objeknya, bagaiman kita dapat
memahami wujud hukum yang sesungguhnya (makna tertinggi), sementara kita hanya
mempersoalkan bahwa hukum harus “begini” dan hukum harus “begitu”, tanpa melihat apa
sesungguhnya dari objek hukum itu sendiri. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu
yang mempelajari hukum secara filosofis. Demikian pula menurut Abdul Ghafur Anshori
bahwa objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam
sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut sebagai hakikat. Mengingat objek filsafat
hukum adalah hukum, maka permasalahan dan pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum
itupun antara lain berkisar pada apa yang telah diuraikan diatas, seperti hubungan hukum
dengan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dan hukum positif, apa sebab orang mentati
hukum, apa tujuan hukum, sampai pada masalah-masalah filsafat hukum yang ramai
dibicarakan saat ini oleh sebahagian orang disebut sebagai masalah filsafat hukum
kontemporer meskipun itu belum tentu benar, oleh karena masalah tersebut jauh sejak dulu
telah diperbincangkan…. Para filsuf terdahulu menjadikan tujuan hukum sebagai objek
dalam kajian filsafat hukum. Objek pembahasan filsafat hukum bukan hanya tujuan hukum,

melainkan masalah hukum yang mendasar sifatnya yang muncul didalam masyarakat yang
memerluka suatu pemecahan, karena perkembangan filsafat hukum saat ini bukan lagi filsafat
hukum para fisuf zaman yunani dan romawi. Pemikiran filsafat hukum selalu berupaya
dinamis menembus permsalahan yang bersinggungan hukum, dan secara terus menerus
mencari jawaban debalik apa yang telah tertuntaskan (ultimate). Pandangan fisafat hukum
juga tidak secara langsung mempersoalkan hukum positif sebagai objek yang inti. Adalah
Gustav Radbruch dengan tesis “Tiga Nilai Dasar Hukum”, yaitu Keadilan, Kegunaan dan
Kepastian Hukum Oleh karena filsafat hukum secara ontologi bekerja diluar jangkauan yang
mengikat. Ontologi filsafat hukum, pada prinsipntnya tidak hanya melihat hukum sebagai
objeknya melainkan segala pola perilaku manusia, dasar dimana timbal balik hak dan
kewajiban (manusia) berperan, serta hubungan timbal balik antara manusia dengan alam
sekitarnya yang berkemungkinan bersentuhan (perlindungan) dengan kewajiban negara,
pemerintah dan masyarakat. Menurut hemat kami, bahwa yang dimaksudkan dengan objek
filsafat hukum yaitu, hak dan kewajiban, keadilan, perlindungan/pencegahan.

3. Epistimologi Filsafat Hukum
Pada tataran epistimologi dalam filsafat ilmu, akan mempersoalkan bagaimana segala sesuatu
itu ada (datang), bagaimana kita dapat memahaminya, dan bagaimana kita dapat
mengklasifikasi eksistensi setiap objek berdasarkan ruang dan waktunya. Epistimologi
filsafat hukum, merupakan landasan dimana kita melakukan suatu proses penemuan

pengetahuan logika, etika dan estetika, menjadi suatu kebenaran ilmiah.

Epostimologi dalam filsafat hukum, akan mempersoalkan darimana unsur-unsur hukum itu
datang (ada), selanjutnya bagaimana orang dapat memperoleh pengetahuan hukum dan
bagaimana orang dapat merumuskan tentang struktur pengetahuan tentang ilmu-ilmu hukum.
Untuk ilmu pengetahuan hukum, lahirlah pertanyaan mendasar yakni, untuk apa penggunaan
hukum, apa batasan wewenang penelitian (jangkauan) hukum dan bagaimana hukum raharus
diarahkan, serta bagaimana kita dapat memperoleh jaminan-jaminan hak dan kewajiban
hukum pada taraf yang wajar.

Sebagai suatu sistem ajaran, maka disiplin ilmu hukum mencangkup antara lain; pertama,
ajaran yang menentukan apa yang seyogianya atau seharusnya dilakukan, (preskriptif), dan
yang kedua, yang senyatanya dilakuakan (deskriptif) didalam hidup. Sedangkan unsur-unsur
hukum mencangkup unsur-unsur idiil serta unsur-unsur riil. Epistimologi filsafat hukum
berusaha membuat “dunia etis yang menjadi latar belakan yang tidak dapat diubah oleh panca
indra”, sehingga filsafat hukum (pada tataran epistimologinya), menjadi suatu ilmu normatif ,
seperti halnya dengan ilmu politik hukum,….

Aspek epistimologi dalam filsafat hukum, berusaha untuk menyatakan bahwa unsu-unsur
hukum merupakan objek pengetahuan ilmu hukum yang senantiasa titeliti perkembangan dan

persesuaiannya terhadap kondisi ruang dan waktunya dimana hukum diberlakukan serta
segala sesuatu yang dapat mempengaruhi hubungan-hubungan hukum.

4. Aksiologi Filsafat Hukum
Yang menjadi objek kajian filsafat pada tataran aksiologi adalah bagaimana manusia dalam
penerapan pengetahuan itu, dapat mengklasifikasinya, tujuan pengetahuan dan
perkembangannya. Pada taraf tertinggi, aksilogi filsafat hukum akan mempersoalkan
bagaiman hukum itu berfungsi secara ideal. Nilai, azas dan norma (azas objektif hukum yang
bersifat moral, Azas objektif hukum yang bersifat Rasional, dan Azas subjektif hukum yang
bersifat Moral dan Rasional) yang merupakan unsur-unsur hukum. Pengertian azas hukum
adalah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum atau pengertian dan nilai-

nilai yang menjadi titik tolak pembentukan undang-undang dan interpretasi undang-undang
atau prinsip-prinsip yang merupakan kedudukannya yang lebih tinggi dari pada hukum yang
ditentukan manusia. Aksiologi filsafat hukum pada kebanyakan (masyarakat) umumnya
dikenal dengan peranan hukum, dimana dasar keadilan dan kepastian hukum menjadi pilar
yang seyogianya ditopang dengan segenap keseimbangan hukum. Tidak bermaksud untuk
memadukan antara aksiologi filsafat hukum dan penemuan hukum, namun pada
kausalitasnya penerapan hukum, unsur-unsur penemuan hukum merupakan kosekwesi dari
penerapan hukum secara empirik. Sudikno Mortokusumo berpandangan bahwa, jikalau

mencari hukumnya, arti sebuah kata maka dicari terlebih dahulu dalam undang-undang,
karena undang-undang bersifat autentik, berbentuk tertulis, dan menjamin kepastian hukum.
Nilai (value) merupakan salah satu cabang filsafat yaitu axiologi (filsafat nilai). Nilai
biasanya digunakan untuk menunjukan kata benda yang abstrak yang dapat dinyatakan
sebagga keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Demikian pula, Bahanuddin Salam
menyatakan bahwa, melalui teori pengetahuan kita sudah sampai pada teori nilai yaitu teori
yang menyelidiki proses dan isi penilaian yaitu proses-proses yang mendahului,
mengiringkan malahan menentukan semua kelakuan manusia.
Oleh karena, hukum dalam tataran aksiologi filsafat hukum pada fase ketiga tahapan
pembedahan hukum (Fungsi Filsafat Hukum) maka, keadilan hukum, kepastian hukum,
jaminan hak dan kewajiban serta hubungan-hubungan hukum merupakan ruang bersekutunya
unsur-unsur hukum, yang menjadi alasan objektif ke-dinamisasian hukum itu berproses.