Intervensi Rusia Di Crimea Dalam Perspektif Hukum Internasional

(1)

INTERVENSI RUSIA DI CRIMEA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

FRANS YOSHUA SINUHAJI NIM: 110200134

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

INTERVENSI RUSIA DI CRIMEA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

FRANS YOSHUA SINUHAJI NIM: 110200134

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui Oleh:

NIP: 195612101986012001 Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H

NIP: 196207131988031003 NIP: 196403301993031002 Arif, S.H., M.H

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

I will praise Thee; for I am fearfully and wonderfully made; marvelous are Thy works; and that my soul knoweth right well. (Psalm 113:4)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Bapa Yang Maha Baik di surga, karena atas berkat dan karunia-Nya, Roh Kudus untuk penghiburan sepanjang waktu, dan Tuhan Yesus Kristus sang Juruselamat yang menganugerahkan penulis kemampuan untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul

INTERVENSI RUSIA DI CRIMEA DALAM PERSPEKTIF HUKUM

INTERNASIONAL” ini sesuai dengan harapan.

Latar belakang penulisan skripsi ini tidak semata-mata untuk kelulusan kegiatan akademik belaka, tetapi penulis juga ingin mengkaji dan menelaah isu mendesak yang kian mendapat perhatian masyarakat internasional berkaitan dengan Intervensi yang dilakukan Rusia di Crimea. Tindakan Rusia dalam melakukan intervensi militer dan intervensi dalam urusan dalam negeri Ukraina telah melanggar prinsip non-intervensi dalam hukum internasional. namun demikian, pada kenyataannya hingga saat ini Rusia tidak mendapatkan sanksi secara hukum internasional. Masyarakat internasional, organisasi internasional dan regional serta negara-negara terus berdebat mengenai intervensi yang dilakukan Rusia, dalam forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tentang bagaimana sebenarnya status hukum internasional terhadap pelanggaran hukum oleh Negara Besar.

Penulis sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak ketidaksempurnaan dan kekurangan, baik yang disebabkan oleh keterbatasan


(4)

kemampuan penulis maupun panasnya kontroversi pembahasan hukum internasional mengenai isu status hukum intervensi negara Rusia sehingga menyebabkan Ukraina kehilangan wllayah negaranya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan skripsi ini dan perkembangan hukum internasional pada umumnya.

Dengan penuh rasa hormat, penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses penulisan skripsi dan dalam pembelajaran penulis, yakni:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum USU;

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan I; 4. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM, selaku Wakil Dekan II; 5. Bapak OK. Saidin, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III;

6. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional;

7. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departeman Hukum Internasional;

8. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H. selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan skripsi ini;


(5)

9. Bapak Arif, SH, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing 2 penulis yang telah membantu penulis dalam mengarahkan dan mendorong penulis untuk menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya;

10.Bapak Azwar Mahyuzar, SH, selaku Dosen Pembimbing Akademik; 11.Bapak Deni Amsari Purba, SH, L.L.M. selaku Dosen Hukum Internasional

yang banyak memberi semangat dan motivasi kepada penulis untuk memiliki pandangan hidup yang out of the box;

12.Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.LI. selaku Pembina Tim USU dalam Philip C. Jessup International Moot Court Competition;

13.Dosen-dosen Fakultas Hukum USU yang telah menyumbangkan ilmu yang tidak ternilai bagi penulis;

14.Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum USU: jajaran staf administrasi dan seluruh pegawai Fakultas Hukum USU lainnya;

15.Ayah dan Ibu tercinta, thank you for being the best parents you can be,for all sacrifice you have done in life to raise your kids and to take us to the University. We know what you’ve been through, we promise you we will make it worth. Skripsi ini saya dedikasikan untuk mereka berdua;

16.My soul sisters, Emmanuella Yanita Sinuhaji and Peggy Shella Sinuhaji, I love you guys with my whole existence;

17.Keluarga Besar Kebaktian Mahasiswa Kristen Fakultas Hukum USU, terkhusus Re’wuel (Kak Monica, Ibreina, Etha, Ari) dan my partner in Christ, Abdiel (Pasca, Naomi, Giani), juga kepada Jeremi, Tody, Nathan,


(6)

Maruli, Tama, Sarah, Kristy, Jessica, dan banyak nama lain yang saya doakan didalam hati, terimakasih telah membantu saya bertumbuh;

18.Senior-senior dan teman-teman di Philip C. Jessup International Law

Moot Court Club (ILMCC), Heriyanto, Kak Paulina, Kak Yuthi, Bang

Michael, Bang Herbert, Bang Henjoko, especially, my dream team for Philip C. Jessup International Law Moot Court Competition 2015, Assyfa, Yohana, and Elisa. Juga kepada Astra, Steven, Saufi, Anderson dan anggota-anggota lain. We will prevail!;

19.International Law Student Association (ILSA) Fakultas Hukum USU,

terkhusus untuk ILSA Comperative Study and Tour to Beijing, I will take the memory forever;

20.Teman-teman Stambuk 2011 Fakultas Hukum USU, terkhusus Agnes, Betari, Dyna, Sisca, Daniel, John, Poltak, Tulus, Nida, Eko, Dian, Ido, Holy, Andre, Sarjit, Srinita, Reta, dan semua teman-teman Grup C, terimakasih untuk membuat kehidupan kampus lebih berwarna;

21.Panitia Natal Fakultas Hukum USU tahun 2013 dan 2014;

22.Kepada sahabat-sahabat dari Teman Meriah yang masih akan terus bersahabat sampai selamanya. Kepada Echy, Lastri, Emmerisa, Anita, Cindy, Deasy, Yehezkiel, Yeheskiel, Arifin, Rizky, Ayu, Gina, Moia, Rangga, Isha, Utri, Efriani, dan semua yang tidak dapat disebut satu persatu. Terimakasih telah membuat hari-hari liburan menjadi tak terlupakan.


(7)

Akhir kata, semoga Tuhan memberkati kita semua dan membalas segala kebaikan dan jasa semua pihak yang telah membantu penulis secara tulus dan ikhlas. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Medan, Maret 2015 Hormat Penulis,

NIM. 110200134 Frans Yoshua Sinuhaji


(8)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...i

Daftar Isi...vi

Abstraksi ...xi

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. ... LA TAR BELAKANG ...1

B. ... RU MUSAN MASALAH ...6

C. ... TUJ UAN PENULISAN ...6

D. ... KE ASLIAN PENULISAN ...7

E. ... TIN JAUAN KEPUSTAKAAN ...8

F.... ME TODE PENELITIAN ...10

1. ... Jeni s Pendekatan ...10

2. ... Dat a Penelitian ...11


(9)

3. ... Tek nik Pengumpulan Data ...12 4. ... Ana

lisis Data ...13 G. ... SIS

TEMATIKA PEMBAHASAN ...13

BAB II INTERVENSI RUSIA DI CRIMEA ...16 A. ... Lat ar Belakang Intervensi Rusia di Crimea...16 1. ... Hub

ungan Historis, Sosial, Ekonomi, dan Budaya Antara Rusia dan Crimea ...17 2. ... Ke

wajiban Untuk Mendukung Hak Menentukan Nasib Sendiri (The Duty to Promote Self-Determination) ...33 3. ... Duk

ungan Irredentism...39 B. ... Inte rvensi Militer Rusia di Crimea dalam Perspekti Rusia ...40 1... Use

Of Force Sebagai Bentuk Pertahanan Diri ...41


(10)

2... Pen dudukan Pasukan Militer Rusia di Crimea adalah Berdasarkan Permintaan Pemerintah yang Sah ...41 3.... Pas

ukan Militer Rusia Tidak Memasuki Wilayah Teritorial Ukraina .... ...42

BAB III PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI

INTERVENSI ...44 A. ... Pen

gertian Intervensi dalam Hukum Internasional ...44 B. ... Prin

sip Non-Intervensi dalam Hukum Internasional ...45 1. ... Pas al 2 ayat (4) Piagam PBB ...46 i. ... Pen

ggunaan Kekuatan Bersenjata (Use of Force) ...47 ii. ... Anc

aman Kekuatan Bersenjata (Threat of Force) ...48 iii. ... Rua

ng Lingkup Hubungan Internasional (The Frame of International Relations) ...49


(11)

iv. ... Kes atuan Wilayah dan Kemerdekaan Politik (Territorial Integrity and Political Independence) ...51 2. ... Pas al 2 ayat (7) Piagam PBB ...52 i. ... Rua

ng Lingkup Yurisdiksi PBB ...54 ii. ... Rua

ng Lingkup Yurisdiksi Domestik ...56 iii. ... Ke wenanangan Menentukan Kompetensi ...58 3. ... Prin

sip Non-Intervensi Menurut Konvensi Internasional ...59 i. ... Hel

sinki Final Act 1975 ...60 ii. ... Dec

laration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of Their Independence and Sovereignty 1965 ...63 iii. ... Dec

laration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation Among States In Accordance with the Charter of the United Nations 1970 ...66


(12)

C. ... Inte rvensi yang Dibenarkan dalam Hukum Internasional ...67 1. ... Pen

gecualian terhadap Pasal 2 ayat (4) dan pasal 2 ayat (7) Piagam PBB 67 i. ... Pen

egakan Hukum Oleh PBB ...68 ii. ... Hak

Untuk Pembelaan Diri (The Right of Self-Defence) ...70 2. ... Inte

rvensi Kemanusiaan (Humanitarian Intervention) ...74 3. ... Res

ponsibility to Protect ...87 i. ... Hub

ungan Antara Responsibility to Protect dengan Prinsip-Prinsip Lain dalam Hukum Internasional ...94 ii. ... Imp

lementasi Prinsip Responsibility to Protect...97

BAB IV PERSEKTIF HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI INTERVENSI RUSIA DI CRIMEA ...106

A. ... Inte rvensi Militer Rusia di Crimea Berdasarkan Perspektif Hukum Internasional ...106


(13)

1. ... Tid ak Ada Situasi yang Membenarkan Self-Defence ...106 2. ... Vict ory Yanukovich Tidak Didalam Kapasitas yang Sah Untuk Meminta Dukungan Militer dari Rusia ...108 3. ... Pas

ukan Militer Rusia Memasuki Wilayah Kedaulatan Ukraina ...110 B. ... Tin

dakan Intervensi Rusia Melanggar Prinsip Kesatuan Wilayah (Territorial Integrity) Negara Ukraina ...113 1. ... Tin

dakan Rusia Memberikan Bantuan Militer Terhadap Gerakan Separatis adalah Pelanggaran dalam Hukum Internasional ...113 2. ... Inte

rveni Rusia Menyebabkan Ukraina Kehilangan Wilayah Negaranya 116 C. ... Tan

ggapan Komunitas Internasional Terkait Intervensi Rusia di Crimea .. 119 1. ... Tan

ggapan NATO (North Atlantic Treaty Organization) ...120 2. ... Tan ggapan EU (Europe Union) ...122 3. ... Tan ggapan Berbagai Negara Dunia ...124


(14)

i. ... Neg ara yang Mendukung Intervensi Rusia ...124 ii. ... Neg ara yang Menentang Intervensi Rusia ...126

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...131 A. ... KE

SIMPULAN ...131 B. ... SA

RAN ...133 DAFTAR PUSTAKA ...136 ix


(15)

INTERVENSI RUSIA DI CRIMEA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

*) Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H **) Arif, SH.,M.H

***) Frans Yoshua Sinuhaji

ABSTRAKSI

Hukum Internasional secara tegas melarang intervensi yang dilakukan suatu negara didalam urusan internal negara lain. Hal ini dikaitkan dengan prinsip kedaulatan negara sebagai norma tertinggi dalam hukum internasional, dimana setiap negara mempunyai hak untuk mengurusi urusan domestik negaranya tanpa campur tangan pihak lain. Intervensi adalah suatu cara yang ditempuh oleh suatu negara untuk mencapai keinginannya dengan ikut campur dalam urusan internal negara lain. Sepanjang tahun 2014, dunia internasional dihadapkan pada suatu isu internasional yang pelik dan hingga pada saat ini masih meninggalkan pertanyaan yang belum pasti jawabannya. Isu tersebut terkait dengan tindakan intervensi Rusia di Crimea, suatu daerah berotonomi khusus di wilayah kedaulatan Ukraina. Intervensi Rusia tersebut ditujukan kepada masalah dalam negeri negara Ukraina hingga menyebabkan Ukraina kehilangan wilayah teritorialnya.

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah mengapa Rusia melakukan intervensi di Crimea, bagaimana pengaturan hukum internasional mengenai intervensi, dan bagaimana perspektif hukum internasional terhadap intervensi Rusia di Crimea.

Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku,


(16)

jurnal, internet, instrumen hukum internasional dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penyusunan karya ilmiah ini.

Inilah saatnya masyarakat internasional bergerak melampaui pemahaman kontemporer akan arti kedaulatan dan kenegaraan dalam sistem hukum internasional. Pada dasarya tindakan intervensi yang dilakukan Rusia telah melanggar prinsip non-intervensi dalam hukum internasional, namun pada faktanya hingga kini Crimea telah menjadi bagian wilayah Rusia dan Rusia tidak menerima sanksi apapun atas pelanggaran yang dilakukannya. Hukum internasional seperti kehilangan taring dihadapan negara-negara besar, sehingga tindakan negara tersebut yang melanggar hukum internasional tidak berarti apa-apa. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat internasional untuk mengadakan perubahan dan/atau mengkaji kembali norma-norma dalam hukum internasional untuk membentuk suatu hukum internasional yang mengikat bagi semua negara tanpa terkecuali.

Kata kunci: Intervensi, Kedaulatan, Teritorial *) Dosen Pembimbing I

**) Dosen Pembimbing II

***) Mahasiswa Fakultas Hukum USU


(17)

INTERVENSI RUSIA DI CRIMEA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

*) Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H **) Arif, SH.,M.H

***) Frans Yoshua Sinuhaji

ABSTRAKSI

Hukum Internasional secara tegas melarang intervensi yang dilakukan suatu negara didalam urusan internal negara lain. Hal ini dikaitkan dengan prinsip kedaulatan negara sebagai norma tertinggi dalam hukum internasional, dimana setiap negara mempunyai hak untuk mengurusi urusan domestik negaranya tanpa campur tangan pihak lain. Intervensi adalah suatu cara yang ditempuh oleh suatu negara untuk mencapai keinginannya dengan ikut campur dalam urusan internal negara lain. Sepanjang tahun 2014, dunia internasional dihadapkan pada suatu isu internasional yang pelik dan hingga pada saat ini masih meninggalkan pertanyaan yang belum pasti jawabannya. Isu tersebut terkait dengan tindakan intervensi Rusia di Crimea, suatu daerah berotonomi khusus di wilayah kedaulatan Ukraina. Intervensi Rusia tersebut ditujukan kepada masalah dalam negeri negara Ukraina hingga menyebabkan Ukraina kehilangan wilayah teritorialnya.

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah mengapa Rusia melakukan intervensi di Crimea, bagaimana pengaturan hukum internasional mengenai intervensi, dan bagaimana perspektif hukum internasional terhadap intervensi Rusia di Crimea.

Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku,


(18)

jurnal, internet, instrumen hukum internasional dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penyusunan karya ilmiah ini.

Inilah saatnya masyarakat internasional bergerak melampaui pemahaman kontemporer akan arti kedaulatan dan kenegaraan dalam sistem hukum internasional. Pada dasarya tindakan intervensi yang dilakukan Rusia telah melanggar prinsip non-intervensi dalam hukum internasional, namun pada faktanya hingga kini Crimea telah menjadi bagian wilayah Rusia dan Rusia tidak menerima sanksi apapun atas pelanggaran yang dilakukannya. Hukum internasional seperti kehilangan taring dihadapan negara-negara besar, sehingga tindakan negara tersebut yang melanggar hukum internasional tidak berarti apa-apa. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat internasional untuk mengadakan perubahan dan/atau mengkaji kembali norma-norma dalam hukum internasional untuk membentuk suatu hukum internasional yang mengikat bagi semua negara tanpa terkecuali.

Kata kunci: Intervensi, Kedaulatan, Teritorial *) Dosen Pembimbing I

**) Dosen Pembimbing II

***) Mahasiswa Fakultas Hukum USU


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Internasional secara tegas melarang intervensi yang dilakukan suatu negara di dalam urusan internal negara lain. Hal ini dikaitkan dengan prinsip kedaulatan negara sebagai norma tertinggi dalam hukum internasional, dimana setiap negara mempunyai hak untuk mengurusi urusan domestik negaranya tanpa campur tangan pihak lain. Intervensi adalah suatu cara yang ditempuh oleh suatu negara untuk mencapai keinginannya dengan ikut campur dalam urusan internal negara lain.1

Berdasarkan sejarahnya Crimea memang memiliki hubungan emosional yang sangat erat dengan Rusia, tidak hanya pada masa Uni Soviet sampai sekarang pun kapal-kapal angkatan laut dan perang Rusia masih mempunyai tempat di pelabuhan Laut hitam yang berbatasan langsung dengan Ukraina. Armada laut Hitam berpangkalan di semenanjung Crimea sejak didirikan oleh Pangeran Sepanjang tahun 2014, dunia internasional dihadapkan pada suatu isu internasional yang pelik dan hingga pada saat ini masih meninggalkan pertanyaan yang belum pasti jawabannya. Isu tersebut terkait dengan tindakan intervensi Rusia di Crimea, suatu daerah berotonomi khusus di wilayah kedaulatan Ukraina. Intervensi Rusia tersebut ditujukan kepada masalah dalam negeri negara Ukraina hingga menyebabkan Ukraina kehilangan wilayah teritorialnya.

1

Parry and Grant, Encyclopedic Dictionary of International Law, Oceana Publication, Inc., New York 1986, hlm. 190-191


(20)

Potemkin pada tahun 1783. Posisi strategis armada Rusia di sana sangat berperan ketika mengalahkan Georgia dalam perang Ossetia Selatan pada tahun 2008, dan tetap penting untuk kepentingan kemananan Rusia di wilayah tersebut. Crimea merupakan bagian dari Rusia sebelum Nikita Kruschev (1954/Uni Soviet) menyerahkannya sebagai hadiah kepada Ukraina. Setelah Uni Soviet runtuh dan masing-masing negara memisahkan diri serta menyatakan kemerdekaanya, Crimea tetap saja menjadi alasan ketegangan antara Rusia dan Crimea.

Menurut Lauterpach mengartikan intervensi sebagai campur tangan secara diktator oleh suatu Negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan situasi atau barang di negeri tersebut. Intervensi dapat menggunakan kekerasan ataupun tidak. Hal tersebut biasa dilakukan oleh Negara adikuasa terhadap Negara lemah, tindakan tersebut dapat merupakan embargo senjata, ekonomi, ataupun keuangan.2

2

Teori-teori liberalisme, terdapat d

Hal yang dilakukan oleh Rusia atas wilayah Crimea yaitu dengan mengirimkan bantuan pasukan militernya untuk menjaga perdamaian di wilayah Crimea merupakan salah satu bentuk intervensi. Intervensi bukanlah hal yang illegal satau dilarang dalam hukum internasional, namun intervensi tersebut harus dilihat motif, kuantitas, dampak dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Dalam Piagam PBB disebutkan bahwa dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional, meningkatkan hubungan persahabatan dan mencapai kerjasama internasional di semua bidang, termasuk adanya beberapa kewajiban internasional semua Negara untuk:

2015.


(21)

1. Menghormati persamaan kedaulatan semua bangsa;

2. Tidak menggunakan ancaman atau kekerasan terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah suatu Negara;

3. Tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu Negara, dan 4. Berusaha menyelesaikan pertikaian antar Negara secara damai. Untuk menjaga dan mewujudkan salah satu tujuan dibentuknya PBB yaitu perdamaian dunia dientuklah dewan keamanan PBB. Berdasarkan Pasal 24 Piagam PBB menetapkan bahwa untuk menjamin tindakan yang cepat dan efektif, maka Negara-negara anggota menyerahkan kepada Dewan Keamanan tanggung jawab yang utama yaitu memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan menyetujui pula bahwa Dewan Keamanan akan melaksanakan kewajibannya di bawah tanggung jawab ini. Kemudian kekuasaan yang lebih luas lagi telah diberikan oleh Piagam PBB, agar Dewan Keamanan dapat menyelenggarakan kebijaksanaan PBB itu dengan cepat dan pasti. Dalam hal ini Dewan Keamanan dapat bertindak terhadap dua macam persengketaan:

1. Persengketaan yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, dan;

2. Peristiwa yang mengancam perdamaian dan/atau agresi

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa konflik di Crimea Ukraina dapat dikategorikan sebagai konflik yang dapat mengancam perdamaian. Konflik internal ini telah menelan korban nyawa dari pihak yang menghendaki referendum. Hukum internasional menjunjung tinggi prinsip non-intervensi, dalam arti bahwa negara lain atau organisasi internasional manapun pada dasarnya


(22)

tidak berhak untuk ikut campur dalam urusan dalam negeri suatu negara. Sebab kedaulatan negara adalah jus cogens yang tidak bisa diganggu gugat. Piagam PBB telah mengatur larangan untuk melakukan intervensi pada Pasal 2 (4). Pasal tersebut berbunyi :

“All members shall refrain in their international relation from the threat or use of force against the teritorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations”.

Menurut Vedross terdapat tiga ciri aturan atau prinsip yang dapat menjadi Jus Cogens hukum internasional yaitu:

1. Kepentingan bersama dalam masyarakat internasional. 2. Timbul untuk tujuan-tujuan kemanusiaan.

3. Sesuai atau selaras dengan piagam PBB3

Tafsiran Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB mengenai penggunaan paksaan (use of force) dalam konfrensi adalah penggunaan kekerasan fisik atau bersenjata (armed force). Jessup menyatakan bahwa pelarangan kekerasan bersenjata (use of force)

yang dinyatakan dalam pasal 2 (4) tidaklah absolut, jika penggunaan kekerasan tersebut tidak mengancam kesatuan wilayah atau kebebasan politik dari suatu negara. Syarat tersebut dapat menghindari dari batasan yang digunakan dalam kalimat pertama pasal tersebut. Selanjutnya harus dapat dipastikan bahwa tindakan tersebut tidak melanggar tujuan dari PBB. Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Higgins, kekerasan bersenjata (use of force) yang dilarang

3

Jianming Shen, Then Non Intervention Principle and Humanitarian Intervention under International Law, International Legal Theory, 2001. hlm.1


(23)

menurut hukum internasional adalah ketika ada keinginan negara untuk bermusuhan ditambah dengan aktivitas militer.4

Terlepas benar atau salah tindakan Rusia tersebut, pada faktanya Crimea telah menjadi wilayah kedaulatan Rusia, dan Rusia tidak mendapat sanksi apapun dari PBB. Terlebih lagi, Rusia sebagai salah satu dari lima Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB, mempunyai hak veto untuk menolak atau menerima segala keputusan Dewan Keamanan PBB. Hal ini kemudian membuat masyarakat internasional bertanya-tanya bagaimana status kekuatan hukum internasional sebenarnya, jika hukum internasional yang dibuat bersama dengan menjunjung

Invansi militer Rusia ke Ukraina yaitu wilayah Crimea dilatarbelakangi atas motif pendudukan wilayah. Tujuan utama dari intervensi yang dilakukan Rusia adalah untuk mendapatkan kembali wilayah Crimea kembali ke Rusia. Tindakan Rusia yang mendapat kecaman dari Amerika dan PBB dan beberapa negara lain ini tentunya salah. Dengan jelas dapat dikatakan bahwa Rusia telah melanggar prinsip non-intervensi. Namun demikian, Rusia bersikeras bahwa ia telah memberikan kebebasan dan memberikan waktu untuk Crimea menentukan nasibnya sendiri tanpa pengaruh dari Kiev. Intervensi yang beresiko yang dilakukan oleh Rusia memang bertentangan secara hukum internasional, tapi jika sebagian besar suara dari Ukraina menyuarakan positif. Penggunaan kekuatan militer Rusia di Ukraina hanya untuk membantu menjaga keamanan dan melindungi etnis Rusia. Tidak ada kontak senjata, tidak ada kekerasan hanya memberikan ancaman kepada pasukan militer pemerintah Ukraina.

4

Rosalyn Higgins, Problem and Process International Law and How We use it, Oxford University Press, England,1994, hlm. 246


(24)

tinggi prinsip persamaan antara negara-negara tidak tajam kepada negara-negara yang super power. Terkait dengan permasalahan tersebut sudah sepantasnya lah masyarakat internasional mulai memberi perhatian terhadap isu-isu terkait dengan tindakan negara-negara besar untuk ikut campur di dalam urusan dalam negeri negara lain dan berusaha untuk megambil wilayah negara tersebut untuk menjadi wilayah baru dinegaranya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas serta sesuai dengan judul skripsi ini, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini, antara lain:

1. Mengapakah terjadi intervensi Rusia di Crimea?

2. Bagaimana pengaturan hukum internasional mengenai intervensi? 3. Bagaimana perspektif hukum international terhadap intervensi Rusia di

Crimea?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penelitian serta penulisan skripsi ini antara lain adalah:

1. Untuk mengetahui alasan-alasan Rusia melakukan intervensi di Crimea 2. Untuk mengetahui pengaturan hukum Internasional mengenai

Intervensi

3. Untuk mengetahui perspektif Hukum Internasional terakait dengan Intervensi yang dilakukan Rusia di Crimea


(25)

Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu hukum secara khusus. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat hukum internasional maupun perangkat hukum nasional dalam kaitan dengan intervensi yang dilakukan suatu negara terhadap urusan dalam negeri negara lain apalagi jika intervensi tersebut sampai mengakibatkan suatu negara kehilangan wilayah negaranya.

2. Secara praktis

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman yang lebih mendalam bagi pemegang otoritas di dunia serta aparat-aparat hukum yang terkait di tiap-tiap negara mengenai isu intervensi yang dilakukan negara-negara besar dalam urusan dalam negeri negara lain.

D. Keaslian Penulisan

Karya tulis ini merupakan karya tulis asli, sebagai refleksi dan pemahaman dari apa yang telah penulis pelajari selama mengikuti kompetisi The Philip C. Jessup International Law Moot Court Competition 2015. Penulis berupaya untuk menuangkan seluruh gagasan dengan sudut pandang yang netral dengan menguji isu mengenai intervensi Rusia di Crimea terkait dengan konlik internal di negara


(26)

Ukraina, khususnya pro kontra yang ditinjau dari Piagam PBB, Konvensi Internasional, dan pandangan negara-negara di dunia.

Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang “Intervensi Rusia di Crimea Dalam Persepektif Hukum Internasional” belum pernah ditulis sebelumnya.

Khusus untuk yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, keaslian penulisan ini ditunjukkan dengan adanya penegasan dari pihak administrator bagian/jurusan hukum internasional.

E. Tinjauan Kepustakaan

Hukum Internasional dalam pembahasan sebenarnya adalah hukum internasional publik. Menurut Rebecca M.M Wallace, hukum internasional adalah peraturan-peraturan dan norma-norma yang mengatur tindakan negara-negara dan kesatuan lain yang pada suatu saat diakui mempunyai kepribadian internasional, seperti misalnya organisasi internasional dan individu, dalam hal hubungan satu dengan yang lainnya.5 Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja mendefinisikan hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara antara negara dengan negara; negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain. 6

5

Rebecca M.M. Wallace, Pengantar Hukum International, diterjemahkan oleh Bambang Arumanadi, SH, Msc, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1993), hal. 1

6

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Binacipta, 1990), hal. 3


(27)

Intervensi dapat diartikan sebagai turut campurnya sebuah Negara dalam urusan dalam negeri Negara lain dengan menggunakan kekuatan atau ancaman kekuatan, sedangkan intervensi kemanusiaan diartikan sebagai intervensi yang dilakukakan oleh komunitas internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia dalam sebuah Negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan Negara tersebut.7

7

Bryan A. Garner ed., Black’s Law Dictionary , Seventh Edition, Book 1, West Group, ST. Paul, Minn,1999, hlm. 826.

Di dalam hukum internsional sendiri intervensi adalah perbuatan yang dilarang karena intervensi berakibat kepada pelanggaran terhadap kedaulatan negara yang merupakan norma fundamental dalam hukum internasional. Sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (4) dan Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB yang mencerminkan prinsip non-intervensi dalam hukum internasional, mengatakan bahwa setiap negara dilarang untuk menggunakan kekuatan bersenjata dan ancaman kekerasan terhadap kemerdekaan politik, kedaulatan negara, dan kesatuan wilayah negara lain. Prinsip ini juga tercermin di berbagai konvensi hukum internasional seperti Helsinki Final Act 1975, Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of Their Independence and Sovereignty 1965, Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation Among States In Accordance with the Charter of the United Nations 1970, yang menetapkan larangan bagi negara-negara untuk melakukan intervensi di dalam urusan dalam negeri negara lain.


(28)

Dalam pembahasan isu hukum internasional tidak terlepas dari sumber-sumber hukum internasional yang termaktub dalam pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yaitu:8

a. international conventions, whether general or particular, establishing

rules expressly recognized by the contesting states (Perjanjian-Perjanjian Internasional);

b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law (Hukum kebiasaan internasional);

c. the general principles of law recognized by civilized nations (Prinsip-prinsip umum hukum internasional);

d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. (Putusan-putusan pengadilan internasional dan ajaran-ajaran para sarjana terkemuka).

F. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabakan secara ilmiah, maka metode penelitian yang digunakan sebagai berikut :

1. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis pendekatan dalam penelitian, yaitu pendekatan yuridis sosiologis dan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan

8


(29)

yuridis sosiologis merupakan pendekatan dengan mengambil data primer atau data yang diambil langsung dari lapangan, sedangkan pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan dengan data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen). Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif karena yang hendak diteliti dan dianalisa melalui penelitian ini adalah intervensi Rusia di Crimea dalam perspektif hukum internasional.

2. Data Penelitian

Sumber data dari penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library

research). Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap berbagai macam sumber

bahan hukum yang dapat diklasifikasikan atas 3 (tiga) jenis, yaitu:9

a. bahan hukum primer (primary resource atau authoritative records), yaitu: Berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini antara lain adalah berbagai konvensi dan perjanjian internasional seperti Piagam PBB, Helsinki Final Act 1975, Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of Their Independence and Sovereignty 1965, Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation Among States In Accordance with the Charter of the United Nations 1970 serta berbagai putusan internasional maupun nasional dan resolusi lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder (secondary resource atau not authoritative records) yaitu:

9

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet.Kedua, (Jakarta: Penerbit Rajawali, 1986), hal. 15


(30)

Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer. Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang isu pengungsi serta perdebatan status hukum dan perlindungan bagi orang-orang yang terpaksa mengungsi karena bencana alam yang ditinjau dari sudut pandang hukum internasional seperti literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-makalah dalam seminar, dan lain-lain.

c. Bahan Hukum Tersier (tertiary resource), yaitu:

Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, mencakup kamus bahasa untuk pembenahan bahasa Indonesia serta untuk menerjemahkan beberapa literatur asing.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengna cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan serta jurnal-jurnal hukum.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut : a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya

yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penulusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.


(31)

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengaan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisis Data

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan tersier yang telah disusun secara sistematis sebelumnya, akan dianalisis dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:10

a. Metode induktif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun data-data yang telah diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan dan diteliti sedemikian rupa sebelum dituangkan dalam satu kesimpulan akhir. b. Metode deduktif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang

kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya tidak perlu diragukan lagi dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.

c. Metode komparatif, yaitu dengan melakukan perbandingan (komparasi) antara satu sumber bahan hukum dengan bahan hukum lainnya.

G. Sistematika Pembahasan

10

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, (Jakarta: Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 10-11


(32)

Dalam melakukan pembahasan skripsi ini, penulis membagi dalam 5 (lima) bab yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I Bab I adalah Bab Pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang pemilihan judul, dimana penulis melihat kelemahan dalam hukum internasional yang berat sebelah kepada negara-negara besar ditinjau dengan isu intervensi Rusia di Crimea, bab ini diikuti dengan perumusan masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan yang terakhir yaitu sistematika pembahasan.

Bab II Di dalam bab ini, akan dibahas latar belakang intervensi Rusia di Crimea, dimulai dengan menelusuri hubungan historis, politik, sosial dan kebudayaan antara Rusia dengan Crimea, dan pembelaan Rusia terhadap tindakan intervensi yang dilakukannya.

Bab III Bab III membahas mengenai pengaturan hukum internasional mengenani Intervensi. Dimulai dengan membahas definisi intervene menurut hukum internasional, pengaturan mengenai prinsip non-intervensi di dalam piagam PBB dan konvensi-konvensi internasional seperti Helsinki Final Act 1975, Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of Their Independence and Sovereignty 1965, Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation Among States In


(33)

Accordance with the Charter of the United Nations 1970, dan dibahas pula mengenai intervensi yang dibenarkan dalam hukum internasional.

Bab IV Bab ini membahas mengenai perspektif hukum internasional terhadap intervensi Rusia di wilayah Ukraina. Bagaimana pandangan hukum internasional menganai alasan Rusia melakukan intervensi dan pembelaan Rusia terhadap intervensi yang dilakukannya dibandingkan dengan prinsip-prinsip dalam hukum internasional dan fakta-fakta hukum yang tersedia. Juga akan disajikan bagaimana tanggapan komunitas internasional terhadap intervensi Rusia, mulai dari NATO, Uni Eropa, hingga pernyataan sikap negara-negara dunia baik mendukung maupun menentang tindakan intervensi Rusia tersebut.

Bab V Bab ini adalah bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan akan mencakup isi dari semua pembahasan ada bab-bab sebelumnya. Sedangkan saran mencakup gagasan dan usulan dari penulis terhadap permasalahan yang dibahas pada skripsi ini berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya.


(34)

BAB II

INTERVENSI RUSIA DI CRIMEA

A. ... Lat ar Belakang Intervensi Rusia di Crimea

Ukraina, yang merupakan negara eks Uni Soviet semakin bersikap pro Barat dengan menandatangani kerja sama kesepakatan perdagangan dengan Uni Eropa (UE). Kerja sama Ukraina dengan UE menawarkan kesempatan kepada semua pihak untuk bekerja sama demi masa depan yang lebih aman, dan memastikan secara tegas keanggotaan Ukraina di dalam UE. Meskipun penandatanganan kerja sama tersebut merupakan hak berdaulat setiap negara, Rusia yang kecewa dengan kebijakan Ukraina telah memperingatkan negara tersebut akan ada konsekuensi serius yang harus dihadapi pasca penandatangan kerja sama itu. Pihak Rusia menilai blok ekonomi yang terbentuk itu merugikan perekonomiannya.

Upaya kerja sama Ukraina dengan UE ini telah ditempuh melalui proses yang tidak mudah. Di masa pemerintahan mantan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych upaya ini digagalkan, sehingga ia dijatuhkan dari pemerintahannya Februari 2014. Pelengseran Presiden Ukraina Viktor Yanukovych yang merupakan sekutu Rusia, dibalas Rusia dengan mendukung gerakan pemisahan diri Crimea dari Ukraina. Langkah Crimea yang melepaskan diri dari negara Ukraina dengan dukungan Rusia, kemudian diikuti oleh wilayah-wilayah lain di timur Ukraina yang penduduknya sehari-hari memang berbahasa Rusia. Di bulan April, gerakan separatisme pro Rusia di wilayah administrasi Donetsk dan Luhansk di timur


(35)

Ukraina telah menewaskan sekitar 450 jiwa tersebut, kembali memanas setelah upaya perpanjangan gencatan senjata yang diusulkan UE gagal dipenuhi.

1. Hubungan Historis, Sosial, Ekonomi, dan Budaya Antara Rusia dan Crimea

Crimea adalah sebuah wilayah otonomi khusus yang merupakan bagian dari Ukraina. Konflik tersebut melibatkan Ukraina, Crimea dan Rusia. Konflik terjadi karena adanya tarik ulur kepentingan antara fihak-fihak yang bertikai. Secara umum ada tiga opsi kepentingan yang menyebabkan pertikaian di Crimea: keinginan untuk mempertahankan Crimea tetap sebagai bagian Ukraina, keinginan untuk menjadikan Crimea sebagai bagian Rusia, dan keinginan untuk menjadikan Crimea sebagai negara yang merdeka. Konflik yang terjadi di Crimea tidak lepas dari sejarah perjalanan hubungan politik antar negara di sekitar wilayah tersebut dan kondisi demografis di Crimea.

Wilayah Crimea dihuni oleh 3 etnik utama yaitu Rusia (59%), Ukraina (20%), Tatar Crimea (15%) dan sisanya etnik lain (6%).11

11

Public Opinion Survey Residents of the Autonomous Republic of Crimea May 16 – 30, 2013,http://www.iri.org/sites/default/files/2013%20October%207%20Survey%20of%20Crimean %20Public%20Opinion,%20 May%2016-30,%202013.pdf, diakses pada 26 Februari 2015.

Media massa saat ini lebih banyak menyorot pertikaian antara etnik Rusia dan Ukraina yang mempunyai kepentingannya masing-masing.Semenanjung Crimea dipisahkan dari Ukraina oleh sistem Sivash laguna dangkal. Garis pantai Crimea berliku-liku dan terdiri atas beberapa teluk dan pelabuhan. Topografi Crimea relatif datar karena sebagian besar semenanjung ini terdiri dari padang rumput semi kering atau padang rumput


(36)

tanah. Pegunungan Crimea terletak di sepanjang pantai tenggara semenanjung itu.12

Kondisi Geografis, Iklim, Ekonomi dan Pemerintahan di Crimea merupakan wilayah yang berada di daerah selatan Ukraina di Semenanjung Crimea. Wilayah ini dikelilingi oleh Laut Hitam disisi barat selatan dan laut Azov disisi timur dan mencakup hampir seluruh wilayah semenanjung itu dengan pengecualian Sevastopol, sebuah kota yang saat ini sedang diperdebatkan oleh Rusia dan Ukraina. Luas wilayah Crimea adalah 26.100 km persegi. Crimea berbatasan dengan distrik Kherson (Ukraina) di utara dan dipisahkan dari Krasnodarsky Kray (Rusia) oleh Selat Kerch disebelah timur.13

Bagian tengah dari Crimea memiliki iklim stepa benua ringan dengan musim panas yang kering panas dan musim dingin yang dingin lembab. Suhu rata-rata di Ibu kota Republik Otonomi Crimea adalah Simferopol. Beberapa kota utama yang ada di Crimea adalah Feodosia, Kerch, Sevastopol, Simferopol, Sudak, Yalta, dan Yevpatoria. Pantai selatan Crimea memiliki iklim sub- Mediterania, dengan musim panas yang kering panas dan musim dingin ringan yang lembab hangat. Suhu rata-rata di musim panas (Juli) +23,0° sampai +24,5° dan di musim dingin (Januari) +2,0° sampai +4,0°. Curah hujan tahunan di pantai selatan Crimea adalah sekitar 350-650 (mm). Daerah ini memiliki 250-300 hari bersinar matahari per tahun. Bagian pegunungan yang memisahkan pantai selatan Crimea dari bagian tengah Crimea memiliki iklim benua ringan yang hangat dengan musim panas ringan yang lembab dan musim dingin yang dingin lembab.

12

Gwendolyn Sasse, The Crimea Question : Identity, Transition, and Conflict, Ukrainian Research Institute, Harvard University (2007), hlm 12

13


(37)

musim panas (Juli) +22,0° sampai +23,5 ° dan di musim dingin (Januari) -2,3° sampai - 0,0°. Curah hujan tahunan di bagian tengah dari Crimea adalah sekitar 340-480 (mm).14 Perekonomian Crimea utamanya didasarkan pada pariwisata dan pertanian. Kota Yalta adalah tempat tujuan wisata yang terkenal di Laut Hitam bagi orang-orang Rusia, demikian juga dengan Alushta, Eupatoria, Saki, Feodosia dan Sudak. Produk pertanian utama Crimea adalah biji-bijian, sayuran dan anggur. Pemeliharaan ternak sapi, ayam dan domba juga merupakan sumber ekonomi yang penting. Crimea memiliki beberapa sumber alam seperti garam, batu mulia, batu kapur dan pasir besi.15 Crimea telah menjadi bagian dari Ukraina sejak 1954. Pemimpin Uni Soviet saat itu, Nikita Khrushchev “memberikan” wilayah ini pada Ukrania yang kemudian menjadi bagian dari Uni Soviet hingga negara ini bubar pada 1991. Sejak saat itu, Crimea menjadi wilayah semiotonom dari negara Ukraina yang memiliki ikatan politik kuat dengan Ukraina, namun memiliki ikatan budaya yang kuat dengan Rusia.16 Crimea memiliki badan legislatif sendiri -Dewan Tertinggi Crimea beranggotan 100 wakil rakyat- dan kekuasaan eksekutif yang dipegang Dewan Menteri yang dipimpin seorang ketua yang berkuasa atas persetujuan Presiden Ukraina. Pengadilan adalah bagian dari sistem peradilan Ukraina dan tidak memiliki otoritas otonom.17

Sejarah bangsa Tatar Crimea Tatar Crimea adalah penduduk asli Crimea yang sejarahnya berawal sejak berabad-abad yang lalu. Kekuatan dan wibawa bangsa Tatar Crimea mencapai puncaknya sebagai Khanate Crimea yang independen,

14

http://www.crimeaconsulting.com/crimea.html, diakses pada 06-03-2015.

15

http://en.wikipedia.org/wiki/Crimea, diakses pada 07-03-2015.

16

Gwendolyn Sasse, op.cit., hlm. 45

07-03-2015


(38)

yang muncul pada paruh pertama abad ke-15 dan terus berlangsung sampai 1783.18 Selama lebih dari 300 tahun itu, ia menjadi kekuatan utama dan memainkan peran penting dalam internasional, maupun hubungan politik dan militer di seluruh Eurasia.19 Penduduk Tatar Crimea Dengan maksud untuk secara penuh memahami sejarah Tatar Kremia perlu dilihat kembali pendahulu Khanate Crimea, yaitu Golden Horde. Golden Horde dibentuk oleh cucu Jenghis Khan, Batu, meliputi wilayah yang luas pada apa yang sekarang menjadi Rusia dan Ukraina, termasuk semenanjung Crimea di selatan. Dalam beberapa abad setelah kematian Batu, Crimea menjadi tempat berlindung bagi calon-calon yang tidak berhasil menduduki tahta Horde tersebut.20

Pada tahun 1443, salah satu dari pesaing-pesaing ini, Haci Giray telah berhasil memisahkan diri dari Golden Horde dan mengangkat dirinya sendiri sebagai pemerintah independen pada sebagian Crimea dan area perbatasan dari stepa tersebut. Keturunannya memerintah di Crimea dengan beberapa pengecualian sampai akhir abad 17. Sebagai salah satu dari banyak pecahan Golden Horde, Khanate Crimea, “lebih dari yang lain dalam melestarikan tradisi dan institusi Golden Horde”. Haci Giray, “keturunan Cingis Khan (Jengis Khan)”, menjalankan kekuasaan yang merdeka antara tahun 1420 sampai 1441.21

18

Gwendolyn Sasse, op.cit., hlm. 66

19

The Crimean Tatars: Overview and Issues, Oktober 2009, dimuat pada lamanhttp://www.unpo.org/images/2009_Presidency/crimean%20tatars,%20overview%20and%20 issues,%20october%202009.pdf.

20

Brian Glyn Williams, The Sultan’s Raiders, The Military Role of the Crimean Tatars in the Ottoman Empire, The Jamestown Foundation, Washington, D.C., 2013. Hlm. 432

21

Gwendolyn Sasse, op.cit., hlm. 78


(39)

mendirikan sebuah dinasti yang memerintah Khanate Crimea tanpa gangguan sampai tahun1783, pada saat aneksasi Rusia atas Crimea.22

Pada tahun 1454, Tatar dan Turki membuat serangan yang gagal pada pelabuah Kefe; pada tahun 1475 mereka akhirnya merebutnya dari Genoa, hal itu memperkuat hubungan politik dan militer Crimea-Utsmaniyah di masa depan.

Khanate Crimea yang berbagi semenanjung Crimea dengan Genoa, mencoba untuk mendapatkan kembali pelabuhan dan kota-kota mereka di bagian selatan dan barat daya Crimea. Dalam upaya ini mereka masuk ke dalam aliansi dengan Khilafah Utsmaniyah yang relatif baru, yang ingin merebut “mimpi berabad-abad Muslim dan Turki tentang Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Romawi Timur.” Sejak dari situasi itu selamanya berubah untuk Genoa, yang perdagangannya tergantung pada selat yang kini dikendalikan oleh Khilafah Utsmaniyah.

23

Khanate Crimea sangat kuat di awal keberadaannya. Namun, pada abad 17 dan 18 para khan ini mulai kehilangan kekuatan mereka karena ketidakstabilan domestik. Para pemimpin suku setempat, yang memperoleh kekayaan tertentu, kekuasaan politik dan militer, menjadi kurang tergantung pada khan, dan bertindak sendiri tanpa persetujuan khan. Khilafah Utsmani kehilangan kekuatan di Eropa dan, sebaliknya, Rusia mendapatkan kekuasaannya. Rusia memiliki kepentingan untuk mendapatkan akses ke Laut Hitam dan, mengeksploitasi ketidakstabilan internal dan kelemahan Crimea, menyerangnya dan tahun 1774 Hubungan dan peran Khanate Crimea dengan Khilafah Utsmaniyah akan dijelaskan lebih rinci pada bagian berikutnya.

22

Igor Davydov, The Crimean Tatars and Their Influence on the ‘Triangle of Conflict’ — Russia-Crimea-Ukraine, Thesis Naval Postgraduate School, Monterey California, Maret 2008

23 Ibid.


(40)

memaksa khan di bawah pengaruhnya; dan kemudian pada tahun 1783, Crimea dianeksasi oleh kekaisaran Rusia.24 Setelah aneksasi itu, Catherine II membuat reorganisasi pemerintahan di Crimea. Itu bukan pengalaman pertama bagi Rusia untuk memerintah wilayah Muslim di kekaisaran Rusia: Kazan Tatar dan Bashkir Volga telah dianeksasi sebelum aneksasi Crimea. Untuk memenuhi keputusannya, Catherine mengadakan sensus di Crimea, sebuah studi sistem administrasi perpajakan Crimea, dan menunjuk Pemerintah Distrik Crimea yang baru didirikan Tavricheskaya oblast’, “area bekas Khanate Crimea dari Sungai Dnepr ke Taman (yang membentang jauh melampaui Semenanjung Crimea itu sendiri dan termasuk sepotong besar wilayah Ukraina sekarang).” Sistem administrasi Khanate yang lama digantikan oleh sistem administrasi yang biasa berada dalam kekaisaran Rusia masa itu.25

Dalam hal agama, kebijakan Rusia akhir abad 16 dan 17 dimaksudkan untuk memberantas Islam dalam kekaisaran Rusia. Kemudian pada tahun 1773, Catherine sendiri yang tidak beragama, menerbitkan keputusan ‘Toleransi pada semua kepercayaan’, yang memungkinkan bangsa Tatar untuk mempraktekkan Islam. Catherine memungkinkan masing-masing orang Crimea “untuk mendapatkan kewajiban dan hak yang sama seperti yang didapatkan rekannya di Rusia.” Pada saat yang sama, ia membiarkan bagi mereka yang tidak ingin memiliki kewarganegaraan Rusia berangkat ke Kekaisaran Utsmaniyah. Diperkirakan bahwa selama dekade pertama setelah aneksasi, jumlah Tatar yang meninggalkan Crimea berkisar dari sekitar 20.000-30.000 sampai

24 Ibid. 25


(41)

200,000, dengan jumlah penduduk Tatar Crimea pra-aneksasi “sedikit kurang dari setengah juta.” Eksodus massal Tatar selama dekade terakhir dari Khanate Crimea (sejak 1772) dan dekade pertama setelah aneksasi telah meninggalkan sejumlah besar lahan kosong, yang selain berefek negatif pada demografi, juga memiliki beberapa efek negatif pada pertanian. Di sisi lain, lahan bebas di negara yang ditinggalkan itu telah menarik para penjajah.26

Pada awal abad kesembilan belas, selain 8.746 orang Rusia yang ada sebelumnya, sekitar “35.000 non- Muslim telah menetap di semenanjung Crimea, bekas Khanate Crimea, yang meliputi tanah dari Dnestr ke sungai Kuban, yang hanya ditinggali kurang dari 100.000 pemukim Rusia.” Aneksasi Crimea merupakan peristiwa penting dalam sejarah Rusia. “Dengan menganeksasi Crimea, Rusia mencapai apa yang banyak dianggap sebagai perbatasan selatan ‘alami’ nya.” Nasionalisme Crimea abad kesembilan belas telah menyebar ke entitas Muslim lain dalam Kekaisaran Rusia dengan semakin meningkatnya perasaan anti-Rusia, yang disebabkan oleh tidak hormatnya Rusia terhadap budaya Tatar dan Russifikasi yang dipaksakan.

27

Selama revolusi Rusia 1917-1918 para nasionalis Tatar meningkatkan klaim kemerdekaan mereka. Perang Dunia pertama menyebabkan krisis dalam identitas Tatar Crimea. Di satu sisi, Tatar yang diwakili di Duma (parlemen), dalam eksekutif Rusia mereka berpartisipasi dalam organisasi-organisasi Muslim dan berjuang di barisan depan barat Perang Dunia I. Di sisi lain, Kekaisaran Utsmaniyah mendukung musuh Rusia di perang Dunia I dan gagasan untuk

26

Gwendolyn Sasse, op.cit., hlm. 456

27


(42)

melawan perang itu hampir tidak dapat diterima. Selama Perang Saudara Rusia dari 1918-1921, Crimea adalah arena untuk berjuang kelompok-kelompok yang berkepentingan. Tatar tidak menerima pembela kepentingan mereka baik dari Bolshevics maupun Whites, Tentara Relawan yang terdiri dari mantan tentara tsar. Tidak ada pihak yang tertarik untuk menyebabkan Crimea merdeka; masing-masing dari mereka menginginkan Rusia bersatu di bawah kekuasaan mereka sendiri. Akhirnya, pada bulan Oktober 1920, Bolshevics menduduki Crimea dan tinggal di sana sampai invasi Jerman pada tahun 1941.28

Di Uni Soviet, Crimea menerima status Otonomi Crimea Republik Sosialis Soviet (Crimean ASSR) dan, secara administratif, merupakan bagian dari Republik Federasi Sosialis Rusia (RSFSR). Pada saat itu, rakyat Tatar Crimea merupakan sekitar seperempat dari populasi ASSR Crimea. Otonomi tersebut bersifat terbatas dan Moskow tetap bertanggung jawab atas sebagian besar kegiatan Crimea, dengan pengecualian barangkali pada masalah-masalah keadilan, pendidikan, dan kesehatan. Dua kota pelabuhan penting, Sevastopol dan Evpatoria, dikeluarkan dari yurisdiksi Crimea dan disubordinasikan langsung ke Moskow. Selama Perang Dunia II, Crimea relatif mudah diduduki oleh Jerman, Rumania, dan Italia untuk jangka waktu dari 1941 sampai 1944, dengan pengecualian adalah Sevastopol yang secara heroik dipertahankan hingga Juli 1942. 29

Segera setelah Crimea kembali di bawah kontrol Soviet pada awal tahun 1944, Stalin memerintahkan deportasi Tatar Crimea dan minoritas kecil lainnya

28

Ibid, hlm. 567

29


(43)

sebagai hukuman kolektif untuk kerjasama mereka dengan Nazi. Pada tahun 1967, Tatar telah direhabilitasi tapi dilarang kembali ke Crimea. Crimean ASSR dihapuskan pada tahun 1945 dan direorganisasi menjadi Oblast Crimea bagian dari RSFSR. Pada tahun 1954, Crimea dipindahkan di bawah yurisdiksi Ukraina SSR karena kedekatan hubungan geografis, ekonomi, dan budaya dengan Ukraina, dan sebagai sikap persahabatan yang melambangkan ulang tahun ke-300 perjanjian yang menyatukan Rusia dan Ukraina30

Selama beberapa tahun setelah Perang Dunia II dan sampai pembubaran Uni Soviet, Crimea dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata dan pangkalan untuk Armada Laut Hitam (BSF). Di bawah Uni Soviet demografi Crimea berubah secara signifikan. Bencana kelaparan pada 1921-1922 mengakibatkan penurunan populasi penduduk lebih dari 21 persen. Seratus ribu orang meninggal karena kelaparan (60 persen dari mereka adalah Tatar Crimea) dan lima puluh ribu, terutama Tatar, mengungsi ke luar negeri. Pada tahun 1923, 25 persen (seratus lima puluh ribu) dari populasi Crimea adalah Tatar. Sebanyak 35000 - 40000 Tatar Crimea dipindahkan ke Siberia sebagai bagian dari serangan Stalin pada nasionalisme Tatar Crimea; padahal sebelum perang populasi Tatar Crimea adalah sekitar 300 ribu sampai 2 juta, dan pada akhir 1970-an kurang dari seribu dua ratus keluarga Tatar yang tercatat di Crimea. Perubahan dramatis tersebut disebabkan oleh deportasi terhadap Tatar dan minoritas lainnya.

.

31

Deportasi Tatar Crimea dan minoritas lainnya dari Crimea diprakarsai oleh Stalin pada tahun 1944 setelah pembebasan Crimea oleh Tentara. Selama

30

Paul Robert Magocsi, A History Of Ukraine, University Of Toronto Press, London (1986), hlm. 65

31


(44)

pendudukan Jerman terhadap Crimea sejumlah 15.000-20.000 Tatar Crimea membantu Jerman untuk pendukung perang di pegunungan Crimea. Fisher mengacu pada perkiraan yang berbeda menyatakan bahwa sekitar 20,000-53,000 Tatar Crimea berperang melawan Jerman bergabung dalam Tentara Merah dan sampai sekitar dua belas ribu bertahan dan bersembunyi bawah tanah. Stalin mengabaikan partisipasi Tatar Crimea pada Great Patriotic War melawan Nazi Jerman dan memerintahkan deportasi mereka ke Asia Tengah. Dengan terjadinya disintegrasi Uni Soviet pada tahun 1991, Crimea menjadi bagian integral dari negara Ukraina merdeka yang baru. Crimea adalah wilayah yang bukan tipikal Ukraina karena beberapa alasan.32

Secara etnis, Crimea adalah satusatunya daerah di Ukraina dengan mayoritas besar adalah orang-orang Rusia. Komposisi penggunaan bahasa sehari-hari Secara kultural Crimea adalah berkultur Rusia; bahkan administrasinya masih menggunakan bahasa Rusia pada dokumennya, meskipun fakta bahwa satu-satunya bahasa resmi di Ukraina adalah bahasa Ukraina. Secara historis, setidaknya dari sudut pandang Rusia, Crimea adalah bagian dari Rusia sampai saat Khrushchev, etnis Rusia dan mantan pemimpin Ukraina, memindahkannya ke Republik Sosialis Soviet Ukraina pada tahun 1954. Crimea adalah pangkalan untuk BSF dan Sevastopol masih dianggap sebagai “kota kejayaan Rusia.” Crimea yang dianggap sebagai “daerah panas” merupakan ancaman yang cukup berarti bagi kesatuan negara Ukraina.33

32

Paul Robert Magocsi, log.cit., hlm. 80

33


(45)

Pada tahun 1991, walaupun oblast Crimea adalah bagian dari SSR Ukraina, pemerintah daerahnya menjalankan referendum untuk mendirikan Otonomi Crimea Republik Sosialis Soviet (ASSR) dalam Uni Soviet, dengan dukungan lebih dari 80 persen populasinya. Legitimasi hukum untuk referendum itu dipertanyakan, karena “tidak ada hukum referendum pada waktu itu baik di Uni Soviet maupun di Ukraina.” Namun hal itu mencerminkan fakta demografis yang tak terbantahkan. Pengaruh Tatar Crimea terhadap hasil referendum itu disamakan dengan nol. Pada saat itu Tatar merupakan segmen kecil dari populasi Crimea. Pada musim semi tahun 1987 hanya ada 17.400 Tatar Crimea sebagai bagian dari lebih dua juta penduduk Crimea saat itu. Mereka diberikan hak kembali ke tanah air sebelum Uni Soviet runtuh, dan pada bulan Juni 1991 populasi Tatar Crimea telah meningkat menjadi 135.000. Selain itu, sebagian besar Tatar memboikot referendum karena mereka lebih memilih untuk tetap sebagai bagian dari Ukraina.34

Pada bulan April 1992, parlemen Ukraina mengadopsi hukum tentang Status Republik Otonomi Crimea yang memberikan kekuasaan yang lebih luas dibandingkan dengan badan-badan teritorial lainnya di Ukraina.35

34

Gwendolyn Sasse, op.cit., hlm. 664 35

Paul Robert Magocsi, log.cit., hlm. 332

Sebagai tanggapanyan, pada bulan Mei 1992 parlemen Crimea mengadopsi “Konstitusi ditambah Deklarasi Kemerdekaan,” bagaimanapun, klaim bahwa republik Crimea diproklamasikan adalah bagian dari republik Ukraina dan bahwa hubungan antara kedua republik ‘independen’ itu harus tetap didasarkan pada perjanjian. Pengalaman Crimea berada dalam Ukraina merdeka dapat dibagi menjadi dua


(46)

periode, dengan Revolusi Oranye tahun 2004 sebagai batasnya. Periode pertama terdiri dari dua sub - periode: periode 1992-1995 ditandai dengan upaya pemisahan diri yang diprakarsai oleh kekuatan politik pro-Rusia; dan periode kedua dari 1995- 2004 ditandai dengan kondisi relatif stabil dari sikap separatis.

Periode kedua sejak tahun 2004 pada gilirannya telah ditandai dengan munculnya konflik antara Crimea dengan pemerintah pusat. Pembagian ini adalah bersyarat karena hubungan Ukraina - Crimea telah tak normal sejak Ukraina merdeka. Hubungan Russo - Ukraina, dalam sengketa Crimea, berkisar pada hak-hak etnis Rusia di Crimea, pembagian Armada Laut Hitam dan hak-hak pangkalannya. Akhirnya, terkait dengan Tatar Crimea yang kembali dari pengasingan membawa ketegangan tambahan di wilayah tersebut. Masalah tanah, pemulihan hak-hak Tatar Crimea, dan hubungan antar-etnis menjadikan lebih rumit situasi di Republik Otonomi Crimea, dan meradikalkan baik etnis Rusia maupun Tatar Crimea.

Krisis dan konflik di Crimea dan secara luas di Ukraina pada saat laporan ini ditulis masih berlangsung. Rusia vs Barat Pihak Barat menuduh Rusia bermaksud memecah belah bekas wilayah Uni Soviet tersebut. Intervensi Rusia dalam masalah Ukraina dinilai tidak sesuai dengan norma-norma internasional. Rusia yang telah mendapat sanksi ekonomi dari Barat menolak tuduhan tersebut. Meski majelis tinggi parlemen Rusia telah membatalkan resolusi yang memungkinkan penggunaan kekuatan militer di Ukraina atas permintaan Presiden Vladimir Putin, sikap keras Rusia telah memunculkan reaksi negatif di pihak UE. Sebanyak 28 pemimpin UE menyatakan Rusia harus mengambil keputusan untuk mendukung


(47)

rencana perdamaian Ukraina. Rusia diminta mengambil langkah efektif untuk berhenti mendestabilisasi Ukraina, menciptakan kondisi aman untuk rencana perdamaian yang akan dilaksanakan dan mengakhiri dukungannya kepada kelompok separatis bersenjata. UE juga menuntut agar gerakan separatis pro Rusia setuju untuk mengembalikan pos pemeriksaan perbatasan ke Ukraina, membebaskan sandera, dan meluncurkan pembicaraan serius pada pelaksanaan rencana perdamaian yang diajukan oleh Presiden Ukraina Petro Poroshenko.

Konflik yang berawal Nopember tahun lalu, merupakan cerminan pertarungan geopolitik di kawasan Rusia dan Eropa Timur. Berikut adalah gambaran kronologi singkat dari jalannya konflik tersebut yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Pada tanggal 21 November 2013 pemerintah Ukraina yang pro Rusia secara tiba-tiba mengumumkan penundaan pembicaraan Perjanjian Asosiasi dan Perdagangan dengan Uni Eropa, demi membangun hubungan ekonomi yang lebih erat dengan Rusia. Langkah itu memicu kemarahan kelompok oposisi yang pro-Eropa, yang kemudian berencana melakukan demonstrasi. Pada tanggal 30 November 2013, polisi menyerang sekelompok pengunjuk rasa, dan menahan 35 orang. Foto-foto pengunjuk rasa yang berdarah oleh serangan polisi dengan cepat menyebar sehingga meningkatkan dukungan publik untuk demonstrasi. Memasuki bulan Desember demonstrasi semakin membesar sampai mengumpulkan demonstran sebanyak 300.000 orang, yang terbesar di Kiev sejak Revolusi Oranye tahun 2004. Aktivis merebut Balai Kota Kiev. Pada tanggal 17 Desember 2013 Presiden UkrainaYanukovych berangkat ke Moskwa, Rusia, bertemu dengan Putin untuk menandatangi kesepakatan dana talangan sebesar 15 miliar dolar


(48)

Amerika Serikat (sekitar Rp 177.18 trilun) dan mendapat potongan harga untuk membeli gas Rusia.

Pada bulan Januari 2014 unjuk-rasa terus berlanjut dan terjadi bentrok dengan polisi yang menyebabkan jatuhnya korban. Pada tanggal 28 Januari 2014, Perdana menteri mengundurkan diri dan parlemen mencabut undang-undang anti protes baru yang keras yang memicu kekerasan seminggu sebelumnya. Kedua pihak mencapai kesepakatan bersama yang bertujuan untuk meredakan krisis. Pada 2 Februari 2014 para pemimpin oposisi meminta mediasi internasional dan bantuan finansial dari Barat di hadapan lebih dari 60.000 demonstran di Kiev. Tanggal 5-6 Februari 2014 Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Catherine Ashton dan utusan khusus AS untuk Eropa, Victoria Nuland, mengunjungi Kiev. Tanggal 7 Februari 2014 Presiden Yanukovych bertemu dengan sekutunya Presiden Rusia, Vladimir Putin, di sela-sela acara pembukaan Olimpiade Musim Dingin di Sochi, Rusia. Pada 9 Februari 2014 sekitar 70.000 demonstran berkumpul di Lapangan Merdeka. Selanjutnya pada14 Februari 2014 sebanyak 234 demonstran yang ditahan sejak Desember 2013 dibebaskan, tetapi dakwaan atas mereka tidak dicabut. Tanggal 16 Februari 2014 para demonstran meninggalkan balai kota Kiev yang mereka duduki sejak 1 Desember 2013. Puluhan ribu orang berkumpul di Lapangan Merdeka. Pada 18-19 Februari 2014 sebanyak 28 orang, termasuk 10 polisi, tewas dalam bentrokan berdarah di Lapangan Merdeka. Demonstran kembali menduduki balai kota Kiev. Polisi antihuruhara melancarkan serangan terhadap demonstran sepanjang malam. Pada 19 Februari 2014 Presiden Yanukovych mencopot kepala staf angkatan bersenjata Ukraina dan


(49)

mengumumkan digelarnya “operasi anti-teroris” di negaranya sendiri. Negaranegara Barat mengecam aksi kekerasan di Ukraina dan mengancam akan menjatuhkan sanksi. Tanggal 20 Februari 2014 para demonstran menyerang polisi di Kiev, mengabaikan kesepakatan gencatan senjata yang dicetuskan Yanukovych. Sekitar 25 orang tewas dalam peristiwa itu, Kementerian Dalam Negeri Ukraina mengatakan dua orang polisi tewas ditembak dalam insiden itu. Pada tanggal 21 Februari 2014 para pemimpin oposisi menanda-tangani pakta perdamaian dengan Presiden Yanukovych yang dimediasi oleh Uni Eropa. Pada 22 Februari 2014 parlemen Ukarina mengadakan pungutan suara untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Yanukovych.

Tanggal 26 Februari 2014 parlemen Ukarina menunjuk pemerintah baru. Hal ini menyebabkan kemarahan Rusia sehingga menyiapkan sebanyak 150.000 prajuritnya dalam kondisi siaga tinggi. Pada hari yang sama sejumlah pasukan bersenjata pro-Rusia tanpa identitas secara perlahan mulai mengambil kendali di semenajung Crimea. Tanggal 27 Februari 2014 pasukan tak dikenal menduduki gedung parlemen regional dan Gedung dewan kementrian Crimea di Simferopol.

Pada tanggal 28 Februari 2014, sementara orang-orang bersenjata menduduki gedung, parlemen mengadakan sidang darurat, dan melakukan pungutan suara untuk mengakhiri pemerintah Crimea, dan mengganti Perdana Menteri Anatolii Mohyliov dengan Sergey Aksyonov. Aksyonov adalah anggota Partai Persatuan Rusia, yang menerima 4% suara dalam pemilu terakhir. Sidang darurat ini juga melakukan pungutan suara untuk mengadakan referendum tentang otonomi yang lebih besar pada tanggal 25 Mei. Orang-orang bersenjata tersebut telah memotong


(50)

semua komunikasi pada gedung tersebut dan mengambil ponsel anggota parlemen saat mereka masuk. Tidak ada wartawan independen diizinkan di dalam gedung ketika pemunggutan suara sedang berlangsung. Beberapa anggota parlemen menyatakan bahwa mereka diancam dan bahwa suara diberikan untuk mereka dan anggota parlemen lainnya, meskipun mereka tidak berada di ruangan.

Pada 1 Maret 2014, Putin memenangkan persetujuan parlemen untuk menginvasi Ukraina. Hal ini memicu kemarahan Gedung Putih. Tanggal 6 Maret 2014 parlemen Crimea melakukan pemungutan suara untuk bergabung dengan Rusia, dan menjadwalkan referendum tentang hal itu pada tanggal 16 Maret 2014. Pada 16 Maret 2014, referendum diselenggarakan di Crimea, dan menunjukkan dukungan yang luar biasa untuk bergabung dengan Federasi Rusia, meskipun diboikot oleh Tatar Crimea dan penentang referendum lainnya. Parlemen Ukraina menyatakan referendum itu inkonstitusional. Amerika Serikat dan Uni Eropa mengutuk referentum itu ilegal, dan kemudian memberlakukan sanksi terhadap orangorang yang dianggap telah melanggar kedaulatan Ukraina.

Tanggal 21 Maret 2014, Putin menandatangani undang-undang untuk melengkapi aneksasi Crimea. AS memberlakukan sanksi terhadap Putin dan sekutu dekatnya Uni Eropa mengikuti dengan langkah-langkah yang sama. Pada tanggal 24 Maret 2014, Kementerian Pertahanan Ukraina mengumumkan bahwa sekitar 50% dari tentara Ukraina di Crimea telah membelot ke militer Rusia. Tanggal 27 Maret 2014 Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi tidak mengikat yang menyatakan referendum Crimea yang didukung Moskow tidak


(51)

valid. Resolusi disahkan dengan 100 suara mendukung, 11 menentang dan 58 abstain dalam majelis 193 negara.

Pada tanggal 1 April 2014 NATO mengumumkan menagguhkan semua kerjasama sipil dan militer dengan Rusia. Pada 7 April 2014 aktivis Pro-Rusia menguasai gedung-gedung pemerintah di kotakota timur Donetsk, Luhansk dan Kharkiv, serta menyerukan referendum kemerdekaan. Pihak berwenang Ukraina mendapatkan kembali kontrol dari gedung Kharkiv hari berikutnya. Pada 11 April 2014 perdana menteri sementara Ukraina menawarkan untuk memberikan kekuasaan lebih bagi wilayah timur, saat separatis pro-Rusia terus menduduki bangunan di Donetsk dan Luhansk. Tanggal 12 April 2014 milisi bersenjata Pro-Rusia mengambil alih kantor polisi dan gedung badan keamanan di kota Slovyansk, 60 kilometer dari Donetsk di mana militan pro-Rusia mengambil alih markas polisi. Pada tanggal 15 April 2014 parlemen Ukraina meloloskan RUU yang menyatakan semenanjung Crimea selatan sebagai wilayah yang sementara diduduki oleh Federasi Rusia dan memberlakukan larangan perjalanan bagi penduduk Ukraina untuk mengunjungi Crimea.

2. Kewajiban Untuk Mendukung Hak Menentukan Nasib Sendiri (The Duty to Promote Self-Determination)

Setiap Negara mempunyai kewajiban untuk mendukung hak menentukan nasib sendiri (self-determination).sebagaimana tercantum di dalam berbagai instrumen hukum internasional seperti di dalam Declarations of Friendly Relations;


(52)

“Every State has the duty to promote, through joint and separate action, realization of the principle of equal rights and self-determination of peoples, in accordance with the provisions of the Charter, and to render assistance to the United Nations in carrying out the responsibilities entrusted to it by the Charter regarding the implementation of the principle”36

Di dalam salah satu dictum putusan Mahkamah Internasional terkait kasus

Bercelona Traction. Mahkamah Internasional memperkenalkan konsep kewajiban

erga-omnes dalam hukum internasional. Kewajiban erga omnes adalah kewajiban yang dimiliki oleh setiap negara dan negara tersebut bertanggung jawab untuk melaksanakannya dihadapan seluruh komunitas internasional. Di dalam kasus

East Timor Mahkamah Internasional menegaskan bahwa kewajiban untuk

menghormati dan mendukung self-determination terlah berkembang menjadi kewajiban erga-omnes.37

Hak menentukan nasib sendiri (the right of self determination) telah menjadi prinsip dasar hukum internasional umum yang diterima dan diakui sebagai suatu norma yang mengikat dalam masyarakat internasional yang sering disebut dengan Oleh karena itu, Rusia berpendapat bahwa tindakannya untuk mengintervensi di konflik Crimea adalah sebagai perwujudan dari tanggung jawab negaranya untuk mendukung self-determination, karena rakyat Crimea sedang berjuang untuk memperoleh hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai perwujudan dari hak asasi manusia.

36

Barcelona Traction, Light and Power Company, Limited (Belgium v. Spain) [1962– 1970], Second Phase, Judgment, I.C.J Reports [1970], para 33.

37


(53)

Jus Cogens.38 Prinsip ini membatasi kehendak bebas negara dalam menangani masalah gerakan separatis yang terjadi di wilayahnya dengan tetap mengacu pada kaidah hukum internasional yang mengancam validitas setiap persetujuan-persetujuan ataupun aturan dan cara-cara yang ditempuh negara yang bertentangan dengan hukum internasional, karena penentuan nasib sendiri diakui oleh masyarakat internasional sebagai HAM yang harus dihormati.39

Dimana aspek-aspek politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan tersebut dalam hak penentuan nasib sendiri sendiri saling berhubungan dan saling ketergantungan satu sama lainnya. Saling ketergantungan setiap aspek tersebut dapat dilihat melalui pengakuan penuh dan implementasi dari masing-masing aspek tersebut.

Bentuk pertama dari hak penentuan nasib sendiri adalah the right of internal

self determination. Sumber hukum internasional yang diakui seperti yang

tercantum dalam Covenant on Civil and Political Rights 1966 and Covenant on

Economic, Social and Cultural Rights 1966 membenarkan bahwa hak suatu

bangsa untuk menentukan nasib sendiri melalui internal self determination

merupakan upaya suatu bangsa untuk mendapatkan pengakuan status politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan dalam kerangka satu kesatuan negara yang berdaulat.

40

a. Aspek Politik menunjukan sebuah pemikiran bahwa termasuk di dalam hak penentuan nasib sendiri adalah kemampuan dari suatu kelompok orang

38

Rafika Nur, Pengaturan Self Determination Dalam Hukum Internasional (Studi Kemerdekaan Kosovo), Jurnal Hukum Internasional, Vol.I No.1, Juli 2013, hlm. 71

39 Ibid. 40

Kumbaro, Dajena, The Kosovo Crisis in a International Law Perspectiv:Self determination, Territorian Integrity and the NATO Intervention , NATO office of International Press, 2001. hlm. 22


(54)

untuk menunjukan secara kolektif, nasib politiknya melalui cara-cara yang demokratis.41

b. Aspek ekonomi dari hak penentuan nasib sendiri pertama kali dimanifestasikan dalam bentuk hak bagi semua bangsa untuk menentukan sistem ekonomi sendiri dalam rezim penerintahan yang berkuasa dengan semangat kemerdekaan dan kedaulatan. Lebih jauh, dari sudut pandang ekonomi, hak tersebut juga termasuk penggunaan secara permanen oleh suatu bangsa kedaulatan atas pemanfaatan sumber daya alam, dan melindungi wilayah mereka dari kegiatan-kegiatan eksploitasi oleh perusahaan multinasional yang dapat merugikan secara ekonomis suku bungsa asli yang mendiami wilayah tersebut. Bagaimanapun juga, penghormatan terhadap prinsip kedaulatan harus tetap dapat memberikan jaminan terhadap investasi asing.

Definisi dari penentuan nasib sendiri termasuk kepada hak suatu bangsa yang terorganisir dalam suatu wilayah yang tetap untuk menentukan nasib politiknya dalam cara demokratis, atau hak dari suatu bangsa yang hidup dalam negara yang merdeka dan berdaulat untuk bebas memilih pemerintahannya, untuk mengangkat institusi perwakilan dan untuk secara periodik memilih perwakilan dengan prinsip kebebasan dan kemerdekaan untuk memilih kandidat ataupun partai politik yang ada.

42

c. Aspek sosial mengandung arti bahwa setiap bangsa di dunia mempunyai hak untuk memilih dan menentukan sistem sosial di wilayah mereka berdiam. Aspek ini terutama berkaitan dengan tegaknya keadilan sosial,

41

Franck, T.M., The Emerging Right to Democratic Govermance, 86 American Journal International Law, 1992. Hlm. 52

42


(55)

dimana semua bangsa memilikinya, dan lebih luas lagi, termasuk kepemilikan efektif atas hak sosial masing-masing bangsa tanpa adanya diskriminasi.43

d. Aspek budaya berhubungan dengan pembentukan adat istiadat dan kebudayaan masing-masing bangsa, yang merupakan elemen sangat penting dari hak penentuan nasib sendiri. Hal tersebut termasuk pengakuan akan hak untuk mmperoleh, menikmati dan menurunkan warisan kebudayaan, serta penegasan akan hak bagi semua orang untuk memperoleh pendidikan.44

Bentuk berikutnya dari the right of self determination adalah the right of external self determination. Hak penentuan nasib sendiri secara eksternal ini timbul dalam kasus-kasus yang ekstrim dan di tetapkan dalam keadaan-keadaan tertentu (umumnya dalam konteks dekolonisasi). external self determination ini telah ditentukan bentuknya dalam Declaration on Friendly Relation, yaitu:

the establishment of a sovereign and independent State, the free association or integration with an independent State or the emergence into any other political status freely determined by a people constitute modes of implementing the right to self determination by that people.”45

Hukum internasional tidak secara spesifik memberikan hak kepada suatu bangsa untuk memisahkan diri dari negara asal yang berdaulat dan harus di hormati keutuhan kedaulatan wilayahnya, hukum internasional juga tidak

43

Report of the Subcommission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities on its twenty-sixth session, E/CN.4/1128, paragraf 28

44

Ibid. 45


(56)

menyangkal secara tegas akan keberadaan hak tersebut. Hukum internasional selain melindungi dan menghormati keutuhan wilayah suatu negara, secara bersamaan juga memberikan “keleluasaan” untuk lahirnya negara-negara baru. Fakta yang tidak terbantahkan saat ini adalah pemisahan diri merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri dan banyak negara-negara baru lahir dengan berdasarkan kepada hak ini.46 Tidak bisa dibantah bahwa hak untuk melepaskan atau memisahkan diri dengan berbagai alasan merupakan sebuah pengecualian terhadap prinsip keutuhan wilayah. Akan tetapi juga perlu ditekankan adalah prinsip keutuhan dan kedaulatan wilayah sebuah negara juga merupakan sesuatu yang tidak bisa dikesampingkan begitu Telah disebutkan sebelumnya, bahwa hak untuk memisahkan diri bisa muncul dalam keadaan-keadaan khusus tertentu, selain dalam konteks dekolonisasi. Yaitu ketika suatu bangsa dihalangi haknya oleh pemerintah yang berkuasa dalam menikmati

internal self determination (untuk mendapatkan status politik, ekonomi, sosial dan budaya), maka sebagai jalan terakhir yang diperbolehkan dalam hukum internasional adalah upaya melepaskan diri dari negara tersebut (external self determination).47

“the international law right to self determination generates at best, a right to self determination…where a people is oppressed… or where a definable group is denied meaningful access to government to pursue their political, economic, social and cultural development. In all three situation, the people in question are entitled to the right to external self determination because they have been denied the ability to exert internally their right to self determination”.

Sebagaimana Mahkamah Agung Kanada menegaskan dalam kasus Quebec:

48

46

Thornberry, P., Self determination, Minorities, Humman Rights.: A review of International Instruments, International and Comparative Law Qurterly, 1989, hal.98

47

Kumbaro, Op.cit. Hlm. 29

48


(57)

Pada faktanya terdapat juga bukti dimana hukum kebisaaan internasional mendukung hak untuk melepaskan diri. Hal ini bisa dilihat dalam praktek hukum internasional terkait lahirnya negara baru dalam beberapa dekade terakhir, yang bisa memberi kesan diakuinya hak untuk melepaskan diri dalam situasi-situasi khusus tertentu. Contohnya adalah kejatuhan Uni Soviet yang kemudian terpecah-pecah menjadi banyak negara dan perterpecah-pecahan Republik Yugoslavia. Harus dicatat bahwa sukses dari klaim untuk melepaskan diri negara-negara baru adalah sebagian besar karena kehendak komunitas internasional untuk memberikan pengakuan terhadap eksistensi negara mereka.49

3. Dukungan Irredentism

Irredentism/Iredentisme (dariirredento, "penebusan"), adalah konse dikuasai ole budaya, baik aktual maupun hanya dugaan.50

Konsep ini sering dikemukakan oleh

penganut

perbatasan wilayah telah dipindahkan atau ditetapkan ulang dari waktu ke waktu, kebanyakan negara-negara besar secara teoritis bisa mengklaim wilayah-wilayah tetangga mereka.

Irredentistm adalah legal dalam hukum internasional. dan sudah

dipraktekkan oleh banyak negara didunia. Seperti Hitler yang berupaya untuk

49

Kumbaro. Op.Cit. Hal.30

50

Rüdifer Wolfrum, The Max Planck Encyclopedia of Public International Law, Vol. 6, (Oxford University Press, 2013) hlm. 85


(58)

menyatukan Jerman Timur dan Barat, Somalia yang beupaya untuk mengembalikan etnis Somalia yang tinggal di daerah Ethiopia, Djibouti, dan Kenya pada tahun 1960an.

Apa yang dilakukan Rusia di dalam konflik Crimea sudah jelas adalah

irredentism. Irredestism selalu menjadi perdebatan dalam komunitas internasional dan biasanya menimbulkan peperangan. Bahkan sebelum menjadi bagin Ukraina, Crimea adalah bagian dari Rusia, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mayoritas penduduk Crimea adalah etnis Rusia. Ditambah lagi situasi diskriminasi yang dialami oleh masyarakat Crimea sebagai minoritas dibanding dengan etnis asli Ukraina, mendorong Rusia untuk melakukan sesuatu untuk mendukung etnis Rusia di Crimea.

B. Intervensi Militer Rusia di Crimea dalam Perspektif Rusia

Dalam menunjukkan dukungannya terhadap masyrakat etnis Rusia di Crimea, Rusia mengerahkan segala daya dan upaya yang dapat ia berikan, termasuk dengan menyiagakan pasukan militernya di Crimea, memberikan bantuan peralatan militer kepada bala tentara Crimea, seperti pada tanggal 26 Februari 2014, ketika parlemen Ukraina menunjuk pemerintahan baru, Rusia menyiapkan sebanyak 150.000 prajuritnya dalam keadaan siap tempur untuk mendukung Crimea yang tidak setuju dengan penunjukan pemerintahan baru tersebut. Namun demikian tindakan Rusia menunjukkan dukungan militer dalam konflik Ukraina mendapat perhatian yang beragam dari masyrakat Internasional. banyak yang menentang dan mengatakan bahwa intervensi militer Rusia di Crimea telah


(59)

melanggar prinsip Non-Intervensi dalam hukum Internasional. Namun Rusia bersikeras bahwa tindakan yang ia lakukan tidak melanggar hukum internasional.

1. Use

of Force Sebagai Bentuk Pertahanan Diri (Self-Defence)

Terkait dengan tindakan Rusia menaruh pasukan militernya di wilayah kedaulatan Ukraina, Rusia berargumen bahwa tindakannya tersebut adalah sebagai bentuk self-defence. Lebih lanjut Rusia menyatakan bahwa tindakan mereka adalah untuk melindungi masyarakat Rusia yang ada di Ukraina dari kekacauan yang terjadi di Ukraina dan melindungi masyarakatnya dari ancaman kelompok pro-Ukraina.

Di dalam Hukum Internasional, hak untuk self-defence adalah hak mutlak yang dimiliki oleh negara-negara untuk melindungi kepentingan negaranya. Hak ini tercermin dalam pasal 51 Piagam PBB, dan pasal ini menjadi pengecualian terhadap prinsip non intervensi dan larangan penggunaan kekuatan bersenjata sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (4) Piagam PBB. Penjelasan mengenai

self-defence dikaitakan dengan prinsip non-intervensi akan dijelaskan lebih lanjut pada Bab III karya tulis ini.

2. Pen

dudukan Pasukan Militer Rusia di Crimea adalah Berdasarkan Permintaan Pemerintah yang Sah


(1)

Case Concerning Armed Activities on the Territory of the Congo (Democratic Republic of the Congo v. Uganda), Judgment, I.C.J. Reports 2005.

Case Concerning Corfu Channel, UK v Bahamas Island , ICJ Reports, 1949

Case Concerning Frontier Dispute (Burkina Faso v. Mali), Judgment, ICJ Reports 1986

Case concerning East Timor (Portugal v. Australia), Judgement, I.C.J. Reports 1995

Case Concerning Land, Island and Maritime Frontier Dispute (El Salvador v. Honduras: Nicaragua intervening), Judgment, ICJ Reports 1992

Case Concerning Military and Paramilitary Activities in and against Nicaragua (Nicaragua v. United States), Judgement, I.C.J. Reports 1986

Case Concerning the Barcelona Traction, Light and Power Company, Limited (Belgium v. Spain), Separate Opinion of Judge Ammoun, I.C.J. Reports 1970

Putusan Mahkamah Militer di Nurenberg, Trial of German Major War Criminals Before the International Military Tribunal, 1946

The Island of Palmas case (United States of America v. the Netherlands),United Nations, Reports of International Arbitral Awards,Vol. II, 1982

The Legal Consequences for States of the Continued Presence of South Africa in Namibia (South West Africa) Notwithstanding Security Council Resolution 276, Advisory Opinion, I.C.J. Reports 1971


(2)

9. Putusan Pengadilan Nasional

Reference re Secession of Quebec, (1998) 2 S.C.R 217 (Canada)

10.Laporan Badan – Badan Internasional

ICISS, The Responsibility to Protect, Report of the International Commission on Intervention and State Souvereignty, (December 2001)

Letter of 16 August 1954 from President of the Council of Ministers of Greece to Secretary –General, UN Doc. A/2703 (1954)

Report of the Subcommission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities on its twenty-sixth session, E/CN.4/1128,

43rd Conference on the United Nations of the Next Decade, Actualizing the Responsibility to Protect, Stanley Foundation, Portugal, (20 – 25 June 2008)

11.Internet

Asian C. Udoh, When Is Humanitarian Intervention Legal, (pdf), D&url=htp%3%2F%2Fwww.lacba.org%2Ffiles%2Flal%2Fvol33no1%2F 2687.pdf&ei=aasRUPNEcuVrgfx_4AQ&usg=AFQjCN

Centre for Strategic Studies, 2000, Humanitarian Intervention: Definition and Criteria, Centre for Strategic Studies Briefing Paper, 3 (1), hlm.2,


(3)

(pdf tegic%20studies%20briefing%20paper&source=we pers%2FHI.pdf&ei=WLMRUqjMF9DyrQfNgYHABw&usg=AFQjCNF8s

Chris Borgen, “Who Speaks for Ukraine?” Opinio Juris (3 March 2014), available at

tanggal 04-03-2015

11 Maret 2015

Daisy Sindelar, “Was Yanukovych's Ouster Constitutional?” Radio Liberty, Radio Free Europe (23 Februari 2014), available at

diakses pada 07-03-2015

http://www.crimeaconsulting.com/crimea.html, diakses pada 06-03-2015.

http://en.wikipedia.org/wiki/Crimea, diakses pada 07-03-2015.

http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2014/03/140304_ukraina_putin diakses pada 16 Maret 2015


(4)

Materi Pelajaran FH, “Konsepsi Suksesi negara Dalam Hukum Internasional”, http://materipelajaranfh.blogspot.com/2012/07/konsepsi - pemisahan - negara - dalam - hukum.html , diakses pada 16 Maret 2015

Public Opinion Survey Residents of the Autonomous Republic of Crimea May 16 30,2013,http://www.iri.org/sites/default/files/2013%20October%207%20S urvey%20of%20Crimean%20Public%20Opinion,%20May%201630,%202 013.pdf, diakses pada 26 Februari 2015.

“Russian forces move on Crimea air base, European monitors head to Ukraine,” AlJazeera America (22 Maret 2014), available at diakses pada 15 Maret 2015

“Russian forces move on Crimea air base, European monitors head to Ukraine,” AlJazeera America (22 Maret 2014), available at

diakses pada 15 Maret 2015

“Russian forces move on Crimea air base, European monitors head to Ukraine,” AlJazeera America (22 Maret 2014), available at

diakses pada 15 Maret 2015

Shaun Walker, “Russian takeover of Crimea will not descend into war, says Vladimir Putin,” The Guardian (4 Maret 2014), available at


(5)

The Crimean Tatars: Overview and Issues, Oktober 2009, dimuat pada lamanhttp://www.unpo.org/images/2009_Presidency/crimean%20tatars,% 20overview%20and%20issues,%20october%202009.pdf.

Teori-teori liberalisme, terdapa pada tanggal 7 Maret 2015.

“Ukraine's Yanukovych asked for troops, Russia tells UN,” BBC News Europe (4 Maret 2014), available at

Ukraine's Yanukovych asked for troops, Russia tells UN,” BBC News Europe (4 March 2014), available at

Maret 2015

12.Sumber – Sumber Lain

Bebeb AK Djundjunan, Bebeb AK., dan Wirakara, Rizal, The Responsibility to Protect dalam Perspektif Hukum, Majalah Opinio Juris, Vol.I, (Oktober 2009)

Igor Davydov, Igor, The Crimean Tatars and Their Influence on the ‘Triangle of Conflict’ — Russia-Crimea-Ukraine, Thesis Naval Postgraduate School, Monterey California, (Maret 2008)


(6)

Riyanto, Sigit. Intervensi Kemanusiaan Melalui Organisasi Internasional untuk Memberikan Perlindungan dan Bantuan Kemanusiaan Kepada Pengungsi Internal, Mimbar Hukum, Vol.19, Nomor :2 (2007)