Kedudukan Swiss Sebagai Negara Netral Dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional

(1)

KEDUDUKAN SWISS SEBAGAI NEGARA NETRAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Dalam Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

BAGUS FIRMAN WIBOWO NIM: 110200014

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015


(2)

KEDUDUKAN SWISS SEBAGAI NEGARA NETRAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

OLEH:

BAGUS FIRMAN WIBOWO NIM: 110200014

DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui Oleh:

KETUA DEPATEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum NIP. 195612101986012001

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH Dr. Jelly Leviza, SH,M.Hum NIP. 19620713198803100 NIP. 1973080120021002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Segala syukur kehadirat Allah SWT atas segala kenikmatan yang tak terhingga sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan tugas akhir penulis sebagai salah satu syarat guna menyelesaikan program studi S-1 pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan memilih judul: Kedudukan Swiss Sebagai Negara Netral Dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, karena sudah berusaha untuk memberikan perubahan yang maksimalkan kepada fakultas dengan meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan di lingkungan kampus Fakultas Hukum USU.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, Mhum selaku Pembatu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu para mahasiswa dengan memberikan perubahan dan kemudahan dalam memenuhi segala kebutuhan akademis dan administrasi.


(4)

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak O.K. Saidin, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Suhadi, SH. MH selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan petunjuk serta arahan selama dalam proses penulisan skripsi ini.

7. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, terima kasih atas kesabarannya dalam memberi nasihat, Motivasi, dan bimbingan yang sangat bermanfaat dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak Abdurrahman, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama perkuliahan.

9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing Penulis selama masa perkuliahan.

10.Bapak / Ibu Dosen Departemen Hukum Internasional yang telah banyak membimbing, mengarahkan dan membantu selama masa perkuliahan. 11.Terima kasih Kepada Ayahanda Dr. Sismudjito, Msi dan Ibunda Rohaniah

SE Selaku Orang tua yang telah sabar mendidik dan membesarkan penulis hingga saat ini, juga yang telah memberikan banyak sekali doa, dukungan, saran, kritik, dan apresiasi, pada penyelesaian skripsi ini.


(5)

12.Terima Kasih Kepada Adinda Luhur Budi Prayogo Selaku adik kandung penulis, yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

13.Terima kasih kepada Bude Ramlah,Isah,Niah, yang selalu memberikan doa dan memberikan semangat kepada penulis untuk penyelesaian skripsi ini.

14.Sahabat-Sahabat penulis, Gennady Siahaan, Randa Morgan Tarigan, Hadismar Anwar Lubis, Dedek Rahmadsyah, Fithri Chairunnisa (Cabel), Annisa Lubis (Calub), Algrant Christie, Gunawan Sakti, Rahmad Rivai, Ridho Rahmandha yang senantiasa membantu dan memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.

15.Seluruh anak-anak ILSA (International Law Student Association) yang telah memberikan semangat serta motivasinya kepada penulis, semoga apa yang kita inginkan tercapai dikemudian hari kelak.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dengan harapan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca serta dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Medan, April 2015 Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Meode Penulisan ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional ... 15

B. Sumber Hukum Humaniter Internasional ... 33

C. Subjek dan Objek Hukum Humaniter Internasional ... 38


(7)

BAB III : KEDUDUKAN NEGARA NETRAL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

A. Pengertian dan Bentuk Negara ... 50 B. Sejarah Paham Kenetralan dan Dasar Kenetralan ... 57 C. Hak dan Kewajiaban Negara Netral Menurut Hukum

Humaniter ... 63

BAB IV : KEDUDUKAN SWISS SEBAGAI NEGARA NETRAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

A. Sejarah Swiss Sebagai Negara yang Berdaulat ... 71 B. Swiss Sebagai Salah Satu Negara Netral ... 87 C. Kedudukan Swiss Sebagai Negara Netral Menurut Hukum Internasional ... 95

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 103 B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 106


(8)

ABSTRAK Bagus Firman Wibowo

*

Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH** Dr. Jelly Leviza , S.H, M.Hum***

Hukum Humaniter Internasional (HHI), sebagai salah satu bagian hukum internasional, merupakan salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh setiap negara, termasuk oleh negara damai atau negara netral,untuk itu ikut serta mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi di berbagai negara. Negara-negara netral adalah negara yang membatasi dirinya untuk tidak melibatkan diri dalam berbagai sengketa yang terjadi dalam masyarakat internasional. Netralitas ini mempunyai beberapa arti dan haruslah dibedakan pengertian netralitas tetap dan netralitas sewaktu-waktu, politik netral atau netralitas positif. Swiss adalah salah satu contoh negara netral, dulunya swiss adalah anggota Liga Bangsa Bangsa (LBB). Kemudian setelah lahirnya PBB tahun 1945, Swiss tidak ikut dalam organisasi dunia itu walaupun aktif dalam organisasi-organisasi bersifat teknis (badan-badan khusus PBB).

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan dan ruang lingkup hukum humaniter internasional, bagaimana kedudukan negara netral hukum humaniter internasional, bagaimana kedudukan swiss sebagai negara netral menurut hukum internasional.

Metode penelitian yang digunakan yuridis normatif. artinya penelitian mengacu pada norma hukum Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan,dimana melakukan pengumpulan data secara studi pustaka (library research) yang berkaitan dengan Kedudukan Swiss sebagai Negara Netral dalam perspektif Hukum Humaniter.

Negara Swiss adalah sebuah negara federal yang berbatasan dengan negara Jerman, Perancis, Italia, Liechtenstein dan Austria. Swiss dikenal sebagai negara netral namun tetap memiliki kerjasama internasional yang kuat.

Kata Kunci : Kedudukan Swiss Sebagai Negara Netral *) Mahasiswa Fakultas Hukum

**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II


(9)

ABSTRAK Bagus Firman Wibowo

*

Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH** Dr. Jelly Leviza , S.H, M.Hum***

Hukum Humaniter Internasional (HHI), sebagai salah satu bagian hukum internasional, merupakan salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh setiap negara, termasuk oleh negara damai atau negara netral,untuk itu ikut serta mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi di berbagai negara. Negara-negara netral adalah negara yang membatasi dirinya untuk tidak melibatkan diri dalam berbagai sengketa yang terjadi dalam masyarakat internasional. Netralitas ini mempunyai beberapa arti dan haruslah dibedakan pengertian netralitas tetap dan netralitas sewaktu-waktu, politik netral atau netralitas positif. Swiss adalah salah satu contoh negara netral, dulunya swiss adalah anggota Liga Bangsa Bangsa (LBB). Kemudian setelah lahirnya PBB tahun 1945, Swiss tidak ikut dalam organisasi dunia itu walaupun aktif dalam organisasi-organisasi bersifat teknis (badan-badan khusus PBB).

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan dan ruang lingkup hukum humaniter internasional, bagaimana kedudukan negara netral hukum humaniter internasional, bagaimana kedudukan swiss sebagai negara netral menurut hukum internasional.

Metode penelitian yang digunakan yuridis normatif. artinya penelitian mengacu pada norma hukum Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan,dimana melakukan pengumpulan data secara studi pustaka (library research) yang berkaitan dengan Kedudukan Swiss sebagai Negara Netral dalam perspektif Hukum Humaniter.

Negara Swiss adalah sebuah negara federal yang berbatasan dengan negara Jerman, Perancis, Italia, Liechtenstein dan Austria. Swiss dikenal sebagai negara netral namun tetap memiliki kerjasama internasional yang kuat.

Kata Kunci : Kedudukan Swiss Sebagai Negara Netral *) Mahasiswa Fakultas Hukum

**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Humaniter Internasional (HHI), sebagai salah satu bagian hukum internasional, merupakan salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh setiap negara, termasuk oleh negara damai atau negara netral,untuk itu ikut serta mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi di berbagai negara. Dalam hal ini, Hukum Humaniter Internasional merupakan suatu instrumen kebijakan dan sekaligus pedoman teknis yang dapat digunakan oleh semua aktor internasional untuk mengatasi isu internasional berkaitan dengan kerugian dan korban perang.1

Hukum Humaniter Internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional.

1Ambarwati. Denny Rahmdhany. Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam studi hubungan internasional, Rajawali pers, Jakarta, 2009 hlm 27


(11)

Keikutsertaan suatu negara, dalam mempraktikan Hukum Humaniter Internasional dalam mengesahkan perjanjian di bidang humaniter internasional, merupakan himbauan bagi negara-negara lainnya. Dengan kata lain, keikutsertaan suatu negara damai merupakan dorongan bagi negara-negara lainnya, termasuk bagi negara-negara yang potensial, dalam perang, untuk berbuat serupa dalam menghormati dan mengikatkan diri dalam dengan perjanjian hukum humaniter internasional. Artinya, makin banyak negara yang mengakui norma-norma hukum humaniter internasional makin besar harapan akan penghormatan dan pelaksanaan hukum humaniter internasional oleh negara yang sedang berperang maupun yang tidak terlibat dalam peperangan.

Pertikaian bersenjata yang terjadi di wilayah sebuah negara disebut pertikaian bersenjata yang bersifat internal atau yang bukan bersifat internasional. salah satu aspek penting dalam hukum humaniter adalah mengenai mekanisme penegakan hukum jika terjadi pelanggaran. Mekanisme ini diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 yaitu dengan menggunakan mekanisme hukum nasional. Tanpa adanya mekanisme tersebut dalam penegakan hukum maka hukum humaniter akan bersifat lemah dan akan terjadi suatu pelanggaran dan kesalahan.2

Hubungan antar negara menyangkut berbagai aspek dalam kehidupan. Termasuk dengan berkembangnya diberbagai bidang kehidupan, namun dalam perkembangannya hampir setiap bidang mempunyai nuansa internasional dan disentuh oleh hukum internasional. Salah satu pembahasan dalam memaparkan berbagai hubungan yang terjadi di dunia ini adalah hubungan internasional, yaitu

2Ibid,Hlm.28.


(12)

dengan mempelajari manusia dan kebudayaan yang berbagai masyarakat diseluruh dunia. Hubungan internasional adalah kunci utama negara atau dasar– dasar negara sebagai dari salah satu bagian dari interaksi negara-negara dalam dunia internasional, dimana negara sebagai aktor utama. Dengan semakin berkembangnya hubungan antar negara, maka dirasakan dari setiap negara perlu untuk mengetahui beberapa dalam melakukan hubungan internasional salah satunya masalah netralitas, yurisdiksi dan imunitas dalam hubungan internasional. Negara merupakan subjek utama dari hukum internasional, baik ditinjau secara historis maupun secara faktual. Secara historis yang pertama-tama merupakan subjek hukum internasional pada awal mula lahir dan pertumbuhan hukum internasional adalah negara. Peranan negara lama-kelamaan juga semakin dominan oleh karena bagian terbesardari hubungan hubungan internasional yang dapat melahirkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional dilakukan oleh negara-negara. Bahkan hukum internasional itu sendiri boleh dikatakan bagian terbesar terdiri atas hubungan hukum antara negara dengan negara. Kelebihan negara sebagai subjek hukum internasional dibandingkan dengan subjek hukum internasional lainnya adalah, negara memiliki apa yang disebut "kedaulatan" atau sovereignity.3

Kedaulatan yang artinya “kekuasaan tertinggi", pada awalnya diartikan sebagai suatu kedaulatan dan keutuhan yang tidak dapat dipecah-pecah dan dibagi-bagi serta tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Akan tetapi kini arti dan makna dari kedaulatan itu telah mengalami perubahan. Kedaulatan

3Huala Adolf, Aspek Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali pers, Jakarta, 1991 hlm 1


(13)

tidak lagi dipandang sebagai seatu yang bulat dan utuh melainkan dalam batas-batas tertentu sudah tuntuk pada pembatas-batasan-pembatas-batasan. Pembatas-batasan- Pembatasan-pembatasan itu sendiri tidak lain adalah hukum internasional dan kedaulatan dari sesama negara lainnya. Suatu negara yang berdaulat, tetap tunduk pada hukum internasional serta tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara lainnya. Manifestasi kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua sisi yaitu sisi intern dan sisi ekstern. Sisi intern berupa kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara itu sendiri. Sedangkan sisi ekstem, brupa kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan negara lain atau dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya. Wujud nyata dalam sisi intern kedaulatan tersebut dapat di lihat pada bentuk negara maupun bentuk pemerintahannya, di mana antara negara yang satu dengan negara yang lain bisa saja berbeda-beda, ada negara yang berbentuk kesatuan, federasi atau bentuk lainnya.4

Negara-negara netral adalah negara yang membatasi dirinya untuk tidak melibatkan diri dalam berbagai sengketa yang terjadi dalam masyarakat internasional. Netralitas ini mempunyai beberapa arti dan haruslah dibedakan pengertian netralitas tetap dan netralitas sewaktu-waktu, politik netral atau netralitas positif. Pada awalnya Yurisdiksi merupakan konsekuensi logis dari kedaulatan negara atas wilayahnya. Yurisdiksi negara atas individu, benda dan lain-lain dalam batas wilayahnya (teritorial daratan, laut dan udara) pada akhirnya

4Sebagaimana dimuat dari “ http://wwwandymanurung.blogspot.com/2012/02/negara-sebagai-subjek-hukum.html”, diakses pada tanggal 9 Februari 2015.


(14)

dapat berkembang/meluas melalui batas-batas negara (perluasan atas individu dan benda-benda yang terletak dinegara lain).

Swiss adalah salah satu contoh negara netral, dulunya swiss adalah anggota Liga Bangsa Bangsa (LBB). Kemudian setelah lahirnya PBB tahun 1945, Swiss tidak ikut dalam organisasi dunia itu walaupun aktif dalam organisasi-organisasi bersifat teknis (badan-badan khusus PBB). Pada tahun 1986, negara tersebut mengadakan refrendum untuk mengetahui apakah rakyat Swiss ingin tetap berada di luar atau ingin masuk PBB. Refrendum tersebut ditolak 75% penduduk. Kemudian pada bulan Maret 2002, diselanggarakan lagi refrendum dan akhirnya dengan 54,6% suara, Swiss memutuskan untuk menjadi anggota PBB dan diterima organisasi tersebut pada tanggal 10 September 2002.5

Nama Swiss dalam bahasa Latin, Confoederatio Helvetica yang berarti Konfederasi Helvetika, dipilih untuk menghindari pemilihan salah satu dari keempat bahasa resmi Swiss (bahasa Jerman, Perancis, Italia, dan Romansh). TLD negaranya, Confederatio Helvetica juga diambil dari nama ini. Dilihat ke-26 kantonnya, 17 berbahasa Swiss-Jerman, 4 Swiss-Romande/Prancis, 1 Italia, 3 bilingual (Jerman-Prancis) dan 1 trilingual (Italia-Prancis-Romansh). Swiss berbatasan dengan Jerman, Perancis, Italia, Austria dan kerajaan kecil Liechtenstein. Masyarakat Swiss menuturkan banyak bahasa dan terdapat empat bahasa resmi, iaitu bahasa Jerman, Perancis, Italia dan bahasa Romansh yang kurang populer.

5“Sebagaimana dimuat dari“http://www.Swiss as a Neutral Country and Sovereign.html, Diakses pada tanggal 10 Februari 2015


(15)

Negara swiss sebagai negara netral memiliki beberapa dasar hukum dalam tiga dokumen yuridis yaitu pernyataan bersama tanggal 26 Maret 1815 oleh Inggris, Prancis, Portugal dalam Kongres Wina yang menjamin netralitas swiss, pasal 84 Act The Vienna Conggress dan Pasal 345 Treaty Versailles yang menegaskan bagi netralitas tersebut.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan merupakan pernyataan yang menunjukan adanya jarak antara rencana dan pelaksanaan, antara harapan dan kenyataan, juga antara das sollen dan das sein.6 Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain :

1) Bagaimanakah Ruang Lingkup Hukum Humaniter Internasional? 2) Bagaimakah Hak dan Kewajiban Negara Netral?

3) Bagaimanakah Kedudukan Swiss Sebagai Negara Netral Menurut Hukum Internasional?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi Tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Untuk mengetahui ruang lingkup hukum humaniter internasional. 2) Untuk mengetahui apa saja yang menjadi hak-hak dari negara netral 3) Untuk mengetahui kedudukan swiss sebagai negara netral menurut hukum

internasional.

6 Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm 21.


(16)

Sedangkan Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini adalah :

A. Manfaat Teoritis

Sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang mampu memberikan sumbangsih terhadap perkembangan ilmu hukum khusu snya dalam bidang hukum internasional terutama mengenai kedudukan swiss sebagai negara netral dalam perspektif Hukum Humaniter Internasional. Hal ini sebagai wujud penjelmaan penerapan dalam belajar Hukum Internasional secara akademis.

B. Manfaat Praktis

Menjadi suatu pedoman atau bahan refrensi pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara secara khusus dan pemabaca pada umumnya serta dapat dijadikan bahan referensi bagi pihak akademisi dalam menambah wawasan mengenai kedudukan swiss sebagai negara netral dalam perspektif Hukum Humaniter Intenasional.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul: “KEDUDUKAN SWISS SEBAGAI

NEGARA NETRAL DALAM PERPEKTIF HUKUM HUMANITER

INTERNASIONAL” merupakan tulisan yang masih baru yang berasal dari pemikiran sendiri. judul ini sendiri belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan telah diperiksa di dalam data base arsip skripsi Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU, dan telah dinyatakan


(17)

belum pernah ditulis oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum USU, penulis menyusun tulisan ini melalui referensi buku-buku, media elektronik, dan bantuan bimbingan dari dosen-dosen pembimbing dan berbagai pihak lain. Dengan demikian penulis dapat mempertanggungjawabkan keaslian skripsi, baik secara ilmiah ataupun secara akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Hukum Humaniter dalam Konvensi Den Haag 1899 dan 1907

Dalam konvensi Den haag 1899 dan 1907 hukum humaniter adalah hukum yang mengatur tentang alat (means) dan cara (methods) berperang. konvensi tersebut merupakan hasil dari konvensi Perdamaian I (First Peace Conference) yang di selanggarakan selama dua bulan (dibuka pada tanggal 20 mei 1899) dan konvensi Perdamaian II (Second Peace Conference) yang di selanggarakan pada tanggal 15 Juni-18 Oktober 1907, kedua konfrensi tersebut diadakan di Den Haag, Belanda. Berkaiatan dengan konferesi Perdamaian I pada tahun 1899, Menteri Luar Negeri Rusia, yaitu Count Mouravieff mengedarkan surat kepada semua kepala perwaikalan negara yang diakreditasikan di St. Petersburg yang berisikan ajakan Maharaja Rusia Untuk berusaha mempertahankan perdamaian dunia dan mengurangi persenjataan.7

Hukum Humaniter Internasional sendiri membedakan dua jenis pertikaian bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional. Jika pertikaian bersenjata itu melibatkan dua negara atau lebih

7 Andrey Sujatmoko, Hukum HAM & HUKUM HUMANITER, Rajawali pers, Jakarta, 2015 hlm 193


(18)

maka disebut pertikaian bersenjata yang bersifat internasional. Tujuan utama dari hukum humaniter adalah memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang menderita/menjadi korban perang, baik mereka yang secara nyata/aktif turut dalam permusuhan (kombat), maupun mereka yang tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil = civilian population).8

2. Negara netral menurut para ahli dan tujuan dari negara netral

Menurut Starke yang dimaksud dengan negara netral ialah suatu negara yang kemerdekaan, politik dan wilayahnya dengan kokoh dijamin oleh suatu perjanjian bersama negara-negara besar (the great power). Negara-negara ini tidak akan pernah berperang melawan negara lain, kecuali untuk pertahanan diri, dan tidak akan pernah mengadakan perjanjian alianis yang dapat menimbulkan peperangan. Netralitas ini mempunyai beberapa arti dan haruslah dibedakan pengertian netralitas tetap dan netralitas sewaktu-waktu, politik netral atau netralitas positif. Netralitas tetap adalah negara yang netralitasnya dijamin dan dilindungi oleh perjanjian-perjanjian internasional seperti Swiss dan Austria, sedangkan netralitas sewaktu-waktu adalah sikap netral yang hanya berasal dari kehendak negara itu sendiri (self imposed) yang sewaktu-waktu dapat ditanggalkannya. Swedia misalnya, selalu mempunyai sikap netral dengan menolak mengambil ikatan politik dengan blok kekuatan manapun. Tiap kali terjadi perang, Swedia selalu menyatakan dirinya netral yaitu tidak memihak kepada pihak-pihak yang berperang. Netralitas Swedia tidak diatur oleh perjanjian-perjanjian internasional, tetapi dalam kebijaksanaan yang


(19)

waktu dapat saja ditanggalkannya. Dengan berakhir perang dingin, Swedia dan juga Finlandia ikut menjadi anggota Uni Eropa semenjak 1 Januari 1985.9 Tujuan netralisasi ini adalah untuk memelihara perdamaian dengan cara:

1) Melindungi negara-negara kecil dari negara-negara kuat yang berdekatan dengannya.

2) Melindungi dan menjaga kemedekaan negara netral ini di antara negara-negara kuat.

3. Swiss sebagai negara yang netral

Swiss adalah contoh negara netral yang tetap idiil, karena keadaan geografisnya semenjak lahir telah mempraktikkan politik netral terhadap semua sengketa yang terjadi di kawasannya. Negara swiss terdiri dari wilayah-wilayah yang diambil dari Negara-negara tetangganya, yaitu Austria, perancis, dan Italia. Bila dalam suatu sengketa, swiss memihak kepada salah satu Negara tetangga, Negara tersebut akan menjadi pecah belah dan diduduki oleh negara-negara tetangga lainnya. Negara-negara tetangga juga memerlukan swiss sebagai negara yang berstatus netral untuk menjadi zona penyangga.10

Nama Swiss dalam bahasa Latin, Confoederatio Helvetica yang berarti Konfederasi Helvetika, dipilih untuk menghindari pemilihan salah satu dari keempat bahasa resmi Swiss (bahasa Jerman, Perancis, Italia, dan Romansh). TLD negaranya, .ch, juga diambil dari nama ini. Dari ke-26 kantonnya11, 17 berbahasa

9“Sebagaimana dimuat dari” https://fitria97.wordpress.com/tugas-tugas/pkn/macam-macam-bentuk-negara/ Diakses pada tanggal 11 Februari 2015

10“Sebagaimana dimuat dari” http://lanlanrisdiana.blogspot.com/2013/03/makalah-netralitas-yurisdiksi-dan.html, Diakses Pada tanggal 5 Februari 2015


(20)

Swiss-Jerman, 4 Swiss-Romande/Prancis, 1 Italia, 3 bilingual (Jerman-Prancis) dan 1 trilingual (Italia-Prancis-Romansh). Swiss berbatasan dengan Jerman, Perancis, Italia, Austria dan kerajaan kecil Liechtenstein. Masyarakat Swiss menuturkan banyak bahasa dan terdapat empat bahasa resmi, iaitu bahasa Jerman, Perancis, Italia dan bahasa Romansh yang kurang populer.

F. Metode Penulisan

Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa inggris yaitu research, yaitu yang berasal dari kata re (kembali) search (mencari). Pada dasarnya yang dicari itu adalah “pengetahuan yang benar” untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu dengan menggunakan logika berfikir yang ditempuh melalui penalaran dedukatif dan sistematis dalam penguraiannya.12

Metode penelitian digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah itu sendiri ialah suatu proses penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir yang logis dan dengan menggabungkan metode yang juga ilmiah karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif.

1. Jenis penelitian hukum

Bentuk penelitian yang digunakan adalah bersifat yuridis normatif. artinya penelitian mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan13, dimana melakukan pengumpulan data secara studi pustaka (library

12 Bambang Sunggono, Metode penelitian hukum, Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hlm 27 13 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, cet. 9, Jakarta, Rajawali Press, 2006, hal. 23.


(21)

research) yang berkaitan dengan Kedudukan Swiss sebagai Negara Netral dalam perspektif Hukum Humaniter.

2. Sumber data

Materi dalam skripsi ini diambil dari sumber data sekunder. Adapun sumber dan sekunder yang dimaksud adalah :

a) Bahan Hukum Primier

Bahan hukum primier merupakan suatu bahan hukum yang mempunyai sifat authoritative yang berarti memiliki otoritas. Bahan hukum dalam skripsi ini dari peraturan perundang-undangan yang ada di Hukum Internasioal dan Konvensi Den Haag yang terdapat di Hukum Humaniter Internasional.

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah semua dokumen yang merupakan sumber informasi yang berkaitan dengan skripsi ini yaitu seperti buku-buku, makalah-makalah, surat kabar, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari website & www.google.com, yang mengulas tetntang kedudukan swiss sebagai negara netral.

c) Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan dari bahan hukum primier dan bahan sekunder seperti Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).


(22)

3. Teknik Pengumpulan Data

Secara umum, ada dua teknik pengumpulan data yaitu : Studi kepustakaan (Library Research) adalah teknik pengumpulan data melalui buku-buku baik karangan dalam negeri maupun karangan luar negeri, karangan ilmiah, media massa, majalah, serta jurnal-jurnal atau artikel-artikel yang diperoleh dari situs internet yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis data dari kualitatif, yakni data yang ada adalah data yang digambarkan dalam kalimat cenderung ada unsur angka tetapi tidak mengurangi validitas data tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan sistematika penulisan secara runut dan teratur dengan menggunakan pola deduktif yang dibagi dalam pembahasan bab per bab yang saling berhubungan satu sama lain, sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Bab pertama ini merupakan bab yang berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang didalamnya terurai mengenai latar belakang tentang judul skripsi ini, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan yang kemudian diakhiri dengan sistematika penulisan

BAB II : Bab kedua ini akan membahas mengenai tinjauan umum tentang hukum humaniter internasional kemudian masuk ke sub bab 2 akan membahas sejarah


(23)

hukum humaniter itu seperti apa, dan bagaimana istilah hukum humaniter, subjek dan objek hukum humaniter, dan sumber sumber hukum humaniter beserta aliran-aliran ruang lingkup hukum humaniter..

BAB III : Bab ketiga ini akan membahas mengenai kedudukan negara netral dalam pandangan hukum humaniter internasional. Kemudian massuk ke sub bab 3 yakni pengertian dan bentuk-bentuk negara, sejarah paham keneteralan suatu negara dan yang terakhir tentang hak dan kewajiban negara netral menurut hukum humaniter.

BAB IV : Bab empat ini akan membahas kedudukan swiss sebagai negara netral dalam perspektif hukum humaniter internasional, kemudian mempunyai 3 sub bab, sub bab tersebut yakni sejarah swiss sebagai negara yang berdaulat, swiss sebagai salah satu negara netral, kedudukan swiss sebagai negara netral menurut hukum internasional.

BAB V : Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dari penulis dari pembahasan terhadap pokok permasalahan serta saran saran penulis atas sebagaimana baiknya langkah-langkah yang diambil di dalam mengatasi permasalahan tersebut.


(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional

Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata adalah sebagai salah satu cabang dari Hukum Internasional publik. Hukum ini memiliki usia sejarah yang sama tua nya dengan peradaban umat manusia. Pada dasarnya segala peraturan tentang perang terdapat dalam pengaturan tentang tingkah laku, moral dan agama. Masing-masing agama seperti Buddha, Konfosius, Yahudi, Kristen, dan juga Islam memuat segala aturan mengenai hal yang bersangkutan dengan ketiga hal diatas. Bahkan di setiap peradaban yang pernah ada, ketentuan-ketentuan ini sudah ada. Peradaban bangsa Romawi mengenal konsep perang yang adil (just war).14

Secara historis, sebenarnya istilah hukum humaniter merupakan perkembangan lebih lanjut dari istilah hukum perang (la ws of war) dan hukum konflik bersenjata (la ws of armed conflict). Hal tersebut terjadi akibat Perang Dunia I dan II yang mempengaruhi berbagai bidang, termasuk hukum perang yang ditandai perubahan peristilahan yang digunakan.

Hukum perang merupakan istilah yang pertama kali dikenal atau digunakan. Namun, Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945)


(25)

yang telah menimbulkan korban jiwa (Perang Dunia I sekitar 38 juta orang dan Perang Dunia II sekitar 60 juta orang) maupun harta benda yang sangat besar, kemudian menimbulkan suasana antiperang yang meluas dan secara psikologis menyebabkan orang tidak lagi menyukai dan trauma dengan kata “perang”. Suasana antiperang ini mempunyai dampak pada berbagai bidang, salah satunya adalah hukum perang. Karena orang tidak mengiginkan adanya atau timbulnya perang, istilah perang sejauh mungkin dihindari dengan sendirinya istilah hukum perang juga tidak disukai. Akibat dari pandangan ini adalah ditinggalkannya usaha untuk mempelajari atau menyempurnakan hukum perang.15

Menurut ICRC Hukum Humaniter yakni :

“International humanitarian law is a set of rules which seek, for humanitarian reasons, to limit the effects of armed conflict. It protects persons who are not or are no longer participating in the hostilities and restricts the means and methods of warfare. International humanitarian l aw is also known as the la w of war or the la w of armed conflict.”16

Hukum Humaniter Internasional (HHI) adalah kesatuan hukum yang terdiri dari konvensi Jenewa (Geneva Conventions) dan konvensi-konvensi-konvensi Hague (Hague Conventions). Konvensi Jenewa dirancang untuk melindungi personil militer yang tidak dapat lagi terlibat dalam pertempuran; orang-orang yang tidak terlibat aktif dalam permusuhan dan penduduk sipil. Hukum Den Haag yang menentukan hak dan kewajiban

15 KGPH. Haryomataram, Op Cit. Hlm 12


(26)

negara yang berperang tentang perilaku pada waktu operasi militer dan membatasi alat yang digunakan untuk menyerang musuh.

Banyak terjadi perkembangan terhadap salah satu cabang hukum internasional ini. Terhadap bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan pesat. Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai upaya telah dilakukan untuk memanusiawikan perang. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang, acap kali mengalami pasang surut, hambatan, dan kesulitan. Upaya-upaya tersebut dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter, yang terdiri atas :

1. Zaman Kuno

Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit dari kedua pihak yang berperang ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini pula, pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan, maka pihak-pihak yang berperang biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.17 Selain itu, dalam berbagai peradaban bangsa-bangsa selama tahun 3000 sampai dengan 1500 Sebelum


(27)

Masehi upaya-upaya seperti itu terus dikembangkan. Hal ini dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai berikut :

a) Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrase, kekebalan utusan musuh dan perjanjian damai.

b) Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimana disebutkan dalam “seven

works of true mercy”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan, ”anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda”. Seorang tamu, bahkan musuhpun tak boleh diganggu.

c) Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas. Mereka menandatangani pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota dimana para penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak danpenduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, datang dengan kekejaman.


(28)

d) Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan undang-undang Manu, para ksatria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka harus segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang.

Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra sejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dan kebiasaan perang yang dilakukan, antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai sasaran perang, dan juga tentang pengakiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan (prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan berota raja yang memuat tentang kutukan (dan ultimatum). Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah raja akan diserang oleh bala tentara raja. Begitu pula pada masa kerajaan Gowa diketahui adanya perintah raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik

2. Abad Pertengahan

Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” (just war), ajaran


(29)

Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran.18 Adapun prinsip kesatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu.

3. Zaman Modern

Hukum Humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip umum penghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang menentukan dengan pendirian Palang Merah Internasional dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang, dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh dengan perlakuan yang sama.

Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat, mempunyai sejarah yang tertua. Konvensi

18 Masjur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar Dasar-dasar Hukum Internasional, IKIP Malang, 1995, hlm 16.


(30)

1864 ini merupakan hasil yang dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu itu Henry Dunant menulis buku tentang pengalaman-pengalamannya di medan pertempuran antara Austria dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul “Un Souvenir de Solferino” (1861). Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit yang sakit pada saat medan pertempuran Solferino.19 Buku ini sangat menggugah

penduduk kota Jenewa, sehingga warga kota yang tergabung dalam “ Societe

d’Utilite Publique” dibawah pimpinan Gustave Moynier membentuk sebuah panitia yang terdiri dari 5 (lima) orang pada tanggal 17 Februari menjadi sebuah

badan yang dinamakan “Comite international et permanent de secours aux

militaries blesses”. Panitia yang terdiri dari 5 (lima) warga kota Jenewa ini mengambil inisiatif untuk mengadakan sebuah konferensi internasional tidak resmi untuk membahas kekurangan-kekurangan perawatan kesehatan tentara pada saat medan pertempuran.

Konferensi yang dihadiri oleh 16 negara berhasil membentuk sebuah badan yang dinamakan Palang Merah dalam bulan Oktober 1963. Karena merupakan suatu konferensi yang tidak resmi, konferensi tidak dapat mengambil keputusan-keputusan yang mengikat negara-negara peserta. Namun demikian konferensi menyarankan dalam suatu annex yang dilampirkan pada resolusi-resolusi bahwa anggota dinas kesehatan dan yang luka-luka dalam pertempuran dilindungi dengan jalan “menetralisir mereka”. Pada tahun 1864, Dewan Federal Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan mengadakan suatu konferensi internasional yang dihadiri oleh wakil-wakil berkuasa penuh dari negara-negara

19 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1949, Bina Cipta, Bandung, 1986, hal. 4


(31)

yang mengikuti konferensi sebelumnya. Konferensi ini menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi ini didalamnya mengandung asas-asas bagi perlakuan korban perang yang hingga kini masih berlaku.20

Konvensi 1864, yaitu Konvensi untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang Darat, dipandang sebagai konvensi-konvensi yang mengawali Konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat. Berdasarkan konvensi ini, maka dan personil kesehatan bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan mati, baik kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum. Konvensi memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan. Tanda Palang Merah ini merupakan lambang dari Interna tional Committee of the Red Cross, yang sebelumnya bernama International Committee for the Aid the Wounded, yang didirikan oleh beberapa orang warga Jenewa dan Henry Dunant pada tahun 1863.21 Peristiwa penting lainnya adalah rancangan Kode Leiber ( Instructions for Government of Armies of the United States, 1863), di Amerika Serikat, yang mencantumkan instrumen-instrumen panjang dan serba lengkap dari semua hukum dan kebiasaan perang, dan juga menggaris bawahi asas-asas kemanusiaan

20“Sebagaimana dimuat dari” https://m.facebook.com/notes/desiminasi-palang-merah/sejarah-singkat-gerakan-palang-merah-dan-bulan-sabit-merah/148315315191118/, Diakses pada tanggal 11 Maret 2015

21Hans Haug, Humanity for All. The International Red Cross and Red Crescent Movement, Henry Dunant Institute, Haupt, Switzerland, 1993, hal. 52.


(32)

tertentu yang tak begitu jelas sebelumnya. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok-kelompok orang tertentu, seperti tawanan perang, orang yang luka, dsb.

Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini perkembangan-perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter dikembangkan melalui traktat-traktat yang menjadi mayoritas negara negara setelah tahun 1850.22 Pada dasarnya, tujuan dari Hukum Humaniter adalah untuk memberikan perlindungan kepada mereka yang menderita atau yang menjadi korban dari perang, baik mereka yang secara nyata dan aktif dalam pertikaian (kombat), maupun mereka yang tidak turut serta dalam pertikaian (penduduk sipil)23

Hukum Humaniter diciptakan bukan tanpa suatu tujuan yang jelas. Hukum Humaniter mempunyai tujuan utama yaitu memberi perlindungan terhadap seluruh korban perang baik yang berasal dari kombatan maupun non kombatan. Selain itu, tujuan dari hukum ini adalah untuk menjamin hak-hak asasi dari setiap pihak yang jatuh ke tengah musuh. Disamping memberikan perlindungan, hukum humaniter juga diharapkan mampu memberikan harapan untuk terjadinya perdamaian antara pihak yang bertikai serta mambatasi kekuasaan dari setiap pihak yang berperang agar tidak terjadi penguasaan total oleh pihak dalam suatu wilayah pertikaian.

22“Sebagaimana dimuat dari” http://ahrdirahmat.blogspot.com/2011/02/sejarah-lahirnya-hukum-humaniter-hampir.html, Diakses pada tanggal 21 Februari 2015


(33)

Berdasarkan tujuan yang telah diuraikan diatas, terkandung 3 (tiga) asas penting dalam Hukum Humaniter dan Prinsip dari Hukum Humaniter Internasional :

a) Asas Kepentingan Militer (Militery Necessity)

Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang kelompok bersenjata (belligerent) mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak melanggar hukum perang.

b) Asas Perikemanusiaan (Humanity)

Menurut asas ini pihak yang bersengketa wajib untuk memperhatikan perikemanusiaan dan mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.

c) Asas Kesatria (Chivalry)

Asas ini mengandung arti bahwa dalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat khianat dilarang. Asas kesatriaan tergambar dalam hampir semua ketentuan Hukum Humaniter. Sebagai contoh, mari kita lihat Konvensi Den Haag III (1907) mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities). Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak akan dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya (previous and explicit warning), baik dalam bentuk pernyataan perang


(34)

(declaration of war) beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang bersyarat (ultimatum with conditional declaration of war ).24

Sedangkan Prinsip dari Hukum Humaniter Internasional sendiri adalah: a) Prinsip kepentingan Militer (Militery Necessity)

Prinsip kepentingan militer ini ialah hak pihak yang berperang untuk menentukan kekuatan yang diperlukan untuk menaklukan musuh dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dengan korban yang sekecil-kecilnya. Namun demikian, perlu diingat pula bahwa hak pihak yang berperang untuk memiliki alat/senjata untuk menaklukan musuh adalah tidak terbatas.

b) Prinsip Kemanusiaan (Humanity)

Prinsip ini melarang penggunaan semua macam atau tingkat kekerasan (violence) yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan perang. Orang-orang yang luka atau sakit, dan juga mereka yang telah menjadi tawanan perang, tidak lagi merupakan ancaman, dan oleh karena itu mereka harus dirawat dan dilindungi. Demikian pula dengan penduduk sipil yang tidak turut serta dalam konflik harus dilindungi dari akibat perang

c) Prinsip Kesatriaan (Chivalry)

Prinsip ini tidak membenarkan pemakaian alat/senjata dan cara berperang yang tidak terhormat.

d) Prinsip Pembedaan

24“Sebagimana dimuat dari” http://usmilitary.about.com/od/glossarytermsm/g/m3987.html,


(35)

Prinsip pembedaan (distinction principle) adalah suatu prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata dalam dua golongan, yaitu kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. Perlunya prinsip pembedaan ini adalah untuk mengetahui mana yang boleh dijadikan sasaran atau obyek kekerasan dan mana yang tidak boleh dijadikan obyek kekerasan. Dalam pelaksanaannya prinsip ini memerlukan penjabaran lebih jauh lagi dalam sebuah asas pelaksanaan (principles of application), yaitu :

1) Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus bisa membedakan antara kombatan dan penduduk sipil untuk menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil.

2) Penduduk sipil tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun untuk membalas serangan (reprisal).

3) Tindakan maupun ancaman yang bertujuan untuk menyebarkan terror terhadap penduduk sipil dilarang.

4) Pihak yang bersengketa harus mengambil langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tidak sengaja menjadi kecil.


(36)

5) Hanya angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.

6) Rule of Engagement (ROE).25

Sebagaimana telah disebutkan pada halaman sebelumnya, mengenai ruang lingkup dari hukum humaniter tersebut terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Hukum Den Haag mengatur mengenai cara serta perlengkapan yang boleh dipakai pada saat berperang, sedangkan hukum Jenewa mengatur mengenai bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban perang. Dengan kata lain, kedua hukum inilah yang menjadi sumber utama dari hukum humaniter.

Hukum Den Haag (The Hague Laws) memiliki fokus pengaturan terhadap tata cara peperangan serta jenis persenjataan yang diperkenalkan untuk dipakai selama perang. Pembahasan mengenai hukum ini, berorientasi kepada Konfrensi Perdamaian I pada tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II pada tahun 1907. Rangkaian konvensi inilah yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan “Hukum Den Haag”. Ada prinsip utama penting yang terdapat dalam hukum ini. Prinsip itu

berbunyi,”The right of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not

unlimitied”26

. Artinya adalah berarti ada tata cara tertentu serta alat-alat tertentu yang dilarang untuk digunakan selama masa perang.

Konferensi Den Haag yang berlangsung dari 18 Mei-29 Juli 1899 pada akhirnya menghasilkan tiga konvensi serta tiga deklarasi. Tiga konvensi tersebut antara lain :

1. Konvensi I mengenai Penyelesaian Damai Persangkutan Internasional.

25 Arlina Permanasari, Op cit, hlm 73 26 KGPH Hayomataram, Op cit, hlm 46


(37)

2. Konvensi II mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.

3. Konvensi III mengenai adaptasi Azas-Azas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.

Bahwa dalam konferensi ini tidak hanya menghasilkan tiga konvensi, tetapi juga melahirkan tiga deklarasi pada 29 Juli 1899. Tiga deklarasi tersebut terdiri dari27:

1. Melarang menggunakan peluru-peluru dum-dum (peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia)

2. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon, selama jangka waktu 5 tahun yang berakhir di tahun 1905 juga dilarang. 3. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan

beracun dilarang.

B. Sumber Hukum Humaniter Internasional

Sebagai bagian dari hukum internasional publik, tentu saja aturan aturan HHI tidak harus hanya bersumber dari perjanjian perjanjian internasional saja. Sebagaimana cabang hukum internasional lainnya, norma Hukum Humaniter Internasional juga bersumber dari kebiasan hukum internasional dan prinsip-prinsip hukum yang diakuai oleh bangsa-bangsa.28 Tentu saja, perjanjian perjanjian internasional merupakan sumber yang paling mudah di temui dan bisa dipahami jika dibandingkan dengan dua sumber hukum lainnya. Disamping itu, keputusan organisasi internasional, sebagaimana halnya pendapat para ahli,

27 Ibid. Hlm 23


(38)

menjadi sumber untuk menemukan hukum kebiasaan internasional. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya, maka telah diketahui bahwa Hukum Humaniter terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.

Hukum Den Haag merupakan ketentuan Hukum Humaniter yang mengatur mengenai cara dan alat berperang. Konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh konperensi Perdamaian di Den Haag (1899-1907) adalah29 :

1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional. 2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut

Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata. 3. Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan.

4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan Peraturan Den Haag.

5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di darat.

6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Peperangan.

7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang. 8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis didalam Laut. 9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Perang. 10.Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang perang

di laut.

29 Arlina permanasari.Op cit. Hlm 24


(39)

11.Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut.

12.Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan.

13.Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam perang di laut.

Konferensi Den Haag mengatur cara dan alat berperang telah membentuk persyaratan dalam Hukum Internasional bahwa pecahnya permusuhan harus didahului dengan pengumuman perang secara resmi.

Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang, terdiri atas beberapa perjanjian pokok perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi Jenewa 1949, yang masing-masing adalah: 30

1. Geneva convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field ;

2. Geneva Convention for the Amelioration of the condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea ;

3. Geneva Convention relative to the Treatment of Pr isoner of War ;

4. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War.

Keempat konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977 ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yakni disebut dengan :31

30 Ibid. Hlm 32


(40)

1. Protocl Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, And Relating to the Protections of Victims of International Armed Conflict (Protocol I ) ; dan

2. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, And Relating to the Protection of Victims of Non Internasional Armed Conflicts (Protocol II).

Protokol I maupun II tersebut di atas adalah merupakan tambahan dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Penambahan itu dimaksudkan sebagai penyesuaian terhadap perkembangan pengertian sengketa bersenjata, pentingnya perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit dan korban karam dalam suatu peperangan, serta antisipasi terhadap perkembangan mengenai alat dan cara berperang. Protokol I tahun 1977 mengatur tentang perlindungan korban pertikaian bersenjata internasional, sedangkan Protokol II mengatur tentang korban pertikaian bersenjata non – internasional.32

Peranan konvensi Jenewa dalam sejarah pertumbuhan hukum perang dan kedudukan konvensi-konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban perang yang meliputi lebih dari separuh dari hukum perang yang berlaku pada dewasa ini, menunjukkan berapa meluas dan mendalamnya sudah asas perikemanusiaan dalam hukum perang. Azas perikemanusiaan tidak saja menjiwai konvensi-konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban perang, tetapi pada hakekatnya merupakan suatu asas pokok dari pada seluruh hukum perang. Hukum perang, baik yang berwujud peraturan-peraturan Den Haag maupun yang berbentuk

32 Ibid, hal. 33


(41)

peraturan-peraturan Jenewa hanya dapat kita pahami sungguh-sungguh apabila kita dapat melihat sebagai perpaduan anatra asas-asas kepentingan militer dan asas perikemanusiaan.33

Sebagaimana halnya telah diketahui umum, bahwa sejak konferensi Perdamaian di Kota Den Haag pada tahun 1899 telah berhasil disepakati bersama Konvensi-konvensi Haque, yang pada pokoknya berisi hukum dan kebiasaan perang dan cara-cara berperang pada umumnya (conduct of war), Hukum Den Haag ataupun Hukum Jenewa merupakan bagian dari Hukum Internasional Humaniter, karena mengandung ketentuan-ketentuan yang mengatur perlindungan internasional bagi kombatan, bagi mereka yang berhenti bertempur (hors de combat), pengaturan di wilayah pendudukan, perlindungan bagi penduduk sipil, obyek-obyek sipil, barang-barang budaya (termasuk mesjid dan gereja) lingkungan hidup dan sebagainya. Karena itu baik hukum Haque maupun Hukum Jenewa mengatur tentang perang, tidak mengherankan apabila ada bagian-bagian yang saling mengisi dan melengkapi, dan kedua hukum itu merupakan perpaduan antara asas-asas kepentingan militer dan asas-asas perikemanusiaan. Kedua hukum itu yang kemudian dikenal sebagai hukum perang. Oleh karena eratnya hubungan Konvensi-konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban Perang dengan asas-asas perikemanusiaan ini menyebabkan mengapa konvensi-konvensi ini disebut juga sebagai konvensi-konvensi humaniter.

C. Subjek dan Objek Hukum Humaniter Internasional


(42)

Setiap sistem hukum mempunyai subyek hukum, secara umum pengertian subyek hukum berarti segala sesuatu yang dianggap menjadi pendukung hak dan kewajiban. Pada mulanya, yang dianggap sebagai subyek hukum nasional hanyalah individu. Tetapi karena perkembangan zaman, maka badan hukum juga dapat dianggap sebagai subyek hukum (rechtspersoon), karena memiliki hak dan kewajiban tersendiri dalam kacamata hukum.34 Hukum Internasional juga memiliki Subyek Hukum yaitu, sebagai pemilik, pemegang atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada awal mula, dan kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek hukum internasional. Menurut Ian Brownlie, Subjek Hukum Internasional merupakan entitas yang mengundang hak-hak dan kewajiban-kewajiban internasional, dan mempunyai kemampuan untuk mempertahankan hak-haknya dengan mengajukan klaim-klaim internasional. Sedangkan Menurut Starke, subjek hukum internasional terdiri atas negara, tahta suci, Palang Merah Internasional, organisasi internasional, orang-perorangan (individu), pemberontak, dan pihak-pihak yang bersengketa.

Hukum internasional memiliki Subjek hukum yakni berupa : 1. Negara

Sejak lahirnya hukum internasional, negara sudah diakui sebagai subjek hukum internasional. Bahkan, hingga sekarang pun masih ada anggapan bahwa hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum antarnegara.


(43)

Dalam suatu negara federal, pengemban hak dan kewajiban subjek hukum internasional adalah pemerintah federal. Tetapi, adakalanya konstitusi federal memungkingkan negara bagian (state) mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas atau melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh pemerintah federal. Sebagai contoh, dalam sejarah ketatanegaraan USSR (Union of Soviet Socialist Republics) dulu, Konstitusi USSR (dalam batas tertentu) memberi kemungkinan kepada negara-negara bagian seperti Byelo-Rusia dan Ukraina untuk mengadakan hubungan luar negeri sendiri di samping USSR.

2. Takhta Suci

Di samping negara, sejak dulu Takhta Suci (Vatikan) merupakan subjek hukum internasional. Hal ini merupakan peninggalan sejarah masa lalu. Ketika itu, Paus bukan hanya merupakan kepala Gereja Roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga sekarang, Takhta Suci mempunyai perwakilan diplomatik di banyak ibukota negara, termasuk di Jakarta.

3. Palang Merah Internasional

Palang Merah Internasional (PMI), yang berkedudukan di Jenewa, mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah hukum internasional. Kedudukan Palang Merah Internasional sebagai subjek hukum internasional lahir karena sejarah masa lalu. Pada umumnya, kini Palang Merah Internasional diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum internasional, walaupun dengan ruang


(44)

lingkup terbatas. Dengan kata lain, Palang Merah Internasional bukan merupakan subjek hukum internasional dalam arti yang penuh.

4. Organisasi Internasional

Orang perseorangan juga dapat dianggap sebagai Subjek Hukum internasional, meskipun dalam arti yang terbatas. Dalam perjanjian perdamaian Versailles tahun 1919, yang mengakhiri Perang Dunia I antara Jerman dengan Inggris dan Perancis (bersama sekutunya masing-masing), sudah terdapat Pasal-Pasal yang memungkinkan orang perseorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional. Dengan demikian, sejak itu sudah ditinggalkan dalil lama bahwa hanya negara yang bisa menjadi pihak di depan suatu peradilan internasional. 5. Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa (Belligerent)

Menurut hukum perang, dalam beberapa keadaan tertentu, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent). Akhir-akhir ini muncul perkembangan baru yang mirip dengan pengakuan terhadap status pihak yang bersengketa dalam perang. Namun, perkmbangan baru tersebut memiliki ciri lain yang khas. Perkembangan baru tersebut adalah, adanya pengakuan terhadap gerakan pembebasan, seperti Gerakan Pembebasan Palestina (PLO). Pengakuan terhadap gerakan pembebasan sebagai subjek hukum internasional tersebut merupakan perwujudan dari suatu pandangan baru. Pandangan baru tersebut terutama dianut oleh negara-negara dunia ketiga. Mereka mendasarkan diri pada pemahaman, bahwa bangsa-bangsa mempunyai


(45)

hak asasi seperti: hak menentukan nasib sendiri hak secara bebas memilih sistem ekonomi, politik, dan sosial mandiri dan hak menguasai sumber kekayaan alam di wilayah yang didiaminya.35

Sebagai cabang hukum internasional, maka hukum humaniter juga mempunyai subjek hukum yaitu berupa pemilik hak-hak dan kewajiban dalam hukum humaniter internasional apakah yang terdapat dalam konvensi Jenewa, untuk melindungi personil militer yang tiadak ikut mengambil bagian dalam pertempuran dan orang-orang yang tidak terlibat dalam peperangan, yakni penduduk sipil sedangkan Konvensi Den Haag, menetapkan hak dan kewajiban pihak-pihak yang berperang dalam melaksanakan operasi militer dan menetapkan batasan mengenai sarana yang boleh dipakai untuk mencelakai musuh.36

Berdasarkan Subjek Hukum Humaniter Internasional adalah memiliki hak-hak dan kewajiban dalam hukum humaniter yakni :

a. Negara

b. Orang yang dilindungi dari perang seperti, anak-anak, wanita, orang sakit. c. Pemberontak dan pihak yang bersengketa.

Pengaturan tentang suatu perang dalam Hukum Humaniter yang harus

diperjelas dan harus dilandaskan pada “sebab yang layak dan benar (just cause),

diumumkan sesuai dengan aturan kebiasaan yang berlaku, dan dilaksanakan dengan cara-cara yang benar”. Hal tersebut dapat dipahami karena begitu besar efek yang dirasakan akibat pecahnya konflik bersenjata ini, terutama ketika

35“Sebagaimana dimuat dari” http://www.zonasiswa.com/2014/11/subjek-hukum-internasional.html, Diakses pada tanggal 12 April 2015

36“Sebagaimana dimuat dari” http://bahankuliyah.blogspot.com/2014/05/hukum-humaniter-internasional.html, Diakses pada tanggal 12 April 2015


(46)

Perang Dunia I yang ternyata memberikan kesengsaraan yang begitu luar biasa bagi umat manusia. Berjuta-juta orang baik yang berasal dari kalangan militer maupun dari kalangan sipil yang menjadi korban. Tidak hanya nyawa yang menjadi korban bahkan kerugian yang berwujud harta kekayaan ini kiranya sulit untuk dihitung.

Untuk itu konflik bersenjata harus diperhitungkan efek yang ditimbulkannya, sekalipun konflik bersenjata ini harus terjadi, setidaknya konflik bersenjata ini terjadi atas dasar (argumentasi) pada sebab yang layak dan benar dari masing-masing pihak yang bertikai. Pihak yang bertikai ini juga harus mematuhi hukum dan kebiasaan perang yang berlaku, karena mengingat bahwa dampak yang sangat besar yang dirasakan akibat timbulnya konflik bersenjata ini. Sebenarnya apa yang dapat dikategorikan sebagai pengertian konflik bersenjata (perang) ini sampai sekarang belum begitu jelas. Sehingga pengertian secara

umum ketika mendengar istilah “penggunaan kekerasaan”37

dalam lingkup hubungan antar negara maka yang akan tergambar dalam pemikiran adalah pengertian “perang” itu sendiri baik bagi pihak yang telah memahami hukum dan kebiasaan perang maupun pihak awam yang tidak mengerti hukum dan kebiasaan perang. Sesungguhnya perang itu sendiri hanyalah merupakan salah satu bentuk penggunaan kekerasan senjata dalam upaya penyelesaian suatu permasalahan yang terjadi diantara para pihak. Oleh karena itu, sebagai pilihan terakhir ketika permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan secara damai maka senjata akan menjadi pilihan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

37 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Refika Adhitama, 2000), hlm.2.


(47)

Selanjutnya sistem hukum juga mempunyai obyek hukum yaitu segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia/badan hukum) yang dapat menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi para subyek hukum, oleh karenanya dapat dikuasai oleh subyek hukum.38 Obyek hukum ini berupa benda. Berikut penjelasan benda sebagai obyek hukum, menurut pasal 503, 504 dan 505 KUHperdata, dan sehubungan dengan perundang-undangan lainnya, benda atau zaak dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu berupa :

1) Benda bertubuh atau benda berwujud (lichamelijke zaken), benda ini bersifat diraba dirasakan dengan panca indra.

2) Benda tak bertubuh atau benda tak berujud (onlichamelijke zaken), benda ini hanya dapat dirasakan dengan panca indra saja, tidak dapat dilihat dan dirasakan. Tidak dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan.39

Kemudian Manusia yang pernah sebagai Obyek hukum pada masa sekarang ini perbudakan sudah tidak ada lagi, perbudakan dianggap suatu perbuatan yang bertentangan dengan kemanuisaan dan tiap-tiap negara modern ini tidak membenarkan adanya perbudakan. Perbudakan ini sendiri bertentangan dengan Hak Asasi Manusia seperti yang telah dicetuskan tanggal 10 Desember 1948 oleh lembaga dunia PBB dalam Universal Declaration of Human Right. Lalu selain membahas perbudakan, manusia dianggap sebagai benda yang dijualbelikan, disewakan, bahkan ada pula di sembelih seperti binatang.40

Hukum internasional juga memiliki obyek hukum yaitu pokok-pokok permasalahan yang dibicarakan atau dibahas dalam hukum internasional. Namun,

38 R. Soeroso, Op cit, hlm 246 39 Ibid, hlm248


(48)

kawasan geografis suatu Negara (difined territory) juga dapat dikatakan sebagai objek hukum internasional dikarenakan sifat objek hukum internasional hanya biasa dikenai kewajiban tanpa biasa menuntut haknya. Contoh-contoh objek hukum internasional adalah.

a) Hukum Internasional Hak Asasi Manusia

Hukum Internasional hak asasi manusia adalah semua norma hukum internasional yang ditunjukkan untuk menjamin perlindungan terhadap pribadi (individu)

b) Hukum Humaniter Internasional

Hukum Humaniter Internasional adalah semua norma hukum internasional yang bertujuan memberi perlindungan pada saat timbul konflik bersenjata bukan internasional, kepada anggota pasukan tempur yang tidak bias lagi menjalankan tugasnya lagi, atau orang-orang yang tidak terlibat dalam pertempuran

c) Hukum Kejahatan terhadap Kemanusiaan (massal)

Istilah ini dikeluakan oleh pengadilan Nurenberg untuk perbuatan kejam Nazi Jerman terhadap warga negaranya sendiri. Namun, dewasa ini genosida (pembunuhan massal dilatar belakangi kebencian terhadap etnis, suku tertentu) juga termasuk dalam hukum ini.41

Objek hukum internasional dapat berubah disebabkan dunia global dan internasional yang bersifat dinamis (selalu berubah). Sehingga tindak lanjut dari hukum internasional itu sendiri akan berubah mengikuti arus perkembangan

41“Sebagaimana dimuat dari” http://sarahhifis29.blogspot.com/2011/07/subjek-dan-objek-hukum-internasional.html, Diakses pada tanggal 14 April 2015


(49)

zaman dan permasalahan baru yang akan timbul dalam hubungan internasional kedepannya. Seperti permasalahan kasus perompakan kapal-kapal laut di Somalia. Kasus ini menyebabkan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan resolusi agar kejadian ini tidak terulang kembali.42

Sebagai cabang Hukum Internasional, maka Hukum humaniter juga mempunyai Obyek hukum berupa, benda benda yang terkait dengan kekayaan budaya (cultural property). Obyek hukum humaniter ini bertujuan untuk melindungi benda benda kekayaan budaya dan melindungi semua penduduk sipil dengan memfasilitasi berupa medis dan ambulances. Hukum humaniter melindungi cultural property atas perbuatan-perbuatan berupa :

1) Perusakan (destruction) 2) Pencurian (theft)

3) Pengambil alihan (requisition) 4) Penyitaan (confiscation)

5) Tindak balasan (acts of reprisa l)

Kemudian untuk sebagai penambahan penjelasan penggunaan cultural property untuk mendukung aksi militer tidak dibenarkan/dilarang (Pasal 53 Additional Protocol I dan Pasal 16 Additional Protocol II).43

Konvensi Hague 1954 ini mempunyai suatu prinsip dasar yang menjadi dasar ideologi perlindungan benda budaya dunia. Prinsip tersebut terdapat dalam

pembukaan konvensinya: “Being Convinced that damage to cultural property

belonging to any people whatsoever means damage to cultural heritage of all

42“Sebagaimana dimuat dari” https://younkhendra.wordpress.com/2009/01/26/tugas-mt-kul-hukum-internasional/, Diakses pada tanggal 14 April 2015


(50)

mankind, since each people makes its contribution to the culture of the world”. Perlindungan yang diberikan oleh konvensi ini terbagi menjadi General Protection, dan Special Protection. Perlindungan Umum atau General Protection diberikan pada setiap properti budaya yang ada dalam suatu area konflik bersenjata. Militer dilarang menggunakan properti tersebut kecuali ada kepentingan militer yang memaksa. Perlindungan Khusus diberikan bagi properti budaya yang kemudian telah didaftarkan dalam suatu International Register of Cultural Property under Special Protection, maka pengecualian untuk boleh berlakunya peran militer dalam properti budaya hanyalah dengan alasan ”unavoidable military necessity (kepentingan militer yang tak terhindarkan)”. Peraturan ini dengan jelas menunjukkan kelemahan Konvensi ini, karena ternyata properti budaya pun masih dapat digunakan untuk kepentingan militer, walaupun kelebihannya adalah dengan adanya peraturan tersebut, bolehnya digunakan suatu properti budaya adalah hanya izin kepada komando tertinggi, sehingga perusakan yang terjadi mampu tereduksi.44

Pemahaman mengenai benda budaya dari aspek yuridis, merupakan dari ketentuan Hukum Humaniter yakni Protokol Tambahan I tahun 1977. Ketentuan Pasal 52 ayat (1) Protokol I menyatakan bahwa ‘objek sipil adalah semua objek yang bukan objek militer’. Norma ini kelihatannya sangat simpel dan mudah dimengerti.

Akan tetapi ketentuan dalam ayat (1) ini kemudian masih diperjelas kembali dengan ketentuan ayat (2)-nya. Ayat (2) menambahkan bahwa yang

44“Sebagaimana dimuatdari” http://skripsichopinkecil.blogspot.com/, Diakses pada tanggal 14 April 2015


(51)

dimaksud dengan sasaran militer adalah semua objek yang karena sifatnya, lokasinya, tujuan atau kegunaannya dapat memberikan kontribusi yang efektif pada operasi militer dan apabila (objek-objek tersebut) dihancurkan baik keseluruhannya maupun sebagian, dikuasai atau dinetralkan, dalam situasi yang terjadi pada saat itu, maka hal tersebut dapat memberikan keuntungan militer yang pasti. Maka, bahwa suatu objek sipil dapat pula dianggap sebagai sasaran militer apabila telah memenuhi persyaratan yang dicantumkan dalam Pasal 52 ayat (2) ini. Dengan demikian, suatu objek sipil dapat pula dianggap sebagai objek militer bila karena sifat/lokasinya, objek tersebut dapat memberikan kontribusi yang efektif dalam operasi militer, atau bila objek tersebut dihancurkan, dikuasai, dinetralisasikan baik sebagian maupun seluruhnya, maka hal itu dapat memberikan keuntungan militer yang pasti. Hal ini berarti suatu objek sipil, dapat dimiliterkan, baik itu dengan dijadikan sebagai markas atau tempat persembunyian ataupun dijadikan tempat penyimpanan amunisi dan sebagainya.45

Jika hal ini dilakukan, maka sudah barang tentu objek tersebut bukan lagi merupakan objek sipil, karena telah kehilangan fungsi-fungsi sipilnya sebagai objek sipil namun objek tersebut akan dianggap sebagai objek militer karena fungsinya telah beralih untuk membantu tujuan-tujuan yang bersifat militer. Dengan demikian, objek tersebut dapat dijadikan sasaran serangan walaupun dari segi penampilannya merupakan objek sipil. Salah satu contoh benda budaya yang mendapat perlindungan khusus yaitu Candi Borobudur, Candi Sewu, Masjid

45“Sebagaimana dimuat dari” https://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-humaniter/, Diakses pada tanggal 9 maret 2015


(52)

Istiqlal, Monas, dll. Dalam pasal 11 ayat (1-3) Konvensi Den Haag 1954 dijelaskan bahwa :

1) Jika suatu negara pihak melakukan suatu perlanggaran terhadap Pasal 9 (Konvensi Den Haag 1954), berkenaan dengan benda budaya yang berada dalam perlindungan khusus, maka pihak musuh selama pelanggaran tersebut terjadi, harus dibebaskan dari kewajiban untuk menjamin imunitas benda budaya yang bersangkutan. Bagaimanapun, selama memungkinkan, pihak musuh terlebih dahulu harus meminta agar pelanggaran tersebut dihentikan.

2) Imunitas benda budaya yang berada dalam perlindungan khusus dapat dicabut hanya dalam kasus-kasus yang sangat eksepsional (khusus) dari kepentingan militer yang mutlak, dan hanya hanya berlaku pada saat diperlukan saja. Hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh seorang Komandan yang memimpin suatu pasukan setingkat Divisi atau yang lebih tinggi apabila situasi mengijinkan, maka Pihak musuh harus diberitahukan sebelumnya mengenai penarikan imunitas benda budaya tersebut.

3) Pihak yang menarik imunitas tersebut, sesegera mungkin harus menginformasikan Komisioner Jendral untuk Benda-benda Budaya sebagaimana tercantum dalam Regulasi, secara tertulis dan dengan menyebutkan alasannya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 11 tersebut, maka telah jelas bahwa suatu benda budaya dapat dicabut imunitasnya sebagai benda budaya, apabila lokasi, tujuan, atau penggunaannya memang benar-benar dapat memberikan keuntungan


(53)

militer sesuai dengan persyaratan dalam Pasal 52 ayat (2) Protokol Tambahan I 1977. Apabila benda tersebut berada dalam perlindungan khusus, maka pelepasan imunitas tersebut hanya dapat dilakukan oleh seorang Komandan yang mempimpin pasukan setingkat Divisi (pangkat minimal Mayor Jendral), dan pelepasan imunitas benda budaya tersebut harus memenuhi persyaratan sebagaimana Pasal 11 Konvensi Den Haag 1954.46

D. Ruang Lingkup Hukum Humaniter Internasional

Ruang lingkup Hukum Humaniter mempunyai beberapa aliran,berikut aliran dari ruang lingkup hukum humaniter internasional :

a) Aliran yang sangat luas

Jean pictet berpendapat bahwa ruang lingkup aliran sangat luas ialah: 1) Hukum perang, yang terbagi jadi 2 bagian yakni:

1. Hukum the Hague 2. Hukum Jenewa

2) Hak-hak asasi manusia (human right)

International Humanitarian law kemudian diberi definisi sebagai berikut :

International Humanitarian Law, in the wide sinse, is constituted by all the international legal provisions, whether written or customary, ensuring respect for the individual and his well being.

46sebagai mana dimuat dari” https://arlina100.wordpress.com/2008/12/20/benda-budaya-apakah-objek-sipil/, Diakses pada tanggal 28 Februari 2015


(1)

1. Bebas pelanggaran wilayah, maksudnya wilayah negara swiss tidak boleh di jadikan sasaran peperangan oleh Belligerent .

2. Berhak untuk tidak dilibatkan dalam perang, negara netral harus bersikap netral jika ada negara terjadi konflik bersenjata dan negara netral juga harus menjaga netralitasnya yakni tidak dilibatkan dalam peperangan. 3. Bebas dari intervensi di bidang komersial hingga batas sanksi ekonomi

yang ditentukan oleh hukum internasional.

4. Menahan diri untuk tidak memberikan bantuan kepada pihak yang berperang, negara netral tidak dibenarkan untuk memberikan bantuan apapun bagi negara yang sedang terjadi peperangan.

5. Mengizinkan negara yang berperang untuk terlibat dalam kegiatan komersial hingga batas yang ditentukan oleh hukum internasional.

Kemudian di dalam hukum humaniter yang menjadi cabang hukum Internasional negara netral juga mempunyai hak dan kewajiban di dalam Konvensi Den Haag tahun 1907 yang berisi tentang Hak dan kewajiban perang di Laut dan Perang di didarat.

Lalu bagi negara yang memberikan status netral kepada negara-negara netral diwajibkan untuk tidak menyerang atau mengancam wilayah negara netral dan melakukan intervensi dengan kekuatan militer apabila dengan negara netral ini diserang oleh negara lainnya dan negra-negara penjamin ini diminta pertolongannya.


(2)

BAB V

KESIMPULAN & SARAN

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat dikemukakan dalam skripsi ini adalah : 1. Ruang lingkup Hukum Humaniter mengatur tentang seputar peperang dan

ruang lingkup ini juga mempunyai 3 aliran yakni aliran Luas, sempit dan Menengah. Aliran luas pada umumnya tidak saja terdiri dari Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag melainkan juga mencakup Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, Kemudian Aliran Sempit hanya terbatas pada Hukum Jenewa dan mencakup tentang metode dan sarana berperang, status kombatan, perlindungan terhadap orang yang sakit dan orang sipil. Lalu yang terakhir Aliran menengah, menyatakan bahwa ruang lingkup Hukum Humaniter terdiri dari Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Ruang lingkup Menengah ini pun juga bersifat moderat.

2. Hak dan Kewajiban Negara Netral, pada umumnya negara netral berkedudukan sebagai negara yang tidak memihak pada saat berperang dan tidak memberikan bantuan apapun kepada negara yang sedang terjadi perang hal ini sudah ditetapkan dalam Konvensi Den Haag tentang hak dan kewajiban negara netral pada saat terjadi perang, isi tentang Hak dan kewajiban tersebut yakni, bahwa negara netral mempunyai hak agar wilayah mereka tidak menjadi sasaran dalam perang atau wilayah mereka dipakai untuk perang, bebas dari intervensi di bidang komersial hingga batas sanksi ekonomi yang ditentukan oleh hukum internasioanl.


(3)

Sedangkan kewajiban dari negara netral sendiri harus bersikap netral, mempertahankan diri tehadap semua usaha yang mengancam netralitasnya, menolak pemakaian wilayahnya oleh pihak yang berperang. 3. Kedudukan Swiss sebagai negara netral menurut Hukum Internasional,

Negara Swiss adalah sebuah negara federal yang berbatasan dengan negara Jerman, Perancis, Italia, Liechtenstein dan Austria. Swiss dikenal sebagai negara netral namun tetap memiliki kerjasama internasional yang kuat. Status Kenetralan Swiss terbentuk pada Perjanjian Paris (Paris Treaty) ditandatangani pada tanggal 20 November 1815. Kemudian Swiss termasuk dalam kategori negara terkaya di dunia.

B. Saran

Ruang Lingkup Hukum Humaniter pada dasarnya ilmu yang mempelajari tentang tata perang dan metode perang yang benar. Hukum humaniter bertujuan untuk melindungi orang-orang yang terluka, sakit, terdampar, tawanan perang, melindungi orang-orang yang kebebasannya dicabut karena konflik, melindungi penduduk sipil, melindungi personal medis dan agama, staff dari operasi pembebasan, staff dari organisasi pertahanan sipil dan mediator. Bagi setiap negara yang terjadi konflik bersenjata agar dapat mengetahui bagaimana tata cara dan metode yang seharusnya di terapkan, agar tidak dapat dikenakan sanksi pelanggaran.


(4)

Daftar Pustaka

Buku :

Ambarwati, Rahmdhany Denny, Rusman Rina, Hukum Humaniter Internasional dalam studi hubungan internasional, Rajawali pers, Jakarta, 2009.

Adolf, Huala, Aspek Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali pers, Jakarta, 1991.

Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Refika Adhitama, 2000).

Akehurst, Michael, A Modern Introduction to International Law, George Allen and Unwin, 1970.

Ardhiwisastra Yudha Bhakti, Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003. Black Campbell, Henry, Black’s Law Dictionary, St. Paul Minn, West Publishing Comp, 1979.

Brierly, J.L, The Law of Nations, Oxford: Clarendon Press, 5th.ed.,1954.

Gasser-Peter, Hans, International Humanitarian Law, An Introduction, Paul Haupt Publisher, Berne-Stuttgart-Vienna,1993.

Haryomataram, KGPH, Pengantar Hukum Humaniter, Rajawali pers, Jakarta, 2005

Haug, Hans, Humanity for All. The International Red Cross and Red Crescent Movement, Henry Dunant Institute, Haupt, Switzerland, 1993.

Hingorani R.C, Modern International Law, India, Oceana Publications, 1984. Kalshoven, Frits, Constraint on the Waging Of war , ICRC, 1991.

Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum Internasional, alumni, jakarta, 2002.

Kusumaatmadja, Mochtar, Konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1949, Bina Cipta, Bandung, 1986.

Leviza, Jelly, Diktat Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Usu, 2013.

Masjur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar Dasar-dasar Hukum Internasional, IKIP Malang, 1995.


(5)

Permanasari, Arlina, dkk, Pengantar Hukum Humaniter ,ICRC, Jakarta, 1999 Soekanto,Soerjono dan Mamudji,Sri, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, cet. 9, Jakarta, Rajawali Press, 2006.

Sujatmoko, Andrey, Hukum HAM & HUKUM HUMANITER, Rajawali pers, Jakarta, 2015.

Soemitro, Ronny Hanitjo, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia , Jakarta, 1985

Soeroso R, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005

Sunggono, Bambang Metode penelitian hukum, Raja Grafindo Jakarta, 2005.

Internet :

http://wwwandymanurung.blogspot.com/2012/02/negara-sebagai-subjek-hukum.html

http://www.Swiss as a Neutral Country and Sovereign.html

https://fitria97.wordpress.com/tugas-tugas/pkn/macam-macam-bentuk-negara/ http://lanlanrisdiana.blogspot.com/2013/03/makalah-netralitas-yurisdiksi-dan.html https://m.facebook.com/notes/desiminasi-palang-merah/sejarah-singkat-gerakan-palang-merah-dan-bulan-sabit-merah/148315315191118/

http://ahrdirahmat.blogspot.com/2011/02/sejarah-lahirnya-hukum-humaniter-hampir.html

http://usmilitary.about.com/od/glossarytermsm/g/m3987.html

http://www.zonasiswa.com/2014/11/subjek-hukum-internasional.html

http://bahankuliyah.blogspot.com/2014/05/hukum-humaniter-internasional.html

http://sarahhifis29.blogspot.com/2011/07/subjek-dan-objek-hukum-internasional.html

https://younkhendra.wordpress.com/2009/01/26/tugas-mt-kul-hukum-internasional/

http://skripsichopinkecil.blogspot.com/


(6)

https://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-humaniter/

https://arlina100.wordpress.com/2008/12/20/benda-budaya-apakah-objek-sipil/ https://nurindahutami.wordpress.com/category/hukum-internasional/

https://books.google.co.id/books?id=KaeblPqaCT8C&pg=PR67&lpg=PR67&dq= buku+konvensi+montevideo+1933&source=bl&ots=EyWysDEUUT&sig=dGZW dfzb9Zz5sE7JY7Pq_W1QX74&hl=en&sa=X&ei=8qSbVfyTL4yjugTS2JfAAg& ved=0CGMQ6AEwCQ#v=onepage&q=buku%20konvensi%20montevideo%2019 33&f=false

https://dieks2010.wordpress.com/2010/04/15/unsur-terbentuknya-negara/ https://adorableswiss03.wordpress.com/2014/03/22/sejarah-awal-negara-swiss/ https://web.archive.org/web/20100419174957/http://www.swissworld.org/en/histo ry/prehistory_to_romans/prehistoric_times/

http://www.thedjokosusilo.org/2012/02/sistem-pertahanan-semesta-di.html. https://id.wikipedia.org/wiki/Swiss

http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/47-agustus-2008/364-komoditi-ekspor-indonesia-dinilai-menarik-di-pasar-swiss.html

https://id..wikipedia.org/wiki/Austria

http://russellbulletin.com/2013/01/07/when-and-why-did-switzerland-become-so-fiercely-neutral/

http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/1852461.stm

http://www.swissinfo.ch/eng/moving-towards-the-un-in-slow-motion/291972 https://en.wikisource.org/wiki/Final_Act_of_the_Congress_of_Vienna/General_T reaty#cite_note-93

http://net.lib.byu.edu/~rdh7/wwi/versa/versa15.html

https://mirisa.wordpress.com/2007/10/13/kebijakan-swiss-untuk-mengakhiri-netralitas-dengan-menjadi-anggota-pbb-ke-190