STUDI KORELATIF ANTARA TINGKAT PENDIDIKA

STUDI KORELATIF ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TERHADAP PENGETAHUAN DAN PEMAHAMAN PARA PEDAGANG DI PASAR BADAK KABUPATEN PANDEGLANG MENGENAI PANCASILA

Diajukan Untuk Mengikuti Lomba Karya Tulis Empat Pilar Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

Oleh :

Boni Andika (10/296364/SP/23830) JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2012

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Karya Tulis : STUDI KORELATIF ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TERHADAP PENGETAHUAN DAN PEMAHAMAN PARA PEDAGANG DI PASAR BADAK KABUPATEN PANDEGLANG MENGENAI PANCASILA

Penulis

: Boni Andika

NIM

: 10/296364/SP/23830

Karya tulis ini merupakan asli karya penulis dan diajukan untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara 2012.

Penulis,

Boni Andika

ABSTRAKSI

Pancasila sebagai identitas dan nilai luhur bangsa menghadapi sebuah tantangan nyata di tengah-tengah arus globalisasi yang saat ini kian deras arusnya merambah seluruh elemen berbangsa dan bernegara. Tantangan tersebut yaitu berupa pengetahuan dan pemahaman mengenai Pancasila yang harus melekat dalam diri masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, penting kiranya bagi kita untuk mengetahui seberapa besar pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sini penulis berusaha mencari bagaimana korelasi antara tingkat pendidikan dan kebudayaan terhadap pengetahuan dan pemahaman mengenai Pancasila para pedagang di Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang. Melalui uji regresi dan perhitungan product- moment, penulis menemukan bahwa tingkat pendidikan memberikan pengaruh terhadap rendahnya pengetahuan dan pemahaman mengenai Pancasila para pedagang di Pasar Badak sebesar 39,69%. Sedangkan pengaruh yang diberikan oleh kebudayaan lebih besar, yaitu sebesar 53,29%. Tingkat pendidikan memberikan pengaruh yang lebih kecil dikarenakan pada dasarnya status pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat tidak mempengaruhi pengetahuannya mengenai Pancasila. Apalagi sebagian besar pendidikan akan Pancasila dapat ditempuh sejak duduk di bangku sekolah dasar. Sedangkan kebudayaan yang diwakili oleh sisi penggunaan bahasa, justru memberikan pengaruh lebih besar dikarenakan masyarakat dengan ikatan budaya dan penggunaan bahasa daerah yang kuat, membuat mereka mengalami hambatan untuk dapat menerima akses informasi maupun sosialisasi yang telah diberikan oleh pemerintah terkait Pancasila. Ditambah lagi, bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia merupakan bahasa dasar dalam setiap bentuk pembelajaran di sekolah. Berdasarkan teori DeFleur dan Ball-Rokeach mengenai kerangka

ii

yang digunakan untuk melihat bagaimana suatu masyarakat dalam menstimulasi informasi yang diterimanya, bahwa banyak faktor yang menyebabkan masyarakat sulit menerima informasi mengenai Pancasila yang berujung kepada rendahnya pengetahuan dan pemahaman mereka. Selain tingkat pendidikan dan kebudayaan, yang menjadi faktor lain ialah profesi yang dijalani oleh setiap individu tersebut. Para pedagang di Pasar Badak cenderung tidak terlalu fokus pada urusan yang mereka anggap tidak berkaitan dengan dunia perdagangan, termasuk Pancasila. Sehingga memang semuanya bergantung kepada kesadaran masyarakat sendiri untuk mau memahami Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka yang diperlukan saat ini ialah upaya bersama berbagai pihak, baik pemerintah, non pemerintah, maupun masyarakat untuk meningkatkan kesadaran bersama guna menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kata kunci: , Bahasa, Kebudayaan, Pancasila, Tingkat Pendidikan.

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua selaku hamba-Nya. Alhamdulillah Penulis dapat menyusun Karya Tulis yang berjudul “Studi Korelatif Antara Tingkat Pendidikan dan Kebudayaan terhadap Pengetahuan dan Pemahaman Para Pedagang d i Pasar Badak Kabupaten Pandeglang Mengenai Pancasila” dengan sebagaimana mestinya. Beribu –ribu rasa terimakasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah mendukung pembuatan karya tulis ini, kepada :

1. Bapak Antoni dan Ibu Sri Lestari selaku orang tua penulis.

2. Awwaliatul Mukarromah selaku teman yang telah membantu penulis menyebarkan kuesioner.

3. Rekan–rekan yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu. Penulis dengan bangga bisa mempersembahkan Karya Tulis ini, meskipun masih banyak kekurangan –kekurangan yang dijumpai di dalamnya. Maka saya selaku penulis meminta maaf yang sebesar –besarnya kepada pihak pembaca. Selain itu, penulis masih menunggu kritik dan saran yang sekiranya dapat membangun agar apa yang telah penulis lakukan dapat menjadi lebih baik lagi. Semoga dengan adanya Karya Tulis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Penulis

iv

4.3 Pengujian Hipotesis.............................................................

BAB V PENUTUP……………..………………………………………….. 29

5.1 Kesimpulan……………………………………………………………………….. 29

5.2 Saran……………………………………………………………………………….. 30

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...

32 L AMPIRAN………………………………………………………….……. 33

vi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Waktu Penelitian

2 Interpretasi Nilai r

3 Data Hasil Wawancara

4 Harga Kritik dari r Product-Moment

5 Data 50 Responden Hasil Wawancara

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Desain Penelitian

2 Diagram Pendidikan Akhir 50 Responden

3 Diagram Pengetahuan 50 Responden Mengenai Pancasila

4 Diagram Pemahaman 50 Responden Mengenai Pancasila

5 Diagram Penggunaan Bahasa oleh 50 Responden

6 Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang

7 Wawancara Kepada Pedagang Buah

8 Wawancara Kepada Pedagang Pulsa 44

9 Wawancara Kepada Pedagang Mainan Anak

viii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai pengantar, kita perlu menelusuri secara singkat sejarah lahirnya istilah Pancasila dan artinya secara harfiah. Pancasila mempunyai arti lima dasar atau lima asas yang menjadi dasar negara Republik Indonesia. Istilah Pancasila sebenarnya telah dikenal sejak zaman Majapahit, tepatnya pada abad XIV. Istilah Pancasila tercantum dalam buku Nagara Kertagama karangan Mpu Prapanca dan buku Sutasoma karangan Mpu Tantular.

Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia secara resmi ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Sebagai dasar negara, nilai-nilai kehidupan bernegara dan pemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan pada Pancasila. Namun sebenarnya, nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila telah dipraktikkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia sejak lama, dan kita pun juga masih menggunakannya hingga saat ini.

Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis, fundamental dan menyeluruh. Sila-sila yang terkandung dalam pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat

dan utuh, hierarkis dan sistematis maknanya. 1 Hampir setiap negara di dunia berdiri berdasarkan dasar filsafat tertentu untuk

mengetahui arah dan tujuan bersama yang ingin dicapai. Dasar

1 Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 1982), hlm. 75.

filsafat tersebut adalah perwujudan dari keinginan atau sifat dasar suatu bangsa yang sesuai dengan karakter bangsa tersebut. Biasanya dasar filsafat itu adalah cerminan dari nilai dan moral yang dimiliki bangsa tersebut, yang diyakini serta menimbulkan tekad untuk diwujudkan.

Dari sudut pandang filsafat, Pancasila sering dipahami sebagai philosophical way of thinking atau philosophical system yang berarti bahwa Pancasila bersifat obyektif ilmiah karena uraiannya bersifat logis dan dapat diterima oleh paham lain, serta oleh siapapun.

Rumusan Pancasila yang dijadikan sebagai dasar negara Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, berfungsi sebagai satu kesatuan nilai kehidupan masyarakat Indonesia. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia. Selain sebagai dasar negara, Pancasila juga tentunya berperan sebagai identitas nasional atau identitas bangsa Indonesia.

Peran Pancasila sebagai identitas bangsa nampaknya belum dapat diaplikasikan serta dipahami secara mendalam oleh rakyat Indonesia. Padahal di era globalisasi seperti sekarang ini, Pancasila dapat saja dilupakan oleh generasi sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Sangat penting artinya bagi bangsa Indonesia untuk memiliki sebuah identitas yang menjadi pembeda antara bangsa atau negara kita dengan bangsa lain.

Dilihat dari segi bahasa, identitas berasal dari Bahasa Inggris yaitu identity yang dapat diartikan sebagai ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri. Salah satu aspek penting yang dapat kita gunakan untuk melihat identitas bangsa Indonesia ialah budaya. Budaya-budaya Dilihat dari segi bahasa, identitas berasal dari Bahasa Inggris yaitu identity yang dapat diartikan sebagai ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri. Salah satu aspek penting yang dapat kita gunakan untuk melihat identitas bangsa Indonesia ialah budaya. Budaya-budaya

Kemudian pembahasan akan semakin menarik ketika kita juga melihatnya sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Aspek pendidikan merupakan salah satu aspek penting yang semakin berkembang dan menjadi perhatian setiap orang di tengah semakin hebatnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan, banyak orang yang juga telah melakukan kajian mengenai kaitan antara aspek pendidikan dan budaya masyarakat dalam studi sosiologi kemasyarakatan.

Berdasarkan uraian di atas, pembahasan mengenai kaitan antara pendidikan, budaya serta pemahaman akan Pancasila menjadi suatu hal yang amat penting serta menarik untuk dikaji. Apakah pendidikan dan budaya memberikan pengaruh positif terhadap pemahaman masyarakat akan Pancasila. Ataukah pendidikan, budaya, dan Pancasila memiliki hubungan tersendiri yang dapat diketahui setelah dilakukan riset dan penelitian langsung mengenai aspek-aspek tersebut. Oleh karenanya dalam karya tulis ini penulis berusaha menelaah bagaimana korelasi antara aspek pendidikan, budaya, serta pemahaman masyarakat akan Pancasila.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah-masalah yang akan dibahas dalam karya tulis ini adalah:

1. Bagaimana pengetahuan dan pemahaman pedagang di Pasar Badak Kabupaten Pandeglang mengenai Pancasila?

2. Bagaimana korelasi tingkat pendidikan dan kebudayaan terhadap pengetahuan dan pemahaman pedagang di Pasar Badak Kabupaten Pandeglang mengenai Pancasila?

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui sejauh mana pengetahuan dan pemahaman pedagang di Pasar Badak Kabupaten Pandeglang mengenai Pancasila.

2. Mengetahui seberapa besar korelasi tingkat pendidikan dan kebudayaan terhadap pengetahuan dan pemahaman pedagang di Pasar Badak Kabupaten Pandeglang mengenai Pancasila.

3. Memberikan informasi yang aktual dan terkini mengenai bagaimana implementasi 4 (empat) pilar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, khususnya Pancasila di kalangan pedangang Pasar Badak Kabupaten Pandeglang.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat yang diperoleh dari penulisan karya tulis ini antara lain:

1. Memberikan gambaran mengenai pengetahuan dan pemahaman pedagang di Pasar Badak Kabupaten Pandeglang mengenai Pancasila.

2. Memberikan masukan kepada pihak-pihak atau lembaga-lembaga terkait untuk menindaklanjuti hasil penelitian ini.

3. Memberikan kesempatan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk berbicara mengenai implementasi 4 (empat) pilar dalam penyelenggaraan

berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, khususnya Pancasila.

kehidupan

4. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat dengan bertukar pikiran secara terbuka mengenai makna Pancasila.

1.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan dugaan sementara dari hasil penelitian. Dalam karya tulis ini penulis menjabarkan Ha (hipotesis alternatif) dan Ho (hipotesis nol) sebagaimana yang tertera di bawah ini.

1. Tingkat pendidikan dan kebudayaan mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman para pedagang di Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang mengenai Pancasila. (Hipotesis alternatif)

2. Tingkat pendidikan dan kebudayaan tidak mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman para pedagang di Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang mengenai Pancasila. (Hipotesis nol)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Eksistensi Pancasila

Eksistensi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat kita lihat dari dua aspek yang berbeda, yaitu eksistensinya dalam aspek kebudayaan dan aspek pendidikan. Eksistensi Pancasila sebagai identitas nasional dalam aspek budaya nampaknya belum dapat diaplikasikan dan dipahami secara mendalam oleh rakyat Indonesia. Padahal di era globalisasi seperti sekarang ini, Pancasila dapat saja dilupakan oleh generasi sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Sangat penting artinya bagi bangsa Indonesia untuk memiliki sebuah identitas yang menjadi pembeda antara bangsa atau negara kita dengan bangsa lain. Identitas ini tentunya dapat disejajarkan dengan lambang, bendera dan bahasa negara kita. Dalam hal ini, masing-masing adalah Bhinneka Tunggal Ika, bendera merah putih dan bahasa Indonesia. Ketiga simbol negara ini tidaklah banyak berarti bila Pancasila sebagai filsafat negara dan dasar negara tidak dapat memberikan arti yang lebih mendalam kepada simbol-simbol negara tersebut. Karena hal tersebut dilakukan untuk memperdalam pemahaman kita tentang identitas negara kita akan mencari dan menemukan maknanya dari berbagai sumber yang dapat dipercaya.

Menurut Smith (1991), jika suatu bangsa menginginkan munculnya atau dimilikinya sebuah collective identity (identitas bersama) yang mewakili seluruh populasi dari sebuah negara atau suatu bangsa, maka collective identity tersebut haruslah berbeda dari collective Menurut Smith (1991), jika suatu bangsa menginginkan munculnya atau dimilikinya sebuah collective identity (identitas bersama) yang mewakili seluruh populasi dari sebuah negara atau suatu bangsa, maka collective identity tersebut haruslah berbeda dari collective

kesamaan-kesamaan lainnya. 2 Di Indonesia terdapat banyak sekali suku, dan bahasa daerah sehingga collective identity tersebut tidak

cukup kuat untuk mempertahankan persatuan dan keutuhan bangsa Indonesia yang tersebar di atas ribuan pulau.

Karena Pancasila telah teruji sepanjang sejarah perjuangan kemerdekaan dan sampai saat ini masih diterima oleh seluruh bangsa Indonesia sebagai pemersatu bangsa Indonesia, maka Pancasila dapat dikatakan sebagai suatu collective identity yang sesuai untuk bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan Pancasila tidak dibatasi oleh perbedaan-perbedaan suku, ras, agama dan antar- golongan (SARA). Identitas nasional terbentuk sebagai rasa bahwa bangsa Indonesia mempunyai pengalaman bersama, sejarah yang sama dan penderitaan yang sama dan seperjuangan untuk tidak saja melawan penjajahan kolonialisme di masa lalu tetapi seperjuangan melawan kemiskinan, ketertinggalan dan terutama dengan identitas bersama melawan nilai-nilai baru dari luar yang di bawa oleh globalisasi, yang jika tidak disaring secara baik oleh bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia akan hanyut oleh perubahan yang setiap waktu menerpa bangsa Indonesia. Budaya dan nilai-nilai yang hidup dan dipelihara dan dinilai cocok bagi bangsa Indonesia dapat punah dan digantikan oleh nilai-nilai baru yang tidak sesuai dengan filsafat hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Identitas nasional diperlukan dalam interaksi karena di dalam setiap interaksi para pelaku interaksi mengambil suatu posisi dan berdasarkan posisi tersebut para pelaku menjalankan peranan- peranannya sesuai dengan corak interaksi yang berlangsung, maka

2 Anthony D. Smith, National Identity, (Nevada: University of Nevada Press, 1991), hlm. 20-25.

dalam berinteraksi seseorang berpedoman kepada kebudayaannya. Jika kebudayaan di katakan bagian dari identitas nasional maka kebudayaan itu juga dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk berbuat dan bertingkah laku.

Selain itu, dalam aspek pendidikan, eksistensi Pancasila sebagai ideologi sekaligus identitas bangsa juga dapat kita lihat dari diadakannya pembelajaran sekaligus pengajaran mengenai Pancasila yang sudah dimulai sejak masyarakat menempuh pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.

Pendidikan Pancasila telah menghadapi perjalanan panjang sejarah dalam proses penyampaian materi di dunia akademis. Pergantian- pergantian kebijakan dalam penyusunan materi pendidikan Pancasila yang akan disampaikan kepada pelajar dan mahasiswa terus berjalan seiring dengan kebijakan pemerintah dari masa ke masa.

Babak baru mengenai sistem pendidikan nasional dimulai dengan diperkenalkannya standar nasional pendidikan sebagai kriteria minimal sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Termasuk didalamnya konsep pengajaran Pendidikan Pancasila di tingkat sekolah yang kemudian

berganti nama menjadi Pendidikan Kewarganegaraan, 3 hal ini juga kemudian berlaku di tingkat perguruan tinggi dimana Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) kemudian menetapkan model pembelajaran serta hasil evaluasi Pendidikan Pancasila untuk

tingkat Perguruan Tinggi (mahasiswa). 4 Bahkan dalam Bab X

3 Winarno, Pendidikan Kewarganegaraan Persekolahan: Standar Isi dan Pembelajarannya , Jurnal Civics, Vol. 3, No. 1, 2006, hlm. 1-15.

4 Lampiran Surat Edaran Dirjen DIKTI No: 06/D/T/2010 tentang Rambu-Rambu Strategi Model Pembelajaran dan Evaluasi Hasil Pembelajaran Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi 4 Lampiran Surat Edaran Dirjen DIKTI No: 06/D/T/2010 tentang Rambu-Rambu Strategi Model Pembelajaran dan Evaluasi Hasil Pembelajaran Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi

Pancasila. 5

Selain itu, Pancasila juga memiliki posisi sebagai paradigma penting dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Memasuki kawasan filsafat ilmu, ilmu pengetahuan diletakkan di atas Pancasila sebagai paradigma yang perlu dipahami sebagai dasar dan arah penerapannya, baik dari segi ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya. Secara ontologis, berarti hakikat ilmu pengetahuan merupakan aktivitas manusia Indonesia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan yang utuh dalam dimensinya sebagai masyarakat, sebagai proses, dan sebagai produk.

Secara epistemologis, berarti Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dijadikan metode berpikir (dijadikan dasar dan arah berpikir) dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, yang parameternya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Sedangkan secara aksiologis berarti, bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut, kemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan ideal Pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.

5 Referensi lebih lanjut dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dapat diunduh dari situs Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti)

http://www.dikti.go.id/files/atur/UU20-2003Sisdiknas.pdf

Hal inilah yang kemudian menjadi landasan penting perumusan formulasi Pancasila dijadikan sebagai salah satu bagian dari kurikulum pendidikan di Indonesia dari berbagai jenjang pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Nilai- nilai luhur, historik dan sebagainya yang terkandung di dalam Pancasila harus disampaikan secara terus menerus dari generasi ke generasi sebab di dalamnya terkandung falsafah bangsa, aturan kehidupan berbangsa dan bernegara.

2.2 Kebudayaan Masyarakat

Kebudayaan sangat erat kaitannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski (dalam Soekanto, 1990) mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri atau disebut dengan cultural-determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian

disebut sebagai 6 superorganic.

Menurut Edward B. Tylor (dalam Koentjaraningrat, 1986), kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang

didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. 7

6 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Garfindo Persada, 1990), hlm. 189.

7 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Sosial dan Budaya, (Jakarta: Karunika, 1986), hlm. 58.

Kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu: 8

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya;

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat;

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Salah satu unsur terpenting dalam kebudayaan adalah bahasa. Bahasa terbukti mempermudah kemampuan belajar dan mengingat, memecahkan persoalan, dan menarik kesimpulan. Bahasa memungkinkan kita menyandi ( code) peristawa-peristiwa dan objek-objek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa, kita mengabstraksikan pengalaman kita dan yang lebih penting mengkomunikasikannya pada orang lain. Bahasa adalah prasyarat kebudayaan, yang tidak dapat tegak tanpa itu atau dengan sistem lambang yang lain.

Menurut Edward Sapir: 9

Language is guide to „social reality‟. Human beings do not live in the objective word alone, not alone in the world of social activity as ordinarily understood, but are very much at the mercy of the particular language which has become the

medium of expression for their society……..No two languages are ever sufficiently similar to be considered as representing the same social reality. The words in which different societies live are distinct words, not merely the same world with different labels attached.

8 Morton Hunt, The Universe Within; A New Science Explores The Human Mind, (New York: Simon & Schuster,1982), hlm. 227.

9 D.G. Mandelboum, Selected Writtings of Edward Sapir, (Barkeley: University of California Press, 1949), hlm. 62.

(Bahasa adalah pandu realitas sosial. Manusia tidak hidup hanya dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi ia sangat ditentukan oleh bahasa tertentu yang menjadi medium pernyataan bagi masyarakatnya…..Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk dianggap mewakili kenyataan sosial yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat, bukan semata-mata dunia yang sama dengan label yang berbeda).

Secara singkat teori ini dapat disimpulkan bahwa pandangan kita tentang dunia dibentuk bahasa; dan karena bahasa berbeda, pandangan kita tentang dunia pun berbeda pula. Secara selektif, kita menyaring data sensori yang masuk seperti yang telah diprogram oleh bahasa yang kita pakai. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda, hidup dalam dunia sensori yang berbeda pula.

Bahasa sebagai bagian dari aspek budaya yang merupakan salah satu hal penting dalam melihat soliditas masyarakat suatu daerah atau negara dapat dikaitkan untuk mengkaji bagaimana nilai-nilai dan identitas yang dipegang oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai dan identitas yang dimaksud di sini ialah Pancasila yang merupakan dasar-dasar yang memang berasal dari falsafah hidup bangsa Indonesia.

Selain itu, terdapat beberapa teori yang membahas ari penting bahasa sebagai media komunikasi dan sarana bagi masyarakat untuk memperoleh informasi. Dalam hal ini, kemampuan untuk meresap komunikasi dan informasi menjadi salah satu hal yang penting mengingat upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan Pancasila yang paling Selain itu, terdapat beberapa teori yang membahas ari penting bahasa sebagai media komunikasi dan sarana bagi masyarakat untuk memperoleh informasi. Dalam hal ini, kemampuan untuk meresap komunikasi dan informasi menjadi salah satu hal yang penting mengingat upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan Pancasila yang paling

DeFleur dan Ball-Rokeach melihat pertemuan khalayak dengan media berdasarkan tiga kerangka teoritis: perspektif perbedaan individual, perspektif kategori sosial, dan perspektif hubungan

sosial. 10 Perspektif perbedaan individual memandang bahwa sikap dan organisasi personal-psikologis individu akan menentukan

bagaimana individu memilih stimuli dari lingkungan, dan bagaimana ia memberi makna pada stimuli tersebut. Setiap orang mempunyai potensi biologis, pengalaman belajar, dan lingkungan yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan pengaruh media masa yang berbeda pula. Perspektif kategori sosial berasumsi bahwa dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang reaksinya pada stimuli tertentu cenderung sama. Seperti golongan sosial berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan, pendidikan, tempat tinggal, dan keyakinan beragama menampilkan kategori respons yang berbeda-beda. Perspektif hubungan sosial menekankan pentingnya peranan hubungan sosial yang informal dalam mempengaruhi reaksi orang terhadap media masa. Lazarfeld menyebutnya “pengaruh personal”. Perspektif ini tampak pada model “two step flow of communication”. Dalam model ini informasi bergerak melewati dua tahap. Pertama, informasi bergerak pada sekelompok individu yang relatif lebih tahu dan sering memperhatikan media masa. Kedua, informasi bergerak dari orang- orang tersebut kemudian disampaikan kepada individu-individu yang bergantung kepada mereka dalam hal informasi. Hal inilah yang terjadi pula pada para pedagang di Pasar Badak, Pandeglang.

10 Onong U. E., Ilmu Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 21.

BAB III METODOLOGI PENULISAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan dapat tergambar dari gambar di bawah ini.

Tingkat Pendidikan

Variabel 1 (X 1 )

Pemahaman Mengenai Pancasila

Pengaruh

Variabel 3 (Y) Kebudayaan

Variabel 2 (X 2 )

Gambar 1. Desain Penelitian

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Tabel 1. Waktu Penelitian

Juli-Agustus 2012 (Minggu ke-) No

Uraian Kegiatan

1 Juli

2 Juli

3 Juli-1 2 Agustus

Agustus

1. Persiapan penelitian 2. Penelitian lapangan & literatur 3. Penyusunan karya tulis 4. Pengiriman karya tulis

Seluruh rangkaian kegiatan penelitian dilaksanakan di Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan suatu penelitian. Metode yang dipakai pada penelitian ini adalah metode korelasi. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan antar variabel, dan apabila ada berapa eratnya hubungan serta berarti atau tidak hubungan itu. Semua anggota sampel yang dipilih diukur mengenai kedua variabel yang diteliti, kemudian sama-sama dicari koefisien korelasinya.

3.4 Populasi dan Sampel

 Populasi merupakan sekelompok subjek, baik manusia, gejala, ataupun peristiwa-peristiwa yang dijadikan sebagai objek dalam

suatu penelitian. Dalam penelitian ini, penulis mengambil seluruh pedagang di Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten sebagai populasi penelitian.

 Penulis menggunakan sampel yang dianggap mewakili ( representative) terhadap populasi yang diambil. Dalam penelitian

ini, penulis mengambil 50 (lima puluh) orang pedagang di Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang, dengan rentang usia antara 20 hingga 50 tahun yang dijumpai saat peninjauan langsung dan wawancara pada minggu kedua Bulan Juli 2012 secara acak ( random) dari seluruh populasi yang ada sebagai sampel dalam penelitian.

3.5 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu secara langsung ( direct observation) dan tidak langsung (indirect observation). Pengumpulan data secara langsung dilakukan dengan

peninjauan langsung penulis ke lokasi penelitian, yaitu Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang, Banten yang dilakukan pada minggu kedua Bulan Juli 2012. Pengumpulan data secara langsung dilakukan dengan cara wawancara dan pengamatan lokasi. Selain itu, penulis juga mendokumentasikan kegiatan penelitian ini menggunakan sebuah kamera digital Sanyo VPC-503. Sedangkan, pengumpulan data secara tidak langsung dilakukan dengan cara studi kepustakaan ( study of literature), yaitu dengan mencari data-data dari sumber-sumber informasi, seperti buku bacaan, majalah, surat kabar, maupun internet guna mencari data-data yang dibutuhkan dalam proses penelitian. Sedangkan instrumen penelitian yang penulis gunakan berupa kuesioner, dengan pertanyaan yang merujuk kepada seberapa jauh pemahaman responden mengenai Pancasila. Panduan wawancara atau kuesioner terdapat dalam lampiran 1.

3.6 Analisis Data

Langkah-langkah dalam analisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data yang terkumpul mula-mula diklasifikasikan.

Tingkat Pendidikan

Kebudayaan

2. Lalu penulis mencari regresi dari data tersebut guna mencari variabel yang paling berpengaruh terhadap Y, antara variabel X 1 dan X 2

Y c =b 0 +b 1 X 1 +b 2 X 2

Kemudian dengan metode kuadrat terkecil diperoleh persamaan- persamaan normal:

Y – nb 0 –b 1 X 1 –b 2 X 2 =0 …………….(persamaan 1)

1 Y –b 0 X 1 –b 1 X 1 –b 2 X 1 X 2 =0 …….(persamaan 2)

2 Y –b 0 X 2 –b 1 X 1 X 2 –b 2 X 2 =0 …….(persamaan 3)

3. Jika harga X 1 lebih besar dari X 2 , maka artinya variabel X 1 lebih berpengaruh terhadap Y dibandingkan X 2 , begitu pula sebaliknya.

4. Selanjutnya dilakukan perhitungan product-moment : Untuk tingkat pendidikan rx 1 y =

n∑X 1 Y – (∑X 1 ) (∑Y)

2 2 2 2 √{n∑X

1 – (∑X 1 ) }{(n∑Y – (∑Y) }

Untuk kebudayaan rx 2 y =

n∑X 2 Y – (∑X 2 ) (∑Y)

2 2 2 2 √{n∑X

2 – (∑X 2 ) }{(n∑Y – (∑Y) }

5. 11 Interpretasi nilai r

Interpretasi Antara 0,800 sampai dengan 1,00

Besarnya nilai r

Tinggi

Antara 0,600 sampai dengan 0,800

Cukup

Antara 0,400 sampai dengan 0,600 Agak rendah Antara 0,200 sampai dengan 0,400 Rendah

Antara 0,000 sampai dengan 0,200 Sangat rendah (Tak berkorelasi)

6. Kemudian untuk mengetahui berapa pengaruh yang ditimbulkan variabel X 1 dan X 2 terhadap Y dilakukan penghitungan Koefisien Deteminasi dengan rumus:

KD = r 2 x 100 %

7. Penentuan r tabel dengan signifikasi 1 % .

8. Pengujian hipotesis.

11 Angka-angka ini dikutip dari Sutrisno Hadi, Metode Research 3, (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1979), hlm. 310.

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Dari hasil wawancara yang penulis lakukan diperoleh data sebagai berikut:

15 Tidak Sekolah SD

10 SMP SMA/SMK/SMEA

5 Perguruan Tinggi

Gambar 2. Diagram Pendidikan Akhir 50 Responden

Dari gambar di atas dapat kita ketahui bahwa pendidikan akhir para pedagang di Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang, yang digunakan sebagai sampel terbanyak adalah pendidikan di tingkat SMA, yaitu sebanyak 20 orang (40%) dari 50 responden. Sedangkan yang paling sedikit adalah tingkat perguruan tinggi yang hanya 1 orang (2%) dari 50 responden. Begitu juga tingkat SD dan SMP yang masing-masing berjumlah 15 orang (30%) dan 10 (20%) orang dari 50 responden. Di sisi lain sebanyak 4 orang (8%) lainnya tidak menempuh pendidikan sama sekali.

Selain itu, data mengenai tingkat pengetahuan responden terhadap Pancasila dapat dilihat dari gambar di bawah ini.

20 Tidak Tahu

15 Kurang Tahu

Cukup Tahu

10 Tahu

Gambar 3. Diagram Pengetahuan 50 Responden Mengenai Pancasila

Gambar di atas menunjukkan rendahnya tingkat pengetahuan pedagang di Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang, mengenai Pancasila. Hal tersebut terbukti dari data yang menunjukkan bahwa

28 orang dari 50 responden atau 56% dari sampel penelitian tidak tahu mengenai apa itu Pancasila. Sebanyak 9 orang (18%) kurang mengetahui, sebanyak 4 orang (8%) cukup mengetahui, dan sebanyak 9 orang (18%) telah mengetahuinya. Indikator yang digunakan ialah apakah mereka dapat menyebutkan keseluruhan sila di dalam Pancasila atau tidak, serta mengetahui kedudukan Pancasila di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sedangkan data mengenai tingkat pemahaman para pedagang di Pasar Badak terhadap Pancasila dapat dilihat dari gambar di bawah ini.

20 Tidak Paham

15 Kurang Paham Cukup Paham

10 Paham

Gambar 4. Diagram Pemahaman 50 Responden Mengenai Pancasila

Gambar di atas menunjukkan rendahnya tingkat pemahaman pedagang di Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang, mengenai Pancasila. Hal tersebut terbukti dari data yang menunjukkan bahwa

30 orang dari 50 responden atau 60% dari sampel penelitian tidak paham mengenai apa itu Pancasila. Sebanyak 14 orang (28%) kurang memahami, sebanyak 4 orang (8%) cukup memahami, dan hanya sebanyak 2 orang (4%) saja yang telah memahami Pancasila. Indikator yang digunakan ialah apakah mereka dapat menjelaskan sila-sila dalam Pancasila beserta maknanya secara singkat dan sederhana.

Dari hasil penelitian, penulis menemukan bahwa sebagian besar responden hanya mengetahui beberapa sila di dalam Pancasila saja, dan beberapa orang di antaranya mengaku lupa akan isi dari Pancasila tersebut. Mereka hanya mengetahui Pancasila sebatas bagian dari pendidikan di bangku sekolah saja.

Sedangkan data yang penulis peroleh mengenai kebudayaan para pedagang di Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang, yang dilihat dari penggunaan bahasa dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

15 Sunda Indonesia

5 Indonesia + Istilah Asing

Gambar 5. Diagram Penggunaan Bahasa oleh 50 Responden

Gambar di atas menjabarkan penggunaan bahasa yang dilakukan oleh 50 responden, baik dalam kegiatan wawancara ataupun mungkin mereka gunakan dalam kegiatan sehari-hari. Responden yang menggunakan Bahasa Indonesia sebanyak 8 orang (16%), yang menggunakan Bahasa Sunda sebanyak 27 orang (54%), yang menggunakan Bahasa Indonesia dikombinasikan dengan Bahasa Sunda sebanyak 12 orang (24%), dan yang menggunakan Bahasa Indonesia dengan dikombinasikan istilah-istilah asing sebanyak 3 orang (6%). Bahkan penulis tidak menemukan sama sekali pedagang yang memakai atau sekedar memasukan Bahasa Inggris dalam percakapannya sehari-hari. Penulis mengambil indikator bahasa sebagai tolak ukur tingkat budaya, dikarenakan bahasa merupakan suatu unsur utama kebudayaan yang dapat membedakan antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain. Dominasi penggunaan bahasa daerah oleh para pedagang di Pasar Badak menunjukkan kuatnya budaya yang mereka pegang. Mereka lebih terbiasa dan merasa mudah berkomunikasi dengan bahasa daerah mereka, yaitu Bahasa Sunda. Hal ini menyebabkan mereka mengalami sedikit kesulitan untuk berkomunikasi dan menyerap informasi dalam bahasa lain. Padahal

Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang menjadi media utama pemerintah dalam mensosialisasikan Pancasila maupun program-programnya. Bahkan Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang menjadi bahasa dalam dunia pendidikan di tanah air. Sehingga memang terdapat sebuah kaitan yang cukup kuat antara keberadaan budaya terhadap pemahaman akan Pancasila sebagai nilai luhur bangsa. Karena selama ini sosialisasi dan pendidikan Pancasila lebih ditekankan melalui penggunaan bahasa nasional. Dan di lain sisi, sebagian besar masyarakat yang hidup di daerah, seperti contohnya saja para pedagang di Pasar Badak Pandeglang, masih menggunakan bahasa daerahnya sebagai media komunikasi utama.

4.2 Analisa Penelitian

Selanjutnya data yang telah terkumpul dilakukan uji regresi, product-moment, dan koefisien determinasi. Uji regresi dilakukan

dengan menguji dua variabel, tingkat pendidikan sebagai variabel 1 (X 1 ), dan kebudayaan sebagai variabel 2 (X 2 ), yang dicari pengaruhnya terhadap pemahaman mengenai Pancasila para pedagang di Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang (Y). Dari uji regresi tersebut dihasilkan persamaan:

Yc = 0,48 + 0,27X 12

1 + 1,24X 2

Dari persamaan garis regresi di atas dapat dilihat bahwa X 1 mempunyai nilai 0,27 dan X 2 mempunyai nilai 1,24 yang berarti bahwa X 1 < X 2. Hal ini berarti kebudayaan memberikan pengaruh lebih besar terhadap tingkat pengetahuan dan pemahaman

12 Rincian perhitungan dapat dilihat pada lampiran 2 12 Rincian perhitungan dapat dilihat pada lampiran 2

Setelah itu penulis melakukan perhitungan product-moment untuk mengetahui seberapa kuat korelasi antara tingkat pendidikan dan kebudayaan terhadap pengetahuan dan pemahaman para pedagang di Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang mengenai Pancasila. Dan diperoleh hasil bahwa tingkat pendidikan memberikan nilai r sebesar 0,63 dan kebudayaan menghasilkan nilai r sebesar 0,73.

0,63 merupakan angka yang didapat dari menghitung variabel 1 (X 1 ) yaitu data yang didapat mengenai tingkat pendidikan terhadap pengetahuan dan pemahaman mengenai Pancasila menggunakan perhitungan product-moment dengan rumus hitung seperti yang

tertera pada analisis data di bab sebelumnya. 13

0,73 merupakan angka yang didapat dari menghitung variabel 2 (X 2 ) yaitu data yang di dapat mengenai kebudayaan, dalam hal ini penggunaan bahasa, terhadap pengetahuan dan pemahaman mengenai Pancasila menggunakan perhitungan product-moment dengan rumus hitung seperti yang sudah tertera pula pada analisis data di bab sebelumnya. 14

Lalu hasil tersebut diketahui tingkat korelasinya dengan mengacu pada tabel di bawah ini.

13 Rincian perhitungan dapat dilihat pada lampiran 3 14 Rincian perhitungan dapat dilihat pada lampiran 4

Tabel 2. Interpretasi Nilai r

Besarnya nilai r

Interpretasi Antara 0,800 sampai dengan 1,00

Hasil

Tinggi

Antara 0,600 sampai dengan 0,800 0,63 & 0,73 Cukup Antara 0,400 sampai dengan 0,600

Agak rendah Antara 0,200 sampai dengan 0,400

Rendah Antara 0,000 sampai dengan 0,200

Sangat rendah (Tak berkorelasi)

Keterangan : 0,73 Pengaruh yang diberikan kebudayaan 0,63

Pengaruh yang diberikan tingkat pendidikan

Kemudian penulis menggunakan perhitungan koefisien determinasi untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang diberikan. Hasilnya adalah pengaruh yang diberikan tingkat pendidikan terhadap pengetahuan dan pemahaman para pedagang di Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang mengenai Pancasila sebesar 39,69%, sedangkan pengaruh yang bersumber dari kebudayaan

sebesar 53,29%. 15 Ini berarti terdapat kontribusi pengaruh faktor- faktor lain yang juga mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman

para pedagang di Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang mengenai Pancasila, yaitu sebesar 46,71% sampai 60,31%. Faktor-faktor lain tersebut tentunya dapat berupa profesi, pergaulan, akses terhadap informasi, dan lain-lain, dari masing-masing individu yang berbeda satu dengan lainnya.

Penulis menemukan bahwa ternyata pendidikan bukanlah suatu faktor mutlak yang menyebabkan tinggi rendahnya tingkat pengetahuan dan pemahaman para pedagang di Pasar Badak mengenai Pancasila. Bahkan secara umum pendidikan juga

15 Rincian perhitungan dapat dilihat pada lampiran 5

mungkin saja bukan merupakan faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat Indonesia mengenai Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Ternyata justru aspek kebudayaan yang memberikan pengaruh lebih besar terhadap pengetahuan dan pemahaman akan Pancasila. Penulis melihat, pada hakikatnya masyarakat yang telah mengenyam pendidikan tinggi justru bisa saja semakin melupakan nilai-nilai Pancasila, sebagaimana pendidikan di perguruan tinggi pada umumnya akan memberikan fokus kepada bidang studi yang mereka ambil. Memang pada dasarnya setiap perguruan tinggi di Indonesia telah memberikan pembelajaran mengenai Pancasila dan pilar-pilar kehidupan berbangsa lainnya, namun pembelajaran yang diberikan dirasa kurang dan terlalu sedikit, justru pendidikan akan Pancasila lebih banyak didapat di bangku pendidikan dasar. Di perguruan tinggi, pembelajaran mengenai Pancasila pada umumnya hanya diberikan di semester awal atau akhir masa kuliah, itu pun dengan Satuan Kredit Semester (SKS) yang lebih sedikit dibandingkan matakuliah lainnya. Sehingga memang tidak heran jika ternyata tingkat pendidikan kurang mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan Pancasila. Meskipun memberikan pengaruh, tetapi pengaruh yang diberikan tidak sebesar aspek kebudayaan. Dengan kata lain, masyarakat yang berpendidikan tinggi belum tentu memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih mengenai Pancasila dibandingkan masyarakat berpendidikan rendah. Karena pada intinya yang membedakan ialah akses mereka terhadap informasi dan sosialisasi yang diberikan oleh pemerintah.

Terkait aspek kebudayaan, penulis menemukan sebuah fakta dari penelitian yang dilakukan bahwa ternyata kebudayaan dan Pancasila sebagai pilar bernegara memiliki hubungan yang saling

mempengaruhi. Maksudnya ialah kebudayaan dan Pancasila memiliki kaitan satu sama lain. Memang benar teori yang selama ini kita ketahui bahwa kebudayaan yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia merupakan salah satu akar dari Pancasila sebagai pilar bernegara yang bersumber dari falsafah dan nilai-nilai luhur bangsa. Namun, di sisi lain ternyata sebuah kebudayaan kuat yang dimiliki oleh suatu bangsa, dapat menutup akses informasi-informasi yang positif salah satunya ialah mengenai Pancasila itu sendiri. Mengacu pada teori DeFleur dan Ball-Rokeach yang telah dikemukakan sebelumnya dapat dilihat bahwa suatu masyarakat dalam menstimulasi informasi yang diterimanya melalui tiga kerangka teoritis: perspektif perbedaan individual, perspektif kategori sosial, dan perspektif hubungan sosial. Dengan melihat perspektif perbedaan individual, para pedagang di Pasar Badak Pandeglang mungkin saja cenderung kurang respon terhadap informasi- informasi mengenai Pancasila. Adapun selama ini yang mereka ketahui hanyalah sebatas dari bangku sekolah saja.

Dengan melihat perspektif kategori sosial, para pedagang di Pasar Badak Pandeglang juga mungkin lebih cenderung kurang peduli untuk menggali informasi dan terus belajar mengenai Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini mungkin saja berkaitan dengan aspek profesi yang mereka jalani. Mereka sebagai seorang pedagang akan lebih memilih untuk fokus dalam hal perdagangan, serta memiliki kesadaran yang rendah untuk lebih memahami Pancasila. Sehingga kesadaran merupakan aspek penting yang perlu ditonjolkan disini. Pemerintah harus sebisa mungkin meningkatkan kesadaran seluruh masyarakat untuk lebih memahami Pancasila sebagai ideologi negara. Terakhir, dilihat dari perspektif hubungan sosial ternyata masyarakat Pandeglang cenderung menggunakan sistem two step flow of communication.

Yaitu, memperoleh informasi dari personal yang dianggap relatif lebih tahu. Hal ini disebabkan karena mereka mengira bahwa untuk mengakses dan memperoleh pengetahuan mengenai Pancasila tidaklah mudah dan memerlukan media yang sebagian besar tidak mereka miliki seperti komputer ataupun internet. Personal ini merupakan seorang yang dianggap lebih pintar dan berpengalaman. Oleh sebab itu, dapat kita jadikan pertimbangan bersama untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan Pancasila melalui kader-kader daerah. Pemerintah dapat mencari kader-kader daerah yang nantinya dapat membantu masyarakat setempat untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman mengenai Pancasila. Hal ini dirasa efektif jika kita mengkaji

fenomena two step flow of communication yang terjadi dalam masyarakat pedesaan.

Disamping itu, dengan melihat bahwa pengaruh yang diberikan tingkat pendidikan sebesar 39,69% dan kebudayaan 53,29%, maka terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman para pedagang di Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang mengenai Pancasila sebesar 46,71% sampai dengan 60,31%. Faktor tersebut dapat berupa profesi yang dijalani disamping sebagai pedagang, pola pergaulan dan sosialisasi yang mereka lakukan, tinggi rendahnya akses terhadap informasi, termasuk di dalamnya informasi mengenai Pancasila dan pilar-pilar kehidupan bernegara lainnya, yang masing-masing individu berbeda satu dengan yang lain, serta faktor-faktor internal maupun eksternal lainnya termasuk di dalamnya sosialisasi dari pemerintah.

Lalu siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Tinggi rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai Pancasila sebagai salah satu pilar kehidupan berbangsa dan

benegara tentunya harus cepat disikapi secara cermat. Bukanlah saja Presiden, bukanlah saja Gubernur, bukanlah saja Bupati, ataupun pihak-pihak lainnya yang harus dilibatkan. Persoalan ini merupakan concern nasional yang harus diselesaikan secara bersama-sama, agar masyarakat benar-benar dapat mengetahui dan juga memahami Pancasila beserta pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya supaya dapat diimplementasikan dengan penuh dalam kehidupan bermasyarakat. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dalam kehidupan bernegara harus dapat memberikan sosialisasi yang efektif kepada masyarakat mengenai Pancasila, disamping melalui jalur pendidikan sebagaimana yang telah dilakukan selama ini. Masyarakat sebagai komponen yang paling besar dalam kehidupan bernegara juga harus mampu menyerap dan memberikan respon positif atas usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah.

4.3 Pengujian Hipotesis

Pada penelitian ini penulis mengambil signifikasi sebesar 1%, untuk mengetahui hipotesis diterima atau tidak, penulis bertolak ukur pada Tabel Harga Kritik dari r Product-Moment (pada lampiran 6). Dari tabel tersebut, nilai n sebesar 50 dengan signifikasi 1% adalah sebesar 0,361. Di lain sisi, nilai r yang dihasilkan dari perhitungan

product-moment X 1 sebagai variabel 1 yang merepresentasikan tingkat pendidikan sebesar 0,63. Sedangkan nilai r yang dihasilkan dari perhitungan product-moment X 2 sebagai variabel 2 yang merepresentasikan tingkat kebudayaan sebesar 0,73. Hal ini berarti bahwa hipotesis alternatif penulis “Tingkat pendidikan dan kebudayaan mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman para pedagang di Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang mengenai Pancasila ” diterima.

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pengetahuan dan pemahaman para pedagang di Pasar Badak, Kabupaten Pandeglang mengenai Pancasila sebagai identitas dan nilai luhur bangsa masih tergolong rendah. Hal tersebut merupakan sebuah gambaran kecil dari banyaknya penduduk Indonesia yang ada, sehingga dibutuhkan kerja keras kita semua untuk bersama- sama lebih mengenalkan kepada masyarakat Indonesia mengenai apa itu Pancasila dan bagaimana esensinya sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu peranan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat sangatlah dibutuhkan, dalam mensosialisasikan

pemahaman secara komprehensif dan implementatif mengenai Pancasila kepada seluruh elemen masyarakat.

dan

memberikan