Sengketa Pulau Kuril Antara Rusia Dan Jepang Ditinjau Dari Hukum Internasional

(1)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014

DONNY TANAKA SILALAHI 090200197


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

SENGKETA PULAU KURIL ANTARA RUSIA DAN JEPANG

DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DONNY TANAKA SILALAHI 090200197

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Internasional

ARIF, SH., MH NIP. 196403301993031002

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. SUHAIDI, SH., M.Hum ARIF, SH., MH

NIP. 196207131988031003 NIP. 196403301993031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

SENGKETA PULAU KURIL ANTARA RUSIA DAN JEPANG DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

Jepang merupakan salah satu negara yang cukup berpengaruh di kawasan Asia Pasifik karena Jepang memiliki kekuatan ekonomi yang luar biasa. Perekonomian Asia bahkan dunia hampir didominasi oleh produk buatan Jepang seperti barang elektronik dan otomotif. Namun meskipun memiliki kekuatan ekonomi yang cukup kuat, Jepang adalah salah satu negara di dunia yang kekuatan militernya bergantung kepada negara lain yaitu Amerika Serikat.

Perumusan masalah dalam penelitian adalah :Bagaimana pengaturan status pulau-pulau dari wilayah negara dalam Hukum Internasional. Bagaimana konflik pulau Kuril antara Rusia dan Jepang. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Pulau Kuril menurut Hukum Internasional. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Pengaturan tentang kedaulatan dan yurisdiksi negara di laut secara komprehensif mulai dilakukan oleh empat konvensi Jenewa tahun 1958 yang mengatur tentang laut teritorial dan zona tambahan, perikanan dan konservasi sumberdaya hayati di laut lepas, landas kontinen dan laut lepas. Namun demikian pada kisaran tahun 1970-an konvensi tersebut mulai dianggap tidak lagi memadai dan muncul tuntutan untuk meninjau kembali isi konvensi tersebut. Konflik kepemilikan Pulau Kuril antara Rusia dan Jepang, kepulauan Kuril diambil alih oleh Uni Soviet (nama lama Rusia) antara 28 Agustus hingga 5 September 1945, setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus. Pada 1951 Perjanjian Keamanan San Francisco menyatakan bahwa Jepang harus menyerahkan semua klaimnya atas kepulauan Kuril ke sekutu. Perjanjian ini juga tidak mengakui kedaulatan Uni Soviet. Jadi tuntutan Uni Soviet atas kepulauan Kuril juga tidak terjadi. Uni Soviet akhirnya menggunakan hasil perjanjian Konferensi Yalta sebagai dasar hukumnya. Penyelesaian sengketa Pulau Kuril menurut Hukum Internasional, penyelesaian sengketa Pulau Kuril antara Jepang dan Rusia didasarkan pada hukum internasional dan prinsip yang digunakan dalam penyelesaian sengketa pulau yang di klaim oleh Jepang, solusi-solusi tersebut antara lain:Arbitrase, Penyelesaian melalui jalur diplomatic, Mahkamah Internasional, Penyelesaian melalui Referendum


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan kerendahan hati penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul Sengketa Pulau Kuril Antara Rusia Dan Jepang Ditinjau Dari Hukum Internasional.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni, SH, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Arif, SH., M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional, sekaligus Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi.

6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.


(5)

7. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

8. Kedua orang tua penulis Ayahanda Lukman Silalahi dan Ibunda Suryatin serta Kakanda Luchy Agustin Silalahi, dan Adinda Kiki Aldama Silalahi, yang selalu memberikan dukungan baik secara moril maupun material sehingga terselesaikanya skripsi ini.

9. Spesial buat Anggi Larasati, terima kasih atas dukungan dan motivasi kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

10.Teman-Teman stambuk 2009, Riady Alhayyan, SH, Marko Silaen, SH Raja Karsito Purba, Alfi Syahrin Nst, Dirgan, Rizky Ridwan Matondang, Taufik Nuriansyah, yang telah mendukung dan memberikan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan sampai selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Tuhan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di negara Republik Indonesia.

Medan, Februari 2014 Hormat Saya


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PENGATURAN STATUS PULAU-PULAU DARI WILAYAH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL... 20

A. Pengertian Hukum Internasional dan Sumber-Sumber Hukum Internasional ... 20

B. Wilayah Negara dalam Hukum Internasional ... 32

C. Pengaturan Status Pulau dari Wilayah Negara Berdasarkan Hukum Internasional ... 42

BAB III KONFLIK KEPEMILIKAN PULAU KURIL ANTARA RUSIA DAN JEPANG ... 44

A. Sejarah Pulau Kuril. ... 44


(7)

C. Upaya-Upaya Diplomatik Rusia-Jepang dalam Penyelesaian

Sengketa Pulau Kuril ... 50

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA PULAU KURIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ... 55

1. Kendala-Kendala yang Dihadapi dalam Penyelesaian Sengketa Pulau Kuril ... 55

2. Penyelesaian Sengketa Pulau Kuril Menurut Internasional ... 61

3. Solusi Penyelesaian Sengketa Pulau Kuril ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

SENGKETA PULAU KURIL ANTARA RUSIA DAN JEPANG DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

Jepang merupakan salah satu negara yang cukup berpengaruh di kawasan Asia Pasifik karena Jepang memiliki kekuatan ekonomi yang luar biasa. Perekonomian Asia bahkan dunia hampir didominasi oleh produk buatan Jepang seperti barang elektronik dan otomotif. Namun meskipun memiliki kekuatan ekonomi yang cukup kuat, Jepang adalah salah satu negara di dunia yang kekuatan militernya bergantung kepada negara lain yaitu Amerika Serikat.

Perumusan masalah dalam penelitian adalah :Bagaimana pengaturan status pulau-pulau dari wilayah negara dalam Hukum Internasional. Bagaimana konflik pulau Kuril antara Rusia dan Jepang. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Pulau Kuril menurut Hukum Internasional. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Pengaturan tentang kedaulatan dan yurisdiksi negara di laut secara komprehensif mulai dilakukan oleh empat konvensi Jenewa tahun 1958 yang mengatur tentang laut teritorial dan zona tambahan, perikanan dan konservasi sumberdaya hayati di laut lepas, landas kontinen dan laut lepas. Namun demikian pada kisaran tahun 1970-an konvensi tersebut mulai dianggap tidak lagi memadai dan muncul tuntutan untuk meninjau kembali isi konvensi tersebut. Konflik kepemilikan Pulau Kuril antara Rusia dan Jepang, kepulauan Kuril diambil alih oleh Uni Soviet (nama lama Rusia) antara 28 Agustus hingga 5 September 1945, setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus. Pada 1951 Perjanjian Keamanan San Francisco menyatakan bahwa Jepang harus menyerahkan semua klaimnya atas kepulauan Kuril ke sekutu. Perjanjian ini juga tidak mengakui kedaulatan Uni Soviet. Jadi tuntutan Uni Soviet atas kepulauan Kuril juga tidak terjadi. Uni Soviet akhirnya menggunakan hasil perjanjian Konferensi Yalta sebagai dasar hukumnya. Penyelesaian sengketa Pulau Kuril menurut Hukum Internasional, penyelesaian sengketa Pulau Kuril antara Jepang dan Rusia didasarkan pada hukum internasional dan prinsip yang digunakan dalam penyelesaian sengketa pulau yang di klaim oleh Jepang, solusi-solusi tersebut antara lain:Arbitrase, Penyelesaian melalui jalur diplomatic, Mahkamah Internasional, Penyelesaian melalui Referendum


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

mengenaistatus Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Pasal 2 Perjanjian Shimoda yang menjelaskan perjanjian mengenai perbatasan, mencantumkan mulai sekarang, perbatasan kedua negara ditetapkan terletak antara Pulau yang berada di utara dan termasuk di dalamnya Pulau Uruppu merupakan milik Rusia.

Pulau-pulau seperti Kunashiri, Shikotan, dan Kepulauan berada di selatan Etorofu tidak secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian,dan dimengerti pada waktu itu sebagai wilayah teritorial Jepang yang tidak dalam sengketa. Perjanjian Shimoda juga mencantumkan Pulau Sakhalin/Karafuto tidak untuk dibagi duamelainkan berada di bawah pengawasan bersama Rusia-Jepang. Pada perjanjian Rusia-Jepang yang berikutnya yakni 1875, Jepang setuju untuk menghentikan semua tuntutan atas Sakhalin, dengan imbalan Rusia memberikan semua hak atas Kepulauan Kuril kepada Jepang.

Jepang merupakan salah satu negara yang cukup berpengaruh di kawasan Asia Pasifik karena Jepang memiliki kekuatan ekonomi yang luar biasa. Perekonomian Asia bahkan dunia hampir didominasi oleh produk buatan Jepang seperti barang elektronik dan otomotif. Namun meskipun memiliki kekuatan ekonomi yang cukup kuat, Jepang adalah salah satu negara di dunia yang


(10)

kekuatan militernya bergantung kepada negara lain yaitu Amerika Serikat. Hal tersebut dapat dilihat yakni salah satunya dengan adanya pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa yang tak lain bertujuan untuk pertahanan.

Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat atas wilayahnya, Jepang juga tidak terlepas dari permasalahan perbatasan dengan negara lain. Jepang akan melakukan tindakan apapun dalam mempertahankan wilayahnya. Salah satu contoh upaya keras Jepang yakni dalam hal menjaga keutuhan wilayahnya adalah terjadinya konflik wilayah perbatasan Jepang dengan Rusia tentang kepulauan Kuril. Konflik tersebut merupakan persengketaan antara Jepang dan Rusia atas kedaulatan Kepulauan Kuril Selatan. Pulau-pulau yang disengketakan adalah pulau yang masuk dalam operasi ofensif strategis Manchuria pada akhir Perang Dunia II. Pulau-pulau yang disengketakan sekarang berada di bawah administrasi Rusia sebagai Distrik Kuril Selatan, Oblast Sakhalin. Namun, diklaim Jepang sebagai teritorial Jepang yang disebut Teritorial Utara, atau Chishima Selatan, di bawah administrasi sub-Prefektur Nemuro, Prefektur Hokkaido.1

Awal mula munculnya masalah hubungan antara Rusia dan Jepang tentang kepulauan ini adalah adanya Perjanjian Shimoda (1855), dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa selanjutnya batas antara kedua negara akan terletak antara Pulau Etorofu dan Uruppu. Seluruh Etorofu harus milik Jepang; dan Kepulauan Kuril, yang terletak di sebelah utara dan termasuk Urup, akan menjadi milik Rusia. Pulau Kunashir, Shikotan dan Kepulauan Habomai, yang terletak di sebelah selatan Iturup, tidak secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian dan

1


(11)

dianggap sebagai pulau-pulau yang tidak disengketakan. Namun masalah bermula ketika terjadi perang Rusia-Jepang tahun 1904-1905 dimana mereka saling memperebutkan wilayah Manchuria. Kemudian, pada tahun 1905 Perjanjian Porsmouth merupakan solusi awal yang menyebutkan dimana setengah dari kepulauan Shakalin Selatan mejadi milik Jepang dan Kuril menjadi milik Uni Soviet.2

Perjanjian damai Jepang atau yang lebih dikenal dengan Perjanjian San Francisco tanggal 8 September 1951, di dalamnya memuat pasal-pasal yang menunjukkan tanggung jawab Jepang sebagai negara yang harus menanggung beban biaya yang ditimbulkan selama masa penjajahan. Dalam perjanjian San Francisco juga tertuang pasal tentang wilayah yang harus dikembalikan kepada negara asal.3

Masalah ini berdampak terhadap hubungan bilateral kedua negara dimana masalah ini sudah hampir berlanjut selama 65 tahun. Selama itu kedua negara ini melakukan konfrontasi secara Sehingga konflik ini terus bertahan hingga puncaknya pada tahun 2007 sebuah kapal patroli Rusia melakukan tembakan

Akibat dari perjanjian tersebut yakni pernyataan bahwa Jepang harus menghentikan semua klaim terhadap Kepulauan Kuril, namun perjanjian tersebut juga tidak mengakui kedaulatan Uni Soviet atas Kepulauan Kuril. Rusia bertahan pada sikapnya, bahwa kedaulatan Uni Soviet atas kepulauan-kepulauan tersebut diakui dengan adanya perjanjian-perjanjian pada akhir Perang Dunia II namun klaim Rusia ditolak Jepang.

2

Juni 2013

3


(12)

terhadap nelayan Jepang di kawasan tersebut dengan alasan bahwa nelayan tersebut telah masuk kedalam wilayah yuridiksi Rusia. Tokyo meminta kepada Moskow untuk meminta maaf dalam insiden tersebut namun justru Moskow melakukan penambahan kekuatan militer di kawasan tersebut. Kunjungan Presiden Dmitri Medvedev ke Kepulauan tersebut dianggap Tokyo sebagai salah satu bentuk provokasi dari Rusia, kemudian reaksi dari Jepang adalah menarik duta besar dari Moskow dan juga memprotes keras kedutaan Rusia di Tokyo.

Pada kasus sengketa wilayah antara Rusia dan Jepang terhadap Pulau Kuril, Rusia menginginkan hubungan yang normal di antara dua negara di dalam mencapai kepentingan masing-masing termasuk perjanjian perdamaian berdasarkan hukum dan keadilan. Pada sengketa Pulau Kuril ini disamping adanya suatu negosiasi untuk menyelesaikan sengketa wilayah, juga adanya kerjasama ekonomi dari kedua belah pihak berdasarkan kebijakan dari Jepang sendiri yaitu adanya negosiasi yang berkelanjutan dan juga pembangunan secara ekonomi, kemanusiaan serta teknologi. Namun hal ini tidak terlepas dari kepentingan Rusia yang ingin memperbaiki kondisi ekonominya setelah Perang Dingin berakhir. Adanya perbedaan pendapat antara pemerintah yang mana lebih menitikberatkan kepada kerjasama ekonomi seiring dengan jalannya proses negosiasi, lain hal dengan kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat dimana lebih menitikberatkan kepada kedaulatan negara. Mereka berpendapat bahwa penyelesaian sengketa wilayah tersebut harus diselesaikan dengan keseriusan dari pemerintah dalam menjalankan negosiasi, serta tidak akan mendukung hasil dari penyelesaian sengketa tersebut jika Rusia harus kehilangan sebagian wilayahnya.


(13)

Menurut Wohlforth negara sering kali harus bertindak egois, terutama bila dihadapkan pada pilihan kepentingan diri sendiri dan kepentingan kolektif. Dalam kondisi anarkis seperti ini setiap negara harus menolong dirinya sendiri (self-help).4

Morgenthau juga mengatakan bahwa setiap kegiatan negara dalam kegiatan politik hubungan internasional atau dalam konteks hubungan dengan negara lain, adalah melakukan struggle of Power yang memiliki makna bahwa setiap negara akan melakukan perebutan kekuasaaan agar kepentingan negaranya tercapai.

Maka cara yang dilakukan oleh Jepang dalam memperjuangkan Kepulauan Kuril tersebut cukup beralasan dan masuk akal. Jepang tidak ingin kehilangan wilayah tersebut sebab selain bisa memperluas wilayahnya, di sisi lain kepentingan Jepang akan kepulauan tersebut juga cukup besar. Di gugusan kepulauan tersebut selain terdapat potensi perikanan yang cukup besar juga terdapat unsur mineral yang bisa mendongkrak perekonomian negara, sehingga apapun akan dilakukan oleh Jepang dalam memperebutkan pulau tersebut.

5

4

Hal yang dilakukan Jepang dalam rangka mencapai tujuan nasional, yaitu mendapatkan wilayah tersebut dengan cara meminta dukungan Amerika Serikat dan melakukan tekanan terhadap pemerintah Rusia dengan mengajak pihak Rusia melakukan hubungan bilateral guna membahas kepulauan tersebut. Selain itu Jepang juga menggunakan hukum internasional untuk menekan Rusia dalam kepemilikan kepulauan tersebut. Jepang melakukan klaim atas kepemilikan kepulauan tersebut dengan dasar perjanjian Shimoda, namun menurut Rusia klaim itu hilang setelah Jepang melakukan perang dengan Rusia pada tahun 1905.


(14)

Perang tersebut mengakibatkan putusnya hubungan diplomatik yang berarti semua produk hukum diantara kedua negara tersebut batal, sehingga pada akhirnya langkah yang diambil dalam konteks kepemilikan kedua negara atas kepulauan Kuril adalah siapa yang terakhir menduduki kepulauan tersebut adalah yang berhak memiliki, dan yang terakhir menduduki kepulauan tersebut adalah Rusia. Jika dilihat dari perkembangan hubungan negara Jepang dan Rusia terhadap masalah perbatasan terseebut, dapat dipastikan kata damai atas kepulauan tersebut antara kedua negara masih jauh dari harapan. Meskipun kedua negara sering melakukan pertemuan tingkat tinggi, kedua negara tidak pernah mencapai kata sepakat, karena tidak ada negara yang akan memberikan wilayahnya kepada negara lain secara percuma. Puncaknya bahkan hingga terjadi perang diantara kedua negara yang berkonflik.

Sengketa ini juga akan membuat proses remiliterisasi dalam negera Jepang semakin kuat. Meskipun dalam Konstitusi Jepang Artikel 9 yang mengatakan bahwa Jepang tidak akan memiliki kekuatan militer selamanya, dan tergantung atas militer Amerika Serikat. Melihat prospek ancaman dari negara lain selain dengan Rusia cukup besar, diantaranya konflik perbatasan dengan Korea Selatan yakni pulau Doko dan RRC, konflik dengan Taiwan atas kepemilikan senkyuku, serta nuklir Korea Utara merupakan ancaman serius yang harus dipikirkan dan tentunya tidak akan bisa terus bergantung terhadap negara lain. Tidak menutup kemungkinan dilakukannya amandemen terhadap konstitusi tersebut. Karena sampai kapan Jepang akan bergantung terhadap kekuatan Amerika Serikat dalam hal pertahanan.


(15)

Meskipun isu remiliterisasi ini menyebabkan beberapa Perdana Menteri harus meletakkan jabatannya, tidak menutup kemungkinan isu ini menguat karena ancaman akan kedaulatan negara Jepang semakin terlihat.

Masalah ini berdampak terhadap hubungan bilateral kedua negara dimana masalah inisudah hampir berlanjut selama 65 tahun. Selama itu kedua negara ini melakukan konfrontasi secara sehingga konflik ini terus bertahan hingga puncaknya pada tahun 2007 sebuah kapal patroli Rusia melakukan tembakan terhadap nelayan Jepang di kawasan tersebut dengan alasan bahwa nelayan tersebut telah masuk kedalam wilayah yuridiksi Rusia. Tokyo meminta kepada Moskow untuk meminta maaf dalam insiden tersebutnamun justru Moskow melakukan penambahan kekuatan militer di kawasan tersebut. Kunjungan Presiden Dmitri Medvedev ke Kepulauan tersebut dianggap Tokyo sebagai salah satu bentuk provokasi dari Rusia, kemudian reaksi dari Jepang adalah menarik duta besar dari Moskow dan juga memprotes keras kedutaan Rusia di Tokyo.

Berdasarakan uraian di atas peneliti merasa tertarik untuk lebih menulis skripsi mengenai “Sengketa Pulau Kuril Antara Rusia dan Jepang Ditinjau Dari Hukum Internasional”

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian adalah :

1. Bagaimana pengaturan status pulau-pulau dari wilayah negara dalam Hukum Internasional?


(16)

3. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Pulau Kuril menurut Hukum Internasional?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pengaturan status pulau-pulau dari wilayah negara dalam Hukum Internasional.

b. Untuk mengetahui konflik pulau Kuril antara Rusia dan Jepang.

c. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa Pulau Kuril menurut Hukum Internasional

2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis, diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya pada mekanisme penyelesaian Sengketa Pulau Kuril Antara Rusia dan Jepang Ditinjau Dari Hukum Internasional sehingga dapat diselesaikan tanpa menimbulkan konfrontasi antar negara.

b. Secara Praktis, diharapkan juga dengan adanya penelitian ini dapat memberikan masukan dan pemahaman yang lebih mendalam bagi negara suatu negara dalam menyelesaikan konflik perbatasan tidak melakukan konfrontasi.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelursan dan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh penulis baik di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulis menemukan judul skripsi antara lain:


(17)

Utami Gita Syafitri, Sengketa Pulau Dokdo antara Jepang dan Korea Selatan Ditinjau dari Hukum Internasional, adapun permasalahan dalam penelitian adalah bagaimana kedaulatan negara di wilayah laut menurut Hukum Internasional, bagaimana penyelesaian sengketa menurut Hukum Internasional dan bagaimana Pulau Dokdo antara Jepang dan Korea Selatan.

Penyelesaian Sengketa Spratly Islands Menurut Hukum Internasional, adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana Pengaturan/ Penyelesaian sengketa pulau/ kepulauan menurut Hukum Internasional? Bagaimana permasalahan sengketa Spratly Islands? Bagaimana penyelesaian sengketa Spratly Islands menurut Hukum Internasional?

Dalam penelitian skripsi ini penulis mengambil judul tentang Sengketa Pulau Kuril Antara Rusia Dan Jepang Ditinjau Dari Hukum Internasional. Jadi penelitian ini belum diteliti oleh peneliti yang lain.

Kajian pada penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya. Penulis mengkaji dan mengambil perumusan masalah tentang Bagaimana pengaturan status pulau-pulau dari wilayah negara dalam Hukum Internasional.Bagaimana konflik Pulau Kuril antara Rusia dan Jepang.Bagaimana Penyelesaian Sengketa Pulau Kuril menurut Hukum Internasional.Perumusan masalah di atas berbeda dari penulisan skripsi sebelumnya, maka penulis tertarik mengambil judul ini sebagai judul skripsi. Dengan demikian ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


(18)

E. Tinjauan Kepustakaan

Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara dua bangsa yang berbeda.

Dalam interaksi sesama manusia, konflik atau sengketa merupakan hal yang lumrah terjadi berbagai metode penyelesaian sengketa internasional telah berkembaang pesat sesuai dengan tuntutan zaman.namun, hal tersebut belum juga dapat membuat sengketa yang terjadi antar negara atau bangsa usai malah sengketa yang terjadi semakin banyak saja.

Di dalam kehidupan masyarakat internasional, hubungan antarnegara ditandai oleh dua faktor, yaitu adanya kerja sama dalam hidup berdampingan secara damai, dan adanya sengketa internasional. Pada dasarnya masyarakat internasional yang berusaha untuk berdampingan secara damai, tidak dapat menghindarkan diri dari timbulnya suatu sengketa. Sengketa internasional didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subjek hukum mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta mengenai penafsiran atau kepentingan antara negara yang berbeda. Sengketa internasional terjadi karena berbagai sebab, diantaranya:6

1. Salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian internasional

6


(19)

2. Perbedaan penafsiran mengenai isi perjanjian internasional 3. Kerusakan lingkungan hidup

4. Perebutan pengaruh ekonomi, politik, ataupun keamanan regional maupun internasional

5. Batas wilayah dan klaim kepemilikan wilayah negara.

Sengketa antarnegara hampir setiap saat terjadi, terutama sengketa mengenai perebutan wilayah negara. Ketika terjadi sengketa internasional, hukum internasional memainkan peranan yang penting dan esensial dalam proses menyelesaikan sengketa tersebut. Penyelesaian sengketa internasional merupakan satu tahap paling penting dan menentukan. Dalam hal ini hukum internasional memberikan pedoman. Aturan dan cara-cara suatu sengketa dapat diselesaikan oleh para pihak.7

Untuk mengetahui instrumen hukum internasional yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa Pulau Kuril, maka terlebih dahulu dijelaskan sumber-sumber hukum internasional. Sumber hukum internasional adalah bahan-bahan aktual dari mana seorang ahli hukum menentukan kaidah hukum yang berlaku terhadap keadaan tertentu.8

7

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal 1

Sumber hukum internasional secara umum terdapat dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yang menyebutkan bahwa dalam memutuskan sengketa yang diajukan padanya, Mahkamah Internasional akan menggunakan:


(20)

1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa.

2. Kebiasaan internasional yang terbukti telah menjadi kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum.

3. Prinsip hukum umum yang diikuti oleh bangsa beradab.

4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.

Urutan penyebutan sumber hukum dalam Pasal 38 ayat (1) di atas tidak menggambarkan urutan pentingnya masing-masing sumber hukum. Satu-satunya klasifikasi yang dapat kita adakan ialah bahwa sumber hukum formal itu dibagi atas dua golongan sumber hukum yang tersebut terdahulu, dan sumber hukum tambahan atau subsider yaitu keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran sarjana hukum yang paling terkemuka diberbagai negara.9

Sumber hukum penyelesaian sengketa internasional terdapat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1945. Piagam PBB mengenal dua cara penyelesaian sengketa internasional, yaitu penyelesaian secara damai dan kekerasan. Penyelesaian sengketa secara damai tercantum dalam Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB yang menyatakan bahwa semua negara anggota harus menyelesaikan persengketaan internasional dengan jalan damai sedemikian rupa sehingga perdamaian dan kemanan internasional, dan keadilan tidak terancam.

9

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung : Alumni, 2003, hal 191


(21)

Penyelesaian sengketa secara damai kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 33 Piagam PBB yang menyatakan bahwa pihak-pihak yang tersangkut dalam sesuatu pertikaian yang jika berlangsung terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian dan jalan perundingan, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase. Penyelesaian hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan regional atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri.

Bentuk penyelesaian sengketa internasional yang tercantum dalam Piagma PBB, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara diplomatik dan secara hukum. Yang termasuk dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi, penyelidikan, mediasi dan konsiliasi. Hukum internasional juga mengenal good offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah penyelesaian melalui arbitrase dan melalui pengadilan.

Pada dasarnya, tidak ada tata urutan yang mutlak mengenai penyelesaian sengketa secara damai. Para pihak dalam sengketa internasional dapat menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka ke badan peradilan internasional seperti Mahkamah Internasional, tanpa harus melalui jalur diplomatik. Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak memaksakan prosedur penyelesaian apapun kepada negara anggotanya. Dengan kebebasan dalam


(22)

memilih prosedur penyelesaian sengketa, negara-negara biasanya memilih untuk memberikan prioritas pada penyelesaian secara diplomatik.10

10

Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung : Alumni 2005, hal 195

Hukum internasional juga mengenal penyelesaian sengketa internasional melalui kekerasan. Sebenarnya, cara penyelesaian ini tidak dianjurkan oleh hukum internasional. Hal ini tersirat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yang menyatakan bahwa semua anggota harus menahan diri dalam hubungan internasional mereka dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik setiap negara, atau dengan cara lain tidak konsisten dengan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Jika cara damai yang ditempuh tetap tidak dapat menyelesaikan sengketa internasional, berdasarkan Pasal 42 Paigam PBB maka Dewan Kemanan PBB dapat mengambil tindakan dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau darat yang mungkin diperlukan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta kemanan internasional. Penyelesaian sengketa dengan cara kekerasan dapat dilakukan dengan cara retorsi, reprisal, blokade damai, intervens, perang (kekuatan bersenjata) dan tindakan bersenjata non-perang.

Penyelesaian sengketa wilayah juga dapat dilaksanakan berdasarkan ketentuan dalam Bab XV Konvensi Hukum Laut 1982. Penyelesaian sengketa dalam konvensi ini terdiri dari dua bentuk, yaitu dengan cara damai (cara damai ini sama seperti yang terdapat dalam Pasal 33 PBB), dan penyelesaian sengketa melalui prosedur wajib yang menghasilkan keputusan mengikat.


(23)

Pada kasus sengketa wilayah antara Rusia dan Jepang terhadap Pulau Kuril, Rusia menginginkan hubungan yang normal di antara dua negara di dalam mencapai kepentingan masing-masing termasuk perjanjian perdamaian berdasarkan hukum dan keadilan. Pada sengketa pulau Kuril ini disamping adanya suatu negosiasi untuk menyelesaikan sengketa wilayah, juga adanya kerjasama ekonomi dari kedua belah pihak berdasarkan kebijakan dari Jepang sendiri yaitu adanya negosiasi yang berkelanjutan dan juga pembangunan secara ekonomi, kemanusiaan serta teknologi.

Namun hal ini tidak terlepas dari kepentingan Rusia yang ingin memperbaiki kondisi ekonominya setelah perang dingin berakhir. Adanya perbedaan pendapat antara pemerintah yang mana lebih menitikberatkan kepada kerjasama ekonomi seiring dengan jalannya proses negosiasi, lain hal dengan kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat dimana lebih menitikberatkan kepada kedaulatan negara. Mereka berpendapat bahwa penyelesaian sengketa wilayah tersebut harus diselesaikan dengan keseriusan dari pemerintah dalam menjalankan negosiasi, serta tidak akan mendukung hasil dari penyelesaian sengketa tersebut jika Rusia harus kehilangan sebagian wilayahnya.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan


(24)

perundang-undangan dan putusan pengadilan,11

Penelitian hukum normatif (Legal Research) terdiri dari inventarisasi hukum positif, penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif, serta penemuan hukum in concreto. Penelitian hukum normatif yang dipakai dalam penelitian adalah penemuan hukum in concreto. Dalam penelitian ini, norma-norma hukum in abstracto diperlukan mutlak untuk berfungsi sebagai premisa mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara (Legal facts) dipakai sebagai premisa minor. Melalui proses silogisme akan diperolehlah sebuah konklusi, yaitu hukum in concreto, yang dimaksud.

yang berkaitan dengan sengketa pulau kuril antara Rusia dan Jepang ditinjau dari hukum internasional.

12

2. Sumber Data

Adapun sifat penulisan ini adalah deskriptif analitis, yaitu untuk mendapatkan deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang diteliti.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, didasarkan pada penelitian kepustakaan (Library research), (Library research) yang dilakukan dengan menghimpun data sekunder, yaitu:

a. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang bersifat autoratif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan maupun putusan-putusan pengadilan internasinonal.

11

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo persada,2004, hal 14.

12

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006, hal 91-92


(25)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa buku, majalah dan jurnal-jurnal ilmiah yang ada relevansinya dengan penelitian ini dan dapat memberi petunjuk dan inspirasi bagi penulis dalam rangka melakukan penelitian. c. Bahan hukum tertier, yakni memberi petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, dan bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi hasil penelitian ini.

3. Alat Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, dipergunakan tehnik penelitian kepustakaan (Library research) dalam menganalisa sengketa pulau kuril antara Rusia dan Jepang ditinjau dari hukum internasional dan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan tersebut, melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah studi dokumen.

4. Analisis Data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dan diorganisasikan, serta diurutkan dalam suatu pola tertentu sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hal-hal yang sesuai dengan bahasan penelitian. Seluruh data ini dianalisa secara kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan responden, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan35


(26)

yang ada dalam skripsi ini, serta penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan pendekatan deduktif-induktif. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Sengketa Pulau Kuril antara Rusia dan Jepang Ditinjau Dari Hukum Internasional” sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan membahas mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan metode penelitian dan sistematika penulisan

BAB II PENGATURAN STATUS PULAU-PULAU DARI WILAYAH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Dalam bab ini akan membahas tentang Pengertian Hukum Internasional dan Sumber-Sumber Hukum Internasional, Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional dan Pengaturan Status Pulau dari Wilayah Negara Berdasarkan Hukum Internasional

BAB III KONFLIK KEPEMILIKAN PULAU KURIL ANTARA RUSIA DAN JEPANG.

Pada bab ini akan membahas mengenai Sejarah Pulau Kuril, Sebab-Sebab Terjadinya Sengketa Pulau Kuril antara Rusia dan Jepang, Dasar Klaim Rusia dan Jepang dan Upaya-Upaya


(27)

Diplomatik Rusia-Jepang dalam Penyelesaian Sengketa Pulau Kuril

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA PULAU KURIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

Pada bab ini membahas tentang Kendala-Kendala yang Dihadapi dalam Penyelesaian Sengketa Pulau Kuril, Penyelesaian Sengketa Pulau Kuril Menurut Internasional dan Solusi Penyelesaian Sengketa Pulau Kuril

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran sebagai bagian akhir dari penulisan skripsi, maka dalam bab ini rangkum dari hasil penelitian yang telah dilakukan, serta memberikan saran terhadap penyelesaian sengketa Pulau Kuril antara Jepang dan Rusia


(28)

A. Pengertian Hukum Internasional dan Sumber-Sumber Hukum

Internasional

1. Pengertian Hukum Internasional

Hukum Internasional (international law) atau hukum internasional publik (public international law) merupakan istilah yang lebih popular digunakan saat ini dibandingkan istilah hukum bangsa-bangsa (law of nations), hukum antarnegara (inter state law). Dua istilah terakhir ini ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan. Hukum internasional saat ini tidak mengatur hubungan antarnegara atau antarnegara saja. Hukum internasional sudah berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek-subjek Negara tidaklah terbatas pada Negara saja sebagaimana diawal perkembangan hukum internasional.

Berikut ini beberapa pendapat tentang hukum internasional antara lain: Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas Negara-negara yang bukan bersifat perdata.13

Sedangkan menurut Charles Cheney Hyde dalam J.G Starke menyatakan bahwa hukum internasional dapat didefenisikan sebagai keseluruhan hukum-hukum yang untuk sebahagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah

13

Muchtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 1982, cetakan Keempat, hal 1


(29)

perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka secara umum.14

Meskipun mengakui bahwa hukum internasional saat ini tidak hanya mengatur hubungan antarnegara, tetapi Jhon O’Brien mengemukakan bahwa hukum internasional adalah sistem hukum yang terutama berkaitan dengan hubungan antarnegara.15

Definisi ini tidak dapat digunakan sebagai gambaran yang memadai dan lengkap dari maksud, tujuan dan lingkup hukum internasional, juga kesannya tidak dapat diterima karena hukum internasional tidak hanya berkaitan dengan negara. Starke mengembangkan definisi dengan menyatakan bahwa hukum internasional juga meliputi kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu serta kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.16

Selanjutnya peraturan-peraturan hukum internasional tertentu diperluas kepada orang-perorangan dan satuan-satuan bukan negara sepanjang hak dan kewajiban mereka berkaitan dengan masyarakat internasional dari negara-negara.

14

J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1 (Introduction to international Law, alih bahasa: Bambang Iriana Djajaatmadja), Cetakan Kesembilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 3

15

Jhon O’Brien, International Law, Cavendish Publishing Limited, Green Britain, 2001, hal 1


(30)

Hukum internasional antara lain menetapkan aturan-aturan tentang hak-hak wilayah dari negara (berkaitan dengan darat, laut, dan ruang angkasa), perlindungan lingkungan internasional, perdagangan dann hubungan komersial internasional, penggunaan kekerasan oleh negara, dan hukum hak asasi manusia serta hukum humaniter.17

Para sarjana banyak membahas tentang kedudukan hukum internasional sebagai bagian dari ilmu hukum. Para sarjana tersebut ada yang berpendapat bahwa hukum internasional tidak dapat digolongkan kedalam kelompok ilmu hukum tetapi hanya sekedar moral internasional yang tidak mengikat secara positif, dan ada sarjana yang menyatakan bahwa hukum internasional merupakan hukum positif yang sudah terbukti menyelesaikan atau mengatur persoalan-persoalan dunia bahkan ada pendapat yang menyatakan hukum internasional sebagai “world law” atau hukum dunia yang didalamnya ada jaringan, sistem serta mekanisme dari suatu pemerintahan dunia yang mengatur pemerintah-pemerintah dunia.18

Perbedaaan pendapat para sarjana ini disebabkan oleh cara pandang yang berbeda dalam melihat kedudukan hukum internasional. Hukum internasional selalu diasosiasikan dengan pemerintahan dalam arti nasional, sehingga ketiadaan alat-alat atau sistem yang sama seperti negara akan menyebabkan hukum

17

C. de Rover, To Serve & To Protect – Acuan Universal Penegakan HAM, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 4

18

A.Masyhur Effendi, Tempat Hak-hak Asasi Manusia dalam Hukum


(31)

internasional selalu dipandang tidak mempunyai dasar serta selalu diperdebatkan.19

Hukum internasional mengikat secara hukum. Kekuatan mengikat hukum internasional ditegaskan dalam dalam Piagam Pembentukan Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa, yang dirumuskan di San Fransisco tahun 1945. Piagam ini baik secara tegas maupun implisit didasarkan atas legalitas yang sebenarnya dari hukum internasional. Hal ini juga secara tegas dinyatakan dalam ketentuan-ketentuan Statuta Mahkamah Internasional yang dilampirkan pada piagam, dimana fungsi Mahkamah dalam pasal 38 dinyatakan “ untuk memutuskan sesuai dengan hukum internasional sengketa-sengketa demikian yang diajukan kepadanya.” Salah satu manifestasi multipartit yang paling akhir yang mendukung legalitas hukum internasional adalah Deklarasi Helsinki pada 1 Agustus 1975.20

Meskipun hukum internasional mengikat secara hukum, namun pada faktanya hukum internasional adalah hukum yang lemah (weak law). Dalam sistem hukum internasional tidak ada kekuasaan tertinggi yang dapat memaksakan keputusan-keputusannya kepada negara-negara, tidak ada badan legislatif internasional yang membuat ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat langsung negara-negara anggota disamping tidak adanya angkatan bersenjata untuk melaksanakan sanksi-sanksi kepada negara-negara pelanggar hukum serta

19


(32)

keberadaan Mahkamah Internasional yang belum mempunyai yurisdiksi wajib universal untuk menyelesaikan sengketa-sengketa hukum antar negara-negara. 21

Meskipun hukum internasional merupakan hukum yang lemah, namun negara-negara tetap percaya bahwa hukum internasional itu ada. Sebagai negara yang berdaulat serta menjunjung tinggi martabatnya terdapat kewajiban moral bagi suatu negara untuk menghormati hukum internasional dan secara umum mematuhinya. Negara-negara mematuhi hukum internasional karena kepatuhan tersebut diperlukan untuk mengatur hubungannya antara satu dengan yang lain dan untuk melindungi kepentingannya sendiri.

22

Hukum internasional tidak memiliki badan legislatif internasional untuk membuat ketentuan-ketentuan yang mengatur secara langsung kehidupan masyarakat internasional. Satu-satunya organisasi internasional yang kira-kira melakukan fungsi legislatif adalah Majelis Umum PBB. Tetapi resolusi yang dikeluarkannya tidak mengikat kecuali yang menyangkut kehidupan organisasi internasional itu sendiri. 23 Memang ada konferensi-konferensi internasional yang diselenggarakan dalam kerangka PBB untuk membahas masalah-masalah tertentu, tetapi tidak selalu merumuskan law-making treaties.24

Law making treaties adalah perjanjian internasional yang mengandung kaidah-kaidah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota masyarakat bangsa-bangsa; Law making treaties juga dikategorikan sebagai

21

Ibid. hal 23

22

Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Cetakan Ketiga, Alumni, Bandung, 2001, hal. 2-3

23

Ibid., hal 8

24


(33)

perjanjian-perjanjian internasional yang yang berfungsi sebagai sumber langsung hukum internasional.

2. Sumber-sumber Hukum Internasional

Pada dasarnya, sumber hukum terbagi menjadi dua, yaitu: sumber hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formal. Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang membahas materi dasar yang menjadi substansi dari pembuatan hukum itu sendiri. Sumber hukum dalam arti formal adalah sumber hukum yang membahas bentuk atau wujud nyata dari hukum itu sendiri. Dalam bentuk atau wujud apa sajakah hukum itu tampak dan berlaku. Dalam bentuk atau wujud inilah dapat ditemukan hukum yang mengatur suatu masalah tertentu.

Sumber hukum dipakai pertama sekali pada arti dasar berlakunya hukum. Dalam hal ini yang dipersoalkan adalah apa sebabnya suatu hukum mengikat, yakni sebagai sumber hukum material yang menerangkan apa yang menjadi hakikat dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional.25

1. Dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional; Sumber hukum internasional dapat diartikan sebagai:

2. Metode penciptaan hukum internasional;

3. tempat diketemukannya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dapat diterapkan pada suatu persoalan konkrit.26

Sumber hukum ada dua jenis yakni:

25

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan pertama, Bandung, Alumni, 2003, hal. 113

26


(34)

a. Sumber hukum materil: dapat didifenisikan sebagai bahan-bahan aktual yang dipergunakan oleh seorang ahli hukum internasional untuk menentukan kaidah hukum yang berlaku terhadap suatu peristiwa atau situasi tertentu. 27

b. Sumber hukum Formal: merujuk kepada bukti-bukti baik secara umum maupun khusus yang menunjukkan bahwa hukum tertentu telah diterapkan dalam suatu kasus tertentu. Dari sebuah hukum materiil inilah isi dari sebuah hukum bisa ditemukan.

28

Dalam hukum tertulis, ada dua tempat yang mencantumkan secara tertulis sumber hukum internasional dalam arti formal yakni pasal 7 Konvensi Den Haag XII 1907 tentang pembentukan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional Permanen tahun 1920 yang kini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tahun 1945. Namun keberadaan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut tidak pernah terbentuk dikarenakan jumlah ratifikasi yang diperlukan tidak tercapai, sehingga sumber hukum internasional yang dipakai pada masa sekarang hanya pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional.29

Pasal 38 ayat (1) dari Piagam Mahkamah Internasional (International Court of Justice) menyatakan bahwa Mahkamah yang memiliki fungsi untuk

27

J. G. starke, Op. Cit. hal. 42

28

Benny setianto, “Sumber hukum internasional”, http://bennysetianto.blogspot.com. Diakses Rabu, 27 Januari 2014

29


(35)

memutus sesuai dengan hukum internasional yang diajukan kepadanya, akan memberlakukan sumber-sumber hukum sebagai berikut: 30

a. Konvensi internasional, baik umum maupun khusus, yang membentuk aturan-aturan yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa;

b. Kebiasaan internasional, sebagai bukti praktek umum yang diterima sebagai hukum;

c. Asas-asas hukum umum yang diterima oleh bangsa-bangsa yang beradab; d. Tunduk kepada ketentuan Pasal 59, putusan pengadilan dan ajaran para ahli

yang sangat memenuhi syarat dari berbagai negara sebagai sarana pelengkap bagi penentuan aturan hukum

Urutan penyebutan sumber hukum dalam pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional tidak menunjukkan urutan pentingnya masing-masing sumber hukum itu sebagai sumber hukum formal, karena hal ini sama sekali tidak diatur oleh Pasal 38.31 Pasal 38 mengklasifikasikan sumber hukum internassional formal kedalam 2 bagian yaitu sumber hukum pokok bagi pembentukan hukum internasional dibagian a sampai dengan bagian c, dan sumber hukum tambahan atau pelengkap pada bagian d. Hal ini berarti bahwa sarana-sarana utama (a-c) diperlukan, dan bahwa sarana pelengkap (d) hanya memiliki efek yang memenuhi kualifikasi dan atau efek penjelasan.32

30

C. de Rover, Op. Cit. hal. 5

31


(36)

a. Konvensi Internasional / Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja diartikan sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. 33

Perjanjian internasional sebagai sumber hukum dibagi atas dua golongan yakni dalam bentuk treaty contract dan law making treaties. Apabila dilihat dari segi fungsinya sebagai sumber hukum, sumber hukum formal merupakan law

making yang artinya menimbulkan hukum. Treaty contract dimaksudkan sebagai

suatu bentuk perjanjian dalam hukum perdata, hanya mengakibatkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang mengadakan perjanjian itu dan pihak ketiga umumnya tidak dapat ikut serta dalam perjanjian ini. Seperti perjanjian perbatasan, perjanjian perdagangan dan perjanjian pemberantasan penyelundupan. Law making treaties diartikan sebagai perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Seperti Konvensi Perlindungan Korban Perang, Konvensi Hukum Laut dan Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik. Perjanjian law making treaties selalu terbuka bagi pihak lain yang sebelumnya tidak turut serta karena yang diatur dalam perjanjian ini adalah suatu hal yang umum mengenai semua anggota masyarakat internasional.

34

Konvensi internasional sebagai sumber hukum internasional menurut Boer Mauna adalah konvensi yang berbentuk law making treaties yaitu perjanjian-perjanjian internasional yang berisikan prinsip-prinsip dan ketentuan yang berlaku

33

Mochtar Kuasumaatmadja, Op. Cit. hal 117

34


(37)

secara umum.35

Treaty Contract menurut J. G. Starke tidak secara langsung menjadi sumber hukum internasional. Namun demikian, treaty contract ini diantara peserta atau penandatangan dapat menjadi hukum yang khusus. Perjanjian-perjanjian demikian dapat memberi arahan kepada perumusan ketentuan hukum internasional melalui pemberlakuan prinsip-prinsip yang mengatur kaidah kebiasaan. Pemberlakuan treaty contract sebagai sumber hukum internasional harus memperhatikan 3 (tiga) ketentuan yakni:

Dalam law making treaties ini negara-negara bersepakat merumuskan secara komprehensif prinsip-prinsip dan ketentuan hukum yang akan merupakan pegangan bagi negara-negara tersebut dalam melaksanakan kegiatan dan hukumnya satu sama lain.

36

1. Treaty contract tersebut merupakan serangkaian perjanjian yang

menetapkan aturan yang sama secara berulang-ulang dapat membentuk suatu prinsip hukum kebiasaan internasional yang maksudnya sama.

2. Perjanjian tersebut pada mulanya dibentuk hanya diantara sejumlah peserta terbatas kemudian kaidah yang dimuat dalam perjanjian tersebut digeneralisasikan dengan adanya penerimaan

3. Suatu perjanjian dapat dianggap mempunyai nilai pembukti mengenai adanya suatu kaidah yang dikristalisasikan menjadi hukum melalui proses perkembangan yang berdiri sendiri

35


(38)

b. Kebiasaan internasional

Viner’s Abrigent menyatakan kebiasaan sebagaimana dimaksudkan oleh hukum, adalah suatu adat istiadat yang telah memperoleh kekuatan hukum.37

Dalam Pasal 38 ayat (1) Mahkamah Internasional, kebiasaan internasional dirumuskan sebagai “bukti praktik umum yang diterima sebagai hukum”. Hal ini berarti bahwa persyaratan utama bagi pembentukan “kebiasaan” adalah adanya “praktik umum” dalam hubungan antar negara.

38

Kebiasaan internasional yang menjadi sumber hukum internasional harus memenuhi unsur material dan unsur psikologis, yakni kenyataan adanya kebiasaan yang bersifat umum dan diterimanya hukum internasional tersebut sebagai hukum. Kebiasaan internasional sebagai suatu kebiasaan umum memerlukan adanya suatu pola tindak yang berlangsung lama, yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa serta bersifat umumdan bertalian dengan hubungan internasional. Kebiasaan internasional ini juga harus memenuhi suruhan kaidah atau kewajiban hukum.

39

c. Asas-asas Hukum Umum

Asas hukum umum menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern yakni sistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat yang untuk sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga hukum romawi.40

37

Ibid. hal 45

38

C. de Rover, Op. Cit. hal 6

39

Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit, hal. 143-145

40


(39)

Prinsip-prinsip umum hukum yang berlaku dalam seluruh atau sebagian besar hukum nasional negara-negara yang menjadi salah satu sumber hukum internasional menunjukkan bahwa hukum internasional sebagai suatu sistem hukum merupakan sebagian dari suatu sistem hukum keseluruhan yang lebih besar.

Keberadaan asas hukum umum sebagai sumber hukum internasional mempunyai arti penting bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional sebagai sistem hukum positif. Sumber hukum ini berperan dalam hal mahkamah tidak dapat menyatakan non liquest yakni menolak mengadili perkara karena tiadanya hukum yang mengatur persoalan yang diajukan. Dengan demikian kedudukan mahkamah internasional sebagai badan yang membentuk dan menemukan hukum baru diperkuat oleh sumber hukum ini.41

d. Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan dan pendapat para ahli seperti yang telah dikemukakan sebelumnya merupakan suatu sumber hukum tambahan. Artinya keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas sumber primer, namun tidak dapat mengikat atau menimbulkan kaidah hukum. Hal dikarenakan oleh sistem peradilan menurut Piagam Mahkamah Internasional yang tidak mengenal asas keputusan pengadilan yang mengikat (rule of binding precedent).42

41


(40)

Putusan peradilan mempunyai peranan yang cukup penting dalam membantu pembentukan norma-norma baru hukum internasional. Sehubungan dengan sumber hukum ini, Mahkamah juga diperbolehkan untuk memutuskan suatu perkara secara ex aequo et bono yaitu keputusan yang bukan atas pelaksanaan hukum positif tetapi atas dasar prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. 43

B. Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

1. Pengertian Unsur-unsur Negara.

Negara adalah merupakan subyek utama dari Hukum Internasional baik ditinjau secara historis maupun secara faktual.44

a. Penduduk yang tetap.

Negara merupakan subyek Hukum Internasional yang paling utama dibandingkan dengan subyek Hukum Internasional lainnya, sebab Negara memiliki unsur-unsur konstitutif yang meliputi:

Menurut Boer Mauna Penduduk adalah sekumpulan individuindividu yang terdiri dari dua kelamin tanpa memandang suku, bangsa, agama, dan kebudayaan, yang hidup dalam suatu masyarakat yang terikat dalam suatu negara melalui hubungan yuridik dan politik yang diwujudkan dalam bentuk kewarganegaraan.

43

Boer mauna, Op. Cit. hal. 11

44

I Wayan Parthiana. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju.1992, hal 59


(41)

Penduduk adalah unsur pokok bagi pembentukan suatu negara. Suatu pulau atau wilayah tanpa penduduk tidak mungkin menjadi suatu negara.45

b. Wilayah tertentu.

Sering dikatakan orang, tidak akan ada negara tanpa penduduk. Juga dapat dikatakan tidak akan ada negara tanpa wilayah. Oleh karena itu, adanya suatu wilayah tertentu mutlak bagi pembentukan suatu negara. Tidak mungkin adanya suatu negara tanpa wilayah tempat bermukimnya penduduk negara tersebut. Disamping itu suatu wilayah tidak perlu luas bagi didirikannya suatu negara. Sejak dulu kita mengenal adanya negara-negara mikro dan keberadaannya tidak pernah ditolak oleh masyarakat internasional.

Perubahan-perubahan tapal batas, baik yang mengakibatkan berkurangnya maupun bertambahnya wilayah suatu negara tidak akan mengubah identitas suatu negara tersebut. Wilayah suatu negara terdiri dari daratan, lautan, dan udara di atasnya. Wilayah sebagai unsur konstitutif negara dalam hukum internasional tidak menentukan berapa harusnya luas wilayah, seperti beberapa contoh negara-negara kecil yaitu Seychelles dengan luas 278 km, Nauru hanya 21 km, Singapura hanya 218 km, dan Togo dengan 56.000 km, selain itu negara India dengan luas 3.287.598 km dan Cina dengan 9.596.961 km semuanya diakui oleh hukum internasional sebagai negara berapapun itu luasnya. Adapun negara tertentu yang memiliki wilayah yang terpisah wilayahnya pada kawasan tertentu misalnya

45


(42)

seperti negara Perancis yang memiliki daerah di seberang lautan pasifik yaitu Kaledonia, Wallis, Fortuna, dan Polinesia Perancis.46

c. Pemerintah

Sebagai suatu person yuridik negara memerlukan sejumlah organ untuk mewakili dan menyalurkan kehendaknya. Sebagai tituler dari kekuasaan, negara hanya dapat melaksanakan kekuasaan tersebut melalui organ-organ yang terdiri dari individu-individu.

Pemerintah, adalah badan eksekutif dalam suatu negara yang dibentuk melalui prosedur konstitusional untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang ditugaskan rakyat kepadanya. Dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat ini yang diinginkan oleh hukum internasional ialah bahwa Pemerintah tersebut mempunyai kekuasaan yang efektif atas seluruh penduduk dan wilayah negaranya. Yang dimaksud dengan efektif ialah pemerintah tersebut mempunyai kapasitas riil untuk melaksanakan semua fungsi kenegaraan termasuk memelihara keamanan dan tata tertib di dalam negeri dan pelaksanaan berbagai komitmen diluar negeri. Dalam hukum internasional suatu pemerintah yang stabil dan efektif memudahkan hubungan dengan negara lain. Pemerintah suatu negara bertindak atas nama Negara dalam berhubungan dengan negara lain.47

d. Kedaulatan.

Negara dapat saja lahir dan hidup tetapi belum berarti bahwa Negara tersebut mempunyai kedaulatan. Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan bebagai kegiatan sesuai

46

Boer Mauna. Op. Cit., hal 21

47


(43)

dengan kepentingannya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional.48

1) Aspek ekstern kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungannya dengan bebagai negara atau kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain.

Dalam hukum internasional kedaulatan memiliki tiga aspek utama yaitu;

2) Aspek intern kedaulatan ialah hak atau wewenang eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk memetuhi. 3) Aspek teritorial kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan eksklusif yang

dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat diwilayah tersebut.49

Seperti yang telah dinyatakan oleh Boer Mauna bahwa aspek territorial kedaulatan meliputi “kekuasaan eksklusif yang dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda diwilayah tersebut”.

2. Cara-cara untuk Memperoleh Wilayah. a. Okupasi

Okupasi adalah suatu cara untuk memperoleh wilayah melaului pendudukan. Hal mana pendudukan disini dilakukan terhadap suatu wilayah, yang sebelum terjadinya pendudukan di wilayah tersebut tidak terdapat kekuasaan atau disebut wilayah tak bertuan, terra nullius. Namun saat ini sudah tidak ada wilayah seperti yang dimaksud, walaupun saat ini sangat banyak sengketa yang

48


(44)

berdasarkan klaim atas wilayah terra nullius misalnya dalam Eastern Greendland Case.

b. Preskripsi

Preskripsi adalah suatu tindakan yang mencerminkan kedaulatan atau penguasaan terhadap suatu wilayah dengan cara-cara damai dalam waktu tertentu dengan tanpa adanya keberatan dari negara-negara lain. Preskripsi dilakuakan terhadap wilayah terra nullius, namun dituntut jangka waktu yang lama untuk melakukan penguasaan (the effective control) dibandingkan dengan okupasi. Misalnya dalam dua kasus The Island of Palmas Case dan Eastern Greenland case.

Untuk kasus pertama, dimana kedaulatan Pulau Palmas disebelah selatan Pulau Mindan Filipina, dimana AS mengklaim berdasar atas Traktat Paris 1898, dan memahaminya sebagai pewaris Spanyol. Disamping itu Belanda memiliki pemahaman lain berdasarkan aspek historis negara yang bersebelahan dimana pulau tersebut adalah bagiannya, sehingga dalam Putusanya pengadilan memenangkan Belanda.

Kemudian kasus yang kedua, terkait klaim atas Greenland yang dilakuakan oleh Norwegia yang menyatakan wilayah tersebut adalah terra nullius. Sedangkan Denmark menyatakan klaim telah menguasai Greenland sejak tahun 1721 dimana saat itu Denmark dan Norwegia adalah satu negara. Sehingga pengadilan memutuskan bahwa Denmark yang menjadi pemilik sah wilayah yang disebut Greenland.


(45)

c. Cession

Cession adalah suatu transfer kekuasaan dari satu kedaulatan ke kedaulatan lainnya, pada umumnya melalui sebuah perjanjian. Ditambahkan oleh Malcolm N.Shaw yang pada umumnya terjadi setelah peperangan. Bahkan menurutnya pengalihan kekuasaan dari penguasa kolonial terhadap koloninya bisa dikatakan sebagai quasy cession.

Proses cession merupakan pengalihan kedaulatan yang satu keying lainya, maka negara penerima akan memperoleh hak dan kewajiban seperti negara yang memiliki sebelumnya. Misal dalam kasus pengalihan (cession) atas Pulau Palmas yang diserahkan Spanyol kepada AS melalui perjanjian Paris 1898, dimana dijelaskan bahwa Palmas adalah bagian dari Filipina. Namun saat pengambilan Pulau tersebut berada pada kekuasaan Belanda, sehingga putusan dari Arbitrator Max Huber memenangkan Belanda karena telah menerapkan kedaulatannya sejak awal abad 18, walaupun awalnya Spanyol telah menguasainya dan kemudian menyerahkan pada AS.

d. Akresi

Akresi adalah suatu nama yang ditujukan pada suatu proses untuk mendapatkan wilayah baru melui proses alamiah, yakni tanpa campur tangan manusia. Hal ini dapat kita temukan padanannya dalam pembentukan suatu daratan baru yang terhubung dengan wilayah daratan yang telah ada. Dalam hal kemunculan suatu wilayah baru tersebut dalam wilayah suatu negara maka wilayah tersebut secara otomatis menjadi bagian dari wilayah negara tersebut. Contohnya terjadinya letusan volkano di bawah laut pada Januari 1986 di kawasan


(46)

Pasifik, hingga memunculkan pulau baru yang masuk wilayah territorial Jepang, dimana daratan tersebut disebut sebagai Pulau Iwo Jima.

e. Aneksasi (annexation)

Istilah penaklukan atau conquest memiliki padanan dengan aneksasi atau annexation. Penggunaan teknik ini pada saat ini sudah ditinggalkan mengingat hal ini dapat merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip fundamental dalam hubungan internasional sebagaimana yang tercantum dalam piagam PBB. Yang mana sejak LBB penggunaan kekerasan (perang) sebagai instrument bagi kebijakan nasional telah dilarang. Bahkan secara eksplisit terdapat dalam the stimson doctrine of non recognition (1932) yang menyatakan apabila dalam upaya untuk perolehan suatu wilayah dengan menggunakan kekerasan maka perolehan tersebut tidak akan diakui. Oleh karena itu, pada saat ini teknik penaklukan hanya menjadi kajian akademik.50

3. Wilayah Negara.

Wilayah Negara meliputi,

a. Wilayah daratan termasuk tanah di bawahnya, yang merupakan tempat pemukiman atau kediaman dari warga negara atau penduduk negara yang bersangkutan. Demikian pula di wilayah itu pula pemerintah Negara melaksanakan dan mengendalikan segala kegiatan pemerintahannya. Antara wilayah daratan negara haruslah tegas batas-batasnya. Pada umumnya batasbatas wilayah daratan itu ditetapkan berdasarkan

50


(47)

perjanjian-perjanjian garis batas wilayah antara negara-negara yang berbatasan itu.

b. Wilayah perairan, disebut juga sebagai perairan territorial yang merupakan bagian wilayah suatu Negara yang tunduk pada kedaulatan suatu negara. Wilayah perairan dibagi menjadi dua yaitu,

1) Laut territorial

Laut territorial, merupakan jalur laut yang terletak pada sisi luar garis pangkal dan sebelah luar yang dibatasi oleh garis atau batas luar. Dalam Konvensi Hukum Laut Internasional disepakati lebar laut territorial adalah 12 mil diukur dari garis pangkal yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut.

2) Perairan pedalaman, yang meliputi: a) Laut pedalaman

Perairan dalam adalah perairan yang berada pada sisi darat (dalam) garis pangkal lurus dan sisi luar dari bekas garis pangkal normal. Terjadi karena penarikan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Dengan penerapan penarikan garis pangkal lurus pada pantai yang berliku-liku atau pada pantai yang di depannya terdapat gugusan pulau maka akan mengakibatkan adanya bagian perairan atau laut yang terletak disebelah dalam dari garis pangkal lurus.

b) Perairan darat

Bagian perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal normal maupun bekas garis pangkal normal. Perairan darat dapat


(48)

terdiri atas, perairan sungai, danau, terusan, waduk, perairan pada pelabuhan.

c. Wilayah dasar laut dan tanah yang terletak dibawahnya. Wilayah kedaulatan negara meliputi dasar laut dan tanah yang ada dibawahnya yang terletak dibawah perairan. Segala sumber daya alam yang terkandung didalamnya menjadi hak dan kedaulatan negara sepenuhnya, sehingga wilayah kedaulatan negara menyatu dalam wilayah daratan, tanah dibawahnya, serta wilayah perairan, dasar laut, dan tanah yang ada dibawah wilayah perairan tersebut.

d. Wilayah Ruang Udara.

Ruang udara merupakan bagian dari wilayah Negara yang terletak diatas permukaan wilayah daratan dan diatas permukaan wilayah perairan seperti yang disebutkan dalam UNCLOS Pasal 2 ayat 1 dan 2.51

4. Hak dan Kewajiban Negara.

Hasil konvensi Montevideo tahun 1933 mengenai hak dan kewajiban Negara-negara, yang disusun oleh komisi hukum Internasional (ILC) PBB pada tahun 1949 meliputi ketentuan sebagai berikut:

Hak-hak Negara:

1) Hak atas kemerdekaan (Pasal 1);

2) Hak untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap wilayah, orang, dan benda yang berada didalam wilayahnya (Pasal 2);

51


(49)

3) Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan Negara-negara lain (Pasal 5);

4) Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif (Pasal 12). Sedangkan Kewajiban-kewajiban Negara adalah:

1) Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang terjadi di Negara lain (Pasal 3);

2) Kewajiban untuk tidak menggerakkan pergolakan sipil di Negara lain (Pasal 4);

3) Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di wilayahnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia (Pasal 6);

4) Kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 7);

5) Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai (Pasal 8);

6) Kewajiban untuk tidak menggunkan kekuatan atau ancaman senjata (Pasal 9);

7) Kewajiban untuk tidak membantu terlaksananya Pasal 9 di atas;

8) Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh melalui cara-cara kekerasan (Pasal 12);

9) Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan itikad baik (Pasal 13);

10)Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan Negara-negara lain sesuai dengan hukum internasional (Pasal 14).52


(50)

C. Pengaturan Status dari Wilayah Negara Berdasarkan Hukum Internasional

Pengaturan tentang kedaulatan dan yurisdiksi negara di laut secara komprehensif mulai dilakukan oleh empat konvensi Jenewa tahun 1958 yang mengatur tentang laut teritorial dan zona tambahan, perikanan dan konservasi sumberdaya hayati di laut lepas, landas kontinen dan laut lepas. Namun demikian pada kisaran tahun 1970-an konvensi tersebut mulai dianggap tidak lagi memadai dan muncul tuntutan untuk meninjau kembali isi konvensi tersbut.

Setelah melalui perundingan yang cukup panjang, akhirnya negara-negara peserta Konferensi Hukum Laut PBB ke-3 menyepakati hasil konfrensi berupa Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982 (United Nations Convention Law of the Sea/UNCLOS) yang terdiri dari 320 pasal dan 9 Annex dan mulai berlaku tahun 1994 sesuai ketentuan Pasal 308 Konvensi, yaitu 12 bulan setelah tanggal deposit dari instrumen ratifiksi ke-60 atas konvensi tersebut dan dalam hal ini baik Indonesia maupun Malaysia adalah negara yang ikut meratifikasi Konvensi tersebut.

Dalam Konvensi 1982 ini konsep negara kepulauan mendapatkan pengakuan dengan dicantumkannya pengaturan mengenai hal ini dalam Bab 4 Konvensi tentang Negara Kepulauan, dimana hal tersebut tidak terdapat dalam konvensi–konvensi Geneva tentang hukum laut tahun 1958. Pengertian yang diberikan konvensi ini tentang negara kepulauan adalah sebagai negara-negara yang terdiri seluruhnya dari satu atau lebih kepulauan. Sedangkan yang dimaksud dengan kepulauan adalah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling


(51)

bersambung (interconnecting waters) dan karakteristik alamiah lainnya dalam pertalian yang demikian eratnya sehingga membentuk suatu kesatuan intrinsik geografis, ekonomis dan politis atau secara historis memang dipandang sebagai demikian.6


(52)

A. Sejarah Pulau Kuril

Seorang nelayan Jepang bernama Dembei barangkali tak tahu bahwa hubungan Jepang dan Rusia bermula darinya. Tahun 1702 Dembei dan nelayan lainnya mencari ikan di Samudera Pasifik bagian Utara. Badai yang buruk membuat kapal mereka terdampar di semenanjung Kamchatka, Rusia Timur.53

Penjelajahan Rusia pertama ke Jepang terjadi pada tahun 1721. Penjelajahan ini gagal karena Jepang masih menutup diri dari bangsa asing menyusul kebijakan Sakoku pada periode Edo (1641 – 1858).

Di Kamchatka, Dembei bertemu dengan seorang penjelajah bernama Vladimir Atlasov. Atlasov kemudian membawa Dembei ke Moskow untuk menghadap Peter yang Agung, Kaisar Rusia yang berkuasa antara tahun 1672 dan 1696. Dembei mengajarkan bahasa Jepang di kerajaan Rusia. Di samping itu Dembei juga menceritakan kehidupan sosial dan politik Jepang kepada Peter the Great. Ketertarikan Peter terhadap Jepang membuatnya ingin membangun hubungan bilateral Jepang-Rusia.

54

Penjelajahan Rusia kedua diperintahkan oleh Catherine yang Agung pada 1792. Kapal bernama Ekaterina dikirim ke Jepang dan berhasil mencapai kepulauan Kuril. Namun di kepulauan Kuril, orang Jepang menyuruh kapal Rusia

53

54 Ibid


(53)

masuk Jepang lewat Nagasaki. Pelabuhan Nagasaki merupakan pintu masuk satu-satunya bagi bangsa asing. Karena terlampau jauh, kapal Ekaterina pun kembali ke Rusia.

Rusia tidak menyerah, penjelajahan ketiga terjadi pada Oktober 1804. Kapal perang Nadezhda berhasil masuk pelabuhan Nagasaki. Namun, beberapa bulan kemudian, surat dari Tokyo memerintahkan duta besar Vasilii Rezanov untuk pulang kembali ke Rusia. Dari tiga penjelajahan yang gagal itu, praktis hubungan Rusia-Jepang tidak pernah terbina dengan baik.

Penjelajahan’ singkat yang modern dilakukan Presiden Rusia Dmitry Medvedev pada 1 November 2010 lalu. Ia mengunjungi pulau Kunashiri, satu pulau dari kepulauan Kuril. Kunjungan ini tentu membuat pemerintah Jepang berang karena kepulauan Kuril masih merupakan wilayah perselisihan antara Rusia dan Jepang. Belum selesai konflik Cina-Jepang atas pulau Senkaku di selatan Okinawa, kini Jepang pun bermasalah dengan Rusia atas kepulauan Kuril di utara.

Pulau Kunashiri hanya seluas 1,490 km persegi, sekitar dua kali luas Singapura. Data tahun 2002 menyebutkan bahwa hanya ada 7,800 orang yang tinggal di sana. Sebagian besar hidup sebagai nelayan. Pulau ini memiliki pembangkit listrik geotermal dan pabrik pengolahan makanan laut.

Sejak pemerintahan Jepang dipegang oleh Partai Demokratik Jepang (DPJ) pada September 2009, memang belum ada perdana menteri Jepang yang mengunjungi Rusia. Ini malah Presiden Rusia yang mengunjungi bagian utara Jepang.


(54)

Perdana Menteri Naoto Kan akhirnya bertemu dengan Presiden Medvedev di sela-sela sidang Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). Dalam pertemuan pada 15 November itu Jepang dan Rusia ini lebih memfokuskan pada kerjasama ekonomi kedua negara. Namun, Rusia tetap menyatakan bahawa kepulauan Kuril yang terdiri dari Etorofu, Kunashiri, Shikotan dan Habomai adalah bagian kedaulatan Rusia.

Sejarahnya, kepulauan Kuril diambil alih oleh Uni Soviet (nama lama Rusia) antara 28 Agustus hingga 5 September 1945, setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus. Pada 1951 Perjanjian Keamanan San Francisco menyatakan bahwa Jepang harus menyerahkan semua klaimnya atas kepulauan Kuril ke sekutu. Perjanjian ini juga tidak mengakui kedaulatan Uni Soviet. Jadi tuntutan Uni Soviet atas kepulauan Kuril juga tidak terjadi. Uni Soviet akhirnya menggunakan hasil perjanjian Konferensi Yalta sebagai dasar hukumnya. Konferensi Yalta menyatakan bahwa kepulauan Kuril merupakan bagian dari Rusia. Saat ini Tokyo menolak hasil konferensi Yalta ini. Meskipun Amerika Serikat pernah menyatakan bahwa ia akan mendukung Jepang jika Jepang diserang pihak luar, perselisihan Rusia-Jepang dinilai sebagai bukti lemahnya politik luar negeri Jepang.55

Sejak pemerintahan Jepang dipegang oleh Partai Demokratik Jepang (DPJ) pada September 2009, memang belum ada perdana menteri Jepang yang mengunjungi Rusia. Ini malah Presiden Rusia yang mengunjungi bagian utara Jepang. Perdana Menteri Naoto Kan akhirnya bertemu dengan Presiden

55


(55)

Medvedev di sela-sela sidang Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). Dalam pertemuan pada 15 November itu Jepang dan Rusia ini lebih memfokuskan pada kerjasama ekonomi kedua negara. Namun, Rusia tetap menyatakan bahawa kepulauan Kuril yang terdiri dari Etorofu, Kunashiri, Shikotan dan Habomai adalah bagian kedaulatan Rusia.

B. Dasar Klaim Rusia dan Jepang terhadap Kepulauan Kuril

Sejak Rusia dikalahkan oleh Jepang dalam perang Rusia-Jepang pada tahun 1905, Jepang selalu menjadi musuh besar Rusia. Kedua negara tersebut saling bersitegang apalagi mengenai masalah prsengketaan kepemilikan Kepulauan Kuril yang berlangsung selama bertahun-tahun. Awalnya, Uni Soviet menduduki pulau-pulau yang disengketakan dalam Operasi Ofensif Strategis Manchuria pada akhir Perang Dunia II. Pulau-pulau yang disengketakan sekarang berada di bawah administrasi Rusia sebagai Distrik Kuril Selatan, Oblast Sakhalin. Namun, diklaim Jepang sebagai teritorial Jepang yang disebut Teritorial Utara ,atau Chishima Selatan, di bawah administrasi Subprefektur Nemuro, Prefektur Hokkaido.

Pada waktu itu, Rusia dan Jepang mengadakan perjanjian yang dinamakan Perjanjian Shimoda pada tahun 1855. Perjanjian tersebut berisi tentang kesepakatan mengenai perbatasan kedua negara. Dan akhirnya diputuskan bahwa, perbatasan kedua negara ditetapkan terletak antara Pulau Etorofu dan Pulau Uruppu. Seluruh Pulau Etorofu merupakan milik Jepang dan Kepulauan Kuril yang berada di utara dan termasuk di dalamnya Pulau Uruppu merupakan milik Russia. Perjanjian Shimoda juga mencantumkan Pulau Sakhalin/Karafuto tidak


(56)

untuk dibagi dua melainkan berada di bawah pengawasan bersama Rusia-Jepang. Jepang setuju untuk tidak mempermasalahkan Pulau Sakhalin, asalkan Rusia memberikan seluruh hak atas Kepulauan Kuril kepada Jepang. Itulah yang memicu terjadinya perang antara Rusia dan Jepang pada tahun 1904-1905 yang merupakan kekalahan militer bagi Rusia.

Kekalahan Rusia atas Jepang tidak menyebabkan Rusia mengalah begitu saja. Bahkan ketegangan antara kedua negara tersebut terus berlanjut. Pada perjanjian yang mengakhiri perang Rusia-Jepang, yaitu Perjanjian Portsmouth tahun 1905, Rusia menyerahkan pulau Shakalin kepada Jepang. Namun, pada tahun 1945 Rusia berusaha merebut kembali pulau Shakalin dari tangan Jepang.

Selanjutnya, tidak ada lagi permusuhan antara Uni Soviet dan Jepang antara Pertempuran Khalkhin yang mengakhiri Perang Perbatasan Soviet Jepang 1939 dan Operasi Ofensif Strategis Manchuria pada 8 Agustus 1945. Setelah merebut Kepulauan Kuril dalam Invasi Kepulauan Kuril yang terjadi antara 18 Agustus 1945 dan 3 September 1945, dua tahun kemudian, Uni Soviet mengusir penduduk Jepang yang bermukim di Kepulauan Kuril. Jepang menuntut kembalinya empat kepulauan yang disebut sebagai kepulauan Kuril Selatan oleh Rusia dan Wilayah Utara oleh Jepang yang dikuasai pasukan Soviet beberapa hari setelah Tokyo menyerah pada Perang Dunia II, 1945. Sehingga tahun 1951 diadakan Perjanjian San Francisco antara Kekuatan Sekutu dan Jepang menyatakan bahwa Jepang harus menghentikan semua klaim terhadap Kepulauan Kuril, namun perjanjian tersebut juga tidak mengakui kedaulatan Uni Soviet atas Kepulauan Kuril. Russia bertahan pada sikapnya, bahwa kedaulatan Uni Soviet


(57)

atas kepulauan-kepulauan tersebut diakui dengan adanya perjanjian-perjanjian pada akhir Perang Dunia IInamun klaim Rusia ditolak Jepang.

Persengketaan antara kedua negara tentang status kepemilikan Kepulauan Kuril tak kunjung selesai, walaupun sudah diadakan perjanjian-perjanjian antara keduanya. Kedua negara hingga kini belum menandatangani perjanjian perdamaian secara resmi untuk mengakhiri Perang Dunia II karena sengketa kepulauan Kuril, yang gagal diatasi oleh kedua pihak.

Persengketaan Rusia-Jepang muncul kembali. Pemerintah Jepang dan Rusia kembali bersitegang. Gara-garanya, sebuah kapal patroli Rusia menembaki kapal nelayan Jepang di dekat pulau yang dipersengketakan kedua negara. Seorang nelayan Jepang tewas dalam insiden itu. Pemerintah Jepang pun berang. Tokyo menganggap penembakan itu benar-benar tidak bisa diterima dan Rusia harus memberi kompensasi. Negeri sakura itu juga menyerukan pembebasan awak kapal yang selamat dalam penembakan itu. Mereka ditahan otoritas Rusia setelah penembakan. Otoritas Rusia berdalih bahwa penembakan itu terjadi karena kapal nelayan Jepang tidak mematuhi perintah untuk berhenti.56

Peristiwa berdarah ini terjadi di dekat Pulau Kaigara, satu dari beberapa pulau yang dikelola Rusia namun diklaim oleh Jepang. Buntut kejadian ini, Kementerian Luar Negeri Jepang memanggil Deputi Duta Besar Rusia untuk Jepang dan menyampaikan protes Jepang. Dari sikap kami mengenai isu wilayah, insiden luar biasa ini, yang kemungkinan menyebabkan kematian seorang anggota

56


(58)

kru adalah benar-benar tidak bisa diterima, tegas kementerian Jepang. Negara kami mendesak kuat agar Rusia mencegah terulangnya insiden serupa.

Badan Perikanan Jepang mengakui, keberadaan kapal nelayan Jepang di lokasi penembakan tersebut memang ilegal. Namun belum jelas apakah awak kapal sedang menangkap ikan saat itu. Namun menurut Kementerian Luar Negeri Jepang, kapal nelayan tersebut berada di wilayah perairan Jepang. Ini merupakan insiden penembakan pertama yang merenggut nyawa warga Jepang di wilayah sengketa tersebut sejak insiden serupa terjadi pada Oktober 1956 silam.

C. Upaya-Upaya Diplomatik Rusia-Jepang dalam Penyelesaian Sengketa

Pulau Kuril

Deputi Menteri Luar Negeri Rusia Igor Morgulov dan Kepala Biro Urusan Asia Oseania Kementerian Luar Negeri Jepang Shinsuke Sugiyama berencana membahas kerja sama bilateral dan internasional, termasuk kerja sama ekonomi dan perjajian perdamaian. Hubungan Rusia-Jepang terus dibayangi oleh sengkarut teritorial Kepulauan Kuril di Pasifik utara. Pulau-pulau yang dipersengketakan Iturup, Kunashir, Shikotan dan Habomai diduduki oleh pasukan Uni Sovyet pada akhir Perang Dunia II dan hingga kini masih diklaim sebagai milik Jepang. Kedua negara tak pernah menandatangani perjanjian damai menyusul berakhirnya Perang Dunia II karena masih banyak hal yang perlu dibicarakan. Pemerintah Jepang ingin mempercepat pembicaraan masalah teritorial ini melalui serangkaian pembahasan.

Para diplomat juga berharap pembahasan menyentuh soal interaksi dalam pertahanan dan soal-soal minyak-gas, pengembangan bersama Siberia Timur,


(59)

serta masalah-masalah lainnya. Jepang melihat minyak dan gas Rusia di Siberia Timur sangat potensial untuk dipipakan ke Jepang.

Dalam pertemuan di Moskow pada akhir April lalu, Perdana Menteri Shinzo Abe dan Presiden Valdimir Putin sepakat menyelesaikan negosiasi perjanjian perdamaian

Upaya penyelesaian persengketaan antara Rusia dan Jepang.

1. Perdana Menteri Jepang Taro Aso, berupaya mencari penyelesaian atas sengketa wilayah yang telah lama terkatung dengan Rusia menjelang kemungkinan pertemuan puncak dengan Presiden Rusia Dmitry Medvedev pada akhir bulan Februari 2009 kemarin.

2. Presiden Rusia telah menyatakan keinginan kuatnya untuk memecahkan masalah wilayah tersebut dan menandatangani perjanjian damai.

3. Menata ulang hubungan bilateral antara Rusia dan Jepang. Hal itu dimulai dengan adanya kesepakatan antara Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Jepang Taro Aso untuk menandatangani sejumlah kesepakatan strategis di bidang ekonomi, energi dan nuklir pada tanggal 12 Mei 2009 yang lalu. Kesepakatan yang baru saja ditandantangani kedua negara tersebut diharapkan semakin memperkuat hubungan bilateral kedua negara, termasuk dalam menghadapi krisis global. Selain itu, diharapkan dengan adanya kerja sama tersebut, dapat meningkatkan ke sektor-sektor lain seperti ruang angkasa, energi terbarukan (renewable energy) dan teknologi.


(1)

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka simpulan yang dapat ditarik terhadap ketiga permasalahan yang di bahas adalah :

1. Pengaturan tentang kedaulatan dan yurisdiksi negara di laut secara komprehensif mulai dilakukan oleh empat konvensi Jenewa tahun 1958 yang mengatur tentang laut teritorial dan zona tambahan, perikanan dan konservasi sumberdaya hayati di laut lepas, landas kontinen dan laut lepas. Namun demikian pada kisaran tahun 1970-an konvensi tersebut mulai dianggap tidak lagi memadai dan muncul tuntutan untuk meninjau kembali isi konvensi tersbut

2. Konflik kepemilikan Pulau Kuril antara Rusia dan Jepang, kepulauan Kuril diambil alih oleh Uni Soviet (nama lama Rusia) antara 28 Agustus hingga 5 September 1945, setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus. Pada 1951 Perjanjian Keamanan San Francisco menyatakan bahwa Jepang harus menyerahkan semua klaimnya atas kepulauan Kuril ke sekutu. Perjanjian ini juga tidak mengakui kedaulatan Uni Soviet. Jadi tuntutan Uni Soviet atas kepulauan Kuril juga tidak terjadi. Uni Soviet akhirnya menggunakan hasil perjanjian Konferensi Yalta sebagai dasar hukumnya


(2)

3. Penyelesaian sengketa Pulau Kuril menurut Hukum Internasional, penyelesaian sengketa Pulau Kuril antara Jepang dan Rusia didasarkan pada hukum internasional dan prinsip yang digunakan dalam penyelesaian sengketa pulau yang di klaim oleh Jepang, solusi-solusi tersebut antara lain:Arbitrase, Penyelesaian melalui jalur diplomatic, Mahkamah Internasional, Penyelesaian melalui Referendum

B. Saran

Setelah mempelajari dan mengkaji berbagai fakta dan data yang ada, kami memberikan saran :

1. Pengaturan dan status pulau-pulau dari wilayah negara dalam Hukum Internasional Perlunya sistem pemetaan baru dengan tekhnologi yang lebih akurat agar semua pulau menjadi terdata karena adanya perubahan terhadap kedaulatan Pulau Kuril, Jepang dan Rusia juga harus membuat peta baru yang resmi dan langsung menyerahkannya kepada PBB agar mempunyai kekuatan hukum dan diakui oleh dunia internasional.

2. Konflik pulau Kuril antara Rusia dan Jepang, bagi Pemerintah Jepang dan Rusia untuk segera menyelesaikan sengketa Kepulauan Kuril dengan cara damai sesuai dengan yang diakui Hukum Internasional. Untuk menghindari akibat-akibat terburuk yang berpeluang terjadi apabila sengketa ini tidak segera diselesaikan. Penyelesaian sengketa Kepulauan Kuril ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum terhadap status kepemilikan Kepulauan Kuril dan menetapkan batas maritime antara Jepang dan Rusia di laut lepas.


(3)

3. Solusi penyelesaian sengketa Kepulauan Kuril dapat dilakukan dalam berbagai cara yaitu dengan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya mineral yang terdapat diwilayah yang dipersengketakan melalui perjanjian pengembangan bersama.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adolf, Huala Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

C. de Rover, To Serve & To Protect – Acuan Universal Penegakan HAM, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.

Effendi, Masyhur, A. Tempat Hak-hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional/Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1980.

Istanto, Sugeng, Hukum Internasional. Yogyakarta: Universitas Atmadjaya Yogyakarta.2002

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung: Refika Aditama, 2006

Kusumaatmadja, Muchtar Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Rineka Cipta: Jakarta. 1982.

Mauna, Boer, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung : Alumni 2005.

Merills, J.G., International Dispute Settlemen, New York: Cambridge Press, 2005 Merrills, J.G. Penyelesaian Sengketa Internasional. Terjemahan Achmad Fauzan

(Internasional Dispute Settlement). Bandung:Trasito.2000.

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni, 2003.

M.M.Wallace, Rebecca. Hukum Internasional, terjemahan Bambang Arumnadi (International Law). Semarang:IKIP Semarang. 2001.

O’Brien, Jhon, International Law, Cavendish Publishing Limited, Green Britain, 2001

Parthiana I Wayan. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju.1992


(5)

Starke,J. G, Pengantar Hukum Internasional 1 (Introduction to international Law, alih bahasa: Bambang Iriana Djajaatmadja), Cetakan Kesembilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008

Starke, J.G,2001.Pengantar Hukum Internasional 2,terjemahaan dari Bambang Iriana Djajaatmadja dari Inroduction to International Law. Jakarta:Sinar Grafika, 1989.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006.

Santoso, Loekito, Orde Perdamaian Memecahkan Masalah Perang (Penjelajah Polemologik).Jakarta:UI Press, 1986.

Suryokusumo, Soermaryo, Organisasi Internasional.Jakarta:UI Pres, 1987

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo persada,2004.

B. Internet

Kantor berita Jepang, Kyodo, Rabu, 16 Agustus 2006 diakses tanggal 21 November 2013. 2013.

Yordan gunawan, “Pengantar Hukum Internasional”, http: // telagahati .wordpress. com. diakses Senin, 29 Januari 2014

Benny setianto, “Sumber hukum internasional”, http://bennysetianto.blogspot.com. Diakses Rabu, 27 Januari 2014


(6)

21 November 2013.

diakses tanggal 21 November 2013

tanggal 30 Juni 2013

tanggal 30 Juni 2013