REVIEW : BUKU FILSAFAT HUKUM
KONSEP HUKUM
(BOOK REVIEW H.L.A HART)
Disusun Oleh:
A.HAMID
29173622
Program Pascasarjana S3
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh
Email: [email protected]
Dosen Pengasuh:
Prof. Dr. Faisal A.Rani. SH, MH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH
2018
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kehadhirat Allah
swt yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat kepada kita
semua, serta kesehatan dan kesempatan kepada penulis
sehingga telah dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini,
walaupun serba kekurangan dari segi ilmu bagi penulis
alhamdulillah makalah ini dapat selesai, Salawat serta salam
kita sampaikan kepada Rasulullah saw serta keluarga dan
sahabat beliau selalu tercurahkan.
Makalah ini membahas tentang kaidah ushul “Konsep
Hukum” yang penulis sampaikan sebagai bagian dari tugas mata
kuliah Teori Ilmu Fiqh/Hukum pada Program Pendidikan Doktor
S3 di Pascasarna UIN Ar-Raniry Banda Aceh tahun 2018.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada guru kami Prof.
Dr.Faisal A.Rani. SH, MH selaku dosen pengasuh mata kuliah
Teori Ilmu Fiqh/Hukum yang telah memberikan bimbingan dan
arahan kepada penulis dalam penyusunan makalah ini, tidak
lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang
masih dan selalu berkontribusi dalam penyusunan makah ini
hingga selesai. Penulis menyadari makalah ini masih sangat
kekurangan dan belum sempurna, maka disini masih diperlukan
kritik dan saran yang membangun.
Penulis
A.Hamid
A.
PENDAHULUAN
Dokumen yang berupa buku terjemahan Konsep Hukum
oleh M. Khozim dari judul asli The Concept of Law oleh H. L. A.
Hart. Tertulis dalam buku ini bahwa buku ini seperti kitab suci
dalam ilmu hukum yang selalu menjadi rujukan utama kaum
intelektual di dunia dari diterbitkannya buku tersebut hingga
sekarang. Jadi buku terjemahan buku ini sangatlah penting dan
diminati. Sehingga peneliti menggunakan buku tersebut dalam
penelitian ini untuk meneliti terjemahannya. Penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling atau dinyatakan juga
sebagai criterion-based sampling. Sampling dilakukan agar
sampel yang diperoleh dapat mengantarkan peneliti mencapai
tujuan peneliti. Jadi, dalam penelitian kualitatif, cuplikan yang
diambil lebih bersifat selektif. Pilihan sampel diarahkan pada
sumber data yang dipandang memiliki data penting yang
berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Sampel
ditentukan dari sumber data yang telah diseleksi secara matang
berdasarkan pertimbangan dalam bentuk kriteria-kriteria
tertentu yang disusun oleh peneliti (Sutopo, 2006: 64). Data
yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini merupakan
data kualitatif yang berupa data ortografs, kata, frasa, klausa,
dan kalimat dalam buku The Concept of Law oleh H. L. A. Hart,
versi bahasa bahasa Indonesia.
B.
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan jenis penelitian tidak selalu bersifat geografs
atau demografs. Media pun bisa menjadi lokasi penelitian. Oleh
karena itu, lokasi penelitian dalam penelitian ini mengambil
media berupa buku The Concept of Law oleh H. L. A Hart. Buku
ini merupakan buku ilmu hukum, berisi mengenai pemahaman
hukum, paksaan, dan moralitas sebagai hal yang berbeda namun
terkait dengan gejala sosial serta membahas klarifkasi kerangka
umum pemikiran hukum, kritik hukum atau kebijakan hukum.
karena penelitian ini mengenai kajian hukum, tepatnya kajian
penerjemahan dalam ilmu tertentu atau khusus, yaitu hukum.
Kejadian yang terkandung dalam buku The Concept of Law
adalah pemahaman dan penjelasan mengenai pemikiran hukum,
serta mengenai hukum, paksaan, dan moralitas sebagai hal yang
berbeda namun terkait dengan gejala sosial. Lebih jauh, buku
The Concept of Law dipilih dan digunakan sebagai lokasi
penelitian karena;
1). Buku ini merupakan produk ilmu khusus mengenai teori
hukum, dimana kajian penerjemahan bidang ini masih jarang
diangkat sebagai penelitian. Dengan demikian, buku ini
diharapkan
menyediakan
banyak
unsur-unsur
bahasa
berhubungan dengan hukum baik dalam bahasa Inggris atau
Bahasa Sumber maupun terjemahannya dalam Bahasa Sasaran
atau Bahasa Indonesia;
2). Buku The Concept of Law disebut sebagai kitab suci
dalam ilmu hukum. Karya tersebut selalu menjadi rujukan utama
kaum
intelektual
hingga
sekarang.
Buku
ini
telah
diterjemahknan ke berbagai bahasa di dunia. Dengan demikian,
ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya buku tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian di bidang pengkajian
analisis data yang berada pada tataran atau berbentuk kata,
frasa, klausa, maupun kalimat. Menurut Bogdan dan Taylor
dalam Moleong (2008: 4), penelitian kualitatif adalah penelitian
yang menghasilkan data berupa kata-kata, kalimat, atau gambar
yang memiliki arti lebih daripada sekedar angka-angka atau
frekuensi. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif karena
penelitian kualitatif itu sendiri memiliki ciri deskriptif. Data yang
muncul dari penelitian kualitatif itu bersifat deskriptif, yaitu
data dilaporkan melalui kata-kata. Cresswell (1994: 145)
mengatakan bahwa “Qualitative research itself is descriptive in
that the researcher is interested in process, meaning, and
understanding gained through words or utterances.” Jadi
penelitian deskriptif kualitatif merupakan pemaparan deskripsi
dari analisa terhadap teks dalam segala bentuknya untuk
membantu penjabaran hasilnya.
C.
PEMBAHASAN
Buku yang berhasil membawa nama Hart berkibar di
jajaran para teoritikus hukum mutakhir adalah The Concept of
Law, Melalui buku tersebut Hart mengangkat tiga pertanyaan
penting dalam flsafat hukum, yakni Bagaimana hukum berbeda
dari dan bagaimana ia terkait dengan perintah yang ditopang
oleh ancaman? Bagaimana kewajiban hukum berbeda dari, dan
bagaimana ia terkait dengan kewajiban moral? Apa itu
peraturan dan sampai sejauh mana hukum merupakan persoalan
mengenai peraturan.1 Hart mengklaim dirinya sudah menjawab
tiga pertanyaan penting tersebut dan karena itu ia telah
memecahkan teka-teki yang ada dalam flsafat hukum.
Herbert Lionel Adolphus Hart mengatakan, hukum harus
dilihat baik dari aspek eksternal maupun iternalnya. Dari segi
eksternal, berarti hukum dilihat sebagai perintah penguasa,
sebagaimana diartikan oleh Austin. Disamping itu, ada aspek
internal, yaitu keterikatan terhadap perintah dan penguasa itu
secara batiniah. Norma-norma hukum dapat dibagi dua, yaitu
norma primer dan sekunder. Norma primer adalah norma yang
menentukan kelakuan-kelakuan subjek-subjek hukum, dengan
Menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus tidak
dilakukan.norma sekunder ini memastikan syarat-syarat bagi
berlakuya norma-norma
primer dan
dengan
demikian
menampakkan sifat yuridis dari norma itu. Sebab itu, mereka
disebut petunjuk pengenal (rulles of recognition). Disamping itu
mereka memastikan syarat bagi perubahan norma-norma itu)
(rules of change) dan bagi dipecahkannya konfik dalam rangka
norma-norma itu (rules of chnge) dan bagi dipecahkannya
konfik dalam rangka norma-norma itu (rules of adjudifcation) 2
D.
HAKIKAT HUKUM
1. Hukum sebagai Perintah dan kebiasaan
Dalam upaya menjelaskan hakikat hukum, Hart berangkat dari
pandangan positivisme Austin. Austin mendefnisikan hukum
sebagai ―Perintah dari orang seorang raja atau orang yang
1
H. L. A. Hart, ―The Concept of Law”, edisi kedua (Oxford: Oxford University Press, 1994), hal.
13
2
Huijbers, T. flsafat Hukum dalam Lintasan Seejarah, Cet. Ke-5, (Yogyakarta : Kanisius tahun
1988) hal. 187
berdaulat, yang secara politik superiror. 3 Yang superior ini
bisa berupa seorang individu atau sekelompok orang yang
memiliki kekuasaan untuk memberi sanksi. Superioritas dari
individu atau sekelompok orang itu menurut Austin ditandai
oleh dua ciri utama: (1) terdapat warga yang memiliki
kebiasaan patuh terhadap perintah yang dikeluarkan yang
superior, dan (2) yang superior tidak tunduk terhadap orang
lain.4 Dua ciri ini menandai supremasi dan independensi
hukum dalam sebuah masyarakat Menurut Hart konsep
hukum Austin seperti disebutkan di atas dapat dianalogikan
sebagai perintah dari orang bersenjata. Dalam situasi tersebut
seorang yang bersenjata memerintahkan korbannya untuk
melakukan
atau
tidak
melakukan
tindakan
tertentu
(diharuskan menyerahkan uang atau dilarang berteriak,
misalnya). Perintah penodong tersebut wajib dilakukan dan
jika dilanggar maka ada konsekeunsi yang harus dibayar si
tertodong. Demikian pula hukum.
Hans Kelsen dalam teori hukumnya the Pure Theory of
Law memiliki persamaan mendasar tentang hukum dengan
apa yang diungkapkan oleh H.L.A Hart yang ingin berusaha
menjawab pertanyaan tentang “apa hukum itu?” tetapi bukan
pertanyaan “apa hukum itu seharusnya”. Kongkritnya dalam
perspektif Hart mengenai pertanyaan “hakikat hukum” di atas
adalah tentang bagaimana hukum dan kewajiban hukum
berbeda dari, dan bagaimana kaitannya dengan perintahperintah yang ditopang oleh ancaman.5.
Hukum memerintahkan orang untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Perintah tersebut bersifat wajib dan
pelanggaran terhadapnya akan dikenai sanksi, berupa denda
atau kurungan badan. Namun menurut Hart analogi hukum
dengan situasi penodongan, di mana di dalamnya terdapat
perintah yang wajib dijalankan dan pemberian sanksi, tidaklah
tepat. Hart menunjukkan tiga perbedaan signifkan antara
hukum dan perintah.7 Pertama, perintah hanya mewajibkan
3
John Austin, ―The Province of Jurisprudence Determined”, ed. H.L.A. Hart (London:
Weidenfeld & Nicholson, 1954), hal. 134.
4
John Austin,The Province ...hal. 134.
5
H.L.A. Hart, Konsep Hukum, Bandung: Nusamedia-Studio, 2010. Edisi Ke-2. Hal. 10.
Diterjemahkan oleh M. Khozim dari karya H.L.A Hart, The Concept of Law, New York: Clarendon PressOxford, 1977.
kepada orang yang diperintah, tapi hukum, bahkan hukum
pidana yang paling mendekati perintah sebagaimana
digambarkan Austin, tidak saja menimpakan kewajiban
kepada warga negara biasa tapi juga kepada para
pembuatnya. Kedua, ada banyak aturan hukum yang tidak
mirip perintah dari segi bahwa aturan tersebut tidak
menuntut orang untuk melakukan sesuatu, melainkan
memberikan kekuasaan pada mereka. Aturan tersebut
memfasilitasi orang untuk menciptakan hak dan kewajiban
hukum. Misalnya, sebuah aturan tentang perjanjian atau
kontrak.
Aturan jenis terakhir ini tidak menuntut orang dengan
ancaman tertentu. Sebaliknya, aturan tersebut menjamin
warga negara untuk secara bebas menciptakan kesepakatan
hukum diantara mereka. Ketiga, peraturan hukum tidak selalu
berasal dari tindakan perundangan yang yang disengaja.
Dalam sistem common-law kebiasaan sering menjadi sumber
hukum yang penting. Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa hukum yang dipahami sebagai perintah yang disertai
sanksi tidak dapat memberi kita pemahaman yang memadai
tentang hukum.
Seperti dijelaskan di atas model tersebut telah mereduksi
penerapan, cakupan, dan asal-usul hukum. Karena alasan ini
Hart berupaya mencari ciri lain yang dapat
mengantarkan
pemahaman yang lebih baik terhadap hukum. Jika perintah
yang disertai ancaman bukan karakter dari hukum, maka apa
karakter dari hukum? Dengan kata lain, apa yang menjadikan
hukum sebagai hukum?, H.L.A Hart mengungkapkan, terdapat
pemisahan antara hukum dan moralitas, namun pemisahan
yang tidak ekstrim karena moralitas harus menjadi syarat
minuman dari hukum. Hal ini disebabkan karena dua faktor: 6
a). Manusia memiliki keterbatasan berbuat baik pada orang
lain: dan b). Hukum memiliki keterbatasan dalam mengatur
perkembangan masyarakat. Hart menambahkan, pemikiran
hukum erat kaitannya dengan moral merupakan cara berpikir
dalam aliran hukum alam.
6
Bernard L. Tanya, Makalah “ Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum”, disampaikan dalam
seminar Nasional yang bekerjasama dengan Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) dan Program
Doktor (S3) Ilmu Hukum (AFHI) Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta
April 2015.
Dalam aliran hukum positif, hukum dan moral sama sekali
tidak ada kaitannya. Hal ini dapat diamati dengan ciri-ciri
pengertian
positivisme
hukum
sebagaimana
yang
dikemukakan oleh H.L.A Hart antara lain: 1). Hukum adalah
perintah dari manusia (command of human being); 2). Tidak
ada hubungan mutlak antara “Hukum/law” dan “Moral”
sebagaimana yang berlaku/ ada dan hukum yang seharusnya;
3). Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum, pertama;
mempunyai arti penting, kedua; harus dibedakan dari
penyelidikan seperti a). Historis mengenai sebab musabab dan
sumber-sumber hukum; b). Sosiologis mengenai hubungan
hukum dengan gejala sosial lainnya; c). Penyelidikan hukum
secara kritis atau penilaian, baik yang didasarkan moral,
tujuan sosial, dan fungsi hukum; 4). Sistem hukum adalah
sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana
keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat
diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan
hukum
yang
telah
ditentukan
sebelumnya
tanpa
memperhatikan tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran
moral.7
2. Hukum dan Moral
Dalam pandangan Hart penegasan bahwa di antara hukum
dan moralitas ada suatu hubungan yang perlu atau mutlak
memiliki banyak ragam pemahaman yang penting namun
tidak semua hubungan itu terlihat jelas. Berangkat dari
ketidakjelasan
ini
Hart
berupaya
menunjukkan
dan
mengevaluasi alasan-alasan yang mendasari pandangan
tersebut. Menurutnya, tak satu pun alasan yang diajukan
untuk menunjukkan hubungan mutlak itu memadai meskipun
ia mengakui beberapa segi dari argumen yang dikemukakan
memiliki kebenaran, sesuai dengan beberapa fakta yang dapat
dijumpai dalam sistem hukum. Hart mengakui bahwa hukum,
keadilan, dan moral memiliki hubungan yang sangat dekat.
Bahkan salah
satu aspek keadilan, yaitu
keadilan
adminsitratif, dan dalam hukum kodrat minimum, hukum dan
moralitas berhubungan secara mutlak‘. Keadilan administratif
7
http://ninetyninezert.clarendonpress.com/2012/11/28/positivisme-hukum-h-l-a-hart/diakses
pada Tgl. 19 Juli 2018.
yang dimaksud di sini tidak lain keadilan dalam penerapan
hukum.
Penerapan hukuman terhadap seseorang hanya didasarkan
pada karakteristik yang disebutkan dalam hukum. Hukum
tentang
pembunuhan,
misalnya,
menyebutkan
bahwa
seseorang yang secara sengaja menghilangkan nyawa orang
lain dihukum lima belas tahun, maka dari ketentuan ini kita
akan tahu mana karakteristik yang relevan dan tidak relevan
untuk untuk menghukum pelaku pembunuhan. Warna kulit
dan jenis rambut pelaku tidak relevan; sementara keputusan
atau niat orang tersebut relevan. Jika dalam memutuskan
kasus tertentu karakteristik yang disebutkan dalam hukum itu
diabaikan, maka penerapan hukuman dianggap tidak adil.
Keadilan dalam penerapan hukum ini menurut Hart
memiliki hubungan yang mutlak dengan hukum. Namun,
hubungan mutlak ini hanya menyangkut administrasi hukum
dan keadilan jenis ini bisa juga dapat terjadi dalam sebuah
sistem hukum yang di dalamnya penuh dengan hukum yang
tidak adil. Selain dalam administrasi hukum Hart juga
mengakui hubungan penting antara hukum dan moralitas
dalam hukum kodrat minimum.
Hukum kodrat minimum tidak lain pandangan Hart sendiri
mengenai kodrat manusia yang berbeda dengan hukum kodrat
klasik. Menurutnya kodrat manusia yang paling dasar adalah
bertahan hidup, sebab dengan bertahan hidup manusia dapat
memenuhi tujuan hidup lainnya. Untuk dapat beratahan
hidup, di samping memerlukan ketersediaan bahan konsumsi,
manusia juga memerlukan aturan yang dapat menjaga
kehidupan bersama mereka. Di sinilah moralitas dan hukum
bertemu; kedua aturan ini, meski berbeda, sama-sama
menuntut hal yang sama, yaitu terpeliharanya kehidupan
bersama manusia. Namun, hubungan mutlak antara hukum
dan moraltias dalam hukum kodrat minimum ini menurutnya
bukan kemutlakan logis, melainkan kemutlakan alamiah‘.
Disebut mutlak alamiah karena kemutlakan hubungan itu
didasarkan pada kondisi alamiah kehidupan manusia itu
sendiri.8 Artinya, selama kondisi kehidupan manusia tidak
8
Adapun kondisi alamiah yang dimaksud Hart adalah sebagai berikut: pertama, manusia itu
lemah. Manusia dapat disakiti dan dibunuh. Kedua, manusia hampir setara. Ketiga, manusia memiliki
mengalami perubahan, maka hukum dan moralitas akan
berhubungan mutlak. Hart hanya mengakui hubungan mutlak‘
hukum dan moralitas dalam hukum kodrat minimum dan
administrasi hukum, dan hal itu seperti telah disebutkan,
bukan mutlak logis seperti yang dianggap selama ini. Dalam
The Concept of Law, Hart menguji enam alasan lain yang
dijadikan dasar untuk menunjukkan adanya hubungan mutlak
antara hukum dan moralitas.
Pertama, kekuasaan dan otoritas. Poin pertama mengenai
adanya hubungan mutlak antara hukum dan moralitas
berhubungan dengan isu kekuasaan dan otoritas. Dalam
pandangan Hart pendapat yang menekankan adanya
kesesuain antara kewajiban hukum dan moralitas adalah
pandangan yang tidak memadai. Hart setuju bahwa sebuah
sistem hukum tidak bisa berdiri hanya berlandaskan pada
kekuasaan orang atas orang lain. Sebab itu Hart menolak teori
Austin yang memahami esensi hukum sebagai perintah yang
disertai ancaman. Untuk bisa berjalan secara wajar sebuah
sistem hukum tidak hanya berdasarkan kekuasaan tapi juga
penerimaan sukarela dari orang yang ada dalam sistem
tersebut. Namun menurut Hart dikotomi antara hukum yang
berdasarkan hanya pada kekuasaan dan hukum yang diterima
sebagai hal yang mengikat secara moral bukanlah dikotomi
yang lengkap (exhaustive).
Kedua, pengaruh moralitas terhadap hukum. Hukum dan
moralitas memiliki hubungan yang mutlak karena keduanya
memiliki hubungan timbal balik. Moralitas suatu masyarakat
mepengaruhi produk hukum dan hukum memengaruhi
pandangan baik dan buruk masyarakat tersebut. Jika ini yang
dimaksud dengan hubungan mutlak antara hukum dan
moralitas maka Hart dengan sepenuh hati menerimanya. 9
Bahkan lebih jauh Hart berpendapat bahwa tak seorang
positivis pun menolak adanya fakta bahwa pandangan moral
dapat masuk ke dalam hukum.
Ketiga, interpretasi. Hart mengakui penerapan hukum
pada kasus yang samar-samar akan melibatkan pertimbangan
altruisme terbatas. Keempat, manusia memiliki sumber kehidupan terbatas. Dan kelima, manusia
memiliki pemahaman dan kehendak yang terbatas. Ibid., hal. 193-200
9
Ibid., hal. 203-204; Lihat juga H. L. A. Hart dalam ―Essay on Jurisprudence and Philosophy”,
hal. 54
tertentu, pertimbangan yang menunjukkan bagaimana hukum
seharusnya. Keputusan yang diberikan hakim pada kasus
tertentu, menurut Hart, tidak semata berdasarkan pada
kesewenang-wenangan, melainkan dibimbing oleh prinsipprinsip, kebijakan sosial, dan kepercayaan moral; hukum yang
ada dan hukum yang seharusnya berkelindan dalam
penafsiran hukum.
Keempat, kritik hukum.10 Pengertian lain yang mungkin
muncul dari pernyataan hukum memiliki hubungan mutlak
dengan moralitas adalah bahwa sebuah sistem hukum yang
baik harus sejalan dengan moralitas. Hart juga menerima
pengertian ini dengan beberapa catatan. Hart berpendapat
jika yang dimaksud moralitas di sini adalah moralitas yang
berlaku dalam sebuah masyarakat maka sistem hukum tidak
perlu menyesuaikan sepenuhnya dengan moralitas tersebut.
Kemudian jika moralitas yang dimaksud adalah sistem
moralitas yang umum dan tercerahkan, maka banyak sistem
hukum berjalan tanpa unsur-unsur ini. Dengan demikian, Hart
tidak menolak sebuah sistem hukum sejalan dengan moralitas,
tapi ia berpandangan bahwa tidak semua sistem hukum harus
sesuai dengan moralitas. Karena itu hubungan keduanya tidak
mutlak.
Kelima, prinsip legalitas dan keadilan. Agar hukum bisa
diterapkan secara efektif, hukum harus dipahami oleh semua
orang, diketahui sebelum diundangkan, prospektif, diterapkan
secara sama terhadap semua orang, diterapkan secara
imparsial, dan seterusnya. Bagi sebagian orang adanya
elemen-elemen tersebut menunjukkan kemutlakan hubungan
hukum dan moralitas atau, seperti disebut Lon Fuller, elemenelemen tersebut merupakan ―moralitas dalam (inner
morality) hukum. Namun bagi Hart, elemen-elemen tersebut
juga ada dalam sebuah sistem hukum yang secara moral
jahat.11
Keenam, validitas hukum dan resistensi. Argumentasi
terakhir untuk mendukung tesis kesatuan hukum dan
moralitas berkaitan dengan pembangkangan terhadap hukum
10
11
H. L. A. Hart, Op. Cit., hal. 205.
H. L. A. Hart, Op. Cit., hal. 206.
yang jahat. Menurut para pendukung teori hukum kodrat,
positivisme hukum akan menghalangi orang untuk menentang
hukum yang ditetapkan secara valid tapi berlawanan dengan
moral dan keadilan.
Walaupun kemudian Hart menyadari keterbatasan dalam
ukum positif karena “dianggap” selalu tertinggal di belakang
kejadian. Oleh sebab itu, maka diberikanlah ruang bagi moral
sebagai landasan yang harus dimiliki oleh pelaksana
hukum/subjek hukum berupa “kewajiban moral” untuk
mengambil tindakan-tindakan hukum. Menurut Hart, penilaian
moral ada pada tataran individual dan dengannya manusia
bisa menentukan apakah hukum yang berlaku adil atau tidak.
Jika tidak, maka manusia tidak mempunyai kewajiban untuk
mematuhinya dan kalau perlu melawan terhadap hukum yang
tidak adil tersebut. Jadi, meski memiliki perbedaan pandangan
mengenai relasi antara hukum dan moralitas, baik teori
hukum kodrat maupun positivisme hukum tidak sependapat
dengan Sokrates. Bagi keduanya Sokrates tidak memiliki
kewajiban moral untuk mematuhi hukum yang tidak adil.
4. Peraturan Primer dan Skunder
a. Primer
H.L.A Hart dalam karyanya “The Concept of Law” (1988).
Hart menjelaskan bahwa pertama-tama hukum harus
dipahami
sebagai
sistemperaturan.12
Melihat
dari
pernyataan Hart bahwa pertama-tama hukum harus
dipahami sebagai suatu sistem peraturan, ia membagi dua
dalam konsep hukumnya tentang peraturan itu, yaitu: 13
Selain aturan primer sebuah sistem hukum juga memiliki
bentuk aturan lain, yakni aturan sekunder. Aturan
sekunder yang dimaksud di sini tidak lain landasan dari
aturan primer itu sendiri. Hart membagi aturan sekunder
ke dalam tiga jenis, yaitu aturan pengakuan (rule of
12
http://ninetyninezert.clarendonpress.com/2012/11/28/positivisme-hukum-h-l-a-hart/ , diakses
Tgl. 19 Juli 2018
13
Petrus CKL Bello, Hubungan Hukum dan Moralitas menurut H.L.A HART , Alumnus program
pasca sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan alumnus pasca sarjana Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara Jakarta. Selain sebagai dosen flsafat hukum di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia
(UKI) Jakarta penulis juga adalah praktisi hukum di Jakarta. Tulisan ini merupakan versi ringkas dari
judul tesis yang penulis ajukan dan pertahankan pada program pasca sarjana SeTF Driyarkara Jakarta
2014. Hal. 4-5
recognition), aturan perubahan (rule of change), dan
aturan pemutusan (rule of adjudication). Ketiga aturan
tersebut menurut Hart merupakan syarat adanya sebuah
sistem hukum. Karena itu, tanpa adanya aturan sekunder
tidak akan ada sistem hukum sebagaimana kita jumpai
dalam kehidupan modern.
Peraturan primer terdiri dari standar-standar bagi tingkah
laku yang membebankan berbagai kewajiban. Peraturanperaturan primer menentukan kelakuan-kelakuan subjeksubjek hukum, dengan menyatakan apa yang harus
dilakukan, apa yang dilarang. Aturan yang masuk dalam
jenis ini muncul sebagai akibat dari kebutuhan masyarakat
itu sendiri. Adapun kekuatan mengikat dari berbagai
aturan jenis ini didasarkan dari penerimaan masyarakat
secara mayoritas.
Aturan primer yang dimaksud Hart adalah aturan-aturan
yang menimpakan kewajiban (obligation). Aturan tersebut
merupakan standar dalam kehidupan sebuah masyarakat.
Bagi masyarakat yang hidup dalam sebuah sistem hukum,
aturan primer itu tidak lain adalah aturan tertulis seperti
undang-undang, keputusan presiden, dll. Aturan primer,
singkatnya, adalah aturan yang menimpakan kewajiban
terhadap orang yang hidup dalam sebuah sistem hukum.
Jika rules of recognition memuat ketentuan yang
menjelaskan apa yang d173imaksud oleh norma primer,
sedangkan rules of change mengesahkan adanya norma
primer yang baru, sedangkan rulers of adjudication berisi
aturan yang menentukan apakah suatu norma primer telah
dilanggar. Dapat dikatakan bahwa norma-norma sekunder
ada hubungannya dengan kompetensi dalam bidang
hukum. Norma-norma itu menentukan kewibawaan
instansi-instansi hukum untuk membentuk hukum. Artinya,
berkat norma-norma sekunder dalam aturan hukum sebuah
masyarakat orang tertentu menerima suatu tugas dan
kewibawaan untuk mengeluarkan norma-norma yang
berlaku, untuk mengubahnya, dan untuk memecahkan
masalah-masalah hukum.14
14
Huijbers, T. flsafat Hukum dalam Lintasan Seejarah, Cet. Ke-5,( Yogyakarta : Kanisius tahun
1988) hal.191
b. Skunder
Aturan-aturan sekunder adalah sekelompok aturan yang
memberikan kekuasaan untuk mengatur penerapan aturanaturan hukum yang tergolong kedalam kelompok yang
sebelumnya (aturan-aturan primer). Aturan-aturan dapat
digolongkan kedalam kelompok ini adalah aturan yang
memuat prosedur bagi pengadopsian dan penerapan
hukum primer. Berisi syarat-syarat bagi pelakunya kaidahkaidah primer dan dengan demikian menampakkan sifat
yuridis
kaidah-kaidah itu. Dan di dalam peraturan
sekunder dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu; 15 a). Peraturan
Pengakuan, b). Peraturan Perubahan, dan c). Peraturan
Penilaian.
Peraturan-peraturan primer menentukan kelakuan-kelakuan
subjek-subjek hukum dalam perspektif Hart seperti yang telah
dijelaskan dalam The Concept of Law adalah pihak yang harus
terinternalisasi prinsip-prinsip moral. Karena Hart beranggapan
bahwa moral sebagai “nature of a rule”, seterusnya menjadi
aspek internal.16
dari suatu ketentuan, seperti yang
dikatakannya bahwa suatu hukum harus mengandung unsur
eksternal dan internal, aspek internalnya adalah moral dan
ketentuan sosial. Peraturan primer ini kurang lebih sama
dengan sopan santun atau etiket. Hart menyebutnya demikian
karena peraturan ini berfungsi sebagai prinsip pokok yang
menjadi panduan perilaku manusia. Tiga sifat dari norma
sekunder seperti disebutkan di atas merupakan norma dasar.
Disini pendapat Hart agak mirip dengan Kelsen, dalam
membahas tentang Groundnorm. Menurut Hart Norma dasar ini,
hanya berhubungan dengan pandangan eksternal terhadap
hukum dan dianggap sekadar suatu kenyataan. Jadi tidak
mengikat
secara
batiniah
seperti
Grundnorm.
Dalam
15
Peraturan pengakuan, peraturan pengakuan adalah peraturan yang berfungsi mengatasi
problem ketidak pastian peraturan primer; peraturan perubaha, peraturan perubahan adalah peraturan
yang berfungsi untuk mengatasi masalah berkaitan dengan siat status peraturan primer; dan peraturan
penilaian dan penyelesaian konfik, peraturan ini menetapkan mekanisme untuk mengatasi problem
inefensi dalam peraturan primer. http://ninetyninezert.wordpress.com/2012/11/28/positivisme-hukum-hl-a-hart/ , diakses Tgl. 19 juli 2018
16
“Hukum harus mengandung aspek internal yang terdiri dari moral dan ketentuan sosial.”
Konsep hukum Hart ini telah menyita perhatian para ahli hukum dan mereka berusaha memahaminya,
bahkan membuat komentar, di antaranya komentar Howard Davies dan David Holdcroft di dalam
“Jurisprudence: Texts and Commentary” (1991), yang paling menarik untuk dikaji dalam konsep hukum
Hart adalah mengenai moral yang terkandung dalam hukum. Loc. Cit; H.L.A. Hart, Konsep Hukum, hal.
28
memandang materi hukum, Hart berpendapat bahwa materi
hukum diturunkan dari prinsip-prinsip moral, termasuk prinsip
dari
kenyataan
hidup
tertentu.
Sekalipun
demikian,
sebagaimana penganut Positivisme Hukum, Hart membedakan
secara tegas antara hukum (dalam arti das Seein) dan moral (das
Seollen). Adapun yang disebut hukum, hanyalah menyangkut
aspek formal. Artinya, suatu hukum dapat saja disebut hukum,
walaupun secara material tidak layak untuk ditaati karena
bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.17
E.
PENUTUP
Herbert Lionel Adolphus Hart mengatakan, hukum harus dilihat
baik dari aspek eksternal maupun iternalnya. Dari segi
eksternal, berarti hukum dilihat sebagai perintah penguasa,
sebagaimana diartikan oleh Austin. Disamping itu, ada aspek
internal, yaitu keterikatan terhadap perintah dan penguasa itu
secara batiniah. Norma-norma hukum dapat dibagi dua, yaitu
norma primer dan sekunder. Norma primer adalah norma yang
menentukan kelakuan-kelakuan subjek-subjek hukum, dengan
Menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus tidak
dilakukan. norma sekunder ini memastikan syarat-syarat bagi
berlakuya norma-norma
primer dan
dengan
demikian
menampakkan sifat yuridis dari norma itu. Sebaba itu, mereka
disebut petunjuk pengenal (rulles of recognition). Disamping itu
mereka memastikan syarat bagi perubahan norma-norma itu)
(rules of change) dan bagi dipecahkannya konfik dalam rangka
norma-norma itu (rules of chnge) dan bagi dipecahkannya
konfik dalam rangka norma-norma itu (rules of adjudifcation).
17
188
Huijbers, T. flsafat Hukum dalam Lintasan Seejarah, Cet. Ke-5, (Kanisius, tahun.1988) hal.187-
DAFTAR PUSTAKA
Bernard L. Tanya, Makalah “Pengembangan Epistemologi
Ilmu Hukum”, disampaikan dalam seminar Nasional yang
bekerjasama dengan Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI)
dan Program Doktor (S3) Ilmu Hukum (AFHI) Sekolah
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta
April 2015.
H. L. A. Hart dalam ―Essay on Jurisprudence and
Philosophy”
H. L. A. Hart, ―The Concept of Law”, edisi kedua (Oxford:
Oxford University Press, 1994)
H.L.A. Hart, Konsep Hukum, Bandung: Nusamedia-Studio,
2010. Edisi Ke-2. Hal. 10. Diterjemahkan oleh M. Khozim dari
karya H.L.A Hart, The Concept of Law, New York: Clarendon
Press-Oxford, 1977.
http://ninetyninezert.clarendonpress.com/2012/11/28/
positivisme-hukum-h-l-a-hart/ diakses pada Tgl. 19 Juli 2018.
http://ninetyninezert.wordpress.com/2012/11/28/
positivisme-hukum-h-l-a-hart/ , diakses Tgl. 27 Des 2013
John Austin, ―The Province of Jurisprudence Determined”,
ed. H.L.A. Hart (London: Weidenfeld & Nicholson, 1954)
Petrus CKL Bello, Hubungan Hukum dan Moralitas
menurut H.L.A HART , tesis yang penulis ajukan dan
pertahankan pada program pasca sarjana SeTF Driyarkara
Jakarta 2014.
Huijbers, T. flsafat Hukum dalam Lintasan Seejarah, Cet.
Ke-5, (Yogyakarta Kanisius tahun.1988).
(BOOK REVIEW H.L.A HART)
Disusun Oleh:
A.HAMID
29173622
Program Pascasarjana S3
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh
Email: [email protected]
Dosen Pengasuh:
Prof. Dr. Faisal A.Rani. SH, MH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH
2018
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kehadhirat Allah
swt yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat kepada kita
semua, serta kesehatan dan kesempatan kepada penulis
sehingga telah dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini,
walaupun serba kekurangan dari segi ilmu bagi penulis
alhamdulillah makalah ini dapat selesai, Salawat serta salam
kita sampaikan kepada Rasulullah saw serta keluarga dan
sahabat beliau selalu tercurahkan.
Makalah ini membahas tentang kaidah ushul “Konsep
Hukum” yang penulis sampaikan sebagai bagian dari tugas mata
kuliah Teori Ilmu Fiqh/Hukum pada Program Pendidikan Doktor
S3 di Pascasarna UIN Ar-Raniry Banda Aceh tahun 2018.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada guru kami Prof.
Dr.Faisal A.Rani. SH, MH selaku dosen pengasuh mata kuliah
Teori Ilmu Fiqh/Hukum yang telah memberikan bimbingan dan
arahan kepada penulis dalam penyusunan makalah ini, tidak
lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang
masih dan selalu berkontribusi dalam penyusunan makah ini
hingga selesai. Penulis menyadari makalah ini masih sangat
kekurangan dan belum sempurna, maka disini masih diperlukan
kritik dan saran yang membangun.
Penulis
A.Hamid
A.
PENDAHULUAN
Dokumen yang berupa buku terjemahan Konsep Hukum
oleh M. Khozim dari judul asli The Concept of Law oleh H. L. A.
Hart. Tertulis dalam buku ini bahwa buku ini seperti kitab suci
dalam ilmu hukum yang selalu menjadi rujukan utama kaum
intelektual di dunia dari diterbitkannya buku tersebut hingga
sekarang. Jadi buku terjemahan buku ini sangatlah penting dan
diminati. Sehingga peneliti menggunakan buku tersebut dalam
penelitian ini untuk meneliti terjemahannya. Penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling atau dinyatakan juga
sebagai criterion-based sampling. Sampling dilakukan agar
sampel yang diperoleh dapat mengantarkan peneliti mencapai
tujuan peneliti. Jadi, dalam penelitian kualitatif, cuplikan yang
diambil lebih bersifat selektif. Pilihan sampel diarahkan pada
sumber data yang dipandang memiliki data penting yang
berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Sampel
ditentukan dari sumber data yang telah diseleksi secara matang
berdasarkan pertimbangan dalam bentuk kriteria-kriteria
tertentu yang disusun oleh peneliti (Sutopo, 2006: 64). Data
yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini merupakan
data kualitatif yang berupa data ortografs, kata, frasa, klausa,
dan kalimat dalam buku The Concept of Law oleh H. L. A. Hart,
versi bahasa bahasa Indonesia.
B.
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan jenis penelitian tidak selalu bersifat geografs
atau demografs. Media pun bisa menjadi lokasi penelitian. Oleh
karena itu, lokasi penelitian dalam penelitian ini mengambil
media berupa buku The Concept of Law oleh H. L. A Hart. Buku
ini merupakan buku ilmu hukum, berisi mengenai pemahaman
hukum, paksaan, dan moralitas sebagai hal yang berbeda namun
terkait dengan gejala sosial serta membahas klarifkasi kerangka
umum pemikiran hukum, kritik hukum atau kebijakan hukum.
karena penelitian ini mengenai kajian hukum, tepatnya kajian
penerjemahan dalam ilmu tertentu atau khusus, yaitu hukum.
Kejadian yang terkandung dalam buku The Concept of Law
adalah pemahaman dan penjelasan mengenai pemikiran hukum,
serta mengenai hukum, paksaan, dan moralitas sebagai hal yang
berbeda namun terkait dengan gejala sosial. Lebih jauh, buku
The Concept of Law dipilih dan digunakan sebagai lokasi
penelitian karena;
1). Buku ini merupakan produk ilmu khusus mengenai teori
hukum, dimana kajian penerjemahan bidang ini masih jarang
diangkat sebagai penelitian. Dengan demikian, buku ini
diharapkan
menyediakan
banyak
unsur-unsur
bahasa
berhubungan dengan hukum baik dalam bahasa Inggris atau
Bahasa Sumber maupun terjemahannya dalam Bahasa Sasaran
atau Bahasa Indonesia;
2). Buku The Concept of Law disebut sebagai kitab suci
dalam ilmu hukum. Karya tersebut selalu menjadi rujukan utama
kaum
intelektual
hingga
sekarang.
Buku
ini
telah
diterjemahknan ke berbagai bahasa di dunia. Dengan demikian,
ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya buku tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian di bidang pengkajian
analisis data yang berada pada tataran atau berbentuk kata,
frasa, klausa, maupun kalimat. Menurut Bogdan dan Taylor
dalam Moleong (2008: 4), penelitian kualitatif adalah penelitian
yang menghasilkan data berupa kata-kata, kalimat, atau gambar
yang memiliki arti lebih daripada sekedar angka-angka atau
frekuensi. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif karena
penelitian kualitatif itu sendiri memiliki ciri deskriptif. Data yang
muncul dari penelitian kualitatif itu bersifat deskriptif, yaitu
data dilaporkan melalui kata-kata. Cresswell (1994: 145)
mengatakan bahwa “Qualitative research itself is descriptive in
that the researcher is interested in process, meaning, and
understanding gained through words or utterances.” Jadi
penelitian deskriptif kualitatif merupakan pemaparan deskripsi
dari analisa terhadap teks dalam segala bentuknya untuk
membantu penjabaran hasilnya.
C.
PEMBAHASAN
Buku yang berhasil membawa nama Hart berkibar di
jajaran para teoritikus hukum mutakhir adalah The Concept of
Law, Melalui buku tersebut Hart mengangkat tiga pertanyaan
penting dalam flsafat hukum, yakni Bagaimana hukum berbeda
dari dan bagaimana ia terkait dengan perintah yang ditopang
oleh ancaman? Bagaimana kewajiban hukum berbeda dari, dan
bagaimana ia terkait dengan kewajiban moral? Apa itu
peraturan dan sampai sejauh mana hukum merupakan persoalan
mengenai peraturan.1 Hart mengklaim dirinya sudah menjawab
tiga pertanyaan penting tersebut dan karena itu ia telah
memecahkan teka-teki yang ada dalam flsafat hukum.
Herbert Lionel Adolphus Hart mengatakan, hukum harus
dilihat baik dari aspek eksternal maupun iternalnya. Dari segi
eksternal, berarti hukum dilihat sebagai perintah penguasa,
sebagaimana diartikan oleh Austin. Disamping itu, ada aspek
internal, yaitu keterikatan terhadap perintah dan penguasa itu
secara batiniah. Norma-norma hukum dapat dibagi dua, yaitu
norma primer dan sekunder. Norma primer adalah norma yang
menentukan kelakuan-kelakuan subjek-subjek hukum, dengan
Menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus tidak
dilakukan.norma sekunder ini memastikan syarat-syarat bagi
berlakuya norma-norma
primer dan
dengan
demikian
menampakkan sifat yuridis dari norma itu. Sebab itu, mereka
disebut petunjuk pengenal (rulles of recognition). Disamping itu
mereka memastikan syarat bagi perubahan norma-norma itu)
(rules of change) dan bagi dipecahkannya konfik dalam rangka
norma-norma itu (rules of chnge) dan bagi dipecahkannya
konfik dalam rangka norma-norma itu (rules of adjudifcation) 2
D.
HAKIKAT HUKUM
1. Hukum sebagai Perintah dan kebiasaan
Dalam upaya menjelaskan hakikat hukum, Hart berangkat dari
pandangan positivisme Austin. Austin mendefnisikan hukum
sebagai ―Perintah dari orang seorang raja atau orang yang
1
H. L. A. Hart, ―The Concept of Law”, edisi kedua (Oxford: Oxford University Press, 1994), hal.
13
2
Huijbers, T. flsafat Hukum dalam Lintasan Seejarah, Cet. Ke-5, (Yogyakarta : Kanisius tahun
1988) hal. 187
berdaulat, yang secara politik superiror. 3 Yang superior ini
bisa berupa seorang individu atau sekelompok orang yang
memiliki kekuasaan untuk memberi sanksi. Superioritas dari
individu atau sekelompok orang itu menurut Austin ditandai
oleh dua ciri utama: (1) terdapat warga yang memiliki
kebiasaan patuh terhadap perintah yang dikeluarkan yang
superior, dan (2) yang superior tidak tunduk terhadap orang
lain.4 Dua ciri ini menandai supremasi dan independensi
hukum dalam sebuah masyarakat Menurut Hart konsep
hukum Austin seperti disebutkan di atas dapat dianalogikan
sebagai perintah dari orang bersenjata. Dalam situasi tersebut
seorang yang bersenjata memerintahkan korbannya untuk
melakukan
atau
tidak
melakukan
tindakan
tertentu
(diharuskan menyerahkan uang atau dilarang berteriak,
misalnya). Perintah penodong tersebut wajib dilakukan dan
jika dilanggar maka ada konsekeunsi yang harus dibayar si
tertodong. Demikian pula hukum.
Hans Kelsen dalam teori hukumnya the Pure Theory of
Law memiliki persamaan mendasar tentang hukum dengan
apa yang diungkapkan oleh H.L.A Hart yang ingin berusaha
menjawab pertanyaan tentang “apa hukum itu?” tetapi bukan
pertanyaan “apa hukum itu seharusnya”. Kongkritnya dalam
perspektif Hart mengenai pertanyaan “hakikat hukum” di atas
adalah tentang bagaimana hukum dan kewajiban hukum
berbeda dari, dan bagaimana kaitannya dengan perintahperintah yang ditopang oleh ancaman.5.
Hukum memerintahkan orang untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Perintah tersebut bersifat wajib dan
pelanggaran terhadapnya akan dikenai sanksi, berupa denda
atau kurungan badan. Namun menurut Hart analogi hukum
dengan situasi penodongan, di mana di dalamnya terdapat
perintah yang wajib dijalankan dan pemberian sanksi, tidaklah
tepat. Hart menunjukkan tiga perbedaan signifkan antara
hukum dan perintah.7 Pertama, perintah hanya mewajibkan
3
John Austin, ―The Province of Jurisprudence Determined”, ed. H.L.A. Hart (London:
Weidenfeld & Nicholson, 1954), hal. 134.
4
John Austin,The Province ...hal. 134.
5
H.L.A. Hart, Konsep Hukum, Bandung: Nusamedia-Studio, 2010. Edisi Ke-2. Hal. 10.
Diterjemahkan oleh M. Khozim dari karya H.L.A Hart, The Concept of Law, New York: Clarendon PressOxford, 1977.
kepada orang yang diperintah, tapi hukum, bahkan hukum
pidana yang paling mendekati perintah sebagaimana
digambarkan Austin, tidak saja menimpakan kewajiban
kepada warga negara biasa tapi juga kepada para
pembuatnya. Kedua, ada banyak aturan hukum yang tidak
mirip perintah dari segi bahwa aturan tersebut tidak
menuntut orang untuk melakukan sesuatu, melainkan
memberikan kekuasaan pada mereka. Aturan tersebut
memfasilitasi orang untuk menciptakan hak dan kewajiban
hukum. Misalnya, sebuah aturan tentang perjanjian atau
kontrak.
Aturan jenis terakhir ini tidak menuntut orang dengan
ancaman tertentu. Sebaliknya, aturan tersebut menjamin
warga negara untuk secara bebas menciptakan kesepakatan
hukum diantara mereka. Ketiga, peraturan hukum tidak selalu
berasal dari tindakan perundangan yang yang disengaja.
Dalam sistem common-law kebiasaan sering menjadi sumber
hukum yang penting. Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa hukum yang dipahami sebagai perintah yang disertai
sanksi tidak dapat memberi kita pemahaman yang memadai
tentang hukum.
Seperti dijelaskan di atas model tersebut telah mereduksi
penerapan, cakupan, dan asal-usul hukum. Karena alasan ini
Hart berupaya mencari ciri lain yang dapat
mengantarkan
pemahaman yang lebih baik terhadap hukum. Jika perintah
yang disertai ancaman bukan karakter dari hukum, maka apa
karakter dari hukum? Dengan kata lain, apa yang menjadikan
hukum sebagai hukum?, H.L.A Hart mengungkapkan, terdapat
pemisahan antara hukum dan moralitas, namun pemisahan
yang tidak ekstrim karena moralitas harus menjadi syarat
minuman dari hukum. Hal ini disebabkan karena dua faktor: 6
a). Manusia memiliki keterbatasan berbuat baik pada orang
lain: dan b). Hukum memiliki keterbatasan dalam mengatur
perkembangan masyarakat. Hart menambahkan, pemikiran
hukum erat kaitannya dengan moral merupakan cara berpikir
dalam aliran hukum alam.
6
Bernard L. Tanya, Makalah “ Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum”, disampaikan dalam
seminar Nasional yang bekerjasama dengan Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) dan Program
Doktor (S3) Ilmu Hukum (AFHI) Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta
April 2015.
Dalam aliran hukum positif, hukum dan moral sama sekali
tidak ada kaitannya. Hal ini dapat diamati dengan ciri-ciri
pengertian
positivisme
hukum
sebagaimana
yang
dikemukakan oleh H.L.A Hart antara lain: 1). Hukum adalah
perintah dari manusia (command of human being); 2). Tidak
ada hubungan mutlak antara “Hukum/law” dan “Moral”
sebagaimana yang berlaku/ ada dan hukum yang seharusnya;
3). Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum, pertama;
mempunyai arti penting, kedua; harus dibedakan dari
penyelidikan seperti a). Historis mengenai sebab musabab dan
sumber-sumber hukum; b). Sosiologis mengenai hubungan
hukum dengan gejala sosial lainnya; c). Penyelidikan hukum
secara kritis atau penilaian, baik yang didasarkan moral,
tujuan sosial, dan fungsi hukum; 4). Sistem hukum adalah
sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana
keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat
diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan
hukum
yang
telah
ditentukan
sebelumnya
tanpa
memperhatikan tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran
moral.7
2. Hukum dan Moral
Dalam pandangan Hart penegasan bahwa di antara hukum
dan moralitas ada suatu hubungan yang perlu atau mutlak
memiliki banyak ragam pemahaman yang penting namun
tidak semua hubungan itu terlihat jelas. Berangkat dari
ketidakjelasan
ini
Hart
berupaya
menunjukkan
dan
mengevaluasi alasan-alasan yang mendasari pandangan
tersebut. Menurutnya, tak satu pun alasan yang diajukan
untuk menunjukkan hubungan mutlak itu memadai meskipun
ia mengakui beberapa segi dari argumen yang dikemukakan
memiliki kebenaran, sesuai dengan beberapa fakta yang dapat
dijumpai dalam sistem hukum. Hart mengakui bahwa hukum,
keadilan, dan moral memiliki hubungan yang sangat dekat.
Bahkan salah
satu aspek keadilan, yaitu
keadilan
adminsitratif, dan dalam hukum kodrat minimum, hukum dan
moralitas berhubungan secara mutlak‘. Keadilan administratif
7
http://ninetyninezert.clarendonpress.com/2012/11/28/positivisme-hukum-h-l-a-hart/diakses
pada Tgl. 19 Juli 2018.
yang dimaksud di sini tidak lain keadilan dalam penerapan
hukum.
Penerapan hukuman terhadap seseorang hanya didasarkan
pada karakteristik yang disebutkan dalam hukum. Hukum
tentang
pembunuhan,
misalnya,
menyebutkan
bahwa
seseorang yang secara sengaja menghilangkan nyawa orang
lain dihukum lima belas tahun, maka dari ketentuan ini kita
akan tahu mana karakteristik yang relevan dan tidak relevan
untuk untuk menghukum pelaku pembunuhan. Warna kulit
dan jenis rambut pelaku tidak relevan; sementara keputusan
atau niat orang tersebut relevan. Jika dalam memutuskan
kasus tertentu karakteristik yang disebutkan dalam hukum itu
diabaikan, maka penerapan hukuman dianggap tidak adil.
Keadilan dalam penerapan hukum ini menurut Hart
memiliki hubungan yang mutlak dengan hukum. Namun,
hubungan mutlak ini hanya menyangkut administrasi hukum
dan keadilan jenis ini bisa juga dapat terjadi dalam sebuah
sistem hukum yang di dalamnya penuh dengan hukum yang
tidak adil. Selain dalam administrasi hukum Hart juga
mengakui hubungan penting antara hukum dan moralitas
dalam hukum kodrat minimum.
Hukum kodrat minimum tidak lain pandangan Hart sendiri
mengenai kodrat manusia yang berbeda dengan hukum kodrat
klasik. Menurutnya kodrat manusia yang paling dasar adalah
bertahan hidup, sebab dengan bertahan hidup manusia dapat
memenuhi tujuan hidup lainnya. Untuk dapat beratahan
hidup, di samping memerlukan ketersediaan bahan konsumsi,
manusia juga memerlukan aturan yang dapat menjaga
kehidupan bersama mereka. Di sinilah moralitas dan hukum
bertemu; kedua aturan ini, meski berbeda, sama-sama
menuntut hal yang sama, yaitu terpeliharanya kehidupan
bersama manusia. Namun, hubungan mutlak antara hukum
dan moraltias dalam hukum kodrat minimum ini menurutnya
bukan kemutlakan logis, melainkan kemutlakan alamiah‘.
Disebut mutlak alamiah karena kemutlakan hubungan itu
didasarkan pada kondisi alamiah kehidupan manusia itu
sendiri.8 Artinya, selama kondisi kehidupan manusia tidak
8
Adapun kondisi alamiah yang dimaksud Hart adalah sebagai berikut: pertama, manusia itu
lemah. Manusia dapat disakiti dan dibunuh. Kedua, manusia hampir setara. Ketiga, manusia memiliki
mengalami perubahan, maka hukum dan moralitas akan
berhubungan mutlak. Hart hanya mengakui hubungan mutlak‘
hukum dan moralitas dalam hukum kodrat minimum dan
administrasi hukum, dan hal itu seperti telah disebutkan,
bukan mutlak logis seperti yang dianggap selama ini. Dalam
The Concept of Law, Hart menguji enam alasan lain yang
dijadikan dasar untuk menunjukkan adanya hubungan mutlak
antara hukum dan moralitas.
Pertama, kekuasaan dan otoritas. Poin pertama mengenai
adanya hubungan mutlak antara hukum dan moralitas
berhubungan dengan isu kekuasaan dan otoritas. Dalam
pandangan Hart pendapat yang menekankan adanya
kesesuain antara kewajiban hukum dan moralitas adalah
pandangan yang tidak memadai. Hart setuju bahwa sebuah
sistem hukum tidak bisa berdiri hanya berlandaskan pada
kekuasaan orang atas orang lain. Sebab itu Hart menolak teori
Austin yang memahami esensi hukum sebagai perintah yang
disertai ancaman. Untuk bisa berjalan secara wajar sebuah
sistem hukum tidak hanya berdasarkan kekuasaan tapi juga
penerimaan sukarela dari orang yang ada dalam sistem
tersebut. Namun menurut Hart dikotomi antara hukum yang
berdasarkan hanya pada kekuasaan dan hukum yang diterima
sebagai hal yang mengikat secara moral bukanlah dikotomi
yang lengkap (exhaustive).
Kedua, pengaruh moralitas terhadap hukum. Hukum dan
moralitas memiliki hubungan yang mutlak karena keduanya
memiliki hubungan timbal balik. Moralitas suatu masyarakat
mepengaruhi produk hukum dan hukum memengaruhi
pandangan baik dan buruk masyarakat tersebut. Jika ini yang
dimaksud dengan hubungan mutlak antara hukum dan
moralitas maka Hart dengan sepenuh hati menerimanya. 9
Bahkan lebih jauh Hart berpendapat bahwa tak seorang
positivis pun menolak adanya fakta bahwa pandangan moral
dapat masuk ke dalam hukum.
Ketiga, interpretasi. Hart mengakui penerapan hukum
pada kasus yang samar-samar akan melibatkan pertimbangan
altruisme terbatas. Keempat, manusia memiliki sumber kehidupan terbatas. Dan kelima, manusia
memiliki pemahaman dan kehendak yang terbatas. Ibid., hal. 193-200
9
Ibid., hal. 203-204; Lihat juga H. L. A. Hart dalam ―Essay on Jurisprudence and Philosophy”,
hal. 54
tertentu, pertimbangan yang menunjukkan bagaimana hukum
seharusnya. Keputusan yang diberikan hakim pada kasus
tertentu, menurut Hart, tidak semata berdasarkan pada
kesewenang-wenangan, melainkan dibimbing oleh prinsipprinsip, kebijakan sosial, dan kepercayaan moral; hukum yang
ada dan hukum yang seharusnya berkelindan dalam
penafsiran hukum.
Keempat, kritik hukum.10 Pengertian lain yang mungkin
muncul dari pernyataan hukum memiliki hubungan mutlak
dengan moralitas adalah bahwa sebuah sistem hukum yang
baik harus sejalan dengan moralitas. Hart juga menerima
pengertian ini dengan beberapa catatan. Hart berpendapat
jika yang dimaksud moralitas di sini adalah moralitas yang
berlaku dalam sebuah masyarakat maka sistem hukum tidak
perlu menyesuaikan sepenuhnya dengan moralitas tersebut.
Kemudian jika moralitas yang dimaksud adalah sistem
moralitas yang umum dan tercerahkan, maka banyak sistem
hukum berjalan tanpa unsur-unsur ini. Dengan demikian, Hart
tidak menolak sebuah sistem hukum sejalan dengan moralitas,
tapi ia berpandangan bahwa tidak semua sistem hukum harus
sesuai dengan moralitas. Karena itu hubungan keduanya tidak
mutlak.
Kelima, prinsip legalitas dan keadilan. Agar hukum bisa
diterapkan secara efektif, hukum harus dipahami oleh semua
orang, diketahui sebelum diundangkan, prospektif, diterapkan
secara sama terhadap semua orang, diterapkan secara
imparsial, dan seterusnya. Bagi sebagian orang adanya
elemen-elemen tersebut menunjukkan kemutlakan hubungan
hukum dan moralitas atau, seperti disebut Lon Fuller, elemenelemen tersebut merupakan ―moralitas dalam (inner
morality) hukum. Namun bagi Hart, elemen-elemen tersebut
juga ada dalam sebuah sistem hukum yang secara moral
jahat.11
Keenam, validitas hukum dan resistensi. Argumentasi
terakhir untuk mendukung tesis kesatuan hukum dan
moralitas berkaitan dengan pembangkangan terhadap hukum
10
11
H. L. A. Hart, Op. Cit., hal. 205.
H. L. A. Hart, Op. Cit., hal. 206.
yang jahat. Menurut para pendukung teori hukum kodrat,
positivisme hukum akan menghalangi orang untuk menentang
hukum yang ditetapkan secara valid tapi berlawanan dengan
moral dan keadilan.
Walaupun kemudian Hart menyadari keterbatasan dalam
ukum positif karena “dianggap” selalu tertinggal di belakang
kejadian. Oleh sebab itu, maka diberikanlah ruang bagi moral
sebagai landasan yang harus dimiliki oleh pelaksana
hukum/subjek hukum berupa “kewajiban moral” untuk
mengambil tindakan-tindakan hukum. Menurut Hart, penilaian
moral ada pada tataran individual dan dengannya manusia
bisa menentukan apakah hukum yang berlaku adil atau tidak.
Jika tidak, maka manusia tidak mempunyai kewajiban untuk
mematuhinya dan kalau perlu melawan terhadap hukum yang
tidak adil tersebut. Jadi, meski memiliki perbedaan pandangan
mengenai relasi antara hukum dan moralitas, baik teori
hukum kodrat maupun positivisme hukum tidak sependapat
dengan Sokrates. Bagi keduanya Sokrates tidak memiliki
kewajiban moral untuk mematuhi hukum yang tidak adil.
4. Peraturan Primer dan Skunder
a. Primer
H.L.A Hart dalam karyanya “The Concept of Law” (1988).
Hart menjelaskan bahwa pertama-tama hukum harus
dipahami
sebagai
sistemperaturan.12
Melihat
dari
pernyataan Hart bahwa pertama-tama hukum harus
dipahami sebagai suatu sistem peraturan, ia membagi dua
dalam konsep hukumnya tentang peraturan itu, yaitu: 13
Selain aturan primer sebuah sistem hukum juga memiliki
bentuk aturan lain, yakni aturan sekunder. Aturan
sekunder yang dimaksud di sini tidak lain landasan dari
aturan primer itu sendiri. Hart membagi aturan sekunder
ke dalam tiga jenis, yaitu aturan pengakuan (rule of
12
http://ninetyninezert.clarendonpress.com/2012/11/28/positivisme-hukum-h-l-a-hart/ , diakses
Tgl. 19 Juli 2018
13
Petrus CKL Bello, Hubungan Hukum dan Moralitas menurut H.L.A HART , Alumnus program
pasca sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan alumnus pasca sarjana Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara Jakarta. Selain sebagai dosen flsafat hukum di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia
(UKI) Jakarta penulis juga adalah praktisi hukum di Jakarta. Tulisan ini merupakan versi ringkas dari
judul tesis yang penulis ajukan dan pertahankan pada program pasca sarjana SeTF Driyarkara Jakarta
2014. Hal. 4-5
recognition), aturan perubahan (rule of change), dan
aturan pemutusan (rule of adjudication). Ketiga aturan
tersebut menurut Hart merupakan syarat adanya sebuah
sistem hukum. Karena itu, tanpa adanya aturan sekunder
tidak akan ada sistem hukum sebagaimana kita jumpai
dalam kehidupan modern.
Peraturan primer terdiri dari standar-standar bagi tingkah
laku yang membebankan berbagai kewajiban. Peraturanperaturan primer menentukan kelakuan-kelakuan subjeksubjek hukum, dengan menyatakan apa yang harus
dilakukan, apa yang dilarang. Aturan yang masuk dalam
jenis ini muncul sebagai akibat dari kebutuhan masyarakat
itu sendiri. Adapun kekuatan mengikat dari berbagai
aturan jenis ini didasarkan dari penerimaan masyarakat
secara mayoritas.
Aturan primer yang dimaksud Hart adalah aturan-aturan
yang menimpakan kewajiban (obligation). Aturan tersebut
merupakan standar dalam kehidupan sebuah masyarakat.
Bagi masyarakat yang hidup dalam sebuah sistem hukum,
aturan primer itu tidak lain adalah aturan tertulis seperti
undang-undang, keputusan presiden, dll. Aturan primer,
singkatnya, adalah aturan yang menimpakan kewajiban
terhadap orang yang hidup dalam sebuah sistem hukum.
Jika rules of recognition memuat ketentuan yang
menjelaskan apa yang d173imaksud oleh norma primer,
sedangkan rules of change mengesahkan adanya norma
primer yang baru, sedangkan rulers of adjudication berisi
aturan yang menentukan apakah suatu norma primer telah
dilanggar. Dapat dikatakan bahwa norma-norma sekunder
ada hubungannya dengan kompetensi dalam bidang
hukum. Norma-norma itu menentukan kewibawaan
instansi-instansi hukum untuk membentuk hukum. Artinya,
berkat norma-norma sekunder dalam aturan hukum sebuah
masyarakat orang tertentu menerima suatu tugas dan
kewibawaan untuk mengeluarkan norma-norma yang
berlaku, untuk mengubahnya, dan untuk memecahkan
masalah-masalah hukum.14
14
Huijbers, T. flsafat Hukum dalam Lintasan Seejarah, Cet. Ke-5,( Yogyakarta : Kanisius tahun
1988) hal.191
b. Skunder
Aturan-aturan sekunder adalah sekelompok aturan yang
memberikan kekuasaan untuk mengatur penerapan aturanaturan hukum yang tergolong kedalam kelompok yang
sebelumnya (aturan-aturan primer). Aturan-aturan dapat
digolongkan kedalam kelompok ini adalah aturan yang
memuat prosedur bagi pengadopsian dan penerapan
hukum primer. Berisi syarat-syarat bagi pelakunya kaidahkaidah primer dan dengan demikian menampakkan sifat
yuridis
kaidah-kaidah itu. Dan di dalam peraturan
sekunder dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu; 15 a). Peraturan
Pengakuan, b). Peraturan Perubahan, dan c). Peraturan
Penilaian.
Peraturan-peraturan primer menentukan kelakuan-kelakuan
subjek-subjek hukum dalam perspektif Hart seperti yang telah
dijelaskan dalam The Concept of Law adalah pihak yang harus
terinternalisasi prinsip-prinsip moral. Karena Hart beranggapan
bahwa moral sebagai “nature of a rule”, seterusnya menjadi
aspek internal.16
dari suatu ketentuan, seperti yang
dikatakannya bahwa suatu hukum harus mengandung unsur
eksternal dan internal, aspek internalnya adalah moral dan
ketentuan sosial. Peraturan primer ini kurang lebih sama
dengan sopan santun atau etiket. Hart menyebutnya demikian
karena peraturan ini berfungsi sebagai prinsip pokok yang
menjadi panduan perilaku manusia. Tiga sifat dari norma
sekunder seperti disebutkan di atas merupakan norma dasar.
Disini pendapat Hart agak mirip dengan Kelsen, dalam
membahas tentang Groundnorm. Menurut Hart Norma dasar ini,
hanya berhubungan dengan pandangan eksternal terhadap
hukum dan dianggap sekadar suatu kenyataan. Jadi tidak
mengikat
secara
batiniah
seperti
Grundnorm.
Dalam
15
Peraturan pengakuan, peraturan pengakuan adalah peraturan yang berfungsi mengatasi
problem ketidak pastian peraturan primer; peraturan perubaha, peraturan perubahan adalah peraturan
yang berfungsi untuk mengatasi masalah berkaitan dengan siat status peraturan primer; dan peraturan
penilaian dan penyelesaian konfik, peraturan ini menetapkan mekanisme untuk mengatasi problem
inefensi dalam peraturan primer. http://ninetyninezert.wordpress.com/2012/11/28/positivisme-hukum-hl-a-hart/ , diakses Tgl. 19 juli 2018
16
“Hukum harus mengandung aspek internal yang terdiri dari moral dan ketentuan sosial.”
Konsep hukum Hart ini telah menyita perhatian para ahli hukum dan mereka berusaha memahaminya,
bahkan membuat komentar, di antaranya komentar Howard Davies dan David Holdcroft di dalam
“Jurisprudence: Texts and Commentary” (1991), yang paling menarik untuk dikaji dalam konsep hukum
Hart adalah mengenai moral yang terkandung dalam hukum. Loc. Cit; H.L.A. Hart, Konsep Hukum, hal.
28
memandang materi hukum, Hart berpendapat bahwa materi
hukum diturunkan dari prinsip-prinsip moral, termasuk prinsip
dari
kenyataan
hidup
tertentu.
Sekalipun
demikian,
sebagaimana penganut Positivisme Hukum, Hart membedakan
secara tegas antara hukum (dalam arti das Seein) dan moral (das
Seollen). Adapun yang disebut hukum, hanyalah menyangkut
aspek formal. Artinya, suatu hukum dapat saja disebut hukum,
walaupun secara material tidak layak untuk ditaati karena
bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.17
E.
PENUTUP
Herbert Lionel Adolphus Hart mengatakan, hukum harus dilihat
baik dari aspek eksternal maupun iternalnya. Dari segi
eksternal, berarti hukum dilihat sebagai perintah penguasa,
sebagaimana diartikan oleh Austin. Disamping itu, ada aspek
internal, yaitu keterikatan terhadap perintah dan penguasa itu
secara batiniah. Norma-norma hukum dapat dibagi dua, yaitu
norma primer dan sekunder. Norma primer adalah norma yang
menentukan kelakuan-kelakuan subjek-subjek hukum, dengan
Menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus tidak
dilakukan. norma sekunder ini memastikan syarat-syarat bagi
berlakuya norma-norma
primer dan
dengan
demikian
menampakkan sifat yuridis dari norma itu. Sebaba itu, mereka
disebut petunjuk pengenal (rulles of recognition). Disamping itu
mereka memastikan syarat bagi perubahan norma-norma itu)
(rules of change) dan bagi dipecahkannya konfik dalam rangka
norma-norma itu (rules of chnge) dan bagi dipecahkannya
konfik dalam rangka norma-norma itu (rules of adjudifcation).
17
188
Huijbers, T. flsafat Hukum dalam Lintasan Seejarah, Cet. Ke-5, (Kanisius, tahun.1988) hal.187-
DAFTAR PUSTAKA
Bernard L. Tanya, Makalah “Pengembangan Epistemologi
Ilmu Hukum”, disampaikan dalam seminar Nasional yang
bekerjasama dengan Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI)
dan Program Doktor (S3) Ilmu Hukum (AFHI) Sekolah
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta
April 2015.
H. L. A. Hart dalam ―Essay on Jurisprudence and
Philosophy”
H. L. A. Hart, ―The Concept of Law”, edisi kedua (Oxford:
Oxford University Press, 1994)
H.L.A. Hart, Konsep Hukum, Bandung: Nusamedia-Studio,
2010. Edisi Ke-2. Hal. 10. Diterjemahkan oleh M. Khozim dari
karya H.L.A Hart, The Concept of Law, New York: Clarendon
Press-Oxford, 1977.
http://ninetyninezert.clarendonpress.com/2012/11/28/
positivisme-hukum-h-l-a-hart/ diakses pada Tgl. 19 Juli 2018.
http://ninetyninezert.wordpress.com/2012/11/28/
positivisme-hukum-h-l-a-hart/ , diakses Tgl. 27 Des 2013
John Austin, ―The Province of Jurisprudence Determined”,
ed. H.L.A. Hart (London: Weidenfeld & Nicholson, 1954)
Petrus CKL Bello, Hubungan Hukum dan Moralitas
menurut H.L.A HART , tesis yang penulis ajukan dan
pertahankan pada program pasca sarjana SeTF Driyarkara
Jakarta 2014.
Huijbers, T. flsafat Hukum dalam Lintasan Seejarah, Cet.
Ke-5, (Yogyakarta Kanisius tahun.1988).