Perkembangan Hukum di Indonesia Pasca Re

Nama

: Reza Rafiansa

NIM

: 4115140783

Kelas

: PPKN B 2014

Matakuliah

:Politik Hukum & Konstitusi

.,
BAB 10
Perkembangan Hukum di Indonesia Pasca Revolusi Fisik Pada Zaman
Pemerintahan Soekarno (1950-1966)
Dengan berakhirnya riwayat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 17 Agustus

19450, sebuah Negara baru berbentuk Republik Kesatuan dan juga disebut Republik
Indonesia seperti yang diprolamasikan pada tanggal 17 agustus 1945 lahir
menggantikannya. UUD RIS hanya berfungsi tak lebih dari 8 bulan dan kemudian
digantikan oleh undang undang dasar sementara Republik Indonesia (yang
diumumkan pada tanggal 15 Agustus 1950). Undang undang Dasar Sementara ini
(UUDS) menganut asas tetap pemberlakuannya, semua peraturan perundang
undangan dan ketentuan ketentuan tata usaha yang sudah ada sebelumnya.
Adanya pasal 142 UUDS ini yang menyatakan bahwa “peraturan peraturan
perundang undangan dan ketentuan ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal
17 agustusa 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan peraturan
dan ketentuan ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang undang
dan ketentuan ketentuan tata usaha atas kuasa undang undang Dasar (yang baru ini),
maka dengan demikian menimbulkan kevakuman hukum yang mungkin akan
mengundang suasana ketidak pastian dan persaingan politik (antara kelompok
nasionalis pendukung hukum adat dan kelompok muslim pendukung hukum islam.
Dengan adanya sistem hukum yang baru akan dapat dicegah atau setidaknya ditunda.

Sebelumnya pada UUD RIS dalam pasal 24 menyatakan pada ayat kedua
bahwa “perbedaan dalam kebutuhan masyarakat dan kebutuhan hukum golongan
rakyat akan diperhatikan”. Ayat dalam pasal ini yang tidak terdapat pada UUD 1945

seolah olah menegaskan kembali kebijakan lama yang dianut samasa pemerintahan
kolonial.

Pada masa ini tugas tugas yang dibebankan oleh ketentuan ketentuan

konstitusional guna membangun Hukum nasional itu sungguh bukan tugas yang
ringan. Dilema yang terjadi pada pilihan antara realisme pluralisme yang sebagai
kebijakan sebenarnya sudah dominan sejak zaman kolonial dan cita cita unifikasi
(yang merefleksikan semangat kesatuan dan persatuan dalam perjuangan revolusi
Indonesia) tidak mudah diatasi demikian saja. Pilihan yang harus dibuat pun tidak
bisa didasarkan pada pertimbangan pertimbangan yang bersifat sosial yuridis semata,
akan tetapi bisa diduga akan melebar ke pertimbangan pertimbangan serius yang
sifatnya politik ideologik.
Perkembangan yang terjadi dalam periode ini dapat dibedakan menjadi 2 periode,
pertana subperiode 1950-1959 yang berlangsung dibawah arahan Undang Undang
Dasar Sementara (UUDS) lalu yang kedua yaitu subperiode 1959-1966

1. Pembangunan Hukum pada subperiode 1950-1959
Pada subperiode ini masalah yang terjadi pada pluralisme masyarakat yang
terefkleksi dalam wujud prulasime aliran politik serta pluralisme paham dan

pandangan di dalam parlemen Indonesia dari masa itu yang telah menyebabkan
parlemen tidak dapat bekerja secara efektif untuk menyelesaikan tugas tugasnya
dalam membuat undang undang. Undang undang pada saat ini pun mengombang
ambingkan orang antara interpretasi untuk meneruskan pluralisme ataukan
berinterpretasi ke unifikasi hukum.
Pilihan yang selanjutnya apakan Indonesia ingin menerapkan model Hukum
Common law dengan judge-made-law nya yang menerapkan Hukum adat, ataukah
ingin menerapkan civil law dengan kodifikasi sebagaimana secara tradisi dikenal

dengan sistem Hukum Belanda. Para penanggung jawab pembangunan Hukum di
Indonesia pada tahun 1950-an memang merasa dihadapkan kepada permasalahan
rumit bagaimana menciptakan suatu sistem Hukum untuk suatu bangsa yang telah
bernegara, merdeka, dengan semangat yang besar Untuk mempertahankan kesatuan
dan persatuan.
Dalam perkembangan masa ini juga terjadi sejumlah pemikiran dan pendapat yang
menyeruak bahwa Hukum adat memang relevan untuk pembangunan bangsa, akan
tetapi hukum ini sebenarnya juga hanya relevan untuk menata kehidupan penduduk
pribumi di desa desa dan di kampung kampung untuk kehidupan Industri dan
perniagaan dipusat pusat perkotaan. Selain itu dalam masa ini juga adanya desakan
dari beberapa golongan yang ingin memperjuangkan hukum barat, hukum adat dan

hukum islam. Kelompok dari golongan golongan memperjuangkan agar salah satu
hukum yang mereka anut ini menjadi hukum nasional.
Fenomena diatas menunjukan dan memberikan hasil pada dasawarsa 19-an itu
barulah proses nasionalisasi organisasi organisassi pengadilannya saja, sedang
persosalan nasionalisasi dan unifikasi hukum materiil yang akan diterapkan oleh
badan pengadilan itu belum kunjung bisa diselesaikan. Olerhkarena itu pada periode
ini pada dasarnya untuk seluruh wilayah republik Indonesia akan terdiri dari tigas
susun, yaitu peradilan Negeri, pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, yang
masing masing dengan kekuasaan untuk mengadili pada tingkat pertama pada
peringkat banding dan pada tingkat kasasi.
Unifiakasi peradilan yang berlangsung lebih dahulu dari pada unifikasi Hukum
substantifnya dapat diduga kalau akan menyebabkan terjadinya pergeseran titik kisar
perkembangan politik Hukum nasional. Yaitu dari arena legislatif ke arena yudisial.
Selain itu pada masa ini para hakim tak mampu berbuat banyak untuk
mengadaptasikan hukum kolonial menjadi hukum nasional sehngga menyebabkan
terindoktrinisasi dalam lingkungan ajara civil law yang tak mengenal kemahiran
ataupun keberanian untuk membuat Hukum (melainkan hanya untuk menemukan

Hukum saja) sehingga pada masa ini tak mampu membuat terobosan untuk Hukum
Nasional.


2. Pembangunan Hukum pada Subperiode 1959-1966
Hampir Memasuki tahun 1959 tidak ada juga keputusan politik mengenai apa yang
harus dilakukan dan diselesaikan dengan suatu kepastian mengenai pengembangan
dan pembangunan Hukum nasional ini. Kodifikasi dikehendaki, unifikasi pun pada
akhirnya diharapkan, akan tetapi keraguan masih tetap besar apakah hukum asli
bangsa Indonesia, yaitu hukum adat, boleh diabaikan atau ditinggalkan. Inti
dilemanya pada hakikatnya sama saja dengan dilema yang dihadapi oleh para
pembuat kebijakan Hukum kolonial sejak satu setengah abad yang lalu. Kebijakan
untuk merealisasi unifikasi hukum kolonial secara berangsur rupanya harus
terduplikasi (ataukah lebih tepat untuk diteruskan). Permasalahan yang dialami
karena pengaruh kolonial sangat sulit sekali mentransformasikan hukum rakyat yang
lokal untuk kepentingan nasional.
Muncylnya konflik dengan belanda dalam perkara pengembalian irian barat
kepangkuan rebulik Indonesia menimbulkan desakan Indonesia untuk membebaskan
diri dari pengaruh Kolonial, dengan adanya kemandegan Hukum pada masa ini,
timbulnya suatu peristiwa politik yang menentukan yang terjadi ditahun 1959, yang
pada saat itu “Demokrasi Parlementer yang menjadi arahan UUDS 1950” digantikan
dengan apa yang disebut dengan “Demokrasi Terpimpin” pada tahun 1959 yang
dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan dikeluarkannya Dekrit presiden 1959 yang

menyatakan dalam keputusannya untuk kembali ke Undang Undang Dasar 1945.
Dalam suasana yang baru ini cenderung aktivitas politik yang seolah cauvanistik
bergelora dengan hebatya dan dengan keyakinan dogmatik yang sangat kuat bahwa

sesungguhnya “Revolusi Belum selesai”. Dalam suasana sosio politik seperti itu
timbulah penolakan terhadap segala hal yang berbau asing terasa demikan intensnya.
Dalam suasana seperti ini tekanan dan desakan untuk kembali kedalam
kepribadian bangsa untuk lebih memilih lembaga dan adat tata cara asli akan
memperoleh sokongan angin dari pada mendayagunakan Hukum asing untuk
kehidupan Nasional. Dorongan yang amat kuat meningkatkan transformasi Hukum
Kolonial kedalam wujud yang baru sebagai Hukum nasional yang lebih cocok dengan
kepribadian bangsa yang sedang melanjutkan revolusinya. Dalam periode ini juga
terjadinya perubahan simbol Hukum yang awalnya dari figur Dewi Yustisia yang
melambangkan keadilan ke pohon beringin yang melambangkan pengayoman dengan
bertujuan untuk memberikan pengayoman dan merencanakan untuk kembali ke
tradisi. Beberapa pengamat hukum menilai perubahan simbol Hukum di Indonesia
tidak semudah dengan mencanangkan makna simbol karna pada pelaksanaanya
tidaklah ditemukan perubahan sistem Hukum Indonesia yang mendasar.
Pada tahun 1961 pemerintah mengaktifkan kembali lembaga peminaan Hukum
Nasional dengan suasana demokrasi terpimpin, lembaga ini memperoleh fungsi dan

tgas yang didefinisikan untuk menjabarkan lebih lanjut asas asas pembaharuan
Hukum. Pada tahun pertama bekerjanya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah
menetapkan naskah kerja “mengenai pokok poko dan asas asas tertib Hukum
Nasional”. Dalam naskah tersebut menjelaskna Hukum Nasional akan berunsurkan
nilai nilai kegotong royongan dan akan berfungsi sebagai pengayom masyarakat.
Hukum nasional disifatkan seperti itu tidak hanya akan berwawasan luas dan luwes
akan tetapi juga secara tegas akan bersifat anti-kolonialisme, dan anti imperialisme
dan anti feodalisme. Sementara itu Lembaga Pembinaan Hukum Nasional juga
mencita citakan terwujudnya unifikasi dan kodifikasi dalam sistem Hukum Indonesia
dengan menggunakan kodfikasi asas asas hukum adat untuk menata kehidupan
pedesaan yang telah difungsikan untuk kepentingan kehidupan nasional dan
Internasional yang modern.

Kodifikasi dan unifikasi pembakuan menuju keseragaman dan kehendak
mendahulukan kepastian hukum menurut ajaran Hukum positif murni. Lembaga
Pembinaan Hukum yang dinilai oleh Soekarno sebagai lembaga yang cepat dalam
mengutarakan pernyataan niat akan tetap kurang tegas dalam mengayuhkan arah
langkah. Kecendrungan untuk mendahulukan stabilitas dan ketertiban yang penuh
kemapanan serta pula untuk terlalu mengukuhi kepastian Hukum dinilai tidak cocok
dengan cara berpikir revolusioner yang suatu cara berpikir dengan memberikan

keberanian kepada seseorang untuk membongkar tatanan lama yang sudah mapan
secara radikal untuk kemudian membangun suatu yang baru. Presiden mengkritik
cara cara berpikir yuridik dogmatik yang condong konservatif.
Analisis
Pasca Revolusi Fisik Pada Zaman Pemerintahan Soekarno (1950-1966) diawali
dengan perubahan Undang Undang yang sebelumnya UUD RIS digantikan dengan
UUDS (Undang Undang Dasar Sementara). Terbentuknya UUDS ini merupakan
salah satu cara yang digunakan dalam sebuah politik Hukum agar pada saat masa itu
tidak terjadi politisasi dibidang Hukum. Kemungkinan terjadinya politisasi dibidang
Hukum disebabkan sejak tidak digunakannya kembali UUD RIS pada saat itu
Indonesia mengalami kekosongan dibidang Hukum, maka sebelum dibentuknya
rancangan Undang Undang yang baru maka Indonesia menerapkan UUDS (Undang
Undang Dasar Sementara) yang dijadikan sebuah dasar Undang undang untuk
mengisi kekosongan Hukum pada saat itu meskipun dalam UUDS ini menganut asas
tetap pemberlakuannya, semua peraturan perundang undangan dan ketentuan
ketentuan tata usaha yang sudah ada sebelumnya.
UUDS merupakan produk Hukum yang digunakan untuk mencegah politisasi
dibidang hukum antara kelompok nasionalis pendukung hukum adat dan kelompok
muslim pendukung hukum islam. Dengan adanya sistem hukum yang baru akan dapat


dicegah atau setidaknya ditunda. Selain itu sistem Hukum pada saat ini masih belum
menemukan konsep yang sesuai dengan Indonesia, apakah Indonesia ingin
menerapkan sistem Hukum Kolonial dengan mengkodifikasinya atau menggunakan
Hukum adat pribumi yang kemudian di Unifikasi yang sebanarnya penentuan sistem
Hukum sangat mudah yang awalnya berorientasi yuridis tetapi dikarenakan oleh
politik dan ideologi maka terjadinya kesulitan dalam penentuan dibidang sistem
Hukum ini.
Perkembangan pada masa ini bagi atas dua periode, pertama subperiode tahun
1950-1959 yang menggunakan UUDS, dan yang kedua subperiode 1959-1966 yaitu
berlakunya kembali UUD 1945 namun menggunakan sistem demokrasi terpimpin.
Periode pertama 1950-1959 Indonesia mengalami banyak persoalan dibidang Hukum
yang nyata terlihat ketika politik mewarnai bidang Hukum terlihat nyata dalam
penentuan model Hukum, apakah Indonesia ingin menggunakan model Hukum
Common law dengan judge-made-law nya yang menerapkan Hukum adat, ataukah
ingin menerapkan civil law dengan kodifikasi sebagaimana secara tradisi dikenal
dengan sistem Hukum Belanda. Pengaruh yang kuat dari Belanda pada masa ini
masih sangat mendoktrin para penanggung jawab dibidang Hukum.
Selain itu Unifiakasi peradilan yang berlangsung lebih dahulu dari pada
unifikasi Hukum substantifnya dapat diduga kalau akan menyebabkan terjadinya
pergeseran titik kisar perkembangan politik Hukum nasional. Yaitu dari arena

legislatif ke arena yudisial. Selain itu pada masa ini para hakim tak mampu berbuat
banyak untuk mengadaptasikan hukum kolonial menjadi hukum nasional sehngga
menyebabkan terindoktrinisasi dalam lingkungan ajara civil law yang tak mengenal
kemahiran ataupun keberanian untuk membuat Hukum (melainkan hanya untuk
menemukan Hukum saja) sehingga pada masa ini tak mampu membuat terobosan
untuk Hukum Nasional.
Pada tahapan perkembangan selanjutnya pada fase tahun 1959-1966 semakin
menunjukan keraguan antara kodifikasi atau unifikasi yang akan diterapkan dalam
Hukum di Indonesia. akan tetapi keraguan masih tetap besar apakah hukum asli

bangsa Indonesia, yaitu hukum adat, boleh diabaikan atau ditinggalkan. Inti
dilemanya pada hakikatnya sama saja dengan dilema yang dihadapi oleh para
pembuat kebijakan Hukum kolonial sejak satu setengah abad yang lalu. Kebijakan
untuk merealisasi unifikasi hukum kolonial secara berangsur rupanya harus
terduplikasi (ataukah lebih tepat untuk diteruskan). Permasalahan yang dialami
karena pengaruh kolonial sangat sulit sekali mentransformasikan hukum rakyat yang
lokal untuk kepentingan nasional. Pengaruh kolonial yang menyeruak pada perebutan
irian barat membuat pemimpin Indonesia yaitu Presiden Soekarno membuat sebuah
produk Hukum dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959 yang isinya untuk
mengembalikan kembali Hukum di Indonesia ke UUD 1945. Langkah selanjutnya

presiden Soekarno membentuk Lembaga Pembinaan Hukum yang bertujuan untuk
mempercepat proses pembentukan Hukum di Indonesia, dengan semangat sistem
demokrasi terpimpinnya. Namun pada fase ini Indonesia terkesan Cauvanistik dan
anti asing dan langakah selanjutnya dengan pengubahan lambang yang awalnya
Hukum di Indonesia berlambang keadilan selanjutnya diganti dengan lambang
pengayoman, meskipun nyata tetapi secara pelaksanaan perubahan lambang pun tidak
mengubah sistem secara substantif.

Pertanyaan
1. Apakah dengan unifikasi peradilan terlebih dahulu sebelum unifikasi
Hukum akan memiliki pengaruh dari segi Hukum? Sebutkan beberapa
pengaruhnya!
2. Perdebatan yang tak berujung pada pembahasan ini tentang sistem Hukum
Indonesia, apakah Indonesia menggunakan common low atau civil low?
Berikan penjelasannya dan contohnya!
3. Proses Unifikasi Hukum Indonesia sangat begitu sulit, apakah dengan
menempuh kodifikasi merupakan sebuah solusi untuk memberikan
kepastian Hukum?
4. Bentuk revolusi Hukum pada kepemimpinan Soekarno yang menerapkan
demokrasi terpimpin seolah terkesan memaksakan proses pembentukan
Hukum yang cepat, apakah dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden
merupakan sebuah solusi ataukah merupakan sebuah masalah dari
perspektif Hukum?
5. Keberadaaan Lembaga Pembinaan Hukum setelah diberlakukannya
kembali UUD 1945 awalnya diharapkan dapat mempercepat proses
pembentukan Hukum di Indonesia, akibat pertentangan antara yudikatif
dan legislatif yang terpolitisasi lembaga ini menjadi mandul dalam
membentuk sistem Hukum, menurut kalian dalam penyusunan Undang
undang atau Hukum yang cepat, seharusnya seperti apa?