KONSTRUKSI IDENTITAS DIRI ANAK JALANAN S

KONSTRUKSI IDENTITAS DIRI ANAK JALANAN
(Studi Fenomenologi pada Anak Jalanan di Komunitas Jaringan
Kemanusiaan Jawa Timur)
Oleh : Wuri Anggarini
0811220150
Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
2013
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konstruksi identitas
diri anak jalanan yang tergabung di komunitas JKJT. Tinjauan pustaka dalam
penelitian ini meliputi teori tentang konsep diri, teori Identitas Diri, teori
Interaksionisme Simbolik, dan Symbolic Convergence Theory. Metode penelitian
yang digunakan adalah pendekatan fenomenologi dan teknik pengumpulan data
menggunakan wawancara mendalam. Informan penelitian adalah anggota
komunitas JKJT yang hingga penelitian berlangsung masih aktif mengikuti
kegiatan di JKJT. Hasil penelitian dapat diketahui bahwa proses konstruksi
identitas diri informan diawali dengan pembentukan konsep diri. Dari konsep diri
tersebut, informan dikategorikan menjadi dua, yaitu informan dengan konsep diri
negatif-positif, dan informan dengan konsep diri positif-positif. Dari kategorisasi

tersebut konsep diri tersebut, peneliti mengembangkan analisis mengenai identitas
diri yang dimiliki masing-masing informan. Konstruksi identitas diri informan
menghasilkan tipe informan dengan identitas yang berbeda antara satu sama lain.
Tipe-tipe tersebut antara lain informan dengan identitas religius, identitas
prinsipil, identitas kreatif, dan identitas normatif.
Kata kunci : anak jalanan, identitas diri, konsep diri, JKJT.
Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi

1

I.

Latar Belakang
Anak jalanan adalah salah satu fenomena yang sering kita lihat di kehidupan

sehari-hari dalam masyarakat. Secara umum, anak jalanan dianggap sebagai
sampah masyarakat, pengganggu ketertiban umum, kasar, kotor, tidak punya
sopan santun, bahkan tidak jarang pula dianggap sebagai anak nakal karena pola
hidup mereka yang cenderung tidak mengikuti aturan dan norma yang berlaku
pada masyarakat pada umumnya (Suyanto, 2010: 186).

Berdasarkan data milik Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT) Malang,
jumlah anak jalanan di kota Malang meningkat dua kali lipat pada akhir tahun
2012, yaitu sekitar 1200 orang. Pertambahan ini karena banyaknya anak jalanan
yang masuk dari kota lain ke Malang dan juga ditambah angka kelahiran dari
keluarga yang tinggal di jalan (Wawancara Peneliti, Februari 2013).
Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT) Malang adalah salah satu
lembaga pendampingan anak jalanan yang mampu memperlakukan anak jalanan
dengan cara yang berbeda. Berdasarkan hasil observasi peneliti, JKJT
menyediakan tempat tinggal menetap, bukan sekedar rumah singgah, untuk anak
jalanan yang bergabung menjadi anak bina di sana. Anak bina di JKJT mengikuti
aktivitas harian rutin di sana seperti pembinaan keterampilan, wirausaha, dan
kegiatan belajar umum. Tujuan dari pembinaan ini adalah agar anak jalanan yang
menjadi anak bina di JKJT dapat mandiri tanpa harus kembali ke kehidupan di
jalan.
Selain mengisi kegiatan harian anak binanya dengan berbagai aktivitas
pembinaan, JKJT menciptakan lingkungan sosial yang baru bagi anak binanya di
mana lingkungan sosial tersebut lebih kondusif dibandingkan lingkungan sosial
saat mereka masih menjalani kehidupan di jalan. Salah satunya adalah dengan
munculnya sapaan “Ayah” di JKJT yang ditujukan kepada Ketua JKJT sekaligus
pemilik rumah tempat tinggal anak bina JKJT. Berdasarkan wawancara peneliti

dengan beberapa anak bina JKJT, sapaan “Ayah” tersebut ternyata mampu
membuat anak-anak bina di JKJT merasakan memiliki keluarga kembali.
Berdasarkan hasil observasi, “Ayah” tidak hanya memiliki peran dalam
menjalankan organisasi dan mengatur anak-anak bina JKJT namun “Ayah”
Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi

2

ternyata memiliki peran lain yaitu membantu anak-anak bina JKJT dalam proses
mengubah pola pikir dan pembentukan karakter mereka. Perubahan pola pikir
tersebut dinilai penting untuk mengarahkan anak bina JKJT menjadi individu
yang lebih baik.
Anak-anak yang bergabung di JKJT merasakan budaya lingkungan di JKJT
lebih kondusif dibandingkan budaya lingkungan di jalan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan beberapa anak bina di JKJT, mereka merasa bukan lagi
sekadar dianggap sebagai anak jalanan namun sebagai anak-anak yang harus
mampu mandiri tanpa perlu merasa rendah diri dengan latar belakang mereka
selama di jalanan. Perubahan-perubahan positif pun secara perlahan muncul
dalam diri mereka, salah satunya adalah aspek konsep diri mereka.
Secara teoritis, konsep diri individu terbentuk melalui interaksi dengan

lingkungan sosial di sekitar mereka. Hal ini didukung oleh salah satu asumsi teori
Interaksionisme Simbolik yang menyatakan bahwa individu mengembangkan
konsep diri melalui interaksi dengan lain dan konsep diri memberikan motif yang
penting untuk perilaku (West dan Turner, 2008: 98).
Konsep diri dan identitas diri anak jalanan yang bergabung di JKJT menarik
untuk dibahas dalam kajian ilmu komunikasi menggunakan pendekatan
fenomenologi. Fenomenologi adalah suatu pendekatan yang digunakan manusia
melalui pengalaman langsung (Littlehohn, 2009: 57). Bagaimana anak jalanan
yang tergabung di JKJT mengkonstruksikan identitas diri dihasilkan dari esensi
berbagai pengalaman yang mereka miliki. Pemaknaan menjadi hal penting dalam
menghasilkan gambaran diri tersebut. Pemaknaan adalah salah satu aspek yang
dibahas dalam kajian ilmu komunikasi dan konsep ini dipahami dalam teori
Interaksionisme Simbolik yang menjelaskan bahwa manusia berinteraksi satu
sama lainnya sepanjang waktu, mereka berbagi pengertian untuk istilah-istilah dan
tindakan tertentu, dan memahami kejadian-kejadian dalam cara yang tertentu pula
(Littlejohn, 2009: 121).
Anak jalanan yang tergabung di JKJT mengalami serangkaian proses
dimulai dari proses menjalani kehidupan di jalan dan proses menjalani kehidupan
di JKJT di mana dari keseluruhan proses tersebut menghasilkan modifikasi
Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi


3

konsep diri dan konstruksi identitas diri mereka. Bagaimana proses yang terjadi
dalam diri mereka dan pemaknaan apa yang mereka miliki tentang gambaran diri
mereka menarik di bahas dalam penelitian ini. Lingkungan di jalan dan
lingkungan di JKJT adalah dua lingkungan sosial yang berbeda di mana interaksi
yang terjadi akan menghasilkan pemaknaan yang berbeda pula. Dan berdasarkan
latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Konstruksi Identitas Diri Anak Jalanan di Komunitas Jaringan Kemanusiaan
Jawa Timur (JKJT) Malang”.
II. Kajian Pustaka
a. Fenomenologi
Tradisi fenomenologi memberi penekanan kuat pada persepsi dan interpretasi
individu terhadap pengalaman mereka (Griffin, 2011: 45). Fenomenologi adalah
cara

yang

digunakan


manusia

untuk

melihat

pengalaman

langsung.

Fenomenologi membuat pengalaman nyata sebagai data pokok sebuah realitas
(Littlejohn dan Foss, 2009: 57). Van Kaam merumuskan fenomenologi sebagai
metode dalam psikologi yang berusaha untuk menyingkapkan dan menjelaskan
gejala-gejala tingkah laku sebagaimana gejala-gejala tingkah laku tersebut
mengungkapkan dirinya secara langsung dalam bentuk pengalaman (Sobur, 2013:
16).
Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada pemaknaan anak jalanan yang
tergabung di JKJT tentang konsep diri dan identitas dirinya. Pemaknaan terhadap
pengalaman individu adalah fokus dari penelitian fenomenologi sehingga dalam

penelitian ini, peneliti menggunakan fenomenologi sebagai metode untuk melihat
bagaimana informan memaknai konsep diri dan identitas diri mereka berdasarkan
pengalaman sadar mereka.

b. Konsep Diri
Konsep diri adalah kumpulan keyakinan dan persepsi diri terhadap diri
sendiri yang terorganisir. Konsep diri bertindak sebagai skema dasar yang

Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi

4

memberikan sebuah kerangka berpikir bagi kita untuk menentukan bagaimana
kita mengolah informasi tentang diri kita sendiri, termasuk motivasi keadaan
emosional, evaluasi, dan hal lainnya (Baron dan Byrne, 2004: 165). Devito
(2007: 56) mengungkapkan bahwa konsep diri seseorang terbentuk dari empat
sumber utama yaitu pandangan orang lain terhadap diri seseorang, perbandingan
sosial individu terhadap orang-orang di sekitarnya, ajaran budaya, dan evaluasi
dan interpretasi diri.
Konsep diri merupakan salah satu tema yang dibahas di dalam teori

interaksionisme simbolik. LaRossa dan Rietzes (West dan Turner, 2008: 98)
menyebutkan bahwa teori ini memiliki tujuh asumsi antara lain sebagai berikut:
a. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang
diberikan orang lain terhadap mereka.
b. Makna diciptakan dalam proses interaksi antarmanusia.
c. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.
d. Individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.
e. Konsep diri memberikan motif yang penting untuk perilaku.
f. Orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses sosial dan budaya.
g. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Mead yang dikenal sebagai pencetus teori ini mengungkapkan tiga konsep
penting dari teori Interaksioniosme Simbolik (West dan Turner, 2008: 104) yaitu
mind, self, dan society. Mead mendefinisikan pikiran (mind) sebagai kemampuan
untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dan Mead
percaya bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan
orang lain. Menurut Mead, diri (self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri
kita sendiri dari perspektif orang lain. Baginya, diri dapat berkembang melalui
sebuah jenis pengambilan peran yang khusus, yang berarti membayangkan
bagaimana orang lain melihat diri kita (West dan Turner,2008: 106). Diri
berhubungan secara dialektis dengan pikiran. Artinya, di satu pihak Mead

menyatakan bahwa tubuh bukanlah diri dan baru akan menjadi diri bila pikiran
telah berkembang. (Rietzer, 2007: 57). Mead menyebut masyarakat (society)
sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia (West dan Turner,
Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi

5

2008: 107). Masyarakat terdiri atas individu-individu yang memengaruhi pikiran
dan diri.
Rakhmat (2005: 100) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi konsep
diri seseorang antara lain orang lain dan kelompok rujukan. Tidak semua orang
lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri kita. Ada yang paling
berpengaruh, yaitu orang-orang yang paling dekat dengan diri kita. George
Herbert Mead menyebutnya sebagai significant others, orang lain yang sangat
penting. Ketika kita masih kecil, orang-orang tersebut adalah orang tua, saudara,
dan orang-orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Kemudian significant
others berkembang meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran,
dan perasaan kita. Pandangan diri kita terhadap keseluruhan pandangan orang lain
terhadap kita disebut generalized others. Memandang diri kita seperti orang-orang
lain memandangnya, berarti mencoba menempatkan diri kita sebagai orang lain.

Kita pasti menjadi anggota berbagai kelompok dalam masyarakat. Kelompok
tersebut memiliki norma tertentu. Ada kelompok yang secara emosional mengikat
kita dan mempengaruhi konsep diri kita. Dengan berpedoman pada kelompok ini,
individu mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri
kelompoknya.
c. Identitas Diri
Menurut Hecht (Littlejohn dan Foss, 2009: 130), dimensi diri dan dimensi
yang diharapkan dari identitas berinteraksi dalam rangkaian empat tingkatan atau
lapisan, antara lain sebagai berikut:
1. Tingkatan personal layer : tingkatan ini terdiri dari rasa akan keberadaan diri
kita dalam situasi sosial, misalnya ketika bermain dengan teman,
mendapatkan nilai di kelas, atau bepergian bersama keluarga.
2. Tingkatan enactment layer : pengetahuan orang lain tentang diri kita
berdasarkan pada apa yang kita lakukan, apa yang kita miliki, dan bagaimana
kita bertindak. Penampilan kita adalah simbol-simbol aspek yang lebih
mendalam tentang identitas kita serta orang lain akan mendefinisikan dan
memahami kita melalui penampilan tersebut.
Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi

6


3. Tingkatan relational : tingkatan ini menyangkut siapa diri kita dalam
kaitannya dengan individu lain. Identitas dibentuk dalam interaksi kita
dengan mereka.
4. Tingkatan communal : identitas ini terikat pada kelompok atau budaya yang
lebih besar. Tingkat identitas ini sangat kuat pada banyak budaya Asia,
misalnya ketika identitas dibentuk oleh komunitas yang lebih besar daripada
oleh perbedaan individu di antara manusia dalam komunikasi.
Dalam tingkatan identitas kelompok, individu dan kelompok saling berbagi
cerita dan mereka mengkonstruksikan realita berdasarkan cerita-cerita yang
diyakini ada. Hal ini sesuai dengan pandangan teori Pemusatan Simbol (Symbolic
Convergence Theory) yang menyatakan bahwa gambaran individu tentang
realitas dituntun oleh cerita-cerita yang menggambarkan bagaimana segala
sesuatu diyakini ada (Littlejohn dan Foss, 2009: 236). Ada beberapa konsep
dalam teori ini yang dikemukakan Bormann (Griffin, 2011: 246) antara lain:
1. Dramatizing message. Dramatisasi pesan adalah salah satu dari isi bahasa
imajinatif seperti permainan kata-kata atau metafora, analogi, anekdot,
kiasan, atau ekspresi kreatif lainnya.
2. Fantasy chain reaction: Unpredictable symbolic explosion. Fantasi di sini
maksudnya adalah antusiasme yang mencakup seluruh anggota kelompok.
3. Fantasy themes: Content, motives, Cue, Types. Secara teknis, Bormann
mendefinisikan fantasi sebagai interpretasi kejadian secara kreatif dan
imajinatif yang memenuhi kebutuhan psikologis dan retoris kelompok.
Tema fantasi terindeks dalam suatu symbolic cue. Symbolic cue adalah
kesepakatan bersama antara trigger atau pemicu yang men-setting anggota
kelompok untuk memberi respon ketika pertama kali mereka berbagi
fantasi. Makna yang diberikan untuk tema fantasi berbeda-beda.
4. Symbolic convergence: Group consciousness and often cohesiveness.
Symbolic convergence adalah dua atau lebih dunia simbol privat dalam
kelompok, datang dengan lebih dekat secara bersama-sama, bahkan saling
tumpang tindih, anggota kelompok akan membangun kesadaran kelompok
yang memunculkan kohesivitas kelompok.
Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi

7

5. Rhetorical Vision: A composite drama shared by a rhetorical community.
Rhetorical vision adalah sebuah gabungan drama yang merujuk pada
sekelompok besar manusia menuju sebuah realitas simbolik umum.

III. Kerangka Pemikiran
Informan
Kehidupan di Jalan
Konsep Diri
Interaksionisme
Simbolik

Identitas Diri
Jaringan
Kemanusiaan Jawa
Timur (JKJT)
Konstruksi Identitas Diri Anak Jalanan
setelah bergabung di JKJT

Fenomenologi

Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Keterangan Gambar :
: menunjukkan hubungan langsung antara konsep yang diteliti.
: menunjukkan proses menjalani suatu pengalaman.
: menunjukkan proses dari suatu fenomena.
Keterangan :
Informan dalam penelitian ini adalah anak jalanan yang tergabung dalam
komunitas Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT). Informan menjalani

Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi

8

serangkaian pengalaman di mana mereka pernah menjalani kehidupan di jalan dan
kehidupan di JKJT. Berdasarkan asumsi teori Interaksionisme Simbolik, individu
mengembangkan konsep dirinya berdasarkan interaksi dengan lingkungan
sosialnya. Untuk menggali konsep diri dan identitas diri tersebut, peneliti
menggunakan teori Interaksionisme Simbolik untuk membantu menggabungkan
temuan-temuan lapangan terkait proses konstruksi identitas diri pada anak jalanan.
Ketika informan menjalani proses kehidupan di JKJT, JKJT memiliki lingkungan
budaya yang lebih kondusif dibandingkan lingkungan di jalan. Dari serangkaian
pengalaman menjalani kehidupan di jalan dan di JKJT itulah informan kemudian
terjadi proses konstruksi identitas diri mereka. Proses inilah yang diteliti oleh
peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi, di mana dengan pendekatan ini
peneliti mengupas proses konstruksi identitas diri anak jalanan yang tergabung di
JKJT berdasarkan pemaknaan yang dihasilkan oleh masing-masing informan.
IV. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang
fenomena konstruksi identitas diri anak jalanan yang tergabung dalam Jaringan
Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT). Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Subyek penelitian ini adalah anakanak jalanan yang tergabung di komunitas Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur
(JKJT) Malang.
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis Van Kaam
yang telah dimodifikasi oleh Moustakas (1994: 120) :
a. Listing and Preliminary Grouping.
Membuat daftar setiap pernyataan yang relevan dengan hal yang diteliti.
b. Reduction and Elimination.
Menguji data dengan mengajukan pertanyaan berikut pada data yang telah
diperoleh :

Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi

9

1. Apakah data mengandung aspek penting untuk memahami proses
konstruksi identitas diri yang terjadi pada anak jalanan yang bergabung
di JKJT?
2. Apakah data itu mungkin untuk dibuat abstraksinya dan diberi label
khusus?
3. Apabila data “tidak dapat” menjawab pertanyaan tadi, atau data
tumpang tindih dengan data yang lain, atau terjadi pengulangan data,
maka data tersebut harus dieliminasi.
c. Clustering and Thematizing the Invariant Constitutes (Thematic Potrayal).
Langkah selanjutnya adalah mengelompokkan dan memberi tema setiap
kelompok data yang tersisa dari proses eliminasi. Setiap kelompok data yang
diperoleh akan menggambarkan tema-tema inti dari penelitian mengenai
konstruksi identitas anak jalanan yang bergabung di JKJT.
d. Final Identification of the Invariant Constitutes and Themes by Application:
Validation.
Memeriksa tema yang dilekatkan pernyataan dari setiap informan. Misalnya
dengan menghubungkan pertanyaan berikut:
1. Apakah data secara eksplisit menunjukkan bagaimana proses konstruksi
identitas diri yang terjadi pada anak jalanan yang tergabung dengan
JKJT?
2. Bila sesuai, apakah data cocok dengan permasalahan penelitian dan tema
yang dilekatkan kepadanya?
e. Individual Textural Description.
Mengkonstruksi deskripsi struktural masing-masing informan, termasuk
pernyataan-pernyataan verbal informan, yang berguna bagi penelitian
selanjutnya.
f. Individual Structural Description.
Membuat deskripsi struktural, yaitu penggabungan deskripsi tekstural dengan
variasi imajinasi.
g. Textural – Structural Description

Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi

10

Membentuk sebuah deskripsi tekstural-struktural tiap informan tentang
makna dan esensi dari pengalaman tersebut.
V. Pembahasan
Konsep diri menurut Devito (2007: 56) terbentuk dari empat sumber utama
yaitu pandangan orang lain terhadap diri seseorang, perbandingan sosial individu
terhadap orang-orang di sekitarnya, ajaran budaya, dan evaluasi dan interpretasi
diri. Konsep diri yang dimiliki keempat informan ini tidak serta merta muncul,
tetapi dipengaruhi oleh proses sosial yang terjadi di lingkungan sekitar mereka.
Hal ini didukung asumsi teori Interaksionisme Simbolik (West dan Turner, 2008:
98) yang mengatakan bahwa individu mengembangkan konsep diri melalui
interaksi dengan orang lain dan konsep diri memberikan motif yang penting
untuk perilaku.
Keempat informan dalam penelitian ini mempersepsikan dirinya dengan
berbeda-beda antara satu sama lainnya. Uki mempersepsikan dirinya sebagai
sosok yang mau berusaha, belajar, dan tidak gengsi melakukan pekerjaan apa pun
selama pekerjaan itu halal. Berbeda dengan Willy yang mempersepsikan dirinya
sebagai sosok yang pemalu, minder, ragu-ragu dalam mengambil keputusan dan
kurang percaya diri jika berhubungan secara personal dengan orang-orang yang
baru dikenal. Sementara itu Tian memiliki persepsi tentang dirinya sendiri
sebagai sosok yang mandiri, keras, tegas, bertanggung jawab, dan pekerja keras.
Nando sendiri mempersepsikan dirinya sebagai sosok yang dulu pernah
menggunakan narkoba, merasa tidak nyaman dengan masa lalunya karena sering
mendapat penilaian negatif dari orang-orang sekitarnya, lebih suka menyendiri,
tidak banyak bicara, disiplin, dan mau belajar hal-hal yang tidak dikuasai
sebelumnya.
Dari analisis konsep diri informan, peneliti mengkonstruk sebuah
kategorisasi konsep diri yang dimiliki informan yaitu informan dengan konsep
diri negatif-positif dan informan dengan konsep diri positif-positif. Informan
dengan konsep diri negatif-positif adalah informan yang memiliki hambatan
dalam perkembangan awal konsep diri mereka karena peran significant others
Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi

11

yang kurang dalam proses pembentukan awal tersebut. Selama mereka menjalani
kehidupan di JKJT, mereka menjadikan “Ayah” sebagai significant others dan
mereka masih dalam proses modifikasi konsep diri ke arah yang lebih positif.
Sementara informan dengan konsep diri positif-positif, mereka mengalami
perkembangan awal konsep diri yang cukup baik karena dibantu oleh peran
significant others. Ketika menjalani kehidupan di JKJT, “Ayah” menjadi
significant others yang semakin memantapkan konsep diri positif yang dimiliki
informan.
Dari hasil kategorisasi konsep diri informan, peneliti mengembangkan
analisis mengenai identitas informan berdasarkan analisis tingkatan identitas
yang dimiliki informan. Dari analisis tersebut, terdapat empat tipe identitas yang
dimiliki masing-masing informan antara lain identitas religius, identitas kreatif,
identitas prinsipil, dan identitas normatif.
Identitas religius yang dimiliki informan Uki menampilkan personal layer
sebagai individu yang mau berusaha, belajar, tidak gengsi melakukan pekerjaan
apa pun selama halal, religius, banyak bicara, rajin, ulet. Sisi enactment layer
ditampilkan dengan rajin beribadah, melakukan kegiatan yang berhubungan
dengan agama seperti menjadi guru mengaji, sering mengingatkan anggota lain
yang sesama muslim untuk beribadah, sering menyelipkan kata-kata religius
dalam

percakapan

sehari-hari,

seperti

“Astaghfirullah”,

“Bismillah”,

“Alhamdulillah”, menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku islami.
Relational layer ditampilkan dengan membangun identitas relasional sebagai
anggota keluarga JKJT dan menganggap “Ayah” adalah

pengganti ayah

kandungnya, teman-teman sebagai anggota keluarga. Berperan dalam kegiatan
wirausaha JKJT. Membangun identitas relasional dengan lingkungan luar JKJT
sebagai guru mengaji dan anggota komunitas Kempo di UB, dan communal layer
melalui identitas kelompok sebagai anggota komunitas JKJT. Diberi label oleh
teman-teman sesama anggota JKJT sebagai “Bakul Obat” karena bakatnya
berdagang dan sikapnya yang banyak bicara dan sering mengulang-ulang cerita
yang sama di waktu yang berbeda.

Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi

12

Identitas kreatif yang dimiliki Willy ditampilkan melalui personal layer
sebagai individu yang belajar untuk memperbaiki sikapnya yang raguragu,belajar untuk tidak minder dengan masa lalunya karena merasa sekarang
sudah memiliki bakat yang bisa dibanggakan. Enactment layer yang dimiliki
Willy ditampilkan dengan sering mengaransemen lagu, sering menunjukkan hasil
aransemen tersebut kepada orang lain, memperdalam keterampilan bermusik
dengan mengikuti les musik, menggunakan lagu aransemennya untuk mengamen
agar membedakan diri dengan pengamen lain. Relational layer ditampilkan Willy
dengan menganggap identitas relasional dengan keluarga sebagai anak broken
home, membangun identitas relasional dengan “Ayah” dan anak bina lain di JKJT
sebagai satu keluarga, berperan dalam aktivitas band milik JKJT dan memiliki
posisi yang cukup penting dalam band. Sementara sisi communal layer yang
dimiliki Willy adalah identitas kelompok sebagai anggota komunitas JKJT.
Diasosiasikan oleh anak-anak bina JKJT dengan peristiwa “Jakarta Nyaman”
yang merupakan lelucon yang dibuat kelompok atas peristiwa beberapa tahun
lalu yang terjadi pada Willy.
Identitas prinsipil yang dimiliki Tian ditampilkan dalam personal layer
sebagai sosok yang keras, pekerja keras, mandiri, tidak suka diperlakukan
semena-mena oleh orang di sekitarnya, setelah di JKJT belajar menjadi lebih
bijaksana dan belajar menyelesaikan persoalan tanpa emosi. Enactment layer
yang dimiliki Tian antara lain Selalu berpegang teguh pada prinsip yang
diyakininya. Fisik bertato, berambut panjang, dan meyakini bahwa kedua hal
tersebut tidak merujuk pada seseorang yang berperilaku buruk. Perilaku
komunikasi dengan teman-temannya sering menggunakan bahasa khas Surabaya
untuk menunjukkan keakraban, namun mampu menempatkan diri dengan tidak
menggunakan kata-kata tersebut pada orang yang lebih tua maupun orang yang
dihormati. Relational layer ditampilkan melalui anggota keluarga JKJT yang
sering menggantikan posisi “Ayah” ketika “Ayah” tidak ada di tempat, dan
bertanggung jawab atas kegiatan internal JKJT. Memposisikan diri sebagai kakak
tertua dari anak bina lainnya yang membimbing anak-anak lainnya agar dapat
mandiri. Communal layer ditampilkan melalui identitas kelompok sebagai
Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi

13

anggota komunitas JKJT. Mendapat nama julukan oleh anggota JKJT karena
penampilan fisiknya yang hitam dan kekar, sering dipanggil dengan nama
tersebut, akibatnya hanya sedikit orang yang mengetahui nama aslinya.
Identitas normatif yang dimiliki Nando ditampilkan melalui personal layer
sebagai sosok pendiam, mantan pengguna narkoba, belajar tidak merasa rendah
diri dengan masa lalunya, merasa sudah banyak berubah menjadi lebih baik
dibandingkan dulu. Enactment layer ditunjukkan dengan berusaha menunjukkan
sebagai diri berubah menjadi diri yang lebih baik dari sebelumnya. Menaati
peraturan dan berusaha tidak berperilaku buruk. Sering mengingatkan sesama
anggota untuk tidak melanggar peraturan. Menjunjung tinggi peraturan di JKJT
dan tidak pernah melanggar sekalipun. Relational layer ditampilkan melalui
identitas diri sebagai bagian dari keluarga JKJT yang tidak pernah melanggar
peraturan. Mengaku sering menjadi kambing hitam jika ada konflik di JKJT oleh
teman-teman yang lain namun tidak pernah merasa marah berlarut-larut karena
menganggap teman-teman yang lain sudah seperti keluarga. Communal layer
ditampilkan melalui identitas kelompok sebagai anggota komunitas JKJT dan
berperan dalam kegiatan band JKJT.
Sering membantu kegiatan lain seperti
Interaksi
fotografi dan wirausaha.

dengan
Informa
Lingkungan
Proses
n konstruksi identitas diri informan dapat digambarkan ke dalam bagan

di bawah ini :

Konsep Diri yang
Terbentuk

PositifPositif

NegatifPositif

Identitas
Identitas
sebagai
Jurnal Penelitian sebagai
Ilmu Komunikasi

Identitas
sebagai

Identitas
sebagai
14

Identitas
religius

Identitas
kreatif

Identitas
normatif

Identitas
prinsipil

Gambar 5.1 Konstruksi Identitas Diri Informan
VI. Kesimpulan
a. Dari hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa konsep diri informan
dapat dikategorisasikan menjadi dua kelompok, yaitu informan dengan
konsep diri negatif-positif dan informan dengan konsep diri positif-positif.
Informan dengan konsep diri negatif-positif adalah informan yang
memiliki hambatan dalam perkembangan awal konsep diri mereka karena
peran significant others yang kurang dalam proses pembentukan awal
tersebut. Selama mereka menjalani kehidupan di JKJT, mereka
menjadikan “Ayah” sebagai significant others dan mereka masih dalam
proses modifikasi konsep diri ke arah yang lebih positif. Sementara
informan

dengan

konsep

diri

positif-positif,

mereka

mengalami

perkembangan awal konsep diri yang cukup baik karena dibantu oleh
peran significant others. Ketika menjalani kehidupan di JKJT, “Ayah”
menjadi significant others yang semakin memantapkan konsep diri positif
yang dimiliki informan.

Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi

15

b. Konsep diri yang dimiliki informan kemudian berkembang menjadi
identitas diri yang terkait dengan peran sosial mereka di masyarakat.
Masing-masing informan mengkonstruksikan identitas diri mereka
berbeda antara satu dengan lainnya. Dari hasil konstruksi tersebut, terdapat
empat tipe identitas yang dimiliki informan antara lain identitas religius,
identitas prinsipil, identitas kreatif, dan identitas normatif.

DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Baron, Robert A. dan Byrne, Donn. 2004. Psikologi Sosial Jilid I (Edisi
Kesepuluh). Jakarta: Erlangga.
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup.
Devito, Joseph A. 2007. The Interpresonal Communication. Boston: Pearson
Education, Inc.
Griffin, Em. 2011. A First Look At Communication Theory. New York: McGraw
Hill.
Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gelora Aksara
Pratama
Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi. Bandung: Widya Padjajaran.
Littlejohn, Steven W. dan Foss, Karen A. 2009. Theories of Human
Communication. Jakarta: Salemba Humanika.
Moleong, L. J. 2004.
Rosdakarya.

Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Mulandar, Surya. 1996. Dehumanisasi Anak Marginal, Berbagai Pengalaman
Pemberdayaan. Bandung : AKATIGA- Gugus Analisis.

Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi

16

Moustakas, Clark. 1994. Phenomenological Research Methods. London: Sage
Publication
Poloma, Margaret M. 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press.
Rakhmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rietzer, George. 2007. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.
Jakarta: Rajagrafindo Persada
Santrock, John W. 2005. Perkembangan Remaja. Jakarta: Penerbit Erlangga
Sudrajat, Tata. 1999. Isu Prioritas dan Program Penanggulangan untuk
Mengatasi Anak Jalanan. Jurnal Hakiki Vol 1/ No 2/ Nov 1999.
Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup
............... dan Sutinah. 2006. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana Prenada
Media.
Sobur, Alex. 2009. Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Pustaka
Setia
Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta:
CV Agung Seto.
Sriningsih, Endang. 2010. Teori Social Construction of Reality Peter L. Berger
dan Thomas Luckmann. Dalam: Suyanto, B. dan Amal, H.eds. Anatomi dan
Perkembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Usman, Husaini dan Akbar, Purnomo S. 2009. Metode Penelitian Sosial. Jakarta:
Bumi Aksara
West, Richard dan Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis
dan Aplikasi (Buku 1). Jakarta: Salemba Humanika.
Internet :
Bajari, Atwar. 2009. Konstruksi Makna dan Perilaku Komunikasi Anak Jalanan
di Cirebon. Disertasi. Universitas Padjajaran Bandung [Online] tersedia di
http://repository.unpad.ac.id/handle/123456789/5461?show=full diakses 12
Maret 2012

Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi

17

Consortium for Street Children. 2009. Street Children: Occupier of the Invisible
Public Space. [Online] tersedia di
http://www.streetchildren.org.uk/_uploads/Resources/
Paper_on_street_children_for_Socio_Design_Foundation_August_2009.pdf
diakses 9 Oktober 2013
Hecht, M. and Choi, H. J. 2005. The Communication Theory of Identity as a
Framework for Health Message Design. [Online] tersedia di
http://www.sagepub.com/upm-data/43569_8.pdf diakses 13 Oktober 2012
Siahaan, Rosalin. 2011. Konstruksi Identitas Diri pada Murid Lembaga
Pendidikan Nonformal PKBM Emphaty Medan. Skripsi. Universitas
Sumatera
Utara
[Online]
tersedia
di
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/28798 diakses 15 Maret 2012

Wiencke, Mark. 2008. Theoritical Reflection on the Life World of Tanzania Street
Children. [Online] tersedia di
http://anthropologymatters.com/index.php?
journal=anth_matters&page=issue&op=view&path[]=13
diakses 17
Oktober 2012
Beazley, H. 2003. Voices from the Margin Street Children’s Subcultur Indonesia.
[Online] tersedia di
http://www.colorado.edu/journals/cye/13_1/Vol13_1Articles/CYE_CurrentI
ssue_Article_ChildrenYouthIndonesia_Beazley.htm
diakses 9 Oktober
2013

Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi

18