BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pisau Egrek - Pengaruh Proses Deformasi Plastis Dengan Metode Hammering Terhadap Sifat Mekanis Dan Microstruktur Baja Bohler K460 (AISI O1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pisau Egrek

  Pisau pemanen sawit diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pisau egrek dan pisau dodos. Penggunaan pisau egrek yaitu pada pohon sawit ketinggian diatas 4 meter, dan dibawah 4 meter menggunakan pisau dodos. Bahan baku alat pemanen sawit dalam hal ini pisau egrek biasanya menggunakan baja karbon sedang dari pegas daun mobil yang dalam bentuk potongan platstrip sesuai dengan ukuran pisau egrek dan tipe yang ada. Proses produksi egrek ini dilakukan dengan pembakaran arang kayu atau dipanaskan didalam furnace guna untuk mempermudah proses tempa (hammer). Proses pembakaran arang kayu atau furnace dapat dilakukan sesuai dengan bahan yang akan di tempa.

  Sumber :

Gambar 2.1 Pisau Pemanen Sawit

  Dalam proses produksi egrek, beberapa tahapan yang harus dilalui antara lain:

  1. Proses tempa (hammer) Baja karbon sedang yang sudah dalam bentuk potongan platstrip dibakar dalam tungku pembakaran dengan waktu kurang lebih 45 menit tujuannya agar baja karbon sedang tersebut mudah untuk dibengkokkan karena pada awal tahap ini dilakukan proses tarik ekor yaitu pada ujung potongan baja karbon sedang. Proses

tarik ekor ini dilakukan dengan menggunakan mesin tempa manual.

Setelah proses tarik ekor, potongan baja karbon sedang dipanaskan

kembali. Akibat pemanasan ini, ukuran baja karbon sedang

semakin memanjang karena mengalami proses pemuaian. Selanjutnya dilakukan proses buka bagian depan dengan menggunakan mesin tempa. Agar ukuran/dimensi platstrip tersebut rata, maka dibawa ke tempat pemotongan dan dipotong dengan menggunakan mesin potong. Kemudian dipanaskan kembali di tungku pembakaran agar baja karbon sedang tersebut dapat dibengkokkan dengan menggunakan mesin rolling sesuai dengan bentuk egrek yang sudah standard dan dipukul rata dengan menggunakan mesin tempa. Seperti gambar dibawah ini..

  Sumber : Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan

Gambar 2.2 Mesin tempa (hammer)

  2. Proses Polishing Hasil akhir dari proses tempa (hammer) sudah dalam bentuk egrek tetapi masih memerlukan pemolesan kembali agar sesuai dengan ukuran standard perusahaan.Tahap pertama proses ini adalah penggambaran pola. Dalam penggambaran polaini, digunakan egrek yang sudah terstandar sebagai acuan. Dengan menggambar pola ini, maka operator dapat dengan mudah memformat dengan menggunakan mesin format dan mempertajam bagian tepinya. Setelah selesai diformat, egrek dibawa ke proses

flating. Proses flating ini merupakan proses pemukulan dengan

menggunakan palu, tujuannya agar egrek tersebut tidak baling.

  3. Gerinda kasar Setelah selesai dari proses format, egrek dibawa ke stasiun gerinda kasar.Pada tahap ini dilakukan kegiatan tekuk ekor dengan menggunakan mesin gerinda sehingga bagian ujungnya runcing dan bagian tepinya juga makin dipertajam. Proses ini merupakan

proses paling lama karena membutuhkan waktu sekitar 7 menit

untuk menyelesaikannya. Setelah kegiatan gerinda selesai, maka kembali. dibawa ke tempat flating untuk dipukul dengan palu. Tiap akhir proses selalu dilakukan proses pemukulan yang tujuannya agar egrek tersebut tidak baling karena biasanya setelah mengalami proses permukaan egrek tersebut tidak rata.

  Sumber : Pandai Besi Pancur Batu

Gambar 2.3 Mesin Gerinda Kasar 4.

  Penyepuhan Setelah mengalami proses gerinda kasar, egrek tersebut di sepuh dengan memanaskan pada tungku pembakaran. Oleh karena itu sebelum disepuh, arang dibakar selama 5 menit pada tungku pemanasan sehingga suhu mencapai diatas 850 ˚C. Tujuan dari proses ini adalah untuk mengeluarkan kandungan karbon sehingga egrek tersebut makin keras. Pada tahap penyepuhan ini terjadi dua

proses yaitu proses pengerasan (hardening) dan proses tempering.

Pada proses hardening, egrek dipanaskan agar kandungan karbon hilang namun apabila pada tahap pemanasan suhu sudah terlalu tinggi maka egrek dapat patah maka dilanjutkan dengan tahap tempering agar panas pada egrek dapat disesuaikan. Sesudah disepuh, egrek masih mengalami proses flating untuk meratakan permukaan egrek (agar tidak baling).

  5. Gerinda halus Egrek yang sudah disepuh dibawa ke mesin gerinda halus untuk digerinda. Tujuan dari tahap ini adalah untuk memutihkan permukaan egrek sehingga tampak mengkilap dan tampak lebih tajam.

  6. Finishing Tahap finishing merupakan tahap pengecatan dengan menggunakan tiner.Egrek direndam sebentar dalam wadah yang berisi tiner kemudian ditiriskan pada lemari oven dengan temperatur 600C. Dalam lemari oven ini, bertujuan untuk mengeringkan cat clear dan dibutuhkan waktu sekitar 30 menit agar cat clear tersebut dapat benar-benar kering. Setelah proses ini selesai maka selesailah proses pembuatan pisau egrek.

Tabel 2.1. Syarat Mutu Egrek – SNI

  No Jenis Uji Satuan Persyaratan

  • 1 Tampak Luar Tidak cacat
  • 2 Sisi Potong Tajam

  3 Bahan Baku Baja karbon sedang - atau setara

  4 Kekerasan Sisi Potong HRC 45,3 Dilakukan Perlakuan Panas

  Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit

2.2. Baja

  Baja adalah logam paduan antara besi (Fe) dan karbon (C), dimana besi sebagai unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon dalam baja berkisar antara 0,1% hingga 1,7% sesuai tingkatannya. Dalam proses pembuatan baja akan terdapat unsur-unsur lain selain karbon yang akan tertinggal di dalam baja seperti mangan (Mn), silikon (Si), kromium (Cr), vanadium (V), dan unsur lainnya.

  Baja merupakan bahan dasar vital untuk industri. Semua segmen kehidupan, mulai dari peralatan dapur, transportasi, generator pembangkit listrik, sampai kerangka gedung dan jembatan menggunakan baja. Baja menduduki peringkat pertama di antara barang tambang logam dan produknya melingkupi hampir 90 % dari barang berbahan logam.

2.2.1 Klasifikasi Baja

  Secara umum Baja dapat diklasifikasi dari beberapa macam yaitu : baja karbon, baja paduan, baja perkakas, baja stainlis, dan baja lainnya.

  Berdasarkan tinggi rendahnya presentase karbon di dalam baja, baja karbon diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Baja Karbon Rendah (Low Carbon Steel) Baja karbon rendah mengandung karbon antara 0,10 s/d 0,30 %.

  Baja karbon ini dalam perdagangan dibuat dalam plat baja, baja strip dan baja batangan atau profil. Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung dalam baja, maka baja karbon rendah dapat digunakan atau dijadikan baja-baja sebagai berikut: a.

  Baja karbon rendah yang mengandung 0,04 % - 0,10% C. untuk dijadikan baja – baja plat atau strip.

  b.

  Baja karbon rendah yang mengandung 0,10 - 0,15% C digunakan untuk keperluan badan-badan kendaraan.

  c.

  Baja karbon rendah yang mengandung 0,15% - 0,30% C digunakan untuk konstruksi jembatan, bangunan, membuat baut atau dijadikan baja konstruksi.

  2. Baja Karbon Menengah (Medium Carbon Steel)

  Baja karbon menengah mengandung karbon antara 0,30% - 0,60% C. Baja karbon menengah ini banyak digunakan untuk keperluan alat-alat perkakas bagian mesin. Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung dalam baja maka baja karbon ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk keperluan industri kendaraan, roda gigi, pegas dan sebagainya.

  3. Baja Karbon Tinggi (High Carbon Steel)

  Baja karbon tinggi mengandung kadar karbon antara 0,60% - 1,7% C dan setiap satu ton baja karbon tinggi mengandung karbon antara 70 – 130 kg. Baja ini mempunyai tegangan tarik paling tinggi dan banyak digunakan untuk material tools. Salah satu aplikasi dari baja ini adalah dalam pembuatan kawat baja dan kabel baja.

  Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung didalam baja maka baja karbon ini banyak digunakan dalam pembuatan pegas, alat-alat perkakas seperti: palu, gergaji atau pahat potong. Selain itu baja jenis ini banyak digunakan untuk keperluan industri lain seperti pembuatan kikir, pisau cukur, mata gergaji dan lain sebagainya.

  Selain baja dengan paduan karbon (C), ada juga baja dengan paduan lainnya seperti Cr, Mn, Ni, S, Si, P, dan lain-lain. Baja paduan didefenisikan sebagai suatu baja yang dicampur dengan satuatau lebih unsur campuran yang berguna untuk memperoleh sifat-sifat baja yang dikehendaki seperti sifat kekuatan, kekerasan, dan keuletannya. Paduan dari beberapa unsur yang berbeda memberikan sifat khas dari baja. Misalnya baja yang dipadu dengan Ni dan Cr akan menghasilkan baja yang mempunyai sifat keras dan ulet.

  Berdasarkan kadar paduannya, baja paduan dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

  1. Baja Paduan Rendah (Low Alloy Steel)

  Baja paduan rendah merupakan baja paduan yang elemen paduannya kurang dari 2,5% wt.

  2. Baja Paduan Menengah (Medium Alloy Steel)

  Baja paduan menengah merupakan baja paduan yang elemen paduannya antara 2,5% - 10% wt.

  3. Baja Paduan Tinggi (High Alloy Steel)

  Baja paduan tinggi merupakan baja paduan yang elemen paduannya lebih dari 10% wt.

  Pada umunya, baja paduan mempunyai sifat yang unggul dibandingkan dengan baja karbon biasa, diantaranya adalah mempunyai keuletan yang tinggi tanpa pengurangan kekuatan tarik, tahan terhadap korosi dan keausan yang tergantung pada jenis paduannya, tahan terhadap perubahan suhu, serta memiliki butiran yang halus dan homogen.

  2.2.2. Baja Bohler K460

  Baja bohler K460 adalah nama merek baja dari produk bohler buatan Jerman. Baja bohler K460 sering diaplikasikan untuk baja pemotong dan perkakas. Baja bohler K460 setara jugaa engan standart AISI O1. Adapun komposisi dari baja bohler K460 ini adalah : Fe = 96,65 % , C = 0,95% , W = 0,5% , Mn = 1 % , Cr = 0,5% , V = 0,1% , Si = 0,3 % .

  2.2.3. Sifat-Sifat Baja

  Untuk dapat menggunakan bahan teknik dengan tepat, maka bahan tersebut harus dapat dikenali dengan baik sifat-sifatnya yang mungkin akan dipilih untuk digunakan. Sifat-sifat tersebut tentunya sangat banyak macamnya, untuk itu secara umum sifat-sifat bahan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Sifat Kimia

  Dengan sifat kimia diartikan sebagai sifat bahan yang mencakup antara lain kelarutan bahan terhadap larutan kimia, basa atau garam dan pengoksidasiannya terhadap bahan tersebut. Salah satu contoh dari sifat kimia yang terpenting adalah : Korosi

  2. Sifat Teknologi

  Sifat teknologi adalah sifat suatu bahan yang timbul dalam proses pengolahannya. Sifat ini harus diketahui terlebih dahulu sebelum mengolah atau mengerjakan bahan tersebut.

  Sifat-sifat teknologi antara lain : sifat mampu las (weldability), sifat mampu dikerjakan dengan mesin (machineability), sifat mampu cor (castability), dan sifat mampu dikeraskan (hardenability)

  3. Sifat Mekanik

  Sifat mekanik suatu bahan adalah kemampuan bahan untuk menahan beban-beban yang dikenakan padanya. Beban-beban tersebut dapat berupa beban tarik, tekan, bengkok, geser, puntir, atau beban kombinasi.

  Sifat-sifat mekanik yang terpenting antara lain : a.

  Kekuatan (strength) Menyatakan kemampuan bahan untuk menerima tegangan tanpa menyebabkan bahan tersebut menjadi patah.

  Kekuatan ini ada beberapa macam, dan ini tergantung pada beban yang bekerja antara lain dapat dilihat dari kekuatan tarik, kekuatan geser, kekuatan tekan, kekuatan puntir, dan kekuatan bengkok.

  b.

  Kekerasan (hardness) Dapat didefenisikan sebagai kemampuan bahan untuk bertahan terhadap goresen, pengikisan (abrasi), penetrasi.

  Sifat ini berkaitan erat dengan sifat keausan (wear

  resistance ). Dimana kekerasan ini juga mempunyai korelasi dengan kekuatan.

  c.

  Kekenyalan (elasticity) Menyatakan kemampuan bahan untuk menerima tegangan tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk yang permanen setelah tegangan dihilangkan. Bila suatu bahan mengalami tegangan maka akan terjadi perubahan bentuk. Bila tegangan yang bekerja besarnya tidak melewati suatu batas tertentu maka perubahan bentuk yang terjadi bersifat sementara, perubahan bentuk ini akan hilang bersamaan dengan hilangnya tegangan, akan tetapi bila tegangan yang bekerja telah melampaui batas, maka sebagian bentuk itu tetap ada walaupun tegangan telah dihilangkan.

  Kekenyalan juga menyatakan seberapa banyak perubahan bentuk yang permanen mulai terjadi, dengan kata lain kekenyalan menyatakan kemampuan bahan untuk kembali ke bentuk dan ukuran semula setelah menerima beban yang menimbulkan deformasi.

  d.

  Kekakuan (stiffness) Menyatakan kemampuan bahan untuk menerima tegangan/beban tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk (deformasi) atau defleksi. Dalam beberapa hal kekakuan ini lebih penting daripada kekuatan. e.

  Plastisitas (plasticity) Menyatakan kemampuan bahan untuk mengalami sejumlah deformasi plastis yang permanen tanpa mengakibatkan terjadinya kerusakan. Sifat ini sangat diperlukan bagi bahan yang akan diproses dengan berbagai proses pembentukan seperti, forging, rolling, extruding dan sebagainya. Sifat ini sering juga disebut sebagai keuletan/kekenyalan (ductility). Bahan yang mampu mengalami deformasi plastis yang cukup tinggi dikatakan sebagai bahan yang mempunyai keuletan / kekenyalan tinggi, dimana bahan tersebut dikatakan ulet / kenyal (ductile). Sedang bahan yang tidak menunjukan terjadinya deformasi plastis dikatakan sebagai bahan yang mempunyai keuletan rendah atau dikatakan getas / rapuh (brittle).

  f.

  Ketangguhan (toughness) Menyatakan kemampuan bahan untuk menyerap sejumlah energi tanpa mengakibatkan terjadinya kerusakan.

  Juga dapat dikatakan sebagai ukuran banyaknya energi yang diperlukan untuk mematahkan suatu benda kerja, pada suatu kondisi tertentu. Sifat ini dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga sifat ini sulit untuk diukur.

  g.

  Kelelahan (fatigue) Merupakan kecenderungan dari logam untuk patah apabila menerima tegangan berulang-ulang (cyclic stress) yang besarnya masih jauh dibawah batas kekuatan elastisitasnya. Sebagian besar dari kerusakan yang terjadi pada komponen mesin disebabkan oleh kelelahan. Karenanya kelelahan merupakan sifat yang sangat penting tetapi sifat ini juga sulit diukur karena sangat banyak faktor yang mempengaruhinya.

  h.

  Keretakan (creep) Merupakan kecenderungan suatu logam mengalami deformasi plastis yang besarnya merupakan fungsi waktu, pada saat bahan tersebut menerima beban yang besarnya relatif tetap.

2.2.4. Diagram Fasa Fe-C

  Diagram keseimbangan besi karbon seperti pada gambar 2.2 adalah diagram yang menampilkan hubungan antara temperatur dimana terjadi perubahan fasa selama proses pendinginan dan pemanasan yang lambat dengan kadar karbon. Diagram ini merupakan dasar pemahaman untuk semua operasi-operasi perlakuan panas. Dimana fungsi diagram fasa adalah memudahkan memilih temperatur pemanasan yang sesuai untuk setiap proses perlakuan panas baik proses anil, normalizing maupun proses pengerasan.

  Besi karbon terbagi atas dua bagian yaitu baja (steel) dan cast iron. Baja adalah paduan besi dengan karbon maksimal sampai sekitar 2%, sedangkan cast iron adalah paduan besi dengan karbon diatas 2%. Baja dibagi dua bagian yaitu baja yang mengandung kurang dari 0,83% disebut hypoetectoid dan baja yang mengandung lebih dari 0,83% sampai dengan 2% karbon disebut dengan hyperetectoid.

  Pemanasan pada suhu 723 C dengan komposisi 0,8 % C disebut dengan titik eutectoid. Apabila dilakukan pemanasan sebelum mencapai titik eutectoid, pada titik hypoeutectoid terbentuk fasa pearlit dan ferrit. Sedangkan dibawah hypereutectoid mempunyai fasa pearlit dan sementit. Pada pemanasan melewati garis eutectoid, terjadi perubahan fasa pearlit menjadi austenit.

  Ketika paduan A (A

  1 ) mencapai suhu 723 C (suhu eutektoid) sisa

  austenit sekitar 0,8% C (meskipun sebenarnya jumlah komposisinya 0,4%). Oleh karena itu, pada titik eutectoid reaksi yang terjadi adalah

  perubahan sisi austenite menjadi pearlite (α + Fe (A ) mencapai suhu 910

  3 C). ketika paduan A

  C, ferit bcc mulai berubah bentuk menjadi

  3

  austenite. Ini merupakan reaksi solid dan dipengaruhi oleh difusi karbon pada austenit. Ferrit yang berisi karbon terbentuk dengan sangat lambat.

  Keadaaan paduan A (A cm ) transformasi Fe

  3 C menjadi austenit secara

  keseluruhan pada suhu ini, seperti prediksi pada diagram. Seluruh sistem austenit fcc dengan kadar karbon 0.95 %.

  Dari gambar (2.2), andaikan suatu bahan dipanaskan sampai sekitar suhu 800-1200 C dengan komposisi 0,68 % karbon sampai fasa austenit, kemudian didinginkan sampai 600 C fasa yang terbentuk adalah fasa pearlit tetapi bila didinginkan sampai batas kritis 738

  C, fasa gamma sebagian akan terdistorsi menjadi fasa alpha, dan bila dilanjutan pendinginan di bawah sedikit batas kritis, ferrit akan bergabung didalam pearlit dan austenite akan bertransformasi menjadi karbida (sementit).

  Andaikan didinginkan cepat, fasa akan bertransformasi menjadi sementit dan pearlit. Dalam hal ini, pengaruh waktu tahan sangat menetukan pada pembetukan perubahan butir.

  Adapun macam – macam struktur yang ada pada besi karbon adalah sebagai berikut:

  1. Ferrit

  Ferrit adalah fasa larutan padat yang memiliki struktur BCC (body centered cubic). Ferrit terbentuk akibat proses pendinginan yang lambat dari austenit baja hypotectoid pada saat mencapai A3.

  Ferrit bersifat sangat lunak, ulet dan memiliki kekerasan sekitar 70 - 100 BHN dan memiliki konduktifitas yang tinggi.

  2. Austenit

  Fasa Austenit memiliki struktur atom FCC (Face Centered

  Cubic ). Dalam keadaan setimbang fasa austenit ditemukan pada

  temperatur tinggi. Fasa ini bersifat non magnetik dan ulet (ductile) pada temperatur tinggi. Kelarutan atom karbon di dalam larutan padat austenit lebih besar jika dibandingkan dengan kelarutan atom karbon pada fasa ferrit dan memiliki kekerasan sekitar 200 BHN.

  3. Sementit

  Sementit adalah senyawa besi dengan karbon yang umum dikenal sebagai karbida besi dengan kandungan karbon 6,67% yang bersifat keras sekitar 5-68 HRC

  4. Perlit

  Perlit adalah campuran sementit dan ferit yang memiliki kekerasan sekitar 10-30HRC. Perlit yang terbentuk sedikit dibawah temperatur eutectoid memiliki kekerasan yang lebih rendah dan memerlukan waktu inkubasi yang lebih banyak.

  5. Bainit

  Bainit merupakan fasa yang kurang stabil yang diperoleh dari austenit pada temperatur yang lebih rendah dari temperatur transformasi ke perlit dan lebih tinggi dari transformasi ke martensit.

  6. Martensit

  Martensit merupakan larutan padat dari karbon yang lewat jenuh pada besi alfa sehingga latis-latis sel satuanya terdistorsi.

Gambar 2.4. Diagram Fasa Fe-C

2.3 Mekanisme Penguatan Logam

  Penguatan logam yang berdampak terhadap peningkatan sifat mekanik dapat terjadi berbagai cara, antara lain dengan mekanisme pengerasan regangan (strain hardening), larut-padat, fasa kedua, prespitasi, dispersi, penghalusan butir dan tekstur.

  1. Pengerasan regang (strain hardening)

  Penguatan melalui mekanisme pengerasan regangan dapat terjadi terhadap semua logam akibat proses deformasi plastis yang menyebapkan terjadinya peningkatan kerapatan dislokasi. Dislokasi yang semakin rapat mengakibatkan dislokasi itu sendiri semakin sukar bergerak sehingga bahan semakin kuat atau keras.

  2. Larut padat

  Penguatan mekanisme larut padat terjadi akibat adanya atom- atom asing yang larut padat baik secara subtitusi maupun interstisi.

  Atom asing yang larut padat tersebut dapat berupa unsur pemadu dalam bentuk paduan maupun inklusi berupa atom pengotor.

  Kelarutan atom-atom asing ini dalam bentuk larut padat mengakibatkan timbulnya medan tegangan yang berdampak terhadap pergerakan dislokasi. Pergerakan dislokasi semakin sukar dengan timbulnya medan tegangan sehingga mengakibatkan logam menjadi lebih kuat atau keras.

  3. Fasa kedua

  Penguatan atau pengerasan dapat pula terjadi melalui mekanisme fasa kedua karena timbulnya senyawa fasa paduan. Pembentukan senyawa fasa kedua dalam paduan terjadi karena penambahan unsur paduan yang melampaui batas larut padat.

  Senyawa fasa yang terbentuk relatif bersifat keras dan pergerakan dislokasi cenderung akan terhambat oleh fasa kedua tersebut.

  Pergerakan dislokasi yang terhambat oleh fasa kedua akan memperkuat dan memperkeras logam.

4. Prespitasi

  Pengerasan logam dapat juga ditingkatkan dengan proses prespitasi yaitu pengerasan melalui partikel endapan fasa yang halus dan menyebar. Distribusi prespitat dalam bentuk partikel endapan fasa kedua ini menimbulkan tegangan dalam (internal sress).

  Tegangan yang ditimbulkan semakin besar sehingga mengakibatkan semakin meningkatnya kekuatan atau kekerasan. Pengerasan presipitasi ini terjadi melalui proses perlakuan panas, quenching dan

  aging . Paduan logam dalam bentuk dua fasa atau lebih dipanaskan

  pada suhu tertentu sehingga senyawa fasa tersebut akan larut-padat dalam satu fasa yang relatif homogen. Fasa yang relatif homogen tersebut kemudian didinginkan secara cepat sehingga membentuk fasa larut-padat super jenuh. Fasa larut-padat super jenuh tersebut kemudian mengalami aging sehingga terbentuk presipitat berupa partikel endapan fasa kedua yang halus dan tersebar merata yang mengakibatkan bahan menjadi keras. Pengerasan presipitasi ini akan menurun kekuatannya bila mengalami suhu overaging.

  5. Dispersi

  Penguatan logam tanpa pengaruh suhu overaging dapat dilakukan dengan metode dispersi. Pengerasan dispersi merupakan pengerasan melalui proses memasukkan partikel-partikel dispersi dalam bentuk serbuk yang tercampur secara homogen. Partikel dispersi yang digunakan merupakan partikel yang sama sekali tidak larut dalam matriknya. Campuran serbuk logam tersebut dikenai proses kompaksi dan sintering dengan suhu pemanasan sampai mendekati titik cair logam matrik sehingga mengakibatkan terjadi ikatan yang kuat. Partikel dispersi tersebut merupakan rintangan bagi gerakan dislokasi dan semakin banyak partikel akan semakin banyak terjadinya dislokasi. Dislokasi yang semakin banyak mengakibatkan dislokasi semakin rapat dan semakin sulit bergerak sehingga bahan akan semakin keras.

  6. Penghalusan butir dan tekstur

  Penguatan dengan cara penghalusan butir (grain refining) terjadi melalui struktur butir. Butir logam merupakan kumpulan sel-satuan yang berorientasi sama. Polikristal memiliki butir-butir yang orientasinya berbeda satu dengan yang lain. Pada saat deformasi terjadi, dislokasi akan bergerak pada bidang slip dan berusaha mencapai permukaan luar. Oleh karena orientasi setiap butir berbeda dengan yang lain, orientasi bidang slip pada butir-butir juga akan berbeda-beda. Sebagai akibatnya pergerakan dislokasi akan terhambat. Gerakan dislokasi yang akan menyeberangi batas butir memerlukan tegangan yang lebih besar sehingga dengan demikian batas butir akan menjadi penghalang dan penghambat gerakan dislokasi. Struktur butir memiliki batas-batas butir yang merupakan rintangan bagi pergerakan dislokasi. Butir yang semakin halus cenderung akan semakin memperbanyak batas butir. Batas butir yang banyak akan mengakibatkan gerakan dislokasi semakin sukar karena semakin banyak rintangan sehingga material menjadi semakin kuat. Penghalusan butir dapat dilakukan melalui proses pembekuan dan proses rekristalisasi. Penguatan tekstur merupakan peningkatan kekuatan atau kekerasan melalui orientasi kristal.

  Logam yang ditingkatkan kekuatannya diusahakan kristalnya memiliki orientasi tertentu. Pembentukan kristal logam agar sel- satuan memiliki orientasi yang mendekati arah tertentu dapat dilakukan dengan cara deformasi plastis, seperti dengan proses pengerolan.

2.4. Proses Deformasi

  Proses deformasi memanfaatkan sifat beberapa material yaitu kemampuannya mengalir secara plastis pada keadaan padat tanpa merusak sifat-sifatnya. Dengan menggerakan material secara sederhana ke bentuk yang di inginkan, maka sedikit atau bahkan tidak ada material yang terbuang sia-sia.

  Dari proses pengecoran, direduksi ukurannya dan diubah kedalam bentuk-bentuk dasar seperti plates, sheets dan rod. Bentuk-bentuk dasar ini kemudian mengalami proses deformasi lebih lanjut sehingga diperoleh kawat (wire) dan berjenis-jenis produk akhir yang dihasilkan melalui tempa (forging), ekstrusi, sheet metal forming dan sebagainya.

  Deformasi yang diberikan dapat berupa aliran curah (bulk flow) dalam tiga dimensi. Geser sederhana, tekuk sederhana dan gabungan ataupun kombinasi dari beberapa jenis proses tersebut. Tegangan yang diperlukan untuk mendapatkan deformasi tersebut dapat berupa tarikan (tension), tekan

  

(compression), geseran (shear) atau kombinasi dari beberapa jenis tegangan

tersebut.

  Secara makroskopis, deformasi dapat dilihat sebagai perubahan bentuk dan ukuran. Perubahan bentuk yang terjadi dapat di bedakan atas deformasi elastis dan deformasi plastis.

  Meskipun hakekat proses pembentukan logam adalah mengusahkan deformasi plastis yang terkontrol, namun dalam berbagai hal pengaruh deformasi elastis cukup besar sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Untuk itu perlu dibahas lebih dahulu pengertian deformasi elastis dan deformasi plastis.

  Perubahan bentuk dapat dipisahkan menjadi dua, yaitu deformasi elastis dan defomasi plastis. Deformasi elastis adalah perubahan bentuk yang terjadi bila ada gaya yang berkerja, serta akan hilang bila beban ditiadakan. Dengan kata lain bila beban ditiadakan, maka benda akan kembali kebentuk dan ukuran semula. Di lain pihak, defomasi plastis adalah perubahan bentuk yang permanent, meskipun bebannya di hilangkan. Secara diagramatis menunjukan pengertian deformasi elastis dan deformasi plastis pada suatu diagram tegangan-regangan.

  Bila suatu material dibebani sampai daerah plastis, maka perubahan betuk yang saat itu terjadi adalah gabungan antara deformasi elastis dengan deformasi plastis (penjumlahan ini sering juga disedut deformasi total). Bila beban-beban ditiadakan, maka deformasi elastis akan hilang pula, sehinga perubahaan bentuk yang ada hanyalah deformasi plastis saja.

  Pengaruh temperatur terhadap proses-proses pembentukan adalah hal mengubah sifat-sifat dan prilaku material. Secara umum kenaikan temperatur akan mengakibatkan turunnya kekuatan material, naiknya keuletan dan turunnya laju pengerasan regangan yang mana perubahannya tersebut mengakibatkan kemudahan material untuk deformasi.

  Berdasarkan temperatur material pada saat deformasi ini, proses pembentukan logam dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yaitu:

  • Pengerjaan panas (Hot working)
  • Pengerjaan dingin (Cold working) Pada awalnya batasan kedua kelompok tersebut hanyalah didasarkan atas ada atau tidaknya proses pemanasan benda kerja. Namun bila ditinjau dari segi metalurgis, hal ini tidak sepenuhnya benar.

  Batasan yang berlaku lebih umum adalah yang didasarkan pada temperatur rekristalisasi logam yang diproses. Hal ini memang berkaitan dengan ada atau tidaknya proses pelunakan selama proses berlangsung.

2.4.1 Proses Pengerjaan Panas

  Pengerjaan panas adalah proses pembentukan logam yang mana proses deformasinya dilakukan diastas kondisi temperatur rekritalisasi dan laju regangan dimana proses rekritalisasi dan deformasi terjadi bersamaan.

  Proses pengerjaan panas dapat didefinisikan sebagai proses pembentukan yang dilakukan pada daerah temperatur rekristalisasi logam yang diproses. (agar lebih singkat daerah temperatur diatas temperatur rekristalisasi untuk selanjutnya disebut sebagai daerah temperatur tinggi).

  Dalam proses deformasi pada temperatur tinggi terjadi peristiwa pelunakan yang terus menerus, khususnya akibat terjadinya rekristalisasi.

  Akibat yang konkret ialah bahwa logam bersifat lunak pada temperatur tinggi. Kenyataan inilah yang membawa keuntungan-keuntungan pada proses pengerjaan panas. Yaitu bahwa deformasi yang diberikan kepada benda kerja dapat relatif besar. Hal ini disebabkan karena sifat lunak dan sifat ulet, sehingga gaya pembentukan yang dibutuhkan relatif kecil, serta benda kerja mampu menerima perubahaan bentuk yang besar tanpa retak.

  Karena itulah keuntungan proses pengerjaan panas biasanya digunakan pada proses-proses pembentukan primer yang dapat memberikan deformasi yang besar, misalnya: proses pengerolan panas, tempa dan ekstrusi.

  Akibatnya adalah kurva tegangan – regangan sebenarnya secara garis besar berupa garis mendatar pada regangan diatas titik luluh. Hal ini merupakan perbedaan yang jelas apabila perbandingan dengan kurva tegangan – regangan sebenarnya yang naik keatas pada deformasi dibawah temperatur rekristalisasi. Dengan demikian proses pengerjaan panas secara drastis mampu mengubah bentuk material tanpa akan timbulnya retak pembentukan yang berlebihan.

  Disamping itu, temperatur tinggi memacu proses difusi sehingga hal ini dapat menghilangkan ketidak homogenan kimiawi, pori-pori karena efek pengelasan dapat tertutup atau ukurannya berkurang selama derformasi berlangsung serta struktur metalurgi dapat diubah sehingga diperoleh sifat-sifat akhir yang lebih baik. Dilihat dari segi negatif, temperatur tinggi dapat mengakibatkan reaksi yang tidak dikehendaki antara benda kerja dengan lingkungannya.

  Toleransi menjadi rendah sebagai akibat adanya penyusutan /pemuaian termal ataupun akibat pendinginan yang tidak seragam. Secara metalurgis dapat terjadi sehingga ukuran butir produk akan bervariasi tergantung pada besar reduksi yang alami, temperatur deformasi yang terakhir, setelah doformasi dan faktor-faktor lainnya.

  Keberhasilan dan kegagalan proses pengerjaan panas sering sangat tergantung pada keberhasilan mengatur kondisi termal, karena hampir 90% energi yang diberikan kepada benda kerja akan diubah menjadi panas maka temperatur benda kerja akan naik jika deformasi berlangsung sangat cepat. Meskipun demikian, pada umumnya pemanasan benda kerja dipanaskan pada temperatur yang lebih rendah.

  Panas banda kerja hilang melalui permukaan-permukaannya dan panas paling besar melalui permukaan yang bersentuhan dengan dies yang bertemperatur lebih rendah begitu permukaan benda kerja menjadi dingin ketidak seragaman temperatur akan terjadi. Adanya aliran benda kerja yang panas dan lunak pada bagian dalam akan mengakibatkan retakan pada permukaan benda kerja yang dingin dan getas. Oleh karena itu temperatur benda kerja perlu dijaga agar seseragam mungkin.

  Untuk mendapatkan toleransi produk yang lebih baik maka temperatur dies dinaikan dan waktu kontak yang lebih lama (kecepatan deformasi yang lebih rendah). Namun dengan cara seperti ini juga akan semakin memperpendek umur dies. Pada saat memproses forming produk yang bentuknya rumit, seperti pada hot forging, bagian tipis akan mendingin lebih cepat dari pada bagian yang tebal sehingga hal ini akan semakin memperumit perilaku aliran benda kerja. Lebih jauh lagi ketidak seragaman pendinginan benda karja akan menimbulkan tegangan sisa pada produk akhir hasil proses hot working.

2.4.2 Hammering

  Hammering adalah salah satu cara untuk mendeformasi material dengan cara memukul berulang kali. Hammering bisa dilakukan dengan proses pengerjaan panas. Hammer menggunakan tenaga mesin adalah alat pemukul dengan enegi terbatas dimana sebuah objek dengan massa tertentu yang dipengaruhi oleh gravitasi juga fluida hidrolik bertekanan. Palu pemukul bisa menghantam antara 60 – 150 kali per menitnya tergantung dari ukuran dan kapasitasnya.

  Energi Hammer

  Energy dari mesin hammer dapat dilihat dari rumus berikut ini : …....…….(2.1)

  Dimana ;

  m= berat Ram( kg) V = kecepatan (m/s) H= ketinggian Jatuh palu (m)

  2 A= luas penampang ram ( m )

  P= tekanan Hammer (pascal) w = energy (J)

2.5 Pengujian Kekerasan

  Kekerasan logam didefinisikan sebagai ketahanan terhadap penetrasi, dan memberikan indikasi cepat mengenai perilaku deformasi (Smallman, 2000). Alat uji kekerasan menekankan bola kecil, piramida atau kerucut ke permukaan logam dengan beban tertentu, dan bilangan kekerasan ( Brinell atau piramida Vickers) diperoleh dari diameter jejak. Kekerasan dapat dihubungkan dengan kekuatan luluh atau kekuatan tarik logam, Karena sewaktu indentasi, material di sekitar jejak mengalami deformasi plastis mencapai beberapa persen regangan tertentu. Bilangan kekerasan Vickers (VPN) didefinisikan sebagai beban dibagi luas permukaan jejak piramida dan

  2

  dinyatakan dalam satuan kgf/mm dan besarnya sekitar tiga kali tegangan luluh untuk material yang tidak mengalami pengerasan kerja yang berarti.

  Bilangan kekerasan Brinell (BHN) diberikan oleh persamaan (2.4). Dimana

  2

  bilangan Brinell didefinisikan sebagai tegangan P/A, dalam satuan kgf/mm , diamana P adalah beban dan A adalah luas permukaan kutub bola yang membentuk indentasi. Jadi

  ……………..(2.4) dimana d adalah diameter jejak dan D adalah diameter indentor. Agar diperoleh hasil yang kosisten maka rasio d/D harus kecil dan diusahakan agar tetap konstan. Dengan begini nilai BHN untuk material lunak adalah sama.

  Pengujian kekerasan penting, baik untuk pengendalian kerja maupun penelitian, khususnya bilamana diperlukan informasi mengenai getas pada suhu tinggi.

2.6 Pengujian Tarik

  Banyak hal yang dapat kita pelajari dari hasil uji tarik. Bila kita terus menarik suatu bahan sampai putus, kita akan mendapatkan profil tarikan yang lengkap berupa kurva seperti digambarkan pada gambar 2.3. Kurva ini menunjukkan hubungan antara tegangan dengan regangan.

  ε Perubahan panjang dalam kurva disebut sebagai regangan teknik( eng .), yang didefinisikan sebagai perubahan panjang yang terjadi akibat perubahan statik ( ∆L) terhadap panjang batang mula-mula (L ). Tegangan yang

  ), dimana dihasilkan pada proses ini disebut dengan tegangan teknik (σ eng didefinisikan sebagai nilai pembebanan yang terjadi (F) pada suatu luas penampang awal (A ).

Gambar 2.2. Kurva tegangan regangan baja

  Tegangan normal tesebut akibat gaya tarik dapat ditentukan berdasarkan persamaan (2.1).

  F

  σ = .………………………………. (2.1)

  Ao

  Dimana: σ = Tegangan tarik (MPa)

  F = Gaya tarik (N)

  2 A = Luas penampang spesimen mula-mula (mm ) o

  Regangan akibat beban tekan statik dapat ditentukan berdasarkan persamaan (2.2).

  ∆ L = …………………………………(2.2)

  ε

  LL =

  Dimana: L-L Keterangan:

  ε = Regangan akibat gaya tarik

  L = Perubahan panjang spesimen akibat beban tekan (mm) Lo = Panjang spesimen mula-mula (mm)

  Pada prakteknya nilai hasil pengukuran tegangan pada suatu pengujian tarik pada umumnya merupakan nilai teknik. Regangan akibat gaya tarik yang terjadi, panjang akan menjadi bertambah dan diameter pada spesimen akan menjadi kecil, maka ini akan terjadi deformasi plastis (Nash, 1998).

  Hubungan antara stress dan strain dirumuskan pada persamaan (2.3) E = σ / ε ……………………………….. (2.3)

  E adalah gradien kurva dalam daerah linier, di mana perbandingan

  tegangan (σ) dan regangan (ε) selalu tetap. E diberi nama “Modulus

  

Elastisitas” atau “Young Modulus”. Kurva yang menyatakan hubungan

antara strain dan stress seperti ini kerap disingkat kurvaSS (SS curve).

  Umumnya, limit elastis bukan merupakan definisi tegangan yang jelas, tetapi pada besi tidak murni dan baja karbon rendah, titik awal terjadinya deformasi plastis ditandai dengan penurunan beban secara tiba-tiba yang menunujukan adanya titik luluh atas dan titik luluh bawah. Perilaku luluh ini merupakan karakteristik bebagai jenis logam, khususnya yang memiliki struktur bcc dan mengandung sejumlah kecil elemen terlarut. Untuk material yang tidak memiliki titik luluh yang jelas, berlaku definisi konvensional mengenai titik awal deformasi plastis, yaitu tegangan uji 0,1 atau 0,2 %. Di sini ditarik garis sejajar dengan bagian elastis kurva tegangan-regangan dari titik dengan regangan 0,2 %.

2.7 Analisa Struktur Butir

  Tiap volume yang mempunyai orientasi tertentu disebut butir dan daerah tidak teratur antarbutir disebut batas butir. Lebar batas butir sekitar dua atau tiga deretan atom. Sebetulnya, butir dan batas butir berdimensi tiga. Dan gambar hanya menampilkan penampang tertentu. Gelembung polyhedral yang terbentuk bila larutan sabun kita kocok merupakan model tiga dimensi dari kristal dengan batas butirnya.

  Butir kristal tidak sepenuhnya berbentuk polyhedral, tetapi dapat mempunyai bentuk yang berbeda, bergantung pada riwayat termal dan mekanik bahan utuh. Sifat mekanik turut ditentukan oleh ukuran butir. Makin halus butir, makin keras bahan dan kekuatan luluh; keuletan dan ketangguhan bahan juga lebih tinggi. Hubungan antara besar butir dan kekuatan diberikan oleh persamaan Petch yang dirumuskan pada persamaan (2.5).

  � −1 2

  • = ……………………….(2.5)

1 Dimana:

  = Tegangan luluh σ y

  1 = Tegangan friksi (friction stress)

  σ k= Koefisien penguat (strengthening coefficient) d= ukuran (diameter) butir

2.8 Pertumbuhan Struktur Butir Struktur kristal logam akan rusak pada titik cairnya (Alexander, 1991).

  Batas butir akan lenyap dan kekuatan mekanik tidak akan berarti lagi. Struktur kristal akan terbentuk kembali jika logam didinginkan. Sewaktu membeku, energi dilepaskan dalam bentuk panas laten pembekuan, dan laju pembekuan bergantung pada jumlah panas yang dapat dilepaskan.

  Bila pendinginan berlangsung secara perlahan-lahan, terbentuklah kelompok atom pada permukaan cairan yang kemudian menjadi inti butiran padat. Selama solidifikasi dengan laju pendinginan lambat, inti pertama bertambah besar akibat kepindahan atom dari cairan kebahan padat.

  Akhirnya, semua cairan bertransformasi dan butir bertambah besar. Batas butir merupakan titik pertemuan pertumbuhan berbagai inti. Bila pendinginan cepat, jumlah kelompok bertambah dan tiap-tiap kelompok tumbuh dengan cepat hingga akhirnya saling bertemu. Sebagai hasil akhir, diperoleh logam dengan jumlah butir yang banyak atau disebut logam padat berbutir halus.

  Bila logam direntangkan melampaui batas elastik dan mengalami deformasi tetap sebagian energi deformasi tertumpuk dalam butir sebagai distorsi kisi dan rangkaian dislokasi. Struktur coran logam yang langsung membeku dari cairan tidak mengadung energi deformasi mekanik. Oleh karena itu, struktur akan stabil dan hampir-hampir tidak mempunyai kecederungan untuk berubah. Pemanasan hingga suhu tinggi hanya akan mengubah bentuk butir secara terbatas, terkecuali pada besi dan baja. Pada logam ini, transformasi struktur padat terjadi jauh dibawah titik cair, dan mempunyai efek memperhalus butir struktur coran. Akan tetapi, umumnya bahan teknik tidak mengalami transformasi seperti itu dan struktur coran akan tetap ada sampai dipecahkan secara mekanik.

2.9 Perhitungan Diameter Butir

  Ada beberapa metode yang dapat dilakukan untuk mengukur besar butir dari struktur mikro suatu material salah satunya adalah metode Planimetri yang dikembangkan oleh Jeffries. Dimana metode ini cukup sederhana untuk menetukan jumlah butir persatuan luas pada bagian-bidang yang dapat dihubungkan pada standar ukuran butir ASTM E 112. Metode planimetri ini melibatkan jumlah butir yang terdapat dalam suatu area tertentu yang dinotasikan dengan N A . Secara skematis proses perhitungan menggunakan metode ini seperti pada gambar 2.3.

Gambar 2.5 Perhitungan butiran menggunakan metode planimetri

  Jumlah butir bagian dalam lingkaran (N inside ) ditambah setengah jumlah butir yang bersingungan (N ) dengan lingkaran dikalikan oleh pengali

  intercepted Jeffries (f) dapat dituliskan pada persamaan (2.6).

  = ) ………..(2.6) (

  • 2

Dimana pengali Jeffries yang dipergunakan tergantung pada perbesaran yang digunakan pada saat melihat struktur mikro dan dapat ditetukan melalui tabel 2.2.

  Untuk selanjutnya setelah diperoleh nilai N

  0.5 75 1.125 100

  50.0 750 112.5 1000 200.0

  18.0 500

  12.5 300

  8.0 250

  4.5 200

  2.0 150

  50

  A

  0.02 25 0.125

  10

  1 0.0002

  2

  Jeffries Perbesaran (M) Pengali Jefrries( f) untuk menetukan butiran/mm

Tabel 2.2. Hubungan antara perbesaran yang digunakan dengan pengali

  maka ukuran butir dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut d = (3,322 log N A ) – 2,95 …………………………(2.7)

  Sumber: ASTM E 112-96, 2000

Dokumen yang terkait

Pengaruh Puasa Ramadhan Terhadap Profil Lipid Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2

1 2 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Edukasi Perawatan Diri Terstrukutur Berbasis Teori Perilaku - Pengaruh Edukasi Perawatan Diri Terhadap Aktivitas Sehari-Hari Pasien Hemodialisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Pirngadi Medan

0 0 19

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Edukasi Perawatan Diri Terhadap Aktivitas Sehari-Hari Pasien Hemodialisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Pirngadi Medan

0 0 7

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Tentang Kredit - Analisis Strategi Peningkatan Debitur Kredit Angsuran Lainnya Pada PT Bank Sumut Cabang Medan Sukaramai

0 1 23

Tinjauan Yuridis Kontrak Penjualan Plywood Antara PT. Mujur Timber Sibolga Dengan Sustainable Timber Direct (Studi Pada PT. Mujur Timber)

1 1 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kawasan Industri Ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Generator Sinkron - Analisis Vibrasi Pada Generator Sinkron (Studi Kasus Pada Pltu Pangkalan Susu 2 x 200 Mw)

0 0 34

Latar Belakang - Dampak Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan Terhadap Kinerja dan Pendapatan Usahatani Anggota Kelompok Tani

0 1 8

BAB II PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL PATUNGAN (JOINT VENTURE COMPANY) BERDASARKAN UU NOMOR 25 TAHUN 2007 A. Bentuk-Bentuk Penanaman Modal - Tanggung Jawah Hukum Perusahaan Patungan (Joint Venture Company) dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 0 31

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tanggung Jawah Hukum Perusahaan Patungan (Joint Venture Company) dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 1 22