Status Mineral Mang n Pada Sapi Potong Di Daerah

  

Status Mineral Mang n Pada Sapi Potong Di Daerah a Aliran Sungai Jratunseluna

(Mineral Manganese S tatus of B eef C attle At Jratunseluna Watershed)

1 2 2 1 Utami, M. T , E. Pangestu dan Sutrisno

  

Mahasiswa Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang

2 Dosen Fakultas Peternakan dan Pertanian Unversitas Diponegoro, Semarang

emai: [email protected]

ABSTRAK

  Penelitian bertujuan untuk mengkaji status Mn pada sapi potong di Daerah Aliran Sungai

(DAS) Jratunseluna bagian hulu dan hilir, serta mengetahui hubungan antara konsumsi Mn dan

status Mn dalam bahan pakan dengan penampilan produksi ternak. Penelitian lapangan berupa

surve di daerah hulu yaitu Kecamatan Suruh dan Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang; i sedangkan di daerah hilir Kecamatan Jaken dan Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati.

Ada 30 ekor sapi yang diamati pada daerah hulu dan hilir terhadap jumlah dan jenis pakan yang

dikonsumsi, kadar Mn dalam pakan, bulu sapi dan tanah. Data yang diperoleh dilakukan

independent t-test untuk mengetahui perbedaan status Mn di daerah hulu dengan hilir, korelasi

konsumsi Mn dengan status Mn pada ternak dan status Mn ternak dengan pertambahan bobot

badan harian. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara pertambahan bobot badan

harian dan variasi bahan pakan hijauan dan konsentrat yang dikonsumsi oleh sapi di hulu dengan

hilir. Pertambahan bobot badan harian ternak di daerah hulu lebih rendah dibanding hilir, demikian

pula konsumsi bahan kering pakan pada sapi 7,75 dan 8,89 kg, status Mn bulu sapi pada wilayah

hulu dan hilir menunjukkan tidak adanya perbedaan, masing-masing 11,5 dan 22,9 ppm. Korelasi

konsumsi Mn dengan status Mn menunjukkan hasil yang kurang erat (R2= 0,524) sedangkan

korelasi antara status Mn dengan pertambahan bobot badan sebesar 0,09. Hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa konsumsi Mn sapi di DAS Jratunseluna tergolong rendah dan defisien.

  Kata Kunci: Sapi otong, p m ang n, aerah liran ungai, ulu a d a s h , h ilir

ABSTRACT

  This research was done to riviewing the status of Mn contained in cattle in w atershed

Jratunseluna, up land and lowland, and study about the correlation between Mn consumption and

Mn status in feedstuffs by livestock production performance. Fieldwork has been done is to survey

the area lowland d istrict of Jaken and Jakenan, Pati regency.

There were 30 cows were observed in upland and lowland areas, with the amount and type of feed

consumed, and the levels of manganese in the feed, hairs and soil. Data obtained conducted

independent t-test to determine differences in Mn status on upland to lowland watershed.

Correlation of Mn consumption and Mn status on livestock and Mn status of cattle with average

daily gain . The results showed differences in variation about average daily gain, forage and

concentrate feedstuffs consumed by cattle on upland and lowland watershed areas. Average daily

gain in upland is lower than in lowland, as well as nutrient consumption 7,75 and 8,89 kg. Mn status

on the hair on the upland and lowland areas showed no differences, respectively 11,5 and 22,9

ppm. Correlation of Mn consumption and Mn status showed a lack strong (R = 0,

  2 524 ), while Mn status of cattle with average daily gain amounted to 0, 09 . The study concluded that the Mn consumption of cattle in the watershed Jratunseluna relatively low and experiencing deficient.

  Keywords: attle, C m anganese, watershed, upland, lowland

  42 , Vol. 5, No. 1 Maret 2017 3 proses pencernaan, Mn diperlukan oleh m i k r o o r g a n i s m e d a l a m r u m e n (Underwood and Suttle, 1999). Mikro mineral ini berperan meningkatkan mikrobia rumen dalam metabolisme substrat. Korelasi antara penyesuaian k e b u t u h a n M n p a d a p a k a n y a n g diberikan dengan kebutuhan ternak adalah upaya untuk meningkatkan produktivitas ternak(Haryanto, 2012).

  Penelitian bertujuan mengkaji status Mn pada sapi potong di DAS Jratunseluna bagian hulu dan hilir, mengetahui korelasi Mn pada pakan dan performa ternak.

  MATERI DAN METODE Materi

  Materi yang digunakan dalam penelitian, yaitu sampel pakan, bulu sapi p o t o n g , d i l o k a s i t a n a h penelitian,a , quademin kertas saring w h a t m a n 4 1 , a s a m n i t r a t d a n spektrofotometri (AAS) untuk pembacaan konsentrasi Mn sampel.

  Metode

  Penelitian dilakukan melalui survei di lapangan. penentuan Metode lokasi penelitian dilakukan secara

  p u r p o s i v e s a m p l i n g d e n g a n

  pertimbangan tingkat populasi ternak, luas lahan pertanian dan luas wilayah di DAS Jratunseluna. Lokasi penelitian daerah hulu di Desa Dadapayam Kecamatan Suruh dan di Desa Sugihan K e c a m a t a n Te n g a r a n , K a b u p a t e n Semarang, sedangkan di daerah hilir d i l a k s a n a k a n D S u k o r u k u n d i e s a K D Sidom ecamatan Jaken dan esa ulyo K , K ecamatan Jakenan abupaten Pati.

  S diamati ampling yang yakni ternak sebanyak 15 ekor di sapi potong Kabupaten Semarangdan 15 ekor di Kabupaten Pati, jumlah dan jenis pakan yang dikonsumsi, status Mn pada tanah, Utami, M. T., E. Pangestu dan Sutrisno : a Aliran Status Mineral Mang n Pada Sapi Potong Di Daerah Sungai Jratunseluna

  PENDAHULUAN

  Daerah liran ungai merupakan a s keseluruhan kawasan pengumpul suatu s i s t e m t u n g g a l , s e h i n g g a s e r i n g d i s a m a k a n d e n g a n d a e r a h t a n g k a p a n a t a u c a c t h m e n t a r e a ( , Notohadiprawiro 1985).Produksi hijauan pakan di Jawa Tengah tahun 2013 mencapai 10.245.942 ton/th dengan produksi rumput lapang dan limbah hasil pertanian berasal dari DAS Jratunseluna sebesar 4.524.209 ton/th atau sekitar 50,68% (BPS, 2014).Potensi sumber daya alam di DAS sebagai penyedia hijauan pakan dan tanah pertanian mendukung usaha dibidang peternakan.

  Sapi potong di DAS Jratunseluna m e r u p a k a n s u m b a n g a n p o p u l a s i terbesar di Jawa Tengah mencapai 817.223 ekor atau sekitar 54,48% (BPS, 2014). Populasi ternak mengalami penurunan setiap tahun ahun 2012 .T populasi sapi potong di Jawa Tengah mencapai 2.051.407 ekor sedangkan pada tahun 2013 hanya sekitar 1.500.077 ekor (Dinas Peternakan dan Kesehatan H e w a n , 2 0 1 4 ) . S a l a h s a t u f a k t o r penghambat dalam pengembangan usaha sapi potong disebabkan oleh rendahnya produktivitas ternak.Kendala rendahnya produktivitas ternak terkait dengan kualitas pakan yang rendah, ketidakseimbangan nutrien dalam pakan dan defisien elemen/ mineral pada hijauan pakan akibat (Pangestu, leaching 1994).

  Pemenuhan kebutuhan mineral pada ternak sangat penting untuk aktivitas metabolisme dan peningkatan produktivitas dibutuhkan . Mineral Mn dalam mendukung aktivitas kerja enzim sebagai pembentukan matriks tulang dan g i g i s i n t e s i s h o r m o n , , s t e r o i d

  glukoneogenesis dan pemanfaatan glukosa Dalam ( McDowell, 1992 ). pakan, ternak dan performans ternak. D a t a y a n g d i p e r o l e h d i l a k u k a n

  independent t-test untuk mengetahui

  perbedaan status Mn, asupan nutrien dan PBBH di daerah hulu dengan hilir.Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara konsumsi Mn dengan status Mn pada ternak dan status Mn ternak dengan pertambahan bobot badan harian.

  HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Daerah Aliran Sungai

  P o p u l a s i s a p i p o t o n g d i Kabupaten Semarang dan Kabupaten Pati pada tahun 2013 masing-masing 51.901 ekor dan 83.864 ekor dari rataan 45.457 ekor populasi sapi potong di Jawa Te n g a h ( D i n a s P e t e r n a k a n d a n Kesehatan Hewan, 2014).Suhu rata-rata Kabupaten Semarang dan Pati adalah 29,4 C dan 31,21 C. Budiraharjo et al.

  (2011) menyatakan bahwa suhu ideal untuk pengembangan sapi potong b e r k i s a r a n t a r a 2 1 - 2 7 C d e n g a n o o kelembaban 60-80%. Kondisi temperatur dengan suhu yang tinggi mengakibatkan asupan pakan pada ternak menurun dan b e r a k i b a t p a d a m e n u r u n n y a l a j u pertumbuhan dan gangguan reproduksi (Tamzil, 2014).

  Sapi hasil persilangan sangat diminati oleh peternak di wilayah p e n e l i t i a n , k a r e n a m e m i l i k i l a j u pertumbuhan yang cepat seiring dengan proporsi tubuh yang meningkat.Hal ini sesuai pendapat Endrawati (2010) et al. bahwa persilangan pada sapi potong menunjukkan performans yang lebih baik p a d a t e r n a k d a n m e n i n g k a t k a n pendapatan sehingga banyak diminati oleh peternak.

  Usaha peternakan rakyat di wilayah penelitian mayoritas masih menggunakan sistem pemeliharaan s e c a r a k o n v e n s i o n a l , s e h i n g g a keberhasilan usaha ternak berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia. Suryana (2009)berpendapat bahwa salah satu kendala dalam pengembangan sapi potong dimasyarakat pedesaan adalah r e n d a h n y a k u a l i t a s s u m b e r d a y a manusia. Sapi potong dilokasi penelitian dikandangkan terpisah dari rumah tempat tinggal, tetapi jarak antara kandang dan pemukiman kurang efektif yaitu 50-100 m.

  Cendrawasih (2016) menyatakan bahwajarakideal antara kandang dan pemukiman minimal 250 m, hal tersebut dilakukan untuk menghindari dampak pencemaran lingkungan dan kesehatan di lingkungan peternakan. Pola pemberian pakan pada sapi potong tersusun atas hijauan dan konsentrat.

  Hijauan merupakan pakan utama ternak ruminansia yang berasal dari rumput dan leguminosa.Lahan pertanian di Kabupaten Semarang dan Kabupaten Pati merupakan pertanian lahan kering yang kuantitas dan kualitas hijauannya bergantung pada curah hujan.Intensitas curah hujan yang rendah menyebabkan kualitas, kuantitas dan kontinyuitas pakan hijauan tidak berproduksi secara optimal.

  Penggunaan limbah tanaman pangan sebagai alternatif pengganti pakan hijauan digunakan peternak untuk memenuhi ketersediaan pakan pada musim kemarau.Menurut Sitindaon ( 2 0 1 3 ) l i m b a h p e r t a n i a n d a p a t dimanfaatkan sebagai bahan pakan sumber energi untuk ternak ruminansia p a d a p e n y e d i a a n p a k a n s e c a r a berkesinambungan.

  44 , Vol. 5, No. 1 Maret 2017 3

  Status Mineral Mn Tanah, Pakan dan Ternak Kandungan Mn pada tanah, pakan dan ternak disajikan pada Tabel 1.

  Tabel 1. Kandungan Mineral Mangaan Sumber: Data Primer Diolah 2016 Ket.

  Kandungan Mn Semarang Pati

  • ppm -----

  Tanah 549,27 147,65 Pakan Jerami padi 328,58 186,38 Rumput gajah 42,70 31,45 Rumputlapang 58,65 - J. kacang tanah

  • 62,01 Jerami jagung
  • 90,43 Ampas singkong
  • 27,40 Konsentrat - 109,34 Wheat Bran 136,99 - Ampas aren 53,00 - Dedak

  134,49 94,11 Ampas tahu 82,16 - Bulu

  Sapi 1 - 3,62 Sapi 2 9,27 - Sapi 3 - - Sapi 4 3,62 - Sapi 5 - - Sapi 6 14,68 19,34 Sapi 7 2,43 0,47 Sapi 8 4,45 23,82 Sapi 9 22,27 23,68 Sapi 10 - 37,94 Sapi 11 12,40 16,34 Sapi 12 15,85 70,90 Sapi 13 - - Sapi 14 - - Sapi 15 18,92 9,92

  H a s i l u j i l a b o r a t o r i u m , menunjukan bahwa kandungan Mn dalam tanah di daerah hulu diketahui lebih tinggi dari yang dilaporkan Gorski dan Leon (2015) bahwa rataan kadar Mn pada tanah 269,62 ppm. Kandungan Mn dalam tanah di daerah hilir 147,65 ppm lebih rendah dari yang dilaporkan Gorski dan Leon. Perbedaan kandungan mineral dalam tanah disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah faktor lingkungan Budianta (2013) . menyatakan bahwa rendahnya unsur hara pada tanah yang disebabkan oleh Utami, M. T., E. Pangestu dan Sutrisno : a Aliran Status Mineral Mang n Pada Sapi Potong Di Daerah Sungai Jratunseluna erosi akibat curah hujan yang tinggi mengakibatkan kandungan mineral dalam tanah mengalami deplesi atau penurunan kesuburan tanah yang menghambat pertumbuhan tanaman. Tingginya kandungan Mn dalam tanah menimbulkan keterkaitan yang positif dengan nutrisi tanaman (Whitehead, 2000). Kandungan Mn hijauan di Kabupaten Semarang berkisar antara 42,7 hingga 328,6 ppm dan Kabupaten P a t i 3 1 , 5 h i n g g a 1 8 6 , 4 p p m . Ditambahkan oleh Firsoni (2001) bahwa jenis tanah, jenis pupuk yang digunakan, iklim dan curah hujan mempengaruhi gizi tanaman.

  S a p i p o t o n g d i K a b u p a t e n Semarang mengkonsumsi hijauan sebanyak 67,1% dan konsentrat 32,9%.

  Hasil tersebut menunjukkan adanya perbedaan asupan nutrien di Kabupaten Pati, dimana pemberian konsentrat lebih tinggi dibanding pakan hijauan yaitu 7 0 , 7 % d a n 2 9 , 3 % . Te r b a t a s n y a ketersediaan hijauan salah satu faktor y a n g m e m p e n g a r u h i p e r b e d a a n pemenuhan konsumsi nutrien di daerah penelitian. Peternak di Kabupaten Pati m e l a k u k a n s t r a t e g i d a l a m u p a y a pemenuhan pakan ternak dari limbah hasil pertanian seperti jerami sebagai alternatif pengganti pakan utama bagi ternak. Pemanfaatan jerami tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Hal ini sesuai pendapat Winugroho et al. (1997) bahwa limbah tanaman pangan atau jerami mengandung protein kasar dan kecernaan yang rendah. Rendahnya kualitas pakan kasar dan pakan penguat m e n y e b a b k a n t i n g g i n y a p r o d u k s i metabolisme di dalam tubuh sehingga dapat mempengaruhi produksi dan pertumbuhan ternak.

  Kandungan Mn pada bulu sapi di Kabupaten Semarang rata-rata 11,5 ppm dan Kabupaten Pati 22,9 ppm. Hasil tersebut diketahui lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Gorski dan Leon (2015) yang menyatakan bahwa konsentrasi Mn di bulu sapi berkisar antara 24,83 – 25,49 ppm. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa sapi potong yang diamati di Kabupaten Semarang dan Kabupaten Pati mengalami defisiensi Mn karena kandungan Mn dalam bahan pakan ternak belum tercukupi.

  Rendahnya status Mn di bulu ternak disebabkan konsumsi Mn dan ketersediaan Mn dalam bahan pakan sapi potongbelum mampu memenuhi kebutuhan. Konsumsi Mn dalam bahan pakan di Kabupaten Semarang rata-rata 13,2 mg/ekor/hr dan di Kabupaten Pati 9 , 9 m g / e k o r / h r , d a t a t e r s e b u t menunjukkan bahwa konsumsi Mn belum mencukupi kebutuhan Mn sapi potong di lokasi penelitian. Menurut Firsoni (2001) kekurangan unsur mineral menyebabkan penurunan nafsu makan, rendahnya efisiensi, menurunnya pertambahan bobot badan (PBB) dan gangguan reproduksi. Tinggi rendahnya kandungan mineral di bulu ternak dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya umur, jenis ternak, warna dan lokasi tumbuhnya bulu.

  Hubungan antara konsumsi Mn dari komponen bahan pakan dengan status Mn di Kabupaten Semarang dan Kabupaten Pati mempunyai korelasi yang tidak cukup kuat (R2= 0,028-0,524) terhadap konsumsi mineral. Artinya, keeratan hubungan antara asupan Mn dengan status Mn diketahui cukup rendah.

  Hubungan Status Mineral dengan Pertambahan Bobot Badan Ternak

  Pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi di Kabupaten Semarang 0,4 kg dan di Kabupaten Pati 0,52 kg. Data tersebut diketahui lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Listianto (2008) bahwa pada sapi Peranakan Simmental dengan bobot 414,87 kg dan konsumsi nutrien sebesar 8,07 kgBk PBBH-nya 1,04 kg. Haryanto (2012) menambahkan bahwa PBBH sapi Peranakan Simmental berkisar antara 0,6-1,5 kg/hari. PBBH

  46 , Vol. 5, No. 1 Maret 2017 3 dipengaruhi oleh kandungan gizi dan konsumsi pakan. Hal ini sesuai dengan p e n d a p a t M a y u l u ( 2 0 1 3 ) b a h w a pertambahan bobot badan ternak d i t e n t u k a n o l e h b e r b a g a i f a k t o r, diantaranya umur, jenis ternak, jenis kelamin dan pola pemeliharaan ternak khususnya pola pemberian pakan.

  Rata-rata kebutuhan BK (NRC, 1 9 9 6 ) p a k a n s a p i d i K a b u p a t e n Semarang 9,0 kg, dan konsumsi pakan 9,7 kg. Kebutuhan BK di Kabupaten Pati 9,9 kg sedangkan konsumsi pakan sebanyak 8,9 kg, sehingga evaluasi konsumsi pakan di Kabupaten Pati jika dibandingkan dengan kebutuhan NRC

  (1996) lebih rendah -1,0 kg dan konsumsi pakan di Kabupaten Semarang sudah mencukupi kebutuhan nutrien pakan ternak. Berdasarkan data tersebut disimpulkan bahwa konsumsi nutrien pakan pada ternak di Kabupaten Semarang lebih tinggi dari Kabupaten Pati akan tetapi produktivitasnya lebih rendah dari daerah hilir. Hal tersebut menunjukkan bahwa kandungan nutrien pakan yang dikonsumsi ternak dilokasi penelitian memiliki kualitas pakan yang rendah dan belum mencukupi kebutuhan ternak menurut NRC (1996), sehingga t e r n a k t i d a k d a p a t m e n u n j u k k a n produktivitas yang optimal.

  

Ilustrasi 1. Hubungan Mn di Bulu dengan Pertambahan Bobot Badan Harian

  Hubungan antara pertambahan bobot badan harian dengan kandungan Mn di bulu (Ilustrasi 1) mempunyai korelasi yang rendah (R2= 0,096-0,118). Martanto et al. (2011) menyatakan bahwa nilai korelasi menunjukkan beberapa pengertian dalam keterkaitan dengan parameter tertentu, yaitu nilai 0,20-0,40 artinya interaksi lemah, nilai 0,40-0,70 artinya sedang, nilai 0,70-0,90 artinya kuat, nilai 0,90-1 artinya sangat kuat dan nilai 1 artinya sempurna. Semakin tinggi kandungan Mn pada ternak maka produktivitas yang ditandai dengan pertambahan bobot badan juga mengalami peningkatan. Hal ini sesuai p e n d a p a t R i z q i a n i ( 2 0 11 ) b a h w a kandungan nutrisi yang masuk kedalam t u b u h b e r k a i t a n e r a t d e n g a n m e n i n g k a t n y a b o b o t h i d u p d a n perkembangan jaringan tubuh pada ternak.

  KESIMPULAN

  Status Mn pada sapi potong di daerah hulu lebih tinggi dibanding daerah h i l i r. H a s i l t e r s e b u t d i s e b a b k a n kandungan Mn dalam tanah dan hijauan pakan di Kabupaten Semarang juga t i n g g i n a m u n j u m l a h n y a b e l u m Utami, M. T., E. Pangestu dan Sutrisno : a Aliran Status Mineral Mang n Pada Sapi Potong Di Daerah Sungai Jratunseluna mencukupi kebutuhan ternak. Sehingga, Level Energi Berbeda. Program konsumsi Mn sapi di bagian hulu dan hilir P a s c a S a r j a n a U n i v e r s i t a s DAS Jratunseluna tergolong rendah dan Diponegoro, Semarang. (Tesis defisien.

  Magister Peternakan) Firsoni., Menry, Y. dan Sasangka, B. H.

  DAFTAR PUSTAKA 2001. Studi kandungan unsur mikro

  pada UMMB sebagai suplemen Badan Pusat Statistik. 2014. Provinsi pakan ternak ruminansia. Dalam:

  Jawa Tengah Dalam Angka Tahun Prosiding Puslitbang Teknologi 2013. Badan Pusat Statistik. Isotop dan Radiasi. Jakarta. Hal. Provinsi Jawa Tengah. 313-317. B u d i a n t a , D . 2 0 1 3 . P e n g e l o l a a n Gorski, K. and Saba, L. 2015. Assessment

  Kesuburan Tanah Mendukung of manganese levels in the soil and Pelestarian Sumberdaya Lahan feeds, and in the bodies of milk dan Lingkungan. Cetakan ke-1., cows from central-eastern poland U n i v e r s i t a s S r i w i j a y a P r e s s , administered a mineral compound Palembang. feed. J. Science Veterinary. 43: 1-6.

  Budiraharjo, K., M. Handayani dan G. Haryanto, B. 2012. Perkembangan S a n y o t o . 2 0 1 1 . A n a l i s i s penelitian nutrisi ruminansia. J. profitabilitas usaha penggemukan Wartazoa. 22(4): 169-177. s a p i p o t o n g d i k e c a m a t a n Martanto, H. K., S. Dartosukarno dan A. gunungpati kota semarang. J. P u r n o m o a d i . 2 0 11 . R e s p o n Mediagro. 7(1): 1-9. konsumsi terhadap lingkungan

  Cendrawasih, K., I. H. Tamim dan K. S. pada kerbau yang diberi konsentrat Astika. Pemetaan konflik antara dengan frekuensi yang berbeda. peternak ayam broiler dengan

  Dalam: Prosiding Seminar Nasional masyarakat di desa kayuputih, Te k n o l o g i P e t e r n a k a n d a n kecamatan banjar, kabupaten Veteriner. “Teknologi Peternakan buleleng. Fakultas Ilmu Sosial dan dan Veteriner untuk Peningkatan Ilmu Politik Udayana, Bali. Hal. 1-5. Produksi dan Antisipatif Terhadap

  Dinas Peternakan dan Kesehatan Perubahan Iklim” Bogor, 7-8 Juni Hewan. 2014. Statistik Peternakan 2011. Hal. 158-162.

  Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014. Mayulu, H. 2013. Pengaruh Pemberian Dinas Pendidikan Jawa Tengah, Complete Feed Berbasis Jerami Ungaran.( http://www.pertanian.go. Padi Amofer Terhadap Konsumsi

  id/ files/Statistik-Peternakan- dan Pertambahan Bobot Badan Kesehatan-Hewan.html)Tanggal Harian Sapi Potong Peranakan akses: 22 Agustus 2016. Simmental. Fakultas Pertanian

  Endrawati, E., E. Baliarti dan S. P. S. U n i v e r s i t a s M u l a w a r m a n , Budhi. 2010. Performans induk sapi Samarinda. (Tesis) silangan simmental, peranakan McDowell, L. R. 1992. Mineral in Animal ongole dan induk sapi peranakan and Human Nutrition.. Academic ongole dengan pakan hijauan dan Press, London. konsentrat. J. Buletin Peternakan. NRC. 1996. Nutrient Requirement of Beef 34(2): 86-93. Cattle. 7th Ed., National Academy Listianto, E. 2008. Pertambahan Bobot Press, Washington, D. C.

  Badan Harian dan Konversi Pakan Notohadiprawiro. 1985. Selidik Cepat Ciri Sapi Peranakan Simmental Yang Ta n a h d i L a p a n g a n . G h a l i a di Beri Complete Feed Dengan Indonesia, Jakarta.

  48 , Vol. 5, No. 1 Maret 2017 3

  Pangestu, E. 1994. Suplementasi Wartazoa. 24(2): 57-66.

  Mineral Pada Ternak Kambing di Underwood, E. J and N. F. Suttle. 1999.

  The Mineral Nutrition Of Livestock. Bagian Hulu Daerah Aliran Sungai Serang. Program Pasca Sarjana 3 r d E d . , C A B I P u b l i s h i n g , U n i v e r s i t a s G a d j a h M a d a , Wallingford, UK.

  Yo g y a k a r t a . ( Te s i s M a g i s t e r Whitehead, D. C. 2000. Nutrient Element Peternakan) in Grassland: Soil Plant Animal

  Sitindaon, S. H. 2012. Inventarisasi Relationship. CAB International potensi bahan pakan ternak Publishing, Wallingford. ruminansia di provinsi riau. J. Winugroho, M., B, Hariyanto dan Masum, Peternakan. 10(1): 18-23. K. 1998. Konsep Pelestarian

  Suryana. 2009. Pengembangan usaha Pasokan Hijauan Pakan Dalam ternak sapi potong berorientasi Usaha Optimalisasi Produktivitas agribisnis dengan pola kemitraan. Te r n a k R u m i n a n s i a . D a l a m : J. Litbang Pertanian. 28(1): 29-37. P r o s i d i n g S e m i n a r N a s i o n a l Tamzil, M. H. 2014. Stres panas pada Petaernakan dan Veteriner. Jilid I. unggas: metabolisme, akibat dan Puslitbang Peternakan. Bogor. Hal. upaya penanggulangannya. J. 41-46.

  Utami, M. T., E. Pangestu dan Sutrisno : Status Mineral Mang n Pada Sapi Potong Di Daerah a Aliran Sungai Jratunseluna