Zonasi Gempa bumi di Indonesia

ZONASI GEMPA BUMI DI INDONESIA
Gempa bumi tetap menjadi obyek serius yang perlu terus-menerus dicermati.
Baru saja kita dikejutkan oleh berbagai peristiwa gempa bumi di wilayah tanah air.
Bahkan juga di wilayah-wilayah lain dalam belahan bumi ini, setelah empat tahun
berlalu peristiwa gempa bumi di Bengkulu 4 Juni (2000), kemudian di Pandeglang
(2000), Suka Bumi (2000), Majalengka, Denpasar, Nabire (2004) serta Aceh dan
Sumatera Utara 26 Desember 2004.
Kita seolah-olah terlena, bahkan mungkin saja tidak menyadari sesungguhnya
daerah yang kita diami ini tergolong sebagai wilayah yang rawan gempa bumi.
Artinya, ancaman terhadap keselamatan jiwa dan kerugian investasi, bisa muncul
setiap saat. Tulisan ini bukan bertujuan menakut-nakuti akan tetapi lebih
mengarah kepada meningkatkan kepedulian kita untuk menyadari situasi dan
posisi kita untuk melakukan mitigasi terhadap bahaya yang ditimbulkan gempa
bumi.
Teori Tektonik Lempeng
Teori tektonik lempeng (teori tektonik global) adalah suatu yang menjelaskan
mobilitik dari bumi. Pola pemikiran dari teori mobilistik bumi ini adalah permukaan
bumi kita terdiri dari beberapa lempeng besar berukuran benua, masing-masing
dari bagian samudera dan benua serta sifatnya mobil (bergerak).
Teori tektonik lempeng mengajarkan kepada kita bahwa permukaan bumi (kerak
bumi) terpecah menjadi kurang lebih 12 lempengan benua dan samudera/lautan,

saling bergerak relatif satu terhadap yang lain, seolah-olah mengapung di atas
selimut "mantle" yang menyelimuti inti bumi "core" gerakannya dapat bersifat: a.
Saling mendekat di mana satu menghunjam terhadap yang lain (konvergensi), b.
Saling menjauh "divergensi", dan c. Saling berpapasan/bergesekan "shering"
(Vyeda. S, 1977 dan Katili, 1979).
Gerak "konvergensi" adalah suatu gerakan penekukan/penukikan lempeng
samudera di bawah lempeng benua. Tebal setiap lempeng berkisar 60 km-90 km.
Kecepatan gerak lempeng-lempeng tersebut beragam mulai dari 7 cm/tahun
sampai 20 cm/tahun. Batas lempeng dan patahan-patahan yang terjadi diinteraksi
tersebut bersifat sangat labil dan akan menimbulkan penumpukan-penumpukan
energi seismik sehingga terjadi tegangan yang cukup tinggi, kemudian dilepaskan
secara tiba-tiba berupa kejutan gempa.
Gerak "divergensi" adalah suatu gerakan menyimpang dari lempeng-lempeng dan
ini terjadi pada sistem pundak tengah samudera "Mid-Ocean Ridge", bahan panas
ke luar dari celah-celah besar dalam bentuk lava di tengah samudera. Dengan
demikian teori tektonik lempeng ini dengan logika dapat menerangkan asal mula
berbagai jenis bencana dari gempa bumi sampai letusan gunung api, juga dapat
menerangkan secara menyeluruh tentang gerak kerak bumi serta asal-usul
endapan berharga seperti mineral dan minyak bumi yang terdapat di dasar
samudera maupun di darat.

Gempa Bumi Di Indonesia
Aplikasi dari teori tektonik lempeng untuk kepulauan Indonesia menerangkan
bahwa nusantara ini merupakan tempat perbenturan 4 lempeng kerak bumi;
Lempeng Eurasia/Asia Tenggara, Lempeng Pasifik, Hindia-Australia, dan Lempeng
Philipina.
Keadaan ini jarang terjadi di muka bumi lainnya. Pada umumnya di permukaan
bumi pergerakan lempeng kerak bumi hanya menyangkut 2 buah lempengan
saja. Dengan terjadinya pergerakan 4 buah lempengan kerak bumi yang berbeda
jenis dan arah yang berbeda-beda tersebut, maka Indonesia yang kita banggakan

ini berada pada posisi kawasan yang sangat labil dan kondisi geologinya menjadi
amat rumit.
A. Di kawasan timur Indonesia Samudera Pasifik bergerak dengan kecepatan ratarata 8 cm/tahun (Sudrajat, 1997) membentur Lempeng Eurasia dan arah timur,
sehingga merobekkan kerak bumi di Sulawesi dengan terbentuknya patahanpatahan geser: patahan Pulokoro, patahan Matano, dan patahan Sorong dll.
Fragmen-fragmen benua mikro yang banyak dijumpai di kawasan Timur Indonesia
yang selama ruang dan waktu geologi yang lama telah bergeser sejauh ratusan
kilometer meninggalkan tempatnya seperti fragmen kepulauan Banggai Sula yang
telah lepas dari induknya. Sementara itu dari Selat Lempeng Australia bergerak
ke utara yang bergerak ke barat-barat laut, pembenturan ini mengakibatkan
terbentuknya pegunungan-pegunungan lipatan (pegunungan Jaya Wijaya) seperti

"highland fold thrust belt", "Lengguru Fols Thrust Belt," dan patahan-patahan
geser dan naik: patahan Terera-Aiduna, patahan Mamoa, patahan Sungkup
Membramo "Membramo Thrush Belt" (PTFI, 1997).
B. Laut Maluku merupakan tempat perbenturan antara lempeng-lempeng EurasiaPasifik-Philipina. Benturan ini menyebabkan terbentuknya penunjaman/penukikan
ganda. Busur Sangihe menukik ke barat mencapai kedalaman 650 km, dan busur
Halmahera menukik ke timur mencapai kedalaman 300 km. Kedua busur
dipisahkan oleh suatu pematang yang dikenal sebagai Pematang Mayu.
C. Di kawasan barat Indonesia keteraturan garis-garis tektonik jelas terlihat.
Kecepatan penukikan lempeng benua Hindia-Australia rata-rata 7,7 cm/tahun,
menukik relatif serong di belahan Sumatera. Penukikan serong ini menghasilkan
palung-palung laut dalam dan di darat menghasilkan pegunungan Bukit Barisan
dan gerak "Shear" membentuk segmen-segmen patahan geser Sumatera.
Kecepatan gerak tiap segmen memperlihatkan kecepatan yang berbeda-beda:
segmen Andaman bergerak sekitar 40 mm/tahun, Segmen Krueng Aceh sekitar
14,5 mm/tahun, Segmen Toba sekitar 23 mm/tahun, Segmen Singkarak sekitar 18
mm/tahun, Segmen Ranau sekitar 9 mm/tahun, dan Segmen Selat Sunda sekitar
10 mm/tahun dan segmen ini menimbulkan gempa dengan besaran sekitar 7,3
Mw (Sebrier, M. Promumijoyo, Olievier Bellier, 1989, dan Puslitbang Geologi,
2000). Sementara itu penukikan tegak lurus dengan kecepatan sekitar 7 cm/tahun
terjadi mulai dari Jawa sampai ke Nusa Tenggara. Di daerah ini terjadi penukikan

balik dengan terjadinya garis tektonik yang dikenal sebagai patahan naik Busur
Belakang Flores. Kedalaman penukikan mencapai kedalaman 650 km. Selat Sunda
merupakan zona transisi antara kedua daerah tersebut, dengan kedalaman
penukikan mencapai 250 km.
Gerak kemampuan lempeng-lempeng aktif tersebut di atas membebaskan
sejumlah energi yang telah tersimpan/terkumpul sekian lama secara tiba-tiba.
Proses ini merupakan suatu peristiwa penyebab gempa bumi di Indonesia.
Kawasan-kawasan yang menyimpan potensi gempa bumi, (jalur tunjangan,
tubrukan, fragmen-fragmen benua mikro dan patahan-patahan aktif) dinamakan
sebagai daerah-daerah atau zona sumber gempa bumi. Secara umum sumber
gempa Indonesia dibagi menjadi: 1. Zona sumber gempa bumi subduksi, 2. Zona
sumber gempa bumi patahan "shallow crustal faults", dan 3. Zona sumber gempa
bumi tersebar "disfuse".
1. Zona sumber gempa bumi subduksi. Sebagian dari gempa-gempa sundiksi atau
berasosiasi dengan lempeng menukik di bawah lempeng lain mempunyai
kedalaman antara +/- 30 km sampai 650-700 km. Gempa bumi dangkal yang
berhubungan dengan jenis gempa ini sebagian besar terletak di laut dan
beberapa di antaranya diikuti dengan "tsunami". Contoh dari gempa-gempa
demikian ialah: gempa bumi Manado (1932, 1939, 1983), gempa bumi Gorontalo,
1992), gempa bumi Tanggolobi (1998), dan gempa bumi Banyuwangi (1999),

Aceh-Sumut (2004).

2. Zona sumber gempa bumi patahan "Shallow crustal fault". Gempa bumi
tektonik yang berasosiasi dengan pergeseran antara dua lempeng besar dan
patahan lainnya, biasanya pusat gempa dangkal sehingga pada umumnya lebih
berbahaya. Contohnya gempa-gempa Padang Panjang (1926), gempa bumi
Singkarak (1943), Liwa (1933 dan 1997).
3. Zona sumber gempa bumi tersebar "diffuse". Gempa bumi tektonik dari jelas
berhubungan dengan gerak-gerak fragmen-fragmen benua dan zona ini
umumnya tersebar di bagian timur Indonesia seperti gempa bumi terjadi di
sekitar laut Belanda, P. Obi, Memuju, Banggai (gempa bumi Banggai, 1999) dll.
Pembagian Wilayah
Berdasarkan analisis probabilistik bahaya gempa (probabilistic seismic hazard
analysis), wilayah Indonesia ditetapian terbagi dalam 6 wilayah gempa (standar
perancangan ketahanan gempa untuk struktur gedung) SNI 1726-2001-'usulan' di
mana wilayah gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan wilayah paling rendah
dan wilayah gempa 6 dengan kegempaan paling tinggi. Pembagian wilayah
gempa ini, didasarkan atas percepatan puncak bantuan dasar akibat pengaruh
gempa rencana dengan periode ulang 500 tahun.
Percepatan bantuan dasar rata-rata untuk wilayah gempa 1 s/d 6, telah

ditetapkan berturut-turut berdasarkan: a. wilayah gempa 1 sebesar 0,03 g, b.
wilayah gempa 2 sebesar 0,10 g, c. wilayah gempa 3 sebesar 0,15 g, d. wilayah
gempa 4 sebesar 0,20 g, e. wilayah gempa 5 sebesar 0,25 g, f. wilayah gempa 6
sebesar 0,30 g.
Wilayah Indonesia dibagi ke dalam enam wilayah kegempaan berdasarkan potensi
daerah tersebut mengalami bahaya gempa (lihat lampiran 1) yaitu:
1. Wilayah 1, berarti daerah tersebut mempunyai potensi sangat rendah untuk
mengalami gempa, meliputi sebagian besar pulau Kalimantan, kecuali Kalimantan
Timur dan sebagian Kalimantan Tengah.
2. Wilayah 2, berarti daerah itu mempunyai potensi rendah untuk mengalami
gempa, meliputi bagian timur P. Kalimantan dan Sulawesi bagian selatan, pantai
timur Sumatera, pantai utara Jawa Timur dan Madura.
3. Wilayah 3, berarti daerah itu mempunyai potensi sedang untuk mengalami
gempa, meliputi pantai utara pulau Jawa, pantai timur pulau Sumatera, Sulawesi
Tenggara, bagian timur Halmahera.
4. Wilayah 4, berarti daerah itu mempunyai potensi tinggi untuk mengalami
gempa, meliputi bagian selatan Pulau Jawa dan Maluku. 5. Wilayah 5, berarti
daerah itu mempunyai potensi sangat tinggi untuk mengalami gempa, meliputi
Bali, NTB, sebagian Sumatera dan Irian. 6. Wilayah 6, berarti daerah itu
mempunyai potensi paling tinggi untuk mengalami gempa, meliputi bagian barat

P. Sumatera, NTT, Ambon dan Irian bagian tengah. Semakin besar risiko
kegempaan, maka semakin rawan daerah tersebut terhadap bahaya gempa.

Kesimpulan
a. Indonesia yang terletak di pertemuan empat lempeng besar benua dan
samudera merupakan daerah yang sangat rentan terhadap bahaya gempa bumi
dan bahaya ikutannya.
b. Wilayah Indonesia dibagi dalam 6 wilayah gempa, di mana wilayah gempa 1
merupakan wilayah gempa paling rendah, dan wilayah gempa 6 merupakan
daerah gempa tertinggi.
Penutup
Indonesia yang berada pada posisi rawan gempa harus "disikapi" dengan serius
oleh masyarakat luas terutama pemerintah agar mengambil langkah-langkah
jangka pendek, menengah maupun panjang dengan program yang jelas dan
terlaksana dalam rangka mitigasi terhadap bahaya gempa. Ini menjadi PR besar
bagi kita semua. Bravo Indonesia. (SHD)

PLATE TECTONICS
Teori yang mengatakan bahwa kerak-kerak bumi tidak bersifat permanen, tetapi bergereakgerak secara mengapung, mulai diperkenalkan pada awal abad 20. Setelah melalui berbagai perdebatan
yang sengit selama beberapa tahun, ide atau teori ini ditolak oleh sebagian besar ahli ilmu bumi. Tetapi,

selama periode tahun 1950-an sampai 1960-an banyak bukti-bukti yang ditemukan oleh para peneliti
yang mendukung teori tersebut, sehingga teori yang sudah pernah ditinggalkan ini menjadi
pembicaraan lagi atau mulai diperhatikan lagi. Pada tahun 1968 teori tentang kontinen mengapung ini
telah diterima secara luas, dan selanjutnya disebut Teori Tektonik Lempeng (“Plate Tectonics”).
Pengapungan Kontinen : Sebuah Ide Tentang Masa Lalu
Pada tahun 1912, Alferd Wegener, seorang ahli klimatologi dan geofisika, menerbitkan
bukunya yang berjudul “The Origin of Continents and Oceans”. Pada bukunya ini Wegener
mengemukakan empat teori dasar yang berhubungan dengan hipotesis radikalnya tentang
Pengapungan Kontinen. Salah satu dalilnya mengatakan bahwa dulunya ada sebuah superkontinen
yang kemudian disebut “Pangea” (berarti benua secara keseluruhan), berada dalam satu kesatuan.
Kemudian dia menghipotesis bahwa sekitar 200 juta tahun yang lalu superkontinen ini mulai terpecahpecah menjadi kontinen-kontinen yang lebih kecil, yang kemudian berpindah secara mengapung dan
meempati posisinya seperti sekarang ini. Wegener dan kawan-kawanya yang sependapat dengan teori
ini, kemudian mengumpulkan sejumlah bukti untuk mendukung pendapatnya. Bukti-bukti tersebut
adalah adanya kesesuaian antara Amerika Selatan dan Afrika, baik dari segi paleoklimatik, fosil,
maupun struktur batuan, yang kesemuanya menunjukkan bahwa kedua benua tersebut pernah menjadi
satu.
Kesesuaian Kontinen
Bukti yang paling kuat tentang adanya kesesuaian antara Amerika Selatan dan Afrika telah
dikemukakan oleh Sir Edward Bullard dan kawan-kawanya pada tahun 1960-an. Bukti tersebut berupa
peta yang digambar dengan menggunakan bantuan komputer, dimana datanya diambil dari kedalaman

900 meter di bawah muka air laut.
Bukti-bukti Fosil
Fosil-fosil yang diajukan oleh Wegener untuk mendukung teorinya, adalah :
Ø
Fosil tumbuhan “Glassopteria” yang ditemukan menyebar secara luas di benua-benua bagian
Selatan, seperti Afrika, Australia dan Amerika Selatan. Fosil ini berumur Mesozoikum. Fosil
tersebut kemudian ditemukan juga di benua Antartika.
Ø
Fosil reptil “Mesosaurus” yang ditemukan di Amerika Selatan Bagian timur dan Afrika bagian
Barat.
Kesamaan Tipe dan Struktur Batuan
Contoh kesamaan batuan yang ditemukan adalah : Busur Pegunungan Appalachian yang
berarah timurlaut dan memanjang sampai ke bagian timur Amerika Serikat, yang tiba-tiba menghilang
di bagian pantai Newfoundland. Pegunungan yang mempunyai umur dan struktur yang sama dengan
pegunungan di atas, ditemukan di Greendland dan Eropa Utara. Jika kedua benua tersebut (Amerika
dan Eropa) disatukan kembali, maka pegunungan di atas juga akan bersatu menjadi satu rangkaian
pegunungan.
Bukti Paleoklimatik
Dari hasil penelitiannya, Wegener menemukan bahwa pada Akhir Paleozoikum, sebagian
besar daerah di belahan bumi bagian selatan telah ditutupi oleh lempengan-lempengan es yang tebal.

Daerah-daerah tersebut adalah Afrika bagian Selatan, Amerika Selatan, India dan Australia.
Wegener juga menemukan bukti bahwa pada saat yang sama (Paleozoikum Akhir), daerahdaerah sekitar 30o di dekat khatulistiwa yang beriklim tropis dan subtropis juga ditutupi oleh es.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, maka Wegener menyimpulkan bahwa dulunya
secara keseluruhan daerah di bagian selatan bumi telah ditutupi oleh lapisan es. Kemudian secara
perlahan-lahan sebagian massa benua di bagian tersebut bergerak ke arah utara, yaitu ke arah
khatulistiwa. Hal ini terbukti karena adanya lapisan es yang ditemukan di daerah sekitar khatulstiwa
tersebut. Wegener menyimpulkan hal ini, karena secara logis tidak mungkin terbentuk lapisan es yang
luas dan tebal di daerah khatulistiwa, yang diketahui beriklim tropis dan subtropis.
Pertentangan Pendapat

Sejak tahun 1924 hingga tahun 1930 banyak kritikan yang diajukan oleh para ahli untuk
menentang teori yang dikemukakan oleh Wegener. Salah satu keberatan yang paling utama tentang
teori ini adalah tidak mampunya Wegener untuk menjelaskan atau menggambarkan bagaimana
mekanisme dari proses pengapungan kontinen ini. Untuk menjawab kritikan ini, Wegener mengajukan
dua usulan tentang kemungkinan sumber energi yang menjadi penyebab terjadinya pengapungan. Salah
satunya adalah proses pasang-surut, yang oleh Wegener dianggap mampu untuk menyebabkan
terjadinya pergerakan pada kontinen. Tetapi, seorang ahli fisika yang bernama Harold Jeffreys dengan
cepat menentang argumen tersebut, dengan mengajukan alasan bahwa pergeseran pasang-surut yang
besar yang diperlukan untuk memindahkan tempatkan kontinen, tentu saja akan menyebabkan
terhentinya proses rotasi bumi hanya dalam beberapa tahun saja.

Kemudian Wegener juga mengajukan usulan kedua, yaitu bahwa sebuah kontinen yang besar
dan luas akan mampu untuk memecahkan lempeng samudera menjadi pecahan-pecahan yang lebih
kecil, seperti es yang terpotong-potong. Tetapi, tidak ada bukti yang memuaskan yang mampu untuk
menjelaskan apakah kerak atau lantai samudera cukup lemah untuk mampu dipecah oleh kontinen,
tanpa menyebabkan terjadinya deformasi pada kontinen maupun lempeng samudera itu sendiri. Sampai
tahun 1929, kritikan-kritikan yang diterima oleh Wegener sudah sangat gencar dan datang dari berbagai
ahli di berbagai tempat. Untuk menjawab serangan kritikan ini, Wegener menyelesaikan edisi keempat
sekaligus edisi terakhir dari bukunya, yang secara khusus memuat dasar-dasar hipotesisnya yang
ditambah dengan berbagai bukti untuk mendukung hipotesis tersebut.
Tektonik Lempeng : Sebuah Versi Modern Dari Ide Yang Lama
Beberapa tahun setelah Wegener mengajukan teorinya, mengenai perkembangan teknologi
yang pesat menyebabkan mampunya dilakukan pemetaan pada lantai samudera, serta ditemukannya
data-data yang banyak tentang aktivitas seismik dan medan magnit bumi. Sampai tahun 1968,
perkembangan teknologi ini sedemikian pesatnya, hingga pada saat itu dikemukakan sebuah teori yang
lebih memuaskan daripada teori pengapungan kontinen. Teori ini kemudian dinamakan Teori Tektonik
Lempeng.
Teori ini menyatakan bahwa bagian luar dari bumi, yaitu pada bagian litosfer, terdapat sekitar
20 segmen yang padat yang dinamakan lempeng. Dari semua itu, yang terbesar adalah lempeng
Pasifik, yang menempati sebagian besar lautan, kecuali pada sebagian kecil dari Amerika Utara yang
meliputi Kalifornia bagian Baratdaya dan Semenanjung Baja. Semua lempeng besar lainnya dapat
berupa kerak-kerak kontinen maupun kerak samudera. Sedang lempeng-lempeng yang lebih kecil
umumnya hanya sebagai kerak samudera, contohnya lempeng Nazca yang terdapat di lepas pantai
Barat Amerika Selatan.
Litosfer terletak di atas zona atau material yang lebih lemah dan lebih panas, yang disebut
astenosfer. Dengan demikian, lempeng-lempeng litosfer yang sifatnya padat dilapisbawahi oleh
material yang lebih “plastis”. Nampaknya ada hubungan antara ketebalan dari lempeng-lempeng
litosfer dengan sifat dari material kerak yang menutupinya. Lempeng-lempeng samudera sifatnya lebih
tipis, dengan variasi ketebalan antara 80 sampai 100 km atau lempeng atau blok kontinen mempunyai
ketebalan 100 km atau lebih, bahkan pada beberapa daerah dapat mencapai 400 km.
Salah satu prinsip utama dari teori tektonik lempeng adalah bahwa setiap lempeng bergerakgerak sebagai satu unit terhadap unit lempeng lainnya. Jika sebuah lempeng bergerak, maka jarak
antara dua kota yang berada dalam satu lempeng, seperti New York dan Denver, akan tetap sama,
sedangkan jarak antara New York dan London yang berada pada dua lempeng yang berbeda, akan
berubah. Karena setiap lempeng bergerak sebagai satu unit, maka banyak interaksi yang dapat terjadi
antara satu lempeng dengan lempeng lainnya di sepanjang batas-batas dari lempeng-lempeng tersebut.
Berdasarkan hal inilah, maka sebagian besar aktivitas seismik, volkanisma dan pembentukan
pegunungan terjadi di sepanjang batas-batas yang dinamis tersebut.
Batas-Batas Lempeng
Ada tiga tipe batas-batas lempeng, yang masing-masing dibedakan dari jenis pergerakannya,
yaitu :
1.
Batas-batas divergen, dimana lempeng-lempeng bergerak saling menjauh, yang
menyebabkan naiknya material dari mantel bumi dan membentuk lantai samudera yang luas.
2.
Batas-batas konvergen, dimana lempeng-lempeng bergerak saling mendekati, yang
menyebabkan salah satu dari lempeng tersebut masuk ke mantel bumi dan berada di bawah
lempeng lainnya.
3.
Batas-batas patahan transform, dimana lempeng-lempeng bergerak saling bergesekan
tanpa menyebabkan terjadinya penghancuran pada litisfer.

Batas-batas Divergen
Batas-batas divergen bisa ditemukan di daerah punggungan samudera. Di daerah ini, pada saat
lempeng bergerak saling menjauh dari sumbu punggungan, maka celah yang timbul akan diisi dengan
cepat oleh magma yang naik dari astenosfer. Material ini akan menjadi dingin secara perlahan-lahan
dan membentuk lantai samudera yang baru. Mekanisme ini, yang menyebabkan terbentuknya lantai
atau dasar dari Lautan Atlantik sekitar 165 juta tahun yang lalu, disebut Pemekaran lantai samudera.
Tingkat pemekaran di daerah punggungan samudera ini diestimasikan sekitar 2 sampai 10 cm pertahun,
dan rata-rata 6 cm (2 ichi) pertahun. Karena batuan yang baru terbentuk jumlahnya sama di keuda sisi
dari lempeng yang saling menjauh, maka tingkat pertumbuhan dari lantai samudera adalah dua kali dari
nilai tingkat pemekaran.
Jika pusat pemekaran terdapat atau terjadi di lempeng kontinen, maka kontinen akan terpecahpecah menjadi segmen-segmen yang lebih kecil. Fragmentasi dari kontinen ini disebabkan oleh adanya
pergerakan ke arah atas dari batuan yang panas (magma) yang berada di bawah. Akibat dari aktivitas
ini adalah melengkungnya kerak kontinen ke arah atas di bagian yang diintrusi tersebut. Hal ini disertai
dengan timbulnya retakan-retakan di bagian tersebut. Kemudian bagian litosfer yang terpecah-pecah
tersebut akan tertarik secara leteral ke arah yang berlawanan. Selanjutnya bagian yang pecah-pecah
tersebut akan jatuh dengan gerakan menggelincir. Lembah patahan turun yang bersekala besar yang
disebabkan oleh proses di atas, selanjutnya disebut Celah atau lembah celah.
Batas-batas Konvergen
Telah diketahui bahwa pada proses pemekaran akan terbentuk litosfer yang baru, sedangkan
luas total permukaan bumi haruslah tetap konstan, dengan demikian pada bagian lai dari bumi pastikah
ada litosfer yang rusak atau hilang. Bagian tersebut adalah bagian konvergen atau daerah pertemuan
lempeng. Jika dua lempeng saling bertabrakan/bertumbukan, maka bagian ujung dari salah satu
lempeng tersebut akan bergerak ke arah bawah dari lempeng lainnya. Bagian lempeng yang di bawah
ini akan masuk ke daerah astenosfer, akibatnya bagian tersebut akan menjadi panas dan hilang
rigiditasnya. Bergantung pada besarnya sudut kemiringan bagian yang lengkung ke bawah tersebut,
maka kedalaman penyusupannya bisa mencapai 700 km, sebelum bagian ini betul-betul terasimilasi
dengan material mantel atas (astenosfer).
Tumbukan bisa terjadi antara dua lempeng samudera, satu lempeng samudera dan satu
lempeng kontinen, atau dua lempeng kontinen. Jika terjadi tumbukan antara lempeng kontinen dan
lempeng samudera, maka lempeng kontinen yang kecil densitasnya akan berada di bagian atas,
sedangkan lempeng samudera yang lebih besar densitasnya akan menyusup ke bawah bagian
astenosfer. Daerah dimana proses ini terjadi disebut zona subdaksi. Karena lempeng samudera
menyusup ke arah bawah, maka lempeng ini akan melengkung dan selanjutnya membentuk palung laut
dalam (trench) yang berbatasan dengan zona subdaksi tersebut. Palung-palung yang terbentuk di
daerah ini bisa mencapai panjang ribuan kilometer, sedang dalamnya antara 8 sampai 11 km.
Tumbukan Kontinen-Samudera
Sudut kemiringan lempeng samudera yang menyusup ke dalam astenosfer umumnya sebesar
45o atau lebih. Lempeng samudera ini, bersama-sama dengan material sedimen serta cairan-cairan yang
dikandungnya, akan larut dan bersatu dengan cairan astenosfer yang panas. Magma baru yang
terbentuk dari proses ini densitasnya lebih kecil daripada densitas material disekitarnya, yaitu densitas
penyusun mantel bumi, konsekuensinya, jika jumlah magma baru ini sudah jenu, maka magma tersebut
akan naik secara perlahan. Sebagian besar magma yang naik ini akan sampai ke bagian atas dari kerak
kontinen, dimana dia akan menjadi dingin dan terkristalisasi pada kedalaman beberapa kilometer.
Sedangkan sebagian sisanya akan termigrasi ke permukaan dan kadang-kadang membentuk erupsi
volkanik yang eksplosif. Pegunungan volkanik Andes merupakan pegunungan yang terbentuk dari
proses ini, dimana Lempeng Nazca mengalami peleburan pada saat menunjam di bawah Lempeng
Kontinen Amerika Selatan. Tingginya frekuensi gempa bumi di daerah Andes, merupakan bukti dari
proses tersebut.
Pegunungan seperti Andes yang terbentuk akibat asosiasi aktifitas volkanik dengan proses subdaksi,
disebut busur volkanik.
Tumbukan Samudera-Samudera
Pada saat dua buah lempeng samudera saling bertumbukan, maka salah satunya akan
menunjam di bawah yang lain, yang juga akan diikuti oleh terjadinya aktivitas volkanik, seperti pada
tumbukan kontinen-samudera. Tetapi, dalam kasus ini volkanisma akan terjadi di lantai samudera,
bukan di daerah kontinen. Jika aktivitas volkanik ini terjadi terus menerus, maka sebuah benua baru
akan muncul dari laut dalam. Pada tahap awal dari proses ini, benua baru yang terbentuk tersebut akan
terdiri atas jajaran kepulauan volkanik yang kecil, yang disebut busur kepulauan. Busur kepulauan ini

umumnya berlokasi sekitar beberapa ratus kilometer dari palung laut dalam, dimana aktivitas subdaksi
sedang terjadi.
Tumbukan Kontinen-Kontinen
Tumbukan antara lempeng kontinen dengan kontinen dapat diambil contoh tumbukan antara
Lempeng India yang membentur Asia, dan membentuk Pegunungan Himalaya, yang merupakan
pegunungan yang terbesar dan terluas di dunia. Pada saat terjadi tumbukan seperti ini, maka lempeng
kontinen akan tertekuk, terpecah-pecah dan umumnya menjadi lebih pendek.
Patahan Transform
Tipe ketiga dari batas-batas lempeng adalah patahan transform, dimana lempeng-lempeng
saling bergesekan satu dengan yang lain tanpa menyebabkan terbentuknya lempeng/kerak yang baru,
seperti yang terjadi pada pemekaran punggungan samudera, serta juga tidak mengakibatkan rusaknya
lempeng, seperti yang terjadi pada zona subdaksi.
Istilah patahan transform ini pertama kali diusulkan oleh J. Tuzo Wilson dari University of
Toronto, pada tahun 1965. Wilson mengatakan bahwa patahan normal ini, bersama-sama dengan proses
konvergen dan divergen, merupakan suatu rangkaian proses kontinyu yang membagi-bagi selubung
luar bumi menjadi beberapa lempeng padat yang terpisah-pisah.
Wilson memberikan istilah yang khusus pada patahan ini, yaitu patahan transform, karena
pergerakan relatif dari lempeng-lempeng tersebut dapat berubah atau tertransformasi satu sama lainnya.
Seperti telah diperhatikan atau dijelaskan pada contoh terdahulu, bahwa proses divergen yang terjadi
pada pusat pemekaran dapat berubah/tertransformasi menjadi proses konvergen di zona subdaksi.
Sebagian besar patahan transform terjadi di kerak samudera, tetapi ada juga sedikit yang
terjadi di kerak kontinen, seperti di Patahan San Andreas di Kalifornia.
Pangea : Sebelum dan Sesudah
Robert Dietz dan John Holden telah mencoba untuk merekonstruksi bagaimana keadaan
sebenarnya dari migrasi besar-besaran yang pernah dialami oleh individu-individu kontinen, selama
lebih dari 500 juta tahun. Dengan mengekstrapolasikan kembali pergeraekn lempeng, yang
dihubungkan dengan perjalanan waktu, dan dibantuk oleh data-data seperti orientasi struktur volkanik,
distrubusi dan pergerakan transform, serta paleomagnetisme, Dietz dan Holden telah mampu untuk
merekonstruksi Pangea. Dengan menggunakan data penanggalan radiometri, kedua ahli ini juga dapat
menentukan kapan Pangea ini mulai terbentuk dan kapan mulai terpecah. Kemudian berdasarkan datadata posisi relatif dari hot spot, maka juga dapat menentukan lokasi yang tepat dari setiap kontinen.
Terpecah-pecahnya Pangea
Pangea mulai terpecah sekitar 200 juta tahun yang lalu, dimana terjadi fragmentasi yang
diikuti oleh jalur-jalur pergerakan dari setiap kontinen dan terdapt dua buah celah besar yang terjadi
akibat fragmentasi ini. Celah antara Amerika Utara dan Afrika menyebabkan munculnya batuan basal
yang berumur Trias secara besar-besaran disepanjang Pantai Timur Amerika Serikat. Penanggalan
radiometri pada basal ini menunjukkan bahwa celah tersebut antara 200 sampai 165 juta tahun yang
lalu. Waktu ini sekaligus bisa digunakan sebagai waktu terbentuknya Atlantik Utara. Celah yang
terbentuk di bagian selatan Gondwana berbentuk hurup Y, yang menyebabkan termigrasinya Lempeng
India ke bagian Utara dan sekaligus memisahkan Amerika Selatan – Afrika dari Australia – Antartika.
Sekitar 135 juta tahun yang lalu, posisi kontinen Afrika dan Amerika Selatan mulai memisah
dari Atlantik Selatan. Pada saat ini India sudah berada separuh jalan menuju ke Asia, dan bagian selatan
dari Atlantik Utara telah mulai melebar. Pada Kapur Akhir, sekitar 65 juta tahun yang lalu, Madagaskar
telah terpisah dari Afrika, dan Atlantik Selatan berubah menjadi laut terbuka.
Sekitar 45 juta tahun yang lalu, India telah bersatu dengan Asia, yang kemudian menyebabkan
terbentuknya pegunungan tertinggi di dunia, yaitu Himalaya, yang tersebar di sepanjang Dataran
Tinggi Tibet. Kemudian terjadi pemisahan Greendland dari Eurasia, yang bersamaan juga terjadi
pembentukan Semenanjung Baja dan Teluk Kalifornia. Peristiwa tersebut ditaksi terjadi kurang dari 10
juta tahun yang lalu.
Sebelum Pangea
Sebelum Pangea terbentuk, massa-massa benua mungkin telah mengalami berbagai episode
fragmentasi yang sama dengan yang telah kita ketahui sekarang. Kontinen-kontinen purba tersebut dulu
telah bergerak saling menjauh satu dengan yang lainnya. Selama periode antara 500 sampai 225 juta
tahun yang lalu, fragmen-fragmen yang sebelumnya telah menyebar, mulai bersatu membentuk Pangea.
Bukti dari adanya tumbukan awal ini meliputi Pegunungan Ural di Uni Soviet dan Pegunungan
Appalacian di Amerika Utara.
Pandangan ke Masa Depan

Setelah membuat rekonstruksi keadaan dunia sekitar 500 juta tahun yang lalu, Dietz dan
Holden kemudian mencoba untuk memprediksi keadaan bumi di masa depan. Pada 50 juta tahun yang
akan datang, perubahan penting terjadi pada Lempeng Afrika, dimana sebuah lautan yang baru akan
terbentuk akibat Afrika bagian timur terpisah dari benua utama. Di Amerika Utara terlihat bahwa
Semenanjung Baja dan bagian selatan Kalifornia yang terletak di sebelah barat Sesar San Andreas,
telah tergeser melewati Lempeng Amerika Utara tersebut. Jika pergerakan ke arah utara ini, betul-betul
terjadi sesuai yang diprediksi, maka Los Angeles dan San Francisco akan saling melewati satu sama
lain.
Mekanisme Pergerakan
Distribusi panas yang tidak merata yang terdapat di dalam bumi, telah disepakati oleh para
ahli, sebagai penyebab utama terjadinya pergerakan lempeng. Distribusi panas tidak merata inilah yang
menyebabkan terjadinya arus konveksi yang besar dalam mantel bumi. Material yang panas dan lebih
kecil densitasnya, yang berasal dari mantel bagian bawah, secara perlahan-lahan akan bergerak naik ke
daerah pegunungan samudera. Pada saat material ini mnyebar secara lateral, suhunya akan turun dan
densitasnya bertambah, setelah itu material tersebut akan masuk kembali ke dalam mantel dan suhunya
naik kembali. Dalam hal ini, batuan yang ada tidak perlu untuk mencair dulu agar dapat terbawa aliran.
Analogi peristiwa ini bisa dilihat pada logam padat yang dimasukkan ke dalam cairan yang panas,
dimana logam-logam tersebut berada pada berbagai bentuk yang berbeda-beda. Demikian juga halnya
pada batuan yang berada dalam cairan panas. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa di daerah
punggungan samudera tingkat aliran panasnya lebih tinggi dibandingkan daerah–daerah lain. Hal ini
juga menunjukkan bahwa arus konveksi tidak hanya satu macam. Tetapi, jenis-jenisnya tersebut belum
diketahui dengan jelas. Ada beberapa banyakkah sebenarnya tipe arus konveksi ini ? Pada kedalaman
berapakah sebenarnya arus tersebut berada ? Bagaimanakah struktur yang sebenarnya ?
Telah diketahui lempeng samudera yang dingin mempunyai densitas yang lebih besar daripada
astenosfer yang berada di bawahnya. Dengan demikian, pada saat lempeng samudera tersebut,
tertunjam ke bawah, karena sifatnya yang berat, maka bagian belakang dari litosfer tersebut akan
tertarik. Hipotesis ini sama dengan model yang beranggapan bahwa karena tingginya tempat/posisi dari
punggungan samudera yang dapat menyebabkan litosfer tergelincir ke bawah akibat pengaruh gravitasi.
Model tekan-tarik inilah yang dengan sendirinya merupakan tipe dari arus konveksi. Pada sisi lain,
material astenosfer akan bergerak naik dan mengisi celah yang terbuka akibat proses divergen.
Versi lain dari model arus konveksi ini, menjelaskan bahwa arus tersebut berhubungan erat dengan
bintik panas (hot spot) yang terjadi di daerah mantel. Bintik panas ini diperkirakan berasal dari daerah
perbatasan antara mantel dan inti bumi. setelah bintik panas ini bergerak naik dan mencapai litosfer,
maka bintik-bintik tersebut akab tersebar secara lateral dan membawa serta lempeng-lempeng menjauh
dari pusat tempat dia naik.

GEMPA BUMI
Apa itu Gempa
Gempa adalah getaran pada bumi yang ditimbulkan oleh pelepasan energi secara cepat.
Energi tersebut terpancar ke segala arah dari sumbernya dalam bentuk gelombang, yang merambat
seperti pada rambatan gelombang bunyi di udara ketika sebuah bel/lonceng dipukul, getaran merambat
secara melingkar ke segala arah. Selama terjadi gempat bumi, dan untuk beberapa waktu kemudian,
lukisan bumi seperti deringan lonceng (ringing like bell).
Sumber dari gempa tersebut, berasal dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh ledakan
atomik (atomik explosions) atau oleh erupsi gunung api. Gempa juga disebabkan oleh interaksi dari
lempeng yang berdekatan yang saling bergerak, strain dan perubahan bentuk dari batuan. Oleh sebab
itu pada daerah batas lempeng sering terjadi gempa bumi.
Pusat gempa bumi biasanya dibawah permukaan, sedang pusat gempa yang terdeteksi
dipermukaan disebut “Epicenter”, yang dapat ditentukan dengan menggunakan alat seismogram dan
grafik “travel-time”. Dengan alat seismogram (bagian dari alat seismographs yang berfungsi sebagai
alat perekam, yang dapat memberikan informasi tentang karakteristik gelombang seismik), dapat
diketahui kecepatan rambat gelombang P, dan gelombang S, yang kemudian diplot ke dalam grafik
“travel-time”, dari kedua kurva diperoleh jarak pusat gempa di permukaan, atau jarak epicenter dari
seismograph.
Alat untuk mengukur/merekam gelombang gempa disebut seismograph.
Seismologi adalah ilmu yang mempelajari gelombang gempat bumi.
Gelombang gempa terbagi dua, yaitu :
1.
Gelombang permukaan (surface waves), yaitu gelombang yang merambat sepanjang
permukaan bumi.
2.
Gelombang yang menembus bagian dalam buki (body waves), terbagai dua type :
Primary waves (P. waves)
Secondary waves (S. waves)
Kedua type tersebut dibedakan berdasarkan cara perambatan (penyebaran) menembus bumi.
Gelombang P. menekan (compress) dan menarik (dilate) batuan dalam arah perambatannya. Penjelasan
dari gelombang ini seperti penjalaran gelombang yang dihasilkan pita suara manusia, yang menjalar ke
udara menuju “Transmit Sound”. Gelombang S. merambat tegak lurus arah getar partikelnya. Sedang
gelombang S. hanya menyebabkan perubahan bentuk.
Sarana mengukur kekuatan gempa bumi adalah skala Richter, dikemukakan oleh Charles
Richter, 1935, seorang ahli pada California Institute of Technology, yang berusaha mengurut
berdasarkan urutan tertinggi, gempa bumi yang terjadi di selatan California ke dalam golongan kuat,
menengah dan lemah.
Tsunami atau gelombang seismik lau (“seimic sea waves”) adalah gelombang perusak yang lebih
populer dengan sebutan gelombang pasang-surut (tidal waves), tetapi sebutan ini tidak tepat, karena
gelombang ini bukan dihasilkan oleh efek pasang-surut dari bulan atau matahari.
Istilah tsunami diberikan oleh orang Jepang untuk gelombang seismik laut, yang akibatnya sangat
dirasakan oleh mereka, istilah tsunami ini kemudian umum digunakan di dunia.
Bagian Dalam Bumi
Berdasarkan data seismologi, bumi tersusu atas 4 bagian lapisan :
1.
Kulit bumi (crust), lapisan terluar yang sangat tipis.
2.
Selubung bumi (mantle), lapisan batuan yang terletak di bawah kulit bumi, dengan ketebalan
2885 km (1789 mil).
3.
Inti luar (outer core), lapisan dengan ketebalan 2270 km (1407 mil), menunjukan karakteristik
cairan (mobile liquid).
4.
Inti dalam (inner core), logam padat dengan jari-jari 1216 km (756 mil).
Pada tahun 1909 seorang ahli seismologi Yugoslavia ANDRIJA MOHOROVICIC,
menyajikan data/bukti yang meyakinkan untuk lapisan bumi, dengan mempelajari rekaman seismik, ia
menemukan lapisan antara kerak dan mantel pada kedalaman 50 kilometer, yang kemudian dikenal
dengan nama Mohorovicic discontinus.

Beberapa tahun kemudian seorang seismologi Jerman bernama Beno Guetenberg
menemukan batas yang besar dari penelitannya dengan menggunakan gelombang P. yang diberi nama
zona bayangan (shadow zone).
Asthenosphere merupakan lapisan yang penting yang terletak pada selubung bagian atas
(upper mantle), yang terletak pada kedalaman antara 70 km sampai 700 km, merupakan zona yang
tersusun oleh bagian-bagian leburan batuan (kira-kira 10%), diatas asthenosphere yang meliputi bagian
atas selubung dan kerak bumi.
Komposisi Dari Bumi
Kerak bumi mempunyai ketebalan bervariasi antara 70 kilometer pada beberapa gunung dan
kurang dari 5 kilometer pada laut, dari data seismik diketahui kerak bumi tersusun batuan granitik
(continental crust), sedangkan oceanic crust tersusun oleh batuan yang berkomposisi basaltik.
Komposisi selubung dan inti belum dapat dipastikan, dan berdasarkan komposisi meteor
yang jatuh ke bumi tersusun dari tipe logam, terdiri dari besi dan nikel.
Klasifikasi Gempa
Ada tiga penyebab utama dari suatu gempa bumi dan atas dasar itu pulalah gempa bumi
diklasifikasikan menjadi beberapa macam, yaitu Tektonik, Vulkanik, Runtuhan dan Buatan.
Gempa Tektonik
Gempa tektonik adalah gempa bumi yang terjadi karena pergeseran kerak bumi, atau dengan kata lain
yang berhubungan dengan peristiwa tektonik. Dari sekian banyak peristiwa tektonik, yang paling
banyak menghasilkan gempa adalah tektonik yang mengakibatkan dislokasi/displacement atau yang
kita kenal dengan nama patahan (dis=terpisah, locus=tempat). Karena itulah maka seringpula disebut
gempa dislokasi.
Pergeseran kerak bumi di sepanjang bidang patahan menimbulkan goncangan yang kemudian
merambat melalui permukaan bumi, goncangan akan membinasakan semua yang tidak tahan menahan
goncangan tersebut. Dibeberapa tempat goncangan yang begitu hebatnya menghasilkan jurang dalam
dan lebar.
Gempa tektonik merupakan gempa yang paling dasyat, meluas dan banyak merusak serta paling sering
terjadi. Sekitar 93% dari semua gempa yang tercatat di seluruh dunia, tergolong gempa tertonik.
Gempa vulkanik
Gempa vulkanik adalah gempa bumi yang terjadi karena aktivitas vulanisme, baik sebelum, sedang
atau sesudah letusan.
Magma yang keluar lewat pipa-pipa gunung api bergeser dengan batuan penyusun gunung api,
getarannya diteruskan kemana-mana lewat materi yang menyusun kerak bumi. itulah sebabnya
sebelum terjadi letusan gunung api terasa adanya gempa bumi terlebih dahulu. Dan karena itulah maka
aktivitas vulkanisme dapat diramalkan sebagai salah satu gejala dari aktivitas gunung api.
Demikian juga ketika terjadi letusan, materi-materi besar kecil, berupa gas, cair maupun padat
dihempaskan keluar, sedang getarannya akan merambat di dalam batuan ke segala arah menimbulkan
gempa bumi di daerah sekitarnya.
Umumnya gempa vulkanik tidak begitu hebat, dan daerahnya terbatas sekitar gunung api saja. Hanya
sekitar 7% dari seluruh gempa yang tercatat di seluruh dunia.
Gempa Terban/Runtuhan
Gempa terban adalah gempa yang disebabkan oleh adanya runtuhan, termasuk di dalamnya adalah
Rock fall/longsor, atap gua bawah tanah runtuh (biasanya di daerah kapur), ataupun runtuhan di dalam
lubang tambang. Goncangannya tidak begitu hebat dan daerahnya sangat terbatas hanya sekitar 1
hingga 2 meter.
Karena itu dalam pembagian persentase gempa bumi yang tercata di seluruh dunia, gempa semacam ini
dianggap kecil, sehingga dianggap tidak ada. Akan tetapi tidak berarti bahwa gempa ini tidak pernah
terjadi.
Gempa Buatan
Yang dimaksud dengan gempa buatan adalah getaran bumi yang terjadi karena adanya aktivitas
manusia dikulit bumi menyebabkan getaran yang cukup berarti.

Peledakan batuan, dalam proses pembuatan jalan tembus dipegunungan batu dengan menggunakan
bahan peledak batu kokoh akan hancur. Bersamaan dengan itu pula terjadi goncangan di sekitarnya.
Demikian pula pada saat terjadi pemancangan paku bumi dalam pembuatan tiang pancang beton, akan
meimbulkan goncangan yang cukup jelas.
Daerah yang dipengaruhi oleh getaran buatan ini hanya sekitar 1 – 100 meter, sedangkan daerah yang
lebih jauh lagi pada umumnya tidak merasakan getaran.
Namun demikian karena goncangannya tidak sehebat pada gempa tektonik, maka gempa buatan ini
biasanya tidak membawa akibat yang serius dan tidak membahayakan.
Pengukuran Kekuatan Gempa
Gempa yang terjadi akibat pergerakan lempeng tektonik pada umumnya lebih berbahaya
dibandingkan dengan gempa vulkanik, tanah longsor maupun buatan. Tingkatan besar kecilnya gempa
dapat dihitung melalui besarnya simpangan jarum yang dipasang pada alat pencatat melalui besarnya
simpangan jarum yang dipasang pada alat pencatat gempa (seismograf). Satuan besaran gempa
biasanya dipergunakan skala Richter.
Berdasarkan kedalamannya terjadinya gempa, maka gempa bumi dapat diklasifikasikan menjadi
dangkal, sedang dan dalam. Berdasarkan hal ini, dapat dijelaskan bahwa para pakar menentukan
kriteria klasifikasi gempa berbeda antara pakar satu dengan lainnya.
Dasar penetapan kedalaman gempat antara Dobrein, Allison dan Lee Stokes tidak
mempunyai argumentasi yang cukup kuat. Kegunaan klasifikasi tersebut tidak mempunyai implikasi
terhadap perubahan-perubahan permukaan bumi. justru dari beberapa pengamatan menunjukan bahwa
klasifikasi yang lebih penting adalah menentuan besar/kecilnya gempa serta jarak antara titik pusat
gempa.
Tabel. Klasifikasi Gempa Menurut Kedalaman.
Kriteria
Dobrein
Dangkal
< 70
Sedang
70 – 300
Dalam
> 300

Kedalaman
Allison
< 60
60 – 300
> 300 - 700

Lee Stokes
< 100
> 100

Menurut Allison, gempa bumi terdalam yang pernah dikenal dalamnya hanya 720 km di
rangkaian pulau-pulau Pasifik. Sekitara 85 – 90 % dari semua gempa berupa Gempa Dangkal, dan
kebanyakan kurang dari 8 km dalamnya.
Kurangnya gempa yang dalam barangkali dapat dihubungkan dengan temperatur dan
tekanan hidrostatika. Pergeseran-pergeseran kerak bumi yang menyebabkan terjadinya patahan,
berkaitan dengan titik patah batuan.
Semakin tinggi temperatur dan tekanan hidrostatis, sifat batuan semakin lentur yang berarti
titik patahnya juga akan bertambah besar. Dengan demikian tekanan yang bekerja pada batuan dapat
dinetralisir oleh keplastisan batuan sehingga tidak terjadi patahan, mungkin hanya terjadi
pembengkokan.
Dikaitkan dengan gradien geothermal, maka temperatur batuan di lapisan yang dalam
semakin tinggi dan semakin besar menderita tekanan hidrostatis. Oleh karena itulah maka jarang terjadi
pusat-pusat gempa di lapisan yang dalam.
Gempa dalam biasanya dijumpai di daerah perbatasan lempeng yaitu pada zona subduksi,
dimana kerak bumi menjorok ke dalam disepanjang patahan transform.
Gempa bumi yang dihasilkan oleh pergeseran kerak bumi disepanjang patahan strike-slip
fault, umumnya tergolong gempa dangkal. Hal tersebut ada kaitannya dengan pergeseran yang umum
meliputi bagian atas saja dari kerak bumi.
Pusat gempa di dalam bumi bukanlah merupakan suatu titik melainkan lebih cenderung
berupa garis atau daerah, yaitu sepanjang patahan dimana terjadi pergeseran kerak bumi. Pusat gempa
tersebut dikenal dengan nama hiposentrum.
Tempat di permukaan bumi yang tegak lurus di atas hiposentrum disebut episentrum
(Yunani; Hypo = di bawah, Epi = di atas).
Untuk menentukan letak suatu episentrum gempa, diperlukan catatan gempa bumi dari
minimal 3 stasiun pencatat gempa bumi. Jarak stasiun ke spisentrum dapat dihitung dengan
menggunakan hukum Laska, sebagai berikut :

Δ = [( S – P ) – r ] megameter
Dimana :
Δ =
S =
P =
R =

Delta, menunjukkan jarak ke episentrum.
Saat tibanya gelombang S pada Seismograf.
Saat tibanya gelombang P pada Seismograf.
1 menit; 1 megameter = 1.000 km.

Daerah di permukaan bumi yang paling parah menderita goncangan gempa adalah daerah yang
berdekatan dengan episentrum.
Agar mengetahui tata cara penggunaan informasi tentang gempa bumi, maka para pakar
gempa telah membuat peta yang menunjukkan daerah yang rawan akan gempa bumi. Namun dalam
penyajian peta, manggunakan istilah khusus sehingga sulit dimengerti oleh kebanyakan orang/ agar
dapat membaca peta informasi gempa, maka kita harus mengenal beberapa istilah-istilah yang
dipergunakan dalam peta gempa.
Isoseismik =
yaitu garis pada peta yang menghubungkan daerah-daerah yang
mengalami gempa sama besarnya.
Pleistoseismik =
yaitu garis pada peta yang menunjukkan daerah yang paling parah
menderita goncangan gempa. Daerah tersebut terletak dalam garis
isoseite I.
Homoseismik =
yaitu daerah yang menerima getaran gempa pada waktu yang
bersamaan.
Alat Pengukur Gempa
Ukuran gempa dapat ditunjukan dengan besarnya kekuatan, yang dikenal dengan istilah
magnitud gempa, atau dengan menganalisa pengaruh gempa terhadap tingkat kerusakan yang disebut
Intensitas gempa.
Skala magnitude yang sangat terkenal adalah Skala Richter, digunakan di seluruh dunia.
Skala tersebut dibuat oleh Charles F. Richter pada tahun 1935.
Skalanya tidak mempunyai batasan atas dan bawah, sehingga dapat mencatat gempa yang
sangat lemah dan yang sangat kuat. Selisih satu skala menunjukkan perbedaan amplitudo 10 kali dan
perbedaan kekuatan sebesar 10 kali.
Meskipun tidak ada batas atasnya, namun ternyata gempa bumi yang tercatat belum ada
yang melebihi angka 9,0 pada Skala Richter. Gempa terbesar yang pernah tercatat adalah Gempa
Sauriko, Jepang, pada tahun 1933, dan Gempa Columbia tahun 1906, yang besarnya 8,9 pada Skala
Richter.
Gempa yang berskala 7 ke atas sudah tergolong gempa kuat, sedang yang kurang dari 2
termasuk lemah. Gempa hebat yang magnitudonya 8 ke atas hanya terjadi sekitar 5 kali dalam jangka
10 tahun, sedang gempa lemah yang tidak terasa oleh manusia banyaknya sekitar 800.000 kali dalam
setahun.
Kerusakan-kerusakan yang dakibatkan gempa bumi mulai dari magnitudo ke 5 atas, dan
semakin bertambah menurut bertambanhnya magnitudo gempa.
Sebelum Skala Richter, umumnya ukuran yang digunakan adalah Skala Intensitas Gempa.
Adapun skala intensitas gempa yang paling banyak digunakan adalah Skala Mercalli yang telah
disempurnakan yang terbagi dalam 12 tingkatan. Skala tersebut disusun berdasarkan hasil
penelitiannya di Amerika Serikat, dengan membagikan daftar pertanyaan kepada penduduk mengenai
kerusakan yang diakibatkan oleh gempat bumi.
Daerah-daerah yang sering dilanda gempa di dunia adalah daerah yang masih dalam keadaan
labil, daerah yang selalu bergerak dalam usaha mencari keseimbangan isostasi, khususnya daerah di
sekitar jalur pegunungan Sirkum Pasifik dan Sirkum Maditerran. Dengan demikian Indonesia termasuk
daerah yang sering dilanda gempa bumi.
Hampir 10% dari seluruh gempa di dunia terjadi di Indonesia, atau sekitar 400-500 kali tiap
tahun. Untungnya kebanyakan berpusat di dasar laut sehingga tidak terlalu banyak membawa korban
jiwa dan kerugian materi.
Apabila kita kembali menelusuri keadaan geologis Indonesia yang terletak di pertemuan
Sirkum Pasifik dan Mediterran, tidaklah mengherankan bila kepulauan kita sering dilanda gempa.
Tekanan dari lempeng yang bergerak membuat Indonesia senantiasa dalam keadaan
bergejolak. Lempeng Australia menjorok ke dalam lapisan litosfer, membentuk Zona subduksi di

sebelah selatan Pulau Jawa dan sebelah barat Sumatera. Daerah di subduksi tersebut merupakan daerah
pusat-pusat gempa bumi. Mercalli membuat skala berdasarkan tingkat kerusakan yang terjadi di
permukaan tanah.
Tabel. Skala Mercalli tentang Kekuatan Gempa
Skala
I
II
III
IV

V

VI

VII
VIII
IX
X
XI
XII

Gejala di Permukaan Bumi
Tidak terasa, hanya tercatat oleh alat-alat peka seperti seismograf.
Dirasakan oleh orang yang sedang tidur, terutama tidur di lantai.
Terasa di dalam rumah namun belum diketahui kalau asalnya dari suatu gempa
bumi. Getarannya seperti Truk ringan yang lewat.
Terasa di dalam rumah seperti Truk berat yang lewat. Benda-benda yang
digantung bergoyang, pintu dan jendela gemertak, benda-benda dari kaca
gemerincing.
Sudah terasa oleh orang yang berada di luar rumah, orang yang tidur terbangun,
air bergoyang, benda-benda yang digantungkan kurang baik akan jatuh, daun
pintu bergoyang.
Terasa oleh semua orang. Banyak orang lari ketakutan keluar rumah, yang
sementara berjaan tidak stabil jalannya, barang-barang dari kaca pecah, bendabenda yang digantung berjatuhan.
Orang terasa sulit untuk berdiri tegak, dapat dirasakan oleh sopir, tembok-tembok
rumah runtuh.
Sulit mengemudikan mobil, cabang-cabang pohon bisa patah, rumah-rumah yang
fondasinya kurang kuat bisa runtuh.
Mengakibatkan kepanikan umum, tembok-tembok roboh, rumah-rumah tembok
yang kuat mengalami kerusakan berat, pipa-pipa bawah tanah pecah.
Bangunan beton rusak, bendungan hancur, air danau bergolak.
Pipa-pipa bawah tanah hancur total, banyak jembatan hancur, rel Kereta Api
sampai bengkok-bengkok.
Kerusakan total, batuan retak-retak, benda-benda terlempar ke udara.

Ramalan dan Prosteksi Terhadap Gempa Bumi
Sampai sekarang orang belum mampu meramalkan kejadian gempa bumi secara tepat. Kita
bangga bahwa para pakar telah mempu menentukan daerah-daerah gempa bumi, namun meramalkan
kapan terjadinya gempa, lokasi episentrumnya, serta besarnya adalah suatu masalah besar yang belum
terpecahkan.
Beberapa kemajuan dalam hal peramalan gempa telah dicapai oleh negara-negara yang telah
maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan Uni Soviet seperti Robert Wallace dari “US Geological
Survey National Center of Earthquake Research”, mengemukakan hasil penelitannya di daerah sekitar
patahan San Andreas sbb: Gempa berskala 6 terjadi setiap tahun, skala 7 setiap 17 tahun dan sekitar
100 tahun untuk gempa yang berskala 8 pada skala Richter.
Pakar-pakar Jepang juga berhasil meramalkan gemba bumi yang terjadi di dekat Marsushiro.
Menurut mereka sebelum terjadi gempa besar, beberapa bulan sebelumnya terjadi gempa-gempa kecil
di daerah episentrum.
Jadi waktu peramalannya juga cukup lama, sekitar setahun lamanya mereka melakukan
pengukuran-pengukuran perubahan berbagai gejala secara terus-menerus. Kemajuan berikutnya adalah
ramalan gempa yang dilakukan dekat Riverside, California tahun 1974, dimana waktu yang dibutuhkan
untuk peramalan hanya sekitar 3 bulan saja.
Meskipun nampaknya peramalan gempa semakin maju, namun masih sulit untuk
menggunakannya sebagai dasar untuk menghindari bahaya yang ditimbulkannya. Bahaya/kerugiannya
terletak pada dampak ekonomi dan psikologisnya. K