BAB I PEND AHULUAN - Peranan Sada Ahmo (PESADA) dalam Meningkatkan Kesadaran Politik Perempuan

BAB I PEND AHULUAN

1. Latar Belakang

  “Tak ada demokrasi tanpa kesetaraan gender”, cenderung provokatif memang. Tapi itulah penggambaran demokrasi yang sesungguhnya menurut perempuan, terinspirasi daripada slogan feminis sosialis dan pergerakannya dalam memperjuangkan kesetaraan gender dalam bidang sosial dan ekonomi dalam negara sosialis. Demokrasi di Indonesia sepertinya mengalami kepincangan dimana demokrasi tersebut hanya bisa dinikmati oleh sebagian atau sekelompok orang. Pada awal kemerdekaan, kaum perempuan mengalami masa kejayaan ditilik dari banyaknya organisasi-organisasi perempuan yang berdiri bahkan sebelum kemerdekaan ketika terjadi kongres pemuda, para perempuan-perempuan tak ingin ketinggalan dalam memberikan sumbangsih pada bangsa dan negaranya maka pada 22 Desember 1928 dilaksanakanlah Kongres Perempuan I, yang pada saat ini diperingati sebagai Hari Ibu sebagai salah satu bentuk contoh daripada

  

  politik domestikasi yang dilakukan Orde baru. Sampai saat ini politik domestikasi masih terasa begitu melekat dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti misalnya pembagian peran sosial dalam lingkup domestik dan publik.

  Berdasarkan adat, budaya, bahkan negara selalu menempatkan perempuan pada sisi subordinat dan berperan dalam lingkup domestik (dapur,kasur,sumur). Sedikitnya kesempatan dan akses yang dimiliki perempuan tak jarang membuat perempuan menjadi korban pembangunan atau demokrasi yang seharusnya turut dinikmatinya. Lebih dari setengah penduduk Indonesia adalah perempuan dengan tingkat partisipasi dalam pemilu yang cukup tinggi. 1 Dan hal ini menjadi incaran calon-calon pejabat negara dan daerah dalam meraih

  

Domestikasi adalah bentuk kebijakan yang menempatkan perempuan dalam lingkup rumah tangga sebagai istri dan ibu. suara untuk memenangkan Pemilu yang merupakan “pesta” demokrasi sebagai salah satu indikator daripada negara demokrasi. Namun setelah menang, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan justru tidak pernah memperhatikan dan berpihak kepada kepentingan perempuan, dan partisipasi yang dilakukan bisa dikatakan masih bersifat pasif atau tanpa kesadaran penuh. Perempuan dimobilisasi untuk dijadikan “perahan” suara, hal ini tidak terlepas daripada kesadaran politik perempuan yang dapat dikatakan rendah apalagi di tingkat daerah/desa. Hak-hak politik perempuan belum dipahami sepenuhnya sebagai hak individual, tetapi sangat patriarkhis atau didasarkan pada relasi kekuasaan di

   sekitar perempuan, misalnya sorang isteri mengikut pilihan politik suami .

  Namun ketika ada permasalahan, perempuan akan selalu terkena dampaknya yang paling besar seperti kenaikan harga bahan pokok, karena perempuan yang menyentuh langsung ranah tersebut. Untuk itu, sudah seharusnya pemerintah atau lembaga penyokong demokrasi menjalankan peranannya dalam memberikan pendidikan politik agar kesadaran politik masyarakat terbangun, bukan hanya sadar dalam menggunakan hak pilihnya namun sebagai golongan yang paling rentan terjadi marginalisasi, perempuan wajib mengenal dan mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai perempuan, manusia (HAM) dan sebagai warga negara.

  Namun tidak berjalannya fungsi partai politik dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, membutuhkan alternatif lembaga lain dalam melakukan pendidikan politik sebagai suatu proses untuk mewujudkan civil society dalam negara demokratis. Pada saat ini lembaga yang dianggap paling relevan dalam mengambil alih peranan partai politik yang seharusnya sebagai penyokong demokrasi adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Organisasi Non-pemerintah (NGO). LSM/NGO bisa menjadi instrumen yang

2 Dina Lumbantobing, 2010. ‘Peolitik’ apa iya politik Cuma milik laki-laki. Sidikalang. Pustaka pelajar. Hal. 9-10.

  sangat potensial di masa-masa mendatang dalam menyiapkan civil society dan

   mempengaruhi kebijakan publik .

  Sentralisasi pembangunan pada masa pemerintahan orde baru bukan hanya berdampak pada tidak meratanya pembangunan tetapi juga menimbulkan masalah kecemburuan sosial yang bukan hanya terjadi pada antar daerah/provinsi tetapi juga antar wilayah yakni kota dengan desa. Dan desa sebagai unit terkecil daripada pemerintahan merasakan dampak yang paling parah. Kurangnya pembangunan dan keterbatasan akses membuat masyarakat desa terutama perempuan cenderung terabaikan hak-haknya. Marjinalisasi membuat masyarakat desa mengalami ketertinggalan baik itu di bidang pendidikan dan teknologi, ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, dan politik sehingga kemiskinan pun tak terhindarkan. Berangkat daripada kondisi ketidakadilan tersebut, sekelompok orang atau sejumlah warga negara yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang muncul baik dalam ekonomi dan sosial, dan tidak jarang pula dalam bidang politik membentuk sebuah organisasi sebagai bentuk perwujudan daripada komitmen kepedulian, yang dinamakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau yang umum juga dikenal dengan Organisasi Non- Pemerintah (Non-government Organization/NGO). LSM/NGO merupakan organisasi yang bersifat mandiri, artinya organisasi ini tidak menggantungkan diri kepada pemerintah sebuah negara terutama dalam hal dukungan finansial dan sarana/prasarana, sekalipun mendapat dukungan dana dari lembaga-lembaga internasional. Namun tidak berarti kalangan LSM/NGO sama sekali terlepas dari pemerintah, karena tidak jarang pemerintah memberikan fasilitas penopang, misalnya dengan adanya pembebasan pajak untuk aktifitas dan aset yang dimiliki oleh NGO, tergantung daripada kategori dan hubungannya dengan pemerintah

   3 yang akan dibahas dalam bab 2 nantinya

  Affan Gaffar, 1997. NGO/LSM, Ruang publik, dan Civil Society di Indonesia. Jakarta. Badan 4 Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri. Hal. 22.

  Ibid,. Hal. 3

  Salah satu contoh LSM/NGO yang berangkat dan berdiri daripada kondisi yang dijelaskan diatas adalah PESADA (Perkumpulan Sada Ahmo). PESADA (Perkumpulan Sada Ahmo) yang dulu disebut dengan Yayasan Sada Ahmo (YSA) merupakan Organisasi Non-Pemerintah/ORNOP lokal di Sumatera Utara yang berdiri pada awal Oktober 1990. Organisasi ini didirikan oleh 15 orang yang konsern terhadap kondisi sosial politik di Indonesia dan sebagai respon atau reaksi atas eksistensi masyarakat Pakpak sebagai suku asli Kabupaten Dairi yang saat itu termarjinalisasi. Sejalan dengan perkembangannya, ada beberapa temuan permasalahan pada masyarakat pakpak yakni berhubungan dengan keadilan gender dan masalah ekonomi, untuk itu YSA mengadakan program pendidikan politik untuk membangun kesadaran politik perempuan. Tema daripada program/kegiatan ini adalah menggugat peran sektor domestik dan akses ke sumber daya, serta budaya patriarkhi yang dipandang telah membatasi ruang gerak perempuan. Pelatihan pendidikan politik ini diadakan untuk memperkenalkan konsep Hak Asasi Perempuan (UU No.7/1984), hak politik perempuan, serta pemahaman terhadap Sistem Pemilu yang berimplikasi pada

  

  representasi perempuan serta kepentingan perempuan kedepannya . Selain itu awal daripada ketertarikan saya adalah keterlibatan saya sebagai salah satu peserta daripada Pelatihan Feminis yang pernah dilaksanakan Pesada pada tahun 2010.

  2. Perumusan Masalah

  Rumusan masalah merupakan titik tolak bagi perumusan hipotesis nantinya, dan rumusan masalah dapat menghasilkan jawaban daripada topik penelitian atau judul penelitian. Menurut Nazir, perumusan masalah biasanya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan yang jelas dan padat, berisi implikasi

  5 J.Anto. 2006. 15 Tahun Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA). Medan. PESADA. Hal. 8-10. adanya data untuk memecahkan masalah, serta merupakan dasar dalam membuat

   hipotesis dan judul penelitian .

  Atas dasar latar belakang yang telah diuraikan, saya ingin mendeskripsikan sebuah fungsi atau peranan daripada sebuah organisasi kemasyarakatan sebagai salah satu pendorong terciptanya demokrasi tanpa bermaksud untuk melakukan penilaian. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  “ Bagaimanakah Peranan LSM/NGO PESADA (Perkumpulan Sada Ahmo) dalam Meningkatkan Kesadaran Politik Perempuan?”.

3. Pembatasan Masalah

  Sebagai upaya dalam mensistematiskan masalah dalam peneltian ini diperlukan adanya batasan-batasan masalah agar masalah yang diteliti menjadi jelas, terarah serta konsisten. Dan adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. Penelitian ini mengkaji mengenai peranan LSM/NGO Pesada sebagai salah satu instrumen demokrasi.

  2. Penelitian ini mengkaji tentang kesadaran politik perempuan.

  4. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian merupakan keinginan yang ingin dilakukan dan dicapai dalam melakukan suatu penelitian, untuk itu tujuan penelitian perlu kiranya 6 disusun secara spesifik sesuai dengan kepentingan penelitian. Tujuan penelitian M.Arif Nasution,dkk. 2008. Metode Penelitian. Medan. Fisip USU Press. Hal. 47.

   dapat ditulis dalam bentuk tujuan penelitian umum dan tujuan penelitian khusus .

  Dan tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui dan mengkaji peranan LSM/NGO Pesada (Perkumpulan Sada Ahmo) dalam meningkatkan kesadaran politik perempuan.

  5. Manfaat Penelitian 1.

  Manfaat bagi penulis sendiri adalah menambah wawasan dan pengetahuan mengenai LSM/NGO dan Pesada serta peranannya dalam meningkatkan kesadaran politik perempuan.

  2. Manfaat akademisnya yakni sebagai informasi atau referensi baru dalam pengembangan khasanah ilmu sosial terutama ilmu politik mengenai peranan suatu lembaga dalam mendukung demokratisasi.

  3. Manfaat praktis yaitu dengan harapan agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat terutama kalangan aktivis dan perempuan untuk sadar politik.

  6. Kerangka Teori

6.1 Teori Peranan

  Peranan merupakan serangkaian perilaku yang diharapkan oleh seseorang, pengharapan semacam itu merupakan suatu norma yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu peranan. Pada tingkat organisasi berlaku bahwa semakin kita 7 dapat memahami tepatnya keselarasan atau integrasi antara tujuan dan misi

  Ibid,. Hal. 59 organisasi. Sementara menurut Soekanto peranan adalah aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran. Peranan diatur oleh norma-norma yang berlaku, dimana peranan lebih banyak menunjuk pada

  

  fungsi, penyelesuaian diri dan sebagai suatu proses. Adapun peranan seseorang seperti yang dikatakan oleh Levinson meliputi 3 hal yaitu :

  1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, peranan disini diartikan sebagai rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.

  2. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

  3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting sebagai struktur social masyarakat.

  Konsep peranan selalu terkait dengan manusia, dimana pelaku-pelaku peranan social itu adalah manusia. Setiap individu atau manusia di dalam ruang social mempunyai beberapa status atau peran misalnya sebagai ketua organisasi, sekretaris dan sebagainya. Tiap individu tersebut berperan sesuai dengan status yang dimilikinya., dalam situasi tertentu status dengan peranan mempunyai hubungan yang sangat erat sekali yaitu dimana status tidak akan ada tanpa adanya peranan dan begitu juga peranan tidak akan ada tanpa adanya status. Dengan demikian status dan peranan tidak dapat dipisahkan. Konsep peranan tidak bisa dilepaskan dari konsep status. Peranan adalah pola perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki status.

6.1.1 Pengertian dan Peranan LSM/NGO

  Lembaga Swadaya Masyarakat yang umum juga dikenal dengan Organisasi Non-Pemerintah (Ornop/NGO) merupakan organisasi yang dibentuk 8 oleh kalangan yang bersifat mandiri, dalam artian organisasi seperti ini tidak

  Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta. Raja Grafindo Persada menggantungkan diri kepada pemerintah pada sebuah negara terutama dalam hal dukungan finansial dan sarana/prasarana, sekalipun mendapat dukungan dana dari lembaga-lembaga internasional. Tidak berarti kalangan NGO/LSM sama sekali terlepas dari pemerintah, karena tidak jarang pemerintah memberikan fasilitas penopang, misalnya dengan adanya pembebasan pajak untuk aktivitas dan asset yang dimiliki oleh NGO. Harus pula dicatat bahwa ada sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tumbuh dan bergerak dalam masyarakat, akan tetapi lembaga-lembaga tersebut sangat sulit dilepaskan dari pemerintah, karena tidak jarang lembaga tersebut didirikan oleh pemerintah atau mempunyai kaitan secara langsung ataupun tidak langsung dengan pemerintah, seperti misalnya PKK, Dharma Wanita dan lain-lain.

  Memahami dan mengidentifikasi NGO bukanlah sesuatu yang mudah, karena peranannya berkaitan pula dengan bentuk hubungannya dengan pemerintah, dan selain itu jumlahnya juga sangat bervariasi serta bersifat heterogen. Ada beberapa NGO yang tumbuh dan berkembang sebagai hasil usaha masyarakat sendiri, akan tetapi ada juga NGO asing yang aktif di negara-negara dunia ketiga dan bekerjasama dengan NGO lokal yang berkecimpung dalam pembangunan di pedesaan.

  Organisasi seperti NGO/LSM ini dibentuk sebagai perwujudan komitmen dari sejumlah warga negara yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan- persoalan yang muncul baik dalam bidang ekonomi dan sosial, dan tidak jarang pula dalam bidang politik. Misalnya kalangan aktifis yang peduli terhadap nasib kalangan buruh membentuk organisasi yang yang membantu kalangan buruh. Begitu juga dengan sejumlah aktifis wanita yang prihatin dengan nasib kaum wanita membentuk organisasi yang melindungi kaum wanita dari pelecehan seksual, perlakuan yang semena-mena dalam rumah tangga atau kekerasan, dan lain-lain. Dengan kata lain, organisasi non-pemerintah muncul berdasarkan kepedulian dari kalangan aktifisnya.

  LSM/NGO memainkan berbagai macam peranan dalam rangka proses pembangunan dalam sebuah negara, Noeleen Heyzer (dalam heyzer, ryker, and quizon, 1995 : 8) mengidentifikasi tiga jenis peranan yang dapat dimainkan oleh berbagai NGO yaitu:

  1. Mendukung dan memberdayakan masyarakat pada tingkat “grassroots”, yang sangat esensial dalam rangka menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.

  2. Meningkatkan pengaruh politik secara meluas melalui jaringan kerja sama baik dalam suatu negara ataupun dengan lembaga-lembaga intrnasional lainnya.

3. Ikut mengambil bagian dalam menentukan arah dan agenda pembangunan.

  Sementara itu Andra L. Corrothers dan Estie W. Suryatna (1995:129-130) mengungkapkan dan mengidentifikasi peranan NGO dalam sebuah negara dengan sedikit menekankan kepada dimensi politik. Mereka membaginya menjadi empat peranan yakni (1) Katalisasi perubahan sistem dengan mengangkat sejumlah masalah yang penting dalam masyarakat, membentuk sebuah kesadaran global, melakukan advokasi demi sebuah perubahan kebijakan negara, mengembankan kemauan politik rakyat, dan mengadakan eksperimen yang mendorong inisiatif masyarakat; (2) Memonitor pelaksanaan sistem dan cara penyelenggaraan negara dan bila perlu melakukan protes, hal itu dilakukan karena bisa saja terjadi penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hukum terutama yang dilakukan oleh pejabat negara dan kalangan bisnis; (3) Memfasilitasi dalam rangka rekonsiliasi dengan lembaga peradilan, hal ini dilakukan karena tidak jarang terjadi kekerasan dan banyak kalangan warga masyarakat yang menjadi korban dari kekerasan itu. Kalangan NGO muncul secara aktif untuk melakukan pembelaan bagi mereka yang menjadi korban ketidakadilan; (4) Implementasi program pelayanan, NGO dapat menempatkan diri sebagai lembaga yang mewujudkan sejumlah program dalam masyarakat.

  Mengingat peranannya yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat, tidak jarang pula kalangan masyarakat politik ataupun akademis melihat NGO sebagai alternatif dalam mewujudkan terciptanya civil society. Jikalau kita mengacu pada pendapat heyzer diatas maka kita dapat menggolongkan peranan NGO ke dalam dua kelompok besar, yaitu peranan dalam bidang non-politik (memberdayakan masyarakat dalam bidang sosial ekonomi) dan peranan dalam bidang politik (wahana untuk menjembatani antara warga masyarakat dengan negara atau pemerintah). Seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa NGO/LSM jumlahnya sangat banyak dan bersifat heterogen, Ryker dan Quizon (1995) mengkateorikan NGO menjadi empat kelompok besar, yaitu : 1.

  Government Organized NGOs or GO NGOs, yaitu NGO yang muncul karena mendapat dukungan dari pemerintah baik berupa dana maupun fasilitas. Biasanya NGO seperti ini mensukseskan program-program pemerintah. Dan di Indonesia NGO seperti ini disebut sebagai NGO Plat Merah.

  2. Donor Organized NGOs or DO NGOs, yaitu NGO yang dibentuk oleh kalangan lembaga-lembaga donor baik yang bersifat multilateral maupun unilateral. NGO seperti ini biasanya dibentuk untuk mewujudkan program kalangan lembaga donor tersebut.

  3. Autonomous or Independet NGOs, yaitu NGO yang dibentuk, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. NGO seperti ini sifatnya adalah independen secara finansial dan memiliki kepedulian yang sangat luas tentang berbaai hal dalam kehidupan sehari-hari.

  4. Foreign NGOs, NGO seperti ini muncul sebagai perwakilan dari NGO yang terdapat di luar negeri, dan kehadirannya tentu saja harus setahu dan mendapat izin dari negara dimana NGO tersebut beroperasi. NGO sama sekali tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan negara, begitu juga negara dimana pada beberapa negara misalnya peranan NGO bisa dikatakan cukup besar. Namun tidak selamanya hubungan antara NGO dan pemerintah selalu berjalan baik, karena tidak jarang pula negara melihat NGO sebagai penantang dari program atau kebijaksanaan dari pemerintah meskipun ada beberapa NGO juga yang menjadi partner pemerintah. Untuk itu James V.Ryker mengklasifikasikan lima bentuk hubungan negara dengan NGO yakni :

  1. Autonomous/ Benign Neglect. Dalam konteks hubungan yang seperti ini pemerintah tidak menganggap NGO sebagai ancaman, dan membiarkan NGO bekerja secara independent atau mandiri. Pemerintah dapat saja memiliki posisi “lepas tangan” terhadap apa yang dilakukan oleh NGO, misalnya menyangkut pembangunan desa. Dengan demikian NGO dapat menikmati kemandirian mereka dalam kegiatan sehari-hari tanpa adanya intervensi dari pemerintah.

  2. Facilitation/ Promotion. Pemerintah menganggap kegiatan NGO sebagai suatu yang bersifat komplementer dan oleh karena itu pemerintah menyiapkan suasana yang mendukung bagi NGO untuk beroperasi. Misalnya dengan menyediakan fasilitas berupa peraturan/pengakuan hukum, hal-hal yang bersifat administratif, bahkan bantuan dana yang dapat diberikan secara langsung berupa “matching grants” atau dengan memberikan keringanan pajak.

  3. Collaboration/ Cooperation. Pemerintah menganggap bahwa bekerja sama dengan kalangan NGO merupakan sesuatu yang menguntungkan, karena dengan bekerja sama maka semua potensi dapat dimaksimalkan guna mencapai suatu tujuan bersama. Selain itu kalangan NGO dapat menyediakan kemampuan dan kecakapan yang tidak dimiliki oleh kalangan pemerintah.

  4. Cooptation/ Absorption. Pemerintah mencoba menjaring dan mengarahkan kegiatan kalangan NGO dengan mengatur segala aktifitas mereka. Untuk berfungsinya, kalangan NGO harus memenuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh kalangan pemerintah dan tidak jarang pemerintah melakukan kontrol secara aktif.

  5. Containment/ Sabotage/ Dissolution. Pemerintah melihat NGO sebagai tantangan dan bahkan ancaman dan oleh karena itu pemerintah mengambil langkah tertentu untuk membatasi ruang gerak NGO, dan tidak jarang pula membubarkan NGO yang ketahuan melanggar ketentuan yang berlaku.

  Sementara itu khusus untuk Indonesia Pholip Eldridge (dalam Corrotehrs and Suryatna, 1995) mengajukan tiga model yang menyangkut hubungan antara negara dengan NGO dilihat dari dimensi orientasi NGO dalam melakukan kegiatannya.

  Model yang pertama disebut sebagai “High-level Partnership: Grassroots

  

Development ” NGO yang masuk dalam ketegori ini pada prinsipnya sangat

  partisipatif, dan kegiatannya lebih diutamakan kepada hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan ketimbang advokasi. Kelompok ini kurang memiliki minat pada hal-hal yan bersifat politis, namun mempunyai perhatian yang sangat besar untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah. Model yang kedua adalah “High-

  

level Politics: Grassroots Mobilization ”. NGO model ini mempunyai

  kecenderungan untuk aktif dalam kegiatan politik. Kegiatan-kegiatan mereka tidak jarang berhubungan dengan usaha untuk mendukung “peningkatan kesadaran politik” masyarakat, dan mereka pada umumnya tidak begitu setuju untuk bekerja sama dengan pemerintah. Dan model yang ketiga adalah “Empoweerment at the Grassroots”. NGO dalam kategori ini lebih memusatkan perhatiannya pada usaha untuk memberdayakan masyarakat terutama pada tingkat grassroots. Mereka percaya bahwa perubahan akan terjadi sebagai akibat dari

   meningkatnya kapasitas masyarakat bukan sesuatu yang berasal dari pemerintah .

  Untuk lebih jelasnya dalam melihat hubungan anatara pemerintah dengan NGO ada pada tabel dibawah ini:

9 Affan Gaffar, 1997. NGO/LSM, Ruang publik, dan Civil Society di Indonesia. Jakarta. Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri.

  Tabel 1.

  Orientasi

  1

  2

  3 Kerja sama dengan program pemerintah Ya Terbatas Tidak

  Pembangunan atau mobilisasi Pembangunan Mobilisasi Mobilisasi

  Penetrasi negara Medium Tinggi Rendah Hubungan antara kelompok kecil dengan NGO

  Semi- independent Saling mendukung

  Otonom Orientasi dengan Negara

  Akomodatif Untuk perubahan Bergantung keadaan

  Sumber: Philip Eldridge, NGOs in Indonesia: Popular Movements or Arm of Government

6.2 Teori Partisipasi Politik

  Secara harfiah, partisipasi merupakan pengambilan bagian atau pengikutsertaan (Echols, 1996:419). Atau dengan pengertian lain partisipasi adalah hal tentang turut berperan dalam suatu kegiatan atau berperan serta. Dalam pengertian umum, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik. Menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang (1994:4), partisipasi politik adalah kegiatan warga (privat citizen) yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang bertujuan untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Partisipasi ini dapat bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efekif atau tidak efektif. Peran atau kegiatan-kegiatan politik terkait erat dengan aktivitas politik mulai dari peranan politikus, mengikuti pemilu, partai sampai

   demonstrasi .

  Sedangkan, menurut Ramlan Surbakti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik, (1984: 140) mengatakan bahwa partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau

  

  mempengaruhi kehidupannya . Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya “The

  

Social Contract ” mengatakan, partisipasi sangat penting bagi pembangunan diri

  dan kemandirian warga negara. Melalui partisipasi individu menjadi warga publik, mampu membedakan persoalan pribadi dengan persoalan masyarakat. Hal ini ditegaskan pula oleh Miriam Budiarjo (2004), bahwa partisipasi politik merupakan pengejewantahan daripada penyelenggaraan kekuasaan politik yang

   absah dari rakyat dan sangat erat kaitannya dengan kesadaran politik .

  Mode Partisipasi Politik Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar, yakni:

  1. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an.

  2. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students

  

  10 11 Huntington, P. Samuel & Joan Nelson, 1994, Partisipasi Politik, Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 4 12 Surbakti, Ramlan. 1999.Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia. Hal. 140 13 Budiardjo, Miriam. 2004. Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT.Gramedia. Hal. 368 http//partisipasi-politik.html

  Dalam konteks negara, partisipasi politik rakyat adalah keterlibatan rakyat secara perseorangan (privat citizen) untuk mengerti, menyadari, mengkaji, melobi dan memprotes suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan tujuan mempengaruhi kebijakan agar aspiratif terhadap kepentingan mereka. Dari ilustrasi diatas, partisipasi rakyat bisa dipahami sebagai keterlibatan rakyat dalam pengertian politik secara sempit hubungan negara dan masyarakat (dalam bingkai

  

governance ) dan juga politik. Sedangkan politik secara luas yaitu semua bentuk

  keterlibatan masyarakat untuk mempengaruhi ataupun melakukan perubahan terhadap keputusan yang diambil. Partisipasi politik rakyat sebenarnya adalah tema sentral dari proses demokratisasi. Huntington dan Nelson (1994 : 16 – 19) menjelaskan bahwa partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan atau prilaku yakni :

  a) Kegiatan pemilihan mencakup suara, sumbangan-sumbangan untuk kampanye, mencari dukungan, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Ikut dalam pemungutan suara adalah bentuk partisipasi yang jauh lebih luas dibandingkan dengan bentuk-bentuk partisipasi lainnya.

  b) Lobbying, mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan yang menyangkut kepentingan umum.

  c) Kegiatan organisasi, menyangkut partisipasi sebagai anggota dalam suatu organisasi yang tujuan utamanya adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.

  d) Mencari koneksi (contacting) merupakan tindakan perseorangan yang ditujukan terhadap pejabat pemerintah dengan maksud memperoleh manfaat bagi satu orang atau sekelompok orang.

  e) Tindak kekerasan (violence), sebagai suatu upaya untuk mempengaruhi keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang atau benda. Oleh karena itu kekerasan biasanya mencerminkan motivasi-motivasi yang lebih kuat. Kekerasan dapat ditujukan untuk mengubah pimpinan politik, mempengaruhi kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah atau merubah sistem politik (revolusi)

   .

  Dalam partisipasi politik berlaku proses-proses politik yang harus dipahami dan diikuti, baik laki-laki ataupun perempuan. Seperti yang dikatakan oleh David Easton, proses politik adalah merupakan interaksi diantara lembaga- lembaga pemerintah dan kelompok-kelompok sosial. Hal ini menunjukkan, politik tidak hanya aktifitas yang ada pada tingkat elite tetapi melihat sudut pandang yang lebih pluralistic. Menurut Lester dalam “Political Participation” menyebutkan adanya dua orientasi dalam partisipasi politik berhubungan dengan proses politik yaitu: a. partisipasi politik yang berhubungan pada output proses politik (disebut partisipasi pasif).

  b.

  Dan partisipasi politik yang berhubungan dengan input proses politik (disebut partisipasi aktif), dimana aktifitas individu atau kelompok yang berkenaan dengan masukan-masukan proses pembuatan kebijakan

   .

  Sementara Milbrath dan Goel membedakan partisipasi menjadi beberapa kategori, yaitu sebagai berikut ;

  1. Apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik.

  2. Spektator, yakni orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilihan umum.

  3. Gladiator, yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap 14 Ibid, Hal. 16-19. 15 http://www.pelita.or.id/baca.php?id=13353 muka, aktivis partai dan pekerja kampanye serta aktivis masyarakat.

4. Pengkritik, yaitu orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional (Sastroatmodjo, 1995 : 74 – 75).

6.2.1 Partisipasi Politik melalui Gerakan Sosial Baru (New Social

  Movement/NSM) dan Kelompok-Kelompok Kepentingan

  Dalam perkembangannya partisipasi politik tidak hanya dalam bentuk mengikuti pemilihan umum tetapi juga bisa dalam bentuk partisipasi lain, yaitu melalui kelompok-kelompok. Hal ini disebabkan karena orang sudah mulai menyadari bahwa suara satu orang sangat kecil pengaruhnya terutama di negara- negara yang penduduknya berjumlah besar seperti Indonesia. Melalui kegiatan menggabungkan diri dengan orang lain menjadi suatu kelompok, diharapkan tuntutan mereka akan lebih didengar oleh pemerintah. Tujuan kelompok ini adalah mempengaruhi kebijakan pemerintah agar lebih menguntungkan mereka. kelompok-kelompok ini kemudian berkembang menjadi gerakan sosial (social

  ). Dalam bukunya Power in Movement (1994), T. Tarrow berpendapat

  movements

  bahwa :

  

Gerakan sosial adalah tantangan kolektif oleh orang-orang yang mempunyai tujuan

bersama berbasis solidaritas, (yang dilaksanakan) melalui interaksi terus-menerus

dengan para elite, lawan-lawannya, dan pejabat-pejabat.

  Gerakan ini merupakan bentuk perilaku kolektif yang berakar dalam kepercayaan dan nilai-nilai bersama.

  

Kelompok-Kelompok kepentingan muncul pertama kali pada awal abad ke-19. Organisasi internal yang lebih logar dibanding dengan partai politik.

  Mereka juga tidak memperjuangkan kursi dalam parlemen karena menganggap badan tersebut telah berkembang menjadi terlalu umum sehingga tidak sempat 16 mengatur masalah-masalah yang lebih spesifik. Mereka cenderung memfokuskan

  Dulu disebut “kelompok penekan” (pressure grups). Akan tetapi karena muncul angapan bahwa tidak semua kelompok mengadakan penekanan, dewasa ini masyarakat lebih cebderung memakai istilah “kelompok kepentingan”. diri pada satu masalah tertentu saja. Keanggotaannya terutama terdiri dari golongan-golongan yang menganggap dirinya tertindas serta terpinggirkan, seperti kaum buruh dan perempuan.

  Pada tahun 1960-an muncul fenomena baru sebagai lanjutan dari gerakan sosial yang lama, yaitu Gerakan Sosial Baru (New Social Movements atau NSM). Gerakan sosial baru ini berkembang menjadi gerakan yang sangat dinamis. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas hidup (quality of life) dengan cara mendirikan berbagai kelompok yang peduli pada masalah-masalah baru seperti lingkungan, gerakan perempuan, hak asasi manusia, dan gerakan anti nuklir. Diantara kelompok kepentingan itu ada yang bersifat sosial dan ada yang lebih bersifat advokasi (seperti penegakan hak asasi).

  Dasar dari kelompok ini adalah “protes”. Mereka sangat kritis terhadap cara-cara berpolitik dari para politisi dan pejabat, dan merasa “terasingkan” dari masyarakat. Mereka menginginkan desentralisasi dari kekuasaan negara, desentralisasi pemerintah, partisipasi dalam peningkatan swadaya masyarakat (self

  

help ) terutama masyarakat lokal. Kadang-kadang fenomena ini dinamakan

  demokrasi dari bawah (democrazy from below), mereka bertindak sebagai mediator antara pemerntah dan masyarakat, terutama di tingkat akar rumput (grass roots) dengan memberikan masukan (input) kepada para pembuat keputusan. Selain itu, mereka dapat menjadikan badan eksekutif dan anggota parlemen menjadi lebih responsif dan akuntabel terhadap masyarakat. Dalam rangka ini mereka dianggap sebagai faktor yang sangat penting dalam proses demokrasi.

  Karena beragamnya kelompok-kelompok kepentingan ini Gabriel A. Almond dan Bingham G. Powell dalam buku “Comparative Politics Today: A

  

World View ” (1992) yang diedit bersama membagi kelompok kepentingan dalam

  4 kategori yakni 1) Kelompok Anomi, 2) Kelompok Nonasosiasional, 3) Kelompok Institusional, 4) Kelompok Asosiasional dan 5) Lembaga Swadaya

17 Masyarakat (LSM/NGO) .

6.3 Teori Gerakan Sosial

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan Sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada. Perlawanan atau desakan yang bertujuan untuk melakukan suatu perubahan dapat dikategorikan sebagai gerakan sosial yang lahir daripada suatu kondisi tau situasi yang dialami masyarakat yang dalam penekanannya ada 4 faktor yakni; ketidakpuasan, sumber daya, peluang politis dan proses-proses konstruksi

   pemaknaan .

  Berbagai gerakan sosial dalam bentuk LSM/NGO, Ormas ataupun Parpol yang semakin menjamur keberadaannya merupakan suatu indikasi bahwa masyarakat mengalami sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingan atau keinginan yang ideal menurut mereka, dan berupaya untuk memperbaiki sistem atau struktur yang dianggap cacat atau tidak sesuai tersebut. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi maka secara sosial yang sifatnya menuntut perubahan institusi, kebijakan dan lainnya maka gerakan sosial akan terjadi. Dari hal tersebut dapat kita ambil kesimpulan sementara bahwa gerakan sosial merupakan sebuah gerakan yang lahir dari dan atas prakarsa masyarakat sendiri dalam usaha menuntut perubahan yang lebih baik.

  Beberapa ahli mempunyai pandangan yang berbeda-beda mengenai apa itu gerakan sosial dan bagaimana memahaminya. Ada beberapa ahli yang lebih menekankan pada aspek organisasi dan tujuan daripada gerakan sosial. Misalnya 17 Michael Useem, mendefinisikan gerakan sosial sebagai “tindakan kolektif Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama. Hal. Gerakan Sosial oleh beberapa sumber Blog Baiza Bercerita Banyak Berita.htm terorganisasi yang dimaksudkan untuk mengadakan perubahan sosial”, John Mc.Carthy dan Meyer Zald, berpendapat bahwa “gerakan sosial merupakan upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan di dalam distribusi hal-hal apapun yang bernilai secara sosial”, sedangkan Charless Tilly menambahkan corak perseteruan atau perlawanan di dalam interaksi antara gerakan sosial dan lawan- lawannya, charles mengatakan bahwa “gerakan sosial adalah suatu upaya-upaya mengadakan perubahan lewat interaksi yang mengandung perseteruan dan berkelanjutan antara warga negara dan negara”. Tak jauh berbeda, Anthony Giddens menyatakan bahwa “gerakan sosial merupakan sebuah upaya kolektif untuk mengejar kepentingan kepentingan bersama atau gerakan untuk mencapai tujuan bersama atau gerakan bersama melalui tindakan kolektif di luar lingkup

   lembaga-lembaga yang mapan” .

  Gerakan sosial secara teoritis merupakan sebuah gerakan yang lahir dari dan atas prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut perubahan dalam institusi, kebijakan atau struktur pemerintah. Disini terlihat tuntutan perubahan itu biasanya karena kebijakan itu bertentangan dengan kehendak sebagian rakyat. Karena gerakan sosial lahir dari masyarakat maka kekurangan apapun ditubuh pemerintah menjadi sorotannya. Dari literatur yang ada mengenai gerakan sosial, ada pula yang mengartikan gerakan sosial sebagai sebuah gerakan yang anti pemerintah dan juga pro pemerintah. Ini berarti tidak selalu gerakan sosial itu muncul dari

   masyarakat tapi bisa juga hasil rekayasa para pejabat pemerintah atau penguasa .

  Denny JA menyatakan ada tiga kondisi lahirnya gerakan sosial. Yang

  

pertama , gerakan sosial dilahirkan dengan kondisi yang memberikan kesempatan

  bagi gerakan itu, misalnya dalam pemerintahan moderat memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang dalam pemerintahan 19 otoriter. Kedua, gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas

Astrid S. Susanto. 1998. Masyarakat Indonesia Memasuki Abad 21, Dirjen dikti depdikbud, Hal.

20 21.

  Juwono Sudarsono (ed). 1976. Pembangunan dan Perubahan Politik, Jakarta : Gramedia. Hal. 24-25. situasi yang ada, misalnya perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang dapat menimbulkan tingginya kesenjangan sosial. Dan yang ketiga, geraan sosial semata-mata masalah kemampuan dari tokoh penggerak. Sang tokoh penggerak akan menjadi inspirator, membangun jaringan, membentuk organisasi yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi untuk terlibat dalan gerakan

   tersebut .

6.4 Kesadaran Politik

  Secara harfiah kata kesadaran berasal dari kata ‘sadar’, yang berarti merasa; tahu; dan mengerti. Jadi, kesadaran adalah merasa mengerti atau memahami sesuatu. Berbicara mengenai kesadaran akan selalu berkaitan dengan individu dan anggota masyarakat. Dengan kesadaran yang dimiliki oleh setiap individu, maka ia dapat mengendalikan, memempatkan atau menyesuaikan diri baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Menurut Widjaya (1984: 14), “Sadar (kesadaran) adalah kesadaran kehendak dan kesadaran hukum. Sadar diartikan merasa, tahu, ingat keadaan sebenarnya, dan ingat keadaan dirinya. Kesadaran diartikan sebagai keadaan tahu, mengerti, dan merasa, misalnya tentang harga diri, kehendak hukum dan lainnya”. Widjaya juga (1984:14) juga mengatakan bahwa ada dua sifat kesadaran yakni; a.

  Kesadaran yang bersifat statis yaitu; kesadaran yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan berupa ketentuan-ketentuan dalam masyarakat.

  b.

  Kesadaran yang bersifat dinamis yaitu; kesadaran yang menitikberatkan pada kesadaran yang timbul dari dalam diri manusia.

  Kesadaran juga memiliki beberapa tingkatan yang menunjukkan derajat seseorang. Menurut N.Y Bull (Djahiri, 1985: 24), tingkatan – tingkatan kesadaran 21 tersebut adalah sebagai berikut:

Noer Fauzi. 2005. Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga, Yogyakarta : Insist Press.

  Hal. 21. a.

  Kesadaran yang bersifat anomous yaitu kesadaran atau kepatuhan yang tidak jelas dasar dan alasan atau orientasinya.

  b.

  Kesadaran yang bersifat heteronomous yaitu kesadaran atau kepatuhan yang berlandaskan dasar/orientasi motivasi yang beraneka ragam atau beranti-ganti. Hal tersebut kurang pasti sebab mudah berubah oleh situasi dan kondisi.

  c.

  Kesadaran yang bersifat sosionomous yaitu kesadaran atau kepatuhan yang berorientasikan pada kiprah umum atau khalayak ramai.

  d.

  Kesadaran yang bersifat autonomous yaitu kesadaran atau kepatuhan yang terbaik karena didasari oleh konsep kesadaran yang ada dalam diri seseorang. Dari pengertian diatas maka kesadaran merupakan sikap atau perilaku mengetahui atau mengerti dan taat pada aturan serta ketentuan perundanga-undangan yang ada. Selain itu juga, kesadaran dapat diartikan sebagai sikap atau perilaku mengetahui atau mengerti dan taat pada adat istiadat serta kebiasaan hidup dalam masyarakat.

  Sedangkan kesadaran politik menutut Ramlan Surbakti (1995: 114), “kesadaran politik adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara”. Hal ini menyangkut pengetahuan seseorang tentan lingkungan masyarakat dan politik serta menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat ia hidup. Koentjaraningrat, dkk (dikutip Sri Mulyani 1991: 71) mengemukakan bahwa kesadaran politik memerlukan kesadaran dan pengetahuan orang mengenai ketentuan – ketentuan politik dan masyarakat. Dari dua pengertian di atas memiliki penekanan yang sama yaitu pengetahuan politik seseorang tentang realitas politik yang ada di lingkungannya, yang dilanjutkan dengan merealisasikan apa yang diketahuinya melalui perhatiannya terhadap lingkungan politik. Maksudnya kesadaran politik tidak hanya berupa pengetahuan tentang politik tetapi juga dibarengi dengan aplikasinya di tengah-tengah masyarakat.

  Untuk mengukur tinggi rendahnya kesadaran politik secara kuantitatif sangatlah sulit, dan salah satu jalan yang ditempuh untuk mengukur kesadaran politik tersebut yaitu dengan mengemukakan dan mengenali indikator-indikator yang dapat menunjukkan kecenderungan kesadaran politik warga negara. Menurut Gabriel Almond dan Sindey Verba (1984: 67), untuk mengukur dimensi kesadaran politik dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: a.

  Mengikuti segala aktifitas pemerintahan b. Mengikuti laporan mengenai aktivitas pemerintahan melalui berbagai media.

6.5 Teori Gender

  Teori gender dipakai sebagai pisau analisis sosial konflik yang mengacu kepada ketidakadilan peran, fungsi, kedudukan, dan struktural karena kondisi sosial, tradisi masyarakat, keyakinan beragama individu, dan kebijakan pemerintah. Istilah gender sering dipakai kalangan Feminis ataupun masyarakat yang tertarik dengan Pergerakan Perempuan. Gender membicarakan tentang kedudukan perempuan dan laki-laki. Lebih lengkapnya gender adalah suatu konstruksi sosial antara laki-laki dan perempuan yang mana dilihat bukan dari perbedaan biologisnya namun dari kedudukan, status, tugas dan peranan di antara keduanya ditinjau dari persfektif sosial, ekonomi, hukum, budaya, HAM bahkan di lingkungan keluarga sendiri. Gender bukan hanya berbicara tentang perempuan tetapi laki-laki juga mengalaminya. Meskipun, yang sering mendapat perbedaan dan perlakuan yang tidak adil adalah perempuan.

  Secara etimologi gender berasal dari kata Latin genus, Inggris abad pertengahan gendre, Yunani gen, dan Prancis modern genre. Awalnya secara umum berarti “jenis” (kata benda) atau “menghasilkan” (kata benda), namun belakangan secara gramatikal lebih sering digunakan untuk menunjuk jenis

  

  kelamin atau seks secara sosial daripada biologis . Kata gender dipopulerkannya oleh Ann Oakley, seorang sosiologi asal Inggris. Seperti dijelaskan Oaklley dalam bukunya yang berjudul Sex, Gender and Society , secara praktis istilah gender awalnya dikenal dalam ilmu medis terutama dalam psikologi era 1930-an yang mempergunakan istilah ini untuk menunjuk atribut psikologis seseorang tanpa mempersoalkan kaitannya dengan seks. Kaitan gender dengan seks baru dipersoalkan pada 1986 oleh seorang psikiater bernama Robert Stoller dalam bukunya berjudul Sex and Gender. Dalam buku tersebut, Stoller membahas seseorang yang dilahirkan dengan alat kelamin (external genitalia) jantan atau betina, namun yang bersangkutan tumbuh berkembang justru menyerupai lawan jenisnya. Berdasarkan hal inilah, Stoler mempergunakan istilah gender untuk menunjuk perilaku, perasaan, pikiran, dan fantasi tentang seks yang tidak selalu berkonotasi biologis. Oakley mendefinisikan gender as a matter of culture taht

  refers to social classfication of masculine and feminisme yang dibedakan dengan sex that refers to the biological differences between male and female . Dengan

  kata lain, gender menurut Oakley adalah pada dasarnya merupakan sebuah

   konstruksi sosial.

  Dalam buku Pemberdayaan Perempuan dari masa ke masa, karangan

  

Aida Vitalaya S.Hubeis , Gender adalah suatu konsep yang merujuk pada suatu

  sistem peranan dan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, akan tetapi oleh lingkungan sosial budaya, politik dan ekonomi. Gender mengacu pada perbedaan peran sosial serta tanggung jawab perempuan dan lelaki pada perilaku dan karakteristik yang dipandang tepat untuk perempuan dan laki-laki pada pandangan bagaimana kegiatan yang mereka

   lakukan seharusnya dihargai.

  22 23 yang disunting pada tangal 06 Mei 2012

Basilica Dyah Putranti. SDM, Tantangan masa depan : reposisi gender dalam pembangunan.

24 Yogyakarta. Gadjahmada. 2007. Hal: 220

Hubeis, Aida vitalaya S. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor. PT. Penerbit IPB

Press.2010

  Masyarakat umum sangat sulit membedakan antara pengertian gender dengan seks (jenis kelamin) sehingga seringkali terjadi ‘penyamaan’ pengertian yang menimbulkan kesalahpahaman. Padahal gender dengan seks itu jelas berbeda. Seks adalah perbedaan biologis dan fungsional tubuh antara laki-laki dan perempuan. Karakteristik seks adalah sebagai berikut:

  1) Ciptaan tuhan

  2) Bersifat kodrati

  3) Tidak dapat ditukar/diubah

  4) Berlaku dimanapun dan kapanpun

  Sedangkan, Gender merupakan perbedaan fungsi, peranan, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil daripada konstruksi sosial. Karakteristik gender yakni:

  1) Buatan manusia

  2) Tidak bersifat kodrat

  3) Dapat berubah/ditukar

  4) Tergantung waktu dan budaya setempat

  Dan untuk memahami konsep gender, ada beberapa hal yang harus kita pahami yakni ketidakadilan gender dan kesetaraan gender.

  A.

  Kesetaraan gender Kesetaraan gender merupakan suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial antara perempuan dan laki-laki setara, seimbang, dan harmonis.

  B.

  Ketidakadilan gender Ketidak-adilan gender merupakan suatu kondisi tidak adil sebagai akibat daripada sistem atau struktur sosial dimana laki-lai dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut, dan hal ini terjadi karena adanya keyakinan/pembenaran yang ditanamkan secara turun-temurun.

  Untuk melihat apakah ada masalah sebagai akibat dari gender dalam suatu masyarakat adalah dengan melihat apakah di suatu negara atau masyarakat menimbulkan ketidakadilan gender baik perempuan atau laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari bentuk – bentuk ketidak-adilan gender yang meliputi :