budaya populer visual kei jepang dalam p

Putri Dewi Prameswari
0710043038
2014

BUDAYA POPULER VISUAL KEI DALAM PERSPEKTIF HIBRIDISASI
BUDAYA

ABSTRAK
Budaya populer Jepang telah menjadi sangat populer dalam beberapa tahun terakhir
ini. Melalui persebaran globalisasi yang membuat dunia menjadi tanpa batas, budayabudaya populer Jepang seperti anime, manga, J-pop, J-rock dan video games telah
menyebar dan dikenal di berbagai negara di dunia. J-rock yang mana berada dalam
naungan J-pop atau biasa dikenal dengan Japanese Pop menciptakan sebuah budaya
populer baru yang telah menjadi sebuah icon Jepang. Budaya populer itu adalah
visual kei. Visual kei menciptakan karakter yang unik, yang merupakan sebuah
perpaduan antara budaya, musik dan ideologi Barat dan Timur kemudian dicampur
menjadi satu telah membawa nilai-nilai Jepang ke ranah global.
Secara umum penelitian ini membahas tentang bagaimanakah budaya populer
visual kei jika dilihat dalam perspektif hibridisasi budaya ini menggunakan konsep
globalisasi budaya, khususnya dengan menggunakan konsep hibridisasi budaya.
Penelitian ini berfokus pada analisis diskursus wacana variabel-variabel dari
hibridisasi budaya yang terdapat dalam budaya populer visual kei. Peneliti berusaha

membuktikan nilai-nilai apa saja yang dimiliki oleh Barat dan Timur yang kemudian
membentuk budaya populer visual kei.

Kata Kunci: Visual kei, Hibridisasi, Globalisasi, Budaya Populer

1

Globalisasi dan Budaya Pop
Globalisasi yang terjadi pada saat ini telah menjadikan dunia tanpa batas.
Globalisasi dan liberalisasi ekonomi saat ini tidak dapat lagi dilihat hanya sebagai
sebuah isu saja, melainkan kenyataan yang harus dihadapi.Setelah kekalahannya
dalam Perang Dunia II, Jepang mencoba membangun sebuah citra menjadi bangsa
yang menjunjung tinggi perdamaian dan bersahabat. Citra bangsa Jepang yang
sebelumnya dikenal dengan kekuatan militer yang kuat dimasa Perang Dunia II
berlangsung, kini berdasarkan pada salah satu ideologi Jepang yang disebut happo
bijinshugi (indah jika dilihat dari mana saja) yaitu adanya upaya untuk terlihat baik
dan indah untuk semua orang, Jepang berusaha untuk mengubah citranya dimata
dunia internasional (Blacker, 1977).
Kemampuan Jepang untuk melakukan hal ini didasarkan pada dominasi ekonomi
yang kemudian memungkinkan Jepang untuk melakukan peningkatan dalam

memproyeksikan

soft

power

melalui

manga,

J-pop

dan

anime(Lam,

2007).Berdasarkan pada Iwabuchi (2002) pada 1980-an dan 1990-an budaya populer
Jepang mendominasi arus budaya di Asia yang selanjutnya terus berkembang menuju
ke Amerika Serikat dan Eropa. Budaya popular Jepang dengan pesat merambah ke
dunia global melalui media elektronik yang dengan mudah diakses melalui internet

(Iwabuchi, 2002: 2).
Japanese pop atau yang biasa disebutkan dengan J-pop merupakan musik
yang popular dikalangan remaja Jepang. J-pop merupakan musik yang muncul dari
kekaguman masyarakat Jepang terhadap musik Barat/Amerika. J-pop ini banyak
2

dipopulerkan oleh band, boy band, girl band maupun penyanyi solo. Keanyakan dari
J-pop dikenal melalui dorama, atau yang biasa dikenal sebagai film drama Jepang.
Sedangkan J-rock merupakan genre musik rock yang ada di Jepang. Masih
merupakan bentuk kegamuman atas musik rock Amerika, biasanya J-rock dikenal
melalui musik band/konser, anime (kartun Jepang) dan soundtrack dari video game.
Japanese Rock mempunyai beberapa sub genre (turunan genre) yang terus
berkembang diranah internasional. Salah satu sub genre yang sedang berkembang
adalah visual kei. Dalam beberapa dekade ini visual kei telah berkembang dan
mngglobal menjadi sebuah musik yang popular. Para konsumer budaya popular pada
umumnya tertarik dengan penampilan visual mereka, lirik yang dramatis dan
kerorisinalitasan musik mereka.
Visual kei yang berarti visual sistem/style merupakan subkultur yang berasal
dari Jepang. Visual kei ini pertama kali dicetuskan oleh X-Japan yang beraliran glam
rock barat pada pertengahan tahun 1990an. X-Japan adalah band glam rock yang

berasal dari Jepang yang dimana band ini dikenal sebagai salah satu band yang
mempopulerkan gerakan visual kei di Jepang pada tahun 1980-1990an (http://xjapanid.forumotion.com/, diakses 14 November 2012). Musisi/seniman visual kei biasanya
mempunyai ciri-ciri flamboyant, feminine, dan memfokuskan perhatian pada style,
make up, fashion dan estetika. Dalam sejarahnya visual kei ini terbentuk saat musik
Jepang mengalami perkembangan dari tradisional style (enka) menjadi ke arah pop
dan rock. (Iida, 2005)

3

Fenomena globalisasi dalam budaya popular visual kei ini berkembang oleh
bangkitnya musik-musik di dunia, membuat konsumer budaya popular untuk
mengalihkan perhatian mereka kepada negara yang sebelumnya belum mendapat
pengakuan dalam hal musikalitas yang dalam hal ini adalah visual kei Jepang.
Keunikan yang telah diberikan oleh visual kei berhasil menarik konsumer budaya
popular di Asia, Amerika Serikat dan Eropa. Hibridisasi yang diwujudkan antara
perpaduan dua budaya Timur dan Barat dalam fenomena visual kei dianggap sebagai
alasan mengapa visual kei ini menjadi hal yang terus menerus berkembang dan
menarik.

Konsep Globalisasi dan Hibridisasi Budaya

Definisi yang mendasar dari sebuah globalisasi adalah intensifikasi hubungan sosial
di seluruh dunia yang menghubungkan daerah yang jauh sedemikian rupa sehingga
kejadian lokal dibentuk oleh peristiwa yang terjadi bermil-mil jauhnya dan
sebaliknya. (Giddens, 1990: 21)
Jeremy Rifkin mengakatakan bahwa:
“The powers that be have long believed that the world is divided into two
spheres of influence: commerce and government. Now organizations representing the
cultural sphere—the environment, species preservation, rural life, health, food and
cuisine, religion, human rights, the family, women's issues, ethnic heritage, the arts
and other quality-of-life issues—are pounding on the doors at world economic and
political forums and demanding a place at the table. They represent the birth of a
new "civil-society politics" and an antidote to the forces pushing for globalization.”
(Rifkin, 2012: 2)
4

Banyak studi globalisasi akan fokus kepada perubahan dalam bidang ekonomi
dan politik.Kekuasaan yang dipercaya bahwa dunia dibagi menjadi dua hal yang
berpengaruh: perdagangan dan pemerintah. Hal-hal yang menjadi isu seperti budaya,
lingkungan, kesehatan, makanan, agama, hak asasi manusia, keluarga, gender,
warisan budaya telah menjadi hal penting dalam permasalahan ekonomi dunia dan

politik. Keadaan yang semakin kompleks memaksa munculnya sebuah “civil-society
politics” dalam usahanya untuk mendorong sebuah globalisasi.
Pengaruh homogenisasi dalam globalisasi yang sering ditentang oleh kaum
nasionalis yang lebih banyak merujuk kepada sebuah pemikiran tentang globalisasi
yang mempromosikan sebuah integrasi. Globalisasi merupakan langkah penting baik
terhadap dunia yang lebih stabil maupun terhadap kehidupan yang lebih baik bagi
orang-orang di dalamnya (Rifkin, 2012: 3).
Karakter dari globalisasi adalah sebagai berikut (Mcgrew, 2010: 18):


Suatu peregangan kegiatan sosial, politik, dan ekonomi lintas batas politik
sehingga kejadian, keputusan, dan kegiatan di salah satu wilayah di dunia
datang untuk memiliki arti penting bagi individu dan masyarakat di daerah
yang berada di daerah tertentu.



Intensifikasi, atau besarnya pertumbuhan, keterkaitan, di hampir setiap bidang
kehidupan sosial dari ekonomi ke ekologi.




Adanya percepatan interaksi global dan proses sebagai evolusi sistem
transportasi dan komunikasi di seluruh dunia, meningkatkan kecepatan
5

dimana ide-ide, berita, barang, informasi, modal, dan teknologi bergerak di
seluruh dunia.


Ruang cakupan, intensitas, dan kecepatan interaksi global terkait dengan halhal-hal lokal dan global. Sejauh ini seperti misalnya peristiwa lokal yang
memiliki konsekuensi global dan peristiwa-peristiwa global dapat memiliki
konsekuensi lokal yang serius, menciptakan kesadaran dunia sebagai ruang
sosial bersama, yaitu globalitas atau globalisme.
Globalisasi budaya mengacu pada transmisi ide-ide, makna dan nilai-nilai

lintas batas nasional. Proses ini ditandai dengan konsumsi umum budaya yang telah
disebarkan oleh internet, budaya populer, dan interaksi antar masyarakat antar negara.
Sirkulasi budaya memungkinkan individu untuk masuk dalam hubungan sosial di luar
batas-batas negara. Penciptaan dan perluasan hubungan sosial tersebut tidak hanya

diamati pada tingkat material. Globalisasi budaya melibatkan pembentukan normanorma, ilmu dan identitas budaya kolektif serta keterkaitan peningkatan antara
populasi yang berbeda(Robinson, 2007: 139).
Jan Nederveen berpendapat bahwa globalisasi akan mengarah kepada
hibridisasi budaya. Hibridisasi adalah sebuah jarak di antara globalisasi, berbaur dan
mencampurkan budaya (Pieterse, 2009: 75).
“Hybridization is an antidote to the cultural differentialism of racial
andnationalist doctrines because it takes as its point of departure preciselythose
experiences
that
have
been
banished,
marginalized,
tabooed
in
culturaldifferentialism. It subverts nationalism because it privileges bordercrossing.It
subverts identity politics such as ethnic or other claims topurity and authenticity
because it starts out from the fuzziness of boundaries.If modernity stands for an ethos
of order and neat separation by tightboundaries, hybridization reflects a postmodern
6


sensibility of cut‟n‟mix,transgression, subversion. It represents, in Foucault‟s terms,
a “resurrectionof subjugated knowledges” because it foregrounds those effects
andexperiences which modern cosmologies, whether rationalist or romantic,would
not tolerate.” (Piertese, 2009: 55).
Hibridisasi merupakan sebuah pencegah dari perbedaan budaya dan ras dan
prinsip-prinsip nasionalis dari budaya yang berbeda. Hibridisasi menumbangkan
sebuah nasionalisme karena hibridisasi akan melewati batas-batas yang ada,
hibridisasi juga menumbangkan identitas politik seperti etnis atau klaim keaslian
sebuah budaya/ideologi. Dan menurut Foucault, hibridisasi mewakili sebuah
kebangkitan ilmu pengetahuan (Pieterse, 2009:55).
Dari definisi hibridisasi yang sudah disebutkan diatas, Pieterse menyebutkan
beberapa pola dalam hibridisasi budaya, yaitu (Pieterse, 2009: 78):


Fuzzines and Melange. Dalam sebuah hibridisasi budaya, secara umum akan
memperhatikan sebuah percampuran sebuah fenomena yang berbeda, terpisah
dan berpola tidak teratur.




Cut and Mix. Mengacu pada proses dimana perbedaan budaya yang
“dinetralkan” dalam tubuh budaya dominan dan menunjukkan identitas dari
kedua budaya.



Crisscross and crossover. Menekankan pada percampuran budaya, adanya
bayangan tentang keterbukaan dalam masyarakat dan penghapusan batasbatas budaya.

7

Budaya Populer Jepang dan J-Pop
Budaya populer Jepang terbagi menjadi tiga kategori. Ketiga kategori ini
terbagi menurut budaya yang melekat dan melatar belakangi perbedaan dalam
masyarakat Jepang. Suatu budaya dapat dikatakan sebagai budaya populer adalah
budaya tersebut diakui oleh masyarakat tertentu. Budaya elit (high culture) menurut
Sugimoto digolongkan menjadi seni tradisional Jepang seperti seni merangkai
Bungan, upacara minum teh, pertunjukan boneka dan nyanyian-nyanyian istana
(Sugimoto, 2003: 249).


Budaya Jepang yang menjadi budaya populer Jepang ada banyak macamnya.
Diantaranya adalah matsuri, manga, anime, karaoke, pachinko, Japan new religion,
style (Fashion Jepang), Hello Kitty. Matsuri dapat diartikan sebagai festival-festival
Jepang yang sangat popular dan banyak dikenal oleh masyarakat diluar Jepang.
Festival ini dikenal melalui musik, film, manga dan anime Jepang secara tidak
langsung.Manga dan anime merupakan budaya popular yang sangat terkenal di dunia
global. Manga merupakan buku cerita bergambar atau yang biasa dikenal dengan
comic dalam budaya popular Amerika. Sedangkan anime adalah film anakanak/dewasa yang berasal dari animasi dari sebuah manga. (Allen dan Sakamoto,
2006: 3-4) Pachinko merupakan sebuah permainan yang menguji ketangkasan yang
biasanya berbentuk permainan arkade atau sebagai mesin perjudian. (Lie, 2001:
72)Oleh karena itu, Sugimoto membagi budaya populer ke dalam tiga kategori:

8



Budaya Massa (Sugimoto, 2010: 250)

Budaya massa yang terbentuk dan berkembang dalam era globalisasi ini
ditunjang dengan adanya peran dari media massa, sehingga budaya massa secara
tidak langsung akan bergantung pada media massa. Hal ini disebabkan karena budaya
massa

merupakan

konsumsi

publik.

Sifat

publik

sebagai

konsumer

budayaberhubungan dengan media massa, maka budaya massa pun memiliki
ketergantungan dengan perilaku konsumerpublic (permintaan budaya). Faktor inilah
yang menyebabkan budaya massa secara tidak langsung juga sangat bergantung pada
konsumen, sehingga budaya massa tidak bisa bertahan tanpa adanya permintaan
publik.

Sugimoto menjelaskan bahwa hingga saat ini ada tujuh kategori yang
termasuk ke dalam budaya massa yakni; budaya hiburan radio dan televisi, media
cetak (gossip dan skandal), budaya tren dan fashion, budaya hiburan melalui teater,
restoran, fasilitas rekreasi, dan budaya teknologi(Sugimoto, 2010: 250).

Dalam prosesnya inilah yang dinamakan proses menjadi budaya massa.
Bidang-bidang tersebut saling memperebutkan perhatian konsumen dengan media
massa yang ada seperti televisi, iklan, teknologidan intenet. Di Jepang sendiri
terdapat empat budaya utama yang menjadi daya tarik konsumen bahkan menjadi
sebuah soft power yang menjadi kebanggaan Jepang, budaya-budaya massa tersebut
adalah manga¸ games, fashion, dan musik (Sugimoto, 2010: 251).

9



Budaya Rakyat (Folk Culture) (Sugimoto, 2010: 261)

Budaya rakyat merupakan jenis budaya populer yang lebih bersifat biasa
dalam kehidupan sehari-hari. Contoh dari budaya rakyat adalah festival-festival di
Jepang, liburan setiap musim, dan seni musik/kebudayaan tradisional. Budaya rakyat
ini berkembang dan dipopulerkan melalui masyarakat Jepang itu sendiri. Dimana
budaya rakyat ini dibuat oleh rakyat dan dikonsumsi oleh rakyat juga, serta
masyarakat Jepang akan secara tidak langsung mengkonsumsinya melalui sebuah
kebiasaan. Budaya rakyat akan cenderung kaya dan beraneka ragam karena setiap
daerah akan mempunyai cerita, musik, seni dan kebiasaan yang berbeda-beda.



Budaya Alternatif (Sugimoto, 2010: 268)

Budaya ini merupakan bentuk dari sebuah counter culturedari budaya
sebelumnya karena dianggap tidak cocok dengan kehidupan masyarakat Jepang.
Perbedaan latar belakangberakibat mnimbulkan masalah ketika budaya yang dominan
itu tidak bisa diaplikasikan di wilayah pinggiran tersebut.Ketidakpuasaan ini
melahirkan gagasan untuk menentang budaya yang dominan. Perkembangan dari
10

budaya Barat pun juga memiliki pengaruh dalam perkembangan budaya alternative di
Jepang, karena budaya yang terus menerus berkembang, maka perbedaan yang terjadi
di dalam masyarakat Jepang akan semakin terlihat. contoh dari budaya alternative ini
dapat dilihat dalam salah satu genre dalam sebuah manga atau komik Jepang, yaitu
genre yuri dan yaoi (merujuk pada kisah percintaan kaum lesbian dan homoseksual).

Konteks baru modernisasi dibutuhkan untuk melihat bahwa Jepang dilihat
sebagai sama dengan Barat tidak hanya politik dan ekonomi, tetapi juga budaya.
Budaya pop Jepang merupakan sebuah istilahyang cenderung mengacu pada elemen
Jepang modern dibandingkan “Jepang tradisional”. Beberapa elemen dari budaya pop
Jepang yang mendunia adalah : Anime, Cosplay, Harajuku, Seni Kontemporer
Jepang,Fashion Jepang, J-Pop, J-Rock, manga, Shibuya, musisi visual kei (visual
system) dengan penampilan yang berkarakter: make upm gaya rambut, pakaian
flamboyant dan sering kalimenampilkansosok androgynous.
Budaya pop Jepang mencapai bentuknya yang sekarang setelah melampaui
proses panjang yang diwarnai pengaruh kuat film, televisi, manga, dan musik pop
seluruh dunia. Manga dan film Jepang berkembang di tahun 50-an dan gerakan
budaya pop Jepang maju pesat sejak tahun 80-an dan 90-an di seluruh dunia sehingga
menjadi salah satu sumber yang berpengaruh dalam dunia hiburan dunia setelah
Amerika.

11

Subkultur Visual Kei
Visual kei telah menjadi gaya musik liar yang dibangun dari styleglam rock
barat dan pemberontakan kaum muda Jepang. Mirip dengan bentuk lain dari media
hiburan Jepang seperti animasi atau video game, visual kei telah menarik perhatian
dari penggemar di seluruh dunia. Visual kei dalam masyarakat Jepang banyak disukai
oleh kaum muda Jepang, terutama bagi otaku dan penggemar Lolita fashion. Namun,
tidak seperti jenis hiburan lainnya, visual kei belum mencapai perhatian pendengar
musik umum (mainstream). Visual kei, diterjemahkan sebagai "gaya visual"/visual
style, yang berarti adalah jenis musik rock Jepang yang ditandai dengan anggota band
yang berpenampilan kostum yang rumit dengan style androgini yang kuat. Sementara
visual kei dimulai sebagai genre murni berorientasi rock, kesan yang dihasilkan dari
band visual kei nantinya akan berkembang menjadi percampuran dari pop-rock, rock
elektronik, alternative dan bahkan metal, yang selain itu mereka tetap
mempertahankan gaya visual yang berbeda (Pfeifle, 2011-2012: 75).
Dimulai sebagai scene underground di Jepang pada 1980-an, visual kei
melihat aktivitas-aktivitas musik dalam satu dekade yang kemudian tergolong dalam
musik mainstream Jepang dan dalam beberapa tahun terakhir ini telah mulai
merambah di luar negeri. Fenomena global ini menembus musik di seluruh dunia,
membuat penikmat-penikmat musik yang pada awalnya tidak peduli, tiba-tiba
mengalihkan perhatiannya musik dari negara yang sebelumnya tidak banyak
mengakui(Pfeifle, 2011-2012: 75). Visual kei yang mempunyai akar dari budaya
barat dan mengadaptasi unsur-unsur khas Jepang membuat popularitas visual keiyang
12

semakin naik ke ranah global di kalangan penggemar musik underground. Hal ini
merupakan akibat dari perpaduan beberapa budaya dan identitas musik yang unik.
Visual kei adalah contoh utama dari musik populer modern Jepang pasca-perang.
Meskipun kegiatan utama visual kei hanya berkembang di Jepang, visual kei
juga dianggap sebagai tempat bagi sejumlah besar fans yang menikmati dan
mempunyai kemampuan untuk mencari rasa aman dan sebuah pelarian dari normanorma kehidupan sehari-hari, membuat teman-teman internasional, dan untuk
menikmati banyak musik lainnya (Pfeifle, 2011-2012: 75).Banyak minat baru
ditemukan dan usaha yang dilakukan oleh band-band, promotor, dan fans untuk
mendorong visual kei ke dunia musik mainstream, scene tersebut tetap menjadi
subkultur seluruh dunia.
Menurut penulis buku 'visual kei no jidai'Takako Inoue, bentuk pertama dari
glam rock dimulai pada tahun 1970 di Inggris, dilahirkan oleh musisi Inggris David
Bowie dan T-Rex. Glam rocksemakin meluas dan menjadi popular di Amerika
Serikat oleh 'KISS pada tahun 1973. Penting untuk dicatat bahwa ada sangat sedikit
perbedaan yang terlihat jelas diantara glam rock and visual kei. Yang terakhir adalah
Jepang mengambil style glam rock dan memiliki banyak atribut fundamental
termasuk rambut liar, make up dan kostum dan dalam beberapa kasus adalah
androgini ekstrim.

13

Hibridisasi budaya dalam Budaya Populer Visual Kei
Fuzziness dalam hibridisasi dapat berarti sebuah ketidakteraturan atau
pola yang teracak. Umumnya kata ini banyak digunakan untuk menjelaskan sebuah
„batas‟ antar dua benda tertentu (Pieterse, 2009: 55). Dalam hibridisasi budaya
fuszziness banyak menjelaskan tentang bayangan dan imajinasi (dikatakan bahwa
imajinasi itu tanpa batas) yang terbentuk dalam persilangan atau percampuran dua hal
atau lebih.
Dalam sebuah musik, musik merupakan sebuah media audio yang mampu
menciptakan pengaruh bagi masyarakat terutama pada kalangan remaja. Dalam
kehidupan sehari-hari berbagai aliran musik terus menerus berkembang dan semakin
menjadi daya tarik bagi masyarakat seperti dalam dunia hiburan. Imajinasi yang
dikembangkan dalam perkembangan musik dunia ini membentuk pola identitas yang
menjadi semakin rumit, hal ini disebabkan karena setiap orang mempunyai loyalitas
yang kuat terhadap produk lokal mereka, sedangkan disisi lain mereka ingin membagi
apa yang mereka miliki dalam nilai-nilai global.
Fuzziness, merujuk pada fuzziness of boundaries. Dimana fuzziness ini
penulis memasukkannya kepada imaginasi yang timbul pada masa itu. Imajinasi
dalam Pietersebersifat bourderless, dan seperti apa yang selalu menjadi sifat dasar
musik rock, imajinasi adalah kebebasan(Pieterse, 2009: 55).
Glam rock dan visual kei, dalam hibridisasi, menyebutkan bahwa bentuk
identitas didalam sebuah budaya hibrida akan menjadi lebih kompleks, bagaimana
14

actor tertentu akan menonjolkan apa yang menjadi identitas lokal mereka, tetapi disisi
lain mereka ingin membagi apa yang menjadi kepercayaan/karakteristik mereka
kepada dunia nilai-nilai global dan gaya hidup.Dalam glam rock, kemunculan glam
rock adalah pada awal munculnya era postmodern, dalam kurun waktu ini merupakan
saat dimana banyak hal-hal yang runtuh/gagal dan membingungkan (ideologi,
masyarakat, kebiasaan). Dalam visual kei, perlu dilihat lebih dalam apa yang
membuat visual kei berbeda, apa yang melatar belakangi kemunculan dari visual kei
movement, nilai-nilai apa yang diambil dan diciptakan menjadi sesuatu yang menjadi
identitas visual kei.
Global mélange, atau percampuran global. Dalam hibridisasi, global mélange
terbentuk dari adanya hibridisasi. Sebuah fenomena dikatakan sebagai global
mélange apabila sebuah budaya tertentu berpindah dari tempat asalnya dan menyebar
ke tempat lain. Salah satu quote dari Fischer, (1992) menyebutkan bahwa “we are all
becoming little oriental”. Nilai-nilai Asia yang berkembang di berbagai belahan
dunia merujuk kepada global mélange. Visual kei disisi lain, telah menjadi sebuah
fenomena yang merepresentasikan global mélange melalui persebarannya di Asia,
Amerika dan Eropa.Visual kei pada masa kemunculannya, (citra Yoshiki/pemikiran
Yoshiki) Yoshiki merupakan seorang pelopor gerakan visual kei di Jepang, dianggap
sebagai ekspresi dari perasaan mereka dari keterasingan diantara masyarakat
menengah diantara mereka.
Identitas yang terdapat dalam visual kei tergabung antara nilai-nilai barat
(glam rock) dan nilai asli yang dimiliki oleh Jepang sendiri. Adapun nilai-nilai asli
15

jepang yang termasuk didalam visual kei diantaranya adalah budaya “kawaii”
(Madge, 1997: 167), nilai-nilai keindahan yang terdapat dalam manga dan anime
(kebanyakan yang diambil adalah shoujo manga, shounen dan yaoi manga). Kabuki
banyak mencerminkan keindahan yang terdapat dalam yaoi manga.
Dalam budaya Jepang, khususnya dalam manga shoujo dan yaoi banyak
disebutkan tentang bishounen, yang dalam budaya Jepang berarti lelaki cantik
(Monteiro, 2011: 7). Nilai-nilai yang diadaptasi dari budaya Jepang pada masa Heian,
dimana pada saat itu „lelaki cantik‟ menjadi sebuah kebanggaan.
Hal lain yang membedakan antara glam rock dan visual kei adalah jika visual
kei mengadaptasi dari style make up yang dikenakan oleh musisi glam rock, visual
kei tidak hanya menggunakan make up saja, tetapi juga mengadaptasi dari unsur
kabuki, seperti peran wanita yang diperankan oleh laki-laki, serta crossdressing.
Jika glam rock menciptakan visual yang menarik perhatian dengan
memberikan gaya musik dan identitas merekadengan mengambil nilai-nilai
pertunjukan teater, visual kei tidak hanya menciptakan sebuah penampilan visual
tetapi visual kei ingin mengidentifikasikan sebuah keindahan yang bertentangan
dengan batasan-batasan yang ada. Bagi musisi visual kei, istilah visual kei sendiri
merujuk kepada sebuah „kebebasan‟. Bagi negara seperti Jepang yang sangat terjerat
dalam berbagai standar (norma) dan keseragaman.

16

Miyavi dalam salah satu lagunya mengatakan tentang “Japan pride”:
“We are Japanese, from anywhere you look at us we are the chimpanzees with a
Far-East accent. Slit-eyed and flat-nosed? Our pride is so high while our noses are so
low. We do not have topknots or katanas but we will go through and show off our Neo
Bushido. From the start we've been doing a first-class hara-kiri so do not put us down and
call us yellow”. (http://www.jpopasia.com/lyrics/14432/miyavi/jpn-pride.html)

Musisi visual kei Miyavi mengatakan bahwa pentingnya bagi seorang musisi
seperti dirinya untuk membagi apa yang disebutkan sebagai “Japan spirit”. Secara
tidak langsung, bagi para penggemarnya, Miyavi memberikan pengetahuan tentang
bagaimana kebanggaan mereka menjadi Bangsa Jepang. Miyavi yang dalam hal ini
sangat kental dengan unsur Kabuki dan rock, menunjukkan bahwa menjadi seorazng
„Japanese‟ dengan lagu yang berbahasa Jepang pun dapat diakui oleh masyarakat lain
di negara lain pula.
Global mélange yang terbentuk dari sebuah hibridasi akan mengarah kepada
sebuah evolusi, penyebaran dan ekspresi dalam sebuah budaya. X Japan, Yoshiki
menciptakan sebuah slogan yang kemudian diikuti oleh musisi-musisi visual kei
sampai pada saat ini. Slogan itu adalah “Crame of Visual Shock”.

Gambar 5.1 “Crame of Visual Shock” Slogan dari Band X Japan dalam cover
album Blue Blood
17

Dalam sebuah hibridisasi, Pieterse menyebutkan jika sebuah hibridisasi akan
menuju kepada sebuah pengakuan dari sebuah gabungan identitas. Cut and mix
merupakan kondisi dimana sebuah budaya tertentu diambil dan dicampurkan.
Penjelasan yang lebih dalam adalah mencampurkan fenomena yang mempunyai
perbedaan, terpisah dan mempunyai proses pengkatagorian.
Pengkategorian yang terjadi adalah tentang percampuran dan pengurangan
elemen-elemen yang dianggap cocok di dalam budaya popular visual kei. Visual kei
muncul dengan mematahkan apa yang menjadi mainstream pada saat itu dan
mengalami kesuksesan. Mereka memiliki jenis simfoni mereka sendiri yaitu speed
metal, punk, heavy metal, rock, maupun j-rock yang menjadi ciri dari musik rock
Jepang dengan suara yang progresif diantara industry-industri Jepang dan juga
disukung dengan gaya penampilan mereka sendiri.

Gambar 5.2 Jenis Visual Kei
18

Gambar diatar menunjukkan tentang citra-citra yang ditunjukkan oleh musisi
visual kei. Dalam citra tersebut dapat dilihat tentang bagaimana dua identitas dapat
terlihat. pertama adalah kesan Barat yang dicampurkan dengan gaya fashion Jepang
serta gaya andogini yang menjadi ikon dari glam rock dan Kabuki dapat dilihat dalam
yang dapat dilihat dari Kote kei. Selanjutnya budaya „kawaii‟ dari imajinasi wanitawanita muda Jepang yang terlihat dalam Osare kei.
John Rockwell mengemukakan bahwa bisnis dalam musik akan lebih
menguntungkan bila dibandingkan dengan bisnis film. (Pieterse, 2009:62) Hal ini
memungkinkan visual kei untuk lebih cepat menjadi popular dan merambah beberapa
negara. Frederick Schoat, sejarawan manga Jepang, mencatat, "banyak orang dengan
budaya pop Jepang memiliki sesuatu yang „segar‟, dan karena itu dapat dirasakan
sebagai alternatif asli (AS) tradisi budaya pop. Dan dalam beberapa kasus, seperti
komik dan animasi dan bahkan musik, kita dapat merasa cukup kaku pada saat
ini(Pfeifle, 2011-2012: 83).
Dalam cut and mix, visual kei mengambil sisi „visual‟ dari glam rock yang
kemudian digabungkan dengan apa yang menjadi karakter utama dalam visual kei
yaitu „fantastic imaginay world‟ yang dimana para fans visual kei menjadikannya
sebagai pelarian mereka dari kehidupan sehari-hari mereka (Seibt, 2013: 249).
Dalam pembentukan dan perwujudan dari imajinasi yang duibayangkan oleh
para fans, hal pertama dan yang penting dalam visual kei adalah „the voice‟. Suara

19

yang dikeluarkan oleh penyanyi dalam musisi visual kei merupakan sebuah kunci
dalam music populer Jepang.
Crisscross-ing merupakan sebuah pola dalam hibridasi budaya yang dimana
pola tersebut melintasi satu dengan yang lainnya dalam arah yang berbeda. Dalam
kasus visual kei, visual kei berusaha melintasi batas-batas musik mainstream dengan
membuat pola yang unik atas dasar keorisinalitasan.
Visual kei adalah emulasi Jepang dari glam rock, dalam beberapa tahun
terakhir Amerika dan Eropa telah sampai pada gilirannya meniru Jepang mengambil
ciptaan mereka sendiri. Karena pertumbuhan visual kei luar negeri, penggemar telah
melihat peningkatan dari band visual kei non-Jepang, beberapa di antaranya
sementara bernyanyi dengan menggunakan lirik dalam bahasa Jepang, tapi banyak
dari yang hanya meniru secara visual sambil bernyanyi dalam bahasa ibu mereka
sendiri(Pfeifle, 2011-2012: 76).
Ditinjau dari segi penampilan, karakteristik visual kei adalah penampilan yang
spektakuler, biasanya seperti gaya androgynous (tidak seperti perempuan tidak seperti
laki-laki), dimana kebanyakan dari band-band tersebut beranggotakan laki-laki yang
berpakaian penuh warna termasuk mewarnai rambutnya dengan warna-warna yang
tak biasa dan juga memakai makeup. Dengan gaya penampilan seperti itu tentu saja
mudah menarik perhatian, namun itulah tujuan utama visual kei. Sebenarnya make up
dramatis yang sering digunakan artis visual kei ini tidak berbeda dengan aliran
gothictahun 80-an di Eropa dan biasanya gaya visual kei ini dianut oleh kelompok
20

band yang masih dalam aliran indie. Semakin sebuah band itu terkenal biasanya
mereka akan meninggalkan gaya visual ini.
Pentingnya sebuah citra dalam visual kei terlihat dalam ketidakpastian gender
yang menjadi citra visual kei (Seibt, 2013: 251). Androgini figur dalam visual kei
memuat sebagaimana pentingnya keindahan penampilan dalam penampilan mereka
diatas panggung untuk mewujudkan apa yang menjadi imajinasi penggemar mereka.
Berbeda dengan penampilan luarnya, mereka bukanlah kaum homoseksual,
mereka berdandan demikian hanya untuk menarik perhatian fans. Namun kebanyakan
orang beranggapan bahwa band visual kei tidak mempunyai musik yang bagus karena
mereka lebih menonjolkan penampilan mereka. Hal ini mungkin benar bagi beberapa
band namun sebagian besar tidak seperti itu karena visual kei sendiri mempunyai
beberapa sub genre jadi masing-masing band memiliki jenis musik dan penampilan
yang berbeda-beda dengan kelebihannya masing-masing.
Nihonjinron, yang secara harfiah dapat diartikan sebagai 'teori Jepang‟, atau
„masyarakat Jepang', hal ini menggambarkan tentang penekanan pada keunikan dan
homogenitas masyarakat keturunan asli Jepang, budaya dan bahasa. Teori-teori ini
dapat diakui sebagai salah satu dari berbagai alasan mengapa identitas Jepang dan
nasionalisme Jepang dibangun(Sugimoto, 2003: 2-4).
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, Jepang mulai mengembangkan sifat dari
nihonjinron tersebut untuk kemudian mencari tentang apa yang menjadi keunikan
dari Jepang itu sendiri. Pencarian dari keunikan Jepang itu tersirat dalam budaya, seni
atau pun pada kebiasaan/hobi dalam setiap masyarakat Jepang. Nihonjinron telah
21

memberikan masyarakat Jepang sebuah instrument yang mana instrument tersebut
akan meredefinisikan mereka dalam menempatkan mereka di dunia global. (Larsen,
2009: 8)
Lirik dalam visual kei secara umum akan dinyanyikan dalam bahasa Jepang,
kecuali dalam beberapa kata akan disisipkan kata-kata bahasa Inggris/Bahasa lain
untuk menunjukan sebuah kesan modern/kebebasan. Musisi Barat dianggap akan
tetap berada dalam jalur yang mainstream (genre) seperti yang telah mereka bawa
sejak awal. Sedangkan yang terjadi di dalam perkembangan Jepang adalah Jepang
mengurangi adanya batasan pada tradisi/aliran yang terdapat dalam musik mereka.
Berlatar belakang dari keunikan yang dimiliki oleh sifat dasar Jepang, maka mereka
memungkinkan munculnya eksperimen-eksperimen yang baru yang lebih bebas dari
musik Barat yang lebih mainstream.
Tia Denora dalam Matsue (2009) menjelaskan bahwa musik dapat digunakan
sebagai pencitraan tentang sebuah identitas sebuagai perubahan yang terjadi di dunia.
Terbangunnya sebuah identitas menyangkut tentang proses penggambaran citra diri
sendiri kepada orang, serta disisi lain menggambarkan/memproyeksikan citra yang
ada kepada diri sendiri, yang mana akan melibatkan ingatan dari aktivitas sosial dan
budaya, mengulang kembali pengalaman yang terjadi dalam masa lalu(Matsue, 2009:
46). Hal yang paling penting dalam musik adalah kemampuannya dalam proses
pembangunan/pembuatan ingatan yang pada nantinya musik digunakan untuk
membangun atau merasakan akan daya paham akan sesuatu hal yang terjadi.

22

Dalam identitasnya, maka visual kei dapat dipahami sebagai sebuah scene
musikal yang merujuk pada aktivitas sosial budaya yang sedang terjadi pada saat itu,
identitas visual kei pada saat itu akan merujuk pada imajinasi invididu dalam
penggambaran dirinya dan secara aktif akan menggambarkan sebuah interaksi sosial.
Dalam budaya popular visual kei hibridisasi secara umum akan terwujud saat
budaya satu dengan yang lain bercampur dan menciptakan budaya baru. Secara tidak
langsung beberapa nilai-nilai yang terdapat dalam Barat dan Jepang telah muncul,
seperti fashion style, make up, gaya musik yang dalam hal ini merujuk pada musik
rock itu sendiri mengingat musik rock merupakan citra dari bentuk ekspresi Barat.
Ideologi yang diambil dalam musik rock kemudian disilangkan dengan apa yang
menjadi sifat dasar masyarakat Jepang.
Konseptualisasi kemudian dijelaskan seperti sebagai berikut:


Fashion style dan make up yang digunakan oleh musisi glam rock diserap
dalam pencitraan diri musisi visual kei. Dalam budaya Jepang itu sendiri
terdapat Kabuki dan Geisha (perempuan penghibur tradisional Jepang).
Percampuran ini mencampurkan nilai-nilai modern dan tradisional yang
dimiliki oleh kedua budaya.



Persilangan gaya musik merupakan hal yang penting dalam sebuah musikal
movement. Dalam budaya glam rock, musik yang disajikan dengan style
langsung dari musik rock, percampuran hanya terjadi antara rock dan metal.
Musik Jepang sangat bervariasi, seperti pada musik rock Jepang yang menjadi
akar visual kei, musik tradisional, enka (musik ballad Jepang), musik rakyat,
23

punk, metal, hip hop, pop dan RnB akan masuk kedalam gaya musik visual
kei. Visual kei tidak hanya memasukkan unsur rock kedalam gaya musiknya
tetapi juga musik-musik lain yang memberikan identitas musik Jepang seperti
yang telah diusung oleh musisi visual kei, Miyavi yaitu Kabuki rock.


Global mélange dan crossover merupakan indikator yang penting dalam
sebuah hibridisasi budaya. Global mélange akan memberikan penjelasan
tentang bagaimana sebuah hibridisasi budaya akan membentuk sebuah global
mélange.Global mélange atau dapat disebut juga sebagai percampuran global
ini menjelaskan tentang fenomena global visual kei. Visual kei menyebar ke
berbagai penjuru dunia melalui berbagai media dan membentuk sebuah
fanbase yang tersebar di berbagai benua.



Sebuah ideologi yang dikemukakan oleh musisi-musisi glam rock tentang
kebebasan menjadi dasar terbentuknya visual kei movement. Kebebasan ini
digunakan untuk memberikan pencitraan identitas Jepang sebagai bangsa
yang bebas dan unik. Keunikan yang menjadi sifat dasar bangsa Jepang
memberikan sebuah pengakuan yang otentik. Visual kei ini mencoba untuk
memberikan gambaran nyata tentang apa yang diimpikan oleh masyarakat
muda di Jepang khususnya imajinasi dari kaum wanita muda yang menjadi
penggemar-penggemar visual kei.



Lirik

yang

dibawa

oleh

musisi-musisi

glam

rock

akan

banyak

menggambarkan realita dan bergaya conceptual dan logis. Sedangkan musik
Jepang akan lebih bersifat spiritual. Hal ini membuat penggambaran lirik-lirik
24

dalam lagu-lagu visual kei menjadi penuh emosi dan terkadang menjadi
penggambaran fenomena pada saat itu.
Sebagai salah satu contoh penulisan lirik dalam visual kei akan digambarkan
dalam lirik lagu Taion (Body Temperature) yang dibawakan oleh musisi visual kei
„The Gazette‟ yang dimana lirik lagu ini berdasar pada kisah pembunuhan di Jepang
yaitu pembunuhan Junko Furuta. (http://www.animelyrics.com/jpop/gazette/taion.htm)
“A wintry sky and the broken streetlight cold
wind.
Unknown shadow the footprint of desertion.
Freedom was taken.
If it wakes up a gloomy ceiling.
A laughing voice sinks in the eardrum it is
soiled.
And violence rapes me.
An understanding is impossible.
Why was I chosen? Someone should
answer…
どうか酷い夢だと答えて欲しい
どれだけ叫び 悶え 苦しめばいい
どうか酷い夢だと教えて欲しい
千切れそうな声で何度も叫んだ
There is no hand of preparing of the
disordered hair.
A laughing voice sinks in the eardrum a faint
temperature is mixed in the midwinter.
声を殺して枯れそうな自分に言い聞かせ
ていた
生きることを見失わぬよう
声を殺して震えた夜は痛みに溺れていく
途切れそうな息を許して…

Freedom was taken.
If it wakes up a gloomy ceiling.
A laughing voice sinks in the eardrum it is
soiled.
And violence rapes me.
An understanding is impossible.
Why was I chosen? Someone should answer…
Please answer me it is a horrible dream.
How much should I shout, writhe and suffer?
Please tell me it is a horrible dream.
I shouted many times with losing voice
There is no hand of preparing of the
disordered hair.
A laughing voice sinks in the eardrum a faint
temperature is mixed in the midwinter.
I persuaded myself, who had a dying voice and
began writhing.
Not to lose for living.
I was drowned in the night when I feared and
had a dying voice.
Please forgive my dying breath.
Please answer me it is a horrible dream.
How much should I shout, writhe and suffer?
Please tell me it is a horrible dream.
I want to smile again at last.”

どうか酷い夢だと答えて欲しい
どれだけ叫び 悶え 苦しめばいい
どうか酷い夢だと教えて欲しい
最期にもう一度だけ笑ってみたい”
“A wintry sky and the broken streetlight cold
wind.
Unknown shadow the footprint of desertion.

25

Penggambaran lirik dalam lagu ini memberikan gambaran tentang bagaimana
Barat dan Jepang akan menjadi satu dan memberikan sebuah emosi yang baru dan
kesan yang unik percampuran kedua ide kedua budaya.

Kesimpulan
Budaya popular visual kei yang memiliki kekuatan dalam menarik perhatian
penggemar dari dalam dan luar negeri dan disukai oleh para fandom karena
mempunyai keunikan yang segar menjadi potensi besar untuk terbentuknya hibridasi
budaya. Budaya yang terus menerus berkembang dengan pola-pola tertentu
mendukung adanya ekspansi artis visual-kei ke luar negeri.
Dari penggunaan komponen berbau Jepang seperti lagu yang ditulis oleh
orang Jepang asli, lirik dalam bahasa Jepang, visual kei yang ditampilkan di luar
negeri tanpa harus melakukan perubahan untuk menyesuaikan dengan pasar Barat
melahirkan popularitas yang berkelanjutan. Pada keindahan konsep yang ditawarkan
oleh visual kei yang dipelopori oleh Jepang, sepertinya ada bagian yang selaras
dengan pola hibridasi budaya yaitu pada fuzziness and mélange, cut and mix, serta
crisscross dan crossover. Setelah ini, dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut,
penulis ingin melihat lebih dalam lagi mengenai kapasitas penerimaan visual kei di
negara Barat (Eropa & Amerika). Selanjutnya penulis juga akan melanjutkan
penelitian dengan menggunakan contoh kasus yang bervariasi untuk membuktikan
hubungan antar manusia dalam bisnis musik internasional.

26

Salah satu konsep dari hibridasi budaya yaitu fuzziness and mélange,
memberikan gambaran bahwasebuah budaya popular dapat terwujud menjadi sebuah
produk dari hibridasi budaya apabila budaya popular tersebut mempunyai pola yang
tidak teratur dan menjadi budaya global.
Sedangkan konsep cut amd mix menyaring hal-hal yang diperlukan dalam
sebuah budaya tertentu dan kemudian digabungkan dengan bentuk baru dalam
penerapan yang baru pula. Budaya popular dan musik adalah produk budaya yang
akan terus berkembang dalam kehidupan masyarakat, sehingga akan selalu terbentuk
sesuatu yang baru untuk dikaji.
Globalisasi yang mendorong adanya persebaran hal-hal secara meluas secara
otomatis mendorong budaya pula untuk menyebar luas sehingga budaya yang ada
tidak akan hanya berada dalam satu wilayah tertentu. Crisscross and crossover
hibridisasi membuka jalur terbentuknya budaya global, serta mempunyai dampak
positif dengan memberikan kesatuan ataupun kesetaraan dalam masyarakat dunia
masa kini.
Kajian ilmu Hubungan Internasional dengan media music dan budaya populer
dapat menjadi kajian yang menarik. Karena musikitu sendiri merupakan sebuah
benda tidak berwujud sebagaiprodukkreatifitasdan intelektual. Musik juga sebagai
salah satu produk budaya yang dapat merekam/menggambarkan peristiwa-peristiwa
penting yang telah dan sedang terjadi dalam masyarakat melalui lirik-lirik yang
mereka ciptakan.
27

DAFTAR PUSTAKA

Alexandre, Christophe. 2011. The New Japanese Music Industry : The East Reinvents
The West.
Ang, Ien. 2003. Together-in-difference: Beyond Diaspora, into Hybridity. University
of Sydney.
Bhaba, Homi. 1994. The Location of Culture. Routledge: London, New York.
Bennet, Andy. 2001. Culture of Popular Music. Open University Press: Buckingham.
Casey, Daniel. 2010. Identity Crisis: Cosplay as Cultural Hybridization. Tufts
University.
Chiu, Christine. 2005.“SMAP: A case-study of J-pop”.
Craig, J, Timoty. 2000. Japan Pop! Inside The World of Japanese Popular Culture.
New York. M.E. Sharpe, Inc.
Endeswara, Suwardi. 2006. Metode, teori, teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi,
Epistimologi, dan Aplikasi. Pustaka Widyatama. Yogyakarta.
Fausel, Donald. 2005. Globalization: Opportunities for Positive Social Change.
Baltimore.
Garvizu, Nicolas. 2012. Japan Soft Power: The Dissemination by The Japanese
Cultural Industry of Pop Culture to South Korea. The University of Sheffiela.
Hashimoto, Miyuki. 2007.Visual Kei Otaku Identity—An Intercultural Analysis.

28

Holton, Robert. 2000. Globalization‟s Cultural Consequences dalam Annals of the
American academy of Political and Social Science, Vol. 570, Dimensions of
Globalization, Pp. 140-152. Sage Publications, Inc.
Iida, Yumiko. 2005.“Beyond the „Feminisation‟ of Culture and Masculinity: The
Crisis of Masculinity and Possibilities of the „Feminine‟ in Contemporary
Japanese Youth Culture”.
Ishida, Yoko. 2010. “ FINNISH FANDOM OF JAPANESE POPULAR CULTURE ”
~What are the Finns doing for anime, manga,and J-rock?~. University of
Jyväskylä.
Iwabuchi, Koichi. 2002. Taking popular cultural connections seriously: Issues in the
study of regional cultural flows in South/East Asia.
Junko, Kitagawa, 2006. Some Aspects of Japanese Popular Music. JSTOR.
Kalotra,

Gautam.

2012.

CULTURAL

AND

SPIRITUAL

ASPECTS

OF

GLOBALIZATION: A PHILOSOPHICAL ANALYSIS. Panjab University:
Chandigarh.
Kato, Ayako. 2007. Research on the overseas activities of Japanese artists: Case
study of Japanese visual kei artists.
Kerkman, Heleen. 2007. The global redistribution of culture. University of
Technology, Sydney.

29

Khondker, Habibul. 2004. Glocalization as Globalization: Evolution of a
Sociological Concept. Bangladesh e-Journal of Sociology.
Kinoshita, Yumi. 2003. Politics of Hybridity: The American Neo-Imperialism in
Japan.
Kolesova, Elena, Wilson, Scott. 2012. Cool New Asia. Unitec ePress
Kraidi, M, Marwan. 2005. Hybridity or The Cultural Logic of Globalization. Temple
University.
Kwok-Bun, Chan, Peverelli, Peter J. 2010. Cultural Hybridization: A Third Way
Between Divergence and Convergence. World Futures.
Lam,Peng Er. 2007. Japan‟s Quest for “Soft Power”: Attraction and Limitation.
Published online: 27 October 2007 # Springer Science + Business Media B.V.
Lau, Frederick, Utz, Christian. 2013. Vocal Music and Contemporary Identities:
Unlimited Voices in East Asia and The West. Routledge. New York
Lenjg, Stuart. 2010. The Tale of Glam Rock. ABC-CLIO, LLC. California.
Lent, A, John, Fitzsimmons, Lorna. 2013. Asian Popular Culture in Transition.
Routledge. New York.
Lie. John. 2001. Multi-Ethnic Japan. President and Fellows of Harvard Collage. US
Machin, David. 2010. Analysing Music, Image, Sound Text. Sage Publication.
London
Matthes, Daniel. 2010. Culture, Globalization and International Relations. Ecole De
Management, Strasbourg, France.
30

Mitsui, Toru. 1998. Popular Music: Intercultural Interpretation.
Pfeifle, Megan. 2011-2012. Exposing The Underground: The Japanese Subculture of
Visual Kei.
Pieterse, Nederveen, Jan. 2009. Globalization and Culture Global Mélange. United
States of America: Rowman & Littlefield Publishers.
Snyder, Rachel. 2010. The Androgyne Patriarcy in Japan Contemporary Issues in
Japanese Gender. The University of Texas.
Stevens, S, Carolyne. 2008. Japanese Populer Music: Culture, Authenticity, and
Power. Routledge. New York.
Strinati, Dominic. 2003. Popular Culture : Pengantar Menuju Budaya Populer.
Jogjakarta : PT. Bentang Pustaka.
Sugimoto, Yoshio. 2010. An Introduce to Japanese Society. New York: Cambrige
University Press
Tokita, Alison, Hughes, David. 2007. Context and change in Japanese music.
Asfgate Researh Companion.
Tomoji, Taekuchi. 2009. POP MUSIC AND NATION Can Pop Music Be a Soft
Power of Nation?.
Vesajoki, Funlayo. 2002. The Effects of Globalization on Culture.
Yasumoto, Seiko. 2011. Impact on Soft Power of Cultural Mobility: Japan to East
Asia.
31

Web:
Globalizing Visual Kei. http://www.jame-world.com/us/themes-884-globalizingvisual-kei-a-web-series.html. Diakses tanggal 16 Juni 2013.
PS COMPANY. http://www.pscompany.co.jp/. Diakses tanggal 16 Juni 2013.
X-Japan. http://xjapan-id.forumotion.com. Diakses tanggal 14 November 2012.
http://www.spirit-of-metal.com/liste_groupe-style-Visual_Kei-l-en.html. Diakses
tanggal 14 Desember 2013
http://ajw.asahi.com/article/cool_japan/AJ201112140001a. Diakses tanggal 14
Desember 2013.

32