Penyelesaian Utang Perseroan Terbatas Yang Dinyatakan Pailit Yang Objek Jaminannya Milik Pihak Ketiga

BAB II PENGGUNAAN OBJEK JAMINAN MILIK PIHAK KETIGA SEBAGAI JAMINAN UTANG DEBITOR A. Ketentuan Mengenai Perjanjian Kredit

1. Syarat Sah Perjanjian Kredit

  Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut di

  48

  persetujuan itu. Perjanjian menurut Subekti adalah “suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk

  49 melaksanakan sesuatu hal”.

  Perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata yang mengatur tentang perikatan. Yang dimaksud dengan perikatan dalam Buku III KUHPerdata, adalah “suatu perhubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut”. Perikatan memiliki arti yang lebih luas dari perjanjian, sebab dalam Buku III KUHPerdata tersebut juga diatur perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan 48 W.J.S. Poerdwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm.402. 49 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Interasa, 1990), hlm.1.

  26 yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan

  50 persetujuan (zaakwaarneming).

  51 Mengenai syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah:

  a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan.

  Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan tersebut harus dinyatakan, baik secara tegas dengan mengucapkan kata atau tertulis, maupun secara diam-diam dengan suatu sikap atau dengan isyarat. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama suatu perjanjian yang sah tersebut dianggap tidak ada dan karenanya kesepakatan itu tidak sah mengikat apabila perjanjian tersebut terjadi oleh karena adanya unsur paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog).

  b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; Dalam dunia hukum, kecakapan atau cakap hukum untuk membuat perjanjian terkait dengan subjek hukum. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari suatu standar, yaitu untuk manusia (natuurlijke persoon) diukur dari standar usia kedewasaan (meerderjarig), sedangkan untuk badan hukum (recht

  persoon

  ) diukur dari aspek kewenangan (bevoegheid). Dalam ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan tidak cakap membuat 50 51 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), hlm.122.

  Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit., hlm.17. perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, dan orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang (telah dihapus dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Sedangkan ketentuan Pasal 330 KUHPerdata menyatakan bahwa :

  ”Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak di bawahkekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini.”

  Beranjak dari penafsiran a-contrario terhadap substansi ketentuan Pasal 1330

  jo

  . Pasal 330 KUHPerdata tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa syarat cakap bertindak bagi orang perorangan adalah telah berusia 21 tahun atau telah lebih

  52

  dahulu menikah, serta tidak ditaruh di bawah pengampuan. Syarat cakap melakukan perbuatan hukum bagi badan usaha yang berbadan hukum didasarkan pada kewenangan yang melekat pada pihak yang mewakilinya, karena itu badan hukum dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum ketika badan hukum tersebut telah didirikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan telah mendapat pengesahan dari menteri, sehingga badan hukum ini memiliki hak-

52 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsional Dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.184-185.

  hak dan kewajiban-kewajiban serta dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum

  53 seperti manusia.

  c. Mengenai sesuatu hal tertentu; Suatu hal tertentu terkait dengan objek perjanjian atau prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi dalam perjanjian harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Kejelasan objek perjanjian sangat diperlukan dalam pemenuhan prestasi (hak dan kewajiban). Artinya sifat dan luasnya hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak yang telah tentukan dalam perjanjian dapat dilaksanakan.

  d. Suatu sebab yang halal; Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dalam pengertian ini pada benda (objek hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan

  54 menurut hukum sehingga perjanjian itu kuat.

  Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pihak kreditor dan debitor wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Format dan bentuk dari perjanjian itu pada umumnya diserahkan pada bank, namun isi dari perjanjian itu harus jelas sehingga juga harus memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum. Isi perjanjian sekurang-kurangnya mencakup persetujuan para pihak, besar kredit, bunga, denda, jangka waktu kredit dan persyaratan lain yang 53 H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, The Banker Hand Book, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm.35. 54 C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata, Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, (Jakarta: PT.

  Pradnya Paramita, 1995), hlm.227. lazim seperti kewajiban debitor untuk menyelenggarakan pembukuan. Oleh karena format kredit biasanya dipersiapkan oleh bank maka bank harus memperhatikan ketentuan mengenai persyaratan-persyaratan dalam undang-undang agar perjanjian itu tidak menjadi batal. Seperti masalah kecakapan bertindak para pihak dalam perjanjian, klausul perjanjian yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum, serta perjanjian kredit tersebut tidak boleh mempunyai unsur paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling) atau

  55 penipuan (bedrog).

  Menurut Subekti, dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769

56 KUHPerdata. Perjanjian pinjam meminjam menurut KUHPerdata mengandung

  makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika dipakai, termasuk didalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam ini pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik uang yang dipinjam dan dikemudian hari akan dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan.

  Perjanjian kredit biasanya diikuti dengan perjanjian jaminan maka perjanjian kredit adalah perjanjian pokok atau prinsip sedangkan perjanjian jaminan adalah perjanjian ikutan atau accessoir, artinya ada dan berakhirnya perjanjian jaminan tergantung pada perjanjian pokok. 55 , hlm.235-236. 56 Ibid.

  Subekti, Hukum Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hlm.3.

  2. Subjek dan Objek Perjanjian Kredit

  Subjek perjanjian kredit adalah pihak kreditor yang berhak atas prestasi dan

  57

  pihak debitor yang berkewajiban atas prestasi. Dalam suatu perjanjian terdapat dua pihak atau lebih. Pihak-pihak dalam perjanjian dapat berupa manusia pribadi (naturlijk persoon) dan Badan Hukum (recht persoon).

  Objek perjanjian kredit adalah prestasi, yaitu debitor berkewajiban atas suatu

  58

  prestasi dan kreditor berhak atas suatu prestasi. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi dapat berbentuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Terkait objek perjanjian yang merupakan salah satu syarat sahnya perikatan,

  59

  diperlukan syarat-syarat antara lain:

  a. Objeknya harus tertentu;

  b. Objeknya harus diperbolehkan;

  c. Objeknya dapat dinilai dengan uang; d. Objeknya harus mungkin.

  3. Wanprestasi

  Wanprestasi adalah lalai, ingkar tidak memenuhi kewajiban dalam suatu perikatan. Untuk kelalaian ini, maka pihak yang lalai harus memberikan penggantian

  60 rugi, biaya dan bunga.

  57 58 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm.10. 59 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm.3. hlm.4. 60 Ibid.,

  J.C.T Simorangkir, Rudy T. Erwin, dan J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hlm.186. Menurut M. Yahya Harahap wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang

  61

  tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Wanprestasi

  62

  (kelalaian atau kealpaan) seorang debitor dapat berupa empat macam :

  a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

  b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

  c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

  63 Akibat dari adanya wanpretasi adalah : a. Perikatan tetap ada.

  b. Kreditor masih dapat menuntut kepada debitor pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi.

  c. Debitor harus membayar ganti rugi kepada kreditor (Pasal 1243 KUHPerdata).

  d. Beban resiko beralih untuk kerugian debitor jika halangan itu timbul setelah debitor wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak kreditor.

  e. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditor dapat membebaskan diri dari kewajibannya untuk memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUHPerdata, yaitu syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam

  61 62 M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm.6. 63 Subekti, Op.cit., hlm.45.

  Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm.81. persetujuan timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

  Wanprestasi dalam perjanjian kredit dalam praktek biasanya dicantumkan dalam bentuk klausul-klausul evens of default yang menentukan suatu peristiwa yang apabila terjadi, memberikan hak kepada bank untuk secara sepihak mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh outstanding kredit. Wanprestasi dalam perjanjian kredit merupakan suatu tindakan tidak dilaksanakannya prestasi oleh debitor baik karena hilangnya kewenangan debitor untuk mengurus harta kekayaannya, barang jaminan, serta kelalaian debitor untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kredit.

  Penentuan wanprestasi sebagai tidak dilaksanakannya prestasi oleh debitor disebabkan pada saat perjanjian kredit terjadi, kreditor melaksanakan prestasinya dalam bentuk pencairan dana kredit, sedang debitor mempunyai prestasi berupa pembayaran angsuran utang pokok dan bunga menurut tata cara dan jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian kredit. Contoh dari peristiwa-peristiwa yang merupakan bentuk dari wanprestasi dalam perjanjian kredit antara lain, debitor lalai atau tidak melaksanakan kewajibannya dalam membayar lunas angsuran utang pokok atau bunga selama dua bulan berturut-turut pada waktu dan dengan cara yang telah ditetapkan dalam perjanjian kredit, jika debitor atau pemilik jaminan dan/atau para penjamin kehilangan haknya untuk mengurus harta bendanya atau jika debitor dibubarkan baik atas keputusan Rapat Umum Pemegang Saham maupun keputusan pengadilan.

B. Lembaga Jaminan Dalam Perjanjian Kredit

1. Pengertian Jaminan Kredit

  Kredit dapat diberikan dengan jaminan atau tanpa jaminan. Kredit tanpa jaminan sangat membahayakan posisi bank mengingat jika debitor mengalami suatu kemacetan maka akan sulit untuk menutupi kerugian terhadap kredit yang disalurkan, sebaliknya dengan jaminan kredit relatif lebih aman mengingat setiap kredit macet

  64 akan dapat ditutupi oleh jaminan tersebut.

  Bank dalam memberikan kredit harus melakukannya berdasarkan analisis pemberian kredit yang memadai agar kredit-kredit yang diberikan oleh bank tersebut tidak mudah menjadi non-performing loan atau kredit macet. Apabila kredit-kredit yang diberikan oleh suatu bank banyak mengalami kredit macet, maka sudah tentu akan melumpuhkan kemampuan bank dalam melaksanakan kewajibannya terhadap para nasabah penyimpan dana. Kemampuan bank untuk dapat membayar kembali simpanan dari masyarakat itu tergantung dari kemampuan bank untuk memperoleh pembayaran kembali kredit-kredit yang diberikan oleh bank kepada para nasabah debitornya.

  Berdasarkan penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 64 Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.113.

  (selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan yang Diubah), yang menyebutkan bahwa untuk memperoleh jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitor, yang kemudian dikenal dengan sebutan The five C of credit analysis

  65

  atau prinsip 5 C’s, yang meliputi:

  a. Penilaian watak (character);

  b. Penilaian kemampuan (capacity);

  c. Penilaian terhadap modal (capital);

  d. Penilaian terhadap agunan (collateral); e. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitor (condition of economy).

  Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud jaminan adalah “suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Agunan menurut

  Pasal 1 butir 23 adalah “jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitor kepada

  66

  bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit”. Ini berarti jaminan kredit yang dimaksud Undang-Undang Perbankan yang Diubah bukanlah jaminan kredit yang selama ini dikenal dengan sebutan collateral sebagai bagian dari 5 C’s, istilah

  collateral 65 oleh Undang-Undang Perbankan yang Diubah diartikan dengan istilah Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm.246-248. 66 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.73.

  agunan, maka arti dari jaminan (pemberian) kredit tersebut telah mengalami pergeseran, sehingga tidak sesuai lagi dengan pengertian yang lazim dikenal selama

  67 ini.

  Menurut Sutarno, jaminan kredit adalah “segala sesuatu yang mempunyai nilai mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk pembayaran dari utang debitor berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat antara

  68

  kreditor dengan debitor”. Jaminan kredit menurut Djuhaendah Hasan sebagai suatu sarana perlindungan bagi keamanan kreditor yaitu kepastian akan pelunasan utang

  69 debitor atas pelaksanaan suatu prestasi oleh debitor atau oleh penjamin debitor.

  Undang-Undang dalam hal ini KUHPerdata telah memberikan sarana perlindungan bagi para kreditor melalui jaminan secara umum sebagaimana yang tercantum dalam

  Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Rachmadi Usman memberikan pengertian jaminan kredit sebagai suatu sarana perlindungan keamanan kreditor, yaitu kepastian akan pelunasan utang debitor atas

  70

  pelaksanaan suatu prestasi oleh debitor atau oleh penjamin debitor. Sedangkan Hasanudin Rahman mengemukakan pengertian jaminan sebagai tanggungan yang diberikan oleh debitor dan atau pihak ketiga kepada kreditor karena pihak kreditor

  67 68 Rachmadi Usman, Op.cit., hlm.282-283. 69 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm.142 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang (Bandung: PT. Citra

  Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Aditya Bakti, 1996), hlm.233. 70 Rachmadi Usman, Op.cit., hlm.61. mempunyai suatu kepentingan bahwa debitor harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan.

  Dari pengertian jaminan kredit tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa suatu jaminan dalam perjanjian kredit, tidak lain adalah suatu upaya untuk mengantisipasi resiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pencairan dan pelunasan kredit tersebut. Keberadaan jaminan kredit merupakan persyaratan guna memperkecil resiko bank dalam menyalurkan kredit, jika investasi yang dibiayai bank mengalami kegagalan atau tidak sesuai dengan perhitungan semula, maka pihak bank dapat menarik kembali dana yang disalurkan dengan memanfaatkan

  71

  jaminan tersebut. Oleh karena itu jaminan kredit haruslah:

  a. Secured, artinya jaminan kredit tersebut dapat diadakan pengikatannya secara yuridis formal, sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga apabila di kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitor, bank telah mempunyai alat bukti yang sempurna dan lengkap untuk menjalankan tindakan hukum.

  b. Marketable, artinya apabila jaminan kredit tersebut harus, perlu, dan dapat dieksekusi, jaminan tersebut dapat dengan mudah dijual atau diuangkan untuk melunasi utang debitor.

71 H.R. Daeng Naja, Op.cit., hlm.209.

  2. Jaminan Perorangan

  Jaminan perorangan adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seorang pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban- kewajiban debitor kepada kreditor, apabila debitor yang bersangkutan cidera janji

  72 (wanprestasi).

  Menurut Subekti, jaminan perorangan adalah selalu suatu perjanjian antara seorang berpiutang dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si

  73 berutang (debitor). Ia bahkan dapat diadakan di luar sepengetahuan si berutang.

  Menurut KUHPerdata jaminan perorangan merupakan penanggungan, sesuai dengan Pasal 1820 KUHPerdata, penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.

  3. Jaminan Kebendaan

  Jaminan kebendaan adalah jaminan berupa harta kekayaan, baik benda maupun hak kebendaan, yang diberikan dengan cara pemisahan bagian dari harta baik dari si debitor, maupun dari pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban- kewajiban debitor kepada pihak kreditor, apabila debitor yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi).

  72 Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998), hlm.164. 73 R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), hlm.25.

  Menurut Subekti, pemberian jaminan kebendaan selalu berupa menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang, si pemberi jaminan dan menyediakannya guna

  74 pemenuhan (pembayaran) kewajiban (utang) seorang debitor.

  Selanjutnya dikatakan pula bahwa kekayaan tersebut dapat berupa kekayaan debitor sendiri atau kekayaan pihak ketiga. Penyendirian atau penyediaan secara khusus itu diperuntukkan bagi keuntungan seorang kreditor tertentu yang telah memintanya, karena bila tidak ada penyendirian atau penyediaan secara khusus itu, bagian dari kekayaan tadi seperti halnya seluruh kekayaan debitor dijadikan jaminan untuk pembayaran semua utang si debitor. Dengan demikian maka pemberian jaminan kebendaan kepada seorang kreditor tersebut memberikan kedudukan yang istimewa (privelege) terhadap para kreditor lain, dalam mengambil pelunasan atas

  75 hasil penjualan objek jaminan kebendaan tersebut.

  Hak jaminan kebendaan ini menurut sifatnya dibedakan dalam 2 (dua) macam

  76

  yaitu :

  a. Jaminan dengan benda berwujud (materiel); b. Jaminan dengan benda tidak berwujud (imateriel).

  Benda berwujud, dapat berupa benda/barang bergerak dan atau benda/barang tidak bergerak. Sedangkan benda/barang tidak berwujud yang lazim diterima oleh bank sebagai jaminan kredit adalah berupa hak tagih debitor terhadap pihak ketiga.

  74 , hlm.27. 75 Ibid. 76 Ibid.

  H.R. Daeng Naja, Op.cit., hlm.214. Barang bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan kredit oleh bank dapat berupa kendaraan bermotor, logam mulia, stok barang dagangan, dan sebagainya yang dapat dinilai, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Sedangkan barang tidak bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan kredit oleh bank dapat berupa tanah,

  3

  bangunan, kapal berukuran 20 m (dua puluh meter kubik) ke atas dan lain-lain termasuk mesin-mesin pabrik yang melekat dengan tanah. Pembagian barang bergerak dan barang tidak bergerak tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 506 sampai dengan Pasal 518 KUHPerdata.

  Pengikatan jaminan kebendaan barang bergerak yaitu antara lain dapat dibebankan dengan jaminan fidusia dan gadai. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dalam ketentuan Pasal 1 butir 2 menjelaskan bahwa:

  ”Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya”.

  Munir Fuady berpendapat bahwa ketentuan tentang objek jaminan fidusia terdapat antara lain dalam Pasal 1 butir 4, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, benda-benda tersebut adalah sebagai berikut: a. Benda tersebut harus dimiliki dan dialihkan secara hukum.

  b. Dapat atas benda berwujud.

  c. Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang.

  d. Benda bergerak. e. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan.

  f. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hipotik.

  g. Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan ada dikemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.

  h. Dapat atas satu satuan jenis benda. i. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda. j. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia. k. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia. l. Benda persedian (inventory, stock perdagangan) dapat juga menjadi objek

  77 jaminan fidusia.

  Terhadap objek jaminan fidusia yang berupa kendaraan-kendaraan, mesin- mesin dan alat-alat berat, debitor (pemberi fidusia) berhak menguasai objek jaminan fidusia, tetapi dilarang/tidak diperkenankan untuk menjual, menyewakan atau mengalihkan haknya. Sedangkan untuk objek jaminan fidusia berupa persediaan barang dagangan (inventory), pemberi fidusia dalam kapasitas sebagai kuasa dari kreditor (penerima fidusia) berhak dan diperkenankan menukar atau menjual atau mengalihakan objek jaminan kepada pihak lain dan debitor (pemberi fidusia) berkewajiban mengganti dari objek yang digunakan sesuai jumlah yang dijual atau dialihkan dengan objek fidusia lainnya sesuai jumlah yang diperjanjikan yaitu dengan nilai nominal yang sama.

  Selain penyerahan jaminan dengan fidusia terdapat juga penyerahan jaminan dengan Gadai. Kitab Undang-Undang Perdata dalam ketentuan Pasal 1150 menerangkan yang dimaksud dengan gadai adalah: 77 Munir Fuady, Jaminan Fidusia, cetakan kedua edisi revisi, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003), hlm.48.

  ”Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari orang-orang berpiutang lainnya; dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus dikeluarkan”.

  Objek gadai adalah barang bergerak bertubuh dan tak bertubuh yaitu diantaranya saham, deposito, emas dan benda berharga lainnya. Dalam gadai terjadi penyerahan kekuasaan atas barang yang dijadikan objek gadai dari pemberi gadai kepada penerima gadai. Dana pembebanan jaminan gadai hapus bila objek gadai berpindah kepada pemberi gadai.

  Jaminan gadai memberikan hak preferent kepada penerima gadai (dalam hal ini kreditor), dimana kreditor penerima gadai mempunyai hak yang didahulukan (preferent) terhadap kreditor lainnya artinya bila debitor dinilai cedera janji atau lalai maka kreditor penerima gadai mempunyai hak untuk menjual jaminan gadai tersebut dan hasil penjualan digunakan terutama untuk melunasi hutang debitor. Apabila terdapat kreditor lain yang juga memiliki tagihan kepada debitor tersebut, kreditor yang ada setelah kreditor pertama tidak akan mendapat pelunasan sebelum kreditor yang pertama mendapat pelunasan.

  Terhadap barang tidak bergerak seperti kapal laut objek jaminannya dibebankan dengan hipotik. Pembebanan kapal laut sebagai objek jaminan kredit diatur dalam Pasal 314 KUHD yang berbunyi: a. Atas kapal-kapal Indonesia yang berukuran paling sedikit 20 m3 isi kotor dapat didaftar dalam register kapal menurut ketentuan-ketentuan yang di tetapkan dalam suatu ordonansi tersendiri.

  b. Atas kapal-kapal yang didaftar dalam register kapal-kapal dalam pembangunan dan kapal dalam andil-andil seperti itu dapat dibebani dengan hipotik.

  Dari bunyi Pasal diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa bahwa syarat-syarat pembebanan hipotik atas kapal laut adalah : a. Kapal tersebut adalah kapal laut Indonesia dan tidak berlaku untuk kapal asing.

  3 b. Berukuran paling sedikit 20 m isi kotor.

  c. Telah terdaftar dalam register kapal Indonesia di syahbandar tempat kapal tersebut pertama kali bersandar.

  Kapal laut yang dimaksud dalam pasal ini dianggap sebagai benda tetap (tidak bergerak) apabila kapal telah terdaftar. Apabila kapal tersebut belum terdaftar dalam register pendaftaran kapal Indonesia maka kapal laut tersebut dapat dibebankan dengan jaminan fidusia. Sedangkan dalam hal pesawat terbang sebagai jaminan dapat dibebankan dengan hipotik.

  Khusus mengenai barang tidak bergerak berupa tanah, berdasarkan ketentuan UUPA pada bagian memutuskan mencabut Buku II KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya telah dicabut, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada saat mulai berlakunya UUPA. Sesuai perintah Pasal 51 UUPA, pada tahun 1996 lahirlah Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT), yang diundangkan pada tanggal 09 April 1996 dalam Lembar Negara RI Tahun 1996 Nomor 42 dan Tambahan Lembar Negara RI Nomor 3632, dan diberlakukan mulai

  78 tanggal pengundangan tersebut.

  Dalam UUHT yang diatur adalah hak tanggungan yang objeknya menyangkut masalah tanah saja, hal ini karena berhubungan dengan UUPA yang merupakan dasar hukumnya. Menurut Pasal 51 UUPA yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), tersebut diatur dalam Pasal 25, 33 dan 39 UUPA.

  Kesemuanya yang disebutkan di atas adalah hak atas tanah, hal mana menunjukkan, bahwa pada asasnya yang menjadi objek Hak Tanggungan (sesuai dengan objek pengaturan UUPA berdasarkan Pasal 1 sub 2, Pasal 2 sub 1 dan Pasal 5 adalah tanah atau hak atas tanah. Selanjutnya sekalipun tidak dinyatakan secara tegas, tetapi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud di atas adalah hanya hak-hak atas tanah menurut UUPA. Untuk Hak Milik atas tanah adat sesuai dengan Pasal 10 ayat (3) UUHT, sekalipun memakai nama yang sama (Hak Milik) sebelum hak itu dikonversi menjadi hak atas tanah menurut UUPA tidak bisa dijadikan objek Hak Tanggungan, kecuali dengan penjaminan itu sekaligus diproses konversinya dan

  79 didaftarkan.

  Dalam praktek perbankan, tanah yang bersertifikat seringkali lebih dipilih oleh bank untuk dijadikan jaminan kredit. Bank mendasarkan pada kenyataan bahwa

  78 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kreditnya Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta: Djambatan, 1996), hlm.111. 79 J.Satrio, Op.cit., hlm.178. hak atas tanah yang terdaftar pada daftar umum (pada Kantor Pertanahan) tersebut lebih mudah untuk dipindahtangankan. Objek-objek Hak Tanggungan adalah: a. Hak Milik;

  b. Hak Guna Usaha (HGU) ;

  c. Hak Guna Bangunan (HGB) ;

  d. Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, meliputi Hak Pakai yang diberikan kepada orang perseorangan atau badan hukum untuk jangka waktu tertentu yang ditetapkan di dalam keputusan pemberiannya;

  Objek Hak Tanggungan selain yang tersebut diatas, UUHT juga membuka kemungkinan pembebanan Hak Tanggungan atas tanah berikut bangunan dan tanaman yang ada di atasnya, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 4 ayat (4) UUHT, yaitu :

  “Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.”

  Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (5) UUHT, pemberian kredit dimungkinkan oleh undang-undang tersebut dengan menggunakan jaminan yang bukan menjadi milik debitor, tetapi jaminan milik pihak ketiga :

  “Sebagai konsekuensi dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang pemiliknya lain daripada pemegang hak atas tanah wajib dilakukan bersamaan dengan pemberian Hak

  Tanggungan atas tanah yang bersangkutan dan dinyatakan di dalam satu Akta Pemberian Hak Tanggungan, yang ditandatangani bersama oleh pemiliknya dan pemegang hak atas tanahnya atau kuasa mereka, keduanya sebagai pihak pemberi Hak Tanggungan. Yang dimaksud dengan akta otentik dalam ayat ini adalah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atas benda- benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah untuk dibebani Hak Tanggungan bersama-sama tanah yang bersangkutan.”

  Menurut Habib Adjie, ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam menerapkan

  Pasal 4 ayat (4) UUHT tersebut, yaitu:

  80

  a. Bangunan, tanaman, dan hasil karya itu merupakan satu kesatuan dengan tanahnya dan tanah mana dijaminkandengan hak tanggungan.

  b. Pembebanannya dinyatakan dengan tegas oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atau dengan kata lain jika tidak ditegaskan dalam APHT maka yang dijadikan jaminan atau yang dibebani Hak Tanggungan hanya tanahnya saja.

  Subjek Hak Tanggungan adalah :

  a. Pemberi Hak Tanggungan Menurut Pasal 8 ayat (1) UUHT pemberi Hak Tanggungan adalah :

  1) Perseorangan atau 2) Badan Hukum

  Baik perseorangan ataupun badan hukum harus mempunyai kewenangan (berwenang) untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek-objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Dengan demikian oleh karena objek Hak 80 Habib Adjie, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, (Bandung: CV.

  Mandar Maju, 1999), hlm.6.

  Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah Negara, maka sejalan dengan ketentuan Pasal 8 UUHT itu yang dapat menjadi pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah Negara. Dengan memperhatikan Pasal 8 ayat (2) UUHT, kewenangan tersebut harus sudah ada pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Hal ini mengingat bahwa lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarkannya Hak Tanggungan tersebut dan untuk itu harus dibuktikan keabsahan dari kewenangan tersebut pada saat didaftarkannya Hak Tanggungan yang

  81 bersangkutan.

  b. Pemegang Hak Tanggungan Pemegang Hak Tanggungan adalah :

  1) Perseorangan atau, 2) Badan Hukum.

  Berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (Pasal 9 UUHT), karena Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan hak atas tanah tidak mengandung kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan jaminan, tanah tetap berada pada penguasaan pemberi Hak Tanggungan kecuali dalam keadaan yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c UUHT. Dengan demikian yang dapat menjadi pemegang Hak Tanggungan adalah siapapun juga yang berwenang melakukan 81 Sutan Remy Sjadeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, (Surabaya: Airlangga University Press, 1996), hlm.56. perbuatan perdata untuk memberikan utang, yaitu baik itu orang perorangan Warga Negara Indonesia maupun orang asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing.

  Pengikatan jaminan terhadap benda tetap, misalnya tanah, pengikatannya perlu dibebani dengan menggunakan Hak Tanggungan. Jaminan atas tanah tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan tanah milik debitor sendiri atau menggunakan tanah milik pihak ketiga. Penggunaan tanah milik pihak ketiga sebagai jaminan diperbolehkan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan, yakni Pasal 4 ayat (5) jo. penjelasan Pasal 4 ayat (5) UUHT. Dalam praktek banyak digunakannya objek jaminan berupa benda tetap didasari pertimbangan besaran kredit maksimal yang dapat dicairkan oleh pihak kreditor, sebagaimana diungkapkan oleh pihak bank Bukopin Cabang Medan :

  “Penggunaan objek jaminan benda tetap tersebut lebih banyak digunakan debitor sebagai jaminan utangnya dengan pertimbangan besaran maksimal kredit yang bisa dicairkan oleh kreditor. Untuk jaminan benda tetap/tanah besaran maksimal pembiayaan adalah sebesar 80 % dari taksiran harga jual objek jaminan benda tetap/tanah tersebut, sedangkan untuk benda benda bergerak maksimal

  82 pembiayaannya sebesar maksimal 75 % dari taksiran harga jual”.

  Pihak bank dalam mencairkan kredit dengan menggunakan benda jaminan milik pihak ketiga, maka pihak ketiga diikut-sertakan dalam menandatangani akta pengakuan utang atau perjanjian kredit dan Akta Pemasangan Hak Tanggungan (APHT). Keikutsertaan pihak ketiga dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut berbeda dengan kedudukan debitor. Di sini pihak ketiga tidak berutang akan 82 Hasil wawancara dengan Dian Oktria, Legal Officer PT. Bank Bukopin Cabang Medan,

  tanggal 15 Juli 2013 tetapi ia hanya memberikan bendanya untuk menjamin utang dari debitor. Pemberian tambahan benda jaminan untuk memberikan jaminan yang lebih kuat terhadap utang yang diberikan kepada debitor, jika suatu saat debitor melakukan wanprestasi.

  Pada asasnya pemberian Hak Tanggungan wajib dihadiri dan dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan dan atau pihak ketiga sebagai pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum membebankan Hak Tanggungan atas objek yang dijadikan jaminan. Hanya apabila benar-benar diperlukan dan berhalangan, kehadirannya untuk memberikan Hak Tanggungan dan menandatangani APHT-nya dapat dikuasakan. Selain itu bisa juga karena benda jaminan tersebut berada di luar daerah kerja PPAT yang ditunjuk.

  Pada umumnya dalam kegiatan perbankan selalu terdapat adanya kredit macet. Terjadinya kredit macet tersebut merupakan masalah yang sering dihadapi oleh kreditor. Oleh sebab itu, aspek jaminan adalah demikian penting bilamana terjadi kredit macet, maka barang jaminan yang telah diperjanjikan dapat dieksekusi untuk pelunasan pinjaman kredit.

  Secara teori eksekusi terhadap benda jaminan milik debitor ini harus dilakukan lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya, dasarnya adalah Pasal 1131 KUHPerdata. Berdasarkan ketentuan itu bahwa tanggung jawab pihak ketiga merupakan cadangan dalam hal harta benda jaminan debitor tidak mencukupi untuk melunasi utangnya, atau sama sekali debitor tidak mempunyai harta benda lagi yang dapat disita. Apabila pendapatan lelang sita jaminan atas benda debitor tidak mencukupi untuk melunasi utangnya barulah tiba gilirannya untuk menyita benda jaminan milik pihak ketiga ini (Pasal 1132 KUH Perdata).

  Dalam praktek yang terjadi, eksekusi terhadap benda jaminan milik debitor maupun milik pihak ketiga dilakukan bersama-sama, karena pihak ketiga dengan rela memberikan bendanya untuk menjadi jaminan utang dari debitor tersebut, hal ini dikarenakan dengan bertambahnya utang debitor sedangkan jaminan yang diberikan tidak mencukupi maka diperlukan tambahan jaminan.

  

C. Latar Belakang Pemanfaatan Objek Jaminan Milik Pihak Ketiga Sebagai

Jaminan Utang Debitor

  Pertumbuhan dunia usaha, termasuk perkembangan perusahaan secara luas, pada dasarnya sangat membutuhkan terpenuhinya sumber dana atau sumber modal.

  Padahal pemenuhan sumber modal dimaksud juga sangat dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya jaminan terhadap sumber dana itu sendiri. Hal ini dapat difahami, karena modal tersebut bukan milik sendiri, dan harus dikembalikan tepat waktu sesuai dengan perjanjian, oleh karena itu dibutuhkan adanya jaminan terhadap modal/dana tersebut. Dengan demikian lembaga jaminan juga merupakan salah satu unsur bagi pengembangan dunia usaha.

  Dalam menjalankan usaha bisnis untuk mencapai tujuan dari suatu perseroan terbatas, kegiatan pinjam meminjam merupakan kegiatan yang sangat lumrah.

  Kecenderungan yang ada menunjukkan proporsi perusahaan yang mempergunakan pinjaman yang semakin besar. Bahkan, dapat diketahui semakin lama semakin sedikit perusahaan yang tidak mempergunakan modal dari pihak ketiga atau modal dari luar perusahaan. Salah satu motif utama suatu badan usaha meminjam atau memakai modal dari pihak ketiga adalah keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi jumlah maupun dari segi waktu. Sedang di lain sisi, salah satu motif utama pihak kreditor atau pemberi pinjaman bersedia memberi pinjaman adalah keinginan untuk memperoleh balas jasa dengan adanya pemberian pinjaman tersebut (misalnya bunga).

  Sejak awal, baik peminjam maupun yang meminjamkan telah menyadari sepenuhnya bahwa kegiatan yang mereka lakukan tersebut mengandung resiko.

  Bahkan, besarnya resiko yang mungkin timbul menjadi pertimbangan utama dalam penentuan besarnya balas jasa bagi suatu pinjaman. lazimnya, semakin besar resiko kerugian yang mungkin terjadi semakin besar tingkat balas jasa atas suatu pinjaman. Agar dapat mengkalkulasi resiko, biasanya pihak peminjam mengkaji kinerja dari perusahaan pada saat sebelum sampai dengan sesudah dicairkannya pinjaman. Oleh karena itu, para kreditor tidak menjadikan besarnya colateral sebagai satu-satunya bahan pertimbangan sebelum memberi pinjaman, tetapi justru prospek perkembangan perusahaan yang bersangkutan. Dalam praktek bisnis, pertimbangan yang didasarkan atas prospek suatu perusahaan semakin menonjol dan ini terbukti dengan semakin banyaknya perusahaan yang beroperasi dewasa ini mempunyai modal pinjaman yang

  83 jauh lebih besar dari jumlah modalnya sendiri.

83 Rudhi A. Lontoh,(ed.), Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran utang, (Bandung: Alumni, 2001), hlm.203-204.

  Sebagai pelaku usaha, perseroan terbatas memiliki peranan yang sangat penting untuk mengembangkan sektor perekonomian. Dalam mencari modal tambahan untuk keperluan memenuhi kebutuhan usaha, seringkali perseroan terbatas harus meminjam uang dari kreditor-kreditor, baik dari bank atau lembaga keuangan maupun perseorangan.

  Dalam praktek di Indonesia dikenal dua bentuk perseroan terbatas, yaitu PT Tertutup dan PT Terbuka. PT Terbuka adalah suatu PT yang sahamnya dijual ke masyarakat luas melalui bursa dalam rangka sebagai cara memupuk modal untuk investasi usaha Perseroan. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (7) jo. ayat (8) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dirumuskan bahwa Perseroan Terbuka adalah perseroan yang jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu, dan perseroan yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Namun demikian pengertian mengenai PT Tertutup tidak dirumuskan. Menurut Rudhi Prasetya, PT Tertutup berarti perseroan yang tidak memenuhi kriteria Pasal 1 ayat (7) jo. ayat (8) UUPT. PT Tertutup ini didirikan dengan tiada maksud menjual sahamnya kepada masyarakat luas, dengan kata lain PT tersebut didirikan tanpa sedikitpun bertujuan untuk menghimpun modal (asosiasi modal). Dalam praktek bentuk PT Tertutup ini dikenal dengan sebutan “PT Keluarga”, disebabkan umumnya sahamnya terbatas hanya

  84 dimiliki di antara kalangan keluarga saja. 84 Rudhi Prasetya, Op.cit., hlm.118. Pemilihan bentuk PT Tertutup dilatar belakangi oleh adanya keinginan yang sekedar mengambil manfaat atas karakteristik PT, seperti misalnya kedudukan yang mandiri dan pertanggung jawaban terbatas. Kedudukan mandiri berarti bahwa PT dalam hukum dipandang berdiri sendiri otonom terlepas dari orang perorangan yang berada dalam PT tersebut. Segala perbuatan yang dilakukan dalam rangka kerja sama dalam PT itu oleh hukum dipandang semata-mata sebagai perbuatan badan itu sendiri. Pertanggung jawaban terbatas diartikan bahwa apabila terjadi utang atau kerugian-kerugian maka utang itu akan semata-mata dibayar secukupnya dari harta kekayaan yang tersedia dalam PT. Sebaliknya, mereka yang menanamkan modalnya dalam PT secara pasti tidak akan memikul kerugian utang itu lebih dari bagian harta

  85 kekayaannya yang tertanam dalam PT.

  Dari sifat dan karakteristik kemandirian serta tanggung jawab terbatas dari PT itulah yang menyebabkan banyak pelaku usaha yang memilih bentuk usaha PT dengan tujuan sekedar demi mengambil manfaat atas karakteristik PT tersebut. Dalam praktek masih banyak dijumpai PT yang sahamnya dimiliki oleh satu orang, baik karena pada saat pendiriannya pemegang saham terdiri dari beberapa orang kemudian dalam perjalanannya kemudian sahamnya beralih menjadi hanya berada di tangan satu orang, atau karena sejak awal pada waktu pendiriannya sudah direncanakan dan merupakan tujuan bahwa sahamnya akan dimiliki hanya oleh satu orang saja. Oleh karena dalam persyaratan pendirian PT diwajibkan didirikan minimal oleh dua orang (Pasal 7 ayat (1) UUPT), maka keberadaan para pemegang 85 Ibid. , hlm.12. saham lainnya hanya sekedar untuk memenuhi syarat formal saja. PT yang demikian

  86 ini sesungguhnya secara material merupakan usaha perorangan (one man business).

  Konsekuensi dari bermunculannya badan usaha PT yang sebenarnya merupakan usaha perseorangan ini, menimbulkan banyaknya harta pribadi dari pemegang saham yang dianggap sebagai asset dari PT, tanpa adanya upaya formal untuk menegaskan status dari harta kekayaan yang dimasukkan sebagai asset PT tersebut, misalnya apabila asset tersebut berupa hak atas tanah yaitu dengan cara membalik namakannya ke atas nama PT, karena dianggap bahwa asset pemegang saham juga adalah asset PT. Selain itu karena apabila asset tersebut berbentuk hak atas tanah dengan Hak Milik kemudian akan dibalik nama ke atas nama PT akan menimbulkan konsekuensi penurunan status hak atas tanah tersebut, karena badan hukum berbentuk PT tidak dapat memiliki Hak Milik namun dapat memiliki hak atan tanah dengan Hak Guna Bangunan atau Hak Guna Usaha (Pasal 30 jo. Pasal 36 UUPA), dimana penurunan hak tersebut terkait dengan jangka waktu berlakunya, seperti penurunan Hak Milik (tanpa jangka waktu) menjadi Hak Guna Bangunan (jangka waktunya maksimal 30 tahun) atau Hak Guna Usaha (jangka waktunya

  87 maksimal 35 tahun).

  Oleh sebab itu dalam praktek perbankan sudah lazim debitor yang berbentuk badan hukum PT menggunakan objek jaminan milik organ perseroan atau milik pihak ketiga lainnya sebagai jaminan utang. Masalah timbul ketika perseroan terbatas 86 , hlm.124. 87 Ibid.

  Mhd. Yamin Lubis, dan Abd. Rahim Lubis, Op.cit., hlm.302. tersebut dipailitkan. Namun demikian berdasarkan teori tanggung jawab hukum, maka pihak ketiga pemilik objek jaminan tidak dapat menolak harta kekayaannya yang dijadikan objek jaminan utang perseroan terbatas untuk dimasukkan dalam

  boedel pailit dan dijual lelang dalam upaya penyelesaian utang perseroan terbatas.

  Karena itu dalam proses pemberesan harta pailit, kurator bukan hanya memasukkan harta kekayaan milik perseroan terbatas, tetapi juga harta kekayaan milik pihak ketiga ke dalam harta boedel pailit, dengan alasan adanya Surat Pernyataan bahwa harta kekayaan tersebut adalah milik perseroan terbatas yang belum dibalik nama ke atas nama perseroan terbatas. Dalam hal ini PT. Bukopin Tbk merasa keberatan karena aset milik pihak ketiga tersebut menjadi jaminan di PT.

88 Bukopin Tbk Cabang Medan. Pemasukkan benda jaminan milik pihak ketiga ke

  dalam harta boedel pailit bertentangan dengan teori dan ajaran badan hukum perseroan terbatas yang secara tegas memisahkan harta yang dimiliki sendiri dan dipisahkan dari kekayaan para pemilik dan pengurus perseroan.