Revitalisasi Peran Sekolah dalam Penguat

REVITALISASI PERAN SEKOLAH DALAM PENGUATAN PENDIDIKAN DAN
PEMBIASAAN AKHLAK MULIA BAGI ANAK
(Studi Kasus di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)1
Mulyawan Safwandy Nugraha
Dosen STAI Sukabumi
mulyawan77@yahoo.co.id
Abstrak
Pendidikan di sekolah dan madrasah diduga masih menitikberatkan pada kecerdasan
kognitif saja. Hal ini dapat dilihat dari sekolah-sekolah yang memiliki siswa dengan lulusan
nilai tinggi namun justru tidak memiliki prilaku cerdas dan sikap yang baik. Ditambah dengan
kurang memiliki mental kepribadian yang baik pula. Sekolah diyakini memainkan peranan yang
signifikan dalam membentuk kehidupan politik dan kultural. Sekolah merupakan pihak yang
bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan bagi peserta didiknya.
Sejak tahun 2008, Bupati Sukabumi Jawa Barat mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor
33 tahun 2008 tentang Standar Isi Program Pengembangan Diri Bidang Pembiasaan Akhlak
Mulia di Sekolah dan Madrasah. Ada 10 program pembiasaan akhlak mulia di sekolah dan
madrasah. Pada tahun 2012, Pemerintah Kabupaten Sukabumi meresmikan program Diniyah
Takmiliyah Alawiyah (DTA), yaitu program penambahan mata Pelajaran Pendidikan Agama
Islam menjadi 6 jam.
Temuan menunjukkan bahwa: (1) ada fasilitas yang belum memadai
dan sumber daya yang didedikasikan untuk mendukung program pembiasaan 10 Akhlak Mulia

dan Program Diniyah Takmiliyah Wustho (DTW) ; (2) masih rendahnya hasil evaluasi
pelaksanaan program-program tersebut akibat dari dukungan dari berbagai unsur, terutama
dari pihak sekolah sendiri untuk mengimplementasikan dua program ini secara maksimal; (3)
orang tua masih terlalu menyimpan beban besar kepada sekolah untuk mewujudkan anak yang
cerdas dan soleh.
Kata-kata Kunci: peran sekolah, pembiasaan akhlak mulia, pendidikan agama

1

Bahan prosiding untuk International Conference On Helping Profession On Child Abuse And
Protection, Kamis, 3 Desember 2015, Balai Agung Pemprov DKI Jakarta, yang diadakan oleh Asosiasi
Dosen Indonesia.

A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan sebuah indikator yang menentukan keberhasilan suatu daerah
untuk mencapai taraf yang maju dan dapat membentuk manusia beriman dan bertakwa kepada
Allah SWT. Maju mundurnya sutu bangsa, negara dan masyarakatnya tergantung kepada
pendidikan itu sendiri. Berbicara pendidikan tidak akan lepas dari Sekolah dan Madrasah.
Pendidikan di sekolah dan madrasah diduga masih menitikberatkan pada kecerdasan
kognitif saja. Hal ini dapat dilihat dari sekolah-sekolah yang memiliki siswa dengan lulusan nilai

tinggi namun justru tidak memiliki prilaku cerdas dan sikap yang baik. Ditambah dengan kurang
memiliki mental kepribadian yang baik pula.
Sekolah diyakini memainkan peranan yang signifikan dalam membentuk kehidupan
politik dan kultural. Sekolah merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk menyediakan
kebutuhan bagi peserta didiknya. Melalui sekolah, Masyarakat masih menyimpan harapan bahwa
di sekolah, akhlak mulia akan terjaga. Walaupun saat ini perilaku menyimpang justru terjadi di
sekolah. Menurut Hadi Supeno (Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI 2007-2010)
bahwa berdasarkan data di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, dari
analisis 19 surat kabar nasional yang terbit di Jakarta selama tahun 2007, terdapat 455 kasus
kekerasan terhadap anak. Dari Kejaksaan Agung diperoleh data, selama tahun 2006 ada 600
kasus kekerasan terhadap anak (KTA) yang telah diputus kejaksaan. Sebanyak 41% di antaranya
terkait pencabulan dan pelecehan seksual, sedangkan 41% lainnya terkait pemerkosaan.
Sisanya, 7%, terkait tindak perdagangan anak, 3% kasus pembunuhan, 7% tindak
penganiayaan, sisanya tidak diketahui.
Sementara itu, Komnas Perlindungan Anak mencatat, selama tahun 2007 praktik KTA
mengalami peningkatan sampai 300 persen, dari tahun sebelumnya. Dari 4.398.625 kasus
menjadi sebanyak 13.447.921 kasus pada tahun 2008 (Media Indonesia, 12/7/2008).
Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan beragam variannya diterima anak-anak
Indonesia, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, penganiayaan, trafficking, aborsi,
paedofilia, dan berbagai eksploitasi anak di bidang pekerjaan penelantaran, penculikan, pelarian

anak, penyanderaan, dan sebagainya.
Data di KPAI menunjukkan, dari seluruh tindakan KTA, 11,3% dilakukan oleh guru atau
nomor dua setelah kekerasan yang dilakukan oleh orang di sekitar anak, dan jumlahnya
mencapai 18%. Fakta ini didukung analisis data pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh
semua surat kabar. Sepanjang paruh pertama 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami
peningkatan tajam, 39,6 %, dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan pelaku-pelaku
kekerasan pada anak lainnya.
Jenis kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak belum termasuk perlakuan menekan
dan mengancam anak yang dilakukan guru menjelang pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir
sekolah berstandar nasional. Jika kekerasan psikis itu dimasukkan, persentase akan kian tinggi,
berdasarkan pengaduan anak dan orangtua/wali murid kepada KPAI.
Uraian tersebut menunjukan bahwa sekolah bukanlah tempat yang aman bagi anak. Hal
ini menimbulkan masalah tentang bagaimana sekolah dapat mengantisipasi hal tersebut. Perlu
upaya merevitalisasi sekolah dalam memainkan perannya. Termasuk perlunya pemerintah daerah
turun tangan dengan melahirkan regulasi yang menjaga sekolah agar tujuan mewujudkan siswa
yang berpendidikan dan berakhlak mulia.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan
menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Sebenarnya revitalisasi
berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti


sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan sebagainya). Pengertian melalui bahasa
lainnya revitalisasi bisa berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau
menggiatkan kembali berbagai program kegiatan apapun. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah
membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usahausaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali.
Dalam rangka menjawab tantangan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi
mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 33 Tahun 2008 tentang Pembiasaan Akhlak Mulia di
lembaga pendidikan telah berhasil menanamkan akhlak mulia di kalangan siswa di lembaga
pendidikan.
Peraturan Bupati Sukabumi ini menarik untuk diteliti karena Pemerintah Daerah
berupaya untk merevitalisasi pendidikan di sekolah dengan membiasakan hal-hal yang dianggap
kecil dan biasanya luput dari perhatian pengelola pendidikan itu sendiri. Adapun isi dari dari
peraturan itu adalah membiasakan siswa di sekolah untuk:
1) Berbakti pada orang tua dan guru
2) Berbusana muslim
3) Memelihara adab belajar sesuai dengan tuntunan agama islam, yaitu: a. Membaca salam
ketika masuk kelas; b. Berdo`a diawal dan diakhir pelajaran; c. Musofahah (bersalaman)
kepada guru
4) Membaca dan menghapal alqur`an; a. Membaca Al-qur`an sebelum memulai pelajaran
pertama secara berkesinambungan; b.Membaca Al- qur`an dan hadits sesuai Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK-KD) pada setiap mata pelajaran; Menghapal Alquran sekurang kurangnya juz „Amma, juz pertama dan juz kedua bagi SMP/MTs. Juz

„Amma, juz pertama dan kedua bagi SMA/SMK/dan MA
5) Memelihara kebersihan diri dan lingkungan dengan melaksanakan kegiatan operasi
bersih, baik dibimbingoleh guru maupun sendiri- sendiri
6) Mendirikan sholat fardu dan sunat: a. Mendirikan sholat dhuha pada waktu kegiatan
istirahat pertama; b. Mendirikan sholat dzuhur dan ashar berjamaah yang diteruskan
dengan berdzikir bersama yang disesuaikan dengan pelaksanaa pembelajaran; c. Qiamul
lail sekurang kurangnya dilaksanakan sekali dalam sebulan sesuai kondisi.
7) Melaksanakan ta`lim dan ceramah keagamaan diantaranya melibatkan unsur KAUA,
MUI dan kyai atau ulama setempat minimal satukali dalam sebulan.
8) Terbiasa melaksanakan infaq sejak dini baik yang insidentilmauoun rutin melalui unit
pengumpul zakat (UPZ) disetiap satuan pendidikan
9) Melaksanakan shaum wajib dan saum sunat
10) “cinta tanah air” dengan melaksanakan kegiatan kegiatan untuk mewujudkan kecintaan
terhadap tanah air di antaranya melalui kegiatan PRAMUKA IQOMAH dan kegiatan
ekstra kurikuler dan budaya Islam lainya.
Penelitian ini ingin mengelaborasi khusus tentang tentang revitalisasi sekolah dengan
penguatan pendidikan dan pembiasaan akhlak mulia di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.
B. Kajian Teoretis
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”. Hal tersebut

tertuang dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 Bab 1 Pasal 1.
Selanjutnya, di pasal 3, Undang-undang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa fungsi dan
tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Secara yuridis undang-undang tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan harus
menjadikan peserta didiknya memiliki akhlak yang mulia, artinya praktik pendidikan tidak
semata berorientasi pada aspek kognitif, melainkan secara terpadu menyangkut aspek afektif dan
psikomotor.
Dengan demikian, budi pekerti luhur atau akhlak karimah merupakan sasaran yang akan
dibangun bangsa Indonesia sebagai landasan ideal dan operasional bagi dunia pendidikan kita.
Tujuan pendidikan di atas secara makro berlaku pada semua institusi formal maupun nonformal,
dan tujuan tersebut berlaku pada semua aktivitas pendidikan di negeri ini, dan dituntut untuk
mengimplementasikan rumusan tujuan di atas secara operasional pada masing-masing unit
lembaga pendidikan.

Dalam konteks kedaerahan, bahwa sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan lahirnya PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan
agama dan pendidikan keagamaan, menjadikan daerah dapat lebih inovatif dalam melaksanakan
pendidikan keagaaman dalam rangka mewujudkan masyarakat yang memiliki kecerdasan
kognitif, afektif dan psikomotorik dengan landasan iman dan takwa serta akhlak mulia atau
berbudi luhur.
Munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Keagamaan
tersebut dilatarbelakangi oleh adanya: Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional; dan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 jo UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal-pasal dari Peraturan Pemerintah
No. 55 Tahun 2007 tersebut berbunyi:
Pasal 8 menyebutkan:
1) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau
menjadi ahli ilmu agama.
2) Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan
mengamalkan nilai-nilai ajaran agamnya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang
berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Prinsip pendidikan keagamaan merujuk pada pasal 8, dan program pendidikan
keagamaan merujuk pada pasal 9. Berdasarkan pasal 8 di atas dapat dipahami, bahwa ada dua

prinsip pendidikan keagamaan, yaitu prinsip preparation (mempersiapkan) dan prinsip
formulation (pembentukan). Prinsip pertama menghendaki bahwa pendidikan keagamaan
berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan
mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama; dan prinsip kedua
menghendaki bahwa tujuan pendidikan keagamaan adalah untuk membentuk peserta didik yang
memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamnya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang
berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Adapun program pendidikan keagamaan, sesuai dengan pasal 9 di atas, adalah bahwa
pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mengkonsentrasikan pada pembelajaran bidangbidang keagamaan Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Pendidikan ini
diselenggarakan melalui tiga jalur penyelenggaraan, yaitu jalur formal, nonformal dan informal.
Pendidikan keagamaan jalur formal dilaksanakan dalam suasana pembelajaran keagamaan yang
berlangsung secara formal/resmi dengan regulasi langsung dari pemerintah, dan biasanya
komunitas belajar berada di dalam sebuah kelas yang secara sengaja didesain untuk kepentingan
pembelajaran. Pendidikan keagamaan jalur non-formal diselenggarakan dan dilaksanakan oleh
lembaga-lembaga di luar pemerintah, dan secara khusus tidak berada di bawah regulasi langsung

pemerintah. Lembaga-lembaga itu secara otonom menentukan dan membuat kebijakannya
sendiri-sendiri tanpa bergantung pada kebijakan pemerintah. Jalur ini biasanya dilakukan oleh
lembaga-lembaga kemasyarakatan non-formal.
Oleh karena itu arah kebijakan pembangunan di bidang pendidikan keagamaan adalah
terutama diarahkan untuk membina dan meningkatkan akhlak, keimanan, ketakwaan umat
beragama sehingga lahir masyarakat dengan perilaku yang baik dengan dilandasi akhlak mulia di
tengah kompleksitas perubahan sosial budaya. Di samping itu juga untuk membina dan
meningkatkan kerukunan hidup antar umat beragama, sehingga tercipta suasana kehidupan yang
harmonis dan saling menghormati dengan meningkatkan kualitas pemahaman dan pelaksanaan
ibadah menurut syariat agamanya masing-masing, serta mempermudah umat beragama dalam
menjalankan ibadahnya.
Selain kebijakan nasional dengan keluarnya Peraturan Pemerintah seperti dikemukakan
di atas, upaya melahirkan masyarakat yang berakhlak mulia melalui pendidikan keagamaan pun
dilakukan oleh pemerintah daerah kota dan kabupaten di Indonesia. Seperti: Peraturan Bupati
Sukabumi Nomor 06 tahun 2006 tentang Program wajib belajar pendidikan keagaaman sebagai
bagian dari program wajib belajar pendidikan dasar, Pesisir Selatan Sumatra Barat Peraturan
Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 8/2004 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur‟an,
Bengkulu Instruksi Walikota Bengkulu Nomor 3/2004 tentang Program Kegiatan Peningkatan
Keimanan, Padang Panjang Peraturan Daerah Padang Panjang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang
Pencegahan Pemberantasan dan Penindakan Penyakit Masyarakat, Peraturan Daerah Kabupaten

Cirebon Nomor 77/2004 tentang Pendidikan Madrasah Diniyah Awaliyah, Peraturan Daerah
Kabupaten Banjar No. 4/2004 tentang Khatam Al-Qur‟an bagi Peserta Didik pada Pendidikan
Dasar dan Menengah, Padang Instruksi walikota Padang Nomor 451.422/Binsos-III/2005 tentang
pelaksanaan Wirid Remaja didikan subuh dan Anti Togel / Narkoba serta Berpakaian Muslim /
Muslimah bagi Murid/Siswa SD/MI, SLTP/MTS dan SLTA/SMK/SMA di Kota Padang,
Peraturan Daerah Kabupaten Maros Sulawesi Selatan Nomor 15/2005 tentang Gerakan Buta

Aksara dan pandai Baca Al-Qur‟an dalam Wilayah Kabupaten Maros, Peraturan Daerah Kota
Serang Nomor 1/2006 tentang Madrasah diniyah Awwaliyah, dan lain sebagainya.
Ada hal yang cukup menarik, bahwa peraturan perundang-undangan di daerah yang
dikutip di atas, lahir sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan
agama dan keagamaan. Asumsinya, yang menjadi dasar dasar lahirnya peraturan di daerah
tersebut karena lebih cenderung pada upaya pemerintah daerah untuk membina masyarakat agar
berakhlak mulia melalui jalur pendidikan sesuai dengan visi, misi, strategi dan program tiap-tiap
kepala daerah. Konsekuensi logis dari pemahaman terhadap hal-hal tersebut di atas, adalah
urgensi manajemen kebijakan publik bidang pendidikan keagamaan dalam lingkup nasional
maupun lokal. Hal ini dilakukan dalam upaya menanggulangi persoalan kompleksitas perubahan
sosial-budaya yang terjadi.
Since the 1990s, a number of scholars and policy analysts began to stress the moral
function of global pedagogy. For instance, Jacques Delors (1996:13) in his report to UNESCO of

International Commission on Education for the Twenty-First Century, Learning: The Treasure
Within, believed that education had an important role to play in promoting tolerance and peace
globally: „In confronting the many challenges that the future holds in store, humankind sees in
education an indispensable asset in its attempt to attain the ideals of peace, freedom and social
justice.‟
A similar concern with a moral dimension in education is present in Bindé (2002:391) in
„What Education for the Twenty-First Century? where it is suggested that a new paradigm shift
in education should be aiming to „humanize globalization‟ (see also Bindé, 2000).
At the same time, he reminds us that one of education‟s future major challenges will be
„to use the new information and communication technologies to disseminate knowledge and
skills‟ (Bindé 2002:393; see also Zajda 2009).

C. Metodologi Penelitian
Penelitian ini termasuk pada penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus dengan
berusaha mendapatkan hasil yang menyeluruh melalui pengamatan yang mendalam. Data, baik
emik atau etik, diperoleh dari Kabupaten Sukabumi Jawa Barat dengan mengambil ide tentang
pembiasaan akhlak mulia bagi siswa dengan mengoptimalkan fungsi sekolah melalui penerapan
kebijakan publik tentang Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 33 tahun 2008 tentang Standar Isi
Program Pengembangan Diri Bidang Pembiasaan Akhlak Mulia di Sekolah dan Madrasah dan
Peraturan tentang Diniyah Takmiliyah Wustho (DTW)
Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Dalam penelitian ini
langkah-langkahnya secara bertahap, yaitu: 1) mengklasifikasikan gejala secara rinci; 2)
memeriksa media yang tepat untuk pengamatan; 3) mengkategorikan fungsi gejala; 4)
pembuatan perencanaan sampling untuk memiliki tepat target; 5) menentukan kode menjadi
diterapkan secara konsisten; dan 6) membuat analisis data. Prosedur pengumpulan data yang
observasi, wawancara, coding, penamaan, manajemen data dan interpretasi.
D. Temuan dan Pembahasan
1. Temuan
Di Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat, program pendidikan budaya dan karakter
bangsa lebih disederhanakan dengan kata peningkatan “akhlak mulia”. Berdasarkan capaian

pembangunan yang telah diraih pada periode sebelumnya dan tantangan pembangunan yang
masih dihadapi, maka dalam kurun waktu periode 2010 – 2015 mendatang VISI Pembangunan
Kabupaten Sukabumi adalah: “Mewujudkan Masyarakat Kabupaten Sukabumi yang
Berakhlaq Mulia, Maju, dan Sejahtera”. Akhlaq Mulia merupakan kualitas sumber daya
manusia dengan perilaku tertinggi dan terhormat, yang merujuk pada suri tauladan Nabi
Muhammad SAW yang memiliki 4 (empat) sifat utama yaitu:
a. Shiddiq yang berarti Jujur. Setiap keputusan dipertimbangkan dengan pemikiran yang
benar dan jernih (kognitif, afektif, dan spiritual /komunikasi ketuhanan).
b. Amanah yang berarti Terpercaya/Jujur/Aspiratif. Mampu memahami segala situasi,
berkomunikasi dengan tepat sehingga semua pihak menerimanya.
c. Fathonah yang berarti Cerdas/inovatif. Mampu memecahkan segala persoalan probadi,
keluarga, masyarakat, bangsa, Negara bahkan di dunia dalam semua aspek kehidupan.
d. Tabligh yang berarti membina / komunikatif / motivator / menyampaikan /
mentransformasikan. Terus melakukan pembinaan dengan program yang jelas, organisasi
yang mapan, kerja keras yang terarah dengan kontrol yang baik.
Dengan pencapaian kualitas perilaku tertinggi dan terhormat tersebut, diharapkan
masyarakat dan stakeholders di Kabupaten Sukabumi dapat mewujudkan kesatuan gerak langkah
sehingga terwujud masyarakat yang berakhlak mulia, yaitu masyarakat yang berperilaku lurus
dan jujur, saling percaya, cerdas, dan saling mengingatkan untuk berlomba dalam kebaikan dan
kemajuan.
a. Pembiasan Akhlak Mulia di Sekolah dan Madrasah
Berdasarkan kajian terhadap Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 33 tahun 2008 tentang
Standar Isi Program Pengembangan Diri Bidang Pembiasaan Akhlak Mulia di Sekolah dan
Madrasah, diketahui bahwa ada 10 aspek yang menjadi titik tekan perilaku dan akhlak mulia
yang ingin dibiasakan di sekolah dan madrasah.
Kepala Sekolah/Madrasah, Dewan Guru, Komite,Orang Tua Siswa dan seluruh siswa
segera merespon peraturan tersebut dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1) Melaksanakan Rapat Koordinasi untuk mempelajari dan memahami peraturan
tersebut.
2) Mensosialisasikan kepada Siswa dan Orang tua / Wali siswa tentang peraturan
tersebut.
3) Menyusun Program kegiatan pembiasaan Akhlak siswa di sekolah dan lingkungan
keluarga.
4) Melaksanakan Program Pembiasaan 10 akhlak mulia secara berkesinambungan.
5) Melaksanakan monitoring kegiatan secara berkala dan routine
6) Menerima tim penilai pembiasaan 10 akhlak mulia
7) Melaporkan hasil program pembiasaan 10 Akhlak mulia.
8) Tindak lanjut penguatan program.
10 pembiasaan yang dilaksanakan di sekolah dan madrasah tersebut tergambar secara
jelas dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1

Uraian 10 Pembiasaan Akhlak Mulia di Sekolah dan Madrasah
KOMPETENSI
PEMBIASAAN
AKHLAK MULIA

1. Berbakti kepada
orangtua

2. Berbusana
muslim pada
setiap aktivitas
pembelajaran,
masuk kelas
diawali dengan
salam, berdo‟a
diawal dan
diakhir
pelajaran

3. Memelihara
kebersihan diri
dan lingkungan

4. Setiap mata
pelajaran
diawali dengan
membaca
ayat/hadist
terkait

5. Disetiap jam
istirahat diisi

INDIKATOR

DESKRIPSI

- menemukan
pengertian adab
kepada orangtua
- menunjukan cara
berterimakasih
kepada orangtua
- membiasakan
berprilaku hormat
kepada orangtua
- mampu berbusana
muslim pada
setiap aktivitas
pembelajaran
- mampu
mengucapkan
salam bila masuk
kelas
- mampu membaca
do‟a diawal
pelajaran
- mampu
menunjukan
mushofahah
kepada guru

Guru bercerita tentang
pengertian orangtua

- menjelaskan ciriciri sikap dan
prilaku hidup
bersih
- memberikan
contoh prilaku
orang yang hidup
bersih
- menyadari
pentingnya
lingkungan yang
bersih
- kemampuan hidup
bersih
- melafalkan ayatayat al-Qur‟an
secara tartil
- menjelaskan
kandungan surat
yang dimaksud
- mengamalkan isi
kandungan pokok
surat
- mampu
melaksanakan

KEGIATAN
/ TEMPAT

PENILAIAN

Membuat jadwal
kegiatan sehari-hari
dirumah

Portofolio
Daftar
kegiatan

- Guru memberi
contoh cara
berbusana muslim
yang baik dan bebnar
menurut syariat
ajaran agama islam.
- Guru memotivasi
untuk percaya diri
dalam berbusana
muslim
- Guru membimbing
dalam membaca do‟a
- Guru memberi
contoh cara
mushofahah yang
benar
- Guru menanamkan
pembiasaan untuk
bersuci dulu sebelum
berangkat sekolah
- Guru mengatur
keindahan/
kenyamanan
kelas/taman kelas
- Guru menjadi model
dalam aktivitasnya
sehari-hari

Berdo‟a sebelum dan
sesudah melakukan
kegiatan pembelajaran

Pengamatan
Performance

Rutin tiap pagi sebelum
berangkat sekolah
berwudlu dulu
Rutin memelihara
tanaman bunga di
taman kelas
Senam kesegaran
Jasmani
Kegiatan terprogram
melalui daftar piket
kelas

Performance
Pengamatan
Penugasan

Guru kelas bisa
kerjasama dengan
guru agama Islam
untuk minta petunjuk
tentang keterkaitan
mata pelajaran umum
dengan alQur‟an/Hadist

Rutin
Terprogram

Penugasan
Pengamatan

- Guru memberi
contoh cara-cara

Rutin dilaksanakan
Terprogram

Performance
Penugasan

Guru memberi contoh
perbuatan
baik
terhadap orangtua

KOMPETENSI
PEMBIASAAN
AKHLAK MULIA

dengan shalat
Dhuha

INDIKATOR

Shalat Dhuha
- membiasakan
Shalat Dhuha
- memahami
pentingnya Shalat
Dhuha

DESKRIPSI

-

-

6. Melaksanakan
Shalat Dzuhur
berjamaah

7. Melaksanakan
ta‟lim sekolah
oleh unsur
KUA dan kyai
ulama setempat
minimal 1 kali
dalam sebulan
8. Membentuk
unit
pengumpulan
Zakat/ UPZ di
setiap satuan
pendidikan dan
melakukan
pendidikan
infaq sejak dini

9. Qiyamul Lail
sekurangkurangnya satu
kali dalam
sebulan sesuai
kondisi

Shalat dan mampu
melaksanakan Shalat
Dhuha
Guru membimbing
dalam pelaksanaan
Shalat Dhuha
Guru memotivasi
dalam pelaksanaan
Shalat Dhuha
Guru memotivasi
pentingnya Shalat
berjamaah
Guru membimbing
Shalat berjamaah
Guru memberikan
keteladanan dalam
pelaksanaan Shalat
berjamaah

- mampu
melaksanakan
Shalat berjamaah
- menjelaskan
pentingnya Shalat
berjamaah
- membiasakan
Shalat berjamaah

-

- mampu menerima
informasi
pendidikan agama
Islam dari unsur
Depag/MUI
- memahami
pentingnya
Da‟wah Islamiyah
- memahami aturan
zakat
- mampu membuat
unit pengumpul
zakat (UPZ)
- memahami bendabenda yang wajib
dizakati
- memahami ayatayat alQuran yang
ada relevansi
dengan zakat
- membiasakan
mengeluarkan
infaq minimal 1
minggu 1 kali
- mampu
melaksanakan
Qiyamul lail
berdasarkan
dorongan hati
nurani sendiri
- membiasakan
Shalat Qiyamul
lail minimal satu

Guru kerja sama
dengan KUA dan
MUI melaksanakan
kegiatan ceramah
keagamaan tiap 1
bulan satu kali

-

- Guru kelas V dan VI
berkolaborasi dengan
guru pendidikan
agama Islam untuk
membuat UPZ
- Guru melatih siswa
cara-cara
mengeluarkan zakat
- Guru melatih siswa
untuk memberikan
zakat
- Guru membiasakan
siswa untuk
membawa uang
untuk diinfaqkan tiap
1 minggu 1 kali
- Guru yang beragama
Islam guru PAI
menceritakan
keutamaan Qiyamul
lail
- Guru PAI
mendemontrasikan
cara pelaksanaan
Qiyamul lail

KEGIATAN
/ TEMPAT

Dikelompokan

PENILAIAN

Kinerja
……………

Tempat
Mushola Sekolah
Ruangan kelas
Lapangan sekolah

Rutin
Terprogram
Dipimpin oleh Guru
Agama Islam atau oleh
guru yang beragama
Islam
Tempat
Mushola Sekolah
Masjid lingkungan
sekolah
Ruangan kelas
Terprogram
Tempat
Mushola Sekolah
Ruangan kelas
Halaman sekolah
Masjid jami yang dekat
sekolah
Terprogram
Tiap bulan Ramadhan
membentuk UPZ, tiap
hari jumat harus
mengeluarkan infaq

Pengamatan
Penugasan
Daftar cek

Performance
Laporan

Kinerja
Laporan
Pengawasan

Tempat
Mushola Sekolah
Ruangan kelas
Masjid

Terprogram
Dilaksanakan sebulan
sekali tiap kamis
malam
Kepala sekolah dan
dewan guru yang
beragama Islam ikut
melaksanakan
Tempat

Pengamatan
Penugasan
Laporan

KOMPETENSI
PEMBIASAAN
AKHLAK MULIA

INDIKATOR

DESKRIPSI

minggu 1 kali
- menjelaskan
pentingnya Shalat
Qiyamul lail

10. Pembiasaan
Shaum Sunat,
hafalan al-quran
dan rutinitas
Islam lainnya

- memahami
pengertian shaum
sunat
- mampu
melaksanakan
shaum sunat
- membiasakan
shaum sunat hari
senin dan kamis
- membiasakan
menghafal
alQuran di waktu
istirahat
- membiasakan
berwudhu
sebelum
melaksanakan
aktivitas

- Guru PAI
menjelaskan
pengertian shaum
sunat
- Guru memberikan
pemahaman manfaat
shaum sunat
- Guru memberi
contoh melaksanakan
shaum senin dan
kamis
- Guru melakukan tes
hafalan qur‟an

KEGIATAN
/ TEMPAT

Mushola Sekolah kl
ada
Masjid dekat sekolah kl
ada
Ruangan kelas
Halaman Sekolah
Terprogram
Mendengarkan cerita,
Tanya jawab dan
Diskusi

PENILAIAN

Pengamatan
Laporan

Tempat
Di Ruang Kelas
Di tempat lain yang
menyenangkan
ditentukan oleh murid
dan guru

b. Peresmian Diniyah Takmiliyah Wustho (DTW)
Diniyah Takmiliyah Wustho atau disingkat DTW merupakan inisiatif Pemerintah
Kabupaten Sukabumi untuk mengantisipasi jam pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di
sekolah formal yang masih dianggap kurang. Dalam seminggu, rata-rata sekolah hanya
memberikan alokasi dua jam saka. Hal ini pemerintah menganggap sebagai persoalan yang
serius untuk dipecahkan. Dengan program DTW ini, sekolah formal tingkat Sekolah Menengah
Pertama (SMP) akan menerima jatah enam jam untuk PAI, di antaranya Alquran, Hadits, Aqidah
Akhlak,Bahasa Arab, Tarikh, serta Fiqih. Program ini dikenalkan untuk pertama kalinya pada
tahun pelajaran 2012/2013.
Dalam penjelasannya, Sukmawijaya selaku Bupati Sukabumi periode 2010-2015,
menjelaskan bahwa:
Kebijakan penerapan DTW ditetapkan Keputusan Bupati Sukabumi Nomor
451/Kep.690-BK/2012 tertanggal 8 November 2012 lalu. Program DTW ini merupakan
program tambahan mata pelajaran untuk memperkuat aqidah siswa. Peruntukannya saat
ini sebatas SMP. Program ini merupakan gagasan dari inisiatif di mana saat ini jam
pelajaran di sekolah masih dianggap rendah untuk sekolah formal, yang hanya diberikan
dua jam saja seminggu. Padahal jika dilihat dari sisi kebutuhan, ilmu agama itu untuk
bekal aqidah yang fungsinya sebanagai penyeimbang ilmu dunia.
Ada dua kriteria DTW. Pertama, DTW murni, dan kedua DTW terintegritas. DTW murni
ialah sekolah yang sudah menerapkan kurikulum keagamaan secara terpisah antara pelajaran
formal dengan keagamaanya. Sekolah dengan criteria ini ada 20 yayasan. Kendala yang muncul
dari DTW murni ini adalah bahwa yayasan tersebut harus memberikan waktu khusus yaitu

biasanya usai jam sekolah formal berakhir. Ruangan yang ada dilanjutkan dengan pelajar agama
(Madrasah Dinyah) yang setiap hari berjalan.
Kriteria kedua, DTW terintegritas, yang dilaunching pada tanggal 14 Juli 2012 di SMPN
3 Cibadak Kabupaten Sukabumi. DTW jenis ini sistem pendidikannya menyelipkan pelajaran
agama untuk sekolah formal dengan jatah satu jam pelajaran yang diselang seling dengan mata
pelajaran utama. Untuk tahun 2012/2013 jumlah sekolah yang sudah mengikuti DTW
terintegritas ini antara lain 20 SMP Negeri dan 28 SMP PGRI dari jumlah total 272 SMP Negeri
dan swasta di Kabupaten Sukabumi.
Dalam wawancaranya, Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Sukabumi Zaenal
Mutaqin (Periode 2011-2013), menjelaskan bahwa untuk tahap awal baru sebanyak 48 SMP
yang menerapkan DTW, yang lain akan menyusul pada 2013. Dengan adanya penambahan
setiap minggunya jam PAI menjadi enam jam. Dengan dilaksanakannya DTW, setiap sekolah
harus mempunyai berbagai persiapan, di antaranya ketersediaan tenaga pengajar agama Islam,
pembiayaan operasional, sarana dan prasarana penunjang lainnya. Dalam penerapan DTW ini
memang masih ada sejumlah sekolah yang masih kekurangan jumlah guru Pendidikan Agama
Islam. Namun, ada juga sekolah yang ternyata memiliki guru agama yang melebihi jumlah
kebutuhan.
Penyelenggaraan DTW mendapatkan dukungan pendanaan penuh dari Pemerintah
Kabupaten Sukabumi. Terlebih penyelenggaraan DTW melibatkan berbagai pihak antara lain
Bagian Keagamaan Pemerintah Kabupaten Sukabumi, Disdik Kabupaten Sukabumi, Majelis
Ulama Indonesia (MUI), dan Kementerian Agama (Kemenag). Pada 2013 seluruh SMP dapat
menerapkan pendidikan DTW. Sedangkan di Kabupaten Sukabumi jumlah SMP seluruhnya
sekitar 272 sekolah.
Dalam evaluasi program DTW, penambahan jam untuk mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam (PAI) belum seluruhnya dilaksanakan. Dari jumlah 260 sekolah tingkat SMP,
sebanyak 114 sekolah yang sudah melaksanakan penambahan jam mata pelajaran PAI yang
awalnya hanya tiga jam menjadi lima jam. Belum meratanya pelaksanaan program ini sebab
tergantung dari anggaran.
Sekretaris Daerah Kabupaten Sukabumi (2011-2015), Adjo Sarjono, menjelaskan bahwa
dari 260 sekolah tingkat SMP di Kabupaten Sukabumi baru 114 sekolah yang sudah
melaksanakan. Sekolah lain pun akan menyusul dan menyesuaikan sesuai dengan alokasi
anggaran dan kebutuhan lainnya.
Dijelaskan Adjo, bahwa penambahan jam belajar PAI tersebut atas izin dan diakui oleh
Kementerian Agama. Untuk pelaksanaanya membutuhkan tenaga pengajar atau guru yang
memang khusus mengajar PAI, karena bertambah maka bagi para guru mendapat tambahan
tunjangan. Dengan bertambahnya jam belajar itu, lanjut Adjo, harus dibarengi dengan kebutuhan
pengajar dan teknis pembelajaran yang efektif.
Untuk itu diadakan bimbingan teknis supaya guru tak bingung dalam mengajar, nantinya
para guru pun terkonsep dan terarah. Pemateri dalam bimtek ini pun dari beberapa pengajar yang
profesional yang akan mengisi selama dua hari. Mereka yang mengikuti bimbingan teknis akan
mendapatkan sertifikasi dari Kemenag Kabupaten Sukabumi.
Secara terpisah, Kepala Bagian Keagamaan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi,
Ali Iskandar, menjelaskan:
“Penambahan jam PAI ini bertujuan untuk membimbing siswa dalam mewujudkan
masyarakat yang berakhlak mulia. Menurutnya, PAI ini menjadi modal dasar
pembangunan Kabupaten Sukabumi yang lebih maju, baik dan sesuai konsep visi misi

Sukabumi. Untuk mewujudkan masyarakat Sukabumi yang berakhlakul karimah, ini jelas
perlu dipersiapkan dari mulai generasi muda terutama pelajar. Sehingga mereka mampu
dan memiliki bekal dasar-dasar nilai agama yang kokoh. Program ini sejatinya sudah
dilaksanakan di tingkat SD, yaitu dengan adanya dukungan dengan sekolah Diniyah
Takmiliyah. Sehingga hal serupa ingin dilaksanakan di tingkat SMP.
Sementara itu, Kepala Kementerian Agama Kantor Kabupaten Sukabumi, Hilmy Rifai
menambahkan, bahwa :
“Pihaknya sangat merespon dan siap mendukung dalam mewujudkan program tersebut.
Termasuk bimtek terhadap guru juga jelas merupakan modal yang paling mendasar.
Pengembangan PAI di SMP mewujudkan kualitas dan kapasitas pembelajaran pendidikan
agama Islam di Kabupaten Sukabumi menuju pribadi siswa yang berakhlak mulia.”

2. Pembahasan
Bentuk-bentuk akhlak mulia, sesuai dengan Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 33 Tahun
2008 Standar Isi Program Pengembangan Diri Pembiasaan Ahlak Mulia di Sekolah dan
Madrasah tentang tercermin dalam indikator-indikator perilaku (dikategorisasi berdasarkan
dimensi ibadah ritual dan sosial), sebagai berikut:
Dimesi Ibadah Sosial

Dimensi Ibadah Ritual

a. Berbakti kepada orangtua dan guru.
b. Berbusana muslim pada setiap aktivitas
pembelajaran, masuk kelas diawali
dengan salam, berdo‟a diawal dan
diakhir pelajaran serta mushpahah
kepada guru sebelum keluar dari kelas.
c. Memelihara
kebersihan dari dan
lingkungan.

a. Sebelum memulai pelajaran pertama diawali
dengan membaca Al-Quran bersama
sekurang-kurangnya 15 menit dan setiap
mata pelajaran diawali dengan membaca
ayat/hadits yang terkait.
b. Di setiap jam istirahat diawali dengan shalat
dhuha bersama.
c. melaksanakan sholat Dzuhur bersama dan
dzikir, bagi sekolah yang belajarnya siang
atau sore maka berjamaahnya shalat ashar,
magrib dan isya.
d. Melaksanakan
Ta‟lim
dan
ceramah
keagamaan
e. Membentuk Unit Pengumpulan Zakat
(UPZ) dan melaksanakannya
f. Qiyamul lail sekurang-kurangnya seminggu
sekali secara bergilir sesuai kondisi dan
membentuk Pramuka Iqomah (Ikatan
Penggerak Qoryah Mubarokah).
g. Pembiasaan shaum-shaum sunnat dan
rutinitas budaya Islami lainnya.

Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi, mengambil sikap dengan mengeluarkan
kebijakan yang tidak biasa, yaitu memainkan fungsi sekolah untuk menanamkan dan

membiasakan akhlak mulia. Hal ini sesuai dengan pendapat Wuradji (1988: 31-42) yang
menyatakan bahwa pendidikan sebagai lembaga konservatif mempunyai fungsi-fungsi sebagai
berikut: (1) Fungsi sosialisasi, (2) Fungsi kontrol sosial, (3) Fungsi pelestarian budaya
Masyarakat, (4) Fungsi latihan dan pengembangan tenaga kerja, (5) Fungsi seleksi dan alokasi,
(6) Fungsi pendidikan dan perubahan sosial, (7) Fungsi reproduksi budaya, (8) Fungsi difusi
kultural, (9) Fungsi peningkatan sosial, dan (10) Fungsi modifikasi sosial. Sejalan dengan hal itu,
Ballantine (1983:5-7) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai
berikut: (1) fungsi sosialisasi, (2) fungsi seleksi, latihan dan alokasi, (3) fungsi inovasi dan
perubahan sosial, (4) fungsi pengembangan pribadi dan sosial.
Apa yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi sesuai dengan Spencer,
et.al (1982:8-9) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut: (1)
memindahkan nilai-nilai budaya, (2) nilai-nilai pengajaran, (3) peningkatan mobilitas sosial, (4)
fungsi stratifikasi, (5) latihan jabatan, (6) mengembangkan dan memantapkan hubungan
hubungan sosial (7) membentuk semangat kebangsaan, (8) pengasuh bayi.
Lebih jelas, Cummings (2008:4-5) menyatakan:
Schools may reproduce, even reinforce, the inequalities of the larger society, or they may
challenge them, or work to overcome the marginalization of excluded, vulnerable, and
“invisible” children so that all have access to education. The word “marginalized” is
used preferentially to emphasize the stance adopted here that schools play a more or less
active role in determining the marginal or mainstream status of children. At a minimum,
we would argue, schools have a responsibility to respond to the marginalization of
children under their care.
Dalam hal ini, di Kabupaten Sukabumi, sekolah diharapkan mampu mensosialisasikan,
mendidik dan melakukan perubahan sosial yang secara terencana dilakukan dengan dukungan
kebijakan publik. Selama berjalannya regulasi tersebut (sejak 2008 sampai dengan sekarang
tahun 2015), proses implementasi di lapangan menemui beberapa kendala dan tantangan.
Tantangan ini bersifat internal dan eksternal. Penyediaan tenaga pengajar agama Islam,
pembiayaan operasional, sarana dan prasarana menjadi faktor-faktor tersebut.
Peran sekolah sangatlah besar dan menjadi tumpuan bagi orang tua dalam mendidik anak.
Sekolah telah menjadi lembaga pendidikan sebagai media berbenah diri dan membentuk nalar
berfikir yang kuat. Di sekolah, anak belajar menata dan membentuk karakter. Sekolah
merupakan wahana yang mencerdaskan dan memberikan perubahan kehidupan anak-anak didik.
Dengan kata lain, sekolah mampu memberikan warna baru bagi kehidupan anak ke depannya,
sebab di sekolah mereka ditempa untuk belajar berbicara, berpikir, dan bertindak. Yang jelas,
sekolah mendidik anak untuk menjadi dirinya sendiri. Sekolah bertanggung jawab menanamkan
pengetahuan-pengetahuan baru yang reformatif dan transformatif dalam membangun bangsa
yang maju dan berkualitas. Dengan demikian, peran sekolah sangat besar dalam menentukan
arah dan orientasi bangsa ke depan.
Lebih jauh lagi peran sekolah menjadi sangat signifikan bagi perkembangan dan
kemajuan suatu bangsa. Dengan sekolah, pemerintah mendidik bangsanya untuk menjadi
seorang ahli yang sesuai dengan bidang dan bakatnya si anak didik, yang berguna bagi dirinya,
dan berguna bagi nusa dan bangsa. Dengan sekolah pula, umat manusia yang berperadaban dan
beragama mendidik anak-anaknya untuk menjadi anak yang memiliki kecerdasan intelektual,
emosional, dan spiritual yang tinggi sebagai bekal untuk melanjutkan dan memperjuangkan
agamanya.

Tak pelak lagi di era globalisasi sekarang ini, orang tua yang memiliki keterbatasan
dalam mendidik anak-anaknya telah menyerahkan anak-anaknya kepada sekolah dengan maksud
utama agar di sekolah itu anak-anak mereka menerima ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
dapat dipergunakan sebagai bekal hidupnya kelak di kehidupan dunianya dan kehidupan
akhiratnya.
Dengan kebijakan penambahan jam pelajaran Pendidikan Agama Islam sebanyak 6 jam,
memberikan warna tersendiri terhadap pola pendidikan agama di sekolah. Hal ini tentu akan
menimbulkan pro dan kontra. Namun jika ditinjau lebih mendalam, kepedulian Pemerintah
Daerah Kabupaten Sukabumi terhadap penguatan Pendidikan melalui pendidikan agama islam
disebabkan keyakinan bahwa dengan hanya dengan pendidikan agama yang komprehensif, anak
dapat diselamatkan dari perilaku dan moral yang menyimpang. Hal ini diperkuat oleh teori yang
dikemukakan oleh Cummings, ketika melihat perubahan yang terjadi di masyarakat harus
direspon dengan sistem pendidikan yang berorientasi pada peningkatan kualitas pendidikan dan
sekolah itu sendiri.
Cummings, (2008: ix-x), propositions on the process of change
1. Improving quality requires a different approach to the management of education systems and to
the change process than does improving access alone.
2. The dichotomization of change strategies as either top-down or bottom-up is not the most useful
way to think about reform.
3. A measure of the effectiveness of a country’s efforts to educate all is the extent to which that
system reaches and educates children on the margin.
4. Policies and strategies effective for reaching children and youth at the margin are likely to differ
from those appropriate for reaching children in the center.
5. Children and youth at the margin are likely to require a substantially greater range of
“supports” than are children in the center.

In these ways, we continue to maintain, the approach and strategy used to promote reform are as
salient as the content of reform. The centralized, command-and-control approaches to planning and
management that many systems have inherited and which may work moderately well for small
systems with relatively homogenous and well-supported student populations are unlikely to serve well in
fostering sustainable improvements in quality in the context of working for education of all.

A number of perspectives dealing with social and technological change in the future were
developed by Alvin Toffler (1970, 1980). He is one of the most prolific futurists, and is widely
known for his works discussing social, economic, organisationaland technological
transformations affecting societies around the world. However, one of the forerunners of
schooling for tomorrow was Ivan Illich (1981) and in his book Deschooling Society, he
advocated a number of radical policy proposals for changing schools and pedagogy. Illich argued
that schools had to be transformed, and in particular, he was a visionary in foreseeing the use of
decentralised schooling and the use of information technology in educational settings in the
future. He came to believe that information technology had a potential to create decentralized
„learning webs‟, which would generate quality learning for all:
A good educational system should have three purposes: it should provide all who want to
learn with access to available resources at any time in their lives; empower all who want
to share what they know to find those who want to learn it from them; and, finally,
furnish all who want to present an issue to the public with the opportunity to make their
challenge known (Illich 1981).

Similarly, Postman and Weingartner (1969) were equally critical of traditional schools
and proposed a new model in pedagogy based on inquiry learning, one of the cornerstones of
schooling for tomorrow, where such concepts as critical literacy and reflection would become
essential learning tools. Works by John Holt (1964, 1967, 1972, and 1976) offered a new
approach for classroom learning and teaching, based on humanistic and child-centred pedagogy.
Since the 1980s, numerous books have been published, dealing with various visions of
schools for tomorrow (see Faure 1972; Beare and Slaughter 1993; Power 1995; Delors 1996).
Most seemed to be addressing economically and technologically driven, as well as standardsdriven, education reforms, as a result of various social and cultural transformations, brought on
by forces of globalisation (Zajda, 2009). Colin Power (1995) observed that the world was
undergoing „profound scientific and technological revolutions‟ and education had to play a key
role in preparing young adults for life and work in the twenty-first century: Education must
prepare the citizens of today to live and work in the world of tomorrow, a world in which the
only constant will be change. Yet, if the technological revolution is the most visible sign of the
times, political, social and economic changes are also imposing new challenges and
responsibilities upon education systems. Certainly, the most urgent of these is that of
constructing a culture of peace and tolerance in which differences and diversities are viewed as a
source of richness and not as a threat to one‟s own values and being. Our very survival may
ultimately
depend
upon
our
success
in
confronting
this
challenge.
(http://www.unesco.org/education/educprog/brochure/003.html)
Some of the policy and pedagogy issues in education for tomorrow include „new forms of
governance and policy-making‟ to prepare our schools for the twenty-first century (Johansson
2003:148). An innovative approach to governance and education policy is based on long-term
thinking, where policy-makers are engaged in a proactive process of constant learning Policymaking, not just students, teachers and schools, must be in a process of constant learning. For
this, methods and strategies for long-term thinking are needed. Despite the fact that education is
par excellence about long-term investment and change, forwardthinking methodologies are
woefully under-developed in our field.
Johansson (2003: 151) also argues that schools play a significant role in cultural
transformation:
In sum, schools have been very important and, in many respects, successful institutions.
They were integral to the transformation from agrarian to industrial societies. They
represent a very important investment for our countries in making the further
transformation from industrial to the knowledge-based societies of today and tomorrow,
but for this they must be revitalised and dynamic.
At its 57th session in December 2002, the United Nations General Assembly proclaimed
the years from 2005 to 2014 the Decade of Education for Sustainable Development. The need to
act, with reference to education for sustainable development (EfS), is the result of a growing
international concern about the social, economic and environmental challenges facing the world
and the need for „improved quality of life, ecological protection, social justice and economic
equity‟ (http:// www.environment.gov.au/education/publications/caring.html).
Dampak dari Peraturan Daerah berorientasi Pembiasaan Akhlak Mulia.
Bupati Sukabumi Sukmawijaya, akhirnya meraih penghargaan dari Kementerian Agama
RI. Bersama 10 kepala daerah lain. Sukmawijaya dianugerahi sebagai kepala daerah yang dinilai

berprestasi dalam memberikan kontribusi dan perhatian besar terhadap pendidikan agama dan
keagamaan. Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Menteri Agama Suryadharma Ali pada
acara tasyakuran Hari Amal Bhakti Kementerian Agama ke-64 di Jakarta, Senin (4/1/2011)
kemarin.
“Bagi saya sendiri, penghargaan ini merupakan tantangan terutama dalam upaya
mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, maju menuju Kabupaten Sukabumi sejahtera,”
kata Sukmawijaya.
Menurutnya, membentuk akhlak mulia bangsa bukanlah langkah mudah. Banyak
tantangan yang dihadapi. Bergesernya nilai-nilai agama, karena derasnya perkembangan
teknologi informasi yang membawa nilai-nilai baru globalisme merupakan tantangan yang harus
dijawab. “Setiap jenjang waktu, masalah pembangunan akhlak memiliki dimensinya sendirisendiri, sehingga diperlukan kreativitas dinamis peran kita sesuai perkembangan yang
ada,”terangnya.
Sukmawijaya mengatakan, penghargaan yang diberikan kementerian agama bukan
semata-mata sebagai penghargaan, tetapi lebih dari itu berfungsi sebagai pemberi motivasi dan
strategi untuk terus meningkatkan peran pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan
pendidikan agama di daerah. “Penghargaan ini sebagai motivasi dan sekaligus strategi untuk
terus meningkatkan peran Pemerintah Kabupaten Sukabumi dalam rangka pelaksanaan
pendidikan keagamaan,”imbuhnya.
Kepala Tata Usaha (TU) Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sukabumi, Hasen
Chandra menjelaskan bahwa Penghargaan diberikan berdasarkan program dan kebijakan
pemerintah daerah (pemda) yang mendukung pengembangan madrasah. Salah satunya program
pemda yang memiliki keberpihakan dengan menganggarkan untuk pengembangan madrasahmadrasah dan pemberian intensif bagi guru-guru madrasah honorer. Regulasi-regulasi yang propada pendidikan Islam dan penanaman akhlak mulia, di antaranya:
1. Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2006 mengenai Program Wajib Belajar Pendidikan
Keagamaan.
2. Instruksi Bupati Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Program Wajib Belajar
Pendidikan Keagamaan.
3. Peraturan Bupati Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Kurikulum Madrasah Diniyyah
Awaliyyah.
4. Instruksi Bupati Nomor 4 Tahun 2007 Tentang Monitoring, Evaluasi dan Fasilitas
pelaksanaan program wajib belajar pendidikan keagamaan.
5. Peraturan Bupati Nomor 7 Tahun 2007 tentang Akreditasi Madrasah Diniyyah (MD).
6. Peraturan Bupati Nomor 33 Tahun 2008 Tentang Standar Isi Program Pengembangan
Diri Pembiasaan Ahlak Mulia di Sekolah dan Madrasah.
7. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Wajib Belajar Pendidikan
Keagamaan Islam.
E. Simpulan
Keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kebijakan bidang pendidikan keagamaan
dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia di atas sesuai dengan kultur dan
kondisi sosial masyarakat Kabupaten Sukabumi yang agamis. Pembiasaan (habituation)
merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku yang relatif menetap dan bersifat otomatis
melalui proses pembelajaran yang berulang-ulang. Sikap atau perilaku yang menjadi kebiasaan
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a) Perilaku tersebut relatif menetap; b) Pembiasaan

umumnya tidak memerlukan fungsi berpikir yang cukup tinggi, misalnya untuk dapat
mengucapkan salam cukup fungsi berpikir berupa mengingat atau meniru saja; c) Kebiasaan
bukan sebagai hasil dari proses kematangan, tetapi sebagai akibat atau hasil pengalaman atau
belajar; d) Perilaku tersebut tampil secara berulang-ulang sebagai respons terhadap stimulus
yang sama.
Revitalisasi peran sekolah dalam penguatan pendidikan dan pembiasaan akhlak mulia
bagi anak di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat merupakan suatu inovasi dan mendesak untuk
dilakukan dalam mengantisipasi perubahan sosial dan teknologi serta dampak negatif dari
Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak.
Pembiasaan 10 akhlak mulia di sekolah dan madrasah, ditambah dengan program Diniyah
Takmiliyah Wusto (DTW) merupakan sebagian inovasi yang berupaya agar anak lebih fokus di
sekolah agar menjadi siswa yang cerdas dan berkahlak mulia.
Temuan menunjukkan bahwa: (1) ada fasilitas yang belum memadai
dan sumber daya yang didedikasikan untuk mendukung program pembiasaan 10 Akhlak Mulia
dan Program Diniyah Takmiliyah Wustho (DTW) ; (2) masih rendahnya dukungan dari berbagai
unsur, terutama dari pihak sekolah sendiri untuk mengimplementasikan dua program ini secara
m