Seni Islam di Indonesia Seni

Seni Islam di Indonesia

S

eni adalah sesuatu hasil karya manusia yang indah, baik
dalam bentuk materiil, maupun nonmateriil, sedangkan
budaya adalah salah satu hasil peradaban seni. Islam pun

mengenal yang namanya seni, yang pada hakikatnya merujuk pada
sesuatu yang bagus dan indah. Pada Q.S. As-Sajdah [32] : 7
disebutkan,

“Yang

memperbagus

sesuatu

yang

Dia


ciptakan,”

sedangkan dalil hadis menyebutkan, “Sesungguhnya Allah itu indah,
Dia menyukai keindahan.”
Budaya Islam Indonesia tidak sehebat seperti Kerajaan Mughal
di India dengan Taj Mahal-nya. Hal ini disebabkan Islam masuk ke
Indonesia

dengan

jalan

damai

sehingga

seni

Islam


harus

menyesuaikan diri dengan kebudayaan lama, dan Nusantara adalah
negeri yang merupakan jalur perdagangan internasional, sehingga
penduduknya lebih mementingkan masalah perdagangan daripada
kesenian. Islam datang ke Indonesia memberikan perubahan dalam
bidang seni, misalnya, penggunaan batu nisan, seni bangunan,seni
sastra, dan seni ukir.

1

Batu Nisan
Kebudayaan Islam dalam bidang seni, mula-mula masuk ke
Indonesia dalam bentuk batu nisan. Batu nisan pada masa itu adalah
sesuatu yang baru. Kebudayaan terdahulunya, yaitu Budha dan
Hindu, penganutnya jika meninggal dibakar, dan abunya dibuang ke
laut.
Di Pasai masih dijumpai batu
nisan makam Sultan Malik al-Saleh

yang wafat tahun 1292, dan di Jawa,
seperti

makam

Maulana

Malik

Ibrahim di Gresik. Nisan itu umumnya
didatangkan

dari

Gujarat

sebagai

barang pesanan. Bentuknya lunas (bentuk badan kapal terbalik) yang
mengesankan pengaruh Persia. Bentuk-bentuk nisan kemudian hari

tidak selalu demikian. Pengaruh kebudayaan setempat sering
mempengaruhi, sehingga ada bentuk teratai, keris, atau bentuk
gunungan, seperti gunungan pewayangan. Di Troloyo, Sulawesi
Selatan, batu nisan menjadi hasil kesenian tersendiri, baik karena
bentuknya atau karena ukurannya.

2

Arsitektur (Seni Bangunan)
Indonesia tidak memiliki satu corak seperti Ottoman style,
India Style, atau Syro Egypto Style. Kegiatan keagamaan Islam di
Indonesia diadakan di masjid atau mushalla.
Pada mulanya, bentuk masjid di Indonesia banyak dipengaruhi
oleh seni bangunan Indonesia-Hindu. Setelah Indonesia merdeka dan
dapat berhubungan dengan negara lain, maka unsur lama secara
berangsur-angsur hilang. Masjid yang menyerupai Taj Mahal India
adalah Masjid Syuhada (gambar 1) di Yogyakarta dan Masjid Al-Azhar
(gambar 2) di Jakarta.

Masjid Al-Azhar


Bentuk

masjid

yang

Masjid Syuhada

terpengaruhi Ottoman style (Byzantium) seperti tampak pada Masjid
Istiqlal yang bentuk kubahnya setengah lingkaran ditopang oleh pilarpilar yang tinggi besar. Bentuk masjid dengan kusen-kusen meruncing
meniru gaya India seperti Masjid al-Tien di TMII.

3

Seni Sastra
Nabi Muhammad saw. Bersabda sebenar-benarnya ungkapan
yang dituturkan oleh seorang penyair ialah kata-kata dari Lubayd
yang menyatakan, “Ingatlah, segala sesuatu selain Allah adalah
binasa (batil).”1 Dalam riwayat lain disebutkan, “Sesungguhnya

sebagian dari kefasihan lidah adalah sebuah sihir dan sebagian syair
adalah sebuah hikmah.”
Seni

sastra

dalam

Islam

diperbolehkan

dalam

batasan

mengingat Allah swt. Bidang sastra Indonesia banyak pengaruhnya
dari Persia, antara lain buku-buku yang kemudian disadur ke dalam
bahasa Indonesia, seperti Kaulah wa Dimnah, Bayam Budiman, Abu
Nawas, dan Kisah Seribu Satu Malam. Kesusatraan Islam Indonesia

adalah syair sufi yang dikarang oleh Hamzh Fansuri seperti Syair
Perahu.

Kaligrafi

Arab

merupakan

bagian

dari

seni

khath.

Dibandingkan dengan negara Islam lainnya, khath di Indonesia tidak
begitu menarik. Pernah pada awal kedatangannya digunakan untuk
mengukir nama dan menulis ayat Al-Qur’an di makam-makan

tertentu, seperti makam wali Maulana Malik Ibrahim di Gresik dan
makam raja Pasai. Di makam itu ditulis dengan huruf arab yang
indah, seperti nama, hari, dan tahun wafat, serta ayat-ayat Al-Quran.
Masjid-masjid lama seperti di Banten, Cirebon, Demak, dan Kudus
menerapkan kaligrafi Arab hanya sebagai pelengkap motif hias yang
bersumber pada tradisi seni hias Indonesia-Hindu. Muncul juga seni
4

tari dan seni musik. Namun, itu pun tidak dapat dipisahkan pula dari
pengamalan tasawuf di Indonesia, di antaranya Saman di Aceh,
Samroh di Banjarmasin, dan ada atraksi Debus di Banten. Juga ada
pertunjukkan wayang yang merupakan gabungan seni Islam dan
Hindu-Indonesia, seni ukir, seni tari, dan seni lagu. Kebuadayaan
Hindu-Indonesia yang disesuaikan oleh Islam adalah hikayat, seperti
“Mahabarata, Ramayana, Pancatantra” digubah manjadi Hikayat
Pandawa

Lima,

Hikayat


Perang

Pandawa,

Hikayat

Maharaja

Rahwana, Syair Panji Sumirang, Ceruta Wayang Kinudang, dan
Hikayat Panji Wila Kusuma. Hikayat tersebut kemudian dibuat
tembang

atau

gancaan.

Satu

hal


lagi

yang

mempengaruhi

kesusastraan Indonesia adalah suluk. Suluk
adalah kitab-kitab yang berisi ajaran tasawuf
yang

bersifat

panteisme

(manusia

bersatu

dengan Tuhan). Contoh suluk, seperti suluk

suharsa,
Hamzah Fanzuri

suluk

wujid,

dan

suluk

malang

sumirang. Orang yang memperkenalkan suluk di

Indonesia adalah Hamzah Fanzuri dari Barus (± 1600M).

Sastra Islam di Indonesia
Dalam literatur sastra di Indonesia, sastra keagamaan, khususnya
Islam, meski tidak diakui secara universal, tampaknya telah menjadi
genre

tersendiri.

Menurut A.

Teeuw,

dalam sejarah sastra

di

5

Indonesia, religiusitas merupakan tema universal yang menjadi tema
sastra dari Hamzah Fansuri hingga Sutardji. Selain keduanya, tema
ini pun juga menjadi tema pavorit (an sich) bagi Sunan Bonang,
Yasadipura II, Ranggawarsita III, Raja Ali Haji, Abdullah bin Abdul
Kadir

Munsyi, Sanusi

Pane, HAMKA, Amir

Hamzah, Chairil

Anwar, Achdiat Karta Mihardja, Bachrum Rangkuti, AA. Navis, Jamil
Suherman, Kuntowijoyo, Danarto, dan Abdul Hadi WM.

Sastra Islam dan Nama Lain
Menurut Sukron Kamil, di Indonesia, sastra Islam dikenal dengan
banyak sebutan. Diantaranya:
(1)sastra sufistik, yaitu sastra yang mementingkan pembersihan
hati (tazkiyah an-nafs) dengan berakhlak baik agar bisa dekat
sedekat mungkin dengan Allah.
(2)Sastra suluk, yaitu karya sastra yang menggambarkan
perjalanan spiritual seorang sufi mencapai

taraf

hubungan

dengan

jiwanya

telah

dekat

di

mana
Tuhan,

yaitu musyâhadah, penyaksian terhadap keesaan Allah.
(3)Sastra transendental,

yaitu

sastra

yang

membahas Tuhan Yang Transenden. Dan
(4)sastra profetik, yaitu sastra yang dibentuk berdasarkan atau
untuk tujuan mengungkapkan prinsip-prinsip kenabian/wahyu.
6

Periodisasi Sastra Islam di Nusantara
Menurut Abdul Hadi WM, Sastra Islam di Indonesia tidak bisa lepas
dari perkembangan sastra Melayu. Sedangkan perkembangan sastra
Melayu Islam sejak awal kemunculannya hingga akhir zaman
klasiknya dapat dibagi menjadi empat periodisasi: (1) Zaman Awal,
pada abad ke-14 – 15 M; (2) Zaman Peralihan, dari akhir abad ke-15
hingga pertengahan abad ke-16 M; (3) Zaman Klasik, dari akhir abad
ke-16 hingga awal abad ke-18 M; (4) Zaman Akhir, dari pertengahan
abad ke-18 hingga awal abad ke-20 M.

Sastra Islam Nusantara Zaman Awal
Zaman Awal ditandai dengan munculnya terjemahan dan saduran
karya-karya Arab dan Persia ke dalam bahasa Melayu. Babakan ini
bersamaan

dengan

yaitu Samudra

munculnya

Pasai (1270-1516

dua
M)

kerajaan

Islam

dan Malaka (1400-1511

awal
M).

Karya-karya saduran dan terjemahan itu pada umumnya ditulis
untuk kepentingan pengajaran dan penyebaran agama. Terutama epos
Arab Persia seperti Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir
Hamzah dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiya; kisah-kisah para nabi
(Qisas al-Anbiya‘), termasuk Nabi Muhammad s.a.w., dan cerita
berbingkai seperti Hikayat Bayan Budiman dan Hikayat Seribu Satu
Malam. Pada masa ini, puisi beberapa penyair seperti Ma‘arri, Umar

7

Khayyam, ‘Attar, Sa‘di, dan Rumi juga telah muncul terjemahannya
dalam bahasa Melayu.

Sastra Islam Nusantara Zaman Peralihan
Zaman Peralihan

berlangsung

bersamaan dengan

masa

akhir

kejayaan Malaka dan munculnya kesultanan Aceh Darussalam (15161700 M). Zaman ini ditandai dengan usaha Melayunisasi hikayathikayat

Arab

dan

Persia,

pengislaman

kisah-kisah

warisan

zaman Hindu, dan penulisan epos lokal serta historiografi. Syairsyair tasawuf, agiografi sufi, dan alegori-alegori mistik mulai ditulis
pada zaman ini. Di antara alegori mistik terkenal ialah Hikayat
Burung Pingai, yang merupakan versi Melayu dari Mantiq al-Tayr
(Musyawarah Burung) karangan penyair sufi Persia Farid al-Din
al-‘Attar (w. 1220 M).

Sastra Islam Nusantara Zaman Akhir
Zaman Klasik sastra Melayu berlangsung dari akhir abad ke-16
hingga awal abad ke-18 M. Periode ini ditandai dengan kesadaran
pengarang Melayu untuk membubuhkan nama diri dalam karangan
yang ditulisnya. Syair-syair tasawuf dan karya bercorak sufistik lain
kian banyak dilahirkan dalam periode ini, begitu juga epos, karya
sejarah, dan roman yang lebih orisinal. Keorisinalan karya penulis
Melayu

pada periode ini

tampak

terutama

dalam

syair-syair

tasawuf Hamzah Fansuri yang indah dan begitu mendalam isinya.

8

Dalam menulis karya-karya mereka, penulis-penulis Melayu pada
umumnya bertolak dari dua wawasan estetika yang popular di dunia
Islam. Pertama, wawasan estetika yang diasaskan para filosof dan
teoritikus peripatetik (mashsha‘iya) seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan
Abdul Qahir al-Jurjani, yang memandang sastra sebagai karya
imaginatif (mutakhayyil). Keimaginatifan sebuah karya bisa tercapai
jika pengarang menggunakan bahasa figuratif (majaz) seintensif dan
semaksimal mungkin. Wawasan estetik ini merupakan sintesa
pandangan Plato dan Aristoteles.

Kedua,

wawasan estetika yang

diasaskan para sufi seperti Imam al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, ‘Attar, Rumi,
dan Jami. Bagi mereka karya sastra adalah representasi simbolik dari
gagasan dan pengalaman keruhanian.

Sastra Islam Nusantara Zaman Klasik
Zaman Akhir membentang dari awal abad ke-18 hingga akhir abad ke19 M. Pada periode ini karya-karya keislaman ditulis di berbagai
pusat

kebudayaan

Islam

baru

sepeti Palembang,

Banjarmasin, Pattani, Johor, Riau, Kelantan, dan tempat-tempat lain
di kepulauan Melayu. Sekalipun sejak akhir abad ke-18 kerajaankerajaan Islam ini sudah jatuh ke tangan penguasa kolonial seperti
Belanda dan Inggris, namun kegiatan penulisan sastra Islam masih
terus berlanjut hingga awal abad ke-20 M. Tidak banyak pembaruan
dilakukan pada zaman ini. Namun zaman ini melahirkan penulispenulis kitab keagamaan dan historiografi terkemuka seperti Abdul
9

Samad al-Falimbangi, Arsyad al-Banjari, Kimas Fakhrudin, Sultan
Badruddin, Nawawi al- Bantani, Raja Ali Haji, dan lain-lain.

Seni Ukir
Islam mengenal seni ukir. Dalam sebuah riwayat disebutkan.
Berkata Said ibn Hasan: “Ketika saya bersama dengan Ibn Abbas
datang seorang laki-laki, ia berkata: “Hai Ibn Abbas, aku hidup dari
kerajinan tanganku, membuat arca seperti ini.” Lalu Ibn Abbas
menjawab, “Tidak aku katakan kepadamu kecuali apa yang telah ku
dengar dari Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Siapa yang telah
melukis sebuah gambar maka dia akan disiksa Tuhan sampai dia
dapat memberinya nyawa, tetapi selamnya dia tidak akan mungkin
memberinya nyawa.”
Kesenian seni ukir harus disamarkan, sehingga seni ukir dan
seni patung menjadi terbatas kepada seni ukir hias saja. Untuk seni
ukir hias orang mengambil pola-pola berupa daun-daun, bunga-bunga,
bukit-bukit, pemandangan, garis-garis geometri, dan huruf Arab. Pola
ini kerap digunakan untuk menyamarkan lukisan makhluk hidup
(biasanya binatang), bahkan juga untuk gambar manusia. Menghias
masjid pun ada larangan, cukup tulisan-tulisan yang mengingatkan
manusia kepada Allah dan nabi serta firman-firman-Nya. Salah satu
masjid yang dihiasi dengan ukiran-ukiran adalah Masjid Mantingan

10

dekat Jepara berupa pigura-pigura
yang

tidak

asalnya

dihiasi

dari

(pigura-pigura

dipasangkan
masjid)

diketahui

pada

itu

kini

tembok-tembok

Gapura-gapura
dengan

mana

banyak

Ukiran Di masjid Mantingan

pahatan-pahatan

indah, seperti gapura di Tembayat (Klaten) yang dibuat oleh Sultan
Agung Mataram (1633), sedangkan hiasan yang mewah terdapat pada
gapura di Sendang duwur yang polanya terutama berupa gununggunung karang, didukung oleh sayap-sayap yang melebar melingkupi
seluruh pintu gerbangnya, dibawah sayap sebelah kanan tampak ada
sebuah pola yang mengandung makna berupa sebuah pintu bersayap.


Islam datang ke Indonesia dengan jalan damai. Di Indonesia,
terutama Jawa, Islam datang pada suatu komunitas yang telah
memiliki peradaban asli yang dipengaruhi Hindu-Budha yang sudah
mengakar kuat terutama di pusat pemerintahan, maka seni Islam
harus menyesuaikan diri. Nusantara pun terletak pada jalur
perdagangan

internasional,

sehingga

penduduknya

lebih

mementingkan masalah perdagangan daripada kesenian. Kemudian,
ketika sudah ada umat Islam pribumi, kebanyakan keturunan
pedagang atau sufi pengembara yang kemudian menjadi raja Islam di
Nusantara dan mulai membangun kebudayaan Islam, datang bangsa
11

Barat yang sejak awal kedatangannya sudah bersikap memusuhi
umat Islam, sehingga

raja-raja Islam pribumi belum sempat

membangun. Hal tersebut membuat budaya Islam di Indonesia tidak
terlihat keberadaannya seperti Kerajaan Mughal di India dengan Taj
Mahal-nya. Namun demikian, Islam datang ke Indonesia dengan
memberikan sesuatu yang baru dalam bentuk kesenian
Di Indonesia ada perbedaan pendapat dalam seni lukis dan seni pahat.
Adapaun timbulnya perbedaan pendapat ialah dalam bentuk obyek
dan motif yang dilukis yang dalam garis besarnya dapat dinyatakan
sebagai berikut :

Pendapat pertama :
Ada hadist yang melarang seorang membuat gambar atau
pahatan yang obyek dan motifnya ialah sesuatu makhluk yang
bernyawa, seperti gambar manusia atau gambar binatang.
“siapa yang membuat gambar makhluk bernyawa di dunia ini, maka di
akhirat nanti ia harus memberinya nyawa, dan akhirnya dia akan
menerima siksaan dari Tuhan, karena pemberian nyawa itu tidak bisa
dilakukannya”
Menurut faham ini sangsi yang disebutkan dalam hadist
tersebut berarti larangan. Oleh sebab itu semua gambar-gambar dari
makhluk bernyawa tidak dibolehkan, termasuk juga foto. Dalam

12

kalangan ulama-ulama Islam Indonesia dahulu, memang ada yang
menganut paham ini, sehingga mereka tidak mau diambil fotonya.

Pendapat kedua :
Boleh saja membuat gambar-gambar makhluk bernyawa seperti
gambar manusia atau binatang, tetapi dengan syarat bentuknya tidak
dapat diraba. Yang dilarang ialah kalau gambar itu merupakan wujud
yang dapat diraba. Foto tidak dilarang, lukisan orang atau binatang
tidak dilarang, yang dilarang ialah kalau sudah merupakan relief atau
area.

Pendapat ketiga :
Boleh membuat
bentuknya

yang

gambar dari

plastis,

asal

saja

makhluk
dalam

bernyawa
rupa

yang

dalam
tidak

memungkinkan makhluk itu hidup, misalnya membuat arca orang
hingga dada ke atas, membuat relief dan sebagainya. Pendapat ini
menganggap juga bahwa bentuk plastis yang sempurna dari makhluk
yang bernyawa tetap terlarang, akan tetapi dengan membuat bagianbagiannya saja orang akan telepas dari tuntutan Tuhan di akhirat,
karena bagian-bagian anggota itu memang tidak bisa hidup.

Pendapat keempat :
Melihat keadaan suasana tempat dan waktu, yakni dengan
memperhatikan hikmah dan jiwa dari larangan itu. Larangan

13

membuat lukisan atau pahatan yang mengambil bentuk makhluk
bernyawa dan sebagainya, pada permulaan lahirnya agama Islam
dipandang dari sudut tauhid memang amat penting dan sangat
beralasan, karena pada waktu itu nabi masih hidup, di kota Mekah
masih bertaburan puing-puing bekas runtuhan dari arca yang
dahulunya disembah dan dipuja oleh nenek moyang bangsa Arab yang
telah berabad-abad lamanya.
Masih juga terbayang dalam ruangan mata penduduk Mekkah
bagaimana tokoh-tokoh dari Lata, Uzza, Manah dan arca-arca lainnya
yang tidak kurang dari 360 buah banyaknya. Selain dari itu dalam
tubuh munafiqin masih mengalir darah kepercayaan nenek moyang
mereka yang turun menurun. Apabila kepercayaan politheisme itu
tidak dibongkar sampai ke akar-akarnya; apabila semua berhala tidak
dihancurkan, apabila pada waktu itu seni patung diberi kesempatan
berkembang, maka akan tumbuhlah tunas baru dari kepercayaan
lama yang telah tumbang dan akan menggoyangkan sendi-sendi
ketauhidan mereka yang masih baru memeluk agama Islam.
Tetapi manakala hakikat tauhid telah mendarah daging dalam
tubuh umat Islam dan mereka telah tahu bahwa patung-patung itu
tidak sanggup berbuat apapun, maka tidaklah alas an bahwa
kepercayaan yang telah berabad-abad dikubur itu, akan hidup kembali
di tengah-tengah keyakinan umat Islam yang telah maju.

14

Seni Kaligrafi
Kaligrafi dengan menggunakan Huruf Arab di Indonesia
menjadi seni yang benar-benar baru karena tidak berpijak pada
bentuk seni tradisi lokal dari masa sebelumnya, hal ini tidak berarti
bahwa

sebelumnya

tidak

ada

tulisan,

dari

bukti

yang

ada

menunjukkan adanya berbagai aksara seperti aksara Bugis, aksara
Jawa, aksara Sunda dan lainnya. yang dipakai terbatas untuk
pemakaian praktis untuk prasasti, pengumuman , kitab-kitab sastra,
kitab keagamaan. berbeda dengan kaligrafi Arab selain digunakan
untuk keperluan praktis juga untuk estetik.
Kaum muslim telah membuat kaligrafi tidak hanya untuk
membentuk

tulisan

tangan

yang

indah

tetapi

juga

untuk

mendisiplinkan jiwa. Menarik sebuah garis dari kanan kekiri yang
merupakan arah penulisan kaligrafi arab, bergerak dari pinggir
menuju ke hati yang terletak di sebelah kiri tubuh. seorang kaligrafer
menyadari bahwa dengan konsentrasi pada penulisan kata-kata dalam
bentuk indah seakan -akan membawa kepingan jiwa yang tercerai
berai kembali bersatu kepusatnya ini merupakan sisi spritualitas
kaligrafi. Dari segi pemakaian jelas perbedaan antara aksara Arab
dan aksara yang dipakai di Indonesia. Karakteristik yang lain adalah
adanya pertautan antara aksara Arab dan Agama Islam,sebagai
contoh ragam hias dan motif dari era seni Hindu dibubuhkan tulisan
Arab dianggap sebagai Seni islam.

Berbeda dengan huruf Palawa
15

yang datang dari India, pemakaiannya terbatas hanya dikalangan
golongan agama dan bangsawan. Huruf Arab tersebar disemua lapisan
masyarakat bahkan huruf ini diadopsi dan dipergunakan dalam
pemakaian bahasa Melayu dan bahasa lainnya yang dikenal dengan
tulisan Pegon atau dikenal dengan tulisan Arab Melayu . Naskahnaskah yang berhuruf arab ini
sudah ditemukan pada abad ke14
pemakaiannya

sudah

dimana

tetapi naskah-

-mana

meluas

naskah Islam banyak juga yang
Pegon

ditulis

dengan

aksara

jawa,sunda, bugis sehingga terlihat bahwa antara aksara arab dan
aksara nusantara tetap hidup berdampingan. Berbeda dengan huruf
arab dibelahan dunia lain ,di Indonesia kaligrafi tidak berkembang
mungkin karena pemakaiannya baru pada membaca saja belum pada
tulisan indah walaupun ada juga kaligrafi yang dibuat di Indonesia.
seperti kaligrafi Islam yang dibuat pada kertas,kain, kaligrafi yang
diukir, kaligrafi pada kaca.
kaligrafi pada kertas berkaiatan dengan Al Ouran yang ditulis
tangan dengan jenis tulisan khat Naskhi dan khath Thuluth, dengan
ubahan yang disebut khat Hindi. Setelah terdapatnya Al Quran yang
dicetak diperkirakan awal abad 20 secara tidak langsung mengurangi
jumlah ahli-ahli kaligrafi, sehingga menjadi langka. Aksara arab ini

16

juga dipakai untuk menulis hikayat, cerita dan lainya yang umumnya
memperlihatkan persamaan dengan gaya Khath Farisi. Huruf arab
melayu banyak digunakan untuk surat-menyurat antara kesultanan
Islam indonesia dengan Portugis,Inggris,Belanda. Selain pada kertas
ada juga yang dibuat pada kain dengan teknik membatik, tentu saja
untuk keperluan khusus sebagai ikat kepala ,bendera yang pada saat
ini menjadi media ekspresi seperti lukisan batik.
Tulisan yang diukir dikenal sebagai epigrafi di indonesia dibagi
2 yaitu tulisan yang diukir pada nisan dan yang diukir pada kayu
sebagai hiasan. Kaligrafi arab pada nisan telah ditemukan dari abad
11 di leran,Gresik berasal dari makam Fatimah Binti Maimun dengan
tulisan khath kufah. Kaligrafi pada nisan adalah yang terbanyak
ditemukan di Indonesia sehingga dapat dibagi 2 jenis. Jenis pertama
yang memperlihatkan pengenalan mendalam terhadap corak kaligrafi
seperti khath Thuluth,
Kufah yang berasal dari

Khat Thuluth

Gujarat

,India

seperti

yang

terdapat

di

Samudra Pasai ,makam putri Nahrisah(abad 15) dan makam Maulana
malik Ibrahim,Gresik (abad 15). Jenis kedua seniman ukir nisan
kurang atau tidak mengenal gaya kaligrafi Islam seperti Makam islam
Tralaya,Trowulan bekas ibukota Majapahit,membuktikan bahwa pada
masa majapahit telah hidup masyarakat Islam.selain nisan ukiran

17

kaligrafi juga dibuat pada kayu yang diukir pada bagian atas pintu,
mimbar, mihrab.Ukiran pada kayu lebih bebas dan menunjukkan
perpaduan antara pra islam dan Islam.
Lukisan kaca dengan tema kaligrafi arab,terdapat di jawa
timur,jawa tengah,madura,sumatra barat,yang paling menarik adalah
lukisan

kaligrafi

dimana

tema

kaca

-tema

cirebon

pra

islam

masih dipakai sampai saat ini
seperti

tema

wayang,

khayal.

Islamisasi

di

binatang
Indonesia

berjalan dengan damai sehingga
bentuk tokoh masa pra islam dapat

Lukisan kaligrafi Kaca

digambarkan untuk tema-tema keIslaman misal bentuk ganesha yang
bertuliskan syahadat. selain itu ada juga menggambarkan macan
dikenal sebagai macan ali ada juga yang berbentuk kabah.
Kaligrafi di Indonesia pada masa lalu jarang diterapkan
dimasjid tetapi sekarang masjid yang baru dibangun banyak sekali
menerapkan kaligrafi islam sebagai dekorasi. Perkembangan kaligrafi
tidak hanya sampai masjid saja tetapi kini banyak dijadikan tematema lukisan modern yang dikenal sebagai lukisan kaligrafi.

.

18

Referensi
 Al-Quran dan Al-Hadis
 Sunanto, Musyrifah, Prof., Dr., Sejarah Peradaban Islam Indonesia.
Jakarta : Rajawali Pers. 2005.
 paitarbiyah2009.blogspot.com
 ardicandiago.blogspot.com
 variansaramadhan.wordpress.com
 anneahira.com
 republika.co.id
Keterangan:
 An-Nawâwî, Syarh Muslim, juz XIV, hlm. 86-87
 An-Nawâwî, Syarh Muslim, juz XIV, hlm. 87:
Referensi gambar








sejarahgunungbatu.blogspot.com
afterrains.blogspot.com
ndiel2.wordpress.com
cabiklunik.blogspot.com
habibsyah.blogdetik.com
khat.forumotion.net
abarprov.go.id

19