Yurisdiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional

(1)

YU

DA

Disu

URISDIK

ALAM PE

usun dan D Gel DEP

UN

SI WILA

ERSPEK

Diajukan Un lar Sarjana Unive YA PARTEMEN

FAK

NIVERSIT

AYAH UD

KTIF HUK

S K R I P

ntuk Melen Hukum Pa ersitas Sum Oleh AN JEFRI 0902003 N HUKUM

KULTAS

TAS SUM

MEDA

2013

DARA SU

KUM INT

P S I

ngkapi Persy ada Fakulta matera Utara h BARUS 389 M INTERN

HUKUM

MATERA

AN

3

UATU NE

TERNASI

yaratan Me as Hukum a NASIONAL

M

UTARA

EGARA

IONAL

emperoleh L


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

YURISDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA DALAM

PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

YAN JEFRI BARUS 090200389

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Internasional

Arif, SH., MH NIP. 196403301993031002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Sutiarnoto, SH., M.Hum Arif, SH., MH

NIP. 195610101986031003 NIP. 196403301993031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

YURISDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Kedaulatan suatu negara tidak lagi bersifat mutlak atau absolut, akan tetapi pada batas-batas tertentu harus menghormati kedaulatan negara lain, yang diatur melalui hukum internasional. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kedaulatan negara bersifat relatif (Relative Sovereignty of State). Dalam konteks hukum internasional, negara yang berdaulat pada hakikatnya harus tunduk dan menghormati hukum internasional, maupun kedaulatan dan integritas wilayah negara lain.

Permasalahan dalam penelitian ini Bagaimana YURISDIKSI wilayah udara suatu Negara? Bagaimana prinsip hukum udara yang dianut bangsa-bangsa di dunia (internasional)? Bagaimana YURISDIKSI Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif sebagai studi pustaka, pada dasarnya adalah berfungsi untuk menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian.

Wilayah udara yang terdapat di atas wilayah darat, perairan pedalaman, dan laut wilayah termasuk kedalam yurisdiksi suatu negara. Hal ini terlihat dari pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional : “Kedaulatan negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya bersifat utuh dan penuh (complete and exclusive sovereignity)”. Ketentuan ini merupakan salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang udara. Prinsip-prinsip hukum udara internasional antara lain prinsip kedaulatan wilayah udara, prinsip YURISDIKSI ruang udara, prinsip mengenai tanggung jawab. Prinsip-prinsip dalam yurisdiksi adalah prinsip teritorial, nasional, personalitas pasif, perlindungan atau keamanan, universalitas, dan kejahatan menurut kriteria hukum yang berlaku. Dalam hubungan dengan yurisdiksi negara di ruang udara, sangat erat hubungannya dengan penegakkan hukum di ruang udara tersebut. Dengan adanya yurisdiksi, negara yang tersangkutan mempunyai wewenang dan tanggung jawab di udara untuk melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul YURISDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni, SH, MH selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Arif, SH., M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional dan selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.

6. Bapak Sutiarnoto, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.


(5)

7. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

8. Kedua orang tua penulis Almarhum Ayahanda Immanuel Barus dan Ibunda yang selama ini kuat mengarahkan anaknya dan sebagai orang tua yang merangkup sebagai ayah juga Drs. Serihaty Sebayang beserta abang Ezra Novta Barus dan kakak Elizabeth Barus yang selalu memberikan dukungan baik secara moril maupun material sehingga terselesaikanya skripsi ini.

9. Teman-Teman stambuk 2009 dan teman-teman yang berada diluar ruang lingkup kampus yang telah mendukung dan memberikan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan sampai selesainya penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan. Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Tuhan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di negara Republik Indonesia.

Medan, Oktober 2013 Hormat Saya


(6)

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II YURISDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA ... 21

A. Pengertian Kedaulatan Negara ... 21

B. Pengertian Yurisdiksi ... 24

C. Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional ... 27

D. Macam-Macam Yurisdiksi Negara ... 41

E. Kedaulatan dan Yurisdiksi di Wilayah Perairan dan Udara ... 43

BAB III PRINSIP HUKUM UDARA YANG DIANUT BANGSA- BANGSA DI DUNIA (INTERNASIONAL). ... 52

A. Sejarah Munculnya Hukum Udara Internasional ... 52


(8)

C. Pembatasan Yurisdiksi Negara berdasarkan Piagam

Organisasi Internasional. ... 63

D. Sukhoi TNI-AU Cegat Cessna Milik Amerika ... 66

BAB IV YURISDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL ... 71

A. Pengertian Perbatasan Negara ... 71

B. Yurisdiksi Berkaitan dengan Pesawat Udara ... 75

C. Status Yurisdiksi Ruang Udara ... 76

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 82 DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAK

YURISDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Kedaulatan suatu negara tidak lagi bersifat mutlak atau absolut, akan tetapi pada batas-batas tertentu harus menghormati kedaulatan negara lain, yang diatur melalui hukum internasional. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kedaulatan negara bersifat relatif (Relative Sovereignty of State). Dalam konteks hukum internasional, negara yang berdaulat pada hakikatnya harus tunduk dan menghormati hukum internasional, maupun kedaulatan dan integritas wilayah negara lain.

Permasalahan dalam penelitian ini Bagaimana YURISDIKSI wilayah udara suatu Negara? Bagaimana prinsip hukum udara yang dianut bangsa-bangsa di dunia (internasional)? Bagaimana YURISDIKSI Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif sebagai studi pustaka, pada dasarnya adalah berfungsi untuk menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian.

Wilayah udara yang terdapat di atas wilayah darat, perairan pedalaman, dan laut wilayah termasuk kedalam yurisdiksi suatu negara. Hal ini terlihat dari pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional : “Kedaulatan negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya bersifat utuh dan penuh (complete and exclusive sovereignity)”. Ketentuan ini merupakan salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang udara. Prinsip-prinsip hukum udara internasional antara lain prinsip kedaulatan wilayah udara, prinsip YURISDIKSI ruang udara, prinsip mengenai tanggung jawab. Prinsip-prinsip dalam yurisdiksi adalah prinsip teritorial, nasional, personalitas pasif, perlindungan atau keamanan, universalitas, dan kejahatan menurut kriteria hukum yang berlaku. Dalam hubungan dengan yurisdiksi negara di ruang udara, sangat erat hubungannya dengan penegakkan hukum di ruang udara tersebut. Dengan adanya yurisdiksi, negara yang tersangkutan mempunyai wewenang dan tanggung jawab di udara untuk melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kedaulatan merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara. Dari sudut ilmu bahasa kedaulatan dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan tertinggi atas pemeritahan negara, daerah, dan sebagainya. Dalam konteks ilmu tata negara, Parthiana menyatakan bahwa kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan yang tertinggi yang mutlak, utuh, bulat dan tidak dapat dibagi-bagi dan oleh karena itu tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Namun demikian dalam proses perkembangan lebih lanjut, telah terjadi perubahan makna kedaulatan negara.1

Kedaulatan suatu negara tidak lagi bersifat mutlak atau absolut, akan tetapi pada batas-batas tertentu harus menghormati kedaulatan negara lain, yang diatur melalui hukum internasional. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kedaulatan negara bersifat relatif (Relative Sovereignty of State). Dalam konteks hukum internasional, negara yang berdaulat pada hakikatnya harus tunduk dan menghormati hukum internasional, maupun kedaulatan dan integritas wilayah negara lain.2

Berkaitan dengan arti dan makna kedaulatan, Jean Bodin menyatakan bahwa kedaulatan merupakan atribut dan ciri khusus dari suatu negara. Tanpa adanya kedaulatan, maka tidak akan ada yang dinamakan negara.3 Ia juga       

1

Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta 2011 hal 8

2 Ibid. 3


(11)

menyatakan bahwa kedaulatan tersebut mengandung satu-satunya kekuasaan sebagai :

1. Asli, artinya tidak diturunkan dari sesuatu kekuasaan lain;

2. Tertinggi, tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat membatasi kekuasaannya

3. Bersifat abadi atau kekal;

4. Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi saja; 5. Tidak dapat dipindahtangankan atau diserahkan kepada pihak lain.

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki dari negara, di mana negara tersebut berdaulat, tetapi mempunyai batas-batasnya, yaitu ruang berlakunya kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas-batas wilayah negara itu, di luar wilayahnya negara tersebut tidak lagi memiliki kekuasaan demikian.4 Berkenaan dengan hal tersebut, kedaulatan tidak dipandang sebagai sesuatu yang bulat dan utuh, melainkan dalam batas-batas tertentu sudah tunduk pada pembatasan-pembatasan yang berupa hukum internasional maupun kedaulatan dari sesama negara lainnya. Dengan demikian suatu negara yang berdaulat tetap saja tunduk pada hukum internasional serta tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara lain. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan pula bahwa pada masa kini kedaulatan negara merupakan sisa dari kekuasaan yang dimiliki dalam batas-batas yang ditetapkan melalui hukum internasional.

      

4

Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Bina Cipta, Jakarta.2010. hal 7


(12)

Melihat dari kenyataan di lapangan, akhir-akhir ini banyak pesawat asing yang melintas di wilayah udara negara Indonesia. Pesawat-pesawat asing melintas tanpa seizin menara pengawas yang ada di darat. Biasanya kebanyakan pesawat yang melintas tanpa izin adalah pesawat-pesawat militer negara asing. Masalah ini sudah sering terjadi dan dirundingkan bersama dengan negara yang pesawatnya melintas di wilayah udara negara Indonesia.

Masalah pengelolaan dan pertahanan di wilayah perbatasan sangat terkait erat dengan konsepsi dasar tentang negara sebagai entitas yang memiliki kedaulatan, penduduk, dan wilayah serta tafsir atau persepsi atas ancaman yang dihadapi. Dengan demikian, pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan dapat disimpulkan sebagai segala upaya untuk mewujudkan eksistensi suatu negara yang ditandai dengan terlindunginya kedaulatan, penduduk dan wilayah dari pelbagai jenis ancaman. Konsepsi ini merupakan bagian dari satu pemahaman totalitas mengenai konsep ‘keamanan nasional’ yang intinya adalah “kemampuan negara melindungi apa yang ditetapkan sebagai nilai-nilai inti (core values), dimana pencapaiannya merupakan sebuah proses terus-menerus, dengan menggunakan segala elemen power dan resources yang ada serta melingkupi semua aspek kehidupan.5

Sesuai Konvensi Chicago 1944, dalam Pasal I dinyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh (complete and exclusive sovereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya. Dari pasal tersebut memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan utuh       

5

Mufti Makarim. A, Strategi Pengelolaan Dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara Republik Indonesia : Tantangan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional, tanpa tahun. hal 89


(13)

atas ruang udara di atas wilayah teritorial, adalah: (1). Setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh atas ruang udara nasionalnya (2). Tidak satupun kegiatan atau usaha di ruang udara nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana telah diatur dalam suatu perjanjian udara antara negara dengan negara lain baik secara bilateral maupun multilateral.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengemukakan permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana yuridiksi wilayah udara suatu Negara?

2. Bagaimana prinsip hukum udara yang dianut bangsa-bangsa di dunia (internasional)?

3. Bagaimana Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah a. Untuk mengetahui yuridiksi wilayah udara suatu Negara


(14)

b. Untuk mengetahui prinsip hukum udara yang dianut bangsa-bangsa di dunia (internasional)

c. Untuk mengetahui Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional.

2. Manfaat Penelitian

Mmanfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Secara teoritis

Untuk pengembangan studi ilmu hukum selanjutnya, khususnya di bidang Hukum Internasional yaitu Hukum Udara dan Ruang Angkasa. Serta penulis berharap agar hasil penulisan skripsi ini dapat menambah khasanah kepustakaan Hukum Udara dan Ruang Angkasa.

b. Secara praktis

Sumbangsih pada peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya di bidang kedirgantaraan dan keantariksaan, penelitian ilmu pengetahuan dan pencarian sumber-sumber alam baru.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi mengenai Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional menurut sumber dari jurusan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada yang mengangkat dan mambahasnya.


(15)

Adapun beberapa skripsi mempunyai profil yang sama dengan judul skripsi ini berbeda dengan skripsi laun yang topiknya sama/ hampir sama antara lain :

Tarulina Debora Saragih (2010) dengan judul Pengaruh Asean Charter (Piagam Asean) Terhadap Yurisdiksi Negara Anggotanya permasalahan dalam penelitian ini adalah; Proses Ratifikasi Piagam ASEAN, B. Pemberlakuan Piagam ASEAN terhadap Negara Anggotanya dan analisa Pengaruh Pemberlakuan Piagam ASEAN terhadap Yurisdiksi Negara Anggotanya.

Fachrizal Lubis (2010) Penerapan Yurisdiksi Unversal Melalui Mekanisme Ekstradisi Atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) permasalahan dalam penelitian ini adalah: Penerapan Yurisdiksi Universal, B. Ekstradisi Atas Pelaku Kejahatan Pada Umumnya, C. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity)dan Penerapan Yurisdiksi Universal Melalui Mekanisme Ekstradisi Proses Peradilan Atas Pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) Oleh Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) Berdasarkan Yurisdiksi Universal.

E. Tinjauan Pustaka

1. Berdirinya Suatu Negara.

Sebagaimana diketahui dalam literatur-literatur ketatanegaraan khususnya yang membahas tentang ilmu negara menyebutkan bahwa syarat-syarat berdirinya suatu negara itu harus memenuhi tiga unsur pokok negara, yaitu adanya suatu wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat. Ketiga unsur tersebut sudah


(16)

dipenuhi oleh negara-negara yang sudah berdiri dan ada pada saat ini. Dengan kata lain, tidak ada satu pun negara yang ada di dunia sekarang ini yang tidak me-menuhi ketiga unsur tersebut.

Unsur wilayah di sini tidak terbatas pada wilayah daratan saja, namun termasuk juga wilayah laut dan udara. Di dunia ini ada negara yang tidak memiliki wilayah laut namun tidak satu pun negara yang tidak memiliki ruang udara. Dalam hukum Romawi, ada suatu adagium yang menyebutkan, bahwa "Cujus est soluni, ejus est usque ad coelum". Artinya, “barang siapa yang memiliki sebidang tanah maka ia juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah”.

Menurut dalil tersebut, apabila suatu negara memiliki tanah maka dengan sendirinya negara itu akan memiliki ruang udara di atasnya. Ternyata, dalil tersebut masih bersifat umum dan ada ketentuan lain yang bersifat lebih khusus sebagai ketentuan pengecualiannya. Ketentuan pengecualian itu menyatakan bahwa udara sebagai unsur "res communis". Kata "aerrescommunis" dijumpai dalam kalimat "corpus juris civilis"6

2. Teori Kepemilikan ruang udara.

Pada tahun 1913 muncul dua teori yaitu :

a. The Air Freedom Theory menyatakan bahwa udara dapat menjadi bebas karena sifat yang dimilikinya (by its nature is free dan dapat dikelompokkan menjadi:7

      

6

Priyatna, 1972:49 7


(17)

1) Kebebasan ruang udara tanpa batas.

2) Kebebasan ruang udara yang dilekati beberapa hak khusus negara kolong.

3) Kebebasan ruang udara tetapi diadakan semacam wilayah teritorial di daerah mana hak-hak tertentu negara kolong dapat dilaksanakan.

b. The Air Sovereignty Theory dapat dikelompokkan menjadi:

1) Negara kolong berdaulat penuh hanya terhadap suatu ketinggian tertentu di ruang udara

2) Negara kolong berdaulat penuh tetapi dibatasi oleh hak lintas damai bagi navigasi pesawat-pesawat udara asing.

3) Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas.

Teori kedua merupakan kebalikan dari teori pertama yang menyatakan bahwa udara itu tidak bebas sehingga negara berdaulat terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya. Dalam Teori kedua tampaknya sudah ada pembatasan negara atas wilayah udara, yaitu adanya hak lintas damai (innocent passage) bagi pesawat udara asing. Dengan demikian, apabila ada pesawat udara asing yang terbang di ruang udara suatu negara maka akan mempunyai risiko yang berbeda sesuai teori mana yang dianutnya, apakah teori udara bebas atau teori udara tidak bebas.

3. Teori-teori lain

International Air Transport Agreement. Pada Pasal 1 ayat (1) International Air Transport Agreement 1944 menyatakan:

"Each contracting State grants to the other contracting State the Following freedoms of the air in respect of scheduled international air services :


(18)

1) The privilege to fly across its territory with out landing. 2) The privilege to land for non traffic purposes

3) The privilege to put down passengers, mail and cargo taken on in territory of the state whose nationality the aircraft possesses.

4) The privilege to take on passengers, mail and cargo destined for the territory of the state whose nationality the aircraft possesses.

5) The privilege to take on passengers, mail and cargo destined for the territory of any other contracting state and the privilege to put down passengers, mail and cargo coming from any such territory...",

Ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan International Air Transport Agreement tersebut dikenal juga dengan The Five Freedom Agreement. Selain itu, dalam Pasal 5 dan 6 Konvensi Chicago 1944 diatur tentang Non Scheduled Flight dan Scheduled Flight. Dengan demikian, akan timbul beberapa masalah antara teori-teori yang ada dengan ketentuan-ketentuan mengenai penerbangan pesawat udara, khususnya penerbangan pesawat udara asing.

Permasalahan yang dapat timbul antara lain bagaimanakah kaitan antara kedaulatan suatu negara atas ruang udara di atasnya dengan kebebasan melintas yang dimiliki oleh pesawat asing sesuai perjanjian-perjanjian yang mengaturnya; bagaimana pula kaitannya dengan ketentuan mengenai non scheduled flight dan scheduled flight

4. Konvensi Chicago 1944.

Pada Bagian 1 Air Navigation bab 1 General Principles and Application of the Convention, Article 1 Sovereignty. “The contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory”, berarti bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang penuh dan mutlak atas ruang udara di atas wilayah teritorialnya. Yang berarti bahwa diruang


(19)

udara tidak dikenal “hak lintas damai” (innocent Passage). Hal ini akan sangat bertentangan dengan prinsip yang dituangkan dalam Unclos tahun 1982 yang mengenal adanya hak lintas damai bagi semua pesawat udara yang akan melintas. Sehingga dengan adanya pertentangan tersebut haruslah diambil jalan keluar agar antara satu aturan dapat disesuaikan dengan aturan-aturan yang ada lainnya.

Konvensi Chicago 1944 pada prinsipnya sangat menjunjung tinggi kedaulatan negara, termasuk atas wilayah udaranya. Akan tetapi, untuk kepentingan bersama masyarakat internasional, konvensi itu dengan panjang lebar mengatur sangat rinci aturan-aturan yang terkait dengan penerbangan dan lalu lintas penerbangan di dunia, khususnya penerbangan sipil, tetapi dalam lampirannya diatur juga mengenai koordinasi penerbangan militer.

Pada Article 5, non-scheduled flight “ Each contracting State agrees that all aircraft of the other contracting States, being aircraft not engaged in scheduled international air services shall have the right, subject to the observance of the terms of this Convention, to make flights into or in transit non-stop across its territory and to make stops for non-traffic purposes without the necessity of obtaining prior permission, and subject to the right of the State flown over to require landing. Each contracting State nevertheless reserves the right, for reasons of safety of flight, to require aircraft desiring to proceed over regions which are inaccessible or without adequate air navigation facilities to follow prescribed routes, or to obtain special permission for such flights. Such aircraft, if engaged in the carriage of passengers, cargo, or mail for remuneration or hire on other than scheduled international air services, shall also, subject to the provisions of Article 7, have the privilege of taking on or discharging passengers, cargo, or mail, subject to the right of any State where such embarkation or discharge takes place to impose such regulations, conditions or limitations as it may consider desirable”.

Dalam Pasal 5 di atas dijelaskan tentang Penerbangan tidak berjadwal (Non schedule Flight) sebagai berikut :

a. Bagi sesama anggota Konvensi, dapat terbang tanpa berhenti, dan atau mendarat bukan untuk kepentingan komersial (for non traffic purposes)


(20)

dengan tanpa ijin terlebih dahulu, namun Negara yang dilewati berhak meminta untuk mendarat.

b. Dapat mendarat tanpa maksud tujuan komersial dengan tanpa ijin terlebih dahulu, karena alasan keselamatan penerbangan (for reason of safety of flight) dan Negara anggota memberikan hak kepada pesawat itu untuk melanjutkan terbang kembali.

c. Bagi pesawat tidak berjadwal yang bersifat komersial, setiap negara berhak menetapkan aturan-aturan atau persyaratan-persyaratan yang dipandang perlu.

Pada Article 6 tentang Scheduled air services “ No scheduled international air service may be operated over or into the territory of a contracting State, except with the special permission or other authorization of that State, and in accordance with the terms of such permission or authorization “.

Dalam Pasal 6 dijelaskan tentang penerbangan secara berjadwal yang menyatakan bahwa tidak satupun penerbangan berjadwal beroperasi di atas atau ke dalam wilayah territorial Negara sesama anggota konvensi, kecuali dengan adanya special permission /perjanjian bilateral /multilateral (Perjanjian tersebut dibuat dengan melibatkan antara Negara yang akan dilewati/ didarati dengan suatu prinsip timbal balik).

Konvensi itu dihasilkan dari kesadaran risiko bahaya dari moda transportasi udara, yang jauh lebih tinggi dari modatransportasi lainnya. Oleh karena itulah, dalam dunia penerbangan diatur sangat rinci, antara lain, mengenai jalur-jalur penerbangan yang harus dipatuhi semua pesawat sebagai diatur dalam


(21)

Enroute Charts ICAO, serta siapa yang diberi kewenangan untuk mengawasi dan mengatur lalu lintas penerbangan di suatu kawasan melalui penetapan flight information region (FIR).

Sejak konvensi itu dibuat hingga industri penerbangan sipil yang maju semakin pesat sejak 1970-an, wilayah udara dunia telah diatur sedemikian rupa oleh ICAO (International Civil Aviation Organization) berdasarkan berbagai faktor, antara lain ketersediaan berbagai fasilitas pendukung transportasi udara di masing-masing wilayah. Oleh karena itu, pengaturan lalu lintas udara sejak awal memang tidak sangat berpatokan pada wilayah kedaulatan suatu negara, tetapi juga tidak lantas menghilangkan kedaulatan suatu negara atas wilayah udaranya.

Hal itulah yang membuat tidak seluruh wilayah kedaulatan RI, FIR-nya diatur oleh Jakarta. Sebagian wilayah RI, khususnya di sekitar Kepulauan Riau, FIR-nya diatur oleh Singapura. Bukan hanya Indonesia yang sebagian wilayahnya masuk dalam FIR negara lain. Banyak negara lain di dunia pun mengalaminya, bahkan Indonesia pun memegang FIR untuk Pulau Christmas milik Australia, wilayah Papua Niugini dan Timor Leste yang belum lama merdeka. Artinya, pesawat Australia yang akan terbang dari Sydney ke Pulau Christmas, misalnya, melapornya harus ke Indonesia. Kenyataan tersebut menegaskan bahwa masalah alur dan pengaturan penerbangan tidak bisa sepenuhnya dikaitkan dengan kedaulatan negara.

Dalam Konvensi Chicago Pasal 9 ditetapkan, setiap negara (sebagai wujud dari kedaulatannya) berhak menetapkan wilayah-wilayah yang dinyatakan


(22)

terlarang untuk penerbangan, baik karena alasan kebutuhan militer maupun keselamatan publik. Indonesia pun memiliki "wilayah terlarang" tersebut.

Terkait Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) RI-Singapura yang sudah ditandatangani di Bali tetapi belum secara resmi berlaku, memang ada kekhawatiran bahwa ditetapkannya beberapa wilayah RI sebagai tempat latihan untuk pesawat-pesawat militer Singapura akan membuat akses penerbangan RI melalui wilayah itu ditutup. Terlebih lagi ada isu bahwa frekuensi latihan pesawat-pesawat militer Singapura itu akan sangat sering sehingga dikhawatirkan Indonesia kehilangan "kontrol" atas wilayah-wilayah yang dipinjamkan kepada Singapura itu.

Antara RI dan Singapura sejak era 1980-an telah ada kesepakatan mengenai penggunaan wilayah RI untuk tempat berlatih angkatan bersenjata Singapura. Kerja sama terakhir kedua negara yang tertuang dalam Persetujuan mengenai Latihan Militer (MTA) di Area 1 dan 2 yang ditandatangani Menteri Pertahanan dan Keamanan RI Edi Sudrajat dan Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan Singapura Dr Tony Tan pada September 1995, areanya tidak banyak berbeda dengan apa yang disebut Alpha 1 dan Alpha 2 dalam DCA RI-Singapura yang belum berlaku itu.

5. UU no 15 tahun Undang-Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 1992. Menurut UU no 15 tahun Undang - Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 1992 Tentang Penerbangan pasal 4 bahwa “Negara Republik Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udara Republik Indonesia” . Hal ini berarti Sebagai negara berdaulat, Republik Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan


(23)

utuh di wilayah udara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Ketentuan dalam pasal ini hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara Republik Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah dirgantara Indonesia, sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah Republik Indonesia secara menyeluruh tetap berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia.

Kemudian pada Pasal 5 dinyatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, penerbangan, dan ekonomi nasional. Wilayah udara yang berupa ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional sehingga harus dimanfaatkan bagi sebesar-besar kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.

6. UNCLOS III 1982

Territorial sea and Continous Zone , Section 1. General Provision, Article 2 Legal Status of the territorial sea, of the air space over the territorial sea and of its bed and subsoil.

1. The souvereignity of coastal state extends, beyond its territory and internal waters and, in the case of an archipelagic state, its archipelagic waters, to an adjaeent belt of sea, described as the territorial sea.


(24)

2. This soverignity extends to the air space over the territorial sea as well as to itsbed and subsoil.

Dalam Pasal 2 tentang Status hukum laut teritorial, ruang udara di atas laut teritorial dan dasar laut serta tanah di bawahnya.

1. Kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan, dalam hal suatu Negara Kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya dinamakan laut territorial.

2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut territorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya.

Dalam Pasal 49, dijelaskan lingkup kedaulatan suatu negara sebagai berikut :

1. Kedaulatan suatu Negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan, yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal 47, disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.

2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas perairan kepulauan, juga dasar laut dan tanah di bawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Namun di dalam negara yang berdaulat tersebut harus diberikan hak lintas alur laut bagi kapal maupun rute penerbangan bagi pesawat udara negara lain. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 53 sebagai berikut : Hak Lintas alur laut kepulauan (innocent Passage)


(25)

1. Suatu Negara kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat udara yang terus menerus dan langsung serta secepat mungkin melalui atau di atas perairan kepulauannya dan laut teritorial yang berdampingan dengannya. 2. Semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas alur laut kepulauan

dalam alur laut dan rute penerbangan demikian.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Eksistensi rangkaian suatu metode penelitian dapat diawali dari penentuan jenis penelitiannya, dimana jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah Penelitian Normatif atau disebut juga sebagai penelitian doktrinal. Penelitian normatif, adalah merupakan penelitian pustaka, sehingga dalam pengumpulan data-data penulis tidak perlu mencari langsung ke lapangan akan tetapi cukup dengan pengumpulan data sekunder yang kemudian dikonstruksikan dalam satu rangkaian hasil penelitian.

Penelitian normatif sebagai studi pustaka, pada dasarnya adalah berfungsi untuk menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian.8Dalam penulisan hukum ini menggunakan penelitian hukum normatif (doktrin) yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian normatif yang dapat diartikan sebagai suatu prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan mengambarkan atau melukiskan keadaan

      

8

Bambang Sunggono.Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada.1996. hal 112


(26)

objek atau subjek yang diteliti pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.9

2. Jenis Data

Dalam penelitian hukum normatif ini jenis data digunakan adalah data sekunder yaitu, data yang dikumpulkan oleh orang lain. Pada waktu penelitian dimulai data telah tersedia, atau dapat disebut sebagai data given begitu adanya karena tidak diketahui metode pengambilannya dan validitasnya.10

Dimana data sekunder yang dimaksud adalah data yang memberikan informasi terkait mengenai yuridiksi wilayah udara suatu negara. Dalam penelitian ini penulis memperoleh data dari studi kepustakaan, berupa literature, majalah, koran, makalah, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, korespondensi, dan semua bahan sekunder lainnya yang terkait dengan penelitian ini.

3. Sumber Data

Penelitian hukum normatif berdasarkan ketentuan jenis data yang digunakan adalah data sekunder meliputi 3 (tiga) sumber bahan hukum yaitu sebagai berikut:

1). Bahan Hukum Primer,

Berupa bahan hukum yang bersifat mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah yang dapat berupa, norma dasar atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi,

      

9

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. 1984. hal 43 10


(27)

yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari zaman kolonial belanda yang masih berlaku.11

2). Bahan Hukum Sekunder,

Bahan yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, dimana dalam penelitian ini sumber bahan sekunder berasal dari buku-buku ilmiah, hasil penelitian terdahulu, makalah-makalah ilmiah, korespondensi, dan dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini.

Dalam penelitian ini dokumen-dokumen, makalah, atau karya tulis daripenulis terdahulu, adalah berasal dari arsip yang dimiliki oleh Departemen Luar Negeri RI, dan Departemen Dalam Negeri RI, yang memberikan informasi mengenai yuridiksi wilayah udara suatu negara

3). Bahan Hukum Tersier,

Bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan mengenai bahan Hukum Primer dan Sekunder yang berupa Ensiklopedia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, dan Bibliografi.

4. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam suatu penelitian ada banyak macamnya tergantung pada masalah yang dipilih serta metode penelitian yang digunakan.12 Sesuai dengan yang telah ditegaskan sebelumnya bahwa jenis penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif, sehingga data-data yang digunakan adalah data sekunder diperoleh dari membaca, mengkaji, dan menelaah data yang berasal dari buku-buku, literature, makalah, dokumen-dokumen, Koran, majalah, karya tulis       

11

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali.1985. hal 14-15

12


(28)

ilmiah, serta berbagai sumber kajian yang mengulas mengenai penentuan dan penetapan garis batas landas kontinen oleh penulis dikaitkan dengan ketentuan yang diaplikasikan pada yuridiksi wilayah udara suatu negara dalam perspektif hukum internasional

5. Analisis Data

Pada penelitian Hukum Normatif yang menelaah data sekunder, penulis disini menggunakan teknik analisis logis, sistematis, dan yuridis, untuk mengolah data-data yang telah dikumpulkan, dianalisis, dan disimpulkan, guna mencapai tujuan dari penelitian yaitu untuk mencari jawaban dari rumusan masalah yang diteliti, agar hasil dari penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini membahas tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan

BAB II YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA

Pada bab ini akan membahas tentang Pengertian Kedaulatan Negara, Pengertian Yurisdiksi, Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional, Macam-Macam Yurisdiksi Negara dan Kedaulatan dan Yurisdiksi di Wilayah Perairan dan Udara


(29)

BAB III PRINSIP HUKUM UDARA YANG DIANUT BANGSA-BANGSA DI DUNIA (INTERNASIONAL).

Pada bab ini akan membahas tentang Sejarah Munculnya Hukum Udara Internasional, Prinsip-prinsip Hukum Udara Internasional, Pembatasan Yurisdiksi Negara berdasarkan Piagam Organisasi Internasional dan Sukhoi TNI-AU Cegat Cessna Milik Amerika BAB IV YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA DALAM

PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Pada bab ini akan membahas Pengertian Perbatasan Negara, Klasifikasi Perbatasan Negara Penetapan Perbatasan Negara dan Prinsip dan Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Negara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan membahas kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini, sedangkan saran yang ada diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para pembacanya dan dapat berguna bagi pihak-pihak yang terlibat dalam yuridiksi wilayah udara suatu negara


(30)

BAB II

YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA

F. Pengertian Kedaulatan Negara

Asal kata kedaulatan yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah souvereignity berasal dari kata Latin superanus berarti yang teratas. Negara dikatakan berdaulat atau souvereign karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki Negara. Bila dikatakan bahwa Negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa Negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi. Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi. Negara berdaulat memang berarti bahwa Negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari pada kekuasaannya sendiri. Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas wilayah Negara itu, artinya suatu Negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya.

Jadi pembatasan yang penting ini yang melekat pada pengertian kedaulatan itu sendiri dilupakan oleh orang yang beranggapan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh suatu Negara menurut paham kedaulatan itu tidak terbatas. Bahwa kedaulatan suatu Negara terbatas dan bahwa batas ini terdapat dalam kedaulatan Negara lain merupakan konsekuensi yang logis dari paham kedaulatan sendiri. Dilihat secara demikian, paham kedaulatan tidak usah bertentangan dengan adanya suatu masyarakat internasional yang terdiri dari

Negara-negara yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri atau dengan perkataan lain merdeka (independent) yang satu dari yang lainnya. Suatu akibat paham kedaulatan dalam arti yang terbatas ini selain kemerdekaan (independence)


(31)

juga paham persamaan derajat (equality). Artinya, bahwa Negara-negara yang berdaulat itu selain masing-masing merdeka, artinya yang satu bebas dari yang lainnya, juga sama derajatnya satu dengan yang lainnya.

Dalam hukum internasional dijelaskan bahwa imunitas negara berkaitan dengan ketentuan-ketentuan hukum dan prinsip-prinsip hukum yang menentukan kondisi-kondisi dimana suatu negara asing dapat meminta pembebasan yurisdiksi (wewenang legislatif, yudisial dan administratif) dari negara lainnya (seringkali disebut dengan istilah “forum stat)”.13

Dari sudut istilah, imunitas negara memiliki arti bahwa terhadap setiap negara berdaulat, yurisdiksi negara lain tidak bisa diperlakukan kepadanya atau dengan kata lain secara khusus pengadilan suatu negara tertentu tidak dapat mengadili negara lain. Hal tersebut dikarenakan menurut hukum internasional setiap negara mempunyai kedaulatan dan persamaan kedudukan. Oleh karena itu adalah tidak sepantasnya atau tidak benar hakim-hakim satu negara mengadili negara lain sebagai tergugat.14 Kedudukan hakim lebih tinggi dari tergugat dan hal tersebut bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan tersebut diatas. Selanjutnya dalam hukum internasional dikenal suatu prinsip yang mengatakan ‘par in parem non hebat yurisdcsionem”, yang artinya bahwa setiap Negara mempunyai kedudukan yang sama dan sejajar, tidak ada satu negara yang melaksanakan yurisdiksinya terhadap negara lain tanpa dengan persetujuan negara lain tersebut.

      

13

Peter Malanczuk, op. Cit., hal 118. 14


(32)

Dengan demikian, adanya kekebalan negara dipengaruhi oleh dua hal, yaitu kedaulatan negara (state sovereignty) dan persamaan kedudukan antar negara (equality of the states). Berdasarkan ajaran kedaulatan ini maka dalam setiap wilayah atau Negara hanya berlaku satu macam hukum, yaitu hukum dari negara yang memiliki kedaulatan di wilayahnya tersebut. Hukum itu berlaku baik terhadap orang-orang, benda-benda maupun perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan disana.15

Bagaimana suatu negara akan mengatur wilayahnya tidak dapat dicampuri oleh negara lain tanpa persetujuannya. Ini adalah prinsip teritorial, yang memberikan kepada setiap bangsa (negara) hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Adapun dasar hukum dari persamaan kedaulatan dan kedudukan Negara dapat ditemukan dalam pasal 1 ayat (2) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai tujuan organisasi ini yaitu, untuk memajukan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa berdasarkan penghargaan atas asas persamaan hak dan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasal 2 ayat (1) nya lebih lanjut menyatakan bahwa organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini berlandaskan pada asas-asas persamaan kedaulatan dari semua anggota-anggotanya. Imunitas negara dari intervensi badan-badan peradilan negara lain pada hakekatnya meliputi imunitas dari yurisdiksi (immunity from jurisdiction) dan imunitas dari eksekusi (immunity from execution). Imunitas dari yurisdiksi asing berarti suatu negara yang berdaulat tidak tunduk ke dalam yurisdiksi negara lain atau kebal terhadap yurisdiksi negara asing. Sementara, yang dimaksud dengan kekebalan       

15

Sudargo Gautama, Hukum Prdata Internasional Indonesia, Buku I, cet ke-7, Jakarta: Binacipta, 1988 hal. 141.


(33)

dari eksekusi pengadilan negara asing terutama berkenaan dengan hak milik dari negara yang berdaulat yang terletak di luar batas-batas wilayah negaranya. Artinya, hak milik dari suatu negara berdaulat yang berada dalam wilayah negara asing akan kebal dari eksekusi pengadilan negara tersebut.16

G. Pengertian Yurisdiksi

Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki jurisdiksi,17 persamaan derajat negara dimana kedua negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi (wewenang) terhadap pihak lainnya (equal states don’t have jurisdiction over each other)18, dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain. Prinsip-prinsip tersebut tersirat dari prinsip hukum „par in parem non habet imperium”.19

Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum “par in parem non habet imperium” ini memiliki beberapa pengertian. Pertama, suatu negara tidak dapat melaksanakan jurisdiksi melalui pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali negara tersebut menyetujuinya. Kedua, suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut. Ketiga, pengadilan suatu negara tidak berhak       

16

Peter Malanczuk, Op. Cit., hal. 118. 17

Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Bandung : Penerbit Nusamedia, 2007, hal.56.

18

Ibid, hal.57 19

Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal.183.


(34)

mempersoalkan keabsahan tindakan suatu negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya.20

Kata “yurisdiksi” sendiri dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris “Jurisdiction”. “Jurisdiction” sendiri berasal dari bahasa Latin “Yurisdictio”, yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan menurut hukum, dan diction yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman. Jadi, dapat disimpulkan yurisdiksi berarti :

a. Kepunyaan seperti yang ditentukan oleh hukum. b. Hak menurut hukum.

c. Kekuasaan menurut hukum. d. Kewenanagan menurut hukum.

Secara singkat dan sederhana, yurisdiksi dapat diartikan sebagai kepunyaan seperti apa yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum atau dengan singkat dapat diartikan “kekuasaan atau kewenangan hukum” atau “kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum”. Didalamnya tercakup “hak”, “kekuasaan”, dan “kewenangan”. Yang paling penting adalah hak, kekuasaan, dan kewenangan tersebut didasarkan atas hukum, bukan atas paksaan, apalagi berdasarkan kekuasaan.

Anthony Csabafi, dalam bukunya “The Concept of State Jurisdiction in International Space Law” mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi negara dengan menyatakan sebagai berikut : “Yurisdiksi negara dalam hukum internasional berarti hak dari suatu negara untuk mengatur dan mempengaruhi       

20


(35)

dengan langkah-langkah dan tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri”.21 Berdasarkan pengertian yang dikemukakan di atas, yang termasuk dalam unsur-unsur yurisdiksi negara adalah :

1. Hak, kekuasaan, dan kewenangan.

2. Mengatur (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).

3. Obyek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, dan benda).

4. Tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri (not exclusively of domestic concern).

5. Hukum internasional (sebagai dasar/landasannya).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisdiksi memiliki 2 (dua) pengertian, yaitu:22

1. Kekuasaan mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan;

2. Lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah atau lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum.

Huala Adolf, yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap orang, benda, atau peristiwa (hukum).23 Yurisdiksi menyebabkan suatu negara mempunyai hak terhadap seseorang, benda, peristiwa hukum yang ada dalam suatu negara ataupun yang ada di luar negara tersebut.

      

21

Anthony Csabafi, The Concept of State Jurisdiction in International Space Law, The Hague, 1971, hal.45

22

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Jakarta : Balai Pustaka, 2005, hal.1278.

23


(36)

H. Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional

Setiap negara berdaulat yang telah diakui pasti memiliki yurisdiksi untuk menunjukkan kewibawaannya pada rakyatnya atau pada masyarakat internasional. Diakui secara universal baik setiap negara memiliki kewenangan untuk mengatur tindakan-tindakan dalam teritorinya sendiri dan tindakan lainnya yang dapat merugikan kepentingan yang harus dilindunginya.

Dalam kaitannya dengan prinsip dasar kedaulatan negara, suatu negara yang berdaulat menjalankan yurisdiksi/kewenangannnya dalam wilayah negara itu.24 Berdasarkan kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan, atau kewenangan negara untuk mengatur masalah intern dan ekstern. Dengan kata lain dari kedaulatannya itulah diturunkan atau lahir yurisdiksi negara. Dengan hak, kekuasaan, atau dengan yurisdiksi tersebut suatu negara mengatur secara lebih rinci dan jelas masalah-masalah yang dihadapinya sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan negara itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hanya negara berdaulat yang dapat memiliki yurisdiksi menurut hukum internasional.25

Adakalanya yurisdiksi itu harus tunduk kepada pembatasan tertentu yang ditetapkan oleh hukum internasional. Dalam hal ini yang dimaksud adalah “hak-hak istimewa ekstrateritorial”, yakni suatu istilah yang dipakai untuk melukiskan suatu keadaan dimana status seseorang atau benda yang secara fisik terdapat di dalam suatu wilayah negara, tetapi seluruhnya atau sebagian dikeluarkan dari yurisdiksi negara tersebut oleh ketentuan hukum internasional.

      

24

Ibid. hal 70 25


(37)

Yurisdiksi dapat digolongkan ke dalam prinsip-prinsip jurisdiksi berikut : 1. Yurisdiksi teritorial.

Menurut prinsip yurisdiksi teritorial, negara mempunyai yurisdiksi terhadap semua persoalan dan kejadian di dalam wilayahnya. Prinsip ini adalah prinsip yang paling mapan dan penting dalam hukum internasional. Menurut Hakim Lord Macmillan suatu negara memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda, perkara-perkara pidana atau perdata dalam batas-batas wilayahnya sebagai pertanda bahwa negara tersebut berdaulat. Pernyataan beliau berbunyi demikian: “It is essebtial attribute ofthe sovereignity, of this realm, as of all sovereign independent states, that it should posses jurisdiction over all persons and things within its territorial limits and in all causes and criminal arisingwithin these limits.”26

Ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, seperti semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas teritorial ini.27

Prinsip teritorial ini terbagi atas dua : suatu tindak pidana yang dimulai di suatu negara dan berakhir di negara lain. Misalnya seorang yang menembak di daerah perbatasan negara A melukai seorang lainnya di wilayah negara B. Dalam keadaan ini, kedua negara memiliki yurisdiksi. Negara, dimana perbuatan itu dimulai (A), memiliki yurisdiksi menurut prinsip teritorial subyektif(subjective

      

26

Ibid. hal 186 27


(38)

territorial principle). Negara dimana tindakan tersebut diselesaikan (B), memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip teritorial obyektif (objective territorial principle).28 Dari uraian di atas tampak terdapat hubungan yang sangat erat antara wilayah suatu negara dengan kewenangan yurisdiksinya. Menurut Glanville Williams, hubungan yang erat tersebut dapat dijelaskan karena adanya faktor-faktor berikut:

1. Negara dimana suatu perbuatan tindak pidana kejahatan dilakukan biasanya mempunyai kepentingan yang paling kuat untuk menghukumnya. 2. Biasanya si pelaku kejahatan ditemukan di negara tempat ia melakukan

tindak pidana.29

3. Biasanya, pengadilan setempat (local forum) dimana tindak pidana terjadi adalah yang paling tepat, karena saksi-saksi (dan mungkin barang buktinya) dapat ditemukan di negara tersebut.

4. Adanya fakta bahwa dengan tersangkutnya lebih dari satu sistem hukum yang berbeda, maka akan janggal bila seseorang tunduk pada dua sistem hukum.30

Menurut hasil penelitian Universitas Harvard, pertimbangan lain dalam menerapkan yurisdiksi teritorial ini adalah bahwa negara dimana si pelaku tindak pidana itu berada memiliki kepentingan, fasilitas, dan pejabat yang paling

      

28

Ibid. hal 187 29

Ibid. hal 187 30


(39)

berkompeten untuk menangani tindak pidana baik yang dilakukan oleh warga negaranya maupun oleh warga negara asing.31

Meskipun yurisdiksi berkaitan erat dengan wilayah, namun keterkaitan ini tidaklah mutlak sifatnya. Negara-negara lain pun dapat mempunyai yurisdiksi untuk mengadili suatu perbuatan yang dilakukan di luar negeri. Disamping itu, ada beberapa orang (subyek hukum) tertentu memiliki kekebalan terhadap yurisdiksi wilayah suatu negara meskipun mereka berada di dalam negara tersebut.32

Hubungan antara yurisdiksi dengan wilayah dalam kaitannya dengan suatu tindak pidana (kejahatan) tampak dalam sengketa terkenal the Lotus Case.dalam sengketa ini, kapal uap Prancis, the Lotus, bertabrakan dengan kapal Turki the Boz-Kourt di laut lepas. Kapal Turki tenggelam dan menewaskan 8 pelaut dan penumpangnya. Menghadapi insiden ini, pejabat Turki menahan awak kapal the Lotus ketika kapal ini merapat di pelabuhan Turki. Mereka dituduh telah melakukan pembunuhan (pembantaian) terhadap para awak Turki. Pihak Prancis memprotes keras atas tindakan pemerintah Turki tidak memilih yurisdiksi untuk mengadili perkara tersebut. Sengketa ini lalu diserahkan ke Mahkamah Internasional Permanen untuk mengadili apakah ada ketentuan-ketentuan hukum internasional yang melarang Turki melaksanakan yurisdiksinya. Dari hasil penyelidikan, mahkamah berpendapat bahwa suatu negara tidak dapat

      

31

JG Starke, Introduction to International Law, (London : Butterworth, 9th ed, 1984), hal.201.

32


(40)

melaksanakan kekuasaan di luar wilayahnya.33 Pernyataan Mahkamah berbunyi sebagai berikut :

the first and foremost restriction imposed by international law upon a state is that-failing the existence of a permissive rule to the contrary-it may not exercise its power in any form in the territory of another state.”34

Mahkamah menolak argumentasi Prancis bahwa negara benderalah yang memiliki yurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas. Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada ketentuan tentang hal ini dalam hukum internasional dan menyatakan pula bahwa kerusakan terhadap kapal Turki sama saja dengan kerusakan terhadap wilayah Turki. Hal ini memungkinkan Turki melaksanakan yurisdiksinya berdasarkan prinsip teritorial obyektif. Namun, lanjut pengadilan, hal tersebut tidak berarti bahwa hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan yurisdiksi di dalam wilayahnya sehubungan dengan setiap perkara (sengketa) yang terjadi di luar negeri.35

Dari sengketa ini dapat disimpulkan bahwa prinsip yurisdiksi teritorial dapat pula berlaku terhadap kejahatan yang dilakukan tidak hanya di wilayah negara yang bersangkutan, tapi juga dalam atau di luar laut teritorial, yakni terhadap sengketa-sengketa tertentu yang terjadi di jalur tambahan atau di lau lepas yaitu manakala negara tersebut adalah negara bendera kapal.36

      

33

Ibid. hal 188 34

Ibid, hal.189 35

Ibid 36


(41)

Prinsip teritorial ini berlaku pada hal-hal berikut ini : a. Hak Lintas Damai di Laut teritorial.

Prinsip yurisdiksi teritorial yang dimiliki oleh suatu negara (pantai) telah diakui sejak lama. Pengakuan dan pengaturan yurisdiksi negara pantai tampak dalam hasil Konferensi Kodifikasi Hukum laut Den Haag 1930,37 dimana diakui adanya dua macam yurisdiksi negara pantai atas kapal laut yang berlayar di laut teritorialnya, yaitu yurisdiksi pidana dan yurisdiksi perdata. Hasil konferensi ini dipertegas kembali oleh Konvensi Hukum laut Jenewa 1958 tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan. Dalam Konvensi Hukum laut 1982, pengakuan dan pengaturan terhadap yurisdiksi (kriminal dan perdata) negara pantai terdapat dalam pasal 27 dan 28.38

b. Kapal Berbendera Asing di Laut teritorial.

Kapal perang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial hanya tunduk kepada yurisdiksi legislatif (legislative jurisdiction) negara pantai. Artinya, kapal-kapal itu pun tunduk kepada kewajiban untuk menghormati perundang-undangan negara pantai dan hukum kebiasaan internasional.39

Sepanjang menyangkut kapal perang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial, terdapat teori mengenai kapal-kapal ini, yakni :

      

37

Huala Adolf, Op. Cit, hal 189 38

Ibid. hal 190 39


(42)

1. Teori Pulau Terapung‟ (the Floating Island Theory). Menurut teori ini, kapal-kapal tersebut harus diperlakukan oleh negara lain sebagai bagian dari wilayah negara. Menurut teori ini, yurisdiksi pengadilan tidak berlaku terhadap setiap tindakan yang dilakukan diatas kapal atau menahan seseorang yang melakukan kejahatan di atas kapal tersebut.

2. Teori yang menyatakan bahwa pengadilan negara pantai memberikan kekebalan (imunitas) tertentu kepada kapal asing beserta wakilnya. Pemberian ini bukan berdasarkan pada teori obyektif yang menyatakan bahwa kapal perang/negara itu adalah wilayah negara asing, tapi didasarkan pada pembebasan atau pengecualian yang diberikan oleh undang-undang negara pantai. Pengecualian ini sifatnya bersyarat dan karenanya dapat ditarik kembali oleh negara pantai tersebut.40

c. Pelabuhan.

Pelabuhan adalah salah satu bagian dari perairan pedalaman. Karena di perairan pedalaman ini suatu negara berdaulat penuh, maka kedaulatan penuh ini berlaku di pelabuhan-pelabuhannya. Suatu kapal asing yang memasuki pelabuhan suatu negara, maka kapal tersebut berada dalam kedaulatan teritorial suatu negara pantai. Karena itu pula negara pantai berhak untuk menegakkan hukumnya terhadap kapal dan awaknya. Di pelabuhan, negara pantai memiliki yurisdiksi terhadap setiap tindak pidana yang mengganggu perdamaian dan ketertiban negara

      

40


(43)

pantai.41 Negara pantai dapat pula menerapkan yurisdiksi teritorial apabila diminta atau dikehendaki oleh kapten atau konsul dari negara bendera kapal.42

d. Orang asing.

Yurisdiksi teritorial suatu negara terhadap orang asing sama halnya yurisdiksi teritorial negara terhadap warga negaranya. Tidak ada perlakuan khusus yang diberikan kepada orang asing. Namun demikian, seorang warga negara asing dapat meminta pembebasan dari yurisdiksi teritorial suatu negara dalam hal berikut :

1. Dengan adanya imunitas tertentu, orang asing itu menjadi tidak tunduk kepada hukum nasional negara pantai; atau

2. Bahwa hukum nasional negara tersebut tidak sejalan dengan hukum internasional.43

2. Yurisdiksi Personal.

Menurut prinsip yurisdiksi personal, suatu negara dapat mengadili warga negaranya karena kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga. Sebaliknya, adalah kewajiban negara untuk memberikan perlindungan diplomatik kepada warga negaranya di luar negeri. Ketentuan ini telah diterima secara universal.44

Menurut praktek internasional dewasa ini, yurisdiksi terhadap individu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip berikut:45

      

41 Ibid 42

Ibid. hal 193 43

Huala Adolf, Op. Cit, hal 189 44

Ibid. hal 211 45


(44)

a. Prinsip nasionalitas aktif.

Menurut prinsip ini negara dapat melaksanakan yurisdiksi terhadap warga negaranya. Semua prinsip lain yang berkaitan dengan hal ini adalah negara tidak wajib menyerahkan warga negaranya yang telah melakukan suatu tindak pidana ke luar negeri.

b. Prinsip nasionalitas pasif.

Prinsip ini membenarkan negara untuk menjalankan yurisdiksi apabila seorang warga negaranya menderita kerugian. Dasar pembenaran prinsip nasionalitas ini adalah bahwa setiap negara berhak melindungi warga negaranya di luar negeri , dan apabila negara teritorial di mana tindak pidana itu terjadi tidak menghukum orang yang menyebabkan kerugian tersebut, maka negara asal korban berwenang menghukum tindak pidana itu, apabila orang itu berada di wilayahnya.

3. Yurisdiksi menurut Prinsip Perlindungan

Berdasarkan prinsip yurisdiksi perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga-warga asing yang melakukan kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas, dan kemerdekaan negara.46 Penerapan prinsip ini dibenarkan sebagai dasar untuk penerapan yurisdiksi suatu negara. Latar belakang pembenaran ini adalah perundang-undangan nasional pada umumnya tidak mengatur atau tidak menghukum perbuatan yang dilakukan di dalam suatu negara yang dapat

      

46


(45)

mengancam atau mengganggu keamanan, integritas, dan kemerdekaan orang lain.47

4. Prinsip Yurisdiksi Universal.

Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap tindak kejahatan yang mengancam masyarakat internasional. Yurisdiksi ini lahir tanpa melihat dimana kejahatan dilakukan atau warga negara yang melakukan kejahatan. Lahirnya prinsip yurisdiksi universal terhadap jenis kejahatan yang merusak terhadap masyarakat internasional sebenarnya juga disebabkan karena tidak adanya badan peradilan internasional yang khusus mengadili kejahatan yang dilakukan orang-perorang (individu).48

Kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan yang tunduk pada prinsip yurisdiksi universal adalah pembajakan di laut (perompakan) dan kejahatan perang. Yurisdiksi universal terhadap perompak telah diterima cukup lama oleh hukum internasional. Setiap negara dapat menahan dan menghukum setiap tindakan pembajakan di laut.

“All states shall co-operate to the fullest possible extent in the repression of piracy on the high seas or in any other place outside the jurisdiction of any state”49

Kejahatan perang juga telah diterima universal sebagai kejahatan yang tunduk kepada yurisdiksi setiap negara meskipun jenis kejahatan ini sangat sensitif dan lebih berat bobot politiknya.50 Komisi Kejahatan perang PBB (the       

47

Ibid, hal.213. 48

Ibid, hal 218 49

Isi dari pasal 100 United Nation Convention on the Law of the Sea. 50


(46)

United Nations War Crimes Commision) menyatakan bahwa hak untuk menghukum kejahatan tidak terbatas pada negara yang warga negaranya menderita atau kepala negara yang wilayahnya dipakai sebagai tempat dilaksanakannya kejahatan.51 Namun hak tersebut dimiliki oleh setiap negara yang merdeka.52

Pembatasan tertentu yang diterapkan oleh hukum internasional yaitu terhadap kepala negara, wakil diplomatik, kapal perang, dan angkatan bersenjata asing yang ada di wilayah suatu negara. Dalam hal-hal tertentu, yurisdiksi teritorial kebal (tidak berlaku) terhadap :

1. Negara dan Kepala Negara Asing;

Suatu negara bebas berbuat apapun di dalam negerinya, sepanjang perbuatan tersebut tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban negara lain atau tidak melanggar hukum internasional. Atau dengan kata lain, suatu negara adalah imun terhadap yurisdiksi pengadilan negara lainnya. Begitu juga dengan kepala negara, yang diidentikkan sebagai negara itu sendiri. Kepala negara memiliki imunitas (kekebalan) penuh (doctrine of absolute immunity).53

Imunitas suatu negara asing atau kepala negara dari yurisdiksi tidak mutlak dalam segala hal, tergantung kepada sifat hakikat dari pemulihan yang diupayakan. Hal-hal berikut merupakan proses perkara kekecualian dari kaidah imunitas :

      

51

Huala Adolf, Op. Cit., hal.218. 52

Ibid. hal 219 53


(47)

a. Perkara-perkara yang berkenaan dengan alas hak terhadap tanah di dalam yurisdiksi teritorial, yang bukan tanah dimana bangunan-bangunan kedutaan didirikan.

b. Suatu dana di pengadilan (dana perwalian) yang diuruskan yang mana menyangkut kepentingan negara asing atau pemegang kedaulatan asing, tetapi tidak demikian apabila pihak yang diuruskan perwalian dananya itu juga merupakan pemerintah negara asing yang berdaulat.54

c. Tindakan-tindakan perwakilan, seperti tindakan pemegang surat utang, apabila negara asing atau pemegang kedaulatan asing itu adalah pemegang surat utang.

d. Berakhirnya suatu perusahaan yang dalam aset-asetnya negara asing atau pemegang kedaulatan asing mengklaim suatu kepentingan.55

2. Perwakilan Diplomatik dan Konsuler;

Imunitas yuridiksional terhadap agen-agen diplomatik ditetapkan dalam Pasal 31-32 Konvensi Wina tentang Hubungan-hubungan Diplomatik 1961. Mereka menikmati imunitas absolut dari yurisdiksi kriminal negara tuan rumah dan imunitas dari yurisdiksi sipil dan administratif kecuali dalam tiga hal khusus yang dinyatakan dalam Pasal 31, yaitu :

a. Tindakan-tindakan untuk medapatkan kembali harta benda tidak bergerak yang semata-mata pribadi;

b. Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan suksesi dimana mereka terlibat dalam kapasitas yang benar-benar pribadi.

      

54

J.G. Starke, Op. Cit., hal.281. 55


(48)

c. Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan suatu aktivitas profesi atau komersial pribadi yang dilakukan oleh mereka.56

3. Kapal Pemerintah Negara Asing;

Kapal pemerintah yang statusnya berasal dari kedaulatan negaranya tidak tunduk pada yurisdiksi suatu negara, baik waktu kapal berada di laut lepas, laut teritorial, atau perairan pedalaman negara pantai. Meski kapal-kapal pemerintah menikmati kekebalan, namun mereka diharapkan untuk menaati peraturan perundang-undangan negara pantai.57 Setiap pelanggaran terhadapnya, negara pantai dapat mengusir kapal-kapal pemerintah itu dan mengajukan protes diplomatik.58

4. Angkatan Bersenjata Negara Asing;

Angkatan bersenjata yang diterima di wilayah negara asing menikmati suatu imunitas terbatas, tetapi bukan sutau imunitas absolut, dari yurisdiksi teritorial negara tersebut.59 Besarnya imunitas tersebut tergantung pada keadaan-keadaan di mana angkatan bersenjata tersebut diterima oleh pemegang kedaulatan teritorial, dan khususnya pada ada atau tidaknya suatu perjanjian tegas antara negara tuan rumah dan negara pengirim yang mengatur syarat-syarat mengenai masuknya angkatan bersenjata tersebut di wilayah itu.60

5. Organisasi Internasional.

Dalam suatu negara, organisasi internasional memiliki kekebalan tertentu terhadap yurisdiksi negara setempat. Kekebalan ini dipandang perlu untuk       

56

Ibid, hal.288. 57

Huala Adolf, Op. Cit., hal. 208. 58

Ibid. hal 299 59

J.G. Starke, Op. Cit., hal.298. 60


(49)

melaksanakan tujuan-tujuan dari organisasi internasional. Namun sampai sejauh mana oraganisasi internasional itu menikmati kekebalan menurut hukum (kebiasaan) internasional masih belum ada kejelasan. Dalam praktek, kekebalan ini biasanya diatur oleh suatu perjanjian internasional.61

Juga adakalanya suatu negara dapat menjalankan yurisdiksinya atas suatu peristiwa hukum yang terjadi di luar wilayahnya dengan beberapa ketentuan. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa kadangkala dua negara atau lebih dapat menjalankan yurisdiksinya terhadap suatu peristiwa. Hukum internasional sendiri tidak ada mengatur secara jelas mengenai kompetensi ini. Rebecca M.M Wallace berpendapat bahwa : dasar-dasar yurisdiksi tidak diurutkan dalam hierarki apapun. Tidak ada negara yang dapat menuntut hak yang lebih tinggi semata-mata berdasarkan atas asas melaksanakan yurisdiksi. Suatu negara dapat secara sah memiliki yurisdiksi bersamaan dengan negara lain, negara yang akan melaksanakan yurisdiksi akan ditentukan oleh faktor-faktor lain, misalnya kehadiran fisik dari pelanggar yang bersangkutan. Apa yang dituntut hukum internasional kini adalah eksistensi hubungan nyata antara pelanggar yang bersangkutan dan negara yang melaksanakan yurisdiksinya.62

Menurut hukum internasional, setiap negara baik berpantai (coastal state) maupun tidak berpantai (land locked state) mempunyai hak untuk melayarkan kapalnya di bawah benseranya di laut lepas (pasal 90 UNCLOS 1982).63 Pelaksanaan yurisdiksi suatu negara di laut lepas ini sesuai dengan prinsip

      

61

Huala Adolf, Op. Cit., hal.210. 62

H. Bactiar Hamzah, Op.Cit. hal 174-175 63


(50)

universal, yaitu setiap negara mempunyai yurisdiksi untuk mengadili tindak kejahatan tertentu (yang terjadi atau dilakukan di laut lepas).

Pada prinsipnya wilayah udara yang terdapat di atas wilayah darat, perairan pedalaman, dan laut wilayah termasuk kedalam yurisdiksi suatu negara. Hal ini terlihat dari Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional : “Kedaulatan negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya bersifat utuh dan penuh (complete and exclusive sovereignity)”. Ketentuan ini merupakan salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang udara.64

I. Macam-Macam Yurisdiksi Negara

Yurisdiksi berkaitan erat dengan masalah hukum, khususnya kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Di dalamnya terdapat pula batas-batas ruang lingkup kekuasaan itu untuk membuat, melaksanakan, dan menerapkan hukum kepada pihak-pihak yang tidak menaatinya. Meskipun yurisdiksi berkaitan erat dengan wilayah, namun keterkaitan ini tidaklah mutlak sifatnya. Negara-negara lain pun dapat mempunyai yurisdiksi untuk mengadili suatu perbuatan yang dilakukan di luar negeri. Disamping itu, ada beberapa orang (subyek hukum) tertentu memiliki kekebalan terhadap yurisdiksi wilayah suatu negara meskipun mereka berada di dalam negara tersebut.

      

64


(51)

Rebecca M.M Wallace, yurisdiksi merupakan atribut kedaulatan suatu negara. Yurisdiksi suatu negara menunjuk pada kompetensi negara tersebut untuk mengatur orang-orang dan kekayaan dengan hukum nasionalnya. Kompetensi ini mencakup yurisdiksi untuk menentukan (dan melarang), untuk mengadili dan melaksanakan undang-undang.65

Yurisdiksi dapat dibedakan atas : 1. Yurisdiksi Perdata.

Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hukum pengadilan terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang bersifat nasional, maupun internasional (yaitu bila para pihak atau obyek perkaranya terhadap unsur hukum asing).

2. Yurisdiksi Pidana.

Yurisdiksi pidana adalah kewenangan (hukum) pengadilan terhadap perkara-perkara yang bersifat kepidanaan, baik yang tersangkut di dalamnya unsur asing maupun tidak.66

Berdasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan mengaturnya, yurisdiksi suatu negara di dalam wilayah negaranya dapat terbagi atau tergambarkan oleh kekuasaan atau kewenangan sebagai berikut:67

1. Yurisdiksi Legislatif.

Yaitu kekuasaan membuat peraturan atau perundang-undangan yang mengatur hubungan atau status hukum orang atau peristiwa-peristiwa hukum di dalam wilayahnya. Kewenangan seperti ini biasanya dilaksanakan oleh badan       

65

H. Bachtiar Hamzah, Hukum Internasional II, (Medan : USU Press, 1997), hal.69. 66

Huala Adolf, Op. Cit., hal.186. 67


(52)

legislatif sehingga acapkali disebut pula sebagai yurisdiksi legislatif atau preskriptif (legislative jurisdiction atau prescriptive jurisdivtion).

2. Yurisdiksi Eksekutif.

Yaitu kekuasaan negara untuk memaksakan atau menegakkan (enforce) agar subyek hukum menaati hukum. Tindakan pemaksaan ini dilakukan oleh badan eksekutif negara yang umumnya tampak pada bidang-bidang ekonomi, misalnya kekuasaan untuk menolak atau memberi izin, kontrak-kontrak, dan lain-lain. Yurisdiksi ini disebut sebagai yurisdiksi eksekutif (executive jurisdiction). Ada pula sarjana yang menyebutnya dengan enforcement jurisdiction (yurisdiksi pengadilan).

3. Yurisdiksi Yudikatif.

Yaitu kekuasaan pengadilan untuk mengadili orang (subyek hukum) yang melanggar peraturan atau perundang-undangan disebut pula sebagai Judicial jurisdiction.

J. Kedaulatan dan Yurisdiksi di Wilayah Perairan dan Udara

1. Hukum Udara

Pada awalnya banyak yang berpendapat bahwa ruang udara mempunyai status yang analog dengan laut yaitu kedaulatan teritorial negara atas ruang udara di atasnya dengan ketinggian tertentu dan selanjutnya berlaku rezim kebebasan seperti kedaulatan negara atas laut wilayah yang dilanjutkan dengan rezim kebebasan di laut lepas. Pendapat yang diformulasikan dalam bentuk ini masih diperdebatkan dalam forum internasional karena banyak negara menganggap


(53)

ruang udara dalam keseluruhannya tetap ditundukkan pada kedaulatan negara yang berada di bawahnya.(Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global)

Mengenai kedaulatan negara di udara di atas wilayahnya, Gerhard Von Glahn mengemukakan sejumlah teori yaitu ;

1. Berlakunya kebebasan penuh di ruang udara seperti lautan lepas

2. Yurisdiksi teritorial di ruang udara sampai 1000 kaki di atas bumi dengan status udara di atasnya yang bebas seperti di laut lepas.

3. Seluruh ruang udara di atas negara tanpa adanya batas ketinggian dianggap sebagai udara nasional dengan memberikan hak lintas kepada semua pesawat udara yang terdaftar di negara-negara sahabat

4. Kedaulatan mutlak dan tanpa batas atas ruang udara nasional tanpa batas ketinggian.

Berdasarkan praktik dan perkembangan yang terjadi selama Perang Dunia I maka status ruang udara nasional menjadi jelas yaitu negara-negara mempunyai kedaulatan penuh dan eklusif terhadap ruang udara di atas wilayah daratan dan laut wilayah. Berbeda dengan hukum laut, pada hukum udara tidak ada hak lintas damai melalui ruang udara nasional. Yang ada hanyalah pemberian izin untuk melakukan lintas udara baik secara unilateral atau berdasarkan persetujuan bilateral maupun melalui konvensi-konvensi multilateral kepada pesawat udara sipil asing.

Wilayah kedaulatan negara mencakup pula ruang udara di atas wilayahnya. Wilayah ini sudah sejak lama dibahas, terutama tampak pada sebuah dalil Hukum


(54)

Romawi yang berbunyi “cujust est solum, ejus est usque ad coelum”. Dalil ini berarti “Barang siapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah” .(Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global)

2. Dasar Hukum

a. Konvensi Paris 13 Oktober 1919

Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi Internasional mengenai Navigasi Udara yang telah disiapkan oleh suatu Komisi Khusus yang dibentuk oleh Dewan Tertinggi Negara-negara Sekutu. Konvensi tersebut ditandatangani oleh 27 negara yang terdiri dari negara-negara lainnya. Konvensi tersebut mulai berlaku tanggal 11 Juli 1922 dan pada tahun 1939 mengikat sebanyak 29 negara. Selain itu, sebagian besar negara-negara di Benua Amerika tidak ikut dalam Konvensi tersebut dan membuat sendiri konvensi udara dengan nama Konvensi Pan Amerika, Havana, pada tanggal 20 Februari 1928. Namun, konvensi regional tersebut ternyata tidak mempunyai banyak peminat dan hanya diratifikasi oleh 11 negara di kawasan.

Dapat dikatakan bahwa Konvensi Paris tersebut merupakan upaya pertama pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara. Di samping itu, negara-negara pihak juga diizinkan membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral di antara mereka dengan syarat mematuhi prinsip-prinsip yang dimuat dalam konvensi.


(55)

b. Konvensi Chicago 1944

Konvensi Chicago membahas tiga konsep yang saling berbeda yaitu : (1) Konsep internasionalisasi yang disarankan Australia dan Selandia Baru. (2) Konsep Amerika yang bebas untuk semua. Konsep persaingan bebas atau free

enterprise.

(3) Konsep intermedier Inggris yang menyangkut pengaturan dan pengawasan. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dan menarik akhirnya konsep Inggris diterima oleh Konferensi. Pada akhir Konferensi, Sidang menerima tiga instrumen yaitu :

a. Konvensi mengenai Penerbangan Sipil Internasional;

b. Persetujuan mengenai Transit Jasa-jasa Udara Internasional; c. Persetujuan mengenai Alat Angkutan Udara Internasional;

Konvensi Chicago kelihatannya diilhami oleh proyek Amerika Serikat yang menyarankan pengakuan terhadap lima kebebasan udara seperti berikut : 1. Dua kebebasan dasar yaitu hak lintas damai (innocent passage) dan hak

mendarat teknik untuk keperluan pengambilan bahan bakar dan reparasi/perbaikan (technical stop).

2. Tiga kebebasan komersial atau yang berkaitan dengan lalu lintas komersial yaitu :

a) Hak untuk menurunkan di semua negara pihak para penumpang dan barang dagangan yang dimuat di wilayah negara pihak yang pesawat udaranya mempunyai kebangsaan dari negara tersebut.


(56)

b) Hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan menuju wilayah yang pesawat udaranya mempunyai kebangsaan negara tersebut. c) Hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan di semua

wilayah negara pihak dan menurunkannya di wilayah negara-negara pihak lainnya.

3. Undang-Undang No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 1(2) :

“ Wilayah udara adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia”

Pasal 5 :

“ Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.”

Pasal 6 :

“ Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara.“

4. Undang-Undang No 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 1 (1) :

“Pertahanan Negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadapa keutuhan bangsa dan negara.”

Pasal 4 :

“Pertahanan Negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.”


(57)

4. Peraturan Presiden No 5 tahun 2005 tentang Pengesahan Protocol On The Authentic Quinquelingual Text Of The Convention On International Civil Aviation, Chicago 1944 (Protokol Tentang Naskah Asli Bahasa Kelima Dari Konvensi Penerbangan Sipil Internasional, Chicago 1944.

c. Hubungan kedaulatan dengan wilayah

Kedaulatan teritorial atau kedaulatan wilayah adalah kedaulatan yang dimiliki negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksklusif di wilayahnya. Di dalam wilayah inilah negara memiliki wewenang untuk melaksanakan hukum nasionalnya.68(Hans Kelsen, Principles of International Law, New York:Rinehart & Co, 1956)

Pada prinsipnya, fungsi dan pelaksanaan kedaulatan dilaksanakan di dalam wilayah negara tersebut. Semua orang, benda yang berada atau peristiwa hukum yang terjadi di suatu wilayah pada prinsipnya tunduk kepada kedaulatan dari negara yang memiliki wilayah tersebut.69

Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi dan bersifat monopoli atau Summa Potestas atau Supreme Power yang hanya dimiliki oleh negara. Dalam hal ini berlakulah adagium “Qui in territorio meo est, etiam meus subditus est”. Prinsip yang lahir dari pengertian kedaulatan teritorial ini adalah bahwa negara tersebut harus mampu melaksanakan kekuasaan yang penuh atau eksklusif atas wilayahnya.

Kedaulatan dan wilayah memiliki keterkaitan erat. D.P O’Connel berpendapat, karena pelaksanaan kedaulatan didasarkan pada wilayah, maka       

68

Hans Kelsen, Principles of International Law, New York:Rinehart & Co, 1956 page. 8 69

Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Bandung 2011, hal 7


(1)

ataupun keamanan. Sebagai contoh kerjasama ini adalah Konvensi 13 Desember 1960 di mana sejumlah negara Eropa menyerahkan penanganan masalah-masalah ini kepada Organisasi Eropa untuk Keamanan Navigasi Udara (Eurocontrol) yang direvisi pada tanggal 1981.

Disamping itu, dalam lalulintas udara internasional sering pula terjadi pelanggaran kedaulatan udara suatu negara oleh pesawat-pesawat sipil maupun militer. Dalm hal ini negara yang kedaulatan udaranya dilanggar dapat menyergap pesawat asing tersebut dan diminta untuk mendarat. Sepanjang menyangkut pesawat sipil, negara yang kedaulatannya telah dilanggar tidak dapat menggunakan tindakan balasan tanpa batas. Tindakan yang diambil harus bersikap bijaksana dan tidak membahayakan nyawa para penumpang yang ada dalam pesawat. Ketentuan ini yang mengakomodasikan kedaulatan teritorial negara dan konsiderasi-konsiderasi kemanusiaan yang mendasar dan harus berlaku bagi semua orang, diingatkan dan ditegaskan oleh Protokol Montreal 1983 yang memuat amandemen terhadap Pasal 3 Konvensi Chicago dan diterima pada tanggal 10 Mei 1984, sebagai akibat dari peristiwa penembakan pesawat Boeing 747 Korean Airlines 1 September 1983


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

C. Kesimpulan

Berdasarkan uraian serta penjelasan pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan pokok pembahasan serta sekaligus merupakan jawaban pada permasalahan yang penulis buat, yaitu: 1. Wilayah udara yang terdapat di atas wilayah darat, perairan pedalaman, dan

laut wilayah termasuk kedalam yurisdiksi suatu negara. Hal ini terlihat dari pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional : “Kedaulatan negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya bersifat utuh dan penuh (complete and exclusive sovereignity)”. Ketentuan ini merupakan salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang udara

2. Prinsip-prinsip hukum udara internasional antara lain prinsip kedaulatan wilayah udara, prinsip yuridiksi ruang udara, prinsip mengenai tanggung jawab.

3. Prinsip-prinsip dalam yurisdiksi adalah prinsip teritorial, nasional, personalitas pasif, perlindungan atau keamanan, universalitas, dan kejahatan menurut kriteria hukum yang berlaku. Dalam hubungan dengan yurisdiksi negara di ruang udara, sangat erat hubungannya dengan penegakkan hukum di ruang udara tersebut. Dengan adanya yurisdiksi, negara yang tersangkutan mempunyai wewenang dan tanggung jawab di udara untuk melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara. Berkenaan dengan wewenang dan


(3)

tanggung jawab negara melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara tidak terlepas dari muatan Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) yang menyatakan, bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Atas dasar ketentuan tersebut, maka lahir “hak menguasai oleh negara” atas sumber daya alam yang ada di bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (termasuk udara) dan penguasaan tersebut memberikan kewajiban kepada negara untuk digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

D. Saran

Adapun saran yang dapat penulis kemukakan disini sebagai bahan pertimbangan guna penyempurnaan dikemudian hari adalah:

1. Ketentuan-ketentuan tentang Hak Lintas di wilayah udara di atas Alur Laut Kepulauan Indonesia hendaknya juga menghargai prinsip-prinsip hukum udara yang di atur dalam Konvensi Chicago dan ketentuan hukum internasional serta hukum nasional yang mengatur.

2. harus ada penegasan pembatasan antara pesawat udara dan pesawat angkasa agar tidak terjadi kesalahan paham atas batas-batasnya. Oleh karena itu dibuatlah hukum-hukum mengenai keduanya itu.

3. Adanya revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2002 khususnya hal-hal yang terkait dengan hak dan kewajiban pesawat udara asing yang melintas di wilayah udara di atas Alur Laut Kepulauan Indonesia.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Anthony Csabafi, The Concept of State Jurisdiction in International Space Law, The Hague, 1971

Bambang Sunggono.Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada.1996.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Jakarta : Balai Pustaka, 2005.

E. Suherman., Wilayah Udara Dan Wilayah Dirgantara, Bandung : Alumni.1978. Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Binacipta, Bandung 1996.

Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

H. Bachtiar Hamzah, Hukum Internasional II, Medan : USU Press, 1997.

Hans Kelsen, Principles of International Law, New York:Rinehart & Co, 1956 page.

Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Bandung 2011 Hasnil Basri Siregar, Hukum Organisasi Internasional, Medan: Kelompok Studi

Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1994.

H. K. Martono dan Amad Sudiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

JG Starke, Introduction to International Law, London: Butterworth, 9th ed, 1984. K. Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara Dan Hukum Angkasa, Bandung :

Alumni. 2001

Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Bina Cipta, Jakarta.2010.

Mufti Makarim. A, Strategi Pengelolaan Dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara Republik Indonesia: Tantangan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional, tanpa tahun


(5)

Mufti Makarim. A, Strategi Pengelolaan Dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara Republik Indonesia : Tantangan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional, 2011

Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Bandung : Penerbit Nusamedia, 2007.

Malcolm N. Shaw, International Law, London : Butterworth, 1986.

Priyatna Abdurrasyid Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1976. Jakarta: Binacipta.

Priyatna A., Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Jakarta: Pusat Penelitian Hukum Angkasa,1972

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. 1984.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali.1985.

Sudargo Gautama, Hukum Prdata Internasional Indonesia, Buku I, cet ke-7, Jakarta: Binacipta, 1988

Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta 2011.

Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Jakarta : Universitas Indonesia Press.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Convention Relating to the Reguation of Aerial Navigation, signed at Paris on 13 Oktober 1919.

Convention on International Civil Aviation, Signed at Chicago on 7 December 1944.

Convention on the Rights and Duties of States.

Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice, Lihat Robert E.Riggs,1988;366-387; A. Le Roy Bennet


(6)

Convention on the territorial sea and the contigous zone, 1983

The State of Registration of the aircarft is competent to exercise jurisdiction over offences and acts committed onboard.

Konvensi Montevedeo 1993 persyaratan negara berdaulat adalah a permanent populations; a defined territory; a goverment and capacity to enter into relation with other States.

C. Internet

http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/2E%20Mak alah%20Perjanjian%20Internansional.pdf, 7 Oktober 2013

http://beta.atjehpost.com/gaminong_read/2013/05/21/52604/15/5/Aksi-menghalau-pesawat-asing-di-udara-Indonesia, diakses tanggal 7 Oktober 2013

http://xa.yimg.com, diakses tanggal 1 Oktober 2013

http://ujangnaser.wordpress.com/2009/01/05/yurisdiksi/diakses tanggal 1 Oktober 2013

http://eezcyank.blogspot.com/2011/01/hukum-internasional-hukum-udara-dan.html, diakses tanggal 1 Oktober 2013

http://www.negarahukum.com/hukum/ruang-udara.html, diakses tanggal 1 Oktober 2013