TELAAH KRITIS TERHADAP INKONSISTENSI KONSEP HUBUNGAN KERJA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

TELAAH KRITIS TERHADAP INKONSISTENSI KONSEP HUBUNGAN KERJA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

Ujang Charda S.

Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Subang E-mail: ujangch@gmail.com

Abstract

Act No. 13 of 2003 provides a formula, that the employment relationship occurs because of an agreement the work done by workers and employers that contains elements of employment, orders, and wages. If the work is not based on the employment agreement and is not done by workers with employers, and not mampunyai these three elements, meaning not the employment relationship. Meanwhile, the formulation of the employment agreement severely restricts the legal subject in the employment relationship, the employee who works on businessmen and entrepreneurs who run the company, either hers or not. The problem is if there are people who employ other people, but not currently in running the company, then the other person is not the workers covered by Act No. 13 of 2003. It is very clear formulation of Act No. 13 of 2003 do not understand the legal concepts of the subject law labor relations, should not the employer who become the subject of law but employers.

Keywords: Inconsistency; Employment and Labour.

Abstrak

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 memberikan rumusan, bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja yang dilakukan oleh pekerja dan pengusaha yang memuat unsur pekerjaan, perintah, dan upah. Apabila yang bekerja tidak berdasarkan perjanjian kerja serta tidak dilakukan oleh pekerja dengan pengusaha, dan tidak mampunyai ketiga unsur tersebut, berarti bukan hubungan kerja. Sementara itu, rumusan perjanjian kerja sangat membatasi subjek hukum dalam hubungan kerja, yaitu pekerja yang bekerja pada pengusaha dan pengusaha yang menjalankan perusahaan, baik miliknya atau bukan. Masalahnya apabila ada orang yang mempekerjakan orang lain, tetapi tidak sedang dalam menjalankan perusahaan, maka orang lain itu bukan pekerja yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Tampak sekali perumusan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 kurang memahami konsep hukum mengenai subjek hukum hubungan kerja, seharusnya bukan pengusaha yang menjadi subjek hukum tetapi pemberi kerja.

Kata Kunci: Inkonsistensi, Hubungan Kerja, Ketenagakerjaan.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015

A. PENDAHULUAN

permasalahan dan/atau kelemahan hanya berhubungan dengan kepentingan

berkaitan dengan konsep hubungan kerja tenaga kerja yang akan, sedang, dan yang inkonsisten antara satu pasal dengan sesudah masa kerja, 1 tetapi bagaimana

pasal yang lainnya. Di dalam Undang- caranya agar semua orang mendapatkan

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

Ketenagakerjaan, secara substansial kemanusiaan tanpa adanya diskriminatif

kriteria bekerja di dalam hubungan kerja dalam pelaksanaan hubungan kerja. 2 Hak

terjadi karena adanya perjanjian kerja yang untuk bekerja (the right to work) 3 dan hak-

dilakukan oleh pekerja dan pengusaha hak dalam pekerjaan (the rights in work)

yang memuat unsur pekerjaan, perintah, bukan hanya sebagai hak sosial ekonomi,

dan upah. Apabila yang bekerja tidak ada melainkan juga merupakan hak-hak hubungan kerja yang lahir dari perjanjian manusia yang fundamental (fundamental

serta tidak dilakukan oleh pekerja dengan human rights). 4

pengusaha, serta tidak mampunyai ketiga

Hal tersebut berimplikasi pada unsur tersebut, artinya kerja sendiri, tanggung jawab negara untuk memfasilitasi

berarti bekerja di luar hubungan kerja. dan melindungi warga negaranya agar

Hal tersebut dapat dilihat dalam dapat memperoleh penghasilan dengan rumusan Pasal 1 angka 15 jo. Pasal standar penghidupan yang layak, sehingga

50 - Pasal 66 Undang-Undang Nomor mampu memenuhi kebutuhan hidupnya

13 Tahun 2003 subjek hukum dari secara wajar atas dasar harkat dan hubungan kerja adalah pengusaha dengan martabat kemanusiaan. 5 Oleh karena itu,

pekerja/buruh, sehingga batasan subjek dalam memberikan perlindungan hukum

hukum berdasarkan ketentuan di atas terhadap tenaga kerja perlu perencanaan

sangat sempit. Batasan subjek hukum matang untuk mewujudkan tanggung akan berbeda apabila didasarkan pada jawab negara tersebut. 6 Dalam praktik ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang- kebijakan legislasi selama ini, dijumpai

Undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu

1 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 2 Ujang Charda S., Perlindungan Hukum Terhadap Anak dari Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk, Fakultas

Hukum Universitas Subang, Subang, 2015, hlm. 1. 3 Amidhan, “Tinjauan Tingginya Angka Pengangguran dari Perspektif Hak Asasi Manusia”, Semiloka

Memetakan Akar Masalah dan Solusi Tingginya Angka Pengangguran di Indonesia, Purwakarta, 18-19 Juli 2005, hlm. 3.

4 Ujang Charda S., “Tanggung Jawab Negara Indonesia dalam Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Anak”, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1, STHB, Bandung, Maret 2014, hlm. 1.

5 Maslow mengemukakan bahwa kebutuhan hidup itu pada dasarnya mencakup : food, shelter, clothing; safety of self and property; self esteem; self actualization dan love yang kesemuanya merupakan

kebutuhan kodrati manusia sebagai prasyarat untuk kondisi sehat mental. Lihat Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 5. Lihat juga Malayu S.P. Hasibuan, Manajemen : Dasar, Pengertian, dan Masalah, Bumi Aksara, Jakarta, 2003, hlm. 226-227.

6 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 1. 114

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015

sedangkan yang menjadi objek perjanjian syarat kerja, hak, dan kewajiban para kerjanya adalah pekerjaan, upah, dan pihak. Apabila dilakukan perbandingan 7 perintah. antara ketentuan Pasal 1 angka 14 dengan

Berdasarkan rumusan tersebut ketentuan Pasal 1 angka 15 jo. Pasal 50 -

menimbulkan pemisahan pengaturan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun

antara yang bekerja di dalam dan di luar 2003, maka terdapat perbedaan akibat

hubungan kerja dalam konteks hukum hukumnya. Unsur-unsur dari ketentuan

ketenagakerjaan tidak sesuai dengan asas Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8 perlindungan hukum ketenagakerjaan. Di

13 Tahun 2003 adalah subjek hukum samping itu juga tidak sesuai dengan tujuan perjanjian kerja terdiri dari pekerja/buruh 9 utama hukum ketenagakerjaan, hakikat

dengan pengusaha atau pemberi kerja, 10 hukum ketenagakerjaan, sifat hukum sedangkan yang menjadi objek perjanjian 11 ketenagakerjaan, serta ruang lingkup kerjanya adalah syarat-syarat kerja, hak,

hukum ketenagakerjaan yang secara dan kewajiban para pihak. Unsur-unsur

gramatikal dirumuskan sebagai segala tersebut berbeda dengan ketentuan hal yang berhubungan dengan tenaga Pasal 1 angka 15 jo. Pasal 50 - Pasal 66

kerja pada waktu sebelum, selama, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

7 Ujang Charda S., “Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Anak yang Bekerja di Luar Hubungan Kerja pada Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Dihubungkan dengan Prinsip Tanggung Jawab Negara

Hukum”, Disertasi, Program Pascasarjana UNISBA, Bandung, 2015, hlm. 356-357. 8 Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengemukakan,

bahwa pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung.

9 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengemukakan, bahwa tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan

manusiawi, mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah, memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan, dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

10 Maksud dari hakikat hukum ialah membawa aturan yang adil dalam masyarakat (rapport du droit, inbreng van recht) atau semua arti lain yang menunjuk ke arah ini sebagai arti dasar segala hukum.

Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 77. 11 Sifat dari hukum ketenagakerjaan bukan hanya bersifat privat mengatur kepentingan orang perorang,

dalam hal ini adalah antara tenaga kerja dan pengusaha, yaitu di mana mereka mengadakan suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian kerja, tetapi dalam perkembangannya mengalami pergeseran ke arah yang memiliki sifat-sifat publik, karena menyangkut pengaturan mengenai kebijakan pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan sebagai bagian dari hukum publik melibatkan peran negara yang cukup dominan, sehingga diharapkan negara dapat tanggap dan menjadi fasilitator kedua kepentingan kelompok, yaitu antara pekerja dan pengusaha. Pada sisi lain ada yang menilai, bahwa hukum ketenagakerjaan ini menjadi alat untuk melegitimasi tindakan pemerintah. Lihat Ujang Charda S., ”Reorientasi Reformasi Model Hukum Ketenagakerjaan dalam Kebijakan Pemerintah”, Jurnal Ilmu Hukum Syiar Hukum, Vol. XIV No. 1, Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, Maret 2012, hlm. 15.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015 115 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015 115

Menurut Iman Soepomo, bahwa beda dengan pembahasan dengan Hukum

pada dasarnya hubungan kerja adalah Perburuhan yang hanya menyangkut hubungan antara buruh dan majikan orang yang bekerja pada orang lain dalam

terjadi setelah diadakannya perjanjian suatu hubungan kerja dengan menerima

oleh buruh dengan majikan, di mana upah atau imbalan dalam bentuk lain. 13

buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima

B. PEMBAHASAN

upah dan di mana majikan menyatakan

1. Konsep Hubungan Kerja

kesanggupannya untuk mempekerjakan

Hubungan kerja atau hubungan 17 buruh dengan membayar upah. Adanya perburuhan atau hubungan industrial yang

hubungan kerja terjadi bila ada pekerja/ merupakan istilah dari labour relations,

buruh dan pengusaha sebagai subjek labour management relations, industrial

hukumnya, sedangkan hubungan antara relations 14 adalah suatu hubungan antara

seorang yang bukan pekerja/buruh seorang pekerja/buruh dengan seorang

dengan seorang yang bukan pengusaha, pengusaha yang menunjukkan kedudukan 18 namanya bukan hubungan kerja.

kedua belah pihak yang pada dasarnya Di dalam Pasal 1 angka 15 Undang- menggambarkan hak-hak dan kewajiban-

Undang Nomor 13 Tahun 2003, dirumuskan kewajiban pekerja/buruh terhadap secara formal pengertian hubungan kerja pengusaha serta hak-hak dan kewajiban- 19 sebagai hubungan antara pengusaha kewajiban pengusaha terhadap pekerja/ 20 dengan pekerja/buruh berdasarkan buruh. 15 Adanya hubungan kerja terjadi bila

perjanjian kerja yang memuat unsur ada pekerja/buruh dan pengusaha sebagai

pekerjaan, upah, dan perintah. Rumusan

12 Ujang Charda S., Mengenal Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Sejarah, Teori & Praktiknya di Indonesia, FH UNSUB, Subang, 2014, hlm. 4.

13 Koko Kosidin, “Aspek-aspek Hukum dalam Pemutusan Hubungan Kerja di Lingkungan Perusahaan Perseroan (Persero)”, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996, hlm.

305-306. 14 Ujang Charda S., Transformasi Politik Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Sebuah Orientasi Reformasi

Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Pembangunan Ketenagakerjaan), Fakultas Hukum Universitas Subang, Subang, 2016, hlm. 129.

15 Menurut Iman Soepomo, bahwa pada dasarnya hubungan kerja adalah hubungan antara buruh dan majikan terjadi setelah diadakannya perjanjian oleh buruh dengan majikan, di mana buruh menyatakan

kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan di mana majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah. Lihat Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 70.

16 Abdul Rachmad Budiono, Hukum Perburuhan, Indeks, Jakarta, 2009, hlm. 22. 17 Ibid. 18 Ibid. 19 Lihat Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 20 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

116 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015

Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor untuk menempatkan pekerja/buruh

13 Tahun 2003 mengandung hal-hal yang dan pemberi kerja tunduk pada melekat pada hubungan sebagai berikut: 22 perjanjian kerja.

a. Subjek hukum Untuk menandai hubungan kerja, Subjek hukum pendukung

D. Koeshartono dan M.F. Shellyana hubungan kerja adalah pengusaha 23 Junaedi menjelaskan sebagai berikut:

dan pekerja/buruh, sehingga tidak “... terdapat tiga unsur yang ada hubungan kerja apabila subjek

menentukan adanya hubungan hukum pendukungnya bukan

kerja, yaitu adanya pekerjaan yang pekerja/buruh dan pengusaha. Di

harus dilakukan, perintah, dan dalam hubungan kerja kedudukan

upah. Tanpa adanya salah satu pengusaha adalah sebagai pemberi

dari ketiga unsur tersebut, maka kerja, sehingga berhak dan sekaligus

tidak ada hubungan kerja”. berkewajiban untuk memberikan

Penegasan yang sama perintah-perintah yang berkaitan

tentang syarat hubungan kerja dengan pekerjaannya. Kedudukan

dikemukakan oleh Soedarjadi dengan pihak pekerja/buruh adalah sebagai

mengemukakan, bahwa apabila pihak yang menerima perintah untuk

dalam melaksanakan pekerjaan tidak melaksanakan pekerjaan. Hubungan

terdapat unsur pekerjaan, upah, antara pengusaha dan pekerja/buruh

dan perintah, maka tidak terdapat adalah hubungan yang dilakukan

hubungan kerja dan bila timbul antara atasan dan bawahan, sehingga

perselisihan atau beda pendapat sulit bersifat subordinat (hubungan yang

diselesaikan dengan undang-undang bersifat vertikal). 24 ketenagakerjaan.

b. Adanya perjanjian kerja Dalam kaitannya dengan bentuk Perjanjian kerja bertujuan untuk

perjanjian kerja, D. Koeshartono dan melindungi para pihak apabila

M.F. Shellyana Junaedi mengatakan timbul sengketa, maka perjanjian 25 sebagai berikut:

kerja tertulis merupakan alat bukti “Bentuk perjanjian kerja yang sah di pengadilan, sehingga

hendaknya bersifat bebas, artinya perjanjian kerja harus merumuskan

perjanjian tersebut dapat dibuat kehendak kedua belah pihak secara

secara lisan maupun tertulis. jelas dan tegas. 21 Pentingnya peran

Perjanjian kerja yang dibuat secara perjanjian kerja dalam hubungan kerja

tertulis lebih menjamin adanya mendorong perlunya suatu kesadaran

kepastian hukum”.

21 Juanda Pangaribuan, Kedudukan Dosen dalam Hukum Ketenagakerjaan, BIS, Jakarta, 2011, hlm. 23. 22 Ibid.

23 D. Koeshartono dan M.F. Shellyana Junaedi, Hubungan Industrial Kajian Konsep dan Permasalahannya, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2005, hlm. 59.

24 Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2008, hlm. 22-23. 25 D. Koeshartono dan M.F. Shellyana Junaedi, Op. Cit., hlm. 60.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015 117

Menurut Iman Soepomo, per- suatu ikatan hukum yang mengatur janjian kerja perlu untuk melindungi 31 serta melahirkan hak dan kewajiban.

buruh 26 yang dalam pemahaman Hal yang dapat disimpulkan, bahwa luas gagasan itu menekankan, bahwa

hubungan kerja hanya lahir karena setiap hubungan kerja harus dengan

perjanjian kerja yang melahirkan perjanjian kerja secara tertulis

perikatan dan perikatan yang lahir agar mampu melindungi pihak

karena perjanjian kerja ini yang

27 yang berkedudukan lebih lemah. 32 disebut hubungan kerja.

Sementara itu, dilihat dari segi Digunakannya perkataan fungsinya Iman Soepomo mengatakan,

hubungan kerja untuk menunjukkan bahwa perjanjian kerja secara tertulis

hubungan hukum antara pengusaha dapat berfungsi sebagai alat bukti 33 dan pekerja/buruh mengenai kerja

yang sah di pengadilan. Lebih lanjut mengandung arti, bahwa pihak Iman Soepomo berpendapat, sebagai

pekerja/buruh dalam melakukan berikut: 28

pekerjaan berada di bawah pimpinan/

“Dengan tiada surat, juga tiada 34 perintah pengusaha atau adanya perjanjian … perjanjian kerja …

suatu hubungan diperatas, yaitu satu hanya dapat dibuktikan dengan

pihak berhak memberikan perintah- surat tersebut. Artinya jika tiada

perintah yang harus ditaati oleh yang surat perjanjian, tiada pula 35 lain.

perjanjian. Surat itu adalah unsur Pemaknaan di atas akan lebih pembentukan”.

jelas, apabila dikaitkan dengan Hubungan kerja terjadi karena

pengertian perjanjian kerja dan adanya perjanjian kerja antara

pengertian pemberi kerja. Perjanjian pengusaha dengan pekerja/

kerja adalah sebagai perjanjian antara buruh, 29 sehingga merupakan

pekerja/buruh dengan pengusaha syarat administrasi dalam memulai

atau pemberi kerja yang memuat hubungan kerja yang minimal

syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban dilakukan oleh dua subjek hukum 36 para pihak. Sementara itu, pemberi

mengenai suatu pekerjaan 30 dan kerja adalah orang perseorangan, perjanjian kerja merupakan bukti dari

pengusaha, badan hukum, atau badan-

26 Juanda Pangaribuan, Op. Cit., hlm. 66. 27 Ibid., hlm. 67. 28 Ibid. 29 Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 30 Asri Wijayanti, Menggugat Konsep Hubungan Kerja, Lubuk Agung, Bandung, 2011, hlm. 55. 31 Juanda Pangaribuan, Op. Cit., hlm. 24. 32 Abdul Rachmad Budiono, Hukum …. Loc. Cit., hlm. 22. 33 Abdul Rachmad Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia , RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm.

25. 34 Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 1983, hlm. 1.

35 Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 58. 36 Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

118 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015 118 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015

Artinya, ketiadaan salah satu unsur atau imbalan dalam bentuk lain. 37

menyebabkan tidak ada hubungan Apabila batasan hubungan kerja,

kerja, karena ketiga unsur ini yang perjanjian kerja, dan pemberi kerja

membedakan antara hubungan kerja dikaitkan, selain akan melahirkan

di satu sisi dengan hubungan hukum di hubungan kerja dan perjanjian dapat

lain sisi, sehingga hal ini memberikan melahirkan hubungan hukum lain.

kekhasan pada hubungan kerja jika Hal ini didasarkan pada kenyataan,

dibandingkan dengan hubungan bahwa perjanjian kerja dapat dibuat

hukum lainnya yang di dalamnya oleh pekerja/buruh dan pengusaha

juga ada unsur pekerjaan, misalnya atau pekerja/buruh dan pemberi kerja.

hubungan antara seorang dokter Hubungan hukum antara pekerja/

dengan pasien, advokat dengan klien, buruh dengan pengusaha merupakan

notaris dengan klien, akuntan dengan hubungan kerja, 38 sedangkan hubungan

klien (pengguna jasa akuntan) bukan antara pekerja/buruh dengan pemberi

merupakan hubungan kerja, sebab kerja tetapi bukan sebagai pengusaha

dokter, advokat, notaris, dan akuntan merupakan hubungan lain (bukan

tidak berada di bawah perintah pasien hubungan kerja). 40 atau klien tersebut.

Pemberi kerja merupakan subjek Selanjutnya menurut Iman Soepomo, hukum yang pengertiannya lebih luas

bahwa hubungan kerja pada dasarnya daripada pengusaha, hal ini merupakan

meliputi soal-soal yang berkaitan pembenar bahwa perjanjian kerja 41 dengan:

dapat dibuat oleh subjek hukum lain

a. Pembuatan perjanjian kerja, karena selain pengusaha. Dengan demikian,

merupakan titik tolak adanya suatu hal yang dapat disimpulkan, bahwa

perjanjian kerja.

perjanjian kerja antara pekerja/buruh

b. Kewajiban pekerja/buruh melakukan dengan pemberi kerja yang bukan

pekerjaan pada atau di bawah pengusaha melahirkan hubungan

pimpinan pengusaha, sekaligus hukum bukan hubungan kerja. 39

merupakan hak pengusaha atas

c. Adanya unsur pekerjaan, upah, dan pekerjaan pekerja/buruh. perintah

c. Kewajiban pengusaha membayar Hubungan hukum yang dilekati

upah kepada pekerja/buruh sekaligus dengan unsur pekerjaan, upah, dan

merupakan hak pekerja/buruh atas perintah yang mempunyai sifat

upah.

37 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 38 Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 39 Abdul Rachmad Budiono, Hukum …. Loc. Cit., hlm. 22. 40 Ibid., hlm. 23. 41 Iman Soepomo dalam Payaman J. Simanjuntak, Manajemen Hubungan Industrial, FEUI, Jakarta, 2011,

hlm. 231.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015 119 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015 119

a. Sepakat mereka yang mengikatkan

e. Caranya perselisihan antara pihak-

dirinya.

pihak yang bersangkutan diselesaikan

b. Kecakapan untuk membuat suatu dengan sebaik-baiknya.

perikatan.

Merujuk pada pendapat Iman

c. Suatu hal tertentu.

Soepomo, bahwa komponen hubungan

d. Suatu sebab yang halal.

kerja di atas, menegaskan bahwa Pararel dengan syarat perjanjian di hubungan kerja selalu ditandai dengan

atas, secara khusus menurut Pasal 52 perjanjian kerja yang dalam konteks ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun hubungan kerja ini, perjanjian kerja itu

2003, bahwa perjanjian kerja dibuat atas mengatur hak dan kewajiban para pihak. 42 dasar:

Menyadari daya mengikat perjanjian

a. Kesepakatan kedua belah pihak. kerja yang kuat dan memaksa, bahwa isi

b. Kemampuan atau kecakapan perjanjian kerja tidak boleh bertentangan

melakukan perbuatan hukum. dengan undang-undang, ketertiban

c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan. umum, dan tata susila masyarakat 43 d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak

yang tidak dapat dipisahkan dari sistem bertentangan dengan ketertiban kebebasan berkontrak sebagaimana

umum, kesusilaan, dan peraturan diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata.

perundang-undangan yang berlaku. Syarat itu berfungsi sebagai pembatas,

Di dalam kepustakaan, dua syarat sehingga pihak yang membuat perjanjian

pertama disebut syarat subjektif, tidak terjerumus dengan kebebasannya.

sedangkan dua syarat terakhir disebut Oleh karena itu, ketiga syarat tersebut

syarat objektif. Tidak terpenuhinya syarat merupakan syarat substansi yang subjektif berakibat dapat dibatalkannya bertujuan melindungi salah satu pihak perjanjian (nietigheid), sedangkan tidak yang apabila bertentangan dengan tiga

terpenuhinya syarat objektif berakibat syarat tersebut, maka perjanjian itu batal

batal demi hukumnya perjanjian itu

demi hukum. 45 (nietigbaarheid). Kebatalan nietigheid Syarat yang mengharuskan perjanjian

atau batal demi hukum tidak perlu kerja tidak bertentangan dengan undang-

perbuatan hukum tertentu yang oleh N.E. undang, ketertiban umum, dan tata susila 46 Algra disebut dengan kebatalan mutlak,

berpararel dengan Pasal 1320 KUH Perdata sedangkan kebatalan suatu nietigbaarheid yang mengatur empat syarat sahnya suatu

atau dapat dibatalkan perlu perbuatan perjanjian, yaitu: 47 hukum tertentu.

42 Iman Soepomo, Hukum … Loc. Cit., hlm. 1. 43 Lihat Pasal 1337 KUH Perdata. 44 Juanda Pangaribuan, Op. Cit., hlm. 68. 45 Pasal 52 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 46 N.E. Algra dalam Abdul Rachmad Budiono, Hukum … Op. Cit., hlm. 33. 47 Ibid.

120 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015

Dibandingkan dengan perjanjian upah, sedangkan kewajiban dan hak hukum lainnya, perjanjian kerja disebut

majikan/pengusaha, yaitu membayar upah sebagai perjanjian khusus. Artinya dan menuntut tenaga kerja bekerja sesuai terdapat ketentuan perundang-undangan 48 dengan pekerjaan yang diperjanjikan. yang membatasi kebebasan pihak-pihak

Dengan demikian, sejatinya dalam rezim untuk mengadakan perjanjian, karena hukum perdata yang harus dilindungi perjanjian kerja harus memperhatikan secara hukum adalah keempat hal tersebut, batas-batas tertentu dari hukum positif

yaitu hak, kewajiban, kewenangan, atau dengan kata lain, substansi perjanjian

dan tanggung jawab dari kedua belah kerja tidak boleh lebih rendah atau pihak, yaitu tenaga kerja dan majikan/ bertentangan dengan ketentuan hukum 49 pengusaha. Terkait dengan subjek positif, misalnya dalam hal upah tidak

hukum dalam suatu hubungan kerja boleh memperjanjikan upah lebih rendah

apabila dikaitkan dengan Pasal 1 angka 15 dari upah minimum.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah pengusaha dan pekerja/buruh

2. Inkonsistensi Konsep Hubungan dengan tidak memasukan pemberi kerja, Kerja dalam Undang-Undang berarti tidak mempunyai konsekuensi apa- Nomor 13 Tahun 2003 tentang apa jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 14

Ketenagakerjaan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Pola hubungan kerja erat kaitannya

karena menghilangkan kata pemberi kerja dengan hak tenaga kerja yang selalu berdampak pada belum terlindunginya berkaitan dengan adanya perlindungan tenaga kerja yang bekerja pada selain hukum bagi pihak yang mempunyai pengusaha atau yang bekerja di sektor kedudukan lebih lemah di dalam hubungan

informal (di luar hubungan kerja). kerja, seperti anak. Di dalam hubungan

Perlindungan hukum bagi tenaga kerja kerja yang merupakan salah satu jenis

menurut Mohd. Syaufii Syamsudin harus hubungan hukum terdapat kondisi yang

dilakukan sejak sebelum dalam hubungan tidak seimbang apabila ditinjau dari sudut

kerja, selama dalam hubungan kerja, sosial ekonomi, karena kedudukan tenaga 50 dan setelah hubungan kerja berakhir.

kerja lebih rendah daripada kedudukan Hubungan kerja yang dilakukan antara pemberi kerja.

tenaga kerja dengan pengusaha yang selama Pada dasarnya subjek hukum dalam

ini di Indonesia, belum mencerminkan suatu hubungan kerja adalah kewajiban

adanya perlindungan hukum seperti yang dan hak tenaga kerja, yaitu melakukan

diutarakan oleh Mohd. Syaufii Syamsudin. pekerjaan yang dijanjikan dan menerima

Pada saat sebelum hubungan kerja

48 Toto Tohir Suriaatmadja, “Aspek Perlindungan Hukum dalam Hukum Ketenagakerjaan”, Makalah Seminar Nasional yang Diselenggarakan Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana UNISBA, Savoy

Homann Bidakara Hotel, Bandung, 23 November 2013, hlm. 2. 49 Ibid.

50 Mohd. Syaufii Syamsudin, Norma Perlindungan dalam Hubungan Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2004, hlm. 8.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015 121

122 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015

berlangsung, perlindungan hukum yang diberikan pemerintah kepada tenaga kerja belum maksimal, karena belum adanya regulasi atau peraturan perundang- undangan yang mengatur hak tenaga kerja pada saat sebelum terjadinya hubungan kerja. Perlindungan hukum bagi tenaga kerja sebelum terjadinya hubungan kerja yang sangat prinsip belum dilaksanakan oleh pemerintah adalah adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang hanya membatasi hubungan kerja pada hubungan yang didasarkan pada perjanjian kerja.

Rumusan perjanjian kerja sangat membatasi subjek hukum, yaitu pekerja yang bekerja pada pengusaha dan pengusaha yang menjalankan perusahaan, baik miliknya atau bukan. Sementara itu, apabila ada orang yang mempekerjakan orang lain, tetapi tidak sedang dalam menjalankan perusahaan, maka orang lain itu bukan pekerja yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Tampak sekali perumusan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 kurang memahami konsep hukum mengenai subjek hukum hubungan kerja, seharusnya bukan pengusaha yang menjadi subjek hukum tetapi pemberi kerja. Pengertian pemberi kerja adalah mencakup siapapun yang sedang mempekerjakan orang lain untuk memenuhi kepentingannya dengan membayar upah. Makna menjalankan kepentingan di sini harus merupakan suatu kepentingan yang tidak bertentangan

dengan dasar filosofis manusia yang secara kodrati tidak boleh ada unsur

merugikan orang lain. Dengan demikian, suatu kepentingan untuk menjalankan pekerjaan harus sesuai dengan kepatutan, ketertiban umum, dan peraturan perundang-undangan. 51

Kandungan materiil dari kepentingan yang letaknya sebagai subjek hukum dalam hubungan kerja harus benar- benar menguntungkan kedua belah pihak, baik pemberi kerja maupun pekerja. Selama ini, makna perlindungan hukum bagi pekerja seolah hanya ada di dalam peraturan perundang-undangan tanpa ada harapan untuk pelaksanaannya. Perlindungan hukum bagi pekerja memang harus menitikberatkan pada kepentingan pekerja, hal ini karena negara mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan dan jaminan pelaksanaan hak kepada pekerja, karena secara sosial ekonomi kedudukan pekerja adalah lemah, sehingga harus dilindungi dari kekuasaan pemberi kerja. Apabila dikembalikan kepada hakikat hukum ketenagakerjaan adalah hukum yang memberikan perlindungan kepada tenaga kerja, pemerintah harus membuat kondisi perlindungan itu dapat terlaksana. Pemerintah dapat melakukan

2 (dua) hal, yaitu pembuatan norma hukum ketenagakerjaan yang terwujud dalam regulasinya serta adanya jaminan pemerintah dapat membuat suatu regulasi yang dapat memfungsikan pegawai pengawas ketenagakerjaan. 52

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka

15 jo. Pasal 50 - Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 subjek hukum

51 Pasal 52 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 52 Asri Wijayanti, Menggugat … Op. Cit., hlm. 103.

dari hubungan kerja adalah pengusaha Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor dengan pekerja/buruh, sehingga batasan

13 Tahun 2003 adalah subjek hukum subjek hukum berdasarkan ketentuan perjanjian kerja terdiri dari pekerja/buruh di atas sangat sempit. Batasan subjek dengan pengusaha atau pemberi kerja, hukum akan berbeda apabila didasarkan

sedangkan yang menjadi objek perjanjian pada ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-

kerjanya adalah syarat-syarat kerja, hak, Undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu dan kewajiban para pihak. Unsur-unsur perjanjian kerja adalah perjanjian antara

tersebut berbeda dengan ketentuan pekerja/buruh dengan pengusaha atau Pasal 1 angka 15 jo. Pasal 50 - Pasal 66 pemberi kerja yang memuat syarat-syarat

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 kerja, hak, dan kewajiban para pihak.

dengan subjek hukum perjanjian kerjanya

Apabila dilakukan perbandingan adalah pengusaha dengan pekerja/buruh, antara ketentuan Pasal 1 angka 14 dengan

sedangkan yang menjadi objek perjanjian ketentuan Pasal 1 angka 15 jo. Pasal 50 -

kerjanya adalah pekerjaan, upah, dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun

perintah. Apabila hal tersebut dilakukan 2003, maka terdapat perbedaan akibat

perbandingan ke dalam bentuk tabel akan hukumnya. Unsur-unsur dari ketentuan 53 tampak sebagai berikut:

Tabel 1.

Perbandingan Pasal 1 angka 14 dengan Pasal 1 angka 15, Pasal 50, dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Unsur-

Pasal 1 angka 15

Pasal 1 angka 14 Perbedaan unsur

jo. Pasal 50 – 66

Pekerja/buruh Pemberi kerja Subjek

Pengusaha dengan

dengan pengusaha lebih luas daripada hukum

pekerja/buruh

atau pemberi kerja pengusaha Syarat-syarat kerja,

Objek

Perintah menunjukkan hak, dan kewajiban hukum

Pekerjaan, upah,

hubungan sub ordinasi para pihak

dan perintah

dengan pemberi kerja, bahwa menurut Berdasarkan tabel di atas, Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor menunjukkan adanya pertentangan

13 Tahun 2003 dikemukakan, bahwa batasan dua pengertian yang diberikan

pemberi kerja adalah orang perseorangan, oleh pembuat undang-undang, yaitu pengusaha, badan hukum, atau badan- subjek hukum pengusaha dengan pemberi

badan lainnya yang mempekerjakan kerja, adanya unsur perintah di dalam

tenaga kerja dengan membayar upah atau perjanjian kerja. Sementara itu, apabila

imbalan dalam bentuk lain, sedangkan dianalisis batasan pengusaha berbeda tenaga kerja dirumuskan sebagai setiap

53 Ibid., hlm. 105.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015

seutuhnya dan pembangunan baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri

masyarakat Indonesia seluruhnya maupun untuk masyarakat.

untuk mewujudkan masyarakat yang Berdasarkan ketentuan di atas, dapat

sejahtera, adil, makmur, yang merata, dianalisis adanya perbedaan penafsiran

baik materiil maupun spiritual mengenai batasan pengertian pekerja,

berdasarkan Pancasila dan Undang- apabila ketentuan Pasal 1 angka 3, Pasal

Undang Dasar Negara Republik

1 angka 5, Pasal 1 angka 6, Pasal 1 angka

Indonesia Tahun 1945;

15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun b. bahwa dalam pelaksanaan 2003 dengan ketentuan Pasal 1 angka

pembangunan nasional, tenaga kerja

3, Pasal 1 angka 14 Undang-Undang mempunyai peranan dan kedudukan Nomor 13 Tahun 2003, bahwa batasan

yang sangat penting sebagai pelaku pengertian pekerja, apabila didasarkan

dan tujuan pembangunan; pada ketentuan Pasal 1 angka 3, Pasal 1

c. bahwa sesuai dengan peranan dan angka 5, Pasal 1 angka 6, Pasal 1 angka 15

kedudukan tenaga kerja, diperlukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

pembangunan ketenagakerjaan sangat sempit dan terbatas hanya meliputi

untuk meningkatkan kualitas tenaga orang yang bekerja pada pengusaha saja,

kerja dan peran sertanya dalam bukan pada pemberi kerja, sedangkan

pembangunan serta peningkatan ketentuan Pasal 1 angka 3, Pasal 1 angka

perlindungan tenaga kerja dan

14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 keluarganya sesuai dengan harkat dan dikenal subjek hukum pemberi kerja yang

martabat kemanusiaan”.

dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pengertiannya

Berdasarkan konsiderans huruf a, lebih luas daripada pengusaha, demikian

huruf b, dan huruf c Undang-Undang juga dengan pengertian tenaga kerja lebih

Nomor 13 Tahun 2003, dapat diketahui luas daripada pekerja.

bahwa pembentuk undang-undang

Apabila mengkaji hakikat dari menghendaki dibuatnya suatu aturan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

hukum yang memberikan perlindungan yang menyandang nama besar sebagai hukum kepada tenaga kerja, mengingat Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah

peranan dan kedudukannya yang sangat suatu undang-undang yang memberikan

penting sebagai pelaku dan tujuan perlindungan pada tenaga kerja bukan pembangunan. pada pekerja. Hal ini dapat diketahui pada

Dasar filosofis tersebut dijelaskan dasar filosofis terbentuknya Undang-

lebih lanjut mengenai pembangunan Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang dapat

ketenagakerjaan dalam Penjelasan Umum dilihat dari konsiderans menimbang huruf

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,

a, huruf b, dan huruf c sebagai berikut:

sebagai berikut:

“a. bahwa pembangunan nasional “… sebagai bagian integral dari

dilaksanakan dalam rangka pembangunan nasional berdasarkan

124 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Konsiderans menimbang huruf d

Negara Republik Indonesia Tahun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 1945, dilaksanakan dalam rangka tersebut, membatasi pengertian tenaga pembangunan manusia Indonesia kerja hanya mencakup pekerja saja bukan seutuhnya dan pembangunan tenaga kerja, hal ini menunjukkan adanya masyarakat Indonesia seluruhnya pertentangan norma antara konsiderans untuk meningkatkan harkat, menimbang huruf a, huruf b, dan huruf martabat, dan harga diri tenaga

c dengan konsiderans huruf d Undang- kerja, serta mewujudkan masyarakat

Undang Nomor 13 Tahun 2003. Lebih sejahtera, adil, makmur, dan merata,

lanjut, dasar filosofi yang ada pada

baik materiil maupun spiritual. konsiderans menimbang huruf a, huruf Pembangunan ketenagakerjaan harus

b, dan huruf c tersebut tidak diterapkan diatur sedemikian rupa, sehingga dalam pasal-pasal Undang-Undang terpenuhi hak-hak dan perlindungan

Nomor 13 Tahun 2003, khususnya hanya yang mendasar bagi tenaga kerja dan

membatasi pekerja yang bekerja pada pekerja/buruh serta pada saat yang

pengusaha saja, bukan pekerja yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi

bekerja pada pemberi kerja. Ini berarti

yang kondusif bagi pengembangan substansi Undang-Undang Nomor 13 dunia usaha”.

Tahun 2003 hanya menitikberatkan pada pengaturan hubungan kerja di sektor

Perlindungan hukum bagi tenaga formal. kerja merupakan perwujudan dari usaha

Pengaturan masalah ketenagakerjaan untuk memajukan kesejateraan umum, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun

tetapi dasar filosofi yang ditetapkan oleh 2003 tentang Ketenagakerjaan yang pembuat Undang-Undang Nomor 13 Tahun

menitikberatkan pada aspek hubungan 2003 ini, ternyata tidak konsisten. Hal

kerja, berarti tidak sejalan dengan ruang ini tampak dalam rumusan konsiderans

lingkup hukum ketenagakerjaan yang menimbang huruf d Undang-Undang mencakup segala hal yang berhubungan Nomor 13 Tahun 2003 sebagai berikut:

dengan tenaga kerja sebelum, selama,

“Perlindungan terhadap tenaga dan sesudah masa kerja. Oleh karena kerja dimaksudkan untuk menjamin

itu, terhadap Undang-Undang Nomor 13

hak-hak dasar pekerja/buruh dan Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjamin kesamaan kesempatan diusulkan harus segera direvisi dan kerja serta perlakuan tanpa memasukan mengenai pengaturan diskriminasi atas dasar apapun untuk

tentang hubungan ketenagakerjaan, baik mewujudkan kesejahteraan pekerja/

di sektor formal maupun informal, atau buruh dan keluarganya dengan tetap

segera diganti dengan Undang-Undang

memperhatikan perkembangan Ketenagakerjaan yang baru. Hal ini kemajuan dunia usaha”.

mengingat beberapa pasal yang ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah dilakukan

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015 125 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015 125

Nomor 13 Tahun 2003 tentang yang telah diuji tersebut dinyatakan

Ketenagakerjaan.

bertentangan dengan Undang-Undang

g. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

58/PUU-VII/2011 tentang pengujian 1945 dan dinyatakan tidak memiliki

169 ayat (1) huruf c Undang-Undang kekuatan mengikat adalah sebagai

Nomor 13 Tahun 2003 tentang berikut: 54

Ketenagakerjaan.

a. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

h. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 tentang pengujian

100/PUU-VII/2012 tentang pengujian Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160 ayat

Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 (1), Pasal 170, Pasal 171, Pasal 186

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun

i. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2003 tentang Ketenagakerjaan.

117/PUU-VII/2012 tentang pengujian

b. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Pasal 163 ayat (1) Undang-Undang 115/PUU-VII/2009 tentang pengujian

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Pasal 120 ayat (1), ayat (2), dan ayat

Ketenagakerjaan.

(3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun j. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2003 tentang Ketenagakerjaan.

69/PUU-VII/2013 tentang pengujian

c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Pasal 160 ayat (3) dan ayat (7), Pasal 61/PUU-VIII/2010 tentang pengujian

162 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Pasal 1 butir 22, Pasal 88 ayat (3) huruf

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

a, Pasal 90 ayat (2), Pasal 160 ayat (3)

Ketenagakerjaan.

dan ayat (6), Pasal 162 ayat (1) huruf a, k. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13

96/PUU-VII/2013 tentang pengujian Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8),

d. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor dan Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang 19/PUU/2011 tentang Pengujian

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang

Ketenagakerjaan.

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Apabila mencermati lebih jauh, Ketenagakerjaan.

sebenarnya Indonesia pernah mempunyai

e. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor aturan yang berkaitan dengan pekerja

27/PUU/2011 tentang pengujian informal, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Pasal 65 ayat (7), dan Pasal 66 ayat

Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yang (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun

keberadaannya menimbulkan perdebatan, 2003 tentang Ketenagakerjaan.

sehingga ditunda masa berlakunya oleh

f. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 jo.

37/PUU/2011 tentang pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

54 Ujang Charda S., ”Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan dalam Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 32 No. 1, STHB, Bandung, Maret 2015, hlm. 18-19.

126 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015

Undang Nomor 3 Tahun 2000 jo. Undang- “Usaha sektor informal adalah Undang Nomor 28 Tahun 2000 sampai

kegiatan orang perseorangan atau tanggal 1 Oktober 2002 yang akhirnya

keluarga atau beberapa orang yang tidak berlaku dan dinyatakan dicabut

melaksanakan usaha bersama untuk dengan diundangkannya Undang-Undang

melakukan kegiatan ekonomi atas Nomor 13 Tahun 2003.

dasar kepercayaan dan kesepakatan, Terkait dengan ruang lingkup

dan tidak berbadan hukum”. pengaturan hukum ketenagakerjaan, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun

Di samping itu, terdapat rumusan 1997 ada rumusan mengenai hubungan

mengenai pekerja sektor informal yang kerja sektor formal maupun informal pengertiannya diatur dalam Pasal 1 angka sebagaimana terumus dalam Pasal 1 angka

32 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997

7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 dengan rumusan sebagai berikut: yang dirumuskan sebagai berikut:

“Pekerja sektor informal adalah tenaga “Hubungan kerja sektor formal

kerja yang bekerja dalam hubungan adalah suatu hubungan kerja yang

kerja sektor informal dengan terjalin antara pengusah dengan

menerima upah dan/atau imbalan”. pekerja berdasarkan perjanjian kerja, baik untuk waktu tertentu maupun

Sementara itu, dirumuskan pula untuk waktu tidak tertentu yang mengenai pengertian pekerja (sektor mengandung adanya unsur pekerjaan,

formal) dalam Pasal 1 angka 3 Undang- upah, dan perintah”.

Undang Nomor 25 Tahun 1997 sebagai berikut: “Pekerja adalah tenaga kerja yang

Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka 33 bekerja di dalam hubungan kerja pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997

pengusaha dengan menerima upah”. diatur mengenai hubungan kerja sektor

Di dalam rumusan tersebut, pengertian informal yang dirumuskan sebagai berikut:

pekerja sektor informal maupun formal “Hubungan kerja sektor formal adalah

merupakan bagian dari pengertian tenaga

suatu hubungan kerja yang terjalin kerja yang dirumuskan dalam Pasal 1 antara pekerja dan orang perseorangan

angka 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun atau beberapa orang yang melakukan

1997 sebagai berikut:

usaha bersama yang tidak berbadan “Tenaga kerja adalah setiap orang laki- hukum atas dasar saling percaya dan

laki atau wanita yang sedang dalam sepakat dengan menerima upah dan/

dan/atau akan melakukan pekerjaan, atau imbalan atau bagi hasil”.

baik di dalam hubungan kerja maupun di luar hubungan kerja guna

Selain itu, terdapat juga rumusan usaha menghasilkan barang atau jasa untuk sektor informal berdasarkan ketentuan

memenuhi kebutuhan masyarakat”. Pasal 1 angka 31 Undang-Undang Nomor

25 Tahun 1997 yang dirumuskan sebagai Pengaturan lebih lanjut mengenai berikut:

hubungan kerja sektor informal, diatur

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015 127 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015 127

dinyatakan tidak berlaku lagi. Asas lex Sektor Informal dan di Luar Hubungan

specialis derogat legi generalis diterapkan Kerja, Pasal 158 sampai dengan Pasal 160

apabila ada peraturan yang kemudian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997

dan peraturan yang lebih terdahulu dan yang di dalamnya dirumuskan mengenai

mengatur tentang hal yang sama, maka hak-hak tenaga kerja yang bekerja di luar

yang berlaku adalah peraturan yang hubungan kerja, yaitu:

kemudian.

a. Jaminan sosial tenaga kerja. Berkaitan dengan hubungan kerja

b. Keselamatan kerja dan melakukan sektor informal, apabila ketentuan yang

pekerjaan. termuat di dalam peraturan perundang-

c. Pembinaan dan pengembangan undangan yang lama tersebut tidak melalui memasyarakatkan dan bertentangan dengan landasan filosofis memberdayakan tenaga kerja bekerja

peraturan perundang-undangan yang mandiri, meningkatkan keterampilan

baru, harus dinyatakan bahwa ketentuan teknis dan manajerial tenaga kerja itu tetap berlaku melalui peralihan mandiri, peningkatan keterampilan peraturan perundang-undangan yang dan keahlian kerja melalui lembaga

baru. Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendidikan dan pelatihan, serta apabila peraturan perundang-undangan konsultasi bagi tenaga kerja bekerja

(Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003) mandiri, dan penyediaan tenaga tidak mengaturnya terhadap keadaan penyuluh.

ini yang dibutuhkan untuk situasi yang

d. Perlindungan dan peningkatan sedang dihadapi, ketentuan tersebut justru kesejahteraan tenaga kerja.

termuat di dalam peraturan perundang-

Ketentuan hukum mengenai undangan yang telah digantikan. Apabila hubungan kerja sektor informal yang ketentuan yang termuat dalam peraturan diatur dalam Undang-Undang Nomor 25

perundang-undangan yang lama tidak Tahun 1997, apabila menerapkan asas bertentangan dengan landasan filosofis hukum lex specialis derogat legi generalis,

peraturan perundang-undangan yang maka ketentuan ini sudah tidak berlaku.

baru, harus dapat dinyatakan bahwa Berdasarkan ketentuan Pasal 192 Undang-

ketentuan itu tetap berlaku melalui aturan Undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu peralihan peraturan perundang-undangan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 55 yang baru. tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Berdasarkan uraian di atas, subjek Pengganti Undang-Undang Nomor 3 hukum dalam hubungan kerja seharusnya Tahun 2000 tentang Perubahan Atas terdiri dari pemberi kerja dengan pekerja/ Undang-Undang Nomor 11 tahun 1998

buruh, bukan antara pengusaha dengan tentang Perubahan Berlakunya Undang-

pekerja. Pemberi kerja adalah orang Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang

yang memberikan pekerjaan, jadi tidak

55 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 101.

128 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015 128 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015

pada pengusaha saja, tetapi meliputi semua kerja sebagai hubungan antara pemberi

orang yang bekerja, baik pada negara kerja dengan pekerja/buruh berdasarkan

maupun yang bekerja pada orang lain perjanjian kerja, maka perlindungan sebagai pengusaha dan bukan pengusaha. hukum terhadap pekerja/buruh semakin

Berdasarkan uraian di atas, dapat terwujud.

pola hubungan kerja bagi anak yang Dengan demikian, konsep hubungan

melakukan pekerjaan harus didasarkan kerja mengalami pergeseran, batasan pada perjanjian kerja yang dibuat secara subjek hukum hanya diartikan secara tertulis antara pengusaha dengan orang sempit pada pekerja/buruh dengan tua/walinya yang mempunyai unsur pengusaha saja, bukan pada pemberi kerja 57 pekerjaan, upah, dan perintah dengan membawa akibat kurangnya perlindungan

menempatkan kedudukan anak dalam hukum. Pekerja/buruh yang dilindungi lingkungan hukum sebagai subjek hukum oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun yang ditentukan dari bentuk dan sistem 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya hukum terhadap anak sebagai kelompok pekerja/buruh formal yang bekerja pada

masyarakat yang berada dalam status pengusaha, sedangkan pekerja/buruh hukum yang tergolong tidak mampu yang bekerja pada pemberi kerja selain

(lemah). Maksud tidak mampu (lemah), pengusaha tidak mendapat perlindungan

karena kedudukan akal dan pertumbuhan hukum, dan pekerja/buruh informal juga

fisik yang sedang berkembang dalam diri tidak mendapat perlindungan hak-haknya 58 anak yang bersangkutan.

sebagai pekerja/buruh. 56 Dengan demikian, hubungan kerja

Hal tersebut tidak sejalan dengan terjadi karena adanya perjanjian kerja pergeseran hukum perburuhan ke antara pekerja/buruh dan pengusaha hukum ketenagakerjaan, dan semangat yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dari pembentukan hukum ketenaga- 59 dan kewajiban para pihak. Ketentuan kerjaan yang seharusnya dalam perjanjian kerja yang ada dalam Undang- regulasi formalnya melalui Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan merupakan bagian dari Ketenagakerjaan mencerminkan bentuk hubungan kerja, bukan merupakan bagian perlindungan hukum bagi segenap dari hukum perjanjian. Oleh karena itu, tenaga kerja sebagaimana prinsip umum

ketentuan perjanjian kerja bukan hukum perlindungan dalam ruang lingkup hukum

pelengkap (aanvullend recht), sehingga

56 Koko Kosidin, Aspek-aspek Hukum … Op. Cit., hlm. 306-307. 57 Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 58 Elfrianto, “Hak atas Pendidikan dan Perlindungan Hukum Pekerja Anak”, Jurnal Madani Vol. 8 No. 2,

FKIP Universitas Muhammadiyah, Sumut, 2007, hlm. 256. 59 Pasal 1 angka dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015 129 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015 129

boleh lisan, hal ini akan menyebabkan kerja dalam hukum ketenagakerjaan

kebatalan dari perjanjian kerja. bersifat wajib untuk ditaati dan diikuti. 60 Sementara itu, rumusan Pasal 52

Para pihak dalam perjanjian kerja Undang-Undang Nomor 13 Tahun tidak dapat membuat perjanjian kerja yang

2003 tentang Ketenagakerjaan menyimpang dari ketentuan peraturan

hampir persis dengan Pasal 1320 perundang-undangan ketenagakerjaan,

KUH Perdata, hanya saja rumusannya sehingga tidak dapat dikesampingkan oleh

berbeda pada ayat (1) hurup c, yaitu para pihak dalam membuat perjanjian

adanya pekerjaan yang diperjanjikan, kerja, karena perjanjian kerja merupakan

sedangkan rumusan Pasal 1320 bagi dari hukum ketenagakerjaan bukan

hurup c KUH Perdata, yaitu suatu bagian dari hukum perjanjian. Hukum

hal tertentu dan bersifat objektif, perjanjian yang mengatur ketentuan

karena dirumuskan secara umum umum, sepanjang tidak diatur oleh hukum

untuk dasar seluruh perjanjian dalam ketenagakerjaan, berlaku dalam perjanjian 62 masyarakat.

kerja, tetapi bila Undang-Undang Nomor Selanjutnya, dalam penjelasan

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 telah mengaturnya, maka ketentuan

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tersebut bersifat memaksa dan tidak dapat

dikatakan bahwa kesepakatan adalah dikesampingkan. 61