ASUHAN KEPERAWATAN SINDROM STEVEN JOHNSO

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
SINDROM STEVEN JOHNSON

Disusun Oleh :
1. Anang Setyadi [20161242]
2. Lailul Muna [20161257]
3. Yusri Apnisah [20161274]

PROGRAM PENDIDIKAN DIPLOMA III KESEHATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MUHAMMADIYAH KENDAL
2017/2018

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
SINDROM STEVEN JOHNSON

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Keperawatan Medikal Bedah II

Dosen Pembimbing:
Faradisa Yuanita Fahmi, S.Kep., Ns., M.Kep.


Disusun Oleh :
1. Anang Setyadi [20161242]
2. Lailul Muna [20161257]
3. Yusri Apnisah [20161274]

PROGRAM PENDIDIKAN DIPLOMA III KESEHATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MUHAMMADIYAH KENDAL
2017/2018
i

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah
melimpahkan

rahmat,

karunia


dan

hidayah-Nya sehingga kami

dapat

menyelesaikan makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA
KLIEN DENGAN SINDROM STEVEN JOHNSON” ini dengan baik. Makalah
ini dibuat guna memenuhi tugas dari mata kuliah keperawatan medikal bedah II
oleh ibu Faradisa Yuanita Fahmi, S.Kep, Ns, M.Kep. Ucapan terima kasih tidak
lupa kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah ini, diantaranya:
1. Ibu Sulastri, S.Kep., Ns., M.Kes., direktur Akper Muhammadiyah Kendal
2. Ibu Faradisa Yuanita Fahmi, S.Kep, Ns, M.Kep, dosen pembimbing
3. Teman – teman yang telah membantu dan bekerjasama sehingga tersusun
makalah ini.
4. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan motivasi dalam
pembuatan makalah ini yang namanya kami tidak dapat sebutkan satu persatu.
Kami menyadari atas kekurangan kemampuan penulis dalam pembuatan

makaah ini, sehingga akan menjadi suatu kehormatan besar bagi kami apabila
mendapatkan kritikan dan saran yang membangun untuk menyempurnakan
makalah ini.
Demikian akhir kata dari kami, semoga makalah ini bermanfaat bagi semua
pihak dan menambah wawasan bagi pembaca.

Kendal, Maret 2018

Penyusun

ii

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN .........................................................................................

i

KATA PENGANTAR ...................................................................................


ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................

iii

BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..........................................................................................

1

B. Tujuan Penulisan .......................................................................................

2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Sindrom Steven Johnson .............................................................

3


B. Etiologi ......................................................................................................

4

C. Anatomi Fisiologi Kulit.............................................................................

5

D. Patofisiologi ..............................................................................................

8

E. Manifestasi Klinis ......................................................................................

9

F. Pathways ....................................................................................................

11


G. Pemeriksaan Penunjang.............................................................................

12

H. Penatalaksanaan ........................................................................................

12

I. Konsep Asuhan Keperawatan .....................................................................

13

BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan ...............................................................................................

24

B. Saran ..........................................................................................................

24


DAFTAR PUSTAKA

iii

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindrom steven jhonson merupakan kelainan kulit yang bersifat fatal dan
merupakan kondisi paling ekstrim dari eritema multiformis. Kondisi ini dipicu
oleh penggunaan medikasi. Antibiotik, agens anti kejang NSAID, dan
sulfonamida adalah obat-obatan yang paling sering menimbulkan kejadian ini.
Seluruh permukaan tubuh dapat dipenuhi oleh eritema dan lepuhan (Brunner
& Suddarth, 2013)
Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika, yaitu
A. M. Steven dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven Johnson yang bisa
disingkat SSJ merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan.
Penyakit ini umumnya menyerang anak-anak dan dewasa maupun muda,
jarang dijumpai pada anak usia 3 tahun kebawah. Perbandingan antara pria

dan wanita tidak berbeda jauh, di rumah Sakit Ciptomangunkusumo setiap
tahun kira-kira ditemukan 10 kasus. Pada cuaca yang dingin, penyakit ini
sering ditemukan juga adanya faktor fisik pada lingkungan seperti sinar
matahari dan sinar X yang akan mempengaruhi timbulnya sindrom ini
(https://www.academia.edu/).
Dari data yang dijelaskan diatas, penulis tertarik untuk membahas perihal
sindrom steven johnson karena sindrom steven johnson sangat berbahaya
bahkan dapat menyebabkan kematian. Sindrom ini tidak menyerang anak
dibawah 3 tahun, dan penyebab sindrom steven johnson sendiri sangat
bervariasi ada yang dari obat-obatan dan dari alergi yang hebat.

1

2

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penyusun dalam penyusunan makalah ini terbagi menjadi dua bagian,
yaitu tujuan umum dan tujuan khusus, dimana :
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan

memahami tentang konsep dasar penyakit sindrom steven johnson dan
asuhan keperawatan yang benar pada pasien dengan sindrom steven
johnson..
2. Tujuan Khusus
a. Dapat mengetahui dan memahami tentang konsep dasar penyakit
sindrom steven johnson yang meliputi definisi sindrom steven johnson,
etiologi, anatomi fisiologi kulit, patofisiologi, manifestasi klinis,
pathways, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan.
b. Dapat mengidentifikasi konsep asuhan keperawatan yang benar pada
klien dengan sindrom steven johnson yang meliputi pengkajian,
diagnosa keperawatan, dan perencanaan keperawatan.

BAB 2
PEMBAHASAN

A. Definisi Sindrom Steven Johnson
Sindrom steven jhonson merupakan kelainan kulit yang bersifat fatal dan
merupakan kondisi paling ekstrim dari eritema multiformis. Kondisi ini dipicu
oleh penggunaan medikasi. Antibiotik, agens anti kejang NSAID, dan
sulfonamida adalah obat-obatan yang paling sering menimbulkan kejadian ini.

Seluruh permukaan tubuh dapat dipenuhi oleh eritema dan lepuhan (Brunner
& Suddarth, 2013)
Stevens Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang
mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah
dari dermis. Sindrom ini diperkirakan oleh karena reaksi hipersensitivitas yang
mempengaruhi kulit dan membrane mukosa. Walaupun pada kebanyakan
kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui adalah dari
pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan. (Kusuma & Nurarif, 2015)
Sindrom Steven Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput
lendir diorifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan
sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai
purpura. (Muttaqin, 2012).
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa sindrom steven
johnson yaitu suatu sindrom yang terjadi pada kulit/integumen, dimana
seluruh permukaan tubuh dipenuhi oleh eritema dan lepuhan, yang
kebanyakan diketehui disebabkan oleh respon dari pengobatan, infeksi, dan
terkadang keganasan.
Terdapat tiga derajat klasifikasi yang diajukan menurut (Kusuma &
Nurarif, 2015):
1. Derajat 1 : erosi mukosa SSJ dan pelepasan epidermis kurang dari 10%

3

4

2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
B. Etiologi
Menurut (Porth & Maffin, 2009 dalam Brunner & Suddarth, 2010)
sindrom steven johnson dipicu oleh reaksi obat. Etiologinya tidak diketahui,
tetapi kemungkinan berhubungan dengan sistem imun dan bisa berupa suatu
reaksi terhadap obat atau kelainan sekunder akibat infeksi virus. Antibiotik,
antikonvulsan, butazon dan sulfonamid merupakan obat yang paling sering
terlibat.
Beberapa penyebab sindrom steven johnson menurut (Kusuma & Nurarif,
2015):
1. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes
simpleks, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus EpsteinBarr, atau sejenisnya).
2. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole,
valdecoxib, sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfanomide, fenitoin,
azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide,
carbamazepin).
3. Keganasan (karsinoma dan limfoma).
4. Faktor idiopatik (hingga 50%).
5. Sindrom steven johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek
samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng.
Sindrom steven johnson juga mungkin disebabkan oleh karena
penggunaan kokain.
6. Walaupun SSJ dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi
alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena
penggunaan antibiotik dan sulfametoksazole. Pengobatan yang secara
turun menurun diketahui menyebabkan SSJ, eritem multiformis, sindrom
Lyell,

dan

nekrolisis

epidermal

toksik

diantaranya

sulfanomide

(antibiotik), penisilin (antibiotic), berbiturate (sedative), lamotrigin

5

(antikonvulsan), fenitoin-dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin
dengan asam valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SSJ.
C. Anatomi Fisiologi Kulit
1. Anatomi
Kulit digambarkan sebagai pelindung, bersifat sensitif, reparatif,
dan mampu mempertahankan homeostatisnya sendiri. Kulit menutupi 1,2
sampai 2,3 m3 area dan merupakan organ terberat dalam tubuh. Ketiga
lapisan kulit tersebut adalah bagian terluar disebut epidermis, bagian
tengah disebut dermis, dan bagian dalam disebut hipodermis atau jaringan
subkutan. Apendiks kulit terdiri atas rambut, kuku, kelenjar keringat ekrin
dan apokrin, dan kelenjat sebasea (Gonce, 2011).

Ketiga lapisan kulit, diantaranya :
a. Epidermis atau Kutikula
Epidermis tersusun atas epitelium berlapis dan terdiri atas sejumlah
lapisan sel yang disusun atas dua lapis yang jelas tampak: selapis
lapisan tanduk dan selapis zona germinalis. Lapisan tanduk terletak
paling luar, dan tersusun atas tiga lapisan sel yang membentuk
epidermis, yaitu stratum korneum, stratum lusidum, dan stratum
granulosum. Sedangkan zona germinalis terletak dibawah lapisan

6

tanduk dan terdiri atas dua lapisan epitel yang berbentuk tegas, yaitu
sel berduri dan sel basal (Pearce, 2012).
Epidermis tidak berisi pembuluh darah. Saluran kelenjar keringat
menembus epidermis dan mendampingi rambut. Sel epidermis
membatasi folikel rambut. Di atas permukaan epidermis terdapat garis
lekukan yang berjalan sesuai dengan papil dermis dibawahnya. Garisgaris ini berbeda=beda; pada ujung jari berbentuk ukiran yang jelas,
yang pada setiap orang berbeda. Maka atas hal ini studi sidik jari
dalam kriminologi dilandaskan (Pearce, 2012).
b. Dermis atau Korium
Korium atau dermis tersusun atas jaringan fibrus dan jaringan ikat
yang elastis. Pada permukaan dermis tersusun papil-papil kecil yang
berisi ranitng-ranting pembuluh darah kapiler (Pearce, 2012).
Ujung akhir saraf sensoris, yaitu puting peraba, terletak di dalam
dermis. Kelenjar keringat yang berbentuk tabung berbelit-belit dan
banyak jumlahnya, terletak di sebelah dalam dermis, dan salurannya
yang keluar melalui dermis dan epidermis bermuara di atas permukaan
kulit di dalam lekukan halus yang disebut pori. Ada beberapa kelenjar
keringat yang berubah sifat yang dapat dijumpai di kulit sebelah dalam
telinga, yaitu kelenjar serumen (Pearce, 2012).
Kelenjar sebseus adalah kelenjar kantong di dalam kulit.
Bentuknya seperti botol dsan bermuara di dalam folikel rambut.
Kelenjar ini paling banyak terdapat di kepala dan wajah, yaitu sekitar
hidung, mulut, dan telinga, dan sama sekali tak terdapat dalam kulit
tapak tangan dan telapak kaki. Kelenjarnya dan selurannya dilapisi sel
epitel. Perubahan di dalam sel ini berakibat sekresi berlemak yang
disebut sebum (Pearce, 2012).
c. Hipodermis atau Subkutan

7

Hipodermis atau lapisan kulit subkutan terdiri atas jaringan ikat
yang diselingi dengan lemak. Lemak hipodermis memiliki fungsi
perlindungan terhadap retensi panas dan melindungi strukrtur
dibawahnya. Selain itu, lemak di lapisan kulit subkutan berfungsi
sebagai tempat penyimpanan kalori (Gonce, 2011)
2. Fisiologi
a. Kulit sebagai organ pengatur panas
Kulit adalah organ utama yang berurusan dengan pelepasan panas
dari tubuh. Sebagian panas menghilang melalui paru-paru, dan
sebagian lagi melalui feses dan urine. Panas dilepas oleh kulit dengan
berbagai cara, yaitu dengan penguapan, pemancaran, konduksi, dan
konveksi (pengaliran) (Pearce, 2012).
Persarafan vaso-motorik mengendalikan arteriol kutan dengan dua
cara, yaitu vaso-dilatasi dan vaso-konstriksi. Pada vaso-dilatasi arteriol
memekar, kulit menjadi lebih panas, dan kelebihan panas cepat
terpancar dan hilang, dan juga hilang karenas kelenjar keringat
bertambah aktif, dan karena itu terjadi penguapan cairan dari
permukaan tubuh. Pada vaso-konstriksi pembuluh darah dalam kulit
mengerut, kulit menjadi pucat dan dingin, keringat hampir dihentikan,
dan hilangnya panas dibatasi. Dengan pengendalian ini pelepasan
panas ditambah atau dikurangi sesuai kebutuhan tubuh (Pearce, 2012).
b. Kulit sebagai indra peraba
Rasa sentuhan yang disebabkan rangsangan pada ujung saraf di
dalam kulit berbeda-beda menurut ujung saraf yang dirangsang.
Perasaan panas, dingin, sakit, semua ini perasaan yang berlainan. Di
dalam kulit terdapat tempat-tempat tertentu, yaitu tempat perabaan,
beberapa sensitif (peka) terhadap dingin, beberapa terhadap panas, dan
lain lagi terhadap sakit (Pearce, 2012).

8

Perasaan yang disebabkan tekanan yang dalam, dan perasaan yang
memungkinkan seorang menentukan dan menilai berat suatu benda,
timbul pada struktur lebih dalam, misalnya pada otot dan sendi
(Pearce, 2012).
c. Tempat penyimpanan
Kulit

dan

jaringan

dibawahnya

bekerja

sebagai

tempat

penyimpanan air; jaringan adiposa di bawah kulit merupakan tempat
penyimpanan lemak yang utama pada tubuh (Pearce, 2012).
d. Beberapa kemapuan melindungi dari kulit
Kulit relatif tak tertembus air, dalam arti menghindarkan hilangnya
cairan dari jaringan dan juga menghindarkan masuknya air ke dalam
jaringan, misalnya bila tubuh terendam air. Epidermis menghalangi
cedera pada struktur di bawahnya dan karena menutupi ujung akhir
saraf sensorik di dalam dermis, maka kulit mengurangi rasa sakit. Bila
epidermis rusak, misalnya karena terbakar sampai derajat ketiga,
proteksi ini hilang dan setiap sentuhan terasa nyeri, dan eksudasi cairan
dari dermis yang sekarang terbuka ini menyebabkan hilangnya cairan
dan elektrolit, dengan akibatnya klien berada dalam bahaya dehidrasi,
yamg dapat menimbulkan keadaan yang lebih parah (Pearce, 2012).
D. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan
IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi netrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi
akibat limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang
sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Muttaqin,
2012).

9

E. Manifestasi Klinis

Menurut (Brunner & Suddarth, 2013) tanda-tanda awal sindrom steven
johnson antara lain konjungtiva terasa panas atau gatal, nyeri tekan kutaneus,
demam, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, malaise ekstrem, dan mialgia
(nyeri dan sakit). Dilanjutkan dengan awitan eritema yang cepat yang
mengenai sebagian besar permukaan tubuh dan membran mukosa, munculnya
bula yang kaku dan luas dibeberapa area. Di area lain, lapisan epidermis yang
luas mengelupas sehingga jaringan dermis dibawahnya terlihat kuku kaki,
kuku tangan, alis dan bulu mata dapat rontok, begitu juga dengan epidermis di
sekitarnya. Kulit yang sangat sensitif dan kulit yang mengelupas akan
menghasilkan permukaan kulit yang mengeluarkan cairan, mirip seperti luka
bakar partial thickness burn di seluruh tubuh, kondisi ini disebut juga sindrom
kulit melepuh. Pada kasus berat yang mengenai mukosa, mungkin terdapat
bahaya kerusakan pada laring, bronki, dan esofagus akibat ulserasi.
Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak dapat disertai gejala
prodromal berupa demam tinggi (30º - 40ºC), mulai nyeri kepala, batuk, pilek,
dan nyeri tenggorokan yang dapat berlangsung dua minggu. Gejala-gejala ini
dengan segera akan menjadi berat yang ditandai meningkatnya kecepatan nadi
dan pernafasan, denyut nadi melemah, kelemahan yang hebat serta
menunrunnya kesadaran, soporeus sampai koma (Kusuma & Nurarif, 2015).
Menurut (Kusuma & Nurarif, 2015), pada sindroma ini terlihat adanya
kelainan berupa :
1. Kelainan kulit

10

Kelainan kulit dapat berupa eritema, vesikal, dan bulla. Eritema
mberbentuk

seperti

cincin

(pinggir

eritema

tengahnya

relatif

hiperpigmentasi) yang berkembang menjadi urtikari atau lesipapuler
berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi sejenis dengan vesikel kecil.
Vesikel kecil dan bulla kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang
luas. Disamping itu dapat juga terjadi erupsi hemorrhagis berupa ptechiae
atau purpura. Bila disertai purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk.
Pada keadaan yang berat kelainannya menjadi generalisate.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada
mukosa mulut/bibir (100%), kemudian disusul dengan kelainan di lubang
alat genitalia (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% - 4%). Kelainan yang terjadi berupa stomatitis
dengan vesikel pada bibir, lidah, mukosa mulut bagian buccal. Stomatitis
merupakan gejala yang dini dan menyolok. Stomatiti kemudian menjadi
lebih berat dengann pecahnya vesikel dan bulla sehingga terjadi erosi,
excoriasi, pendarahan, ulcerasi, dan dan terbentuk krusta kehitaman. Juga
dpaat terbentuk psudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak
ialah krusta berwarna hitam yang tevbal. Adanya stomatitis ini dapat
menyebabkan penderita sukar menenlan. Kelainan ini di mukosa dapat
juga terjadi di faring, traktus respiratorus bagian atas, dan esophagus.
Terbentuknya pseudommebran di faring dapat memberikan keluhan sukar
bernafas dan penderitanya tidak dapat makan dan minum.
3. Kelainan mata
Kelainan pada mata merupsksn 80% diantara semua kasus, yang
sering terjadi ialah conjunctivitis kataralis. Selain itu dapat terjadi
conjunctivitis

purulen,

pendarahan,

simblefaron,

ulcus

cornea,

iritis/iridosiklitis yang pada akhirnya dapat terjadi kebutaan sehingga
dikenal trias yaitu stomatitis, conjunctivitis, balanitis, uretritis.

11

F. Pathways
Obat-obatan, infeksi
virus, keganasan

Kelainan hipersesitifitas

Hipersesitifitas tipe IV

Hipersesitifitas tipe III

Limfosit T tersintesitasi

Antigen antibody
terbentuk terperangkap
dalam jaringan kapiler

Pengakitfan sel T
Melepaskan
limfokin/sitotoksik

Aktivasi S.komplemen
Degranulasi sel mast

Penghancuran sel-sel
Reaksi peradangan
Nyeri akut

Akumulasi netrofil
memfagositosis sel
rusak
Melepas sel yang rusak
Kerusakan jaringan

Kerusakan
integritas kulit
Respon lokal: eritema,
vesikel, dan bula

Triase gangguan pada
kulit, mukosa, dan mata

Respon inflamasi
sistemik

Post de entree
Resiko infeksi

Terjadi evaporasi
pada kulit
Resiko
kekurangan
volume cairan

Gangguan
gastrointestinal,
demam, malaise
Intake tidak adekuat
Ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh

(Kusuma & Nurarif, 2015)

12

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk mendukung ditegakkannya diagnosis sindrom steven
johnson menurut (Kusuma & Nurarif, 2015), yaitu :
1. Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila
disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2. Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema, dan
esktravasasi sel darah merah. Degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel
epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
3. Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal
superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
H. Penatalaksanaan
Menurut (Brunner & Suddarth, 2013) sasaran penanganan antara lain
mengontrol keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah sepsis, dan
mencegah komplikasi pada mata. Fokus utama penanganan adalah pemberian
asuhan yang suportif, diantaranya yaitu :
1. Semua pengobatan yang tidak penting dihentikan dengan segera.
2. Jika memungkinkan, pasien dirawat di pusat pengobatan luka bakar.
3. Operasi debridemen atau hidroterapi yang dilakukan di awal untuk
mengangkat kulit yang rusak.
4. Sumpel jaringan dari nasofaring, mata, telinga, darah, urine, kulit, dan
lepuhan yang tidak pecah digunakan untuk mengidentifikasi pathogen.
5. Cairan intravena diberikan untuk mempertahankan keseimbangan cairan
dan elektrolit.
6. Penggantian cairan diberikan melalui NGT dan oral secepat mungkin.
7. Kortikosteroid sistemik diberikan di awal proses penyakit.

13

8. Pemberian imunoglobulin melalui intravena (IVIG) dapat mempercepat
perbaikan kondisi dan penyembuhan kulit.
9. Kulit dilindungi dengan agens topikal; antibakteri topikal dan agens
anestesi digunakan untuk mencegah sepsis pada luka.
10. Balutan biologis sementara (pigskin, membran amnion) atau balutan
plastik semipermeabel (vigilon) dapat digunakan.
11. Perawatan orofaring dan perawatan mata yang cermat sangat penting
ketika membran mukosa dan mata mengalami gangguan berat.

I. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut (Smeltzer, Suzanne C, 2010) inspeksi kulit yang cermat
harus dilakukan, dan penampilan kulit serta luas lesi dicatat. Kulit yang
normal diobservasi secara ketat untuk menentukan apakah timbul daerahdaerah bula yang baru. Perembasan cairan dari bula dipantau untuk
memantau jumlah, warna dan baunya. Inspeksi rongga mulut untuk
mendeteksi pembentukan bula dan lesi yang terkelupas harus dilakukan
setiap hari. Kondisi pasien dinilai setiap hari untuk menemukan keluhan
gatal, terbakar dan kekeringan pada mata. Kemampuan pasien menelan
dan meminum cairan, di samping kemampuan berbicara secara normal,
ditentukan.
Tanda-tanda vital pasien dimonitor dan diberikan perhatian khusus
terhadap keberadaan serta karakter demam di samping terhadap frekuensi,
dalam serta irama pernapasan dan gejala batuk. Karakteristik dan jumlah
sekresi respiratorius dicatat. Pemeriksaan untuk menilai panas yang tinggi,
takikardia dan kelemahan serta rasa lelah yang ekstrim sangat penting,
karena semua ini menunjukkan proses nekrosis epidermis, peningkatan
kebutuhan metabolik dan kemungkinan pelepasan jaringan mukosa
gastrointestinal serta respiratorius. Volume urin, berat jenis dan warnanya

14

harus dipantau. Tempat pemasangan jarum infus diinspeksi untuk
menemukan tanda-tanda infeksi setempat. Berat badan pasien dicatat
setiap hari (Smeltzer, Suzanne C, 2010).
Kepada pasien diminta untuk menjelaskan keluhan rasa lelah dan
tingkat nyeri yang dirasakannya. Upaya untuk mengevaluasi tingkat
kecemasan pasien harus dilakukan. Mekanisme koping dasar yang dimiliki
pasien dinilai dan strategi koping yang efektif diidentifikasi (Smeltzer,
Suzanne C, 2010)
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut (NANDA, 2015), diagnosa yang dapat ditegakkan pada klien
dengan sindrom steven johnson, adalah :
a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agens farmaseutikal
ditandai dengan adanya lesi pada kulit, mukosa, dan mata (00046)
b. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak
adekuat (gangguan integritas kulit) (00004)
c. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit
yang terkelupas dan adanya lesi (00132)
d. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan makan ditandai dengan demam, sakit
tenggorokan, dan adanya gangguan pada mukosa (00002)
e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan faktor yang
mempengaruhi kebutuhan cairan (00028)
3. Perencanaan Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agens farmaseutikal
ditandai dengan adanya lesi pada kulit, mukosa, dan mata (00046)
Tujuan yang diharapkan (NOC) : Integritas jaringan : kulit & membran
mukosa baik

15

Kriteria Hasil :
1) Tidak ada lesi pada kulit dan mukosa membran
2) Tidak ada pengelupasan kulit
3) Tidak ada eritema
4) Tidak ada peningkatan suhu kulit
Rencana Tindakan (NIC) :
Intervensi

Rasional

1. Pantau kulit dan membran 1. Mengetahui
mukosa

pada

area

mengalami
warna,

yang

perubahan
memar,

dan

kerusakan.

kondisi

perkembangan
luka/lesi

menentukan

dan

intervensi

tindakan selanjutnya dengan
tepat

untuk

memperbaiki

integritas kulit.

2. Pantau adanya kekeringan 2. Kekeringan/kelembaban
dan

kelembaban

berlebihan pada kulit.

yang

yang berlebihan pada kulit
dapat

memperparah

kerusakan
dan

integritas

menjadi

kulit

indikator

keseimbangan cairan klien.

3. Oleskan salep yang sesuai 3. Pemberian salep yang sesuai
dengan kulit/lesi.

dapat

menjadi

pelindung

area luka dari agens infeksi
dan

mempercepat

penyembuhan luka/lesi.

4. Berikan balutan yang sesuai 4. Balutan yang sesuai dengan
dengan jenis luka.

jenis luka dapat menghindari
gesekan luka pada area lain.

16

5. Anjurkan

klien

untuk 5. Pakaian yang ketat dapat

menggunakan pakaian yang

meningkatkan

gesekan

longgar.

antara luka dengan kain,
sehingga dapat memperparah
kerusakan integritas kulit.

6. Ajarkan

kepada

keluarga 6. Pengetahuan yang adekuat

tentang tanda dan kerusakan

pada

keluarga

dapat

kulit.

membantu tenaga kesehatan
dalam mengantisipasi tanda
kerusakan kulit pada klien.

7. Rujuk pada ahli diet, dengan 7. Pemberian diet tinggi protein
tepat

diperlukan

untuk

pembentukan jaringan baru
pada luka/lesi

b. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak
adekuat (gangguan integritas kulit) (00004)
Tujuan yang diharapkan (NOC): Kontrol resiko: proses infeksi dapat
dilakukan dan status imunitas baik
Kriteria Hasil:
1) Mengidentifikasi faktor resiko infeksi
2) Mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi
3) Memonitor perilaku diri yang berhubungan dengan resiko infeksi
4) Memonitor faktor di lingkungan yang berhubungan dengan resiko
infeksi
5) Jumlah leukosit dalam batas normal (5000 - 10.000/mm3)

Rencana Tindakan (NIC):

17

Intervensi

Rasional

1. Monitor tekanan darah, nadi, 1. Perubahan

tanda

vital,

suhu, dan status pernafasan

terutama suhu merupakan

dengan tepat.

komplikasi

lanjut

untuk

terjadinya infeksi.

2. Monitor karakteristik luka, 2. Karakteristik
termasuk drainase, warna,

menjadi

ukuran, dan bau.

infeksi.

3. Batasi jumlah pengunjung

luka

indikator

3. Pengunjung

dapat
adanya

dapat

meningkatkan

resiko

kontaminasi silang.

4. Tingkatkan

intake

nutrisi 4. Nutrisi yang adekuat dapat

yang tepat.

mempercepat

regenerasi

jaringan dan penyembuhan
luka.

5. Anjurkan pengunjung untuk 5. Mencuci

tangan

mencuci tangan pada saat

meminimalkan

memasuki dan meninggalkan

kontaminasi silang.

dapat
adanya

ruangan pasien.

6. Ajarkan pasien dan keluarga 6. Pasien dan keluarga dapat
mengenai tanda dan gejala

kooperatif

infeksi

mengantisipasi faktor resiko

dan

melaporkannya
penyedia
kesehatan.

kapan

harus
kepada

perawatan

terjadinya infeksi.

dan

18

7. Ajarkan pasien dan anggota 7. Pengetahuan
keluarga

mengenai

bagaimana

menghindari

yang

cukup

dapat meminimalkan faktor
resiko infeksi.

infeksi.

8. Berikan

antibiotik 8. Antibiotik dapat mencegah

terapi

yang

sesuai

(kolaborasi

dengan dokter).

mikroorganisme menyerang
tubuh klien.

c. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit
yang terkelupas dan adanya lesi (00132)
Tujuan yang diharapkan (NOC) : Kontrol nyeri dapat dilakukan dan
tingkat nyeri dapat berkurang
Kriteria Hasil :
1) Secara konsisten menunjukkan dalam menggunakan tindakan
pengurangan nyeri tanpa analgesik
2) Nyeri yang dilaporkan : tidak ada
3) Ekspresi nyeri wajah : tidak ada
4) Melaporkan nyeri yang terkontrol
5) Melaporkan perubahan terhadap gejala nyeri pada profesional
kesehatan
Rencana Tindakan (NIC) :
Intervensi
1. Kaji

tingkat

komprehensif

Rasional

nyeri

yang 1. Data-data tersebut digunakan

meliputi

sebagai data dasar dalam

lokasi, karakteristik, awitan

menentukan

dan

tindakan yang tepat pada

durasi,

kualitas,

frekwensi,

intensitas

atau

keparahan nyeri, dan faktor

klien

intervensi

selanjutnya

untuk

mencapai kesembuhan klien

19

presipitasinya.

yang optimal.

2. Observasi isyarat nonverbal 2. Isyarat
ketidaknyamanan.

nonverbal

(meringis,

klien

mengernyit)

menjadi tanda bahwa klien
merasakan
ketidaknyamanan/nyeri

3. Monitor vital sign sebelum 3. Nyeri
dan

sesudah

pemberian

analgesik pertama kali

dan

pemberian

analgesik

dapat

memengaruhi

vital

sign

klien, seperti nadi dan RR.

4. Lakukan perubahan posisi 4. Perubahan
dan relaksasi.

posisi

dan

relaksasi dapat membantu
klien mengurangi rasa nyeri
dan klien merasa rileks.

5. Tingkatkan

istirahat/tidur 5. Istirahat/tidur

yang cukup untuk membantu

mengalihkan

mengurangi rasa nyeri.

nyeri klien.

dapat
fokus

6. Ajarkan penggunaan teknik 6. Teknik
relaksasi

nonfarmakologi

pada

relaksasi

nonfarmakologi

dapat

sebelum atau sesudah rasa

dilakukan

tanpa

sakit meningkat.

bantuan perawat atau tenaga

klien

kesehatan untuk mengurangi
nyeri.

7. Berikan

informasi

yang 7. Pengetahuan yang adekuat

lengkap dan akurat untuk

pada

mendukung

membantu

pengetahuan

keluarga
perawat

dapat
atau

20

keluarga

terhadap

respon

nyeri pasien.

tenaga

kesehatan

mengenali

respon

untuk
nyeri

klien.

8. Berikan

analgesik

mengurangi
(berkolaborasi

untuk 8. Analgesik dapat mengurangi
nyeri

nyeri pada klien.

dengan

dokter).

d. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan makan ditandai dengan demam, sakit
tenggorokan, dan adanya gangguan pada mukosa (00002)
Tujuan yang diharapkan (NOC): Status nutrisi klien baik
Kriteria Hasil:
1) Asupan makanan secara oral adekuat
2) Tudak ada rasa tidak nyaman dengan menelan
3) Hasrat/keinginan untuk makan tidak terganggu
4) Tidak ada lesi mukosa mulut

Rencana Tindakan (NIC):
Intervensi
1. Kaji

kemampuan

Rasional
pasien 1. Kemampuan pasien makan

untuk mendapatkan nutrisi

dapat mempengaruhi intake

yang dibutuhkan.

nutrisi pasien.

2. Monitor kalori dan intake 2. Kalori dan intake nutrisi
nutrisi

pasien

dapat

digunakan

sebagai data dasar untuk
menentukan
selanjutnya.

intervensi

21

3. Lakukan atau bantu pasien 3. Mulut yang bersih dapat
terkait

dengan

perawatan

mulut sebelum makan

meningkatkan

kenyamanan

dan nafsu makan klien

4. Pastikan makanan disajikan 4. Menambah
dengan cara yang menarik

nafsu

makan

klien

dan pada suhu yang paling
cocok untuk konsumsi secara
optimal

5. Ajarkan dan dukung konsep 5. Dengan pengetahuan yang
nutrisi yang baik dengan

cukup akan nutrisi klien

klien dan orang terdekat

dapat

dengan klein.

menerapkannya

kooperatif

dan
dalam

proses penyembuhannya.

6. Kolaborasi dengan ahli gizi 6. Nutrisi dan jumlah kalori
untuk menentukan jumlah

yang tepat dapat memenuhi

kalori

kebutuhan nutrisi klien dan

dan

nutrisi

yang

dibutuhkan pasien.

mempercepat kesembuhan.

e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan faktor yang
mempengaruhi kebutuhan cairan (00028)
Tujuan yang diharapkan (NOC) : Keseimbangan cairan baik dengan
indikator status nutrisi : makanan & cairan dapat terpenuhi
Kriteria Hasil :
1) Tidak ada kehausan
2) Asupan makanan secara oral adekuat
3) Asupan cairan secara oral adekuat

22

Rencana Tindakan (NIC) :
Intervensi
1. Monitor

status

(kelembaban
mukosa,
tekanan

Rasional
hidrasi 1. Sebagai data dasar untuk
membran

nadi
darah

adekuat,
ortostatik),

menentukan

kemungkinan

adanya resiko kekurangan
volume cairan pada klien.

jika diperlukan.

2. Monitor

masukan 2. Masukan

makanan/cairan

makanan/cairan dan hitung

dan kalori harian menjadi

intake kalori harian.

indikator untuk mengukur
keseimbangan cairan pada
klien

3. Dorong

keluarga

untuk 3. Keluarga mempunyai peran

membantu pasien makan

penting dalam pendekatan
dengan klien.

4. Atur kemungkinan transfusi.

4. Transfusi

diperlukan

jika

klien terdapat purpura yang
luas,

untuk

keadaan

memperbaiki
umum

menggantikan

dan

kehilangan

darah.

5. Kolaborasikan
cairan IV.

pemberian 5. Pemberian cairan IV untuk
mempertahankan
keseimbangan cairan pada
klien

dengan

gangguan

menelan (terdapat lesi pada
mukosa mulut/faring).

23

6. Kolaborasi dengan dokter 6. Pemberian

suplemen

tentang kebutuhan suplemen

makanan dan cairan melalui

makanan

seperti

NGT

NGT dapat mempertahankan

sehingga

intake

cairan

adekuat dapat dipertahankan.

intake cairan yang adekuat.

BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sindrom steven johnson yaitu suatu sindrom yang terjadi pada
kulit/integumen, dimana seluruh permukaan tubuh dipenuhi oleh eritema dan
lepuhan, yang kebanyakan diketehui disebabkan oleh respon dari pengobatan,
infeksi, dan terkadang keganasan. Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan
karena reaksi alergi tipe III dan IV. tanda-tanda awal sindrom steven jhonson
antara lain konjungtiva terasa panas atau gatal, nyeri tekan kutaneus, demam,
sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, malaise ekstrem, dan mialgia (nyeri
dan sakit). Pada sindroma ini terlihat adanya kelainan kulit, kelainan selaput
lendir di orifisium, dan kelainan mata.
Pemeriksaan untuk mendukung ditegakkannya diagnosis sindrom steven
johnson yaitu pemeriksaan laboratorium, histopatologi, dan imunologi. sasaran
penanganan antara lain mengontrol keseimbangan cairan dan elektrolit,
mencegah sepsis, dan mencegah komplikasi pada mata. Fokus utama
penanganan adalah pemberian asuhan yang suportif. Pemberian asuhan
keperawatan yang komprehensif yaitu dimulai dari pengkajian klien,
menentukan diagnosa keperawatan yang muncul, dan menyusun intervensi
yang akan dilakukan pada klien dengan sindrom steven johnson dengan tepat
agar klien dapat meningkat status kesehatannya.
B. Saran
Pembaca sebaiknya tidak hanya membaca dari materi makalah ini saja
karena masih banyak referensi yang lebih lengkap yang membahas materi dari
makalah ini. Oleh karena itu, pembaca sebaiknya membaca dari referensi dan
literatur lain untuk menambah wawasan yang lebih luas tentang materi ini.

24

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol.
3. EGC: Jakarta
Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 12. Jakarta: EGC
Gloria M. Bulechek, et al. 2013. Nursing Interventions Classifications (NIC),
Edisi Keenam. Missouri: Mosby Elsevier
Morhedd, dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC), Edisi Kelima.
Missouri: Mosby Elsevier
Morton, Gonce, Patricia. 2011. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistic.
Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Kardiovaskular Dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika
NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan : Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Edisi
10. Jakarta: EGC
Nurarif, A.H. & Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC, Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta:
MediAction Publishing
Pearce, Evelyn C. 2012. Anatomi dan Fisiologi Untuk para Medis. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama
Puspitasari, Fanny, Steven Johnson Syndrom Word, Academia.edu, dilihat 22
Maret 2018

Smeltzer, Suzanne C. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth, Edisi: 12. Jakarta: EGC.