BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep - Gangguan Berbahasa Gagap pada Anak Usia Dua Belas Sampai Delapan Belas di Kecamatan Medan Helvetia

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

  Menurut Malo, dkk. (1985:47) konsep-konsep yang dipakai dalam ilmu sosial walaupun istilahnya sama dengan yang digunakan sehari-hari, namun makna dan pengertiannya dapat berubah. Di samping adanya perbedaan mengenai makna dan pengertian suatu konsep dalam bahasa sehari-hari, sering juga terdapat perbedaan di antara para ahli atau peneliti sendiri mengenai makna dan pengertian istilah yang sama. Untuk memahami hal-hal yang ada dalam penelitian ini perlu dipaparkan beberapa konsep, yaitu konsep gangguan berbahasa dan gagap.

2.1.1 Gangguan Berbahasa

  Gangguan berbahasa dapat ditandai dengan ketidakmampuan untuk berdialog interaktif, memahami pembicaraan orang lain, mengerti, dan menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai, baik verbal maupun tidak verbal; menyelesaikan masalah, membaca dan mengerti yang dibaca, serta mengekspresikan pikirannya melalui kemampuan berbicara atau menyampaikan lewat bahasa tulisan. Beberapa karakteristik dari gangguan berbahasa meliputi penggunaan kata yang tidak tepat, ketidakmampuan untuk menyampaikan pendapat, ketidaktepatan dalam penggunaan pola gramatikal, kosakata yang minimal jumlahnya, dan ketidakmampuan untuk mengikuti instruksi. Mereka juga mengalami kesulitan dalam mengatur syntax. Syntax adalah aturan susunan kata yang ditempatkan dalam suatu kalimat. Contoh gangguan syntax: “aku mau makan mi goreng” menjadi “aku mi goreng mau makan”.

  Gangguan berbahasa dapat disebabkan faktor medis dan faktor lingkungan sosial. Gangguan medis terjadi karena adanya kelainan fungsi otak atau kelainan pada alat bicara. Gangguan lingkungan sosial yang menyebabkan gangguan berbahasa terjadi karena lingkungan kehidupan yang terisolasi dari kehidupan masyarakat yang sewajarnya. Menurut Sidharta (dalam Chaer, 2003) gangguan berbahasa yang disebabkan gangguan medis dibagi menjadi tiga yaitu gangguan berbicara, gangguan berbahasa, dan gangguan berpikir.

2.1.2 Gagap

  Gagap merupakan gangguan bicara dengan indikasi tersendatnya pengucapan kata-kata atau rangkaian kalimat. Kelainan ini dapat berupa kehilangan ide untuk mengeluarkan kata-kata, pengulangan beberapa suku kata, kesulitan mengeluarkan bunyi pada huruf-huruf tertentu sampai dengan ketidakmampuan mengeluarkan kata-kata sama sekali.

  Gagap dapat terjadi pada saat otak tidak mampu mengirim dan menerima pesan

dengan cara normal. Serangan gagap ini biasanya terjadi pada anak-anak berusia dua

sampai tujuh tahun yang masih belajar berbicara, namun biasanya hilang seiring dengan

perkembangan otak yang makin sempurna, tetapi kegagapan ini dapat berlanjut dan

semakin buruk, kondisi ini disebut dengan kegagapan yang berkembang (developmental stuttering) sehingga penyakit gagap ini bisa terbawa hingga umur lebih dewasa.

  Pakar-pakar patologi bahasa Shames dan Wiig, (dalam Rahim, 2004: 21), membagikan penyakit gagap, antara lain:

  GAGAP

  Gagap Penyakit Pengulangan Pemanjangan Selaan Jeda

  Gambar : Jenis-jenis Pola Pertuturan Penyakit Gagap Gagap penyakit

  Gagap penyakit ialah gagap patologi dan lebih bersifat kekal. Proses pemulihannya memerlukan rawatan pakar dan gagap ini tidak dapat hilang dengan sendirinya. Adapun pendapat Wintage, (dalam Rahim, 2002) “(a) a frequent

  

disruptions in the fluency of verbal expression, (b) sometimes accompanied by

accessory struggle and tension in speech related and non speech related

structures, (c) in the presence of emotional state and excitement (both negative

and positive) that may or may not relate to the act of talking”. (a. sebuah

  gangguan yang sering terjadi dalam kelancaran ekspresi verbal, b. kadang-kadang disertai dengan perjuangan aksesori dan ketegangan dalam pembicaraan atau tidak berbicara yang terkait dengan struktur bahasa, c. dengan adanya kondisi emosional dan kegembiraan (baik negatif dan positif) yang mungkin atau mungkin tidak berhubungan dengan tindakan berbicara). Adapun jenis-jenis pertuturan penyakit gagap, antara lain seperti berikut:

1. Pengulangan

  Pengulangan ialah pengucapan kata-kata yang diulang secara tidak sengaja dan tidak mengena dengan sistem bahasa. Dalam hal ini seseorang mengujarkan sesuatu perkataan itu secara berulang-ulang, sekurang-kurangnya dua kali atau lebih. Pengulangan terdiri atas pengulangan sebagian kata, pengulangan seluruh suku kata, dan pengulangan frasa.

  a. Pengulangan sebagian kata Pengulangan sebagian kata terjadi pada perkataan yang melebihi satu suku kata. Pengulangan ini melibatkan pengulangan satu suku kata dan pengulangan dua suku kata. Pengulangan ini tetap dianggap sebagai pengulangan sebagian kata karena sifatnya yang mengulang sebagian dari kata itu saja.

  1). Pengulangan satu suku kata

  Pengulangan sebagian kata yang berbentuk pengulangan satu suku kata merupakan salah satu ciri pengulangan yang terdapat di kalangan penderita gagap.

  Pengulangan sebagian kata ini terjadi pada kata yang terdiri atas satu suku kata Contoh-contoh pengulangan sebagian suku kata, antara lain:

  Bom..bom.. siapa itu yang meledak? Pengulangan di atas terjadi di awal kata [bom].

  2). Pengulangan dua suku kata

  Selain jenis pengulangan satu suku kata, terdapat juga pengulangan sebagian kata yang berbentuk pengulangan dua suku kata. Pengulangannya adalah pada imbuhan awal seperti ber-, ke-, dan pe-. Contohnya adalah sebagai berikut : Ber..bermain dulu aku.

  Pengulangan di atas terjadi sebagian kata yang berbentuk dua suku kata yang berimbuhan [ber-]. Kata tersebut terdiri atas dua suku kata [ber-] dan [main].

  Gagap contoh di atas terjadi diawal suku kata dan bukan pada suku kata kedua atau akhir suku kata [bermain].

  3). Pengulangan seluruh kata

  Pengulangan seluruh kata sering berlaku pada suku kata yang berbentuk suku kata asli dan juga suku kata yang hasil dari proses pelemahan kata ulang tersebut. Adapun contoh pengulangan seluruh kata adalah : Tapi gagap inigak ngertilah aku, gak gak gak pernah berobat lagi.

  Pengulangan di atas terjadi seluruh kata yang berbentuk suku kata asli [gak]. Gagap pada contoh di atas terjadi diakhir suku kata dan bukan pada awal suku kata, tidak mengurangi atau melebihkan suku kata, suku kata tersebut diulang secara keseluruhan [gak]. b. Pengulangan frasa Analisis untuk pengulangan frasa ini tidak begitu sama jika dibandingkan dengan bentuk pengulangan yang lainnya. Adapun contoh pada perulangan frasa ini antara lain:

  Yang paling bising saya punya mmm apa mmm mulut sayalah aaa mulut sayalah saya suka mengganggu kawan .

  Pengulangan di atas terjadi pada pengulangan frasa yang berbeda dengan pengulangan yang lainnya karena tidak ada subjek maupun predikat [mmmm].

  Gagap pada contoh di atas terjadi diakhir suku kata dan bukan pada awal suku kata, tidak mengurangi atau melebihkan suku kata.

2. Pemanjangan

  Pemanjangan ini adalah pemanjangan bunyi yang dianggap berlebihan, lebih dari biasa apabila sesuatu perkataan itu diujarkan.

  Adapun contoh pemanjangan ini adalah : Sssssaya pinjam aaaaa pinjam enaaaaam bulankan .

  Pada data di atas pemanjangan terjadi pada awal dan akhir suku kata, dari pemanjangan vokal maupun pemanjangan konsonan. Gagap pada contoh di atas terjadi pada awal suku kata [sssssaya] dan akhir suku kata [enaaaaam], pada pemanjangan kosonan [s] pada kata [saya] dan pemanjangan vokal [a] pada kata [enam]. a. Pemanjangan konsonan Dalam pemanjangan konsonan ini, ternyata pengulangan bunyi fonem konsonan terjadi pada bagian awal ucapan saja. Keadaan ini terlihat sama seperti perulangan suku kata. Perbedaan tersebut hanyalah pada komponen bunyinya saja, yaitu dalam perulangan suku kata, pengulangan terjadi pada suku kata pertama, ketika dalam pemanjangan pengulangan terjadi pada bunyi konsonan pertama. Adapun contoh pemanjangan konsonan, antara lain: Hah, sebelum ini bbbandar raya.

  Pemanjangan di atas terjadi pada bagian awal ucapan, dan pemanjangan suku kata konsonan. Gagap pada contoh di atas terjadi pada bagian awal ucapan dan pemanjangannya merupakan pemanjangan konsonan [b] pada kata [bandar].

  b. Pemanjangan vokal Pemanjangan bunyi vokal tidak begitu terlihat sebagaimana pemanjangan bunyi-bunyi konsonan. Keadaan ini terjadi disebabkan cara pelafalan bunyi vokal yang tidak begitu rumit jika dibandingkan dengan pelafalan bunyi konsonan. Adapun contoh pada pemanjangan vokal, antara lain: Pinjam eeeeenam bulankan.

  Pemanjangan di atas terjadi pada bagian awal ucapan, dan pemanjangan suku kata vokal. Gagap pada contoh di atas terjadi pada bagian awal ucapan dan pemanjangannya merupakan pemanjangan vokal [e] pada kata [enam].

  3. Selaan

  Selaan terjadi apabila seseorang berusaha untuk mengungkapkan perkataan yang sesuai dalam sesuatu bahasa tetapi perkataan yang dicari itu tidak muncul dengan cepat ataupun tidak hadir langsung. Selaan ini dapat disertai jeda karena jeda juga menggambarkan pikiran penutur ataupun bagian-bagian dengan unsur-unsur selaan, dan kadang-kadang jeda ini wujud sebagai pengganti selaan, adapun contoh selaan, antara lain:

  Mmm mmm apa se setelah kena minyak panas itu, lumpuh aaa gak mmm apa aaa mmm mmm apa su ###sah untuk berjalan.

  Pada contoh di atas terjadi adanya selaan, gagap terjadi pada awal suku kata. Selaan pada contoh diatas (su##sah) dan tanda (#) berusaha untuk mengungkapkan perkataan yang sesuai dalam sesuatu bahasa yang seketika itu tidak muncul secara langsung.

  4. Jeda

  Jeda adalah suatu kesenyapan dalam satu urutan pertuturan yang melampaui batas kesenyapan biasa yang seharusnya berlaku dalam suatu tuturan yang normal. Keadaan ini terjadi apabila terdapat keraguan terhadap perkataan yang ingin diucapkan ataupun terdapat suatu sekatan di dalam fikiran penutur ataupun pada bagian tertentu pada artikulatoris sama seperti selaan. Jadi penutur yang berhenti (jeda) tanpa sebab yang boleh difahami, dianggap sebagai salah satu jenis kegagapan. Adapun contoh jeda, antara lain:

  Hukuman apa ini saya ber## bicara susah, kira-kira dia mm dia mm takut sama saya## jadi apa-apa. Aaa itu dia## bimbang.

  Pada contoh di atas berbeda dengan data sebelumnya yaitu selaan, terjadi adanya jeda pada kata [ber##bicara] dan [saya##] tanda [#] tersebut terjadinya kesenyapan dalam satu urutan yang melampaui batas kesenyapan biasa yang berlaku dalam suatu tuturan yang normal.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Psikolinguistik

  Secara etimologi, kata psikolinguistik berasal dari kata psikologi dan kata

  

linguistik .Kedua bidang ilmu ini sama-sama meneliti bahasa sebagai objek

formalnya.

  Chaer (2009:6) berpendapat bahwa psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur itu diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu, pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran.

  Dardjowidjojo (2003:21) Psikolinguistik adalah studi tentang proses- proses mental dalam pemakaian bahasa, sebelum menggunakan bahasa seseorang pemakai bahasa terlebih dahulu memperoleh bahasa.

  Secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama yaitu (1) komprehensi, yakni proses-proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang dimaksud, (2) produksi, yakni proses mental pada diri kita yang membuat seseorang dapat berujar seperti yang kita ujarkan, (3) landasan biologis dan neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa, dan (4) pemerolehan bahasa, yakni bagaimana anak memperoleh bahasa.

  Ilmu psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia. Maka secara teoretis, tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur ini diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu. Dalam praktiknya, psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan psikologi pada masalah-masalah seperti pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengajaran bahasa permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan dan multibahasa, gangguan bertutur seperti afasia, gagap,latah dan sebagainya, serta masalah-masalah sosial lain yang menyangkut bahasa.

2.2.2 Psikolinguistik Kognitif Chomsky

  Teori genetik dan kognitif ini dikemukakan oleh Avram Noam Chomsky, yang merupakan seorang ahli psikolinguistik Amerika serikat. Metode Chomsky sangat menaruh perhatian terhadap aspek akal. Ia membahas masalah-masalah bahasa dan psikologi, kemudian membingkainya menjadi satu bingkai dengan bentuk bahasa kognitif.

  Chomsky (dalam Syamsu 2000: 108) menelurkan pendapat bahwa kemampuan berbahasa manusia itu dipengaruhi juga oleh kemampuan kognitifnya, teorinya mengatakan bahwa ada intervensi dari kemampuan yang menyangkut ingatan, persepsi, pikiran, makna, dan emosi yang sangat berpengaruh ke dalam jiwa manusia. Ketika seseorang membicarakan masalah kognitif dalam hal ini kognitif berbahasa, maka seseorang tersebut tidak akan bisa mengelak bahwa terkadang ada campur tangan faktor genetik yang mempengaruhi kognitif seseorang.

  Chomsky berpandangan bahwa pemerolehan bahasa itu didasarkan pada faktor genetik yang telah dimiliki anak sejak lahir. Anak memperoleh kemampuan untuk berbahasa seperti dia memperoleh kemampuan untuk berdiri dan berjalan. Anak tidak dilahirkan sebagai piring kosong, seperti dalam teori tabula rasa yang dikemukakan oleh Jhon Locke, akan tetapi seorang anak tersebut telah dibekali sebuah alat yang dinamakan Piranti Pemerolehan Bahasa (PPB).

  Teori Chomsky adalah teori linguistik modern, yang mencerminkan kemampuan akal, membicarakan masalah-masalah kebahasaan dan pemerolehannya, serta hubungannya dengan akal dan pengetahuan manusia. Chomsky mendasarkan teorinya ini atas dasar asumsi bahwa bahasa menjadi bagian dari komponen manusia dan produk khas akal manusia.

  Chomsky melihat bahwa bahasa adalah kunci untuk mengetahui akal dan pikiran manusia.

  Dalam teori linguistik Chomsky, dibutuhkan adanya pasangan penutur dan pendengar yang ideal dalam sebuah masyarakat tutur atau proses pembelajaran bahasa, sehingga keduanya dapat menerima dan mengerti dengan penggunaan bahasa yang diucapkan dalam jumlah yang tidak terbatas dan sebelumnya belum pernah didengar.

  Chomsky membedakan adanya kompetensi dan performance dalam proses pembentukan bahasa. Kemampuan adalah pengetahuan yang dimiliki pemakai bahasa mengenai bahasanya, sedangkan performance atau perbuatan berbahasa merupakan pelaksanaan berbahasa dalam bentuk menerbitkan kata-kata dalam keadaan yang nyata. Kedua tahapan tersebut akan membentuk tata bahasa yang baik, sehingga dapat diterima dan dipahami baik bagi penutur atau pendengar dalam proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa, tetapi pada penderita gagap kompetensi dan performance tidak berjalan selaras karena otak yang menderita gagap tidak dapat mengontrol apa yang diucapkan (performance).

2.2.3 Fonologi

  Secara garis besar fonologi adalah suatu sub-disiplin dalam ilmu bahasa atau linguistik yang membicarakan tentang “bunyi bahasa”. Lebih lanjut lagi, fonologi murni membicarakan tentang fungsi, perilaku serta organisasi bunyi sebagai unsur-unsur linguistik, hal tersebut berbeda dengan fonetik yang berupa kajian yang lebih netral terhadap bunyi-bunyi itu.Fonologi adalah “linguistik” dalam pengertian bahwa sintaksis, morfologi, dan sampai tingkat tertentu, semantik juga linguistik, sedangkan fonetik berangsur-angsur berubah dalam berbagai hal menuju ke arah neurologi, psikologi perseptual, akustik.

  Muslich (2008: 11) mengatakan, fonologi adalah subdisiplin ilmu linguistik yang mempelajari bunyi bahasa secara umum, baik bunyi bahasa yang membahas arti (fonem) maupun tidak (fonetik). Setiap penutur memunyai kesadaran fonologis terhadap bunyi-bunyi bahasanya.

2.2.4 Fonetik Artikulatoris

  Fonetik artikulatoris membahas tentang bunyi-bunyi bahasa menurut cara dihasilkannya dengan alat-alat bicara. Bunyi bahasa dibedakan sebagai yang “segmental” dan “suprasegmental.” Adapun contoh segmental dalam bahasa Indonesia adalah dan, terdiri dari bunyi [d], [a], dan [n] dalam urutan tersebut.

  Jadi bunyi sebagai segmen-segmen adalah bunyi menurut pola urutannya dari yang pertama hingga yang terakhir atau sering yang dirumuskan dalam linguistik yakni “dari kiri ke kanan”. Struktur dari kiri ke kanan itu berupa segmental artinya ada bagian-bagian yang terkecil menurut urutannya. Bunyi suprasegmental adalah bunyi yang dapat dibayangkan sebagai bunyi yang di atas segmental itu.Misalnya perbedaan antara tuturan Dia telah datang dan Dia telah datang? Tidak terdiri atas perbedaan secara segmental melainkan atas perbedaan intonasi (lagu) yang berbeda dalam kedua tuturan tersebut.

  Muslich (2008: 34), menjelaskan vokal umumnya diklasifikasikan menurut tiga dimensi artikulatoris: tingkat terbukanya mulut; posisi bagian lidah yang tertinggi; dan posisi bibir. Jadi, bunyi tertentu mungkin dideskripsikan sebagai vokal rapat, depan, dan bundar dan bunyi lain sebagai rapat, depan, dan tak bundar. Contoh vokal depan tak bundar /i/ : [lidah].

  Selanjutnya, Chaer (2009: 113) membagi vokal berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut.Posisi lidah dapat bersifat vertikal dan dapat bersifat horizontal, sedangkan bentuk mulut dibedakan adanya vokal bundar dan vokal tidak bundar. Seperti terlihat dalam tabel berikut:

  Depan Tengah Belakang TB B TB B TB B

  Tinggi i u

  Tengah e o ∂

  ε ɔ

  Rendah A

  Gambar: Peta vokal bahasa Indonesia

  Secara vertikal dibedakan adanya vokal tinggi /i/ dan /u/, vokal tengah /e/,/

  ε/, /∂/ dan /o/, /ɔ/, vokal rendah /a/. Secara horizontal dibedakan adanya vokal depan /i/ dan /e/, / ε/, /a/ vokal tengah /∂/, vokal belakang /u/, /o/, /ɔ/ dan /a/.

  Kemudian pada diagram terdapat vokal bundar yaitu /u/, /o/, / ɔ/ dan vokal /ɔ/. Vokal tidak bundar yaitu /i/, /e/, / ε/, /∂/.

  (Chaer, 2003: 33), mengategorikan konsonan dalam bahasa Indonesia berdasarkan tiga faktor, (1) keadaan pita suara, (2) daerah artikulasi, dan (3) cara artikulasinya. Berdasarkan pita suara, konsonan dapat bersuara atau tak bersuara. Berdasarkan daerah artikulasinya, konsonan dapat bersifat bilabial, labiodental, alveolar, palatal, velar, atau glotal. Berdasarkan cara artikulasinya, konsonan dapat berupa hambat, frikatif, nasal, dan lateral. Disamping itu, ada lagi yang berwujud semi vokal konsonan dalam bahasa Indonesia dapat disajikan dalam bagan berikut:

  Daerah Artikulasi

  lar o l Velar Glota Palatal Bilabial

  Cara Artikulasi

  Laringal

Labiodental

Dental/Alve

  Hambat Tak bersuara p T k (?) bersuara b d g Afrikatif Tak bersuara c

  Bersuara Paduan Tak bersuara f s S X h Frikatif/ Bersuara j geseran Gescran Bersuara v z Nasal/ Bersuara m n

  ŋ ɳ

  Sengau Getar/ Bersuara r (R) Trill Lateral Bersuara l Semi Bersuara w y Vokal

  Gambar : Peta Konsonan dalam Bahasa Indonesia

  Pada bagan di atas tampak bahwa dalam bahasa Indonesia ada dua puluh tiga konsonan fonem, sedangkan fonem (R) dan (?) ditemui dalam tuturan umum bahasa Indonesia. Cara memberi konsonan adalah dengan menyebut cara artikulasinya dulu, kemudian artikulasinya, dan akhirnya keadaan pita suara.

  Konsonan /p/, misalnya adalah konsonan hambat bilabial tak bersuara, sedangkan /j/ adalah konsonan afrikatif palatal bersuara.

  Pasangan hambat /p/-/b/, /t/-/d/ dan /k/-/g/, selain memiliki perbedaan dalam daerah artikulasinya, juga memunyai kesamaan dalam pembentukannya, yakni /p/, /t/, dan /k/ dibentuk dengan pita suara tak bergetar, sedangkan /b/, /d/, dan /g/ dengan pita suara bergetar. Karena itu, tiga konsonan yang pertama itu dinamakan konsonan tak bersuara, sedangkan ketiga yang lain disebut konsonan bersuara.

2.2.5 Pola persukuan

  1. Suku kata Setiap kata yang diucapkan pada umumnya dibangun oleh bunyi-bunyi bahasa baik berupa bunyi vokal maupun bunyi konsonan. Kata yang dibangun dapat terdiri atas satu segmen atau lebih. Dalam kajian fonologi segmen itu disebut suku kata. Setiap suku kata paling tidak terdiri atas sebuah bunyi atau merupakan gabungan antara bunyi vokal dan konsonan.

  Bunyi vokal di dalam suku kata merupakan puncak penyaringan sedangkan bunyi konsonan bertindak sebagai lembah suku. Dalam sebuah suku kata hanya ada sebuah puncak suku dan puncak ini ditandai dengan bunyi vokal. Lembah suku yang ditandai dengan bunyi konsonan yang berada di depan bunyi belakang bunyi konsonan (Muslich, 2008: 73).

  Jumlah suku kata dalam sebuah kata dapat dihitung dengan melihat jumlah bunyi vokal yang ada dalam kata itu. Dengan demikian jika ada kata yang berisi tiga buah bunyi vokal maka dapat ditentukan bahwa kata itu terdiri atas tiga suku kata saja. Misalnya kata teler [tElEr] adalah kata yang terdiri atas dua suku kata yaitu [tE] dan [lEr] masing-masing suku berisi sebuah bunyi vokal, yaitu bunyi [E].

  2. Pola suku kata Kata dalam bahasa Indonesia terdiri dari satu suku kata atau lebih, misalnya ban, bantu, membantu, memperbantukan. Panjangnya suku kata, wujud suku yang membentuknya mempunyai struktur dan kaidah pembentukan yang sederhana. (Muslich, 2008: 74), membagi struktur dan kaidah pembentukan suku kata yang sederhana. Jenis-jenis pola persukuan itu, antara lain: 1.

  Suku kata berpola V, suku kata ini dibangun oleh sebuah bunyi vokal.

  Contoh: a. a+ mal

  b. a + ku

  2. Suku kata berpola KV, suku ini dibangun oleh sebuah bunyi yang diawali konsonan lalu vokal.

  Contoh : a. pa + sar

  b. si + ku

  3. Suku kata berpola VK, suku ini dibangun oleh bunyi yang diawalivokal lalu konsonan.

  Contoh : a. ar + ti

  b. em + ber

  4. Suku kata yang berpola KVK, suku ini dibangun oleh satu konsonan, satu vokal, dan satu konsonan.

  Contoh : a. pak + sa

  b. tam+ pak

  5. Suku kata yang berpola KKV, suku ini dibangun oleh dua konsonan, satu vokal.

  Contoh :a. dra + ma

  b. slo + gan

  6. Suku kata yang berpola KKVK, suku ini dibangun oleh dua konsonan satu vokal, dan satu konsonan.

  Contoh : a. trak + tor

  b. prak + tis

  7. Suku kata yang berpola KKVKK, suku ini dibangun oleh dua konsonan, satu vokal, dan dua konsonan.

  Contoh : a. kom + pleks

  8. Suku kata yang berpola KVKK, suku ini dibangun olehsatu konsonan, satu vokal, dan dua konsonan.

  Contoh : a. teks + til

  9. Suku kata yang berpola KKKV, suku ini dibangun oleh tiga konsonan, dan satu vokal.

  Contoh : a. stra + te + gi

  b. stra + ta

  10. Suku kata yang berpola KKKVK, suku ini dibangun oleh tiga konsonan, satu vokal, dan satu konsonan.

  Contoh : a. struk + tur

  11. Suku kata yang berpola KVKKK, suku ini dibangun oleh satu konsonan, satu vokal, dan tiga konsonan.

  Contoh : a. korps = KVKKK Kata dalam bahasa Indonesia dibentuk dari gabungan bermacam-macam suku kata seperti di atas. Karena bentuk suku kata seperti yang terdapat pada dasarnya berasal dari kata asing, banyak orang menyelipkan fonem /

  ∂ / untuk memisahkan konsonan yang berdekatan. Contoh: slogan, strika, dan prangko, diubah masing-masing menjadi selogan, setrika, dan perangko.

2.3 Tinjauan Pustaka

  Penelitian mengenai psikolinguistik bukanlah baru pertama kali ini dilakukan, sudah ada penelitian terdahulu tentang masalah tersebut.Namun, yang meneliti khusus “Gangguan Berbahasa Gagap Tinjauan Psikolinguistik” belum pernah dilakukan. Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

  Salhidani Nasution (1995) dalam skripsinya yang berjdul “Hubungan

  

Neurolinguistik terhadap Psikolinguistik pada Gangguan Komunikasi Bahasa

Indonesia ”. Menyimpulkan psikolinguistik membahas tentang bahasa dan

  gangguan komunikasi. Anak yang menderita penyakit autistik ini terlambat kemampuan berbicaranya dan mempunyai cara berbicara yang tidak sesuai, misalnya dia tidak dapat membedakan kata ganti kamu dan saya dan mengulang apa yang dikatakan orang kepadanya.

  Purnamasari (2004) dalam skripsinya yang berjudul “Gangguan Berbicara

  

Psikogenik pada Penderita Latah: Tinjauan Psikolinguistik (Kasus Nurbaiti,

  .” Menyimpulkan bahwa latah adalah suatu tindakan

  Nursiah, dan Sriwahyuni)

  kebahasaan pada waktu seseorang terkejut atau dikejutkan, tanpa sengaja mengeluarkan kata-kata secara spontan dan tidak sadar dengan apa yang diucapkannya.

  Gusdi (2007), dalam penelitiannya yang berjudul “Ekspresi Verbal ”,

  Penderita Stroke Penutur Bahasa Minangkabau: Suatu Analisis Neurolinguistik

  mengemukakan bahwa, “Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Manusia yang tidak bisa berbahasa secara normal disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kerusakan pada bagian syaraf bahasa di otak karena suatu hal, kerusakan pada alat-alat artikulasi, dan tekanan mental.”

  Gustianingsih (2009) dalam desertasinya yang berjudul “Produksi Dan

  

Komprehensi Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia Pada Anak Penyandang Autistik

Spectrum Disorder” , menyimpulkan anak autistik sering melakukan

  penyimpangan pada awal dan akhir kata. Hal ini mengindikasikan bahwa anak autistik mengalami gangguan pada inisiasi dan mengalami kesulitan untuk menuntaskan ujaran. Anak autistik ini sering mengulang-ulang ujaran dan akhirnya tidak tuntas.

  Sartika (2010) dalam karya tulis ilmiah yang berjudul “Karekteristik Anak

  

Autis di Yayasan Ananda Karsa Mandiri Medan (YAKARI) Medan .” Mengatakan

  autis gangguan berbahasa pervasif yang ditandai dengan ketidakmampuan penderita dalam berkomunikasi dan menjalin hubungan secara emosional dengan orang lain sehingga muncul gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi; pola kesukuan dan sikap yang tidak normal.”

  Rismawati Sitorus (2010) dalam skripsinya yang berjudul “Kalimat Lisan

  Bahasa Indonesia Anak Autistik pada Yayasan Tali Kasih Medan .”

  Menyimpulkan kalimat lisan anak autistik di Yayasan Tali Kasih Medan berbeda dengan kalimat lisan anak normal. Mereka sangat sulit melakukan interaksi dengan orang lain. mereka hanya mampu mengujarkan penggalan awal atau akhiran setiap kalimat lisan yang diujarkan gurunya.

  Prastika (2011) dalam skripsinya berjudul “Kosa Kata Benda Bahasa

  

Indonesia Lisan Anak Autis di Medan. ” Menyimpulkan anak autistik lebih banyak

  menyimpan kosa kata nama bagian tubuh, karena sering diulang dalam bentuk nyanyian, pemberian hadia juga semakin memancing anak-anak semakin banyak berbicara.