II. TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Biaya Dan Manfaat Pada Sertifikasi RSPO Bagi Perusahaan Kelapa Sawit

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelapa Sawit

  Kelapa sawit, yang dihasilkan dari buah pohon kelapa sawit Afrika (Elaeis

  

guineensis ), sudah menjadi komoditi pertanian global utama, yang digunakan dalam

  sejumlah besar produk pangan dan non-pangan dan akhir-akhir ini dipandang sebagai bahan bakar nabati yang menjanjikan. Kelapa sawit secara menyeluruh diolah di negara berkembang wilayah tropis yang lembab dan menjadi landasan penting bagi perekonomian setempat, baik untuk ekspor maupun sebagai bahan mentah industri lokal (Teoh, C.H., 2010).

  Harga minyak dan inti sawit relatif terus meningkat dalam 20 tahun terakhir kecuali tahun 2008, akibat dampak krisis global saat itu. Permintaan minyak dan inti sawit terus meningkat, khususnya dari negara maju seperti Eropa dan Amerika. Sedangkan negara China dan India telah menyerap hampir dua pertiga produksi minyak sawit Indonesia yang angka produksinya diperkirakan akan mencapai 25 juta ton tahun ini. China menampung 6,65 juta ton, dan India mengimpor 7,1 juta ton minyak sawit Indonesia tahun 2012. Luas perkebunan sawit di Indonesia dalam 20 tahun terakhir juga menagalami peningkatan dari hanya sekitar 500.000 hektar tahun 1990-an, menjadi 11,5 juta hektar tahun ini. Pemerintah Indonesia dan pengusaha sawit memetakan masih tersedianya stok lahan sekitar 29 juta hektar lagi untuk komoditi ini (Siagian, S. 2012).

  Standar-standar produk dan proses untuk kesehatan, kesejahteraan, kualitas, ukuran dan berbagai pengukuran dapat menciptakan hambatan perdagangan dengan menyingkirkan produk yang tidak memenuhi standar. Prosedur pengujian dan sertifikasi biasanya mahal, menyita waktu dan sulit diterapkan. Standar seperti ini dapat dipergunakan untuk merintangi perdagangan (Simamora, 2000).

  Dalam lingkup ekonomi pengertian dari manfaat adalah nilai barang dan jasa bagi konsumen, sedangkan pengertian biaya adalah manfaat yang tidak diambil atau yang lepas dan hilang (opportunity). Pemanfaatan analisis manfaat dan biaya pada masalah lingkungan adalah suatu usaha untuk menanggulangi masalah pencemaran lingkungan. Analisis ini digunakan sebagai sistematika penilaian terhadap keuntungan dan kerugian dari terjadinya segala perubahan dalam produksi dan konsumsi masyarakat. Manfaat dari penerapan analisis manfaat dan biaya adalah pengurangan biaya polusi baik itu biaya untuk menghidari kerusakan karena polusi maupun biaya yang merusak kesejahteraan individu maupun masyarakat. Selain itu juga mencakup biaya program, yang merupakan segala pengeluaran pemerintah, yang diukur dengan nilai pemanfaatan dari sumber daya yang digunakan untuk pelaksanaan program tersebut (Anonimous, 2011).

2.2. RSPO

  RSPO adalah suatu forum persatuan para pemangku kepentingan minyak

sawit dari beberapa negara. Forum ini dimotori oleh pemangku kepentingan dari

Eropa Barat untuk membangun kelapa sawit yang berkelanjutan dengan menerapkan

delapan prinsip. Kedelapan prinsip tersebut adalah: (1) komitmen terhadap

  

transparansi; (2) memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku; (3) komitmen

terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang; (4) penggunaan praktik

terbaik dan tepat oleh perkebunan dan pabrik; (5) tanggung jawab lingkungan dan

konservasi kekayaan alam dan keanekaragaman hayati; (6) tanggung jawab kepada

pekerja, individu dan komunitas dari kebun dan pabrik; (7) pengembangan

perkebunan baru secara bertanggung jawab; dan (8) komitmen terhadap perbaikan

terus-menerus pada wilayah utama aktivitas (Drajat, B. 2009).

  Organisasi ini dimulai pada 2003 sebagai kerja sama informal antara Aarhus UK Ltd, WWF (World Wildlife Fund), Golden Hope Plantations Berhad,

  United

Migros, the Malaysian Palm Oil Association , Sainsbury, dan Unilever. RSPO telah

  memiliki 892 anggota yang berasal dari produsen, manufaktur, perbankan, retail, NGO dan CPO trader. Dengan rincian, anggota ordinary (biasa) berjumlah 659, anggota afiliasi sebanyak 100 dan Supply Chain Associates berjumlah 133 anggota (RSPO, 2012).

  Anggota biasa RSPO yang berjumlah 659 orang terdiri dari tujuh kategori pemangku kepentingan (stakeholder) yaitu 17% perusahaan kelapa sawit, 35,4% pedagang dan pemroses minyak sawit, 35,1% konsumen/industri minyak sawit, 6,9 % pengecer, 1,5% Bank dan Investor, 2,5% Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) bidang lingkungan / Konservasi Alam dan 1,3% LSM bidang social / pembangunan (RSPO, 2012).

  Indonesia merupakan Negara ke empat terbesar dari seluruh stakeholdernya yang menjadi anggota RSPO yaitu 14,5%. Adapun sepuluh besar Negara-negara anggota RSPO yaitu Inggris, Malaysia, Jerman, Indonesia, Belanda, Perancis, Amerika, Singapura, Swiss dan Australia (RSPO, 2012).

  Anggota Biasa adalah setiap organisasi yang memiliki keterlibatan langsung dalam rantai pasokan minyak sawit, atau LSM yang terkait. Anggota-anggota mempunyai hak suara di Majelis Umum dan dapat terbuka menyatakan bahwa mereka adalah anggota RSPO. Anggota Afiliasi adalah individu atau organisasi dengan keterlibatan langsung atau kepentingan dalam rantai pasokan minyak sawit, tidak memiliki hak suara dan tidak memiliki hak untuk mengklaim mereka adalah anggota RSPO. Supply Chain Associates adalah organisasi-organisasi yang aktif dalam rantai pasokan minyak sawit bersertifikat RSPO yang tidak membeli produk kelapa sawit lebih dari 500 juta ton / tahun. Mereka tidak memiliki hak suara di Majelis Umum RSPO. Mereka diperbolehkan untuk publik negara mereka adalah anggota Asosiasi RSPO (RSPO, 2012).

  Pada tahun 2011 RSPO membuat merek dagang RSPO yang memungkinkan konsumen mengambil keputusan bijaksana dalam memilih produk yang ingin mereka konsumsi. Selain itu, dengan mencantumkan merek dagang RSPO pada kemasan produknya, produsen keperluan rumah tangga seperti margarin, kue, cokelat, sabun dan kosmetik dapat mendemonstrasikan komitmen mereka terhadap minyak sawit berkelanjutan kepada konsumen dan publik. Anggota RSPO kini dapat menggunakan merek dagang RSPO pada kemasan produk mereka dan juga dalam segala bentuk komunikasi yang mereka lakukan berkaitan dengan produk yang mengandung minyak sawit yang diproduksi berdasarkan standarisasi RSPO (RSPO, 2012). Produksi minyak sawit lestari akan tergantung pada kelayakan ekonomi, lingkungan hidup dan sosial, yang dicapai melalui:

  1. Prinsip 1: Komitmen terhadap keterbukaan 2.

  Prinsip 2: Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku 3. Prinsip 3: Perencanaan manajemen untuk mencapai kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang

  4. Prinsip 4: Digunakannya praktik usaha yang baik oleh para produsen dan pabrik pengolah

  5. Prinsip 5: Tanggung jawab lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam serta keanekaragaman hayati.

  6. Prinsip 6: Pertimbangan yang bertanggung jawab para karyawan dan perorangan serta masyarakat yang terkena dampak dari produsen dan pabrik pengolah.

  7. Prinsip 7: Pengembangan perkebunan baru yang bertanggung jawab 8.

  Prinsip 8: Komitmen terhadap peningkatan sinambung di bidang kegiatan utama.

  Organisasi RSPO mencatat baru dua BUMN perkebunan kelapa sawit di

Indonesia yang sudah memegang sertifikat RSPO bagi beberapa lahannya. Hal ini

dikarenakan porsi lahan penggarapan BUMN yang sedikit jika dibandingkan dengan

lahan yang digarap perusahaan swasta. BUMN hanya mengerjakan sekira 600 ribu ha

dari 7,6 juta ha lahan sawit yang ada di Indonesia. Selain itu, BUMN juga terkendala

masalah dokumentasi karena sebagian besar prinsip dan kriteria RSPO sudah

dilaksanakan namun dokumentasinya kurang lengkap. Sampai saat ini, RSPO

Indonesia telah memberikan sertifikat kepada 24 lahan kelapa sawit di Indonesia yang

dikelola berbagai perusahaan baik BUMN maupun swasta. Selain itu, masih ada pula

  

22 lahan yang sudah disertifikasi tetapi masih menunggu proses sertifikat. Dari

jumlah itu, hanya dua BUMN yaitu PTPN III dan PTPN IV yang telah mendapatkan

sertifikat RSPO untuk beberapa lahannya. PTPN III dan IV merencanakan seluruh

unit perkebunan kelapa sawitnya memperoleh sertifikasi RSPO (RSPO, 2012).

  Salah satu pertimbangan utama bagi perusahaan perkebunan untuk mendapatkan atau tidak mendapatkan sertifikat RSPO adalah tingginya biaya baik untuk proses pemenuhan persyaratan maupun untuk pengurusan sertifikatnya. Biaya untuk pembuatan sertifikat yang besar tentunya mempengaruhi biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan perkebunan dalam memproduksi kelapa sawit berbeda dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh perkebunan tidak bersertifikat RSPO.

  Pertimbangan lain adalah ketidakpastian terhadap kompensasi CPO yang dihasilkan setelah perusahaan perkebunan bersertifikat RSPO. Dari segi harga CPO ada perbedaan antara yang telah bersertifikat dan yang belum yakni yang dikenal dengan harga premium. Perbedaan selisih harga US$ 10 sampai US$50 per ton CPO di atas harga CPO yang belum sertifikat. Walaupun harga premium itu sendiri tercipta dari perundingan antara penjual dengan pembeli. Karena sebetulnya sertifikasi RSPO tidak bersifat mandatory (wajib), tapi voluntary (sukarela). Karena bukan mandatory, akhirnya soal harga ditentukan antara si penjual dan si pembeli (Utomo, 2010).

  Menurut RSPO (2012) bahwa manfaat dari sertifikasi RSPO bagi perkebunan kelapa sawit antara lain yaitu:

  Pendapatan dan Pemasaran

  Dengan sertifikasi RSPO, perusahaan perkebunan kelapa sawit dapat mempertahankan posisi tawarnya di pasar internasional khususnya di Uni Eropa dan Amarika Utara dan mengklaim memperoleh harga premium US$ 0 – $10 /ton CPO.

  Operasional

  Melalui sertifikasi RSPO perusahaan memperoleh manfaat yaitu:

  • Memperbaiki dan melengkapi dokumen-dokumen yang ada pada perusahaan perkebunan serta menyesuaikan dan menyeragamkan kegiatan operasional dan dokumen di seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit,
  • Penurunan biaya pemakaian rutin herbisida dan pestisida sebesar masing- masing US$ 250.000 dan $ 73.859/Ha,
  • Angka kecelakaan menurun sampai 42 %.

  Hubungan Masyarakat Sosial

  Berdasarkan hubungan masyarakat sosial, RSPO bermanfaat:

  • Permasalahan konflik dengan masyarakat seperti pembebasan lahan garapan, polusi, dan sebagainya dapat dikendalikan atau menurun,
  • Meningkatkan hubungan dengan para pemangku kepentingan lokal, termasuk pemerintah, tenaga kerja, masyarakat sipil dan pembeli.

  Menjadi anggota RSPO, penerima manfaat pertama adalah perusahaan itu sendiri. Dengan sertifikasi yang diperoleh dari RSPO, maka PKS tersebut akan bebas dari penolakan, kritik dan boikot pasar internasional yang mengakui RSPO.

  Perlu diketahui tidak semua negara di dunia mengakui RSPO. Pasar utama yang mengakui adalah negara Eropa, sementara negara seperti India, China, Amerika Latin tidak mengakui RSPO. Dengan demikian bagi perusahaan yang tidak atau menolak menjadi anggota RSPO memiliki alternatif pasar yang mau menerima CPO.

  Namun demikian, Eropa adalah pasar yang strategis bagi CPO. Sehingga sangat baik bagi PKS untuk menjadi anggota RSPO. Tanpa RSPO perusahaan- perusahaan tersebut tidak akan bisa bebas memasuki pasar Eropa.

  Pada intinya RSPO ini berkepentingan terhadap peningkatan hasil produksi sawit yang berkelanjutan dan mengkontrol seluruh proses produksi minyak sawit sesuai dengan standar kesehatan dan hukum internasional.

2.3. Landasan Teori

2.3.1. Analisis Manfaat dan Biaya

  Manfaat merupakan nilai barang dan jasa bagi konsumen, sedangkan biaya merupakan manfaat yang tidak diambil, atau lepas dan hilang (opportunity cost).

  Berkaitan dengan lingkungan, orang telah mencoba menentukan biaya pembuangan sampah atau limbah yang disebut biaya pencegahan polusi dan biaya polusi. Biaya pencegahan polusi adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mencegah sebagian atau keseluruhan polusi sebagai akibat kegiatan produksi atau konsumsi, sedangkan biaya polusi merupakan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk menghindari kerusakan akibat polusi dan kerusakan kesejahteraan masyarakat sebagai akibat polusi (Reksohadipurodjo S, 2000).

  Analisis manfaat biaya secara umum diartikan sebagai penilaian yang sistematis terhadap seluruh manfaat dan seluruh biaya yang akan timbul dari suatu tindakan atau beberapa tindakan alternatif. Dalam analisis ini pengambilan keputusan, apakah perlu dilakukan tindakan atau tidak, didasarkan atas besarnya angka perbandingan antara seluruh manfaat dengan seluruh biaya yang akan timbul dari tindakan tersebut. Analisis diterapkan pada program penanggulangan atau pencegahan polusi. Manfaat program tersebut adalah pengurangan biaya polusi. Biaya program adalah segala pengeluaran perusahaan, dan ini dapat diukur dengan nilai pemanfaatan lain sumber daya yang diperlukan untuk pelaksanaan program (Reksohadipurodjo S, 2000).

  William N. Dunn (2000) menyatakan bahwa analisis biaya manfaat adalah suatu pendekatan untuk rekomendasi kebijakan yang memungkinkan analis membandingkan dan menganjurkan suatu kebijakan dengan cara menghitung total biaya dalam bentuk uang dan total keuntungan dalam bentuk uang. Analisis biaya manfaat selain dapat digunakan untuk merekomendasikan tindakan kebijakan, dapat juga digunakan untuk mengevaluasi kinerja kebijakan.

  Menurut Kadariah (1999) bahwa manfaat yang akan terjadi pada suatu proyek dapat dibagi menjadi tiga yaitu manfaat langsung, manfaat tidak langsung dan manfaat terkait.

1) Manfaat Langsung

  Manfaat langsung dapat berupa peningkatan output secara kualitatif dan kuantitatif akibat penggunaan alat-alat produksi yang lebih canggih, keterampilan yang lebih baik dan sebagainya.

  2) Manfaat Tidak Langsung

  Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang muncul di luar proyek, namun sebagai dampak adanya proyek. Manfaat ini dapat berupa meningkatnya pendapatan masyarakat disekitar lokasi proyek.

  3) Manfaat Terkait

  Manfaat terkait yaitu keuntungan-keuntungan yang sulit dinyatakan dengan sejumlah uang, namun benar-benar dapat dirasakan, seperti keamanan dan kenyamanan. Dalam penelitian ini untuk penghitungan hanya didapat dari manfaat langsung dan sifatnya terbatas, karena tingkat kesulitan menilainya secara ekonomi.

2.4. Penelitian Terdahulu

  Ginting (2011) dalam penelitian berjudul Analisis Komparasi Pendapatan Antara Perkebunan Bersertifikasi Dengan Perkebunan Tidak Bersertifikasi Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO) (Studi Kasus: PT Perkebunan Nusantara Di Sumatera Utara), menunjukkan bahwa 1) Pada perkebunan bersertifikat dengan perkebunan tidak bersertifikat tidak ada perbedaan harga baik harga nominal maupun harga riil, ada perbedaan volume penjualan, biaya produksi dan pendapatan pada tahun 2005-2009. Tidak ada perbedaan harga baik harga nominal maupun harga riil, volume penjualan, biaya produksi maupun pendapatan pada tahun 2010-Agustus 2011; 2) Pada perkebunan sebelum dan setelah bersertifikat RSPO tidak ada perbedaan harga baik harga nominal maupun harga riil, volume penjualan, biaya produksi maupun pendapatan pada tahun 2010-Agustus 2011.

  Wulandary (2007) dalam penelitian berjudul “Analisis biaya manfaat pengelolaan lingkungan sentra industri kecil tahu Jomblang Kota semarang” melihat bagaimana manfaat pengelolaan lingkungan di sentra industri kecil dengan melakukan analisis biaya manfaat. Langkah yang dilakukan adalah dengan mengidentifikasi upaya-upaya pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh industri tahu Jomblang dan mengetahui persepsi pemilik industri terhadap pengelolaan lingkungan. Analisis biaya manfaat dilakukan dengan menggunakan perhitungan NPV, IRR dan BCR dan menyimpulkan bahwa dengan membandingkan antara penerapan pengelolaan lingkungan dengan penerapan produksi bersih, diketahui biaya produksi sebelum diterapkannya produksi bersih jauh lebih besar yaitu Rp 9.104.986.500,- dibandingkan dengan biaya produksi setelah penerapan produksi bersih yaitu sebesar Rp 6.373.490.550,- Dengan volume produksi yang sama, maka setelah adanya penerapan produksi bersih ini keuntungan yang diperoleh oleh industri menjadi lebih besar yaitu Rp 5.210.879.450,- per satu tahun.

  Afari-Sefa et al (2010) dalam penelitian berjudul “Economic Cost-Benefit . mengeksplorasi

  Analysis Of Certified Sustainable Cocoa Production in Ghana”

  potensi petani kakao di Ghana untuk mengembangkan ceruk pasar kakao bersertifikasi Rainforest Alliance dengan menggunakan NPV, BCR dan IRR.

  Sertifikasi Rainforest Alliance bertujuan mengarahkan petani untuk beralih dari sistem produksi Amazon rendah atau tidak ada (yaitu menanam pohon pelindung <20 pohon per ha) menjadi sistem produksi Amazon menengah (yaitu 70 pohon pelindung didistribusikan selama minimal 12 spesies per ha) serta standar lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manfaat sertifikasi terhadap harga produsen kakao yang bersertifikasi Rainforest Alliance mengalami peningkatan 70-85%.

  Romaniuk (2008) dalam penelitian berjudul “Costs and benefits of forest

  

management certification for Polish State Forests under Forest Stewardship Council

scheme ”. penelitian ini menyajikan hasil analisis yang dilakukan di empat direktorat

  regional Hutan Negara Polandia dan dua belas distrik hutan pada musim gugur 2007. Pada penelitian ini, biaya sertifikasi hutan serta manfaat sertifikasi dibagi menjadi langsung dan tidak langsung. Biaya langsung berhubungan dengan audit yang dilakukan di daerah hutan setiap tahun atau setiap 5 tahun, sedangkan biaya sertifikasi tidak langsung terdiri dari: biaya sosial (misalnya berhubungan dengan keselamatan pekerja hutan), proses birokrasi tambahan, perubahan dalam pengelolaan hutan dan biaya alam (seperti kayu mati yang tersisa di hutan, menyisihkan daerah atau pohon dipertahankan dalam hutan setelah stek). Manfaat langsung terdiri dari: harga premium dan penjualan tambahan. Manfaat tidak langsung dibagi menjadi moneter dan non-moneter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya langsung tahunan per hektar di Direktorat Regional

  Białystok berkisar 0.019 EUR dan di Direktorat Daerah

  Łódź sebesar 0.043 EUR. Biaya per hektar mengalami penurunan pada masing- masing direktorat tersebut. Untuk biaya tidak langsung misalnya tidak ditemukan adanya perbaikan pengelolaan hutan dan kegiatan lainnya. Biaya tidak langsung tertinggi yang diperoleh hampir 400.000 EUR per tahun. Biaya sosial dan birokrasi sekitar 90.000 EUR per tahun. Hasil survei tidak menemukan adanya pertambahan penjualan kayu atau harga premium setelah diterapkannya sertifikasi pengelolaan hutan yang baik, namun sertifikasi hutan bermanfaat dalam hal mengidentifikasi beberapa titik lemah dalam struktur organisasi dan lingkungan, yang berpengaruh terhadap perbaikan keselamatan pekerja hutan dan terhindar dari kerugian.

2.5. Kerangka Pemikiran

  Permasalahan lingkungan yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit sudah banyak mendapatkan sorotan. Hal ini terjadi karena kelapa sawit dianggap sebagai sebuah produk yang tidak berkelanjutan dan tidak ramah lingkungan. Perkebunan kelapa sawit dianggap menyebabkan berkurangnya daerah resapan air, pencemaran lingkungan dan pengairan akibat penggunaan pupuk. Agar dapat diterima di pasar internasional, minyak sawit yang diproduksi haruslah berkelanjutan (sustainable) dan ramah lingkungan. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) adalah asosiasi yang dibentuk oleh tujuh sektor dalam industri minyak sawit mulai dari pekebun, produsen minyak sawit sampai kepada pendana dan LSM. Tujuannya adalah untuk mempromosikan pengembangan dan penggunaan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan dengan kerjasama di antara mata-mata rantai penyedia produksi dan dialog terbuka dengan para pemangku kepentingan lainnya. Sebagai bukti penerapan RSPO, dilakukan audit dan sertifikasi oleh pihak ketiga yang independen yang berperan sebagai lembaga sertifikasi. Sertifikasi RSPO dapat disebut sebagai standar internasional bagi legalitas CPO ramah lingkungan, di mana yang menjadi tanggung jawab besar dalam menerapkan sistem ini adalah dengan memperhatikan aspek-aspek finansial, lingkungan/ekologi, dan sosial. Dengan berbekal sertifikat RSPO yang diperoleh pada tahun 2011, maka perkebunan kelapa sawit akan bebas dari penolakan, kritik dan boikot pasar internasional yang mengakui RSPO.

  Dalam melakukan sertifikasi RSPO perusahaan perkebunan diharuskan untuk melakukan prinsip dan kriteria yang telah ditetapkan oleh badan RSPO. terdapat 8 prinsip dan 39 kriteria RSPO yang harus dilakukan. Dalam melakukan prinsip dan kriteria tersebut tentunya akan mengakibatkan biaya (C) yang harus dikeluarkan perusahaan perkebunan baik biaya yang langsung berkaitan dengan proses produksi dan pemasaran CPO ataupun biaya yang tidak langsung dengan proses produksi dan pemasaran CPO.

  Pemenuhan sertifikasi RSPO selain menimbulkan biaya juga dapat memberikan manfaat (B) terhadap perusahaan perkebunan. Manfaat yang diberikan dapat dilihat dari sisi harga jual, jumlah penjualan dan jangkauan pasar yang diterima oleh perusahaan perkebunan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Untuk lebih jelasnya mengenai kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1:

  Sertifikasi RSPO Kegiatan terkait Pemenuhan Prinsip & Kriteria RSPO Biaya Manfaat (C) (B) Jangka Jangka Tidak Tidak Pendek Panjang Langsung Langsung Langsung Langsung

  Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

2.6. Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan landasan teori yang sudah dibangun, maka disusun hipotesis bahwa:

  1. Terdapat perbedaan biaya langsung dan tidak langsung sebelum dan sesudah sertifikasi RSPO pada perkebunan kelapa sawit.

  2. Terdapat perbedaan manfaat langsung dan tidak langsung serta perbedaan manfaat jangka pendek dan jangka panjang sebelum dan sesudah sertifikasi RSPO pada perkebunan kelapa sawit.