Nama seni budaya Nama Notulen

Nama “delman” diambil dari nama seorang Belanda yang konon merupakan
pencipta alat angkut ini. Delman pertama kali muncul di Sukabumi, Jawa Barat
pada zaman kolonial, sebagai alat angkut yang mampu membawa sekitar 6
penumpang termasuk sais. Delman dapat digunakan sebagai angkutan untuk
daerah berbukit.
Delman memiliki ukuran panjang 315 cm, lebar 125 cm dan tinggi 167 cm. **
Ulos atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia.
Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatera utara.
Dari bahasa asalnya, ulos berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara
membuat songket khas Palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.
Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam
tenunan dari benang emas atau perak. Mulanya ulos dikenakan di dalam bentuk
selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara
adat Batak, namun kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung
bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan gorden.
Ulos juga kadang-kadang diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung
supaya mempermudah lahirnya sang bayi ke dunia dan untuk melindungi ibu dari
segala mara bahaya yang mengancam saat proses persalinan.
Sebagian besar ulos telah punah karena tidak diproduksi lagi, seperti Ulos Raja,
Ulos Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai
pembungkus jenazah), dan Ulos Sibolang.


Daftar isi
 1 Arti Ulos
 2 Jenis, makna dan fungsi
o 2.1 Ulos Antakantak
o 2.2 Ulos Bintang Maratur
o 2.3 Ulos Bolean
o 2.4 Ulos Mangiring
o 2.5 Ulos Padang Ursa dan Ulos Pinan Lobu-lobu
o 2.6 Ulos Pinuncaan
o 2.7 Ulos Ragi Hotang
o 2.8 Ulos Ragi Huting
o 2.9 Ulos Sibolang Rasta Pamontari
o 2.10 Ulos Si bunga Umbasang dan Ulos Simpar
o 2.11 Ulos Sitolu Tuho
o 2.12 Ulos Suri-suri Ganjang
o 2.13 Ulos Simarinjam sisi
o 2.14 Ulos Ragi Pakko dan Ulos Harangan
o 2.15 Ulos Tumtuman
o 2.16 Ulos Tutur-Tutur


 3 Pranala luar

Arti Ulos
Mangulosi adalah suatu kegiatan adat yang sangat penting bagi orang batak.
Dalam setiap kegiatan seperti upacara pernikahan, kelahiran, dan dukacita ulos
selalu menjadi bagian adat yang selalu di ikut sertakan.
Menurut pemikiran moyang orang batak, salah satu unsur yang memberikan
kehidupan bagi tubuh manusia adalah “kehangatan”. Mengingat orang-orang
batak dahulu memilih hidup di dataran yang tinggi sehingga memiliki temperatur
yang dingin.
Demikian juga dengan huta/kampung yang ada di daerah tapanuli umumnya di
kelilingi dengan pepohonan bambu. Dimana memiliki kegunaan bukan hanya
sebagai pagar untuk menjaga serangan musuh saja, namun juga menahan
terjangan angin yang dapat membuat tubuh menggigil kedinginan.
Ada 3 hal yang di yakini moyang orang batak yang memberi kehidupan bagi
tubuh manusia, yaitu : Darah, Nafas dan Kehangatan. Sehingga “rasa hangat”
menjadi suatu kebutuhan yang setiap saat di dambakan.
Ada 3 “sumber kehangatan” yang di yakini moyang orang batak yaitu : matahari,
api dan ulos. Matahari terbit dan terbenam dengan sendirinya setiap saat. Api

dapat di nyalakan setiap saat, namun tidak praktis untuk di gunakan
menghangatkan tubuh, misalnya besarnya api harus di jaga setiap saat sehingga
tidur pun terganggu. Namun tidak begitu halnya dengan Ulos yang sangat praktis
digunakan di mana saja dan kapan saja.
Ulos pun menjadi barang yang penting dan di butuhkan semua orang kapan saja
dan di mana saja. Hingga akhirnya karena ulos memiliki nilai yang tinggi di
tengah-tengah masyarakat batak. Dibuatlah aturan penggunaan ulos yang di
tuangkan dalam aturan adat, antara lain :
 Ulos hanya di berikan kepada kerabat yang di bawah kita. Misalnya
Natoras tu ianakhon (orang tua kepada anak).
 Ulos yang di berikan haruslah sesuai dengan kerabat yang akan di beri
ulos. Misalnya Ragihotang diberikan untuk ulos kepada hela (menantu
laki-laki).
Sedangkan menurut penggunaanya antara lain :
 Siabithonon (dipakai ke tubuh menjadi baju atau sarung) digunakan ulos
ragidup, sibolang, runjat, jobit dan lainnya.
 Sihadanghononhon (diletakan di bahu) di gunakan ulos Sirara, sumbat,
bolean, mangiring dan lainnya.

 Sitalitalihononhon (pengikat kepala) di gunakan ulos tumtuman,

mangiring, padang rusa dan lain-lain.
Saat ini kita tidak membutuhkan ulos sebagai penghangat tubuh di saat tidur
ataupun saat beraktifitas, karena ada berbagai alat dan bahan yang lebih maju
untuk memberi kehangatan bagi tubuh pada saat berada pada udara yang sangat
dingin. Tetapi Ulos sudah menjadi perlambang kehangatan yang sudah mengakar
di dalam budaya batak.
Namun ini juga menjadi tantangan bagi budaya batak pada masa depan, karena
cara pandang dan penghargaan anak-anak muda masa depan sangat berbeda
dengan para orang tua yang sempat merasakan berharganya nilai ulos dalam
kekerabatan. Akankah anak-anak kita memandang ulos seperti memandang “kain
pada umumnya”, bahkan lebih parahnya setelah kain tersebut di gunakan dalam
acara adat yang melelahkan kemudian ulos tersebut tersimpan rapat dalam lemari
saja.
Sangat berbeda “rasanya” dengan dengan menggunakan setelan jas yang modis
dan ingin menggunakannya lagi dan lagi begitu setiap saat.
Jangan-jangan yang terbayang dalam pikiran mereka saat melihat ulos yang
tergolek dalam lemari adalah acara adat yang melelahkan, njelimet adatnya,
pusing karena gak tau bahasa batak, malu karena gak pinter martutur
(menempatkan diri dalam pertalian darah atau keturunan).
Akan sangat banyak tantangan masa depan yang akan menghimpit “niat maradat”

bagi generasi muda masa depan. Seperti masalah ke uangan, penggunaan waktu,
perkembangan pola pikir praktis, berkurangnya “rajaparhata” (orang yang
mengetahui adat dan dapat memandu kegiatan adat dari awal hingga akhir).

Jenis, makna dan fungsi
Ulos Antakantak
Ulos ini dipakai sebagai selendang orang tua untuk melayat orang yang
meninggal, selain itu ulos tersebut juga dipakai sebagai kain yang dililit pada
waktu acara manortor (menari).

Ulos Bintang Maratur
Ulos ini merupakan Ulos yang paling banyak kegunaannya di dalam acara-acara
adat Batak Toba, beberapa diantaranya yakni:
 Kepada anak yang memasuki rumah baru. Memiliki rumah baru (milik
Sendiri) adalah merupakan suatu kebanggaan terbesar bagi masyarakat
Batak Toba. Keberhasilan membangun atau memiliki rumah baru di
anggap sebagai salah satu bentuk keberhasilan atau prestasi tersendiri yang

tak ternilai harganya. Tingginya penghargaan kepada orang yang telah
berhasil membangun dan memiliki rumah baru adalah karena keberhasilan

tersebut di anggap merupakan suatu berkat dari Tuhan yang maha Esa
yang di sertai dengan adanya usaha dan kerja keras yang bersangkutan di
dalam menjalani kehidupan. Keberhasilan membangun atau memiliki
rumah baru adalah merupakan situasi yang sangat menggembirakan, oleh
karena itu ulos ini akan diberikan kepada orang yang sedang berada dalam
suasana bergembira. Orang batak yang tinggal dan menetap di berbagai
puak/horja di sekitar Tapanuli telah memiliki adat dan kebiasaan yang
berbeda pula. Walaupun konsep dan pemahaman tentang adat itu secara
umum adalah sama, namun pada hal-hal tertentu ada kalanya memiliki
perbedaan dalam hal pemaknaan terhadap nilai dan konsep adat yang ada
sejak turun-temurun. Oleh karena itu pemberian Ulos Bintang Maratur
khusus di daerah Silindung di berikan kepada orang yang sedang
bergembira dalam hal ini sewaktu menempati atau meresmikan rumah
baru.
 Secara khusus di daerah Toba Ulos ini diberikan waktu acara selamatan
Hamil 7 Bulan yang diberikan oleh pihak hulahula kepada anaknya. Ulos
ini juga di berikan kepada Pahompu (cucu) yang baru lahir sebagai
Parompa (gendongan) yang memiliki arti dan makna agar anak yang baru
lahir itu di iringi kelahiran anak yang selanjutnya, kemudian ulos ini juga
di berikan untuk pahompu (cucu) yang baru mendapat babtisan di gereja

dan juga bisa di pakai sebagai selendang.

Ulos Bolean
Ulos ini biasanya di pakai sebagai selendang pada acara-acara kedukaan.

Ulos Mangiring
Ulos ini dipakai sebagai selendang, Talitali, juga Ulos ini di berikan kepada anak
cucu yang baru lahir terutama anak pertama yang memiliki maksud dan tujuan
sekaligus sebagai Simbol besarnya keinginan agar si anak yang lahir baru kelak di
iringi kelahiran anak yang seterusnya, Ulos ini juga dapat dipergunakan sebagai
Parompa (alat gendong) untuk anak. kwlk;jetheth

Ulos Padang Ursa dan Ulos Pinan Lobu-lobu
Ulos ini dipakai sebagai Talitali dan Selendang.

Ulos Pinuncaan
Ulos ini terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian di
satukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu Ulos. Kegunaannya antara lain:

 Dipakai dalam berbagai keperluan acara-acara duka cita maupun suka cita,

dalam acara adat ulos ini dipakai/ di sandang oleh Raja-raja Adat.
 Dipakai oleh Rakyat Biasa selama memenuhi beberapa pedoman
misalnya, pada pesta perkawinan atau upacara adat di pakai oleh suhut
sihabolonon/ Hasuhuton (tuan rumah).
 Kemudian pada waktu pesta besar dalam acara marpaniaran (kelompok
istri dari golongan hulahula), ulos ini juga di pakai/dililit sebagai
kain/hohophohop oleh keluarga hasuhuton (tuan rumah).
 Ulos ini juga berfungsi sebagai Ulos Passamot pada acara Perkawinan.
Ulos Passamot di berikan oleh Orang tua pengantin perempuan (Hulahula)
kepada ke dua orang tua pengantin dari pihak laki-laki (pangoli). Sebagai
pertanda bahwa mereka telah sah menjadi saudara dekat.

Ulos Ragi Hotang
Ulos ini di berikan kepada sepasang pengantin yang sedang melaksanakan pesta
adat yang di sebut dengan nama Ulos Hela. Pemberian ulos Hela memiliki makna
bahwa orang tua pengantin perempuan telah menyetujui putrinya di persunting
atau di peristri oleh laki-laki yang telah di sebut sebagai “Hela” (menantu).
Pemberian ulos ini selalu di sertai dengan memberikan mandar Hela (Sarung
Menantu) yang menunjukkan bahwa laki-laki tersebut tidak boleh lagi berperilaku
layaknya seorang laki-laki lajang tetapi harus berperilaku sebagai orang tua. Dan

sarung tersebut di pakai dan di bawa untuk kegiatan-kegiatan adat.

Ulos Ragi Huting
Ulos ini sekarang sudah Jarang di pakai, konon pada zaman dulu sebelum
Indonesia merdeka, anak perempuan (gadis-gadis) memakai Ulos Ragi Huting ini
sebagai pakaian sehari-hari yang dililitkan di dada (Hobahoba) yang menunjukkan
bahwa yang bersangkutan adalah seorang putri (gadis perawan) batak Toba yang
ber-adat.

Ulos Sibolang Rasta Pamontari
Ulos ini di pakai untuk keperluan duka dan suka cita, tetapi pada zaman sekarang,
Ulos Sibolang bisa di katakan sebagai simbol duka cita, yang di pakai sebagai
Ulos Saput (orang dewasa yang meninggal tapi belum punya cucu), dan di pakai
juga sebagai Ulos Tujung untuk Janda dan Duda dengan kata lain kepada laki-laki
yang ditinggal mati oleh istri dan kepada perempuan yang di tinggal mati oleh
suaminya. Apabila pada peristiwa duka cita Ulos ini di pergunakan maka hal itu
menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah sebagai keluarga dekat dari orang
yang meninggal.

Ulos Si bunga Umbasang dan Ulos Simpar

Secara umum ulos ini hanya berfungsi dan dipakai sebagai Selendang bagi para
ibu-ibu sewaktu mengikuti pelaksanaan segala jenis acara adat-istiadat yang

kehadirannya sebatas undangan biasa yang di sebut sebagai Panoropi (yang
meramaikan) .

Ulos Sitolu Tuho
Ulos ini difungsikan atau di pakai sebagai ikat kepala atau selendang.

Ulos Suri-suri Ganjang
Ulos ini di pakai sebagai Hande-hande (selendang) pada waktu margondang
(menari dengan alunanan musik Batak) dan juga di pergunakan oleh pihak
Hulahula (orang tua dari pihak istri) untuk manggabei (memberikan berkat)
kepada pihak borunya (keturunannya) karena itu disebut juga Ulos gabegabe
(berkat).

Ulos Simarinjam sisi
Dipakai dan di fungsikan sebagai kain, dan juga di lengkapi dengan Ulos Pinunca
yang di sandang dengan perlengkapan adat Batak sebagai Panjoloani (mendahului
di depan). Yang memakai ulos ini adalah satu orang yang berada paling depan.


Ulos Ragi Pakko dan Ulos Harangan
Pada zaman dahulu di pakai sebagai selimut bagi keluarga yang berasal dari
golongan keluarga kaya, dan itu jugala
h apabila nanti setelah tua dan meninggal akan di saput (di selimutkan,
dibentangkan kepada jasad) dengan ulos yang pakai Ragi di tambah Ulos lainnya
yang di sebut Ragi Pakko karena memang warnanya hitam seperti Pakko.

Ulos Tumtuman
Dipakai sebagai talitali yang bermotif dan di pakai oleh anak yang menunjukkan
bahwa yang bersangkutan adalah anak pertama dari hasuhutan (tuan rumah).

Ulos Tutur-Tutur
Ulos ini dipakai sebagai talitali (ikat kepala) dan sebagai Handehande (selendang)
yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya (keturunannya).

Pranala luar

 Sebagian Besar Jenis Ulos Batak Punah. Antara News
 Jenis-jenis ulos batak toba
 arti ulos

[sembunyikan]
l
b
s
Batak Toba
Pembagian Tanah
Silindung • Samosir • Humbang • Toba
Batak
Sistem
Tarombo Batak • Partuturan
Kekerabatan/Marga

Marga Batak

Marga Batak di Samosir • Marga Batak di
Silindung • Marga Batak di Toba • Marga
Batak di Humbang

Daftar marga suku Batak di Humbang •
Daftar marga suku Batak di Silindung •
Daftar Marga Batak
Daftar marga suku Batak di Toba • Daftar
marga suku Batak di Samosir
Kesusateraan

Hata Batak • Aksara Batak • Umpasa •
Umpama • Turiturian

Saksang • Arsik • Manuk Napinadar •
Tanggotanggo • Dengke Naniura •
Natinombur • Itak Gurgur • Pohulpohul •
Makanan/Masakan
Ombusombus • Lampet • Benti • Dali
Khas
Nihorbo • Sambal Tuktuk • Tipatipa • Mi
Gomak • Na Nidugu • Hasang Sihobuk •
Sasagun
Falsafah

Dalihan Natolu

Upacara

Tonggo Raja • Perkawinan • Martumpol •
Mangalua • Mangongkal holi • Manulangi
Natuatua • Manulangi Ompung •
Manulangi Pahompu • Manulangi Tulang

Seni dan Budaya

Tortor Batak • Ulos • Monsak • Pustaha •
Gondang Batak • Abalabal

Alat musik
Tradisional

Uninguningan : • Sagasaga • Ogung •
Taganing • Sulim • Gordang • Sordam •

Hasapi • Hesek • Sarune • Jenggong •
Talatoit • Tanggetang • Odap • Garantung
• Mengmung

Kepercayaan
(Agama)

Parmalim • Parbaringin • Parhudamdam
Siraja Batak • Gereja Suku Batak Toba •
Zending Protestan di Tanah Batak • Misi
Katolik di Tanah Batak • Alkitab bahasa
Batak Toba

Mitologi

Mitologi Batak • Banua Ginjang • Banua
Tonga • Banua Toru • Debata Idup •
Djambu Baros • Ilik • Mangala Bulan •
Manuk Patiaraja • Mulajadi Nabolon •
Naga Padoha • Pane Nabolon • Soripada
• Tapionda • Boraspati Nitano • Boru
Saniang Naga

Danau Toba • Museum Batak, Balige •
Gunung Toba • Museum Batak, Tomok •
Wisata dan
Salib Kasih, Siatas Barita • Pusuk Buhit •
Panorama
Pemandian Air Soda Tarutung • Taman
Wisata Iman (TWI) Sitinjo, Kabupaten
Dairi
Artikel bertopik pakaian ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu
Wikipedia dengan mengembangkannya.
Artikel bertopik Indonesia ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat
membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.
Artikel bertopik Suku Batak ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat
membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.
Kategori:
 Pakaian Indonesia
 Batak
 Batak Toba

Menu navigasi






Belum masuk log
Pembicaraan IP ini
Contributions
Buat akun baru
Masuk log

 Halaman

 Pembicaraan





Baca
Sunting
Sunting sumber
Versi terdahulu

Rumah Adat Toraja disebut Baruang Tongkonan, yang
berasal dari kata "tongkon" (=duduk) dan "an" (=tempat). Jadi
Tongkonan bisa diartikan tempat duduk, tempat orang desa
berkumpul, bermusyawarah, dan menyelesaikan masalahmasalah adat. Bentuk Tongkonan berupa rumah panggung yang
merupakan kombinasi antara batang kayu dan lembaran papan.
Denahnya berbentuk persegi panjang mengikuti bentuk dari
material kayu. Kayu yang digunakan adalah kayu Uru, jenis kayu
lokal dari Sulawesi. Kualitasnya sangat baik dan kayu tersebut
banyak ditemui di hutan-hutan di Daerah Toraja.
Rumah Tongkonan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Kolong (Sulluk Banua)
2. Ruangan rumah (Kale Banua)
3. Atap (Ratiang Banua), bentuknya melengkung mirip tanduk
kerbau.
Pada sisi sebelah barat dan timur bangunan terdapat jendela
kecil untuk sirkulasi udara dan masuknya cahaya matahari.

Latar belakang arsitektur Rumah Tradisional Toraja
berkaitan dengan falsafah kehidupan yang merupakan landasan
dari kebudayaan orang Toraja itu sendiri. Dalam pembangunan
Rumah Adat Tongkonan ada hal-hal yang mengikat atau hal
yang di haruskan dan tidak boleh di langgar, yaitu: Rumah harus
menghadap ke utara, letak pintu di bagian depan rumah, dengan

keyakinan bumi dan langit merupakan satu kesatuan dan bumi
dibagi
dalam
4
penjuru
mata
angin,
yaitu:
1. Utara disebut Ulunna langi, yang paling mulia di mana Puang
Matua
berada
(keyakinan
masyarakat
Toraja)
2. Timur disebut Matallo, tempat metahari terbit, tempat
asalnya
kebahagiaan
atau
kehidupan.
3. Barat disebut Matampu, tempat metahari terbenam, lawan
dari
kebahagiaan
atau
kehidupan,
yaitu
kesusahan
atau
kematian.
4. Selatan disebut Pollo’na langi, sebagai lawan bagian yang
mulia,
tempat
melepas
segala
sesuatu
yang
tidak
baik
/
angkara
murka.
Keindahan Rumah Adat Toraja sangatlah perlu dijaga, begitu juga
rumah adat, pakaian adat, dan keindahan Indonesia lainnya,
sehingga tidak hilang ditelan bermunculannya arsitektur rumah
modern

Tongkonan, Rumah Adat Tana Toraja
Rumah sebagai tempat tinggal memiliki fungsi dan peranan sosial bagi
penghuninya. Masyarakat Tana Toraja mengenal dua golongan rumah,
yaitu Banua Tongkonan (rumah adat) dan Banua Barung-Barung (rumah
pribadi atau rumah biasa). Tongkonan adalah rumah tempat tinggal
sekaligus tempat menjalankan fungsi dan peranan penguasa adat,
sehingga kerap disebut rumah adat. Barung-barung merupakan tempat
tinggal keluarga yang bukan penguasa.
Arsitektur tongkonan cukup unik ditilik dari bentuk atap dan penampilan
bangunan. Ciri khas ini turun temurun dari nenek moyang dan tetap
dipertahankan hingga sekarang. Ada empat tahap proses panjang
perkembangan rumah adat Tana Toraja sebelum akhirnya terbentuk
menjadi tongkonan, yaitu:
1. Banua Pandoko Dena
Rumah bentuk burung pipit yang masih sangat sederhana, merupakan
rumah yang terdapat di pohon, terbuat dari ranting kayu yang diletakkan di
atas dahan dengan dinding dan atap yang terbuat dari rumput berbentuk
bundar seperti sarang burung pipit. Rumah ini berfungsi sebagai
perlindungan dari cuaca panas/hujan dan gangguan hewan buas.
2. Banua Lentong A’pa
Rumah ini menggunakan 4 tiang dengan atap dan dinding yang masih
menggunakan dedaunan. Saat ini Banua Lentong A’pa dimanfaatkan
sebagai pondok kecil untuk kandang ternak.

3. Banua Tamben
Banua Tamben merupakan rumah yang terbuat dari kayu dengan bentuk
atap yang menyerupai perahu pada kedua ujungnya dan menjulang ke
atas.
4. Banua Toto atau Banua Sanda ‘Ariri
Bentuk rumah Banua Toto adalah persegi panjang dengan tiang yang
jumlahnya lebih banyak dan teratur, bertingkat dua, dan dihiasi dengan
ukiran.
Beberapa jenis tongkonan yang dikenal masyarakat Tana Toraja
disesuaikan dengan peranan penguasanya, yaitu tongkonan layuk,
tongkonan pekaindoran, dan tongkonan batu a’riri. Bentuk ketiga
tongkonan ini serupa, hanya saja terdapat perbedaan pada tiang.
Tongkonan layuk dan tongkonan pekaindoran memiliki tiang tengah yang
disebut a’riri posi disamping hiasan berbentuk kepala kerbau (kabogo) dan
kepala ayam (katik),
- Tongkonan Layuk (maha tinggi/agung)
Merupakan tongkonan yang pertama kali menjadi pusat perintah dan
kekuasaan dengan peraturan Tana Toraja dahulu kala.
- Tongkonan Pekaindoran (Tongkonan Kaparengngesan)
Tongkonan yang didirikan penguasa masing-masing daerah untuk
mengatur pemerintahan adat berdasarkan aturan tongkonan aluk.
- Tongkonan Batu A’riri
Tongkonan yang berfungsi sebagai tali ikatan dalam membina persatuan
dan warisan keluarga.
Umumnya tongkonan berbentuk persegi panjang dengan ukuran 2:1 dan
memiliki 5 bagian struktur bangunan, yaitu (1) pondasi, (2) tiang, (3) lantai,
(4) dinding, dan (5) atap. Lantai rumah terdiri dari 3 lapis. Dinding rumah
terdiri dari papan yang diikat dengan pengikat yang disebut sambo rinding.
Atap rumah terbuat dari bambu. Ornamen dan motif yang digunakan
memiliki makna cara hidup masyarakat Tana Toraja. Warna yang dominan
digunakan antara lain merah, putih, kuning, dan hitam. Merah berarti
warna kehidupan, putih adalah warna daging dan tulang manusia, kuning
melambangkan kemuliaan dan ketuhanan juga pengabdian, serta warna
hitam yang menyimbolkan kesedihan dan kematian.
Tata ruang rumah Toraja secara tradisional dikelompokkan menjadi lima
bagian, yaitu:

- Banua sang borong/sang lanta
Sebuah ruangan yang berfungsi untuk berbagai macam kebutuhan,
- Banua Duang Lanta
Rumah dengan dua ruang, yaitu satu ruang tidur disebut sumbung dan
ruang sali untuk ruang kerja, dapur dan tempat meletakkan jenazah
sementara.
- Banua Patang Lanta
Rumah dengan 4 ruang, terdiri dari dua jenis yaitu:
* Banua Di Lalang Tedong terdiri dari ‘sali iring’ (ruang dapur, ruang kerja,
tempat tidur abdi adat, dan tempat menerima tamu).
* Sali Tangga terdiri dari tempat kerja, ruang tidur keluarga dan tempat
jenazah yang akan diupacarakan.
* Sumbung (ruang tidur pemangku adat)
* Inan Kabusung (ruang tertutup yang dibuka kalau ada upacara).
- Banua Di Salombe, terdiri dari:
* Palanta/tangdo (ruang pemuka adat dan tempat upacara penyembahan)
* Sali Tangga (tempat bekerja dan tempat jenazah sementara),
* Sumbung (ruang tidur pemuka adat).
- Banua Limang Lanta
Rumah yang terdiri atas lima ruang, yaitu palata (ruang duduk dan tempat
saji-sajian), sali iring (dapur, tempat makan dan tempat tidur adat),
paluang (tempat bekerja dan meletakkan jenazah), anginan (ruang tidur),
dan sumbung kabusungan (ruang tempat menyimpan pusaka adat).
Seni bangun merupakan salah satu hasil budaya masyarakat. Masyarakat
Nusantara membuat bangunan dalam berbagai fungsi, yaitu tempat tinggal,
lumbung
padi,
dan
tempat
beribadah.
Arsitektur, sebagai salah satu ilmu seni dalam bangunan terdiri dari tiga
komponen pokok: kegunaan, stability dan beauty. Sebuah bangunan akan
kehilangan makna jika tidak didukung oleh faktor estetika atau keindahan. Ciri
khas dari suatu bangunan sangat tergantung kepada si pembuat yakni arsitek. Ia
menyusun dan menyatukan berbagai aspek menjadi suatu karya yang berbobot. Ia
mungkin menyerap ide-ide yang bersifat enviromental, structural ataupun

decorative, dan itulah kemudian berwujud seni yang menghasilkan desain yang
indah.
Ada berbagai faktor yang memberi bobot estetis pada kualitas arsitektur. Salah
satunya adalah tata lingkungan (site). Bangunan hendaknya didirikan pada site
yang memenuhi nilai estetis dan didukung oleh latar belakang yang menunjang
keindahan. Karya seni bangunan Indonesia pada zaman Islam meliputi bangunanbangunan masjid dan makam sebagai bangunan sakral dan bangunan istana atau
bangunan tempat tinggal tokoh terkemuka dalam masyarakat sebagai bangunan
profan. Pada dasarnya Islam tidak melahirkan tradisi seni baru di Indonesia. Maka
dalam karya sini bangun pada zaman pemulaan Islam unsur-unsur seni bangunan
pra Islam masih menjadi modal dalam meneruskan konsep seni bangunan, baik
teknis maupun estetis. Tradisi seni bangunan kayu sudah dikenal sejak lama
sesuai dengan keadaan alam Indonesia yang kaya akan berbagai jenis kayu. Pada
zaman Hindu tradisi ini mencapai puncak perkembangannya dan menghasilkan
peraturan-peraturan seni bangunan sesuai dengan perkembangan kebudayaan pada
waktu itu. Tradisi seni bangunan kayu dari zaman Islam ini dapat bertahan terus
sampai datangnya pengaruh seni bangunan batu yang dibawa oleh kebudayaan
Barat
yang
masuk
Indonesia.
RUMAH ADAT SULAWESI SELATAN
Perbedaan-perbadaan karakteristik dari beberapa rumah adat yang ada di
Sulawesi
selatan
1.
RUMAH
ADAT
ATAKAE
(BOLA
SERATU’E)
Kawasan budaya Rumah Adat Atakkae terletak di Kelurahan Atakkae,
KecamatanTempe. Rumah adat tersebut dibangun tahun 1995 di pinggir Danau
Lampulung, sekitar 3 km sebelah Timur Kota Sengkang.Di dalam kawasan ini
telah dibangun puluhan duplikat rumah adat tradisional yangdihimpun dari
berbagai kecamatan, sehingga kawasan ini representatif sebagai tempat
pelaksanaan pameran.Di sekitarnya terdapat bangunan sebagai tempat menginap
wisatawan, dekat dari danau.Hampir setiap tahunnya, kawasan budaya ini ramai
dikunjungi wisatawan, terutama saatdigelar berbagai atraksi budaya dan
permainan rakyat.Di dalam kawasan tersebut dibangun sebuah rumah adat yang
lebih besar yang dijulukiSaoraja - istana Tenribali, salah seorang matoa
Wajo.Rumah tersebut mempunyai tiang sebanyak 101 buah. Setiap tiang beratnya
2 ton yangterbut dari kayu ulin dari Kalimantan.Tiang itu didirikan dengan
menggunakan alat berat (eskavator). Lingkaran tiang rumah1,45 m dengan garis
tengah 0,45 m, dan tinggi tiang dari tanah ke loteng 8,10 m.Bangunan rumah adat
ini mempunyai ukuran panjang 42,20 m, lebar 21 m, dan tinggi bubungan 15 m.
1. Tiang utama ( alliri ). jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat.
tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang
alliri.
2. Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap
barisnya.
3. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri
paling
tengah
tiap
barisnya.
Bagian

bagian
dari
rumah
bugis
ini
sebagai
berikut
:
1. Rakkeang, adalah bagian diatas langit – langit ( eternit ). Dahulu biasanya

digunakan
untuk
menyimpan
padi
yang
baru
di
panen.
2. Ale Bola, adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini,
ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( posi’ bola ).
3. Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.

2.RUMAH ADAT SAOMARIO
Sekitar 40Km dari pusat kota soppeng sebuah area yang luas yang dipenuhi
Rumah adat dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Rumah adat Bugis, Rumah
Adat makassar, Rumah Adat Toraja, Rumah Adat Mandar semuanya tertata rapi
dalam area tersebut. Bahkan beberapa rumah adat nusantara dapat dijumpai di
daerah ini. Sebut misalnya, rumah adat Minangkabau dan Batak.
Kompleks rumah adat Sao mario ini disamping berfungsi sebagai museum dengan
koleksi berbagai jenis barang antik yang bernilai tinggi dari berbagai daerah di
Indonesia dan luar negeri seperti: Kursi, Meja, Tempat Tidur, Senjata Tajam dan
berbagai macam batu permata. Di kompleks ini juga ada danau kecil tempat
bersandar duplikasi perahu pinisi. Perahu kebanggaan masyarakat Bugis Makassar
yang konon mampu mengarungi lautan luas diberbagai belahan samudera. Rumah
Adat Sao Mario terletak di Kelurahan Manorang Salo Kecamatan Marioriawa,
sekitar 30 km dari kota Watansoppeng.
Di dalam kompleks Rumah Adat Sao Mario ini, terdapat berbagai jenis Rumah
Adat yang bergaya Arsitektur Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Minangkabau
dan Batak. Rumah Adat Sao Mario di samping berfungsi sebagai museum dengan
koleksi berbagai jenis barang antik yang bernilai tinggi dari berbagai daerah di
Indonesia dan luar negeri seperti: Kursi, Meja, Tempat Tidur, Senjata Tajam dan
berbagai
macam
batu
permata.

Ini adalah salah satu rumah adat di soppeng, dinamakan saomario. Rumah ini
terbuat dari kayu hitam, dan mempunyai 100 tiang penyangga. didalam rumah
tersimpan
pusaka
peninggalan
raja-raja
soppeng
dulu.

3.RUMAH
ADAT
TONGKONAN
TORAJA
Inilah salah satu bentuk kearifan lokal mengagumkan produk rumah adat di
Indonesia. Tongkonan adalah rumah khas masyarakat Tana Toraja di Sulawesi
Selatan. Hingga saat ini rumah unik tersebut bersama budaya Tana Toraja lainnya
menjadi daya tarik wisata dan terus menerus diminati pelancong. Tongkonan
adalah rumah adat dengan ciri rumah panggung dari kayu dimana kolong di
bawah rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Atapnya rumah
tongkonan dilapisi ijuk hitam dan bentuknya melengkung persis seperti perahu
telungkup dengan buritan. Ada juga yang mengatakan bentuknya seperti tanduk
kerbau. Sekilas mirip bangunan rumah gadang di Minang atau Batak. Semua
rumah tongkonan yang berdiri berjejer akan mengarah ke utara. Arah tongkonan
yang menghadap ke utara serta ujung atap yang runcing ke atas melambangkan
leluhur mereka yang berasal dari utara. Ketika nanti meninggal mereka akan
berkumpul bersama arwah leluhurnya di utara.
Tongkonan berasal dari kata tongkon yang bermakna menduduki atau tempat
duduk. Dikatakan sebagai tempat duduk karena dahulu menjadi tempat
berkumpulnya bangsawan Toraja yang duduk dalam tongkonan untuk berdiskusi.
Rumah adat ini mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di
masyarakat. Awalnya merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, sekaligus
perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja. Masyarakat Toraja
menganggap rumah tongkonan sebagai ibu, sedangkan alang sura (lumbung padi)
sebagai bapak. Tongkonan berfungsi untuk rumah tinggal, kegiatan sosial,
upacara adat, serta membina kekerabatan. Bagian dalam rumah dibagi tiga bagian,

yaitu bagian utara, tengah, dan selatan. Ruangan di bagian utara disebut tangalok
yang berfungsi sebagai ruang tamu, tempat anak-anak tidur, serta tempat
meletakkan sesaji. Ruangan sebelah selatan disebut sumbung, merupakan ruangan
untuk kepala keluarga tetapi juga dianggap sebagai sumber penyakit. Ruangan
bagian tengah disebut Sali yang berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan
keluarga, dapur, serta tempat meletakkan orang mati.
Mayat orang mati masyarakat Toraja tidak langsung dikuburkan tetapi disimpan
di rumah tongkonan. Agar mayat tidak berbau dan membusuk maka dibalsem
dengan ramuan tradisional yang terbuat dari daun sirih dan getah pisang. Sebelum
upacara penguburan, mayat tersebut dianggap sebagai ‘orang sakit‘ dan akan
disimpan dalam peti khusus. Peti mati tradisional Toraja disebut erong yang
berbentuk kerbau (laki-laki) dan babi (perempuan). Sementara untuk bangsawan
berbentuk rumah adat. Sebelum upacara penguburan, mayat juga terlebih dulu
disimpan di alang sura (lumbung padi) selama 3 hari. Lumbung padi tersebut
tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon palem (bangah) yang licin, sehingga tikus
tidak dapat naik ke dalam lumbung. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai
ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari yang merupakan simbol untuk
menyelesaikan perkara. Saat Anda melihat rumah adat ini, ada ciri lain yang
menonjol yaitu kepala kerbau menempel di depan rumah dan tanduk-tanduk
kerbau pada tiang utama di depan setiap rumah. Jumlah tanduk kepala kerbau
tersebut berbaris dari atas ke bawah dan menunjukan tingginya derajat keluarga
yang mendiami rumah tersebut. Di sisi kiri rumah yang menghadap ke arah barat
dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih. Di sisi kanan yang menghadap
ke arah timur dipasang rahang babi.
Ornamen rumah tongkonan berupa tanduk kerbau serta empat warna dasar yaitu:
hitam, merah, kuning, dan putih yang mewakili kepercayaan asli Toraja (Aluk To
Dolo). Tiap warna yang digunakan melambangkan hal-hal yang berbeda. Warna
hitam melambangkan kematian dan kegelapan. Kuning adalah simbol anugerah
dan kekuasaan ilahi. Merah adalah warna darah yang melambangkan kehidupan
manusia. Dan, putih adalah warna daging dan tulang yang artinya suci. Ada
beberapa jenis rumah adat togkonan, antara lain tongkonan layuk (pesio'aluk),
yaitu tempat menyusun aturan-aturan sosial keagamaan. Tongkonan pekaindoran
(pekamberan atau kaparengngesan), yaitu berfungsi sebagai tempat pengurus atau
pengatur pemerintahan adat. Ada juga batu a'riri yang berfungsi sebagai
tongkonan penunjang yang mengatur dan membina persatuan keluarga serta
membina warisan. Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari orang
umumnya. Yaitu pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif ukiran
yang halus, detail, dan beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan kerbau,
serta diselang-seling sulur mirip batang tanaman. Menurut cerita masyarakat
setempat bahwa tongkonan pertama itu dibangun oleh Puang Matua atau sang
pencipta di surga. Dulu hanya bangsawan yang berhak membangun tongkonan.
Selain itu, rumah adat tongkonan tidak dapat dimiliki secara individu tapi
diwariskan
secara
turun-temurun
oleh
marga
suku
Toraja.
Rumah tongkonan rata-rata dibangun selama tiga bulan dengan sepuluh pekerja.
Kemudian ditambah proses mengecat dan dekorasi satu bulan berikutnya. Setiap
bagian tongkonan melambangkan adat dan tradisi masyarakat Toraja.

Jadi, setiap daerah memiliki seni bangun atau rumah adat yang berbeda dengan
daerah lainnya. Perbedaannya terletak dari struktur, bentuk dan karakteristiknya
hal ini disebabkan karena setiap kebudayaan daerah berbeda sehingga
mempengaruhi bentuknya. Rumah adat kabupaten wajo atau sengkang memiliki
beberapa karakteristik yang unik. Sebagai generasi penerus, kita tetap harus
melstarikan dan menjaga keberadaan rumah adat sebagai bukti kesenian dan
sejarah. Akhir kata, semoga artikel ini dapat menambah wawasan dan
pengetahuan para pembaca tentang Apresiasi gagasan dan teknik karya seni rupa
terapan daerah setempat khususnya mengenai seni bangun (rumah adat) serta
perbedaan-perbedaan atau perbandingan struktur rumah adat antara Kabupaten
Wajo atau Sengkang dengan daerah lainnya.