IMPLEMENTASI PERATURAN JAKSA AGUNG No. 006/A/J.A/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENUNTUTAN (Studi Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)

  IMPLEMENTASI PERATURAN JAKSA AGUNG No. 006/A/J.A/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENUNTUTAN (Studi Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung) (Jurnal) Oleh: Regina Prananda Romli

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018

  

ABSTRAK

  

IMPLEMENTASI PERATURAN JAKSA AGUNG No. 006/A/J.A/2015

TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI

PADA TINGKAT PENUNTUTAN

(Studi Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)

  

Oleh

Regina Prananda Romli, Firganefi, Rini Fathonah

Email :

  Peraturan Jaksa Agung No. 006/A/J.A/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan mewajibkan aparat penegak hukum khususnya Penuntut Umum dalam menangani perkara Anak menggunakan pendekatan keadilan restorative dan mengupayakan Diversi. Mengingat Peraturan Jaksa Agung tentang Pedoman Diversi pada tingkat Penuntutan merupakan baru, maka perlu dilakukan penelitian dengan permasalahan: bagaimanakah pelaksanaan Diversi berdasarkan Peraturan Jaksa Agung No. 006/A/J.A/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan?, apakah faktor penghambat pelaksanaan Diversi berdasarkan Peraturan Jaksa Agung No.

  006/A/J.A/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan observasi dan wawancara secara langsung pada objek penelitian. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa pelaksanaan Diversi di wilayah Kejaksaan Negeri Bandar Lampung belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan undang-undang, tetapi sudah mulai memperhatikan asas kepentingan terbaik bagi anak. Faktor penghambatnya adalah Penuntut Umum yang digunakan dalam menangani perkara anak masih terdapat dari Penuntut Umum biasa, Masih bersikap kaku dan belum menggunakan pendekatan restorative, dan kesadaran hukum warga masyarakat masih rendah. Saran dalam Penelitian ini adalah: kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia agar diadakan penataran tentang Diversi kepada aparat penegak hukum, sarana dan fasilitas yang belum ada segera diadakan, dan dilakukan sosialisasi kepada warga masyarakat tentang pentingnya Diversi dalam meyelesaikan perkara Anak.

  Kata kunci: Diversi, Penuntutan, Anak.

  

ABSTRACT

THE IMPLEMENTATION OF ATTORNEY GENERAL'S REGULATION NO.

006/A/J.A/2015 CONCERNING THE GUIDELINES OF DIVERSION PROGRAM

(A Study At State Attorney Bandar Lampung)

  

By

Regina Prananda Romli, Firganefi, Rini Fathonah

Email :

  

The Regulation of Attorney General No. 006/A/J.A/2015 on the Guidelines of Diversion

Program at Prosecution Level requires law enforcement officers, especially the Public

Prosecutor to apply restorative justice approach and diversion in handling children

cases. Knowing that the regulation on Diversion Guidelines at Prosecution Level is

considerably new, it is necessary to formulate the research questions as follows: how is

the implementation of Diversion program in accordance with Attorney General's

Regulation no. 006/A/J.A/2015 on the Guidelines of Diversion program at Prosecution

Level?, what are the inhibiting factors of the implementation of Diversion program in

accordance with Attorney General's Regulation no. 006/A/J.A/2015 on the Guidelines of

Diversion program at Prosecution Level? The research method was done using

normative and empirical approaches. The data source and type of data in this research

consisted of primary data which was obtained from field studies by conducting

observations and interviews directly on the object of the research. Based on the result of

the research, it showed that the implementation of Diversion program in Bandar

Lampung State Attorney has not been fully in line with the provisions of law, but it has

begun to pay attention to the principle of best interests of the children. Among the

inhibiting factors included: the public prosecutor who handled the children cases still

came from the common public prosecutor who were being rigid and have not

implemented the restorative approach yet, as well as the legal awareness of the

community that was still low. The suggestions in this research are as follows: the

Attorney General of the Republic of Indonesia shall educate about Diversion program

to the law enforcement officers, to complete the facilities and infrastructures, and to

conduct socialization to the community about the importance of Diversion in settling the

children cases.

  Keywords: Diversion, Prosecution, Child

I. PENDAHULUAN

  Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Anak merupakan generasi penerus bangsa yang memiliki keterbatasan dalam memahami dan melindungi diri dari berbagai pengaruh sistem yang ada.

  penanggulangan kenakalan anak, saat ini melalui penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak (Juvenile

  Justice ). Tujuan penyelenggaraan

  sistem peradilan anak (Juvenile Justice

  System ) tidak semata-mata bertujuan

  untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana pendukung untuk mewujudkan kesejahteraan anak sebagai pelaku tindak pidana. Upaya pemerintah untuk melindungi hak-hak anak, salah satunya yaitu didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur hak-hak anak, salah satunya berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak, perlu segera dilakukan.

  merupakan terjemahan dari istilah The

  Juvenile Justice System yaitu suatu 1 Marlina, ”Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice ”, Bandung, PT Refika Aditama, 2009, hlm. 15 2 Nandang Sambas. 2010. Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia . Yogyakarta:

  istilah yang digunakan sedefinisi dengan sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan penasihat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.

  3 Penelitian ini mengangkat suatu kasus

1 Salah satu upaya pencegahan dan

  tentang perjalanan perkara anak yang masih dibawah umur melakukan tindak pidana pencurian satu unit sepeda motor diwilayah hukum Polsek Teluk Betung Timur, namun pada pemeriksaan awal oleh penyidik di Polsek Teluk Betung Timur tidak ditemukan kendala dalam penerapan sistem peradilan pidana sesuai dengan hukum di Indonesia karena pada saat membuat berita acara pemeriksaan (BAP) tersangka mengaku, bahwa dirinya sudah berumur 19 Tahun, sehingga penyidik menahan tersangka serta melimpahkan berkasnya ke Penuntut Umum di kantor Kejaksaan Negeri Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, dan pada tingkat penuntutan pun pada saat melaksanakan Tahap II sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) KUHAP yaitu tahap penyerahan tersangka dan Barang bukti dari penyidik polri ke Penuntut Umum tidak ditemukan hal yang ganjil, karena si tersangka mengakui pada saat membuat Berita Acara Pemeriksaan tersangka bahwa dirinya berusia 19 Tahun kemudian berkas anak tersebut diteruskan hingga ke Pengadilan Negeri Bandar Lampung, namun pada saat pemeriksaan tersangka, keluarga tersangka datang dan memberikan surat kartu keluarga yang menyatakan bahwa umur tersangka masih 16 Tahun, sehingga pengadilan negeri Bandar Lampung memberhentikan pemeriksaan dan 3 M. Nasir Djamil. Anak Bukan untuk Dihukum,

2 Istilah sistem peradilan pidana anak

  mengembalikan berkas ke pihak kejaksaan. Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum sangat dibutuhkan adanya persamaan persepsi antara penegak hukum dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum sehingga akan terwujudlah sistem peradilan yang terpadu, senada dengan wacana tersebut para aparat penegak hukum telah membuat suatu kesepakatan dengan surat keputusan bersama tertanggal 22 Desember 2009 yaitu antara ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Tentang penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Surat edaran JAMPIDUM tersebut ternyata tidak ada kebijakan mengenai konsep diversi sehingga terjadi ketidaksesuaian antara jumlah kasus perkara anak yang masuk dan yang berhasil dilakukan diversi pada tingkat penuntutan. Setelah dilakukan pra-survey pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, terdapat jumlah total kasus perkara anak yang masuk pada kuartal kedua pada tahun 2016 berjumlah 28 perkara, namun yang berhasil di lakukan upaya diversi tidak lebih dari setengah dari jumlah perkara yang masuk. Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas dan kenyataan yang terjadi dilapangan maka sebab dari tidak sesuainya jumlah perkara dan jumlah yang berhasil dilakukan upaya diversi dikarenakan tidak terdapat dasar peluang jaksa untuk melakukan diversi pada anak yang berhadapan dengan hukum sesuai yang tertuang didalam aturan Beijing Rules.

  Namun setelah di undangkan sistem peradilan anak yang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 serta petunjuk teknik khusus pada tingkat penuntut umum dengan di 006/A/J.A/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi pada Tingkat Penuntutan yang didalamnya terdapat aturan mengenai pelaksanaan Diversi, dan dalam aturan tersebut adalah merupakan secercah harapan bagi seluruh Rakyat yang menantikan keadilan khususnya bagi perkara anak yang berhadapan dengan hukum, dimana mengingat semakin meningkatnya tindak pidana yang dilakukan anak dibawah umur di Negara Republik Indonesia oleh sebab itu untuk mengendalikan tingkat kejahatan dan melindungi hak-hak anak yang rentan pada diskriminasi konsep diversi sangat ideal untuk mengalihkan proses peradilan dari sistem peradilan formal ke sistem peradilan informal. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1.

  Bagaimanakah implementasi peraturan Jaksa Agung No. 006/A/J.A/2015 tentang pedoman pelaksanaan diversi pada tingkat penuntutan di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung? 2. Apakah faktor yang menghambat implementasi peraturan Jaksa

  Agung No. 006/A/J.A/2015 tentang pedoman pelaksanaan diversi pada tingkat penuntutan di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung? Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris.Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.Penentuan narasumber dilakukan dengan wawancara dengan responden.Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan.Analisis data yang

II. PEMBAHASAN A. Implementasi peraturan Jaksa Agung No. 006/A/J.A/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan Di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

  Anak-anak yang hidupnya membutuhkan bantuan dan perlindungan, seperti anak-anak terlantar, yatim piatu, dan sebagainya yang jika dibiarkan berkeliaran dapat berkembang menjadi orang-orang jahat.

  Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Alumni.

  Anak/2015/PN.Tjk 5 Soedjono Dirdjosiswono. 1983.

  1. Penetapan Nomor 45/Pid.Sus-

  Analisis kasus pada studi kasus di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung yaitu:

  rangkaian proses dari penyelidikan sampai pada pelaksanaan putusan. ketika upaya diversi pada tingkat penyidikan gagal, maka upaya tersebut dilanjutkan pada pada tahap Penuntutan. Tahap penuntutan dijadikan sebagai tahap kedua mengupayakan diversi dalam perkara anak yang tidak dapat diselesaikan pada tahap Penyidikan. Setelah penulis melakukan penelitian, perkara pidana yang pelakunya adalah anak di wiliayah Kejaksaan Negeri Bandar Lampung semakin meningkat dari tahun ke tahun.

  5 Pelaksanaan diversi terdapat beberapa

  Kejahatan yang dilakukan oleh anak merupakan salah satu bentuk tindak pidana. Sebagai tindak pidana tentunya proses penyelesaian perkara dilakukan dengan menggunakan sistem eradilan pidana yang perkembangannya terdapat satu konsep penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak. konsep ini dikenal dengan istilah diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara tindak pidana dari proses peradilan pidana ke proses di luar pengadilan atau dari jalur non hukum, serta adanya kesepakatan dari pihak pelaku, korban, dan keluarganya. Menurut Romli Atmasasmita istilah

  delinquency tidak identik dengan istilah

  Perbuatan yang dilakukan orang dewasa merupakan tindak pidana (kejahatan), akan tetapi bila dilakukan oleh anak-anak belum dewasa dinamakan delinquency seperti pencurian, perampokan, dan pembunuhan. Perbuatan anak yang menyeleweng dari norma kelompok yang menimbulkan keonaran seperti kebut-kebutan, perkelahian kelompok, dan sebagainya.

  Soedjono Dirdjosisworo menyatakan bahwa kenakalan anak mencakup tiga pengertian, yaitu: a.

  4 4 Romli Atmasasmita. 1983. Problema Kenakalan Anak-Anak/Remaja. Jakarta:

  daripada istilah kenakalan ataupun istilah anak-anak.Oleh karena itu, Romli lebih cenderung menggunakan istilah kenakalan anak daripada istilah kejahatan anak-anak.

  juvenile delinquency lebih luas artinya

  kenakalan dan istilah juvenile tidak identik dengan istilah anak.Istilah

  c.

  Kasus Posisi : Pada hari Rabu tanggal

  15 Oktober 2015 sekitar Pkl 04.30 Wib bertempat di rumah saksi Bisma Rohim di Kelurahan Perwata Kecamatan Teluk Betung Timur, terdakwa SAIDI SIREGAR mengamati rumah saksi Bisma Rohim Damanik terlebih dahulu dengan jalan sekeliling rumah saksi dan setelah rasa aman lalu terdakwa membuka paksa jendela dapur rumah mengunakan Kunci T kemudian masuk kedalam rumah melalui jendela yang sesampai didalam rumah terdakwa melihat 1(satu) unit sepeda motor Honda Supra x 125 Tahun 2010 warna violet Silver dengan no mor polisi BE 5421 KC milik saksi supriyanto dalam keadaan terkunci dan dimana saksi Bisma Rohim Damanik dan Saksi Supriyanto dalam keadaan tertidur. Melihat hal tersebut lalu terdakwa membuka pintu dapur rumah dengan menggunakan kunci yang tergantung dipintu dapur lalu mendorong sepeda motor tersebut keluar rumah lalu masuk kembali kedalam rumah dan mengunci pintu dapur rumah dari dalam kemudian keluar melalui jendela selanjutnya membawa sepeda motor pergi. Bahwa akibat perbuatan terdakwa SAIDI dan saksi Supriyanto mengalami kerugian sebesar ± Rp 7.000.000 (tujuh juta rupiah). Pasal yang disangkakan: Pasal 363 Ayat (1) ke-3 dan ke-5 KUHP Jo

  Pasal 363 Ayat (2). Proses Diversi : Chandrawati Rezki Prastuti menyatakan bahwa

  dari Peraturan Jaksa Agung N0 6 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntut Umum ada 9 Tahapan dalam proses diversi yang harus diterapkan pada tingkat kejaksaan yaitu: 6 Berdasarkan hasil wawancara dengan Jaksa

  1. Penunjukan Penuntut Umum; Pada Point 1; Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung sudah menerbitkan surat penunjukan Jaksa Penuntut Umum dengan No kode P-16 Anak, dengan No SP: 10/N.2.20/Ep.1/11/2015, hanya saja penunjukannya hanya 1(satu) JPU saja, padahal menurut Petunjuk Teknis tersebut minimal 2(dua) JPU hal ini dikarenakan kekurangan JPU didaerah

  2. Koordinasi; Setelah Menerbitkan P-16 Anak , JPU yang tertera sesuai dengan nama yang ditunjuk oleh Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung langsung melakukan koordinasi dengan penyidik Polri tentang perkara anak tersebut yang mana SPDP (Surat perintah Dimulainya Penelidikan) telah masuk ke kantor kejaksaan untuk menghindari bolak- balik berkas perkara.

  3. Upaya Diversi; Setelah Menerima Penyerahan Tanggung Jawab atas anak dan barang bukti (Tahap II), JPU yang telah ditunjuk oleh Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung melakukan penelitian terhadap identitas tersangka dengan membuat Berita acara penerimaan dan penelitian Anak dan Barang bukti, dan dalam waktu 7 x 24 jam, JPU tersebut harus melakukan diversi. Pada prakteknya di Kantor Kejaksaan Negeri, JPU yang telah ditunjuk setelah menerima berkas perkara dari penyidik Polri, langsung melakukan upaya pemanggilan para pihak baik tersangka, korban, Bapas dan tokoh masyarakat untuk melakukan diversi pada hari yang ditentukan (7 hari setelah berkas diterima),

6 Sesuai dengan Petunjuk teknis

  4. Musyawarah Diversi; Setalah JPU Anak tersebut melakukan pemanggilan, pada hari yang ditentukan para pihak yang dipanggil secara sah dan patut, langsung di musyawarahkan di kantor Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Musyawarah Diversi dipimpin oleh Penuntut Umum sebagai fasilitator yang diawali dengan perkenalan para pihak.Fasilitator menyampaikan maksud dan tujuan dilaksanakannya Musyawarah Diversi, peran dari fasilitator, tata-tertib musyawarah untuk disepakati oleh para pihak dan serta ringkasan dugaan tindak pidana yang didakwakan terhadap Anak.Pembimbing Kemasyarakatan menjelaskan ringkasan hasil penelitian kemasyarakatan yang dilakukan terhadap Anak. Fasilitator wajib memberikan kesempatan kepada para pihak untuk memberikan pendapat, saran, dan/atau tanggapan terhadap: 1) tindak pidana yang dipersangkakan kepada Anak;

  2) hasil penelitian laporan kemasyarakatan;

  3) hasil laporan sosial; dan/atau 4) bentuk dan cara penyelesaian perkara. Pada studi kasus ini, terjadi pertemuan antar pihak tersangka Saidi dan wali tersangka Yusni Samroh Siregar dan korban Supriyanto dan Orang tua korban Suyadi serta lurah Perwata A.Juneid Siregar serat fasilitator JPU Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, pada tanggal 14 Januari 2015.

  Musyawarah Diversi dicatat dalam Berita Acara Diversi, ditandatangani oleh fasilitator serta para pihak yang hadir dalam Musyawarah Diversi dan dilaporkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Dalam hal Musyawarah Diversi tidak berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri Bandar Lampung dengan pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa atau pelimpahan perkara acara pemeriksaan singkat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dengan melampirkan Berita Acara Diversi dan Hasil Penelitian Kemasyarakatan.

  5. Kesepakatan Diversi; Kesepakatan Diversi harus mendapat- kan persetujuan korban, Anak Korban dan/atau orang tua/wali kecuali untuk : 1) tindak pidana yang berupa pelanggaran; tindak pidana ringan;

  3) tindak pidana tanpa korban; atau 4) nilai kerugian korban atau Anak

  Korban tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat. Dalam penyusunan dan perumusan Kesepakatan Diversi, fasilitator memperhatikan dan mengarahkan agar Kesepakatan Diversi tidak memuat hal yang bertentangan dengan hukum, kepatutan masyarakat setempat, kesusilaan, ketertiban umum dan hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan atau itikad tidak baik.

  6. Pelaksanaan Kesepakatan Diversi; Setelah mendapat surat penetapan diversi dari pengadilan negeri Bandar Lampung, Penuntut Umum memanggil dan meminta para pihak untuk melaksanakan Kesepakatan Diversi, pelaksanaan Kesepakatan Diversi dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah disepakati dalam Kesepakatan Diversi namun tidak boleh melebihi 3 (tiga) bulan, namun dapat diperpanjang 1(satu) kali dengan masa perpanjangan 3 bulan.

  7. Pengawasan dan Pelaporan Kesepakatan Diversi; Apabila dalam waktu yang ditentukan tidak terlaksana kesepakatan maka pihak JPU dapat menindak lanjuti berkas perkara tersebut agar dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Bandar Lampung, Pada Prakteknya di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung tidak terjadi pelaporan karena JPU selalu membuat kesepakatan bersama dengan para pihak untuk memberikan langsung kompensasi atau ganti rugi untuk menghindari wanprestasi.

  8. Penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan; Setelah para pihak menyetujui dan menandatangani surat kesepakatan diversi, setelah surat penetapan dari Pengadilan Negeri Bandar Lampung, JPU mengeluarkan surat penghentian 9. Registrasi Diversi.

  Setelah di terbitkan surat P-26 atau penghentian penuntutan, JPU harus meregister perkara anak tersebut dalam buku register anak dan melaporkan secara periodik kepada pimpinan. Hasil Diversi :

  Pasal 1.Saidi Siregar dan Supriyanto tidak ada permasalahan sebelum dan sesudah adanya Berkas perkara dari penyelidikan.

  Pasal 2 . Saidi Siregar dan Supriyanto sepakat untuk menyelesaikan secara kekeluargaan dengan fasilitasi kejaksaan selaku fasilitator dengan ketentuan dan syarat pembayaran biaya perbaikan sepeda motor milik Supriyanto sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).

  Pasal 3. Pihak Saidi Siregar membayar biaya perbaikan sepeda motor milik Supriyanto sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) secara langsung dan seketika kepada Supriyanto dihadapan fasilitator.

  Pasal 4. Saidi Siregar dan Supriyanto sepakat untuk menyelesaikan secara kekeluargaan dengan fasilitasi Kejaksaan Selaku Fasilitator dimana tidak ada denda ataupun permasalahan antara para pihak dikemudian hari.

  Pasal 5. Kesepakatan ini dipenuhi seketika maka proses pemeriksaan tidak dilanjutkan dalam proses persidangan.

  Berdasarkan uraian dari pembahasan di atas, proses diversi baru ditemukan kata sepakat pada tingkat kejaksaan karena pada tingkat penyidik polri telah melakukan kekeliruan dalam pencatatan identitas pelaku, sehingga dalam BAP tersangka Saidi menyatakan bahwa dirinya adalah dewasa dengan umur 19 tahun, sehingga pihak penyidik tidak dapat melakukan upaya penyidikan, pada tingkat selanjutnya. Namun, dipengadilan pihak keluarga datang dan membawa surat bukti Kartu keluarga yang menyatakan bahwa dirinya masih 15 tahun, oleh sebab itu berkas perkara Saidi dikembalikan ke pihak Kejaksaan untuk dilakukan Diversi terlebih dahulu dikarenakan sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung bahwa kategori anak dapat dilakukan upaya diversi di bawah 18 tahun, maka pada tahap Penuntutan dilanjutkan upaya Diversi. Setelah dilakukan upaya Diversi sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung dan dengan keterlibatan seluruh pihak antara keluarga korban dan tersangka serta lurah di Kelurahan Perwata untuk mendamaikan warganya, pada akhirnya dalam musyawarah diversi terjadi kesepakatan dengan adanya biaya kompensasi kepada pihak korban sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) pada tanggal 14 Januari 2015.

  B. Faktor Penghambat Pelaksanaan Diversi Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung No. 006/A/J.A/2015 tentang pedoman pelaksanaan diversi pada tingkat penuntutan di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

  Pelaksanaan Diversi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung sebagai bentuk aplikasi atau penegakan Undang- Undang No. 11 Tahun 2012 dan Peraturan Jaksa Agung No.

  006/A/J.A/2015, secara teoritis tentunya tidak terlepas dari ke empat faktor yang terkait dengan penegakan hukum sebagaimanapun di kemukakan di atas. Perlindungan anak merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi yang melindungi anak agar anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.Negara memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum, khususnya anak yang berkonflik dengan hukm (ABH) melalui Diversi demi kepentingan terbaik bagi anak.Demikian diamanatkan oleh UU No. 11 Tahun 2012 yang di tindak lanjuti oleh Peraturan Jaksa Agung No. 006/A/J.A/2015 sebagai pedoman pelaksanaannya khususnya pada tingkat penuntutan.Namun demikian dalam aplikasinya, terutama di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, pelaksanaan Diversi mengalami berbagai hambatan.

  Hasil penelitian di lapangan melalui wawancara dengan para responden, yaitu Penuntut Umum Anak sebanyak dua orang dan Dosen Fakultas Hukum Bagian Pidana Universitas Lampung, di ketahui bahwa berbagai hambatan dalam pelaksanaan Diversi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung di lihat dari empat faktor yang terkait dengan penegakan hukum adalah sebagai berikut :

  Kaedah Hukum atau Substansi Hukum Menurut penulis, bahwa di lihat dari sisi kaedah hukum atau substansi hukum dalam peraturan perundang-undangan, pelaksanaan Diversi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung sudah tidak mengalami hambatan.Sebab, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Diversi saat ini sudah dapat dikatakan cukup baik. Karena, dapat dilihat dari bagan jumlah total perkara dan jumlah total perkara yang berhasil diupayakan diversi dari tahun 2014- 2015 telah terjadi penurunan jumlah perkara yang tidak dapat diupayakan diversi.

  Menurut penulis, mengenai contoh kasus yang diuraikan, sebenarnya penuntut umum telah mengupayakan diversi dengan lebih teliti dan berusaha memenuhi tahap-tahap yang ada di dalam Peraturan Jaksa Agung dan UU No. 11 Tahun 2012.Mengenai beberapa tahap yang tidak dijalankan oleh Penuntut Umum dalam mengupayakan Diversi dapat dimaklumi selama Penuntut Umum masih mengedepankan kepentingan Anak.

  2. Faktor Petugas Penegak Hukum Menurut penulis, berdasarkan Bab II angka I Peraturan Jaksa Agung No. 006/A/J.A/2015 menentukan, “Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi pada tingkat Penuntutan”. Maka Penuntut umum sesuai dengan perannya dalam tahap pemeriksaan yang mereka lakukan, dengan segala cara yang tidak bertentangan dengan hukum, peraturan perundang-undangan, moral dan kepatutan, wajib mengupayakan Diversi. Menurut penulis, kesadaran Penuntut Umum dalam mengupayakan diversi sudah semakin ada jika dilihat mengurangnya jumlah perkara anak yang tidak dapat diupayakan Diversi.Seperti apa yang telah di paparkan Penuntut Umum sebelumnya Elis mustika, bahwa Penuntut Umum sudah mengupayakan Diversi seperti apa yang diwajibkan oleh UU No. 11 tahun 2012, ditambah dengan disahkannya Peraturan Jaksa Agung yang lebih menekankan kewajiban Diversi beserta proses yang harus dilalui, menyebabkan dari tahun 2014

1. Faktor

  hingga 2016 memiliki kenaikan jumlah perkara anak yang berhasil diupayakan Diversi.

  3. Faktor Sarana dan Fasilitas

  Pendukung Pelaksanaan Kaedah Hukum Bertolak dari ruang lingkup sarana dan fasilitas sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi penegak hukum di kaitkan dengan pelaksanaan Diversi sebagai salah satu bentuk penegakan Peraturan Jaksa Agung No.

  006/A/J.A/2015 Bab III Angka 4, yang termasuk dalam pengertian sarana dan fasilitas yang dapat mempengaruhi pelaksanaan Diversi adalah: a.

  Pekerja Sosial Profesional; b.

  Tenaga Kesejahteraan Sosial; c. Advokat atau Pemberi Bantuan

  Hukum; d. Tokoh Agama; e. Tokoh Masyarakat; f.

  Guru.

  4. Faktor Warga Masyarakat yang Terkena Ruang Lingkup Peraturan Bila ditinjau dari faktor warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan, lebih mengarah pada sikap masyarakat, kepercayaan masyarakat, nilai-nilai yang dianut masyarakat dan ide-ide atau pengharapan mereka terhadap hukum dan sistem hukum. Dalam hal ini kultur hukum merupakan gambaran dari sikap dan perilaku terhadap hukum, serta keseluruhan faktor-faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan dapat diterima oleh warga masyarakat dalam kerangka budaya masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat, maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat selama ini. Secara sederhana tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.

  Hasil penelitian melalui wawancara kepada para responden menunjukkan, bahwa faktor penghambat terlaksananya Diversi di lihat dari sisi masyarakat yang terkena peraturan hukum adalah belum adanya kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya penyelesaian perkara Anak melalui Diversi.

  Menurut Penuntut Umum Anak, selama mereka menangani perkara anak, faktor utama tidak terlaksananya Diversi pada berbagai tingkatan tahap pelaksanaan Diversi adalah korban dan keluarganya bersikeras menuntut pelaku anak untuk di proses melalui peradilan pidana, di tangkap, di tahan, dan akhirnya di penjara. Kalaupun korban atau keluarganya bersedia untuk menyelesaikan perkara pidana anak melalui Diversi, dalam musyawarah Diversi mereka menuntut ganti kerugian yang sangat besar, bahkan terkesan melakukan pemerasan terhadap pelaku dan keluarganya. Di sisi lain, keluarga pelaku anak cenderung melindungi pelaku anak dalam arti tidak menyerahkan anaknya kepada Penyidik dengan berbagai alasan sampai kepada tindakan melarikan anaknya ke luar daerah.

  Pernyataan tersebut di akui oleh Penuntut Umum Anak. dalam wawancara dengan penulis, Penuntut Umum Anak Kejaksaan Negeri Bandar lampung menyatakan, di lihat dari sisi korban dan keluarganya tidak ada Diversi yang di laksanakan di wilayah Kejaksaan Negeri Bandar Lampung yang mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. semua di dasarkan pada pertimbangan konvensional atas kerugian material dan immaterial korban. Jika konvensasi yang di berikan oleh pelaku Anak dan keluarganya kepada korban dengan kerugian yang di derita oleh korban akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh anak, maka diversi terlaksana. Seperti pada kesepakatan Diversi yang dicapai pada kasus yang telah diuraikan, JPU langsung memberikan kesepakatan yaitu memberikan konvensasi secara langsung kepada pihak korban yaitu sebesar Rp.1.000.000,- (Satu Juta Rupiah), dengan alasan untuk menghindari wanprestasi dari pihak tersangka. Namun, apabila konvensasi di anggap oleh pihak korban tidak sesuai, maka proses peradilan pidana di lanjutkan.

  Berdasarkan uraian di atas jelaslah, bahwa warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan hukum di bidang Diversi, baik warga masyarakat yang menjadi pelaku tindak pidana anak maupun yang menjadi korban tindak pidana anak belum mempunyai kesadaran hukum akan pentingnya Diversi bagi kepentingan anak, korban, masyarakat, bangsa, dan Negara.

  Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian mengenai permasalahan yang di ajukan dalan skripsi ini, sebagai penutup skripsi ini penulis menarik kesimpulan sebagai berikut : 1.

  Implementaasi Peraturan Jaksa

  Agung No. 006/A/J.A/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dapat di lihat dari dua sudut antara lain : a.

  Di lihat dari sisi pedoman, tata cara dan koordinasi pelaksanaan Diversi, pelaksanaan Diversi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampng belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan

  UU No. 11 Tahun 2012 dan Peraturan Jaksa Agung No. 006/A/J.A/2015, karena :

  1) Dalam pelaksanaan Diversi, menurut Peraturan Jaksa Agung No.

  006/A/J.A/2015 Kepala kejaksaan Negeri menunjuk 19dua) JPU namun pada kenyataannya, penunjukannya hanya 1(satu) JPU saja, padahal minimal 2(dua) JPU.

  2) Pada tahap upaya Diversi, JPU setelah menerima berkas perkara dari penyidik Polri, langsung melakukan upaya pemanggilan para pihak baik tersangka, korban, beserta keluarganya tanpa melakukan penelitian terhadap identitas korban sesuai dengan ketentuan yang ada.

  3) Pada kesepakatan pelaksanaan

  Diversi, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, JPU langsung memberikan kesepakatan langsung yaitu memberikan konvensasi materil secara langsung kepada pihak korban, sedangkan menurut ketentuan yang ada pelaksanaan Kesepakatan Diversi dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah disepakati dalam Kesepakatan Diversi namun tidak boleh melebihi 3 (tiga) bulan, dapat diperpanjang 1(satu) kali dengan masa perpanjangan 3 bulan.

III. PENUTUP A. Simpulan

  Tapi, pada prakteknya JPU kerap kali langsung memberikan kessepakatan langsung dalam bentuk konvensasi secara materil.

  b.

  Di lihat dari fakta di wilayah Kejaksaan Negeri Bandar Lampung masih belum tercukupinya JPU yang menangani perkara anak dibandingkan dengan banyaknya kasus yang masuk, dan belum maksimalnya fungsi dari lembaga tempat anak pelaku tindak pidana melaksanakan pelayanan masyarakat, maka bentuk kesepakatan Diversi berupa “perdamaian dengan ganti kerugian berupa konvensasi secara materil” di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung merupakan kesepakatan Diversi yang paling sering diambil oleh JPU, dengan alasan tetap memenuhi, “asas kepentingan terbaik bagi anak” dan “tujuan Diversi mencapai perdamaian antara korban dan anak”.

  Agung No. 006/A/J.A/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung adalah : a.

  Aparat penegak hukum khususnya pada tingkat penuntutan dalam menangani perkara anak belum melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan secara optimal. Dan juga dikarenakan kurangnya penuntut umum yang menangani perkara anak, kerap kali dalam melaksanakan diversi menggunakan penuntut umum biasa sehingga dalam menangani perkara anak masih menggunakan pendekatan keadilan retributif (retributive justice ) dan pendekatan keadilan restitutif (restitutive justice ), belum menggunakan pendekatan keadilan retoratif (restorative justice) dan tujuan Diversi.

  b.

  Di wilayah Kejaksaan Negeri Bandar Lampung tidak maksimalnya pemanfaatan Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS), keterlibatan Advokat, Tokoh Agama, Guru, Pekerja Sosial profesional, dan/atau Tenaga Kesejahteraan Sosial dalam pelaksanaan Diversi.

  c.

  Warga masyarakat di wilayah Kejaksaan Negeri Bandar Lampung pada umumnya, khususnya anak dan orang tua/wali pelaku tindak pidana maupun korban tindak pidana yang di lakukan oleh anak, belum memiliki kesadaran hukum tentang pentingnya

  Diversi dalam menyelesaikan perkara anak, baik bagi anak sebagi pelaku, korban, maupun bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

  B. Saran

  Berdasarkan kesimpulan, maka dalam rangka mewujudkan pelaksanaan Diversi yang lebih baik, khususnya di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, penulis menyarankan sebagai berikut :

2. Faktor penghambat pelaksanaan

  1. Kepada Dinas Sosial Provinsi Lampung, bahwa pemerintah baik pusat dan daerah juga perlu mendorong memaksimalkan fungsi dari pembentukan dan pembangunan saran dan prasaran tentang Anak sebagai pelaku tindak pidana didaerah Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, seperti: Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial bahkan lembaga-lembaganya seperti LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak), LPAS (Lembaga Penempatan Anak Sementara) dan LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial);

  2. Kepada Kejaksaan Tinggi Provinsi Lampung, sesuai dengan amanat

  Pasal 41 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak perlu diadakan pelatihan khusus bagi para Penuntut Umum yang berada di seluruh Kejaksaan yang akan berhadapan dengan Anak yang masih dibawah umur sebagai pelaku tindak pidana serta mendorong terbentuknya unit khusus di tingkat kejaksaan yang mengatur penanganan anak yang masih dibawah umur sebagai pelaku tindak pidana agar tidak bersifat kaku dan pasif dalam melaksanakan Diversi.

DAFTAR PUSTAKA

  Atmasasmita, Romli. 1983. Problema Kenakalan Anak-Anak/Remaja.

  Jakarta: Armico. Dirdjosiswono, Soedjono. 1983.

  Penanggulangan Kejahatan.

  Bandung: Alumni. Djamil, M. Nasir. 2013. Anak Bukan

  untuk Dihukum , Jakarta: Sinar Grafika. 2013.

  Marlina. 2009.

  ”Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice

  , Bandung: PT Refika Aditama.

  Sambas, Nandang. 2010. Pembaharuan

  Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia . Yogyakarta: Graha

  Ilmu.