Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasional Dalam Perspektif Hukum Humaniter

(1)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

MEKANISME PENEGAKAN HUKUM (LAW ENFORCEMENT) TERHADAP KEJAHATAN-KEJAHATAN INTERNASIONAL

DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER

S K R I P S I

DIAJUKAN DALAM RANGKA MELENGKAPI TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT MEMPEROLEH

GELAAS SARJANA HUKUM

OLEH :

NAMA : MOCHAMAD RANGGA RAMBE

NIM : 020 – 222 – 083

DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Pembimbing I

Sutiarnoto MS, SH, M. Hum NIP. 131 616 321

NIP. 131 616 321

Pembimbing II

Sutiarnoto MS, SH, M. Hum Chairul Bariah, SH, M. Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengkaruniai kesehatan dan kelapangan berpikir kepada penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi ini berjudu l : “MEKANISME PENEGAKAN HUKUM (LAW ENFORCEMENT) TERHADAP KEJAHATAN-KEJAHATAN INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER”.

Penulis skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Internasional.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafaruddin, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

5. Bapak Sutiarnoto, MS, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Internasional, sekaligus Dosen Pembimbing I yang juga telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi.

6. Ibu Chairul Bariah, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi. 7. Bapak/Ibu dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum USU dimana

penulis menimba ilmu selama ini.

8. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum USU yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi.

Demikianlah penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.

Medan, Maret 2008 Penulis,


(4)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

B A B I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Impunity secara leksikal berarti ''kejahatan tanpa sanksi hukum''. Louis Joinet, pelapor khusus PBB dari Sub-Komisi Hak-hak Asasi Manusia memberikan definisi yang lebih ketat, yang penulis terjemahkan secara bebas begini: ''Ketidakmungkinan, secara de jure maupun de facto, untuk membawa para pelaku kejahatan internasional khususnya pelanggaran hak-hak asasi manusia bertanggung jawab, baik secara pidana, perdata, administratif atau disiplin, karena mereka tidak pernah diperiksa oleh suatu penyelidikan yang mungkin membuat mereka menjadi tertuduh, ditahan, diadili dan, jika terbukti bersalah, dihukum secara pantas, untuk memberikan keadilan kepada korban-korbannya''1

Impunity ini pada umumnya terjadi pada kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Masyarakat internasional dinilai tidak cukup kuat mengutuk dan memerangi kejahatan kemanusiaan. Akibatnya, kejahatan kemanusiaan (crime against humanity) terus saja terjadi di belahan dunia. Sekretaris Umum (Sekum) Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Karlina Leksono-Supelli dalam diskusi mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menyatakan, “Walau pelakunya diadili, hukum ternyata tidak mampu membendung terjadinya kejahatan kemanusiaan kembali. Hukum tak berfungsi efektif menekan kejahatan kemanusiaan. Ternyata, tragedi kemanusiaan yang terjadi di Kamboja serta pengadilan Pol Pot tidak cukup

.

1


(5)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

mengingatkan betapa buruknya kejahatan kemanusiaan. Dan, tak cukup untuk menghentikan terjadinya kejahatan kemanusiaan”.2

Di Indonesia, konsep ini terbilang baru. Tapi sebenarnya PBB baru mengambil perhatian serius terhadap fenomena impunity ini baru-baru saja juga, paling lama enam tahun ke belakang. Padahal, fenomena ini merupakan masalah yang sangat serius yang diperangi sejak dekade 70-an oleh aktivis-aktivis NGO, khususnya di negara-negara Amerika Latin. Amnesty, simbol kebebasan, yang tadinya diperjuangkan oleh rezim-rezim militer yang dipaksa mundur oleh gerakan populis di negara-negara Amerika Latin, seperti di Argentina, sebagai cara untuk mengampuni diri mereka sendiri. Fenomena self-amnesty itu kian menguat pada dekade 80-an dan membuat gerakan rakyat di sana berusaha menghentikannya demi membawa mereka ke muka hukum dan memastikan bahwa keadilan telah ditegakkan. Selepas Perang Dingin, banyak negara yang tadinya bersifat otoriter mulai bertransisi menuju demokrasi. Di dalam proses itu, kekuatan-kekuatan sipil banyak yang masih harus berkompromi dengan bekas penguasa otoriter yang masih belum sepenuhnya lumpuh. Pertikaian bersenjata dihentikan dengan kesepakatan damai atau ''rekonsiliasi nasional''. Di dalam proses inilah impunity terus-menerus menjadi masalah. Ia merefleksikan ketegangan di antara kekuatan sipil dan bekas penguasa diktator militer. Yang pertama menghendaki agar seluruh past rights abuses diungkap dan diumumkan serta para pelakunya dibawa ke muka hukum. Yang kedua, seperti gampang diduga, menghendaki agar masa lalu ditutup dan dilupakan, termasuk ke dalamnya tuntutan para korban ataskebenaran dan keadilan3

2

Karlina Leksono Supelli, Hukum Tak Efektif Tekan Kejahatan Kemanusiaan, diskusi mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,

.

3


(6)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

Saat ini, memerangi impunity adalah komitmen global yang telah menjadi sama pentingnya dengan memperjuangkan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia itu sendiri. Dan tonggak paling penting dari komitmen global memerangi impunity ini ditegakkan dengan ditetapkannya Rome Statute of International Criminal Court oleh PBB tahun lalu. Di bawah Pengadilan Kejahatan Internasional itu, para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ini boleh gemetaran, karena kekuasaan mereka tidak lagi akan berlaku.

Sebagaimana yang diketahui bersama, bahwa yurisdiksi pengadilan kejahatan internasional terdiri dari empat jenis kejahatan, yaitu genoside, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan “agresi”. Namun, belum ada akan ada penuntutan untuk “agresi” sampai ada kesepatan tentang definisinya. Empat kategori kejahatan ini didefinisikan sebagai “kejahatan paling serius yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan”. Diharapkan pengujian dari ‘keseriusan’ tersebut akan dipakai untuk memutuskan penuntutan dalam kasus-kasus actual yang mungkin bukan merupakan contoh serius dari kejahatan yang dipertanyakan.

Bagaimanapun, pengadilan tak akan dapat mencapai tujuannya apabila targetnya terbatas para prajurit seperti Dusko Tadic, yang kejahatannya (walaupun kejam) adalah kecil jika dibandingkan dengan orang-orang yang menghasut atau melakukan kejahatan seperti yang didefinisikan dalam Statuta Roma. Kejahatan-kejahatan dalam yurisdiksi ICC tersebut saling tumpang tindih. Misalnya, genoside yang sebenarnya juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kemudian dalam kejahatan perang ada tindakan-tindakan yang pada waktu damai diklasifikasikan oleh Pengadilan Tingkat Banding dalam kasus Tadic, tak ada


(7)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

alasan yang tepat mengapa tindakan negara dalam keadaan perang harus dinilai dengan cara yang berbeda dengan yang berlaku dalam konflik internal negara4

Perbedaan menurut hukum ini telah terlalu lama ada dalam Pengadilan Den Haag, dan hal yang sama juga akan terjadi dalam pelaksanaan ICC. Sulit untuk dimengerti mengapa pengadilan ini tidak memiliki yurisdiksi hanya atas kejahatan terhadap kemanusiaan, baik yang dilakukan pada masa perang, saat perang internal negara, saat terjadi pemberontakan atau kerusuhan, atau saat damai. Orang-orang yang bertanggung jawab atas pola meluas dari kekejaman yang dilakukan oleh negara (melalui politisi atau kepolisian atau militernya) atau oleh organisasi-organisasi militer yang berjuang untuk memperoleh atau menambah kekuasaannya, juga harus dituntut. Tuntutan terhadap mereka seharusnya tidak tergantung pada persoalan teknis karakterisasi legal dari latar belakang konflik

.

5

Hukum humaniter internasional ini merupakan hukum yang mengatur tentang perang dan cara serta sarana perang yang pada awalnya disebut juga dengan “hukum

.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk membahas hal tersebut dalam sebuah skripsi, khususnya tentang bagaimana penyelesaian yang diberikan oleh hukum internasional khususnya hukum humaniter dan hukum hak asasi terhadap berbagai kejahatan internasional yang terjadi. Sebagaimana diketahui, hukum humaniter sebagai salah satu pohon ilmu, timbul suatu cabang baru dalam hukum internasional. Cabang yang dimaksud adalah International Humanitarian Law yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “Hukum Humaniter Internasional” atau “Hukum Internasional Humaniter”.

4

Geoffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan

Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 1982, hal. 412-413. 5


(8)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

perang” (laws of war, kriegsrecht, oorlogsrecht) dan sebagainya. Dimana hukum perang ini merupakan bagian dari hukum internasional dan dewasa ini sebagian besar merupakan hukum yang tertulis..6

Hukum Humaniter Internasional merupakan bagian hukum internasional umum yang inti dan maksudnya diarahkan kepada perlindungan individu, khususnya dalam situasi tertentu (konflik), serta akibat perang (perlindungan terhadap korban perang). Dengan kata lain hukum humaniter internasional mempunyai focus sentral bagaimana memperlakukan manusia secara manusiawi. Hukum Humaniter Internasional (dalam arti luas) adalah keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis dan tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia yang bertujuan menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat pribadi seseorang (definisi hukum humaniter Departemen Kehakiman). Atas dasar pengertian tersebut, kiranya setiap individu tanpa memandang kedudukan, fungsi serta peranannya dalam segala situasi baik situasi tertentu (konflik) maupun situasi damai, karena pada dasarnya hukum hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum Humaniter. Sehingga timbulnya hukum humaniter internasional secara material mencoba menggabungkan ide moral dan ide hukum dalam suatu disiplin ilmu. J. Pictet pertama kali memakai istilah “International Humanitarian Law” dalam Walaupun pada saat ini tidak terjadi lagi perang, namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa pertikaian bersenjata masih ada walaupun para pihak yang terlibat tidak mau mengatakan bahwa pertikaian bersenjata itu adalah perang. Sehingga mulailah dipakai suatu istilah baru untuk hukum perang ini, yaitu “laws of armed conflict” atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “hukum pertikaian bersenjata”.

6


(9)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

bukunya “The Principles of International Humanitarian Law” menyatakan, :”…humanitarian law appers to combine two ideas of a different character, the one legal and the other moral…”.7

7

GPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 24.

Perubahan situasi dunia saat ini sangat menuntut adanya penerapan hukum humaniter internasional. Walaupun tidak ada istilah perang, namun kondisi dunia sekarang ini sangat rawan dengan pertikaian senjata. Konflik senjata terjadi dimana-mana di belahan dunia, seperti konflik bersenjata antara Palestina dan Israel, Konflik di Kosovo, Invasi Amerika Serikat ke Irak yang sangat banyak memakan korban harta dan jiwa baik dari kombatan (tentara) maupun dari penduduk sipil.

B. Rumusan Masalah

Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah, sebagai berikut :

1. Kejahatan-kejahatan apa saja yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional. 2. Bagaimana prinisip-prinsip hukum Internasional terhadap Kejahatan-kejahatan

internasional.

2. Bagaimana Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter Internasional terhadap kejahatan-kejahatan Internasional.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulisan skripsi ini juga bertujuan untuk :


(10)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

1. Untuk mengetahui kejahatan-kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional.

2. Untuk mengetahui prinisip-prinsip hukum Internasional terhadap Kejahatan-kejahatan internasional.

2. Untuk mengetahui Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter Internasional terhadap kejahatan-kejahatan Internasional.

Di samping itu tentunya diharapkan dengan adanya pembahasan ini, maka penulis berharap dapat memberikan masukan dan manfaat untuk :

1. Memberikan masukan sekaligus pengetahuan kepada kita tentang hal-hal yang berhubungan proses penegakan hukum (law enforcement), khususnya hukum Humaniter Internasional dan Hukum Hak Asasi dalam penyelesaian berbagai kejahatan internasional.

2. Memberikan masukan dan manfaat dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan dimana dalam penulisan skripsi ini penulis memberikan analisa-analisa yang bersifat objektif.

3. Memberikan masukan sekaligus pengetahuan kepada para pihak dalam kaitannya dengan perkembangan politik dunia global pada saat ini khususnya dalam perkembangan penerapan (law enforcement) terhadap hukum internasional dewasa ini.

D. Keaslian Penulisan

Pembahasan ini dengan judul :”MEKANISME PENEGAKAN HUKUM (LAW ENFORCEMENT) TERHADAP KEJAHATAN-KEJAHATAN INTERNASIONAL DALAM PERSFEKTIF HUKUM HUMANITER”, adalah judul yang sebenarnya tidak


(11)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

asing lagi di telinga kita, karena sebelumnya telah banyak dibahas di berbagai media, namun dalam pembahasan skripsi ini penulis khusus membahas mengenai masalah Mekanisme dan Upaya Penegakan Hukum Humaniter Internasional maupun Hukum Hak Asasi terhadap berbagai kejahatan internasional yang terjadi, seperti kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity, genocide, kejahatan perang, agresi seperti invasi yang dilakukan Amerika Serikat ke Irak dan sebagainya). Judul ini adalah murni hasil pemikiran dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Apabila di kemudian hari terdapat kesamaan judul dan isi dengan skripsi ini, maka penulis sepenuhnya akan bertanggung jawab terhadap hal tersebut.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Kejahatan Internasional

Sebagaimana yang diketahui bersama, bahwa yurisdiksi pengadilan kejahatan internasional terdiri dari empat jenis kejahatan, yaitu genoside, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan “agresi”. Namun, belum ada akan ada penuntutan untuk “agresi” sampai ada kesepatan tentang definisinya. Empat kategori kejahatan ini didefinisikan sebagai “kejahatan paling serius yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan”. Diharapkan pengujian dari ‘keseriusan’ tersebut akan dipakai untuk memutuskan penuntutan dalam kasus-kasus aktual yang mungkin bukan merupakan contoh serius dari kejahatan yang dipertanyakan.8

Bagaimanapun, pengadilan tak akan dapat mencapai tujuannya apabila targetnya terbatas para prajurit seperti Dusko Tadic, yang kejahatannya (walaupun

8


(12)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

kejam) adalah kecil jika dibandingkan dengan orang-orang yang menghasut atau melakukan kejahatan seperti yang didefinisikan dalam Statuta Roma. Kejahatan-kejahatan dalam yurisdiksi ICC tersebut saling tumpang tindih. Misalnya, genoside yang sebenarnya juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kemudian dalam kejahatan perang ada tindakan-tindakan yang pada waktu damai diklasifikasikan oleh Pengadilan Tingkat Banding dalam kasus Tadic, tak ada alasan yang tepat mengapa tindakan negara dalam keadaan perang harus dinilai dengan cara yang berbeda dengan yang berlaku dalam konflik internal negara9

Isitilah hukum humaniter atau “International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict” berasal dari istilah hukum perang (laws of war) yang kemudian berkembang menjadi hukum persengketaan bersenjata (laws of armed conflict), yang

.

Perbedaan menurut hukum ini telah terlalu lama ada dalam Pengadilan Den Haag, dan hal yang sama juga akan terjadi dalam pelaksanaan ICC. Sulit untuk dimengerti mengapa pengadilan ini tidak memiliki yurisdiksi hanya atas kejahatan terhadap kemanusiaan, baik yang dilakukan pada masa perang, saat perang internal negara, saat terjadi pemberontakan atau kerusuhan, atau saat damai. Orang-orang yang bertanggung jawab atas pola meluas dari kekejaman yang dilakukan oleh negara (melalui politisi atau kepolisian atau militernya) atau oleh organisasi-organisasi militer yang berjuang untuk memperoleh atau menambah kekuasaannya, juga harus dituntut. Tuntutan terhadap mereka seharusnya tidak tergantung pada persoalan teknis karakterisasi legal dari latar belakang konflik.

2. Pengertian Hukum Humaniter Internasional

9


(13)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

pada akhirnya saat ini biasa dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional. 10

Haryomataram membagi hukum Humaniter Internasional ini menjadi 2 (dua) aturan pokok, yaitu : 11

Mochtar Kusumaatmadja membagi Hukum Perang menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :

1). Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/The Hague Law).

2). Hukum yang mengatur perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil akibat perang (Hukum Jenewa/The Jenewa Laws).

12

Seperti telah diketahui bersama, semula istilah yang digunakan adalah Hukum Perang, tetapi karena istilah Perang tidak disukai karena trauma yang disebabkan oleh 1). Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang bagaimana negara

dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.

2). Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :

a). hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws.

b). hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws.

10

GPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 2-3.

11

Ibid, hal. 5 12

Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Bina Cipta, Bandung, 1979, hal. 12.


(14)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

Perang Dunia II yang memakan banyak korban, maka istilah Hukum Perang diganti menjadi Hukum Humaniter Internasional.13

Atas dasar pengertian tersebut, kiranya setiap individu tanpa memandang kedudukan, fungsi dan wewenang dalam situasi tertentu (konflik) diperlakukan sama di muka hukum. Jaminan perlakuan dan perlindungan yang sama untuk semua individu/warga negara yang sedang bersengketa baik militer atau sipil merupakan

Hukum humaniter Internasional merupakan bagian dari hukum internasional

umum yang inti dan maksudnya diarahkan pada perlindungan individu, khususnya dalam siatuas tertentu, yaitu situasi perang/pertikaian bersenjata serta akibatnya yaitu perlindungan terhadap korban perang/pertikaian bersenjata. Dengan kata lain, hukum Humaniter Internasional mempunyai fokus sentral tentang bagaimana memperlakukan manusia secara manusiawi termasuk dalam kondisi perang.

Sehubungan dengan arah hukum Humaniter Internasional tersebut di atas, kiranya hukum Humaniter Internasional dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan hukum yang mengatur tentang perlidnungan korban sengketa bersenjata sebagaimana diatur di dalam Konvensi Jenewa 1949 serta ketentuan Internasional lainnya yang berhubungan dengan itu.

Sedangkan hukum Humaniter Internasional dalam arti luas adalah keseluruhan asas atau kaidah dan ketentuan-ketentuan Internasional lainnya baik tertulis atau tidak yang mencakup Hukum Perang dan Hak Asasi Manusia yang bertujuan menjamin penghormatan terhadap harkat martabat pribadi seseorang.

13

Pada Perang Dunia I terdapat lebih dari 60 juta jiwa terbunuh. Pada abad ke-18 jumlah korban mencapai 5,5 juta jiwa, abad ke-19 mencapai 16 juta jiwa. Pada Perang Dunia II korban mencapai 38 juta jiwa, sedangkan pada koflik-konflik yang terjadi sejak tahun 1949-1995 jumlah korban telah mencapai angka 24 juta jiwa, seperti dikutip oleh ICRC, Pengantar Hukum Humaniter, Miamata Print, Jakarta, 1999, hal. 6.


(15)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

landasan utama pemikiran para ahli Hukum Internasional untuk menciptakan hukum Humaniter Internasional sebagai bagian dari hukum Internasional.

J. Pictet lebih lanjut menjelaskan arti hukum Humaniter Internasional, yaitu : “International Humanitarian Law is wide sense, is constituted by all the International legal provisions, whether writers or customary ensuring respect for individual and his well being”.14

Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa :“Hukum Humaniter merupakan bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan melakukan perang itu sendiri”.

Dari definisi yang dikemukakan oleh J. Pictet ini tampak bahwa hukum Humaniter Internasional juga mencakup Hak Asasi Manusia.

15

Apabila diperhatikan kembali definisi dari hukum Humaniter Internasional tersebut dan dihubungkan dengan pembagian/cabang hukum Humaniter Internasional, maka dapat ditarik suatu pengertian umum, bahwa hukum Humaniter Internasional (dalam arti luas) terdiri dari dua cabang, yaitu Hukum Perang dan Hak Asasi Manusia yang mempunyai makna dan arah tidak hanya pengakuan akan adanya hak-hak asasi manusia, tetapi juga dihormati dan dilaksanakannya hak-hak asasi manusia pada waktu manusia “dikuasai” emosi, terutama pada saat-saat kritis dengan memperhatikan cara-cara (conduct of war) sebagaimana diatur dalam Konvensi Den Haag, sehingga diharapkan penderitaan akibat perang menjadi seminimal mungkin untuk itu dibutuhkan akan adanya kesadaran Internasional yang tinggi. Gezaherzegh memberi definisi hukum Humaniter Internasional dalam arti sempit dengan membagi

14

GPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 15.

15

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan


(16)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

hukum Humaniter Internasional pada Hukum Jenewa saja. Alasan yang dikemukakan adalah sebagaimana yang dikutip oleh Haryomataram sebagai berikut :

a). Bahwa yang benar-benar dapat dikatakan mempunyai sifat Internasional dan Humaniter hanyalah apa yang disebut dengan Hukum Jenewa saja. Apabila The Hague dimasukkan, maka hal ini hanya akan mengurangi sifat humaniter yang begitu diutamakan.

b). Human rights tidak dimasukkan karena di dalam Negara sosialis, human rights ini ditegakkan (enforced) oleh Negara dengan jalan menggunakan hukum nasional.

Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa hukum Humaniter Internasional merupakan bagian dari Hukum Perang, khusus perlindungan korban perang. Sedangkan Hukum Perang itu sendiri mengatur cara berperang (conduct of war).16

Pada hakikatnya Hukum Perang dalam arti luas (sejak awal sampai akhir suatu peperangan), termasuk korban perang, idealnya dilakukan dengan cara-cara sesuai dengan ketentuan yang ada, sehingga segi-segi kemanusiaan tetap diperhatikan. Kalau demikian halnya, hukum Humaniter Internasional dalam arti luas tepat untuk dikembangkan dan diperhatikan terus dalam setiap pertikaian/konflik yang timbul antar dua negara. J.G. Starke termasuk aliran tengah, menurut istilah Haryomataram, menyatakan :”…as will appear post, the appellation “laws of war”

has been replaced by that of International Humanitarian Law…”.17

16

Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Jenewa 1949, Op.cit, hal. 16.

17

Ibid, hal. 17.

Kesan yang didapat dalam hal ini adalah bahwa dengan Hukum Humaniter Internasional berperang lebih dapat dikendalikan. Sedangkan Haryomataram berpendapat dan


(17)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

menyimpulkan bahwa hukum Humaniter Internasional mencakup baik Hukum Den Haag maupun Hukum Genewa dengan dua Protokol Tambahannya. 18

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

3. Pengertian Penegakan Hukum (Law Enforcement)

19

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law enforcement” ke dalam bahasa indonesia dalam

18

GPH. Haryomataram, Op.cit, ha.l. 25

19


(18)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

menggunakan perkataan “Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” atau dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “ the rule by law” yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “ the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka. 20

Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subyeknya maupun obyeknya

20 Ibid.


(19)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

atau kita batasi haya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya hanya menelaah aspek-aspek subyektif saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.

Seperti disebut di muka, secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup Pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dengan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian pengertian “law enfocement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi “court of law” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau pengadilan keadilan. Bahkan dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika serikat disebut dengan istilah “Supreme Court of Justice”. 21

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan dan melakukan pengumpulan data-data untuk mendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini dengan cara Library Research (penelitian kepustakaan). Selanjutnya penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian

F. Metode Penelitian

1. Sifat/Bentuk Penelitian

21 Ibid.


(20)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan upaya penegakan hukum Humaniter Internasional terhadap kejahatan-kejahatan internasional. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan persoalan ini.

Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum internasional khususnya yang upaya penegakan hukum Humaniter Internasional terhadap kejahatan-kejahatan internasional.

2. D a t a

Data yang diteliti adalah data sekunder yang terdiri dari :

a. Bahan/sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas kerja.

b. Bahan/sumber skunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi yang mendukung penulisan skripsi ini, seperti tulisan-tulisan, surat kabar, internet dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.


(21)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

G. Sistematika Penulisan.

Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, maka penulis akan membuat sistematika secara teratur dalam bagian-bagian yang semuanya saling berhubungan satu dengan yang lain.

Sistematika atau gambaran isi tersebut dibagi dalam beberapa bab dan diantara bab-bab ini terdiri pula atas sub bab.

Adapun gambaran isi atau sistematika tersebut adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pembukaan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan yang terakhir adalah gambaran isi yang merupakan sistematika penulisan.

BAB II PRINSIP-PRINSIP UMUM HUKUM HUMANITER

Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Pengertian dan Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter, Sumber-Sumber Hukum Humaniter, Sarana dan Metoda Berperang dan Hubungan Hukum Humaniter dengan Hak Asasi Manusia

BAB III PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KEJAHATAN-KEJAHATAN INTERNASIONAL

Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Kejahatan-kejahatan internasional seperti Genosida (Pembunuhan Massal), Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang dan Yurisdiksi Pengadilan Internasional terhadap Pelaku Kejahatan Internasional


(22)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

BAB IV MEKANISME PENEGAKAN HUKUM (LAW ENFORCEMENT) TERHADAP KEJAHATAN-KEJAHATAN INTERNASIONAL DALAM PERSFEKTIF HUKUM HUMANITER

Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Mekanisme Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977, Mahkamah Ad Hoc Kejahatan Internasional, Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court / ICC) dan Proses Persidangan dalam Pengadilan Kejahatan Internasional

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan penulis dari pembahasan terhadap pokok permasalahan serta saran-saran penulis atas bagaimana sebaiknya langkah-langkah yang diambil di dalam mengatasi permasalahan tersebut.

BAB II

PRINSIP-PRINSIP UMUM HUKUM HUMANITER

A. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter

Seperti telah dikemukakan di atas, istilah Hukum Humaniter atau lengkapnyadisebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini


(23)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter.

Jean Pictet : “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.”22

Geza Herzeg menyatakan bahwa hukum humaniter adalah : “ Part of the rule of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different.”23

Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”24

Esbjorn Rosenbland menyatakan bahwa hukum humaniter adalah : “The law of armed conflict berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya pertikaian; pendudukan wilayah lawan; hubungan pihak yang bertikai dengan negara netral. Sedangkan Law of Warfare ini antara lain mencakup : metoda dan sarana berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil.”25

S.R Sianturi menyatakan bahwa hukum humaniter adalah : “Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih

22

GPH Haryomataram, Op.cit.

23 Ibid. 24

Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit.

25


(24)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak.“26

merumuskan sebagai berikut : “Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.”

Panitia tetap hukum humaniter, departemen hukum dan perundangundangan

27

26

Geiffrey Ribertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002, hal. 120.

27

Ibid.

Berdasarkan berbagai rumusan dari para sarjana tentang definisi hukum humaniter di atas, maka dengan demikian, Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict).

Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara yang sering disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara-negara menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.


(25)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan. Dengan alasan-alasan ini, kadang-kadang hukum humaniter disebut sebagai ”peraturan tentang perang berperikemanusiaan”.

Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Oleh karena itu, perkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian menjadi hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum humaniter tersebut, yaitu : 28

Hukum perang atau yang sering disebutdengan hukum Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan 1). Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari

penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).

2). Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.

3). Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini yang terpenting adalah asas kemanusiaan.

28

GPH Haryomataram, Bunga Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988, hal. 12.


(26)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa-bangsa.29

Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisantulisan mengenai hukum perang. Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. 30

Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal. Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa

29

Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hal. 20.

30 Ibid.


(27)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.

Hampir tidak mungkin menemukan bukti okumenter kapan dan dimana aturan-aturan hukum humaniter itu timbul. Namun, untuk sampai kepada bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan yang semena-mena dari pihakpihak yang terlibat dalam. Upaya-upaya dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter sebagai berikut : 31

31

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 28, Bahan Bacaan : Kursus HAM Materi : Hukum Humaniter untuk Pengacara X, 2005, hal. 12.

1). Zaman Kuno

Sebelum perang dimulai, maka pihakmusuh akan diberi peringatan dahulu. Lalu dari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit dari kedua pihak yang berperang ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini pula, pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan, maka pihakpihak yang berperang biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.


(28)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

Selain itu, dalam berbagai peradaban bangsa-bangsa selama tahun 3000 sampai dengan 1500 Sebelum Masehi upaya-upaya seperti itu terus dikembangkan. Hal ini dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai berikut : 32

(4) Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan undang-undang Manu, para ksatria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka harus segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. (1) Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang

terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrase, kekebalan utusan musuh dan perjanjian damai.

(2) Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimanandisebutkan dalam “seven works of true mercy”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh; juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan, ”anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda”. Seorang tamu, bahkan musuhpun tak boleh diganggu.

(3) Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas. Mereka menandatangani pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota dimana para penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak dan penduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, datang dengan kekejaman.

32

GPH Haryomataram, Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti, Jakarta, 2002, hal. 15.


(29)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang.

Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra sejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dan kebiasaan perang yang dilakukan, antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai sasaran perang, dan juga tentang pengakiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan (prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan berota raja yang memuat tentang kutukan (dan ultimatum). Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah raja akan diserang oleh bala tentara raja. Begitu pula pada masa kerajaan Gowa diketahui adanya perintah raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik.

2). Abad Pertengahan

Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” (just war), ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Adapun prinsip ksatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya


(30)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu.33

Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Anggotan Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat, mempunyai sejarah yang tertua. Konvensi 1864 ini merupakan hasil yang dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu itu Henry Dunant menulis buku tentang pengalamanpengalamannya di medan pertempuran antara Austria dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul “Un Souvenir de Solferino” (1861). Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit yang luka dan sakit di medan pertempuran Solferino. Buku ini sangat menggugah penduduk kota Jenewa, sehingga warga kota yang tergabung dalam “ Societe d’Utilite Publique” dibawah pimpinan Gustave Moynier membentuk sebuah panitia yang terdiri dari 5

3). Zaman Modern

Hukum humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip umum penghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang menentukan dengan pendirian Palang Merah Internasional dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang, dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh dengan perlakuan yang sama.

33


(31)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

(lima) orang pada tanggal 17 Februari menjadi sebuah badan yang dinamakan “Comite international et permanent de secours aux militaries blesses”. Panitia yang terdiri dari 5 (lima) warga kota Jenewa ini mengambil inisiatif untuk mengadakan sebuah konferensi internasional tidak resmi untuk membahas kekurangan-kekurangan perawatan kesehatan tentara di medan pertempuran di darat. Konferensi yang dihadiri oleh 16 negara berhasil membentuk sebuah badan yang dinamakan Palang Merah dalam bulan Oktober 1963. Karena merupakan suatu konferensi yang tidak resmi, konferensi tidak dapat mengambil keputusan-keputusan yang mengikat negara-negara

peserta. Namun demikian konferensi menyarankan dalam suatu annex yang bahwa anggota dinas kesehatan dan yang luka-luka dalam pertempuran dilindungi dengan

jalan “menetralisir mereka”.

Pada tahun 1864, Dewan Federal Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan mengadakan suatu konferensi internasional yang dihadiri oleh wakil-wakil berkuasa penuh dari negara-negara yang mengikuti konferensi sebelumnya. Konferensi ini menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi ini didalamnya mengandung asas-asas bagi perlakuan korban perang yang hingga kini masih berlaku. Konvensi 1864, yaitu Konvensi untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang Darat, dipandang sebagai konvensi-konvensi yang mengawali Konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat. Berdasarkan konvensi ini, maka unitunit dan personil kesehatan bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan mati, baik kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum. Konvensi


(32)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan. Tanda Palang Merah ini merupakan lambang dari International Committee of the Red Cross, yang sebelumnya bernama International Committee for the Aid the Wounded, yang didirikan oleh beberapa orang warga Jenewa dan Henry Dunant pada tahun 1863. 34

Peristiwa penting lainnya adalah rancangan Kode Leiber ( Instructions for Armies of the United States, 1863), di Amerika Serikat, yang mencantumkan instrument-instrumen panjang dan serba lengkap dari semua hukum dan kebiasaan perang, dan juga menggarisbawahi asas-asas kemanusiaan tertentu yang tak begitu jelas sebelumnya. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok-kelompok orang tertentu, seperti tawanan perang, orang yang luka, dan sebagainya.35

B. Sumber-Sumber Hukum Humaniter

Dengan demikian, tidak seperti pada masamasa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini perkembangan-perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter dikembangkan melalui traktat-traktat yang ditandatangani oleh mayoritas negara-negara setelah tahun 1850.

Untuk mengetahui sumber-sumber hukum Humaniter Internasional, terlebih dahulu kita harus mengetahui sumber-sumber hukum Internasional yang terdapat di dalam Pasal 38 ayat (1) Piagama Mahkamah Internasional yang terdiri dari :

34

ICRI, Op.cit, hal. 20. 35


(33)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersangkutan.

2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum.

3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab.

4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi menetapkan kaidah hukum.

Dengan demikian, perjanjian internasional diakui secara tegas (expressly recognized), kebiasaan diterima sebagai hukum (accepted as law) sedangkan prinsip hukum yang diakui oleh bangsa beradab (civilized nation) dalam arti love peace nationa.36

Menurut J. Pictet, hukum Humaniter Internasional adalah aturan hukum yang menghormati individu dengan segala hak dan kewajibannya. Sehingga cabang hukum Dengan demikian, hukum Humaniter Internasional selain terikat oleh sumber-sumber hukum Internasional, juga terikat oleh hukum formal yang menyangkut aturan-aturan kemanusiaan pada umumnya. Misalnya, yang termuat dalam Konvensi Jenewa 1949, diciptakan untuk “respect for human personality and equity”, beserta aturan-aturan hukum humaniter internasional yang lainnya yang di dalam operasionalnya terbagi dalam dua aspek, yaitu satu aspek yang terkait dengan hukum perang, sedangkan di pihak lian terikat dengan hak-hak asasi manusia. Sehingga sasaran utama hukum Humaniter Internasional adalah sejauh mana manusia tetap dapat dilindungi dalam situasi perang/krisis dan dalam keadaan tertentu.

36


(34)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

ini sangat mendambakan adanya penghormatan dan bantuan yang wajar terhadap hak dan kewajiban manusia, khususnya pada saat terjadinya konflik antar negara, karena itu hukum Humaniter Internasional ini mempunyai sifat internasional pula.37

37 Ibid.

Seperti telah dikemukakan di atas, hukum Humaniter Internasional terdiri dari Hukum Den Haag yang mengatur mengenai cara dan alat berperang dan Hukum Jenewa yang mengatur perlindungan terhadap korban perang. Berikut ini akan dilihat kedua hukum tersebut sebagai sumber hukum Humaniter Internasional.

Konvensi-konvensi Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai cara dan alat berperang. Konvensi-konvensi Den Haag ini merupakan konvensi-konvensi yang dihasilkan dari Konferensi-konferensi Den Haag I dan II yang diadakan pada tahun 1899 dan 1907.

a). Konvensi Den Haag 1899

Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I yang diselenggarakan pada tanggal 18 Mei - 29 Juli 1899. Konferensi ini terselenggara atas prakarsa Tsar Nicholas II dari Rusia. Untuk melaksanakan kehendak Tsar Nicholas II itu, maka pada tahun 1898 Menteri Luar Negeri Rusia Count Mouravieff mengedarkan surat kepada semua Perwakilan Negara-negara yang terakreditasi di St. Petersburg, berupa ajakan Tsar untuk mempertahankan perdamaian Dunia dan mengurangi persenjataan. Konvensi yang berlangsung 2 (dua) bulan ini menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi pada tanggal 29 Juli 1899.

Ketiga Konvensi yang dihasilkan adalah :


(35)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

(2). Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat;

(3). Konvensi III tentang Adaptasi Azasazas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.

Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

(1). Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam, sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).

(2). Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon selama jangka lima tahun yang terakhir di tahun 1905 juga dilarang.

(3). Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun juga dilarang.

b). Konvensi Den Haag 1907

Konvensi-konvensi tahun 1907 ini merupakan kelanjutan dari Konferensi Perdamaian I tahun 1809 di Den Haag. Konvensi-konvensi yang dihasilkan dari Konvensi Den Haag II adalah sebagai berikut :

(1). Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;

(2). Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Pembayaran Hutang yang Berasal dari Perjanjian Perdata;

(3). Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan;

(4). Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan Peraturan Den Haag;

(5). Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat;


(36)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

(6). Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh Pada Saat Permulaan Perang; (7). Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang;

(8). Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut; (9). Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang;

(10). Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut;

(11). Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut;

(12). Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan;

(13). Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut. Hal-hal penting yang terdapat dalam Konvensi Den Haag tahun 1907 antara lain adalah :

(1). Konvensi III Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai Peperangan

Perang antara Rusia dan Jepang pada tahun 1904 dimulai dengan suatu serangan secara tiba-tiba oleh Jepang terhadap kapal perang Rusia. Kejadian inilah yang menjadi bahan pembicaraan dalam Konferensi Den Haag tahun 1907, yang hasilnya adalah disepakatinya Konvensi III tahun 1907 yang judul resminya “Hague Convention No. III

Relative to the Opening of Hostilities”, dimana Pasal 1 Konvensi ini berbunyi : “The Contracting Powers recognize that hostilities between themselves must not commence without previous and explecit warning, in the either of a reasoned declaration of war or of an ultimatum with conditional declaration of war”.

Dengan demikian, suatu perang dapat dimulai dengan : (a). Suatu pernyataan perang, disertai dengan alasannya.


(37)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

(b). Suatu ultimatum yang disertai dengan pernyataan perang yang bersyarat. Apabila penerima ultimatum tidak memberi jawaban yang tegas/memuaskan pihak yang mengirim ultimatum dalam waktu yang ditentukan, sehingga pihak pengirim ultimatum akan berada dalam keadaan perang dengan penerima ultimatum.

(2). Konvensi Den Haag IV 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat

Konvensi ini judul lengkapnya adalah “Convention Respecting to the Laws and Customs of War on Land”. Konvensi ini terdiri dari 9 pasal, yang disertai juga dengan lampiran yang disebut “Hague Regulations”. Konvensi ini merupakan penyempurnaan terhadap Konvensi Den Haag II 1899 tentang Kebiasaan Perang di Darat. Hal penting yang diatur dalam Konvensi Den Haag IV 1907 adalah mengenai apa yang disebut sebagai “Klausula si Omnes”, yaitu bahwa konvensi hanya berlaku apabila kedua belah pihak yang bertikai adalah pihak dalam konvensi, apabila salah satu pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi tidak berlaku. Selain itu, hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah ketentuanketentuan yang terdapat dalam Lampiran Konvensi Den Haag IV (Hague Regulations), antara lain :

(a). Pasal 1 HR, yang berisi mengenai siapa saja yang termasuk “belligerents”, yaitu tentara. Pasal ini juga mengatur mengenai syaratsyarat yang harus dipenuhi oleh kelompok milisi dan korps sukarela, sehingga mereka bisa disebut sebagai kombatan, yaitu :

(1). Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya; (2). Memakai tanda/atribut yang dapat dilihat dari jauh;


(38)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

(4). Melaksanakan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang. (b). Pasal 2 HR mengatur mengenai levee en masse, yang dikategorikan sebagai

“belligerent”, yang harus memenuhi syarat-syarat : (1). Penduduk dari wilayah yang belum dikuasai;

(2). Secara spontan mengangkat senjata; (3). Tidak ada waktu untuk mengatur diri; (4). Membawa senjata secara terbuka; (5). Mengindahkan hukum perang.

(3). Konvensi V Den Haag 1907 mengenai Negara dan Orang Netral dalam

Perang di Darat

Konvensi ini lengkapnya berjudul “Neutral Powers and Persons in Land Warfare”. Dengan demikian, dalam konvensi ini terdapat dua pengertian yang harus diperhatikan, yaitu mengenai Negara Netral (Neutral Powers) dan Orang Netral (Neutral Persons). Yang dimaksud dengan negara netral adalah suatu negara yang menyatakan akan bersikap netral dalam suatu peperangan yang sedang berlangsung. Dengan demikian, tidak ada keharusan negara tersebut untuk membantu salah satu pihak. Sebagai negara netral, maka kedaulatan negara tersebut dalam suatu peperangan, tidak boleh diganggu dan dilanggar. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 Konvensi V yang menyatakan “The territory of neutral Powers is inviolable”. Untuk mempertahankan kenetralan, maka wilayah dari negara tersebut tidak dapat dijadikan sebagai wilayah yang dapat dilintasi oleh para pihak yang sedang bersengketa.

Sedangkan yang dimaksud dengan orang netral (Neutral Persons) adalah warga negara dari suatu negara yang tidak terlibat dalam suatu peperangan. Orang netral ini tidak boleh mengambil keuntungan dari statusnya sebagai orang netral,


(39)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

misalnya dengan menjadi relawan dari suatu angkatan bersenjata salah satu pihak yang bersengketa (Pasal 17).

4). Konvensi XIII Den Haag mengenai Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut.

Konvensi ini berjudul “Neutral Rights and Duties in Maritime Wars”, yang secara garis besar mengatur tentang hak dan kewajiban negara-negara netral dalam perang di laut. Konvensi ini menegaskan bahwa kedaulatan negara netral tidak hanya berlaku di wilayah teritorialnya saja, namun juga berlaku bagi wilayah perairan negara netral. Para pihak yang bersengketa tidak boleh (dilarang) melakukan tindakan-tindakan di perairan negara netral yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang dapat melanggar kenetralan di wilayah tersebut, seperti tindakan penangkapan dan pencarian yang dilakukan kapal perang negara yang bersengketa di perairan negara netral.

2). Konvensi Jenewa 1949

Konvensi Jenewa 1949 tersebut terdiri dari 4 (empat) buah konvensi yaitu : a). Konvensi Jenewa I tentang Perbaikan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan

Sakit di Medan Pertempuran Darat.

b). Konvensi Jenewa II tentang Perbaikan Kondisi Angkatan Perang di Laut yangLuka, Sakit dan Korban Kapal Karam.

c). Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan Tawanan Perang.


(40)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

Keempat Konvensi Jenewa 1949 tersebut pada tahun 1977 ditambah lagi dengan Protokol Tambahan 1977, yakni disebut dengan :

a). Protocol additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, and relating to the protections of victims of international armed conflict (Protokol Tambahan I) b). Protocol additional to the Geneva Conventions of 12 August, and relating to the

protections of victims of non- international armed conflict (Protokol Tambahan II)

Baik Protokol I maupun II tersebut di atas adalah merupakan tambahan dan konvenis-konvensi Jenewa 1949. Penambahan itu dimaksudkan sebagai penyesuaian terhadap perkembangan pertikaian bersenjata, pentingnya perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit dan korban dalam suatu peperangan, serta antisipasi terhadap perkembangan mengenai alat dan cara berperang. Protokol I tahun 1977 mengatur tentang perlindungan korban pertikaian bersenjata internasional, sedangkan Protokol II mengatur tentang korban pertikaian bersenjata non-internasional.

a). Pokok-Pokok Konvensi Jenewa 1949 : Ketentuan yang bersamaan (Common

Articles)

Dalam keempat Konvensi Jenwa 1949 mengenai perlindungan korban perang terdapat ketentuan-ketentuan yang sama atau yang bersamaan. Yang terpenting diantaranya, adalah mengenai ketentuanketentuan pokok dari Konvensi-konvensi Jenewa, yang di dalam keempat Konvensi terdapat dalam Bab I. Hal ini merupakan suatu kemajuan besar dalam sistematika susunan pasal-pasal dan menekankan keseragaman serta kesatuan dari keempat konvensi ini sebagai suatu perangkat


(41)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

ketentuan tertulis mengenai perlindungan korban perang. Ketentuan yang bersamaan dalam Konvensi-konvensi Jenewa tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa golongan, yaitu :

(1). Penghormatan dari Konvensi-konvensi

Mengenai penghormatan dari konvensikonvensi ini terdapat dalam Pasal 1 Konvensi, yang menyatakan bahwa “Pihak Peserta Agung berjanji untuk menjamin penghormatan dalam segala keadaan”. Ketentuan mengenai penghormatan diletakkan dalam Pasal 1 menandakan bahwa peserta-peserta konferensi hendak menekankan pentingnya kewajiban penandatangan untuk menghormati ketentuan-ketentuan konvensi dan lebih bertanggung jawab atas pelaksanaannya.

Selain hal tersebut, Pasal 1 ini berarti juga bahwa berlakunya ketentuan-ketentuan konvensi tidak boleh dipengaruhi oleh sifat dari sengketa bersenjata. Ketentuan-ketentuan konvensi mengenai perlindungan korban perang (yang sakit, luka, tawanan perang, dsb) tetap berlaku, tidak perduli apakah perang itu adil atau tidak adil, perang agresi atau perang mempertahankan diri. Yang menjadi ukuran adalah apakah telah ada sengketa bersenjata atau pendudukan dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

(2). Berlakunya Konvensi-Konvensi

Mengenai berlakunya konvensikonvensi dinyatakan dalam Pasal 2 Paragraf 1, bahwa “ …Konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata (armed conflict) lainnya yang mungkin timbul antara


(42)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

dua atau lebih pihak penandatangan, sekalipun keadaan perang tidak diakui salah satu diantara mereka”.

Dengan pernyataan bahwa Konvensi tahun 1949 ini berlaku bagi setiap sengketa bersenjata (armed conflict), maka tidak ada lagi kemungkinan bagi suatu negara untuk mengelakkan diri dari kewajiban-kewajiban konvensi dengan menyangkal adanya perang dalam arti hukum. Jadi menurut ketentuan di atas, konvensi-konvensi ini berlaku dalam setiap persengketaan senjata internasional, dengan tidak mempersoalkan apakah peristiwa ini menurut salah satu atau semua pihak dalam konvensi merupakan suatu “pembelaan diri yang sah”, “aksi polisi”, “insiden” atau suatu tindakan pengamanan kolektif dalam rangka piagam PBB.

Selain hal tersebut di atas, “…Konvensi ini juga akan berlaku untuk semua peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya, dari wilayah Peserta Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan”. Dalam hal ini ketentuan mengenai perlindungan korban perang Konvensi Jenewa 1949 dengan sendirinya berlaku. Di samping hal tersebut di atas, Pasal 2 paragraf 3 Konvensi juga menyatakan bahwa “Meskipun salah satu dari negaranegara dalam sengketa mungkin bukan peserta Konvensi ini, negara-negara yang menjadi peserta Konvensi ini akan tetap sama terikat olehnya di dalam hubungan antara mereka. Mereka selanjutnya terikat oleh konvensi ini dalam hubungan dengan bukan negara peserta, apabila negara yang tersebut kemudian ini menerima dan melaksanakan ketentuan-ketentuan konvensi ini”. Ketentuan ini membuka peluang bagi suatu pihak dalam persengketaan yang belum menjadi peserta resmi Konvensi Jenewa untuk menerima ketentuan-ketentuan Konvensi dengan jalan menyatakan menerima ketentuan-ketentuanketentuan-ketentuan konvensi, mematuhi dan melaksanakannya secara de facto.


(43)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

C. Sarana dan Metoda Berperang

Berbicara mengenai sarana dan metode berperang, adalah berbicara mengenai hukum Den Haag. Hukum Den Haag, sebagaimana diketahui, sebagian besar terdapat di dalam konvensi-konvensi yang dihasilkan dalam Konferensi-Konferensi Perdamaian pada tahun 1899 dan 1907. Namun dalam perkembangannya, diketahui pula bahwa ketentuan-ketentuan mengenai metode dan sarana berperang tersebut tidak hanya terdapat dalam konvensi-konvensi Den Haag saja, melainkan terdapat pula dalam Protokol Tambahan tahun 1977.38

Dengan demikian, jelaslah bahwa negara yang bersengketa tidak dapat sebebas-bebasnya menggunakan ranjau, torpedo, proyektil, senjata-senjata beracun,

Ketentuan utama tentang metode dan sarana berperang terdapat dalam Konvensi Den Haag IV tahun 1907 terutama lampiran (annex-nya) yang berjudul Regulations Respecting the Laws and Customs of War on Land, atau sering disebut dengan “Hague Regulation” yang mengatur mengenai hukum kebiasaan perang di darat, termasuk ketentuan-ketentuan mengenai metode dan sarana berperang.

Peraturan dasar yang paling utama dalam menggunakan sarana atau alat untuk melakukan peperangan dalam suatu sengketa bersenjata adalah keterbatasan dalam memilih dan menggunakan sarna atau alat berperang. Prinsip ini mengacu pada ketetnuan Pasal 22 Hague Regulation yang menyatakan bahwa :”hak belligerents untuk menggunakan sarana dalam menghancurkan musuh adalah tidak tak terbatas (is not unlimited)”.

38

Oleh karena itu, menurut ICRC, Protokol Tambahan tahun 1977 disebut juga dengan “Hukum Campuran” (Mixed Law), karena tidak hanya mengatur tentang perlindungan terhadap penduduk sipil saja, melainkan juga mengatur tentang metode dan sarana berperang.


(44)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

senjata-senjata yang menyebabkan luka berlebihan dan sebagainya, namun dibatasi oleh berbagai syarat-syarat tertentu. Hal ini mencerminkan bahwa para penggunaan senjata pihak yang bersengketa adalah tidak tak terbatas (=sangat terbatas).39

D. Hubungan Hukum Humaniter dengan Hak Asasi Manusia

Selanjutnya ketentuan mengenai sarana dan metode berperang dalam Protokol Tambahan I tahun 1977 terdapat pada Bagian I dan III Protokol yang berjudul “Methods and Means of Warfare, Comabatan and Prisoner of War Status. Secara garis besar, ketentuan mengenai alat dan cara berperang dalam Protokol ini disempurnakan lagi, antara lain dengan adanya penambahan peraturan dasar (basic rules), ketentuan-ketentuan mengenai senjata baru, adanya penambahan lambang-lambang internasional yang harus dihormati selama peperangan, dan perluasan kategori orang-orang yang dapt terlibat dalam sengketa bersenjata, antara lain terdapat ketentuan baru mengenai tentara bayaran, mata-mata dan sebagainya.

Sangat penting untuk memahami pengertian istilah “hak bangsa-bangsa, hak asasi manusia dan hukum humaniter”. Hal ini penting untuk mengetahui kapan sesungguhnya konsep-konsep tersebut termasuk ke dalam suatu sistem hukum. Ini menjadikannya penting untuk menegaskan hakikat hukum humaniter dan hakikat hukum hak asasi manusia dan mengingat persamaan dan perbedaan diantara dua cabang hukum internasional publik ini. Juga sangatlah penting bagi mereka yang bertanggungjawab menyebarkan penerangan mengenai hukum humaniter internasional dan atau hukum hak asasi manusia untuk mampu memberikan penjelasan sesungguhnya mengenai subyek tersebut. Ini adalah kepentingan terbesar

39


(45)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

orang yang dilindungi oleh kedua hukum, tetapi juga membantu para pejabat negara yang bertanggungjawab atas perlindungan tersebut.

Pada mulanya, tidak pernah ada perhatian mengenai hubungan hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Pernyataan Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) 1948 tidak menyinggung tentang penghormatan hak asasi manusia pada waktu sengketa bersenjata. Sebaliknya, dalam konvensikonvensi Jenewa 1949 tidak menyinggung masalah hak asasi manusia, tetapi tidak berarti bahwa konvensi-konvensi Jenewa dan hak asasi manusia tidak memilki kaitan sama sekali. Antara keduanya terdapat hubungan keterkaitan, walaupun tidak secara langsung.

Di satu sisi ada kecenderungan untuk memandang ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1949 tidak hanya mengatur mengenai kewajiban bagi negara-negara peserta, tetapi juga mengatur tentang hak orang perorangan sebagai pihak yang dilindungi. Keempat Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan hak-hak yang diberikan oleh konvensi-konvensi ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi dengan adanya Pasal 3 tentang ketentuan yang bersamaan pada Keempat Konvensi Jenewa 1949 yang mewajibkan setiap negara peserta untuk menghormati peraturan-peraturan dasar kemanusiaan pada sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional.

Dengan demikian, maka Pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya, yang berarti mencakup bidang tradisional dari hak asasi manusia. Sedangkan di sisi lain, dalam konvensikonvensi tentang hak asasi manusia terdapat pula berbagai ketentuan yang penerapannya justru pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun 1950, misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang


(46)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

dijamin dalam konvensi ini tidak boleh dilanggar. Meskipun dalam keadaan demikian, paling tidak ada 7 (tujuh) hak yang harus tetap dihormati, karena merupakan intisari dari Konvensi ini, yaitu hak atas kehidupan, kebebasan, integritas fisik, status sebagai subyek hukum, kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan. Ketentuan ini terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan Pasal 27 Konvensi HAM Amerika.

Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable rights), baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang tak boleh dikurangi tersebut meliputi Hak-hak hidup, prinsip (perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku surutnya hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan (slavery), perhambaan (servitude), larangan penyimpangan berkaitan dengan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang dimumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1)

huruf (d) yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa.

Dalam hukum humaniter internasional, pengaturan mengenai hak-hak yang tak dapat dikurangi ini antara lain tercantum dalam ketentuan Pasal 3 tentang ketentuan yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa 1949. Pasal ini penting karena membebankan kewajiban kepada “pihak peserta agung” untuk tetap menjamin

perlindungan kepada orang perorangan dengan mengesampingkan status“belligerent” menurut hukum atau sifat dari sengketa bersenjata yang terjadi itu. Kesadaran akan


(47)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

adanya hubungan hak asasi manusia dan hukum humaniter baru terjadi pada akhir tahun 1960-an. Kesadaran ini makin meningkat dengan terjadinya berbagai sengketa bersenjata, seperti dalam perang kemerdekaan di Afrika dan di berbagai belahan dunia lainnya yang menimbulkan masalah, baik dari segi hukum humaniter maupun dari segi hak asasi manusia. Konferensi internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter Internasional (HHI).40

Dalam kepustakaan ada 3 (tiga) aliran berkaitan dengan hubungan hukum humaniter internasional :

Dalam Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”, meminta agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini mendorong PBB untuk menangani pula Huku m Humaniter Internasional.

41

(1). Hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional, dalam arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia. Pendapat ini antara lain dianut oleh Robertson, yang menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap waktu dan berlaku

a). Aliran Integrationis

Aliran integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari hukum yang lain. Dalam hal ini, maka ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu :

40

Fadillah Agus (ed), Hukum Humaniter suatu Persfektif, Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas Trisakti-ICRC, Jakarta, 1997, HAL. 85-86.

41


(1)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

protokol memberikan istilah pelanggaran untuk tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum Humaniter.

Di dalam Hukum Humaniter khususnya Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 kejahatan-kejahatan internasional terutama kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) terjadi apabila tindakan tertentu yang dilarang dilakukan sebagai bagian dari serangan skala luas atau sistematik terhadap penduduk sipil. Penduduk sipil yang dimaksud adalah kelompok sipil apapun. Kelompok ini termasuk, misalnya, kelompok yang mempunyai kaitan ideologi, politik atau budaya dan jenis kelamin, termasuk kelompok sipil yang menyuarakan kebebasan atau mendukung resistensi terhadap pendudukan. Tindakan yang dilarang termasuk: pembunuhan; pembinasaan (termasuk dengan tidak memberikan makanan);perbudakan; deportasi atau pemindahan paksa penduduk; kerja paksa; pemenjaraan;penyiksaan; perkosaan; memberikan hukuman karena alasan politik, ras, atau agama;penghilangan paksa; dan tindakan tidak manusiawi lainnya “yang memiliki sifat yang sama yangsecara sengaja menimbulkan penderitaan yang mendalam, atau luka berat baik fisik maupunmental atau kesehatan fisik”.

B. Saran-Saran

Saran-saran yang dapat diberikan dalam skripsi ini, adalah :

1. Negara-negara di dunia dan PBB selaku organisasi internasional harus mempunyai dan mampu menunjukkan komitmen yang lebih baik lagi dengan merumuskan berbagai peraturan yang dapat menjerat pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan .


(2)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

2. Mahkamah Internasional harus dapat menindak dengan tegas setiap perbuatan yang mengarah kepada kejahatan terhadap kemanusiaan, sehingga dapat menimbulkan perasaan jera bagi si pelaku, sehingga dia tidak akan mengulangi lagi perbuatannya tersebut.


(3)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA

1. BUKU-BUKU

Andrey Sudjatmoko, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi

Manusia dan Hukum Humaniter Internasional, Kumpulan Tulisan, Pusat Studi

Hukum Humaniter, Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta, 1999.

Fadillah Agus (ed), Hukum Humaniter suatu Persfektif, Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas Trisakti, ICRC, Jakarta, 1997.

Geiffrey Ribertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002.

GPH Haryomataram, Bunga Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988.

---, Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti, Jakarta, 2002.

Geoffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk

Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta,

1982.

Hendardi, Impunity dan Masa Depan Demokrasi,

International Committee of The Red Cross,, Protocol Additional to the Geneva

Convention, 1949, Geneva, 1977, hal. 30.

International Committee of the Red Cross, Pengantar Hukum Humaniter, Miamata Print, Jakarta, 1999.


(4)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, , Bahan Bacaan : Kursus HAM Materi : Hukum Humaniter untuk Pengacara X, 2005.

M. Cherif Bassiouni, Crimes against humanity, Oxford Press, 1998, hal 499.508. Vattel, dikutip oleh Michael J. Bazyler, Re-ezamining the Doctrine of

Humanitarian Intervention, Stanford International Law Journal, 1987.

Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Bina Cipta, Bandung, 1979.

---, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1980.

2. INTERNET

Antonio Cassesse, Self Detemination of People, Cambrige University Press, 1995, hal. 27-33, dikutip di dalam

Antonia Pradjasto, H, Konvensi Genocida, Melindungi Hak Asasi, Memerangi

Impunitas, diakses dari situs

:hhttp://www.mediaindonesia.com/berita.asp?id=130543

http://id.wikipedia.org.com, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. hhttp://www.mediaindonesia.com/berita.asp?id=130543

Jerry Flower, Mahkamah Pidana Internasional, Keadilan bagi Generasi Mendatang,

Karlina Leksono Supelli, Hukum Tak Efektif Tekan Kejahatan Kemanusiaan, diskusi mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Oktober 2000.


(5)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

Penegakan Hukum, diakses dari situs :

3. SURAT KABAR / MAJALAH

M. Jodi Santoso, Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana, Harian Tempo, 27 Oktober 2003.


(6)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.