Representasi Terorisme dalam Karya Sastr

A. PENDAHULUAN
Karya sastra merupakan representasi kehidupan sosial, baik yang terjadi di
lingkungan sekitar maupun di luar pengarang (Sapardi Djoko Damono (ed.), 1978:1).
Realitas kehidupan yang menarik, ramai dibicarakan orang, dan menyentuh sifat
kemanusiaan, menjadi tema utama pengarang di dalam karya sastranya. Di dunia
sekarang ini, terutama saat terjadinya penghancuran gedung WTC dan Pentagon di
Amerika Serikat, isu terorisme mencuat begitu kuat ke permukaan. Kemudian peristiwa
bom Bali I pada tahun 2002 dan Bom Bali II pada tahun 2005 di Indonesia, menambah
suram dunia, khususnya Indonesia.
Semua aksi teror di atas merujuk kepada kelompok-kelompok radikal Islam yang
telah didoktrin untuk membinasakan pihak-pihak yang mereka anggap sebagai musuh
Islam. Keadaan ini telah membuat Islam tercemar bahkan dianggap sebagai agama
teroris. Dari sinilah, kemudian para pakar dari segala bidang termasuk para sastrawan di
seluruh dunia, ikut turun tangan dalam menghadapi kasus global tersebut. Semua elemen
masyarakat dan pemerintah mengerahkan segala kemampuannya untuk menanggulangi
aksi terorisme ini.
Pemerintah Indonesia telah membentuk satuan khusus penanggulangan terorisme
yang disebut Densus 88. Hard power ini berhasil menangkap dan mengeksekusi para
teroris, dari mulai kelas teri hingga kelas kakap. Namun, banyaknya pelaku aksi
terorisme yang ditangkap tidak menyurutkan aksi-aksi terornya. Pemboman kerap terjadi
bahkan muncul aksi baru yaitu perampokan salah satu bank besar di Indonesia pada tahun

2010. Tindakan yang diambil pemerintah dengan menembak mati para tersangka kasus
terorisme dalam kenyataannya tidak membuat ciut kelompok radikal Islam. Bahkan
memicu mereka untuk melakukan aksi balas dendam sebagaimana yang kita saksikan
akhir-akhir ini.
Oleh karena itu, diperlukan soft power yang bisa menyentuh secara langsung jiwa
dan hati kelompok radikal tersebut. Langkah tersebut juga marak dilakukan atas
dukungan pemerintah oleh para ulama, psikolog, dan termasuk para sastrawan sendiri
yang peduli terhadap isu kemanusiaan. Para sastrawan menuangkan segala isi perasaan,
pemikiran, dan pandangan mereka tentang isu terorisme melalui karya sastra. Mereka
1

ingin agar masyarakat bisa mengerti dan waspada terhadap aksi-aksi terorisme yang
mengatasnamakan agama. Genre puisi, novel, cerpen, dan genre-genre sastra lainnya
serempak mengangkat isu terorisme sebagai bentuk perlawanan dan pemberi pemahaman
kepada masyarakat tentang bahaya terorisme.
Di Indonesia, geliat novelis dalam merespon isu terorisme terbilang cukup aktif.
Penulis menemukan enam buah novel yang mengangkat isu terorisme. Semuanya sepakat
bahwa aksi terorisme adalah sebuah kejahatan yang mesti dihentikan. Novel-novel
tersebut adalah Demi Allah Aku Jadi Teroris karya Damien Dematra (2009), Pengantin
Bom karya Sidik Jatmika (2009), Naksir Anak Teroris karya Ditta Arieska (2009),

Pengantin Teroris karya Abu Ezza (2010), Pedang Rasul karya Jusuf A.N. (2013), dan
Aku Istri Teroris karya Ebidah El Khaliqy (2014).
Jika kita perhatikan tahun terbit novel-novel di atas, Damien Dematra, Sidik
Jatmika, dan Ditta Arieska berada di garis depan munculnya novel terorisme. Disusul
kemudian oleh Abu Ezza, Jusuf A.N. dan Ebidah El Khaliqy. Dari tahun 2009 hingga
sekarang ini, sudah terlihat semangat dan bukti nyata novelis Indonesia dalam misi
pemberantasan aksi terorisme melalui karya sastra. Pada rentang waktu yang cukup
panjang tersebut, para novelis memiliki semangat zaman yang sama dan khas sehingga di
dalam novel-novelnya terdapat banyak persamaan dengan berbagai modifikasinya. Apa
dan bagaimana bentuk persamaan tersebut dan di mana letak perbedaannya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis menggunakan pendekatan
Geistesgeschichte. Pendekatan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa setiap periode
memiliki semangat zaman (time spirit) yang khas (Wellek dan Warren, 1989: 147). Latar
sosial yang sama memungkinkan menghasilkan karya yang mirip. Penulis menemukan
kemiripan dari segi struktur, penokohan, maupun tema dalam tiga novel di atas, yaitu
Demi Allah Aku Jadi Teroris, Pengantin Teroris, dan Pengantin Bom.
B. RUANG LINGKUP TERORISME DI INDONESIA
Kata terorisme secara etimologis berasal dari bahasa Latin, terror. Kata tersebut
merupakan bentuk kata benda terrere yang artinya membuat takut dan mencekam. Kata
tersebut kemudian diipakai dalam bahasa Inggris dan terbentuklah istilah terrorism dan

2

terrorist. Terorisme difahami sebagai ancaman atau tindakan kekerasan dalam mencapai
tujuan-tujuan politik, agama, dan lainnya dengan cara intimidasi, menimbulkan
ketakutan, dan sebagainya yang diarahkan kepada penduduk atau warga negara tertentu.
(Chomsky dalam Aprinus dkk, .t.t: 1). Aksi terorisme dilakukan secara sistematis dan rapi
sebagaimana dikatakan oleh Paul Wilkinson saat membedakan antara kata teror dan
terorisme. (Marius H. Livingston, 1978:402)
Di Indonesia, aksi-aksi terorisme terutama aksi peledakan bom marak dilakukan
sejak tahun 2000. Peristiwa tersebut diawali dengan peledakan gereja dan terus berlanjut
sampai tahun 2005. Di antara tragedi peledakan bom (termasuk bom bunuh diri) yang
paling siginifikan dari segi jumlah korban dan dampak di dunia internasional adalah Bom
Bali I (2002), Bom Marriot I (2003), Bom Kedutaan Besar Australia (2004), dan Bom
Bali II (2005). Namun, berbeda dari aksi-aksi bom bunuh diri di negara-negara lain
seperti Palestina, Irak, Afganistan, dan Pakistan yang terjadi tiada henti, bahkan terus
meningkat secara kualitatif dan kuantitatif. Aksi peledakan bom di Indonesia berangsurangsur dapat dikendalikan polisi dan akhirnya antara 2005-2009 Indonesia bisa dikatakan
relatif bebas bom. (Sarwono, 2012: 76)
C. NOVEL-NOVEL BERTEMA TERORISME DI INDONESIA
1. Varian Gaya Penceritaan Pengarang
Dalam merespon isu terorisme, para pengarang memiliki selera yang berbeda di

dalam proses penceritaannya. Di antara mereka ada yang menceritakan aksi terorisme apa
adanya sebagaimana dituturkan oleh salah seorang tokoh aksi terorisme yang tobat. Gaya
penceritaan seperti ini dilakukan oleh Abu Ezza dalam novelnya Pengantin Teroris. Ia
menuangkan semua cerita fakta yang dituturkan oleh Nasir Abbas, salah seorang otak
aksi terorisme di Indonesia yang membelot dari kelompoknya, Jamaah Islamiyah. Abu
Ezza hanya mengganti nama-nama tokohnya dengan nama fiktif, seperti tokoh Sukree
sebagai representasi Nasir Abbas.
Respon yang berbeda datang dari Sidik Jatmika dalam novelnya Pengantin Bom.
Meskipun peristiwa yang diangkat sama dengan tragedi di dalam novel Pengantin Teroris
karya Abu Ezza, namun Sidik melihat sisi lain dari aktor aksi bom bunuh diri. Ia
memandang bahwa para teroris tidak serta merta melakukan aksi sadis tersebut kecuali
3

ada “sesuatu” yang mendorongnya di luar faktor doktrin agama. “sesuatu” tersebut dapat
berupa faktor sosial, ekonomi, dan pendidikan. Ia ingin menunjukkan bahwa aksi mereka
timbul dari kesalahan pemerintah juga. Ketimpangan ekonomi dan sosial akibat sistem
kapitalis yang dianut oleh pemerintah telah memperburuk kondisi warga kelas bawah.
Oleh karena itu, Margiono sebagai tokoh utama dalam novel ini berniat melakukan aksi
bom bunuh diri di Hotel JW Marriot yang ia anggap sebagai simbol keangkuhan kaum
kapitalis.

Selanjutnya, Damien Dematra dalam novelnya Demi Allah, Aku Jadi Teroris.
Damien melihat virus terorisme telah menjangkiti lingkungan kampus. Di balik geliat
aktivis kampus dalam mengikuti kegiatan keislaman terdapat bahaya yang mengancam
mereka. Doktrin radikalisme Islam sering kali dimasukkan ke dalam otak para mahasiswa
dan mahasiswi yang memiliki semangat keislaman yang tinggi. Hingga akhirnya mereka
rela melakukan apa saja yang diperintahkan oleh penanam doktrin tersebut, termasuk
melakukan bom bunuh diri. Damien memandang bahwa tidak hanya pihak mahasiswa
yang mudah terjangkiti dengan penyakit terorisme, namun juga mahasiswi yang memiliki
stereotif lembut.
2.
a.

Sinopsis Novel
Novel Demi Allah Aku Jadi Teroris
Novel Demi Allah Aku Jadi Teroris mengangkat isu bom bunuh diri yang paling

sering dilancarkan oleh kelompok Islam radikal. Damien menjadikan tokoh wanita
sebagai pelaku bom bunuh diri tersebut, persis seperti apa yang dilakukan oleh Yasmina
Khadra, seorang sastrawan Aljazair di dalam novelnya The Attack (2008). Ia mengawali
ceritanya dengan perjalanan seorang mahasiswi kedokteran yang bernama Kemala.

Kemala termasuk aktivis kampus yang berparas cantik dan gemar mengikuti kegiatan
keislaman. Hingga akhirnya ia terperangkap ke dalam sebuah kelompok radikal Islam
yang menganggap kafir semua orang di luar kelompok mereka.
Ia kemudian mendapatkan sebuah mandat untuk menjalankan tugas suci demi
mendapatkan surga. Ia berencana meledakkan sebuah kafe yang bernama Bistro America.
Sebelum tiba masa misi bom bunuh diri tersebut, ia berkenalan dan sering bertemu
dengan Prakasa. Ia adalah seorang anggota Intel yang sedang menyelidiki Kemala terkait
4

keterlibatannya dalam aksi terorisme. Dari pertemuan itu, tanpa diduga benih-benih cinta
mulai tumbuh di antara mereka berdua,
Damien mengakhiri ceritanya dengan pertemuan antara dua insan yang saling jatuh
cinta dalam diam itu di sebuah kafe tepat saat pelaksanaan misi bom bunuh diri. Prakasa
berhasil menghentikan Kemala yang saat itu memegang remote control dengan
menembak lengannya. Kemala kemudian masuk penjara dan taubat setelah menjalani
terapi deradikalisasi di tahanan.
b. Novel Pengantin Bom
Wacana bom bunuh diri juga secara jelas digambarkan di dalam novel Pengantin
Bom karya Sidik Jatmika. Ia adalah seorang dosen di Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional, UMY. Keahliannya dalam ilmu politik melahirkan banyak buku tentang

isu-isu politik, baik di Indonesia maupun luar negeri. Meskipun bukan seorang novelis
tulen, Sidik berusaha menuangkan perjalanan hidup seorang teroris dari awal hingga
akhir hidupnya dalam jurang kebiadaban.
Peristiwa yang diangkat adalah aksi bom bunuh diri di Hotel JW Marriot. Sidik
memberi arahan kepada pembaca tentang bagaimana implikasi himpitan ekonomi dengan
keterlibatan seseorang dalam aksi terorisme. Tokoh Gesang alias Margiono alias Kampret
alias Manyul alias Abu Jihad (31 tahun). Ia adalah seorang buruh korban PHK di
perusahaan tekstil Dae Jong Textilindo, Pulo Gadung. Lalu ia dipenjara atas tuduhan
peledakan pabrik tekstil tersebut pada saat demo buruh di kawasan industri Pulo Gadung.
Di sinilah awal mula dirinya masuk ke lingkungan kaum militan yang radikal.
Perkenalannya dengan sesama napi yang bernama Abu Arifin membawanya menuju aksi
bom bunuh diri. Setelah keluar dari penjara, ia selalu bersama Abu Arifin dan masuk
Brigade Jihad. Di sana ia berlatih berperang, merakit bom, dan sebagainya. Hingga
akhirnya, ia bersama teman-temannya berencana melakukan aksi bom bunuh diri di
Hotel JW Marriot. Sidik Jatmika menutup cerita novelnya dengan kematian semua pelaku
bom bunuh diri.
c.

Novel Pengantin Teroris


5

Begitu pula dengan novel Pengantin Teroris karya Abu Ezza. Kesamaan judul
menjadi indikator persamaan isi cerita. Namun, ada sedikit perbedaan di antara keduanya.
Peristiwa yang diangkat sama-sama berupa aksi bom bunuh diri di Hotel JW Marriot.
Namun, tokoh utama di dalam novel Pengantin Teroris tidak dimatikan seperti apa yang
dilakukan oleh Sidik Jatmika di dalam novelnya, Pengantin Bom. Abu Ezza memberi
nama tokoh utamanya Sukree. Ia seorang yang kuat dalam beragama. Karena terlalu
sering melihat aksi-aksi kekerasan di Palestina dan Afganistan, emosinya terbawa untuk
ikut memerangi musuh Islam. Akhirnya ia menjadi anggota Jamaah Islamiah dan ikut
berperang di Afganistan.
Sepulangnya dari peperangan, ia kembali ke Indonesia. Di Indonesia ia bertugas
merekrut para “pengantin”. Dalam salah satu aksinya, ia mengutus dua orang untuk
melancarkan aksi bom bunuh dirinya di Hotel JW Marriot. Tidak berselang lama, ia
kemudian tertangkap oleh pihak berwajib dan dimasukkan ke dalam penjara. Setelah
beberapa hari di penjara, barulah ia menyesali apa yang telah ia perbuat. Perlakuan sipir
penjara yang sudah tua renta memiliki peran yang sangat besar dalam pertobatannya.
Sipir tersebut seorang Nasrani yang sangat lembut dan menghormati Sukree saat ingin
melakukan ibadah. Di akhir cerita, Sukree ikut serta membantu kepolisian dalam misi
penangkapan para teroris dengan menceritakan semua aksinya.

3.

Perbandingan Struktur Naratif Novel
Untuk membandingkan ketiga novel ini, penulis perlu menganalisis unsur-unsur

naratif ketiga novel tersebut, yang meliputi: sudut pandang dan fokus pengisahan, latar,
tokoh dan penokohan dan tema serta aspek keterpengaruhan.
a.

Sudut Pandang dan Fokus Pengisahan
Novel Demi Allah Aku Jadi Teroris dan Pengantin Teroris menggunakan sudut

pandang orang ketiga dengan pencerita dia-an serba tahu. Berbeda dari novel Pengantin
Bom yang menggunakan sudut pandang orang pertama, “aku.” Berikut ini kutipan dari
novel Demi Allah Aku Jadi Teroris:

6

b. Latar
Latar dalam novel merupakan unsur penting untuk memahami konteks ruang, waktu,

dan konteks sosial dalam novel. Dalam hal ini, latar berfungsi untuk memahami konteks
yang membingkai ketiga novel yang bertema terorisme pasca Bom Bali dan Hotel JW
Marriot.
Latar di dalam ketiga novel ini terbagi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar
sosial. Latar tempat adalah gambaran fisik ruang yang terdapat di dalam cerita. Secara
umum, latar tempat ketiga novel ini adalah Jakarta. Novel Demi Allah Aku Jadi Teroris
memiliki latar tempat Bandung dan Jakarta. Tidak banyak deskripsi tempat di dalam
novel ini. Begitu juga dengan novel Pengantin Bom yang memiliki dua latar tempat novel
ini, yaitu Wonogiri, tempat Gesang lahir dan tumbuh, dan Jakarta, tempat ia bekerja dan
melakukan aksi bom bunuh dirinya Berbeda halnya dengan novel Pengantin Teroris yang
memiliki latar tempat beragam, yaitu Johor di Malaysia, Pakistan, Afganistan, dan
Karawang dan Jakarta di Indonesia. Banyaknya latar tempat disebabkan pergerakan tokoh
utama, Sukree, yang agresif. Ia berasal dari Malaysia, kemudian pergi berjihad di
Afganistan yang sebelumnya melakukan persiapan di Pakistan selama beberapa saat.
Sepulangnya dari Afganistan, Sukree mendapatkan tugas jihad di Indonesia.
Latar waktu di dalam ketiga novel ini secara umum berakhir
c.

Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan individu yang terlibat dalam sebuh cerita. Tokoh memiliki


karakteristik tertentu yang melekat padanya, baik disebutkan secara langsung oleh
pengarang maupun digambarkan melalui perjalanan tokoh dalam cerita. Cara
menampilkan tokoh beserta karakteristiknya di dalam sebuah cerita disebut penokohan
(Sudjiman, 1988: 16-28)
Tokoh utama di dalam novel Demi Allah Aku Jadi Teroris adalah Kemala, pada
Pengantin Teroris adalah Sukree, dan pada Pengantin Bom adalah Gesang. Ketiga tokoh
tersebut dianggap sebagai tokoh utama karena menjadi perhatian utama pengarang dalam
isi cerita. Intensitas kehadiran mereka di dalam cerita cukup tinggi dibanding tokoh-tokoh
lainnya.
7

Baik Kemala, Sukree, maupun Margiono pada ketiga karya ini memiliki peran,
watak, dan sifat yang sama. Kemala digambarkan sebagai orang yang semangat dalam
mempelajari agama hingga akhirnya ia bisa bertemu dengan Ustaz Amir yang
menghilangkan rasa hausnya terhadap ilmu agama (halaman 73). Begitu pula dengan
Sukree yang mendapatkan bimbingan langsung dari Ustaz Halim (halaman 34).
Sedangkan Margiono mendapatkan bimbingan keagamaannya di dalam penjara dari
teman satu selnya yang bernama Abu Arifin (halaman 109).
Awal mula ketiganya masuk ke dalam kelompok Islam radikal adalah saat mereka
mendapatkan bimbingan keagamaan itu. Isu utama yang membuat ketiga tokoh utama ini
tercuci otaknya adalah isu ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di negara Republik
Indonesia. Ketimpangan tersebut dapat berupa ketimpangan dalam bidang ekonomi,
sosial, pendidikan, agama, dan bidang-bidang lainnya. Penyebab utama dari
ketimpangan-ketimpangan tersebut adalah sistem kenegaraan yang tidak sesuai dengan
hukum Allah. Sistem demokrasi menurut mereka adalah sistem buatan manusia, bukan
sistem yang berasal dari Allah. Sistem yang berasal dari Allah hanya berupa Syariat
Islam. Allah telah memerintahkan hamba-Nya untuk tunduk dan taat hanya kepada
Syariat Islam. Oleh karena itu, ketaatan kepada hukum selain hukum Allah disebut kafir
atau musyrik. Solusi yang ditawarkan oleh para pembimbing keagamaan mereka bertiga
adalah hiijrah dari sistem demokrasi menuju sistem Syariat Islam.
Pada Demi Allah Aku Jadi Teroris, doktrinasi tersebut telihat pada obrolan antara
jamaah yang terdiri dari Kemala, Aminah, Basimah, Rafa, Purbani, dan Nimas dengan
Ustaz Amir.
“...dalam negara ini telah terjadi banyak kemasiatan. Kalian dapat melihatnya di
koran-koran dan majalah. Bayi-bayi dibuang, terjadi banyak pembunuhan,
penculikan, penganiayaan, mutilasi. Nah, mengapa semua ini terjadi?! Karena kita
semua tidak hidup dalam sebuah negara yang melandaskan diri pada hukum Allah.
Apa itu Hukum Allah?”
Purbani berbisik pelan, “Al-Qur’an”
“Tepat Sekali...” (halaman 77)
Kemudian Ustaz Amir dengan fasih, tenang, sabar, dan penuh keyakinan berbicara
mengenai kehidupan yang ideal di bawah Syariah Islam sampai akhirnya,
menjelang akhir pengajian, ia bertanya,”Apakah menurut kalian hal ini mustahil?”
...
8

“Tidak, hal ini bukan sebuah kemustahilan. Tapi bagaimana caranya?...” (halaman
78)
“...yang perlu kalian lakukan adalah melakukan hijrah ke dalam sebuah negara
yang menerapkan hukum Islam secara penuh” (halaman 88)
Begitu pula dalam Pengantin Teroris, proses doktrinasi terhadap Sukree terlihat saat
ia dan temannya, Rahman, berdiskusi dengan Ustaz Halim
“Akhi Sukree dan Akhi Rahman. Sesungguhnya kehidupan kalian sangatlah jauh
dari tuntunan syariat yang sebenarnya. Karena kalian hidup dan berkumpul dengan
orang-orang yang salah dalam memilih jalan kehidupan. Kalau Ana boleh
mengajak. Mari berhijrah bersama Ana dan rekan-rekan kita yang lain untuk
menjadi muslim yang sejati yang bisa mengamalkan kehidupan Islam secara
sempurna. Apabila itu bisa kalian lakukan niscaya kemuliaan akan bisa kalian
dapatkan dalam kehidupan dunia dan akhirat kalian”(halaman 36)
“...kalian harus meninggalkan keluarga kalian dan membuka lembaran kehidupan
yang baru. Sebuah kehidupan yang serat dengan nilai Islami dan membangun
sebuah sistem Islami di masyarakat kita. Dan semua itu hanya akan terwujud
apabila sudah ada negara Islam atau khilafah Islam di muka bumi ini. Karena
dengan cara seperti itulah kalian bisa melaksanakan ajaran Islam secara
sempurna” (halaman 37)
Pada Pengantin Bom, doktrinasi dilakukan dengan diskusi yang lebih panjang dan
mendalam. Pengarang menggambarkan seorang perekrut anggota kelompok Islam radikal
sebagai seorang yang berwawasan luas dalam bidang politik dan ekonomi. Berikut
penggalan diskusi antara Gesang dan Abu Arifin di dalam sel penjara:
Abu Arifin: “Mas Gesang, memang kapitalisme dengan segala kerakusannya itu
adalah biang keladi kekacauan di dunia selama ini. Terutama kekacauan dan
ketidakadilan sistem politik di arena politik lokal, nasional, internasional sehingga
perlu gerakan sosial baru yang membawa misi suci untuk membebaskannya.”
Gesang: “Yang dimaksud misi suci itu apa?”
Abu Arifin: “Yaitu berupa persatuan kelompok-kelompok progresif anti kapitalisme
dan neo-kolonialisme-imperialisme seluruh dunia.”
Gesang: “Seberapa parahkah situasinya?”
Abu Arifin: “Pasca berakhirnya Perang Dingin, situasinya kian parah. Kaum
kapitalis kian angkuh karena berbagai kekuatan yang semasa Perang Dingin anti
nekolim dari Eropa Timur, RRC, Vietnam, dan sebagainya sekarang melakukan
9

perselingkuhan ataupun murtad dengan bergabung dengan kaum kapitalis
itu.”(halaman 108)
Obrolan-obrolan panjang antara mereka terus meluas ke berbagai wacana, terutama
wacana terorisme, ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi. Hinggga akhirnya, Gesang
mendapatkan kenyamanan bersama Abu Arifin karena ia merasa memiliki teman yang
baru yang senasib dan sepenanggungan dengannya sebagai makhluk yang terpinggirkan
dan terkalahkan oleh sebuah sistem besar bernama rezim kapitalisme global yang begitu
rakus dan tak berprikemanusiaan. (halaman 116).
Itulah proses doktrinasi yang dilakukan oleh para teroris kepada para korban untuk
dijadikan pengikutnya. Dengan menyentuh sisi sensitif dari mereka, terutama korban
yang mengalami himpitan ekonomi dan trauma di masa kecil, ia dapat dengan mudah
menerima apa saja yang dikatakan oleh orang lain yang berideologi radikal, seperti apa
yang terjadi pada tokoh Gesang dalam novel Pengantin Bom. Setelah ia mendapatkan
informasi dari Abu Arifin tentang ketimpangan ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh
kerakusan Kapitalisme, dengan mudah ia menyerahkan dirinya untuk dijadikan
“pengantin bom” yang akan menghancurkan gedung simbol keangkuhan kaum kapitalis,
Hotel JW Marriot. (halaman 144)
Berbeda halnya dengan tokoh Kemala dalam novel Demi Allah Aku Jadi Teroris, ia
ditawari oleh Ustaz Amir jalan menuju surga yang penuh dengan kenyamanan dan
keindahan. Kemala yang sejak kecil mengalami rasa sepi karena ditinggal mati oleh
ibunya dan tidak pernah mendapatkan kehangatan kasih sayang sang ayah, mengalami
tekanan psikologis yang terbawa hingga ia berusia dewasa. Keindahan surga begitu
menggodanya sehingga ia ingin segera memasukinya (halaman 79). Ditambah lagi
tayangan-tayangan yang sering ia saksikan yaitu film-film penganiayaan dan penindasan
umat Islam di Irak, Palestina, dan Afganistan (halaman 148) semakin membuatnya begitu
mudah menyerahkan dirinya sebagai “pengantin” yang akan menghancurkan tempat
berkumpulnya orang kafir, salah satunya adalah Kafe Bistro Americana (halaman 151).
Begitu pula apa yang terjadi pada diri Sukree dalam novel Pengantin Teroris. Setelah
ia mendengar penjelasan dari Ustaz Halim, dengan segera ia sambut seruan untuk
berjihad. Kemudian ia terlibat dalam peperangan di Afganistan untuk misi jihadnya.
10

Sepulangnya dari Afganistan, ia diperintahkan ketua Jamaah Islamiah untuk bertugas di
Indonesia. Di sana ia mendengar fatwa Usamah bin Laden yang menyerukan umat Islam
untuk membunuh umat Yahudi, Kristen, dan non muslim lainnya. Kemudian Sukree
merekrut dua orang untuk dijadikan “pengantin” yang akan merobohkan gedung Hotel
JW Marriot sebagai representasi Amerika. (halaman 146)
b. Sudut Pandang
Novel Demi Allah Aku Jadi Teroris dan Pengantin Teroris menggunakan sudut
pandang orang ke tiga dengan penceritaan dia-an serba tahu.
c.
d.
e.

Tema
Amanat
Gaya Bahasa

D. KRITIK ATAS SISTEM DEMOKRASI DAN KAPITALISME
Sebagaimana telah diketahui bersama, pemboman atas menara kembar World Trade
Center di New York dan Pentagon pada tanggal 11 September 2001, dilakukan oleh
sebuah jaringan terorisme transnasional Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden. (Brigitte
L. Nacos, 2003: 24). Secara eksplisit, penyerangan tersebut merupakan

bentuk

penolakan atas modernitas dan sekulerisasi. Di dalam tradisi filsafat, modernitas dan
sekulerisasi adalah bentuk “Konsep Pencerahan”. Pencerahan tidak hanya berarti periode
tertentu yang secara historis bertepatan dengan abad ke-18, melainkan juga afirmasi atas
demokrasi dan pemisahan kekuasaan politik dari kepercayaan keagamaan yang dijadikan
fokus oleh Revolusi Perancis dan juga Revolusi Amerika Serikat (Hendropriyono, 2009:
7)
Misi itulah yang dijalankan oleh kelompok Islam radikal, yaitu untuk meruntuhkan
sistem demokrasi yang sudah terbangun itu. Menurut mereka, sistem yang laik digunakan
untuk mengatur negara dan segala aspek kehidupan hanya sistem Islam. Langkah
formalisasi Islam dalam tata negara harus terbangun mengingat perintah Allah di dalam
al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 208 yang menurut penafsiran mereka merupakan

11

perintah untuk menjadikan Islam sebagai sistem yang formal dalam segala lini
kehidupan.
Sistem Syariat Islam sesuai dengan penafsiran mereka dianggap dapat menjadi solusi
atas buih permasalahan yang sedang dunia hadapi sekarang ini. Seperti terlihat dalam
perkataan para Ustaz yang sedang menanamkan benih terorisme di dalam hati korbannya.
Damien Dematra dalam novelnya Demi Allah Aku Jadi Teroris menyebutkan proses
doktrinasi ini, yaitu proses doktrinasi Ustaz Amir atas Kemala (halaman 77-88). Begitu
pula dengan novel Pengantin Teroris yang di dalamnya terdapat doktrinasi Ustaz Halim
atas Sukree (halaman 36-37). Dan terakhir novel Pengantin Bom yang menceritakan
doktrinasi Ustaz Abu Arifin atas Gesang (halaman 108).
E. KESIMPULAN
Indonesia termasuk salah satu negara yang menjadi lahan subur untuk pertumbuhan
bibit-bibit terorisme. Fenomena tersebut membangkitan semua pihak dari berbagai
bidang untuk meredam dan mematikan pertumbuhan tersebut. Sastra adalah salah satu
sarana untuk menanggulangi aksi-aksi terorisme tersebut sebagai soft power. Di
Indonesia, tidak sedikit para sastrawan yang menuangkan isi pikirannya tentang terorisme
ini di dalam karya-karya sastranya. Semangat tersebut muncul di Indonesia pasca
terjadinya aksi-aksi bom bunuh diri, seperti Bom Bali I, Bali II, Hotel JW Marriot, dan
lain-lain.
Dalam rentang waktu 5 tahun, sejak 2009 hingga 2014, penulis menemukan enam
novel yang ditulis oleh enam orang, yaitu Damien Dematra, Ditta Arieska, Jusuf AN, Abu
Ezza, Abidah El Khaliqy, dan Sidik Jatmika. Tiga novel diantaranya penulis kaji karena
mengandung banyak hal yang menjurus kepada pemberian informasi kepada masyarakat
akan bahayanya aksi terorisme dengan gaya penceritaan yang hampir sama. Damien
Dematra, Sidik Jatmika, dan Abu Ezza mengangkat salah satu aksi terorisme yang marak
terjadi di Indonesia, yaitu aksi bom bunuh diri. Aksi tersebut dilatari oleh kasalahfahaman
mereka atas ayat-ayat suci al-Qur’an tentang jihad dan Syari’at Islam.

12

F.

DAFTAR PUSTAKA

A.N, Jusuf. 2013. Pedang Rasul. Jogjakarta: Diva Press.
Ariesta, Ditta. 2009. Naksir Anak Teroris. Jogjakarta: Sheila.
Brigitte L. Nacos. 2003. “Terrorism as Breaking News: Attack to America” Political
Science Quarterly [online] Vol.118 No. 1 (Spring , 2003), 23-52. The Academy of
Political Science.
Dematra, Damien. 2009. Demi Allah Aku Jadi Teroris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
El Khaliqy, Abidah. 2014. Jakarta: Solusi Publishing.
Ezza. Abu. Pengantin Teroris. Jawa Timur: Azhar Risalah.
Hendropriyono, A.M. 2009. Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, dan Islam.
Jakarta: Kompas.
Jatmika, Sidik. 2009. Pengantin Bom. Jogjakarta: Liber Plus.
Livingston, Marius H. 1978. International Terrorism in The Contemporary World.
Westport (Connecticut): Greenword Press.
Salam, Aprinus dan Ramyda Akmal. T.t. Terorisme Negara, dan Novel Indonesia. diakses
dari https://www.academia.edu/1483466/ terorisme_dan_sastra_indonesia pada 17
Desember 2014.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2012. Terorisme di Indonesia. Ciputat: Pustaka Alvabet.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Penerjemah: Melani
Budianta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

13