Intervensi Rusia Di Crimea Dalam Perspektif Hukum Internasional

  

BAB II

INTERVENSI RUSIA DI CRIMEA A. ...................................................................................................... Lat ar Belakang Intervensi Rusia di Crimea

  Ukraina, yang merupakan negara eks Uni Soviet semakin bersikap pro Barat dengan menandatangani kerja sama kesepakatan perdagangan dengan Uni Eropa (UE). Kerja sama Ukraina dengan UE menawarkan kesempatan kepada semua pihak untuk bekerja sama demi masa depan yang lebih aman, dan memastikan secara tegas keanggotaan Ukraina di dalam UE. Meskipun penandatanganan kerja sama tersebut merupakan hak berdaulat setiap negara, Rusia yang kecewa dengan kebijakan Ukraina telah memperingatkan negara tersebut akan ada konsekuensi serius yang harus dihadapi pasca penandatangan kerja sama itu. Pihak Rusia menilai blok ekonomi yang terbentuk itu merugikan perekonomiannya.

  Upaya kerja sama Ukraina dengan UE ini telah ditempuh melalui proses yang tidak mudah. Di masa pemerintahan mantan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych upaya ini digagalkan, sehingga ia dijatuhkan dari pemerintahannya Februari 2014. Pelengseran Presiden Ukraina Viktor Yanukovych yang merupakan sekutu Rusia, dibalas Rusia dengan mendukung gerakan pemisahan diri Crimea dari Ukraina.

  Langkah Crimea yang melepaskan diri dari negara Ukraina dengan dukungan Rusia, kemudian diikuti oleh wilayah-wilayah lain di timur Ukraina yang penduduknya sehari-hari memang berbahasa Rusia. Di bulan April, gerakan separatisme pro Rusia di wilayah administrasi Donetsk dan Luhansk di timur

  Ukraina telah menewaskan sekitar 450 jiwa tersebut, kembali memanas setelah upaya perpanjangan gencatan senjata yang diusulkan UE gagal dipenuhi.

1. Hubungan Historis, Sosial, Ekonomi, dan Budaya Antara Rusia dan Crimea

  Crimea adalah sebuah wilayah otonomi khusus yang merupakan bagian dari Ukraina. Konflik tersebut melibatkan Ukraina, Crimea dan Rusia. Konflik terjadi karena adanya tarik ulur kepentingan antara fihak-fihak yang bertikai. Secara umum ada tiga opsi kepentingan yang menyebabkan pertikaian di Crimea: keinginan untuk mempertahankan Crimea tetap sebagai bagian Ukraina, keinginan untuk menjadikan Crimea sebagai bagian Rusia, dan keinginan untuk menjadikan Crimea sebagai negara yang merdeka. Konflik yang terjadi di Crimea tidak lepas dari sejarah perjalanan hubungan politik antar negara di sekitar wilayah tersebut dan kondisi demografis di Crimea.

  Wilayah Crimea dihuni oleh 3 etnik utama yaitu Rusia (59%), Ukraina (20%),

   Tatar Crimea (15%) dan sisanya etnik lain (6%). Media massa saat ini lebih

  banyak menyorot pertikaian antara etnik Rusia dan Ukraina yang mempunyai kepentingannya masing-masing.Semenanjung Crimea dipisahkan dari Ukraina oleh sistem Sivash laguna dangkal. Garis pantai Crimea berliku-liku dan terdiri atas beberapa teluk dan pelabuhan. Topografi Crimea relatif datar karena sebagian besar semenanjung ini terdiri dari padang rumput semi kering atau padang rumput 11 Public Opinion Survey Residents of the Autonomous Republic of Crimea May 16 – 30,

  2013,http://www.iri.org/sites/default/files/2013%20October%207%20Survey%20of%20Crimean %20Public%20Opinion,%20 May%2016-30,%202013.pdf, diakses pada 26 Februari 2015. tanah. Pegunungan Crimea terletak di sepanjang pantai tenggara semenanjung

   itu.

  Kondisi Geografis, Iklim, Ekonomi dan Pemerintahan di Crimea merupakan wilayah yang berada di daerah selatan Ukraina di Semenanjung Crimea. Wilayah ini dikelilingi oleh Laut Hitam disisi barat selatan dan laut Azov disisi timur dan mencakup hampir seluruh wilayah semenanjung itu dengan pengecualian Sevastopol, sebuah kota yang saat ini sedang diperdebatkan oleh Rusia dan Ukraina. Luas wilayah Crimea adalah 26.100 km persegi. Crimea berbatasan dengan distrik Kherson (Ukraina) di utara dan dipisahkan dari Krasnodarsky Kray

  

(Rusia) oleh Selat Kerch disebelah timur.

  Ibu kota Republik Otonomi Crimea adalah Simferopol. Beberapa kota utama yang ada di Crimea adalah Feodosia, Kerch, Sevastopol, Simferopol, Sudak, Yalta, dan Yevpatoria. Pantai selatan Crimea memiliki iklim sub- Mediterania, dengan musim panas yang kering panas dan musim dingin ringan yang lembab hangat. Suhu rata-rata di musim panas (Juli) +23,0° sampai +24,5° dan di musim dingin (Januari) +2,0° sampai +4,0°. Curah hujan tahunan di pantai selatan Crimea adalah sekitar 350-650 (mm). Daerah ini memiliki 250-300 hari bersinar matahari per tahun. Bagian pegunungan yang memisahkan pantai selatan Crimea dari bagian tengah Crimea memiliki iklim benua ringan yang hangat dengan musim panas ringan yang lembab dan musim dingin yang dingin lembab.

  Bagian tengah dari Crimea memiliki iklim stepa benua ringan dengan musim panas yang kering panas dan musim dingin yang dingin lembab. Suhu rata-rata di 12 Gwendolyn Sasse, The Crimea Question : Identity, Transition, and Conflict, Ukrainian

  Research Institute, Harvard University (2007), hlm 12 13 Ibid

  musim panas (Juli) +22,0° sampai +23,5 ° dan di musim dingin (Januari) -2,3° sampai - 0,0°. Curah hujan tahunan di bagian tengah dari Crimea adalah sekitar

  

  340-480 (mm). Perekonomian Crimea utamanya didasarkan pada pariwisata dan pertanian. Kota Yalta adalah tempat tujuan wisata yang terkenal di Laut Hitam bagi orang-orang Rusia, demikian juga dengan Alushta, Eupatoria, Saki, Feodosia dan Sudak. Produk pertanian utama Crimea adalah biji-bijian, sayuran dan anggur.

  Pemeliharaan ternak sapi, ayam dan domba juga merupakan sumber ekonomi yang penting. Crimea memiliki beberapa sumber alam seperti garam, batu mulia,

   batu kapur dan pasir besi. Crimea telah menjadi bagian dari Ukraina sejak 1954.

  Pemimpin Uni Soviet saat itu, Nikita Khrushchev “memberikan” wilayah ini pada Ukrania yang kemudian menjadi bagian dari Uni Soviet hingga negara ini bubar pada 1991. Sejak saat itu, Crimea menjadi wilayah semiotonom dari negara Ukraina yang memiliki ikatan politik kuat dengan Ukraina, namun memiliki

  

  ikatan budaya yang kuat dengan Rusia. Crimea memiliki badan legislatif sendiri

  • Dewan Tertinggi Crimea beranggotan 100 wakil rakyat- dan kekuasaan eksekutif yang dipegang Dewan Menteri yang dipimpin seorang ketua yang berkuasa atas persetujuan Presiden Ukraina. Pengadilan adalah bagian dari sistem peradilan

   Ukraina dan tidak memiliki otoritas otonom.

  Sejarah bangsa Tatar Crimea Tatar Crimea adalah penduduk asli Crimea yang sejarahnya berawal sejak berabad-abad yang lalu. Kekuatan dan wibawa bangsa Tatar Crimea mencapai puncaknya sebagai Khanate Crimea yang independen, 14 15 http://www.crimeaconsulting.com/crimea.html, diakses pada 06-03-2015. 16 http://en.wikipedia.org/wiki/Crimea, diakses pada 07-03-2015. iakses pada

  07-03-2015 yang muncul pada paruh pertama abad ke-15 dan terus berlangsung sampai

  

  1783. Selama lebih dari 300 tahun itu, ia menjadi kekuatan utama dan memainkan peran penting dalam internasional, maupun hubungan politik dan

  

  militer di seluruh Eurasia. Penduduk Tatar Crimea Dengan maksud untuk secara penuh memahami sejarah Tatar Kremia perlu dilihat kembali pendahulu Khanate Crimea, yaitu Golden Horde. Golden Horde dibentuk oleh cucu Jenghis Khan, Batu, meliputi wilayah yang luas pada apa yang sekarang menjadi Rusia dan Ukraina, termasuk semenanjung Crimea di selatan. Dalam beberapa abad setelah kematian Batu, Crimea menjadi tempat berlindung bagi calon-calon yang tidak

  

berhasil menduduki tahta Horde tersebut.

  Pada tahun 1443, salah satu dari pesaing-pesaing ini, Haci Giray telah berhasil memisahkan diri dari Golden Horde dan mengangkat dirinya sendiri sebagai pemerintah independen pada sebagian Crimea dan area perbatasan dari stepa tersebut. Keturunannya memerintah di Crimea dengan beberapa pengecualian sampai akhir abad 17. Sebagai salah satu dari banyak pecahan Golden Horde, Khanate Crimea, “lebih dari yang lain dalam melestarikan tradisi dan institusi Golden Horde”. Haci Giray, “keturunan Cingis Khan (Jengis Khan)”,

  

  menjalankan kekuasaan yang merdeka antara tahun 1420 sampai 1441. Ia

  18 19 Gwendolyn Sasse, op.cit., hlm. 66 The Crimean Tatars: Overview and Issues, Oktober 2009, dimuat pada lamanhttp://www.unpo.org/images/2009_Presidency/crimean%20tatars,%20overview%20and%20 issues,%20october%202009.pdf. 20 Brian Glyn Williams, The Sultan’s Raiders, The Military Role of the Crimean Tatars in the Ottoman Empire , The Jamestown Foundation, Washington, D.C., 2013. Hlm. 432 21 Gwendolyn Sasse, op.cit., hlm. 78 mendirikan sebuah dinasti yang memerintah Khanate Crimea tanpa gangguan

   sampai tahun1783, pada saat aneksasi Rusia atas Crimea.

  Khanate Crimea yang berbagi semenanjung Crimea dengan Genoa, mencoba untuk mendapatkan kembali pelabuhan dan kota-kota mereka di bagian selatan dan barat daya Crimea. Dalam upaya ini mereka masuk ke dalam aliansi dengan Khilafah Utsmaniyah yang relatif baru, yang ingin merebut “mimpi berabad-abad Muslim dan Turki tentang Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Romawi Timur.” Sejak dari situasi itu selamanya berubah untuk Genoa, yang perdagangannya tergantung pada selat yang kini dikendalikan oleh Khilafah Utsmaniyah.

  Pada tahun 1454, Tatar dan Turki membuat serangan yang gagal pada pelabuah Kefe; pada tahun 1475 mereka akhirnya merebutnya dari Genoa, hal itu

   memperkuat hubungan politik dan militer Crimea-Utsmaniyah di masa depan.

  Hubungan dan peran Khanate Crimea dengan Khilafah Utsmaniyah akan dijelaskan lebih rinci pada bagian berikutnya.

  Khanate Crimea sangat kuat di awal keberadaannya. Namun, pada abad 17 dan 18 para khan ini mulai kehilangan kekuatan mereka karena ketidakstabilan domestik. Para pemimpin suku setempat, yang memperoleh kekayaan tertentu, kekuasaan politik dan militer, menjadi kurang tergantung pada khan, dan bertindak sendiri tanpa persetujuan khan. Khilafah Utsmani kehilangan kekuatan di Eropa dan, sebaliknya, Rusia mendapatkan kekuasaannya. Rusia memiliki kepentingan untuk mendapatkan akses ke Laut Hitam dan, mengeksploitasi ketidakstabilan internal dan kelemahan Crimea, menyerangnya dan tahun 1774 22 Igor Davydov, The Crimean Tatars and Their Influence on the ‘Triangle of Conflict’ —

  Russia-Crimea-Ukraine , Thesis Naval Postgraduate School, Monterey California, Maret 2008 23 Ibid.

  memaksa khan di bawah pengaruhnya; dan kemudian pada tahun 1783, Crimea

  

  dianeksasi oleh kekaisaran Rusia. Setelah aneksasi itu, Catherine II membuat reorganisasi pemerintahan di Crimea. Itu bukan pengalaman pertama bagi Rusia untuk memerintah wilayah Muslim di kekaisaran Rusia: Kazan Tatar dan Bashkir Volga telah dianeksasi sebelum aneksasi Crimea. Untuk memenuhi keputusannya, Catherine mengadakan sensus di Crimea, sebuah studi sistem administrasi perpajakan Crimea, dan menunjuk Pemerintah Distrik Crimea yang baru didirikan Tavricheskaya oblast’, “area bekas Khanate Crimea dari Sungai Dnepr ke Taman (yang membentang jauh melampaui Semenanjung Crimea itu sendiri dan termasuk sepotong besar wilayah Ukraina sekarang).” Sistem administrasi Khanate yang lama digantikan oleh sistem administrasi yang biasa berada dalam

   kekaisaran Rusia masa itu.

  Dalam hal agama, kebijakan Rusia akhir abad 16 dan 17 dimaksudkan untuk memberantas Islam dalam kekaisaran Rusia. Kemudian pada tahun 1773, Catherine sendiri yang tidak beragama, menerbitkan keputusan ‘Toleransi pada semua kepercayaan’, yang memungkinkan bangsa Tatar untuk mempraktekkan Islam. Catherine memungkinkan masing-masing orang Crimea “untuk mendapatkan kewajiban dan hak yang sama seperti yang didapatkan rekannya di Rusia.” Pada saat yang sama, ia membiarkan bagi mereka yang tidak ingin memiliki kewarganegaraan Rusia berangkat ke Kekaisaran Utsmaniyah.

  Diperkirakan bahwa selama dekade pertama setelah aneksasi, jumlah Tatar yang meninggalkan Crimea berkisar dari sekitar 20.000-30.000 sampai 150,000- 24 25 Ibid.

  Gwendolyn Sasse, op.cit., hlm.167

  200,000, dengan jumlah penduduk Tatar Crimea pra-aneksasi “sedikit kurang dari setengah juta.” Eksodus massal Tatar selama dekade terakhir dari Khanate Crimea (sejak 1772) dan dekade pertama setelah aneksasi telah meninggalkan sejumlah besar lahan kosong, yang selain berefek negatif pada demografi, juga memiliki beberapa efek negatif pada pertanian. Di sisi lain, lahan bebas di negara yang

   ditinggalkan itu telah menarik para penjajah.

  Pada awal abad kesembilan belas, selain 8.746 orang Rusia yang ada sebelumnya, sekitar “35.000 non- Muslim telah menetap di semenanjung Crimea, bekas Khanate Crimea, yang meliputi tanah dari Dnestr ke sungai Kuban, yang hanya ditinggali kurang dari 100.000 pemukim Rusia.” Aneksasi Crimea merupakan peristiwa penting dalam sejarah Rusia. “Dengan menganeksasi Crimea, Rusia mencapai apa yang banyak dianggap sebagai perbatasan selatan ‘alami’ nya.” Nasionalisme Crimea abad kesembilan belas telah menyebar ke entitas Muslim lain dalam Kekaisaran Rusia dengan semakin meningkatnya perasaan anti-Rusia, yang disebabkan oleh tidak hormatnya Rusia terhadap

   budaya Tatar dan Russifikasi yang dipaksakan.

  Selama revolusi Rusia 1917-1918 para nasionalis Tatar meningkatkan klaim kemerdekaan mereka. Perang Dunia pertama menyebabkan krisis dalam identitas Tatar Crimea. Di satu sisi, Tatar yang diwakili di Duma (parlemen), dalam eksekutif Rusia mereka berpartisipasi dalam organisasi-organisasi Muslim dan berjuang di barisan depan barat Perang Dunia I. Di sisi lain, Kekaisaran Utsmaniyah mendukung musuh Rusia di perang Dunia I dan gagasan untuk 26 27 Gwendolyn Sasse, op.cit., hlm. 456 Ibid, hlm. 500 melawan perang itu hampir tidak dapat diterima. Selama Perang Saudara Rusia dari 1918-1921, Crimea adalah arena untuk berjuang kelompok-kelompok yang berkepentingan. Tatar tidak menerima pembela kepentingan mereka baik dari Bolshevics maupun Whites, Tentara Relawan yang terdiri dari mantan tentara tsar.

  Tidak ada pihak yang tertarik untuk menyebabkan Crimea merdeka; masing- masing dari mereka menginginkan Rusia bersatu di bawah kekuasaan mereka sendiri. Akhirnya, pada bulan Oktober 1920, Bolshevics menduduki Crimea dan

   tinggal di sana sampai invasi Jerman pada tahun 1941.

  Di Uni Soviet, Crimea menerima status Otonomi Crimea Republik Sosialis Soviet (Crimean ASSR) dan, secara administratif, merupakan bagian dari Republik Federasi Sosialis Rusia (RSFSR). Pada saat itu, rakyat Tatar Crimea merupakan sekitar seperempat dari populasi ASSR Crimea. Otonomi tersebut bersifat terbatas dan Moskow tetap bertanggung jawab atas sebagian besar kegiatan Crimea, dengan pengecualian barangkali pada masalah-masalah keadilan, pendidikan, dan kesehatan. Dua kota pelabuhan penting, Sevastopol dan Evpatoria, dikeluarkan dari yurisdiksi Crimea dan disubordinasikan langsung ke Moskow. Selama Perang Dunia II, Crimea relatif mudah diduduki oleh Jerman, Rumania, dan Italia untuk jangka waktu dari 1941 sampai 1944, dengan pengecualian adalah Sevastopol yang secara heroik dipertahankan hingga Juli

   1942.

  Segera setelah Crimea kembali di bawah kontrol Soviet pada awal tahun 1944, Stalin memerintahkan deportasi Tatar Crimea dan minoritas kecil lainnya 28 29 Ibid, hlm. 567 Gwendolyn Sasse, op.cit., hlm. 564 sebagai hukuman kolektif untuk kerjasama mereka dengan Nazi. Pada tahun 1967, Tatar telah direhabilitasi tapi dilarang kembali ke Crimea. Crimean ASSR dihapuskan pada tahun 1945 dan direorganisasi menjadi Oblast Crimea bagian dari RSFSR. Pada tahun 1954, Crimea dipindahkan di bawah yurisdiksi Ukraina SSR karena kedekatan hubungan geografis, ekonomi, dan budaya dengan Ukraina, dan sebagai sikap persahabatan yang melambangkan ulang tahun ke-300

   perjanjian yang menyatukan Rusia dan Ukraina .

  Selama beberapa tahun setelah Perang Dunia II dan sampai pembubaran Uni Soviet, Crimea dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata dan pangkalan untuk Armada Laut Hitam (BSF). Di bawah Uni Soviet demografi Crimea berubah secara signifikan. Bencana kelaparan pada 1921-1922 mengakibatkan penurunan populasi penduduk lebih dari 21 persen. Seratus ribu orang meninggal karena kelaparan (60 persen dari mereka adalah Tatar Crimea) dan lima puluh ribu, terutama Tatar, mengungsi ke luar negeri. Pada tahun 1923, 25 persen (seratus lima puluh ribu) dari populasi Crimea adalah Tatar. Sebanyak 35000 - 40000 Tatar Crimea dipindahkan ke Siberia sebagai bagian dari serangan Stalin pada nasionalisme Tatar Crimea; padahal sebelum perang populasi Tatar Crimea adalah sekitar 300 ribu sampai 2 juta, dan pada akhir 1970-an kurang dari seribu dua ratus keluarga Tatar yang tercatat di Crimea. Perubahan dramatis tersebut

   disebabkan oleh deportasi terhadap Tatar dan minoritas lainnya.

  Deportasi Tatar Crimea dan minoritas lainnya dari Crimea diprakarsai oleh Stalin pada tahun 1944 setelah pembebasan Crimea oleh Tentara. Selama 30 Paul Robert Magocsi, A History Of Ukraine, University Of Toronto Press, London

  (1986), hlm. 65 31 Gwendolyn Sasse, op.cit., hlm. 654

  pendudukan Jerman terhadap Crimea sejumlah 15.000-20.000 Tatar Crimea membantu Jerman untuk pendukung perang di pegunungan Crimea. Fisher mengacu pada perkiraan yang berbeda menyatakan bahwa sekitar 20,000-53,000 Tatar Crimea berperang melawan Jerman bergabung dalam Tentara Merah dan sampai sekitar dua belas ribu bertahan dan bersembunyi bawah tanah. Stalin mengabaikan partisipasi Tatar Crimea pada Great Patriotic War melawan Nazi Jerman dan memerintahkan deportasi mereka ke Asia Tengah. Dengan terjadinya disintegrasi Uni Soviet pada tahun 1991, Crimea menjadi bagian integral dari negara Ukraina merdeka yang baru. Crimea adalah wilayah yang bukan tipikal

32 Ukraina karena beberapa alasan.

  Secara etnis, Crimea adalah satusatunya daerah di Ukraina dengan mayoritas besar adalah orang-orang Rusia. Komposisi penggunaan bahasa sehari-hari Secara kultural Crimea adalah berkultur Rusia; bahkan administrasinya masih menggunakan bahasa Rusia pada dokumennya, meskipun fakta bahwa satu- satunya bahasa resmi di Ukraina adalah bahasa Ukraina. Secara historis, setidaknya dari sudut pandang Rusia, Crimea adalah bagian dari Rusia sampai saat Khrushchev, etnis Rusia dan mantan pemimpin Ukraina, memindahkannya ke Republik Sosialis Soviet Ukraina pada tahun 1954. Crimea adalah pangkalan untuk BSF dan Sevastopol masih dianggap sebagai “kota kejayaan Rusia.” Crimea yang dianggap sebagai “daerah panas” merupakan ancaman yang cukup

   berarti bagi kesatuan negara Ukraina. 32 33 Paul Robert Magocsi, log.cit., hlm. 80 Ibid, hlm. 123 Pada tahun 1991, walaupun oblast Crimea adalah bagian dari SSR Ukraina, pemerintah daerahnya menjalankan referendum untuk mendirikan Otonomi Crimea Republik Sosialis Soviet (ASSR) dalam Uni Soviet, dengan dukungan lebih dari 80 persen populasinya. Legitimasi hukum untuk referendum itu dipertanyakan, karena “tidak ada hukum referendum pada waktu itu baik di Uni Soviet maupun di Ukraina.” Namun hal itu mencerminkan fakta demografis yang tak terbantahkan. Pengaruh Tatar Crimea terhadap hasil referendum itu disamakan dengan nol. Pada saat itu Tatar merupakan segmen kecil dari populasi Crimea. Pada musim semi tahun 1987 hanya ada 17.400 Tatar Crimea sebagai bagian dari lebih dua juta penduduk Crimea saat itu. Mereka diberikan hak kembali ke tanah air sebelum Uni Soviet runtuh, dan pada bulan Juni 1991 populasi Tatar Crimea telah meningkat menjadi 135.000. Selain itu, sebagian besar Tatar memboikot referendum karena mereka lebih memilih untuk tetap sebagai bagian dari

34 Ukraina.

  Pada bulan April 1992, parlemen Ukraina mengadopsi hukum tentang Status Republik Otonomi Crimea yang memberikan kekuasaan yang lebih luas

  

  dibandingkan dengan badan-badan teritorial lainnya di Ukraina. Sebagai tanggapanyan, pada bulan Mei 1992 parlemen Crimea mengadopsi “Konstitusi ditambah Deklarasi Kemerdekaan,” bagaimanapun, klaim bahwa republik Crimea diproklamasikan adalah bagian dari republik Ukraina dan bahwa hubungan antara kedua republik ‘independen’ itu harus tetap didasarkan pada perjanjian. Pengalaman Crimea berada dalam Ukraina merdeka dapat dibagi menjadi dua 34 35 Gwendolyn Sasse, op.cit., hlm. 664 Paul Robert Magocsi, log.cit., hlm. 332 periode, dengan Revolusi Oranye tahun 2004 sebagai batasnya. Periode pertama terdiri dari dua sub - periode: periode 1992-1995 ditandai dengan upaya pemisahan diri yang diprakarsai oleh kekuatan politik pro-Rusia; dan periode kedua dari 1995- 2004 ditandai dengan kondisi relatif stabil dari sikap separatis.

  Periode kedua sejak tahun 2004 pada gilirannya telah ditandai dengan munculnya konflik antara Crimea dengan pemerintah pusat. Pembagian ini adalah bersyarat karena hubungan Ukraina - Crimea telah tak normal sejak Ukraina merdeka. Hubungan Russo - Ukraina, dalam sengketa Crimea, berkisar pada hak- hak etnis Rusia di Crimea, pembagian Armada Laut Hitam dan hak pangkalannya. Akhirnya, terkait dengan Tatar Crimea yang kembali dari pengasingan membawa ketegangan tambahan di wilayah tersebut. Masalah tanah, pemulihan hak-hak Tatar Crimea, dan hubungan antar-etnis menjadikan lebih rumit situasi di Republik Otonomi Crimea, dan meradikalkan baik etnis Rusia maupun Tatar Crimea.

  Krisis dan konflik di Crimea dan secara luas di Ukraina pada saat laporan ini ditulis masih berlangsung. Rusia vs Barat Pihak Barat menuduh Rusia bermaksud memecah belah bekas wilayah Uni Soviet tersebut. Intervensi Rusia dalam masalah Ukraina dinilai tidak sesuai dengan norma-norma internasional. Rusia yang telah mendapat sanksi ekonomi dari Barat menolak tuduhan tersebut. Meski majelis tinggi parlemen Rusia telah membatalkan resolusi yang memungkinkan penggunaan kekuatan militer di Ukraina atas permintaan Presiden Vladimir Putin, sikap keras Rusia telah memunculkan reaksi negatif di pihak UE. Sebanyak 28 pemimpin UE menyatakan Rusia harus mengambil keputusan untuk mendukung rencana perdamaian Ukraina. Rusia diminta mengambil langkah efektif untuk berhenti mendestabilisasi Ukraina, menciptakan kondisi aman untuk rencana perdamaian yang akan dilaksanakan dan mengakhiri dukungannya kepada kelompok separatis bersenjata. UE juga menuntut agar gerakan separatis pro Rusia setuju untuk mengembalikan pos pemeriksaan perbatasan ke Ukraina, membebaskan sandera, dan meluncurkan pembicaraan serius pada pelaksanaan rencana perdamaian yang diajukan oleh Presiden Ukraina Petro Poroshenko.

  Konflik yang berawal Nopember tahun lalu, merupakan cerminan pertarungan geopolitik di kawasan Rusia dan Eropa Timur. Berikut adalah gambaran kronologi singkat dari jalannya konflik tersebut yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Pada tanggal 21 November 2013 pemerintah Ukraina yang pro Rusia secara tiba-tiba mengumumkan penundaan pembicaraan Perjanjian Asosiasi dan Perdagangan dengan Uni Eropa, demi membangun hubungan ekonomi yang lebih erat dengan Rusia. Langkah itu memicu kemarahan kelompok oposisi yang pro-Eropa, yang kemudian berencana melakukan demonstrasi. Pada tanggal 30 November 2013, polisi menyerang sekelompok pengunjuk rasa, dan menahan 35 orang. Foto-foto pengunjuk rasa yang berdarah oleh serangan polisi dengan cepat menyebar sehingga meningkatkan dukungan publik untuk demonstrasi. Memasuki bulan Desember demonstrasi semakin membesar sampai mengumpulkan demonstran sebanyak 300.000 orang, yang terbesar di Kiev sejak Revolusi Oranye tahun 2004. Aktivis merebut Balai Kota Kiev. Pada tanggal 17 Desember 2013 Presiden UkrainaYanukovych berangkat ke Moskwa, Rusia, bertemu dengan Putin untuk menandatangi kesepakatan dana talangan sebesar 15 miliar dolar Amerika Serikat (sekitar Rp 177.18 trilun) dan mendapat potongan harga untuk membeli gas Rusia.

  Pada bulan Januari 2014 unjuk-rasa terus berlanjut dan terjadi bentrok dengan polisi yang menyebabkan jatuhnya korban. Pada tanggal 28 Januari 2014, Perdana menteri mengundurkan diri dan parlemen mencabut undang-undang anti protes baru yang keras yang memicu kekerasan seminggu sebelumnya. Kedua pihak mencapai kesepakatan bersama yang bertujuan untuk meredakan krisis. Pada 2 Februari 2014 para pemimpin oposisi meminta mediasi internasional dan bantuan finansial dari Barat di hadapan lebih dari 60.000 demonstran di Kiev. Tanggal 5-6 Februari 2014 Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Catherine Ashton dan utusan khusus AS untuk Eropa, Victoria Nuland, mengunjungi Kiev. Tanggal 7 Februari 2014 Presiden Yanukovych bertemu dengan sekutunya Presiden Rusia, Vladimir Putin, di sela-sela acara pembukaan Olimpiade Musim Dingin di Sochi, Rusia. Pada 9 Februari 2014 sekitar 70.000 demonstran berkumpul di Lapangan Merdeka. Selanjutnya pada14 Februari 2014 sebanyak 234 demonstran yang ditahan sejak Desember 2013 dibebaskan, tetapi dakwaan atas mereka tidak dicabut. Tanggal 16 Februari 2014 para demonstran meninggalkan balai kota Kiev yang mereka duduki sejak 1 Desember 2013. Puluhan ribu orang berkumpul di Lapangan Merdeka. Pada 18-19 Februari 2014 sebanyak 28 orang, termasuk 10 polisi, tewas dalam bentrokan berdarah di Lapangan Merdeka. Demonstran kembali menduduki balai kota Kiev. Polisi antihuruhara melancarkan serangan terhadap demonstran sepanjang malam. Pada 19 Februari 2014 Presiden Yanukovych mencopot kepala staf angkatan bersenjata Ukraina dan mengumumkan digelarnya “operasi anti-teroris” di negaranya sendiri. Negaranegara Barat mengecam aksi kekerasan di Ukraina dan mengancam akan menjatuhkan sanksi. Tanggal 20 Februari 2014 para demonstran menyerang polisi di Kiev, mengabaikan kesepakatan gencatan senjata yang dicetuskan Yanukovych. Sekitar 25 orang tewas dalam peristiwa itu, Kementerian Dalam Negeri Ukraina mengatakan dua orang polisi tewas ditembak dalam insiden itu.

  Pada tanggal 21 Februari 2014 para pemimpin oposisi menanda-tangani pakta perdamaian dengan Presiden Yanukovych yang dimediasi oleh Uni Eropa. Pada

  22 Februari 2014 parlemen Ukarina mengadakan pungutan suara untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Yanukovych.

  Tanggal 26 Februari 2014 parlemen Ukarina menunjuk pemerintah baru. Hal ini menyebabkan kemarahan Rusia sehingga menyiapkan sebanyak 150.000 prajuritnya dalam kondisi siaga tinggi. Pada hari yang sama sejumlah pasukan bersenjata pro-Rusia tanpa identitas secara perlahan mulai mengambil kendali di semenajung Crimea. Tanggal 27 Februari 2014 pasukan tak dikenal menduduki gedung parlemen regional dan Gedung dewan kementrian Crimea di Simferopol.

  Pada tanggal 28 Februari 2014, sementara orang-orang bersenjata menduduki gedung, parlemen mengadakan sidang darurat, dan melakukan pungutan suara untuk mengakhiri pemerintah Crimea, dan mengganti Perdana Menteri Anatolii Mohyliov dengan Sergey Aksyonov. Aksyonov adalah anggota Partai Persatuan Rusia, yang menerima 4% suara dalam pemilu terakhir. Sidang darurat ini juga melakukan pungutan suara untuk mengadakan referendum tentang otonomi yang lebih besar pada tanggal 25 Mei. Orang-orang bersenjata tersebut telah memotong semua komunikasi pada gedung tersebut dan mengambil ponsel anggota parlemen saat mereka masuk. Tidak ada wartawan independen diizinkan di dalam gedung ketika pemunggutan suara sedang berlangsung. Beberapa anggota parlemen menyatakan bahwa mereka diancam dan bahwa suara diberikan untuk mereka dan anggota parlemen lainnya, meskipun mereka tidak berada di ruangan.

  Pada 1 Maret 2014, Putin memenangkan persetujuan parlemen untuk menginvasi Ukraina. Hal ini memicu kemarahan Gedung Putih. Tanggal 6 Maret 2014 parlemen Crimea melakukan pemungutan suara untuk bergabung dengan Rusia, dan menjadwalkan referendum tentang hal itu pada tanggal 16 Maret 2014.

  Pada 16 Maret 2014, referendum diselenggarakan di Crimea, dan menunjukkan dukungan yang luar biasa untuk bergabung dengan Federasi Rusia, meskipun diboikot oleh Tatar Crimea dan penentang referendum lainnya. Parlemen Ukraina menyatakan referendum itu inkonstitusional. Amerika Serikat dan Uni Eropa mengutuk referentum itu ilegal, dan kemudian memberlakukan sanksi terhadap orangorang yang dianggap telah melanggar kedaulatan Ukraina.

  Tanggal 21 Maret 2014, Putin menandatangani undang-undang untuk melengkapi aneksasi Crimea. AS memberlakukan sanksi terhadap Putin dan sekutu dekatnya Uni Eropa mengikuti dengan langkah-langkah yang sama. Pada tanggal 24 Maret 2014, Kementerian Pertahanan Ukraina mengumumkan bahwa sekitar 50% dari tentara Ukraina di Crimea telah membelot ke militer Rusia. Tanggal 27 Maret 2014 Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi tidak mengikat yang menyatakan referendum Crimea yang didukung Moskow tidak valid. Resolusi disahkan dengan 100 suara mendukung, 11 menentang dan 58 abstain dalam majelis 193 negara.

  Pada tanggal 1 April 2014 NATO mengumumkan menagguhkan semua kerjasama sipil dan militer dengan Rusia. Pada 7 April 2014 aktivis Pro-Rusia menguasai gedung-gedung pemerintah di kotakota timur Donetsk, Luhansk dan Kharkiv, serta menyerukan referendum kemerdekaan. Pihak berwenang Ukraina mendapatkan kembali kontrol dari gedung Kharkiv hari berikutnya. Pada 11 April 2014 perdana menteri sementara Ukraina menawarkan untuk memberikan kekuasaan lebih bagi wilayah timur, saat separatis pro-Rusia terus menduduki bangunan di Donetsk dan Luhansk. Tanggal 12 April 2014 milisi bersenjata Pro- Rusia mengambil alih kantor polisi dan gedung badan keamanan di kota Slovyansk, 60 kilometer dari Donetsk di mana militan pro-Rusia mengambil alih markas polisi. Pada tanggal 15 April 2014 parlemen Ukraina meloloskan RUU yang menyatakan semenanjung Crimea selatan sebagai wilayah yang sementara diduduki oleh Federasi Rusia dan memberlakukan larangan perjalanan bagi penduduk Ukraina untuk mengunjungi Crimea.

2. Kewajiban Untuk Mendukung Hak Menentukan Nasib Sendiri (The Duty to Promote Self-Determination)

  Setiap Negara mempunyai kewajiban untuk mendukung hak menentukan nasib sendiri (self-determination).sebagaimana tercantum di dalam berbagai instrumen hukum internasional seperti di dalam Declarations of Friendly

  Relations;

  “Every State has the duty to promote, through joint and separate action,

realization of the principle of equal rights and self-determination of peoples, in

accordance with the provisions of the Charter, and to render assistance to the

United Nations in carrying out the responsibilities entrusted to it by the Charter

   regarding the implementation of the principle”

  Di dalam salah satu dictum putusan Mahkamah Internasional terkait kasus

  

Bercelona Traction. Mahkamah Internasional memperkenalkan konsep kewajiban

erga-omnes dalam hukum internasional. Kewajiban erga omnes adalah kewajiban

  yang dimiliki oleh setiap negara dan negara tersebut bertanggung jawab untuk melaksanakannya dihadapan seluruh komunitas internasional. Di dalam kasus

  

East Timor Mahkamah Internasional menegaskan bahwa kewajiban untuk

  menghormati dan mendukung self-determination terlah berkembang menjadi

  

  kewajiban erga-omnes. Oleh karena itu, Rusia berpendapat bahwa tindakannya untuk mengintervensi di konflik Crimea adalah sebagai perwujudan dari tanggung jawab negaranya untuk mendukung self-determination, karena rakyat Crimea sedang berjuang untuk memperoleh hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai perwujudan dari hak asasi manusia.

  Hak menentukan nasib sendiri (the right of self determination) telah menjadi prinsip dasar hukum internasional umum yang diterima dan diakui sebagai suatu norma yang mengikat dalam masyarakat internasional yang sering disebut dengan

  36 Barcelona Traction, Light and Power Company, Limited (Belgium v. Spain) [1962– 1970], Second Phase, Judgment, I.C.J Reports [1970], para 33. 37 Case Concerning East Timor (Portugal v Australia) (1995) para. 29

38 Jus Cogens . Prinsip ini membatasi kehendak bebas negara dalam menangani

  masalah gerakan separatis yang terjadi di wilayahnya dengan tetap mengacu pada kaidah hukum internasional yang mengancam validitas setiap persetujuan- persetujuan ataupun aturan dan cara-cara yang ditempuh negara yang bertentangan dengan hukum internasional, karena penentuan nasib sendiri diakui

   oleh masyarakat internasional sebagai HAM yang harus dihormati.

  Bentuk pertama dari hak penentuan nasib sendiri adalah the right of internal

  

self determination . Sumber hukum internasional yang diakui seperti yang

  tercantum dalam Covenant on Civil and Political Rights 1966 and Covenant on

  

Economic, Social and Cultural Rights 1966 membenarkan bahwa hak suatu

  bangsa untuk menentukan nasib sendiri melalui internal self determination merupakan upaya suatu bangsa untuk mendapatkan pengakuan status politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan dalam kerangka satu kesatuan negara yang berdaulat.

  Dimana aspek-aspek politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan tersebut dalam hak penentuan nasib sendiri sendiri saling berhubungan dan saling ketergantungan satu sama lainnya. Saling ketergantungan setiap aspek tersebut dapat dilihat

   melalui pengakuan penuh dan implementasi dari masing-masing aspek tersebut.

  a.

  Aspek Politik menunjukan sebuah pemikiran bahwa termasuk di dalam 38 hak penentuan nasib sendiri adalah kemampuan dari suatu kelompok orang

  Rafika Nur, Pengaturan Self Determination Dalam Hukum Internasional (Studi Kemerdekaan Kosovo) , Jurnal Hukum Internasional, Vol.I No.1, Juli 2013, hlm. 71 39 40 Ibid.

  Kumbaro, Dajena, The Kosovo Crisis in a International Law Perspectiv:Self

determination, Territorian Integrity and the NATO Intervention , NATO office of International Press, 2001. hlm. 22 untuk menunjukan secara kolektif, nasib politiknya melalui cara-cara yang

  

  demokratis. Definisi dari penentuan nasib sendiri termasuk kepada hak suatu bangsa yang terorganisir dalam suatu wilayah yang tetap untuk menentukan nasib politiknya dalam cara demokratis, atau hak dari suatu bangsa yang hidup dalam negara yang merdeka dan berdaulat untuk bebas memilih pemerintahannya, untuk mengangkat institusi perwakilan dan untuk secara periodik memilih perwakilan dengan prinsip kebebasan dan kemerdekaan untuk memilih kandidat ataupun partai politik yang ada.

  b.

  Aspek ekonomi dari hak penentuan nasib sendiri pertama kali dimanifestasikan dalam bentuk hak bagi semua bangsa untuk menentukan sistem ekonomi sendiri dalam rezim penerintahan yang berkuasa dengan semangat kemerdekaan dan kedaulatan. Lebih jauh, dari sudut pandang ekonomi, hak tersebut juga termasuk penggunaan secara permanen oleh suatu bangsa kedaulatan atas pemanfaatan sumber daya alam, dan melindungi wilayah mereka dari kegiatan-kegiatan eksploitasi oleh perusahaan multinasional yang dapat merugikan secara ekonomis suku bungsa asli yang mendiami wilayah tersebut. Bagaimanapun juga, penghormatan terhadap prinsip kedaulatan harus tetap dapat memberikan

  

jaminan terhadap investasi asing.

  c.

  Aspek sosial mengandung arti bahwa setiap bangsa di dunia mempunyai hak untuk memilih dan menentukan sistem sosial di wilayah mereka 41 berdiam. Aspek ini terutama berkaitan dengan tegaknya keadilan sosial,

  Franck, T.M., The Emerging Right to Democratic Govermance, 86 American Journal International Law , 1992. Hlm. 52 42 Kumbaro, op.cit., hlm.24

  dimana semua bangsa memilikinya, dan lebih luas lagi, termasuk kepemilikan efektif atas hak sosial masing-masing bangsa tanpa adanya diskriminasi.

   d.

  Aspek budaya berhubungan dengan pembentukan adat istiadat dan kebudayaan masing-masing bangsa, yang merupakan elemen sangat penting dari hak penentuan nasib sendiri. Hal tersebut termasuk pengakuan akan hak untuk mmperoleh, menikmati dan menurunkan warisan kebudayaan, serta penegasan akan hak bagi semua orang untuk memperoleh pendidikan.

44 Bentuk berikutnya dari the right of self determination adalah the right of

  

external self determination. Hak penentuan nasib sendiri secara eksternal ini

  timbul dalam kasus-kasus yang ekstrim dan di tetapkan dalam keadaan-keadaan tertentu (umumnya dalam konteks dekolonisasi). external self determination ini telah ditentukan bentuknya dalam Declaration on Friendly Relation, yaitu:

  “the establishment of a sovereign and independent State, the free association

  

or integration with an independent State or the emergence into any other political

status freely determined by a people constitute modes of implementing the right to

self determination by that people.”

45 Hukum internasional tidak secara spesifik memberikan hak kepada suatu

  bangsa untuk memisahkan diri dari negara asal yang berdaulat dan harus di hormati keutuhan kedaulatan wilayahnya, hukum internasional juga tidak 43 Report of the Subcommission on Prevention of Discrimination and Protection of

  Minorities on its twenty-sixth session , E/CN.4/1128, paragraf 28 44 Ibid. 45 Ibid. menyangkal secara tegas akan keberadaan hak tersebut. Hukum internasional selain melindungi dan menghormati keutuhan wilayah suatu negara, secara bersamaan juga memberikan “keleluasaan” untuk lahirnya negara-negara baru. Fakta yang tidak terbantahkan saat ini adalah pemisahan diri merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri dan banyak negara-negara

  

  baru lahir dengan berdasarkan kepada hak ini. Tidak bisa dibantah bahwa hak untuk melepaskan atau memisahkan diri dengan berbagai alasan merupakan sebuah pengecualian terhadap prinsip keutuhan wilayah. Akan tetapi juga perlu ditekankan adalah prinsip keutuhan dan kedaulatan wilayah sebuah negara juga merupakan sesuatu yang tidak bisa dikesampingkan begitu Telah disebutkan sebelumnya, bahwa hak untuk memisahkan diri bisa muncul dalam keadaan- keadaan khusus tertentu, selain dalam konteks dekolonisasi. Yaitu ketika suatu bangsa dihalangi haknya oleh pemerintah yang berkuasa dalam menikmati

  

internal self determination (untuk mendapatkan status politik, ekonomi, sosial dan

  budaya), maka sebagai jalan terakhir yang diperbolehkan dalam hukum internasional adalah upaya melepaskan diri dari negara tersebut (external self

  

determination) . Sebagaimana Mahkamah Agung Kanada menegaskan dalam

  kasus Quebec:

  “the international law right to self determination generates at best, a right to

self determination…where a people is oppressed… or where a definable group is

denied meaningful access to government to pursue their political, economic,

social and cultural development. In all three situation, the people in question are

entitled to the right to external self determination because they have been denied

   the ability to exert internally their right to self determination”. 46 Thornberry, P., Self determination, Minorities, Humman Rights.: A review of International Instruments , International and Comparative Law Qurterly, 1989, hal.98 47 48 Kumbaro, Op.cit. Hlm. 29 Decision of the Supreme Court of Canada, op.cit., para. 138

  Pada faktanya terdapat juga bukti dimana hukum kebisaaan internasional mendukung hak untuk melepaskan diri. Hal ini bisa dilihat dalam praktek hukum internasional terkait lahirnya negara baru dalam beberapa dekade terakhir, yang bisa memberi kesan diakuinya hak untuk melepaskan diri dalam situasi-situasi khusus tertentu. Contohnya adalah kejatuhan Uni Soviet yang kemudian terpecah- pecah menjadi banyak negara dan perpecahan Republik Yugoslavia. Harus dicatat bahwa sukses dari klaim untuk melepaskan diri negara-negara baru adalah sebagian besar karena kehendak komunitas internasional untuk memberikan

   pengakuan terhadap eksistensi negara mereka.

3. Dukungan Irredentism

  Irredentism/ Iredentisme (dariirredento, "penebusan"), adalah

  konseketerkaitan sejarah dan

  

  budaya, baik aktual maupun hanya dugaan. n antara dua negara yang bersangkutan. Karena sebagian besar perbatasan wilayah telah dipindahkan atau ditetapkan ulang dari waktu ke waktu, kebanyakan negara-negara besar secara teoritis bisa mengklaim wilayah-wilayah tetangga mereka.

  Irredentistm adalah legal dalam hukum internasional. dan sudah

  dipraktekkan oleh banyak negara didunia. Seperti Hitler yang berupaya untuk 49 50 Kumbaro. Op.Cit. Hal.30 Rüdifer Wolfrum, The Max Planck Encyclopedia of Public International Law, Vol. 6,

  (Oxford University Press, 2013) hlm. 85 menyatukan Jerman Timur dan Barat, Somalia yang beupaya untuk mengembalikan etnis Somalia yang tinggal di daerah Ethiopia, Djibouti, dan Kenya pada tahun 1960an.

  Apa yang dilakukan Rusia di dalam konflik Crimea sudah jelas adalah

  

irredentism. Irredestism selalu menjadi perdebatan dalam komunitas internasional

  dan biasanya menimbulkan peperangan. Bahkan sebelum menjadi bagin Ukraina, Crimea adalah bagian dari Rusia, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mayoritas penduduk Crimea adalah etnis Rusia. Ditambah lagi situasi diskriminasi yang dialami oleh masyarakat Crimea sebagai minoritas dibanding dengan etnis asli Ukraina, mendorong Rusia untuk melakukan sesuatu untuk mendukung etnis Rusia di Crimea.

  B. Intervensi Militer Rusia di Crimea dalam Perspektif Rusia

  Dalam menunjukkan dukungannya terhadap masyrakat etnis Rusia di Crimea, Rusia mengerahkan segala daya dan upaya yang dapat ia berikan, termasuk dengan menyiagakan pasukan militernya di Crimea, memberikan bantuan peralatan militer kepada bala tentara Crimea, seperti pada tanggal 26 Februari 2014, ketika parlemen Ukraina menunjuk pemerintahan baru, Rusia menyiapkan sebanyak 150.000 prajuritnya dalam keadaan siap tempur untuk mendukung Crimea yang tidak setuju dengan penunjukan pemerintahan baru tersebut. Namun demikian tindakan Rusia menunjukkan dukungan militer dalam konflik Ukraina mendapat perhatian yang beragam dari masyrakat Internasional. banyak yang menentang dan mengatakan bahwa intervensi militer Rusia di Crimea telah melanggar prinsip Non-Intervensi dalam hukum Internasional. Namun Rusia bersikeras bahwa tindakan yang ia lakukan tidak melanggar hukum internasional.

  1. Use

of Force Sebagai Bentuk Pertahanan Diri (Self-Defence)

  Terkait dengan tindakan Rusia menaruh pasukan militernya di wilayah kedaulatan Ukraina, Rusia berargumen bahwa tindakannya tersebut adalah sebagai bentuk self-defence. Lebih lanjut Rusia menyatakan bahwa tindakan mereka adalah untuk melindungi masyarakat Rusia yang ada di Ukraina dari kekacauan yang terjadi di Ukraina dan melindungi masyarakatnya dari ancaman kelompok pro-Ukraina.

  Di dalam Hukum Internasional, hak untuk self-defence adalah hak mutlak yang dimiliki oleh negara-negara untuk melindungi kepentingan negaranya. Hak ini tercermin dalam pasal 51 Piagam PBB, dan pasal ini menjadi pengecualian terhadap prinsip non intervensi dan larangan penggunaan kekuatan bersenjata sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (4) Piagam PBB. Penjelasan mengenai

  

self-defence dikaitakan dengan prinsip non-intervensi akan dijelaskan lebih lanjut

pada Bab III karya tulis ini.

  2. Pen dudukan Pasukan Militer Rusia di Crimea adalah Berdasarkan Permintaan Pemerintah yang Sah Rusia berpendapat bahwa pendudukan pasukan militer Rusia di Crima bukanlah tindakan penggunaan kekerasan bersenjata yang dilarang dalam Hukum Internasional karena intervensi militer tersebut adalah berdasarkan permintaan dari pemerintahan yang sah. Rusia memberikan pendapat ini pada tanggal 4 Maret 2014 dihadapan Dewan Keamanan PBB. Pada saat itu Rusia diwakilkan oleh Vitaly Churkin, yang merupakan perwakilan tetap Rusia di PBB. Ia menyerahkan dihadapan Dewan Keamanan PBB sebuah surat tertanggal 1 Maret 2014 yang ditandatangani oleh Victor Yanukovych. Isi surat tersebut adalah permintaan untuk mendapatkan bantuan militer dari Rusia untuk membantu menjaga

  

  perdamaian dan keamanan. Pendapat ini didukung oleh Chria Borgen Opinio

  

Juris , yang mengatakan bahwa Intervensi Militer Rusia bukanlah suatu bentuk

  Invasi namun sebagai bentuk respon yang sah atas permintaan bantuan dari

   pemerintah.

  Pendapat di atas kemudian dikaitkan dengan suatu bentuk intervensi yang dibenarkan dalam Hukum Internasional yaitu Intervention by Invitation.

  Intervention by Invitation adalah suatu bentuk permintaan bantuan kepada otoritas atau negara lain untuk menjaga perdamaian dan keamanan. Pemintaan haruslah berasal dari permintaan yang sah.

  51 “Ukraine's Yanukovych asked for troops, Russia tells UN,” BBC News Europe (4

March 2014), available at diakses pada 11

maret 2015

52 Chris Borgen, “Who Speaks for Ukraine?” Opinio Juris (3 March 2014), available at

   Diakses pada 11 Maret 2015

3. Pas ukan Militer Rusia Tidak memasuki wilayah teritorial Ukraina

  Setelah menyatakan bawa Yanukovych-lah yang secara resmi meminta bantuan militer di Crimea, Rusia kemuadian mengklaim bahwa pasukan militer yang berada di Rusia bukanlah pasukan Militer Rusia namun adalah pasukan Pro- Rusia yang adalah orang-orang berkebangsaan Rusia. Dengan mengatakan hal tersebut Rusia berdalih bahwa Rusia tidak melanggar kedaulatan wilayah Ukraina karena susungguhnya pasukan militer Rusia tidak melanggar perbatasan Ukraina.