Peranan Sada Ahmo (PESADA) dalam Meningkatkan Kesadaran Politik Perempuan
PERANAN PERKUMPULAN SADA AHMO (PESADA) DALAM MENINGKATKAN KESADARAN POLITIK PEREMPUAN
DISUSUN O L E H
RENI ANDRIANI 080906020 ILMU POLITIK
Dosen Pembimbing : Prof. Subhilhar, Ph.D Dosen Pembaca : Faisal Andri Mahrawa, S.IP, M.Si
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2012
(2)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
RENI ANDRIANI (080906020)
PERANAN PERKUMPULAN SADA AHMO (PESADA) DALAM MENINGKATKAN KESADARAN POLITIK PEREMPUAN
ABSTRAK
Lebih dari setengah penduduk Indonesia adalah perempuan dengan tingkat partisipasi dalam pemilu yang cukup tinggi, namun sangat disayangkan partisipasi yang dilakukan kaum perempuan masih bersifat pasif atau tanpa kesadaran penuh. Hal ini tidak terlepas daripada kesadaran politik perempuan yang dapat dikatakan rendah apalagi di tingkat daerah/desa karena terbatasnya kesempatan dan akses yang diperoleh oleh kaum perempuan. Hak-hak politik perempuan juga belum dipahami sepenuhnya sebagai hak individual, tetapi sangat patriarkhis atau didasarkan pada relasi kekuasaan di sekitar perempuan, misalnya sorang isteri yang mengikut pilihan politik suami.
Dan hal ini juga disebabkan oleh tidak berjalannya fungsi partai politik dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, untuk itu dibutuhkan alternatif lembaga lain dalam melakukan pendidikan politik dan salah satu lembaga tersebut adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau yang biasa disebut dengan Organisasi Non-pemerintah (NGO). Oleh karena itu dalam penelitian ini saya akan mencoba untuk menguraikan atau mendeskripsikan peranan LSM/NGO Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA) dalam upayanya meningkatkan kesadaran politik perempuan.
Teori yang digunakan untuk menganalisis penelitian ini adalah teori peranan, LSM/NGO, teori partisipasi politik melalui gerakan sosial baru, teori kesadaran politik, teori, gender serta teori feminisme untuk mengetahui atau sebagai pendekatan dalam memahami gerakan perempuan. Pesada mempunyai peranan dalam meningkatkan kesadaran politik perempuan dengan program pendidikan politiknya yaitu Pendidikan/Penyadaran Gender, Diskusi Seputar Issue Perempuan, Pengenalan UU No.7/1984, Pengenalan Sistem Pemerintah dan UU Politik, Pendidikan Pengenalan Kekerasan Berbasis Gender, Diskusi mengenai UU OTDA, serta Praktek Lapangan seperti audiensi, aksi dan dialog.
(3)
UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA
FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE
RENI ANDRIANI (080906020)
ROLE OF SOCIETY SADA AHMO (PESADA) IN INCREASING CONSCIOUSNESS POLITICS WOMEN
ABSTRACT
More than half the Indonesia's population is women with the level of participation in the elections which quite high, however very unfortunate participation of which done of women still are passive or without consciousness full. This case not apart rather than political consciousness of women who can said to be low let alone in level regions / village because of the limited opportunity and access who obtained by women. Political rights of women are also not fully understood as individual rights, but very patriarchal or based on power relations around women, for example, a wife who followed her husband's political choice.
And this is also caused by the functioning of political parties in providing political education to the public, it needed an alternative to other agencies in conducting political education and one of these institutions is Non Governmental Organization (NGO) or commonly referred to as non-governmental organizations (NGO). Therefore, in this study I will try to elaborate or describe the role of NGOs / NGO Sada Ahmo Society (Pesada) in its efforts to increase women's political consciousness.
Theory is used to analyze the study was the theory of the role, NGOs / NGO, the theory of political participation through new social movements, political consciousness theory, gender theory and feminist theory to determine or as an approach to understanding women's movement. Pesada have a role in increasing women's political awareness with the political education program Education / Gender Awareness, Discussion Regarding the Issue of Women, Introduction to Law No.7/1984, Introduction to Government Systems and Political Law, Education Introduction to Gender Based Violence, Discussion on Regional Autonomy Law, as well as Field practices such as hearings, action and dialogue.
(4)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sang Causa Prima atas berkah rahmat dan karunia waktu dan kesehatan yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan segenap kemampuan dan dalam waktu kurang lebih 10 bulan. Skripsi ini berjudul “Peranan Sada Ahmo (PESADA) dalam Meningkatkan Kesadaran Politik Perempuan”. Dalam skripsi ini mendeskripsikan atau menjelaskan bagaimana peranan sebuah LSM/NGO yakni PESADA dalam upayanya untuk meningkatkan kesadaran politik perempuan terutama di pedesaan dengan pendidikan politik yang juga dibarengi dengan penguatan ekonomi.
Dalam perjalanan pembuatan skripsi, ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik itu materiil maupun moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua Orang Tua penulis, Ayahanda Rusmawardi dan Ibunda (emak) Masnah atas semua yang diberikan kepada penulis, kasih sayang kalian bagaikan udara yang tak mungkin penulis dapat membalasnya, abangda Rusdiansyah yang selalu menjaga dan memperhatikan penulis serta kakak Ria Andriyani, Riska Maisuri dan adik penulis Muhammad Ridwan.
2. Bapak Prof.Subhilhar, Ph.D dan Bapak Faisal Andri Mahrawa S.IP, M.Si selaku dosen pembimbing dan dosen pembaca yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan masukan dan arahan kepada penulis.
3. Ibu Dra.T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Politik. Para dosen dan staf pegawai departemen ilmu politik yang juga telah mengajari penulis banyak hal dan membantu penulis baik selama masa perkuliahan maupun masa penyusunan skripsi.
4. Kak Dina, Kak Lida, Kak Susi, Bang Maringan dan lain-lain dari PESADA atas waktu dan kesediaannya dalam membantu penulis
(5)
menyelesaikan skripsi ini, terima kasih yang sebesar-besarnya juga telah memberikan penulis dan perempuan-perempuan lainnya pencerahan tentang gender dan hak-haknya.
5. Teman-teman departemen ilmu politik khususnya 2008, rayu, astri, teger, hasan, eka, sulhan dan lain-lain “perbedaan itu untuk mengindahkan bukan memecahkan” tetap solid kawan. Teman-teman departemen sosiologi, kesejahteraan sosial dan administrasi negara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
6. Teman sejurusan, sekampus, dan seperjuangan Ridawati Parhusip, tetap semangat karena tantangan menanti kita.
7. Teman-teman organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) khususnya GMNI Fisip Usu, wadah penulis belajar, berdiskusi, berproses, berkarya, tak dapat dibayangkan penulis tanpa organisasi ini, bung gio, hendra, moses, polin, arman, samuel, andreas, sarinah rida, vida, joan, mutia dan semua bung dan sarinah yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, mohon maaf. Jaya selalu!!
8. Teman-teman GMNI sejajaran Kota Medan, bung barus, bung syam, bung black, bung rolam, bung eben, bung amrin, sarinah asyina dan sarinah-sarinah lainnya senang bisa berproses bersama-sama. Mari kita satukan barisan kembali. Serta Kak Relis, Bung Roy, Bung Maruli, Bung Cecep, Bung Herbin, dan Bung Prabu atas semua kesediaannya dalam mengajari dan memenuhi keingintahuan penulis, sekali lagi terima kasih bung dan sarinah.
9. Dan yang terakhir, terima kasih buat teman-teman petualangan “Utan” dan yang lainnya dalam menemani penulis mendaki gunung, lewati hutan, susuri sungai. Alangkah indahnya negeri kita. “Berbagi waktu dengan alam, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya, hakikat manusia”. 10.Dan semua teman-teman yang memberikan warna dalam kehidupan
penulis. Warna tanpa warni adalah Datar, dan Hidup tanpa warna adalah semu.
(6)
Tak ada mawar yang tak berduri, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas semua bantuan dan dukungan dari semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini dan kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan kita.
Medan, April 2013 Penulis
(7)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
ABSTRAKS ... ii
ABSTRACT ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL, GAMBAR dan SKEMA ... ix
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1
2. Perumusan Masalah ... 4
3. Pembatasan Masalah ... 5
4. Tujuan Penelitian ... 5
5. Manfaat Penelitian ... 6
6. Kerangka Teori ... 6
6.1.1. Teori Peranan ... 6
6.1.1 Pengertian dan Peranan LSM/NGO ... 7
6.2. Teori Partisipasi Politik ... ... 13
6.2.1 Partisipasi Politk Melalui Gerakan Sosial ... ... 17
6.3. Teori Gerakan Sosial ... ... 19
6.4. Kesadaran Politik ... ... 21
6.5. Teori Gender ... 23
6.6. Teori Feminisme ... ... 27
7. Metode Penelitian ... 32
7.1. Jenis Penelitian ... 32
7.2. Teknik Pengumpulan Data ... ... 33
7.3. Teknik Analisa Data ... 33
(8)
BAB II PROFIL PERKUMPULAN SADA AHMO
1. Sejarah Pesada ... ... 35
1.1 Mendirikan Taman Bina Asuh Anak (TBAA) ... 37
1.2 Pendekatan Kesejahteraan: Pintu Untuk Penguatan Perempuan ... 39
1.3 Pendidikan Penguatan Politik Perempuan ... 42
1.4 Rumah Aman Perempuan “Sinceritas” ... 44
2. Strategi dan Kerangka Kerja ... 46
3. Struktur Organisasi Pesada ... 48
BAB III PERANAN PESADA DALAM MENINGKATKAN KESADARAN POLITIK PEREMPUAN 1. Pesada sebagai Ornop dan Insititusi Feminis. ... 55
2. Peranan Pesada Dalam Meningkatkan Kesadaran Politik Perempuan ... 56
2.1 Program Pesada dalam Upaya Meningkatkan Kesadaran Politik Perempuan ... 58
3. Peranan Pesada Dalam Penguatan Politik Perempuan ... 73
4. Hambatan – Hambatan dalam Melakukan Pendidikan Politik ... 81
BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan ... 82
2. Saran ... 88
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(9)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hubungan antara pemerintah dengan NGO ... 12
Tabel 2. Data TBAA pada tahun 2012 ... 38
Tabel 3. Data CU Perempuan pada tahun 2012 ... 41
Tabel 4. Teknik Analisis Mosser ... 74
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Pendidikan/ Penyadaran Gender ... 60
Gambar 2. Diskusi Seputar Issu Perempuan ... 61
Gambar 3. Pengenalan HAM dan UU No.7/1984 ... 63
Gambar 4.5 Pengenalan Sistem Pemerintahan dan UU Politik ... 65
Gambar 6. Dialog Interaktif KBG bersama Taufan Damanik di TVRI ... 67
Gambar 7. Seminar UU OTDA ... 68
Gambar 8. Pertemuan aktivis dan Kelompok Perempuan ... 69
Gambar 9. Audiensi dengan Pengadilan Tinggi ... 70
Gambar 10. Aksi Damai Kenaikan BBM ke DPRD Dairi ... 71
Gambar 11. Talkshow ke radio lokal ... 72
DAFTAR SKEMA Skema 1. Bagan Struktur Organisasi Pesada ... 48
(10)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
RENI ANDRIANI (080906020)
PERANAN PERKUMPULAN SADA AHMO (PESADA) DALAM MENINGKATKAN KESADARAN POLITIK PEREMPUAN
ABSTRAK
Lebih dari setengah penduduk Indonesia adalah perempuan dengan tingkat partisipasi dalam pemilu yang cukup tinggi, namun sangat disayangkan partisipasi yang dilakukan kaum perempuan masih bersifat pasif atau tanpa kesadaran penuh. Hal ini tidak terlepas daripada kesadaran politik perempuan yang dapat dikatakan rendah apalagi di tingkat daerah/desa karena terbatasnya kesempatan dan akses yang diperoleh oleh kaum perempuan. Hak-hak politik perempuan juga belum dipahami sepenuhnya sebagai hak individual, tetapi sangat patriarkhis atau didasarkan pada relasi kekuasaan di sekitar perempuan, misalnya sorang isteri yang mengikut pilihan politik suami.
Dan hal ini juga disebabkan oleh tidak berjalannya fungsi partai politik dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, untuk itu dibutuhkan alternatif lembaga lain dalam melakukan pendidikan politik dan salah satu lembaga tersebut adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau yang biasa disebut dengan Organisasi Non-pemerintah (NGO). Oleh karena itu dalam penelitian ini saya akan mencoba untuk menguraikan atau mendeskripsikan peranan LSM/NGO Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA) dalam upayanya meningkatkan kesadaran politik perempuan.
Teori yang digunakan untuk menganalisis penelitian ini adalah teori peranan, LSM/NGO, teori partisipasi politik melalui gerakan sosial baru, teori kesadaran politik, teori, gender serta teori feminisme untuk mengetahui atau sebagai pendekatan dalam memahami gerakan perempuan. Pesada mempunyai peranan dalam meningkatkan kesadaran politik perempuan dengan program pendidikan politiknya yaitu Pendidikan/Penyadaran Gender, Diskusi Seputar Issue Perempuan, Pengenalan UU No.7/1984, Pengenalan Sistem Pemerintah dan UU Politik, Pendidikan Pengenalan Kekerasan Berbasis Gender, Diskusi mengenai UU OTDA, serta Praktek Lapangan seperti audiensi, aksi dan dialog.
(11)
UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA
FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE
RENI ANDRIANI (080906020)
ROLE OF SOCIETY SADA AHMO (PESADA) IN INCREASING CONSCIOUSNESS POLITICS WOMEN
ABSTRACT
More than half the Indonesia's population is women with the level of participation in the elections which quite high, however very unfortunate participation of which done of women still are passive or without consciousness full. This case not apart rather than political consciousness of women who can said to be low let alone in level regions / village because of the limited opportunity and access who obtained by women. Political rights of women are also not fully understood as individual rights, but very patriarchal or based on power relations around women, for example, a wife who followed her husband's political choice.
And this is also caused by the functioning of political parties in providing political education to the public, it needed an alternative to other agencies in conducting political education and one of these institutions is Non Governmental Organization (NGO) or commonly referred to as non-governmental organizations (NGO). Therefore, in this study I will try to elaborate or describe the role of NGOs / NGO Sada Ahmo Society (Pesada) in its efforts to increase women's political consciousness.
Theory is used to analyze the study was the theory of the role, NGOs / NGO, the theory of political participation through new social movements, political consciousness theory, gender theory and feminist theory to determine or as an approach to understanding women's movement. Pesada have a role in increasing women's political awareness with the political education program Education / Gender Awareness, Discussion Regarding the Issue of Women, Introduction to Law No.7/1984, Introduction to Government Systems and Political Law, Education Introduction to Gender Based Violence, Discussion on Regional Autonomy Law, as well as Field practices such as hearings, action and dialogue.
(12)
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
“Tak ada demokrasi tanpa kesetaraan gender”, cenderung provokatif memang. Tapi itulah penggambaran demokrasi yang sesungguhnya menurut perempuan, terinspirasi daripada slogan feminis sosialis dan pergerakannya dalam memperjuangkan kesetaraan gender dalam bidang sosial dan ekonomi dalam negara sosialis. Demokrasi di Indonesia sepertinya mengalami kepincangan dimana demokrasi tersebut hanya bisa dinikmati oleh sebagian atau sekelompok orang. Pada awal kemerdekaan, kaum perempuan mengalami masa kejayaan ditilik dari banyaknya organisasi-organisasi perempuan yang berdiri bahkan sebelum kemerdekaan ketika terjadi kongres pemuda, para perempuan-perempuan tak ingin ketinggalan dalam memberikan sumbangsih pada bangsa dan negaranya maka pada 22 Desember 1928 dilaksanakanlah Kongres Perempuan I, yang pada saat ini diperingati sebagai Hari Ibu sebagai salah satu bentuk contoh daripada politik domestikasi1
Berdasarkan adat, budaya, bahkan negara selalu menempatkan perempuan pada sisi subordinat dan berperan dalam lingkup domestik (dapur,kasur,sumur). Sedikitnya kesempatan dan akses yang dimiliki perempuan tak jarang membuat perempuan menjadi korban pembangunan atau demokrasi yang seharusnya turut dinikmatinya. Lebih dari setengah penduduk Indonesia adalah perempuan dengan tingkat partisipasi dalam pemilu yang cukup tinggi. Dan hal ini menjadi incaran calon-calon pejabat negara dan daerah dalam meraih
yang dilakukan Orde baru. Sampai saat ini politik domestikasi masih terasa begitu melekat dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti misalnya pembagian peran sosial dalam lingkup domestik dan publik.
1
Domestikasi adalah bentuk kebijakan yang menempatkan perempuan dalam lingkup rumah tangga sebagai istri dan ibu.
(13)
suara untuk memenangkan Pemilu yang merupakan “pesta” demokrasi sebagai salah satu indikator daripada negara demokrasi. Namun setelah menang, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan justru tidak pernah memperhatikan dan berpihak kepada kepentingan perempuan, dan partisipasi yang dilakukan bisa dikatakan masih bersifat pasif atau tanpa kesadaran penuh. Perempuan dimobilisasi untuk dijadikan “perahan” suara, hal ini tidak terlepas daripada kesadaran politik perempuan yang dapat dikatakan rendah apalagi di tingkat daerah/desa. Hak-hak politik perempuan belum dipahami sepenuhnya sebagai hak individual, tetapi sangat patriarkhis atau didasarkan pada relasi kekuasaan di sekitar perempuan, misalnya sorang isteri mengikut pilihan politik suami2
Namun tidak berjalannya fungsi partai politik dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, membutuhkan alternatif lembaga lain dalam melakukan pendidikan politik sebagai suatu proses untuk mewujudkan civil society dalam negara demokratis. Pada saat ini lembaga yang dianggap paling relevan dalam mengambil alih peranan partai politik yang seharusnya sebagai penyokong demokrasi adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Organisasi Non-pemerintah (NGO). LSM/NGO bisa menjadi instrumen yang
. Namun ketika ada permasalahan, perempuan akan selalu terkena dampaknya yang paling besar seperti kenaikan harga bahan pokok, karena perempuan yang menyentuh langsung ranah tersebut. Untuk itu, sudah seharusnya pemerintah atau lembaga penyokong demokrasi menjalankan peranannya dalam memberikan pendidikan politik agar kesadaran politik masyarakat terbangun, bukan hanya sadar dalam menggunakan hak pilihnya namun sebagai golongan yang paling rentan terjadi marginalisasi, perempuan wajib mengenal dan mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai perempuan, manusia (HAM) dan sebagai warga negara.
2
Dina Lumbantobing, 2010. ‘Peolitik’ apa iya politik Cuma milik laki-laki. Sidikalang. Pustaka pelajar. Hal. 9-10.
(14)
sangat potensial di masa-masa mendatang dalam menyiapkan civil society dan mempengaruhi kebijakan publik3
Sentralisasi pembangunan pada masa pemerintahan orde baru bukan hanya berdampak pada tidak meratanya pembangunan tetapi juga menimbulkan masalah kecemburuan sosial yang bukan hanya terjadi pada antar daerah/provinsi tetapi juga antar wilayah yakni kota dengan desa. Dan desa sebagai unit terkecil daripada pemerintahan merasakan dampak yang paling parah. Kurangnya pembangunan dan keterbatasan akses membuat masyarakat desa terutama perempuan cenderung terabaikan hak-haknya. Marjinalisasi membuat masyarakat desa mengalami ketertinggalan baik itu di bidang pendidikan dan teknologi, ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, dan politik sehingga kemiskinan pun tak terhindarkan. Berangkat daripada kondisi ketidakadilan tersebut, sekelompok orang atau sejumlah warga negara yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang muncul baik dalam ekonomi dan sosial, dan tidak jarang pula dalam bidang politik membentuk sebuah organisasi sebagai bentuk perwujudan daripada komitmen kepedulian, yang dinamakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau yang umum juga dikenal dengan Organisasi Non-Pemerintah (Non-government Organization/NGO). LSM/NGO merupakan organisasi yang bersifat mandiri, artinya organisasi ini tidak menggantungkan diri kepada pemerintah sebuah negara terutama dalam hal dukungan finansial dan sarana/prasarana, sekalipun mendapat dukungan dana dari lembaga-lembaga internasional. Namun tidak berarti kalangan LSM/NGO sama sekali terlepas dari pemerintah, karena tidak jarang pemerintah memberikan fasilitas penopang, misalnya dengan adanya pembebasan pajak untuk aktifitas dan aset yang dimiliki oleh NGO, tergantung daripada kategori dan hubungannya dengan pemerintah yang akan dibahas dalam bab 2 nantinya
.
4
3
Affan Gaffar, 1997. NGO/LSM, Ruang publik, dan Civil Society di Indonesia. Jakarta. Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri. Hal. 22.
.
4
(15)
Salah satu contoh LSM/NGO yang berangkat dan berdiri daripada kondisi yang dijelaskan diatas adalah PESADA (Perkumpulan Sada Ahmo). PESADA (Perkumpulan Sada Ahmo) yang dulu disebut dengan Yayasan Sada Ahmo (YSA) merupakan Organisasi Non-Pemerintah/ORNOP lokal di Sumatera Utara yang berdiri pada awal Oktober 1990. Organisasi ini didirikan oleh 15 orang yang konsern terhadap kondisi sosial politik di Indonesia dan sebagai respon atau reaksi atas eksistensi masyarakat Pakpak sebagai suku asli Kabupaten Dairi yang saat itu termarjinalisasi. Sejalan dengan perkembangannya, ada beberapa temuan permasalahan pada masyarakat pakpak yakni berhubungan dengan keadilan gender dan masalah ekonomi, untuk itu YSA mengadakan program pendidikan politik untuk membangun kesadaran politik perempuan. Tema daripada program/kegiatan ini adalah menggugat peran sektor domestik dan akses ke sumber daya, serta budaya patriarkhi yang dipandang telah membatasi ruang gerak perempuan. Pelatihan pendidikan politik ini diadakan untuk memperkenalkan konsep Hak Asasi Perempuan (UU No.7/1984), hak politik perempuan, serta pemahaman terhadap Sistem Pemilu yang berimplikasi pada representasi perempuan serta kepentingan perempuan kedepannya5. Selain itu awal daripada ketertarikan saya adalah keterlibatan saya sebagai salah satu peserta daripada Pelatihan Feminis yang pernah dilaksanakan Pesada pada tahun 2010.
2. Perumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan titik tolak bagi perumusan hipotesis nantinya, dan rumusan masalah dapat menghasilkan jawaban daripada topik penelitian atau judul penelitian. Menurut Nazir, perumusan masalah biasanya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan yang jelas dan padat, berisi implikasi
5
(16)
adanya data untuk memecahkan masalah, serta merupakan dasar dalam membuat hipotesis dan judul penelitian6
Atas dasar latar belakang yang telah diuraikan, saya ingin mendeskripsikan sebuah fungsi atau peranan daripada sebuah organisasi kemasyarakatan sebagai salah satu pendorong terciptanya demokrasi tanpa bermaksud untuk melakukan penilaian. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
.
“ Bagaimanakah Peranan LSM/NGO PESADA (Perkumpulan Sada Ahmo) dalam Meningkatkan Kesadaran Politik Perempuan?”.
3. Pembatasan Masalah
Sebagai upaya dalam mensistematiskan masalah dalam peneltian ini diperlukan adanya batasan-batasan masalah agar masalah yang diteliti menjadi jelas, terarah serta konsisten. Dan adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini mengkaji mengenai peranan LSM/NGO Pesada sebagai salah satu instrumen demokrasi.
2. Penelitian ini mengkaji tentang kesadaran politik perempuan.
4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan keinginan yang ingin dilakukan dan dicapai dalam melakukan suatu penelitian, untuk itu tujuan penelitian perlu kiranya disusun secara spesifik sesuai dengan kepentingan penelitian. Tujuan penelitian
6
(17)
dapat ditulis dalam bentuk tujuan penelitian umum dan tujuan penelitian khusus7. Dan tujuan penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui dan mengkaji peranan LSM/NGO Pesada (Perkumpulan Sada Ahmo) dalam meningkatkan kesadaran politik perempuan.
5. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi penulis sendiri adalah menambah wawasan dan pengetahuan mengenai LSM/NGO dan Pesada serta peranannya dalam meningkatkan kesadaran politik perempuan.
2. Manfaat akademisnya yakni sebagai informasi atau referensi baru dalam pengembangan khasanah ilmu sosial terutama ilmu politik mengenai peranan suatu lembaga dalam mendukung demokratisasi.
3. Manfaat praktis yaitu dengan harapan agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat terutama kalangan aktivis dan perempuan untuk sadar politik.
6. Kerangka Teori 6.1Teori Peranan
Peranan merupakan serangkaian perilaku yang diharapkan oleh seseorang, pengharapan semacam itu merupakan suatu norma yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu peranan. Pada tingkat organisasi berlaku bahwa semakin kita dapat memahami tepatnya keselarasan atau integrasi antara tujuan dan misi
7
(18)
organisasi. Sementara menurut Soekanto peranan adalah aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran. Peranan diatur oleh norma-norma yang berlaku, dimana peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyelesuaian diri dan sebagai suatu proses.8
1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, peranan disini diartikan sebagai rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.
Adapun peranan seseorang seperti yang dikatakan oleh Levinson meliputi 3 hal yaitu :
2. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting sebagai struktur social masyarakat.
Konsep peranan selalu terkait dengan manusia, dimana pelaku-pelaku peranan social itu adalah manusia. Setiap individu atau manusia di dalam ruang social mempunyai beberapa status atau peran misalnya sebagai ketua organisasi, sekretaris dan sebagainya. Tiap individu tersebut berperan sesuai dengan status yang dimilikinya., dalam situasi tertentu status dengan peranan mempunyai hubungan yang sangat erat sekali yaitu dimana status tidak akan ada tanpa adanya peranan dan begitu juga peranan tidak akan ada tanpa adanya status. Dengan demikian status dan peranan tidak dapat dipisahkan. Konsep peranan tidak bisa dilepaskan dari konsep status. Peranan adalah pola perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki status.
6.1.1 Pengertian dan Peranan LSM/NGO
Lembaga Swadaya Masyarakat yang umum juga dikenal dengan Organisasi Non-Pemerintah (Ornop/NGO) merupakan organisasi yang dibentuk oleh kalangan yang bersifat mandiri, dalam artian organisasi seperti ini tidak
8
(19)
menggantungkan diri kepada pemerintah pada sebuah negara terutama dalam hal dukungan finansial dan sarana/prasarana, sekalipun mendapat dukungan dana dari lembaga-lembaga internasional. Tidak berarti kalangan NGO/LSM sama sekali terlepas dari pemerintah, karena tidak jarang pemerintah memberikan fasilitas penopang, misalnya dengan adanya pembebasan pajak untuk aktivitas dan asset yang dimiliki oleh NGO. Harus pula dicatat bahwa ada sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tumbuh dan bergerak dalam masyarakat, akan tetapi lembaga-lembaga tersebut sangat sulit dilepaskan dari pemerintah, karena tidak jarang lembaga tersebut didirikan oleh pemerintah atau mempunyai kaitan secara langsung ataupun tidak langsung dengan pemerintah, seperti misalnya PKK, Dharma Wanita dan lain-lain.
Memahami dan mengidentifikasi NGO bukanlah sesuatu yang mudah, karena peranannya berkaitan pula dengan bentuk hubungannya dengan pemerintah, dan selain itu jumlahnya juga sangat bervariasi serta bersifat heterogen. Ada beberapa NGO yang tumbuh dan berkembang sebagai hasil usaha masyarakat sendiri, akan tetapi ada juga NGO asing yang aktif di negara-negara dunia ketiga dan bekerjasama dengan NGO lokal yang berkecimpung dalam pembangunan di pedesaan.
Organisasi seperti NGO/LSM ini dibentuk sebagai perwujudan komitmen dari sejumlah warga negara yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang muncul baik dalam bidang ekonomi dan sosial, dan tidak jarang pula dalam bidang politik. Misalnya kalangan aktifis yang peduli terhadap nasib kalangan buruh membentuk organisasi yang yang membantu kalangan buruh. Begitu juga dengan sejumlah aktifis wanita yang prihatin dengan nasib kaum wanita membentuk organisasi yang melindungi kaum wanita dari pelecehan seksual, perlakuan yang semena-mena dalam rumah tangga atau kekerasan, dan lain-lain. Dengan kata lain, organisasi non-pemerintah muncul berdasarkan kepedulian dari kalangan aktifisnya.
(20)
LSM/NGO memainkan berbagai macam peranan dalam rangka proses pembangunan dalam sebuah negara, Noeleen Heyzer (dalam heyzer, ryker, and quizon, 1995 : 8) mengidentifikasi tiga jenis peranan yang dapat dimainkan oleh berbagai NGO yaitu:
1. Mendukung dan memberdayakan masyarakat pada tingkat “grassroots”, yang sangat esensial dalam rangka menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.
2. Meningkatkan pengaruh politik secara meluas melalui jaringan kerja sama baik dalam suatu negara ataupun dengan lembaga-lembaga intrnasional lainnya.
3. Ikut mengambil bagian dalam menentukan arah dan agenda pembangunan.
Sementara itu Andra L. Corrothers dan Estie W. Suryatna (1995:129-130) mengungkapkan dan mengidentifikasi peranan NGO dalam sebuah negara dengan sedikit menekankan kepada dimensi politik. Mereka membaginya menjadi empat peranan yakni (1) Katalisasi perubahan sistem dengan mengangkat sejumlah masalah yang penting dalam masyarakat, membentuk sebuah kesadaran global, melakukan advokasi demi sebuah perubahan kebijakan negara, mengembankan kemauan politik rakyat, dan mengadakan eksperimen yang mendorong inisiatif masyarakat; (2) Memonitor pelaksanaan sistem dan cara penyelenggaraan negara dan bila perlu melakukan protes, hal itu dilakukan karena bisa saja terjadi penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hukum terutama yang dilakukan oleh pejabat negara dan kalangan bisnis; (3) Memfasilitasi dalam rangka rekonsiliasi dengan lembaga peradilan, hal ini dilakukan karena tidak jarang terjadi kekerasan dan banyak kalangan warga masyarakat yang menjadi korban dari kekerasan itu. Kalangan NGO muncul secara aktif untuk melakukan pembelaan bagi mereka yang menjadi korban ketidakadilan; (4) Implementasi program pelayanan, NGO dapat menempatkan diri sebagai lembaga yang mewujudkan sejumlah program dalam masyarakat.
(21)
Mengingat peranannya yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat, tidak jarang pula kalangan masyarakat politik ataupun akademis melihat NGO sebagai alternatif dalam mewujudkan terciptanya civil society. Jikalau kita mengacu pada pendapat heyzer diatas maka kita dapat menggolongkan peranan NGO ke dalam dua kelompok besar, yaitu peranan dalam bidang non-politik (memberdayakan masyarakat dalam bidang sosial ekonomi) dan peranan dalam bidang politik (wahana untuk menjembatani antara warga masyarakat dengan negara atau pemerintah). Seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa NGO/LSM jumlahnya sangat banyak dan bersifat heterogen, Ryker dan Quizon (1995) mengkateorikan NGO menjadi empat kelompok besar, yaitu :
1. Government Organized NGOs or GO NGOs, yaitu NGO yang muncul karena mendapat dukungan dari pemerintah baik berupa dana maupun fasilitas. Biasanya NGO seperti ini mensukseskan program-program pemerintah. Dan di Indonesia NGO seperti ini disebut sebagai NGO Plat Merah.
2. Donor Organized NGOs or DO NGOs, yaitu NGO yang dibentuk oleh kalangan lembaga-lembaga donor baik yang bersifat multilateral maupun unilateral. NGO seperti ini biasanya dibentuk untuk mewujudkan program kalangan lembaga donor tersebut.
3. Autonomous or Independet NGOs, yaitu NGO yang dibentuk, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. NGO seperti ini sifatnya adalah independen secara finansial dan memiliki kepedulian yang sangat luas tentang berbaai hal dalam kehidupan sehari-hari.
4. Foreign NGOs, NGO seperti ini muncul sebagai perwakilan dari NGO yang terdapat di luar negeri, dan kehadirannya tentu saja harus setahu dan mendapat izin dari negara dimana NGO tersebut beroperasi.
NGO sama sekali tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan negara, begitu juga negara dimana pada beberapa negara misalnya peranan NGO bisa dikatakan cukup besar. Namun tidak selamanya hubungan antara NGO dan pemerintah
(22)
selalu berjalan baik, karena tidak jarang pula negara melihat NGO sebagai penantang dari program atau kebijaksanaan dari pemerintah meskipun ada beberapa NGO juga yang menjadi partner pemerintah. Untuk itu James V.Ryker mengklasifikasikan lima bentuk hubungan negara dengan NGO yakni :
1. Autonomous/ Benign Neglect. Dalam konteks hubungan yang seperti ini pemerintah tidak menganggap NGO sebagai ancaman, dan membiarkan NGO bekerja secara independent atau mandiri. Pemerintah dapat saja memiliki posisi “lepas tangan” terhadap apa yang dilakukan oleh NGO, misalnya menyangkut pembangunan desa. Dengan demikian NGO dapat menikmati kemandirian mereka dalam kegiatan sehari-hari tanpa adanya intervensi dari pemerintah.
2. Facilitation/ Promotion. Pemerintah menganggap kegiatan NGO sebagai suatu yang bersifat komplementer dan oleh karena itu pemerintah menyiapkan suasana yang mendukung bagi NGO untuk beroperasi. Misalnya dengan menyediakan fasilitas berupa peraturan/pengakuan hukum, hal-hal yang bersifat administratif, bahkan bantuan dana yang dapat diberikan secara langsung berupa “matching grants” atau dengan memberikan keringanan pajak.
3. Collaboration/ Cooperation. Pemerintah menganggap bahwa bekerja sama dengan kalangan NGO merupakan sesuatu yang menguntungkan, karena dengan bekerja sama maka semua potensi dapat dimaksimalkan guna mencapai suatu tujuan bersama. Selain itu kalangan NGO dapat menyediakan kemampuan dan kecakapan yang tidak dimiliki oleh kalangan pemerintah.
4. Cooptation/ Absorption. Pemerintah mencoba menjaring dan mengarahkan kegiatan kalangan NGO dengan mengatur segala aktifitas mereka. Untuk berfungsinya, kalangan NGO harus memenuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh kalangan pemerintah dan tidak jarang pemerintah melakukan kontrol secara aktif.
(23)
5. Containment/ Sabotage/ Dissolution. Pemerintah melihat NGO sebagai tantangan dan bahkan ancaman dan oleh karena itu pemerintah mengambil langkah tertentu untuk membatasi ruang gerak NGO, dan tidak jarang pula membubarkan NGO yang ketahuan melanggar ketentuan yang berlaku. Sementara itu khusus untuk Indonesia Pholip Eldridge (dalam Corrotehrs and Suryatna, 1995) mengajukan tiga model yang menyangkut hubungan antara negara dengan NGO dilihat dari dimensi orientasi NGO dalam melakukan kegiatannya.
Model yang pertama disebut sebagai “High-level Partnership: Grassroots Development” NGO yang masuk dalam ketegori ini pada prinsipnya sangat partisipatif, dan kegiatannya lebih diutamakan kepada hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan ketimbang advokasi. Kelompok ini kurang memiliki minat pada hal-hal yan bersifat politis, namun mempunyai perhatian yang sangat besar untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah. Model yang kedua adalah “ High-level Politics: Grassroots Mobilization”. NGO model ini mempunyai kecenderungan untuk aktif dalam kegiatan politik. Kegiatan-kegiatan mereka tidak jarang berhubungan dengan usaha untuk mendukung “peningkatan kesadaran politik” masyarakat, dan mereka pada umumnya tidak begitu setuju untuk bekerja sama dengan pemerintah. Dan model yang ketiga adalah “Empoweerment at the Grassroots”. NGO dalam kategori ini lebih memusatkan perhatiannya pada usaha untuk memberdayakan masyarakat terutama pada tingkat grassroots. Mereka percaya bahwa perubahan akan terjadi sebagai akibat dari meningkatnya kapasitas masyarakat bukan sesuatu yang berasal dari pemerintah9 Untuk lebih jelasnya dalam melihat hubungan anatara pemerintah dengan NGO ada pada tabel dibawah ini:
.
9
Affan Gaffar, 1997. NGO/LSM, Ruang publik, dan Civil Society di Indonesia. Jakarta. Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri.
(24)
Tabel 1.
Orientasi 1 2 3
Kerja sama dengan program pemerintah
Ya Terbatas Tidak
Pembangunan atau mobilisasi
Pembangunan Mobilisasi Mobilisasi
Penetrasi negara Medium Tinggi Rendah
Hubungan antara kelompok kecil dengan NGO
Semi- independent
Saling mendukung
Otonom
Orientasi dengan Negara
Akomodatif Untuk perubahan Bergantung keadaan Sumber: Philip Eldridge, NGOs in Indonesia: Popular Movements or Arm of Government
6.2 Teori Partisipasi Politik
Secara harfiah, partisipasi merupakan pengambilan bagian atau pengikutsertaan (Echols, 1996:419). Atau dengan pengertian lain partisipasi adalah hal tentang turut berperan dalam suatu kegiatan atau berperan serta. Dalam pengertian umum, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik. Menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang (1994:4), partisipasi politik adalah kegiatan warga (privat citizen) yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang bertujuan untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Partisipasi ini dapat bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efekif atau tidak efektif. Peran atau kegiatan-kegiatan politik terkait erat dengan
(25)
aktivitas politik mulai dari peranan politikus, mengikuti pemilu, partai sampai demonstrasi10
Sedangkan, menurut Ramlan Surbakti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik, (1984: 140) mengatakan bahwa partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya
.
11
. Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya “The Social Contract” mengatakan, partisipasi sangat penting bagi pembangunan diri dan kemandirian warga negara. Melalui partisipasi individu menjadi warga publik, mampu membedakan persoalan pribadi dengan persoalan masyarakat. Hal ini ditegaskan pula oleh Miriam Budiarjo (2004), bahwa partisipasi politik merupakan pengejewantahan daripada penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah dari rakyat dan sangat erat kaitannya dengan kesadaran politik12
Mode Partisipasi Politik
.
Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar, yakni:
1. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an.
2. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan terror13.
10
Huntington, P. Samuel & Joan Nelson, 1994, Partisipasi Politik, Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 4
11
Surbakti, Ramlan. 1999.Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia. Hal. 140
12
Budiardjo, Miriam. 2004. Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT.Gramedia. Hal. 368
13
(26)
Dalam konteks negara, partisipasi politik rakyat adalah keterlibatan rakyat secara perseorangan (privat citizen) untuk mengerti, menyadari, mengkaji, melobi dan memprotes suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan tujuan mempengaruhi kebijakan agar aspiratif terhadap kepentingan mereka. Dari ilustrasi diatas, partisipasi rakyat bisa dipahami sebagai keterlibatan rakyat dalam pengertian politik secara sempit hubungan negara dan masyarakat (dalam bingkai governance) dan juga politik. Sedangkan politik secara luas yaitu semua bentuk keterlibatan masyarakat untuk mempengaruhi ataupun melakukan perubahan terhadap keputusan yang diambil. Partisipasi politik rakyat sebenarnya adalah tema sentral dari proses demokratisasi. Huntington dan Nelson (1994 : 16 – 19) menjelaskan bahwa partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan atau prilaku yakni :
a) Kegiatan pemilihan mencakup suara, sumbangan-sumbangan untuk kampanye, mencari dukungan, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Ikut dalam pemungutan suara adalah bentuk partisipasi yang jauh lebih luas dibandingkan dengan bentuk-bentuk partisipasi lainnya.
b) Lobbying, mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan yang menyangkut kepentingan umum.
c) Kegiatan organisasi, menyangkut partisipasi sebagai anggota dalam suatu organisasi yang tujuan utamanya adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
d) Mencari koneksi (contacting) merupakan tindakan perseorangan yang ditujukan terhadap pejabat pemerintah dengan maksud memperoleh manfaat bagi satu orang atau sekelompok orang.
e) Tindak kekerasan (violence), sebagai suatu upaya untuk mempengaruhi keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap
(27)
orang atau benda. Oleh karena itu kekerasan biasanya mencerminkan motivasi-motivasi yang lebih kuat. Kekerasan dapat ditujukan untuk mengubah pimpinan politik, mempengaruhi kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah atau merubah sistem politik (revolusi)14.
Dalam partisipasi politik berlaku proses-proses politik yang harus dipahami dan diikuti, baik laki-laki ataupun perempuan. Seperti yang dikatakan oleh David Easton, proses politik adalah merupakan interaksi diantara lembaga-lembaga pemerintah dan kelompok-kelompok sosial. Hal ini menunjukkan, politik tidak hanya aktifitas yang ada pada tingkat elite tetapi melihat sudut pandang yang lebih pluralistic. Menurut Lester dalam “Political Participation” menyebutkan adanya dua orientasi dalam partisipasi politik berhubungan dengan proses politik yaitu:
a. partisipasi politik yang berhubungan pada output proses politik (disebut partisipasi pasif).
b. Dan partisipasi politik yang berhubungan dengan input proses politik (disebut partisipasi aktif), dimana aktifitas individu atau kelompok yang berkenaan dengan masukan-masukan proses pembuatan kebijakan15.
Sementara Milbrath dan Goel membedakan partisipasi menjadi beberapa kategori, yaitu sebagai berikut ;
1. Apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik.
2. Spektator, yakni orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilihan umum.
3. Gladiator, yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap
14
Ibid, Hal. 16-19.
15
(28)
muka, aktivis partai dan pekerja kampanye serta aktivis masyarakat.
4. Pengkritik, yaitu orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional (Sastroatmodjo, 1995 : 74 – 75).
6.2.1 Partisipasi Politik melalui Gerakan Sosial Baru (New Social
Movement/NSM) dan Kelompok-Kelompok Kepentingan
Dalam perkembangannya partisipasi politik tidak hanya dalam bentuk mengikuti pemilihan umum tetapi juga bisa dalam bentuk partisipasi lain, yaitu melalui kelompok-kelompok. Hal ini disebabkan karena orang sudah mulai menyadari bahwa suara satu orang sangat kecil pengaruhnya terutama di negara-negara yang penduduknya berjumlah besar seperti Indonesia. Melalui kegiatan menggabungkan diri dengan orang lain menjadi suatu kelompok, diharapkan tuntutan mereka akan lebih didengar oleh pemerintah. Tujuan kelompok ini adalah mempengaruhi kebijakan pemerintah agar lebih menguntungkan mereka. kelompok-kelompok ini kemudian berkembang menjadi gerakan sosial (social movements). Dalam bukunya Power in Movement (1994), T. Tarrow berpendapat bahwa :
Gerakan sosial adalah tantangan kolektif oleh orang-orang yang mempunyai tujuan bersama berbasis solidaritas, (yang dilaksanakan) melalui interaksi terus-menerus dengan para elite, lawan-lawannya, dan pejabat-pejabat.
Gerakan ini merupakan bentuk perilaku kolektif yang berakar dalam kepercayaan dan nilai-nilai bersama.
Kelompok-Kelompok kepentingan16
16
Dulu disebut “kelompok penekan” (pressure grups). Akan tetapi karena muncul angapan bahwa tidak semua kelompok mengadakan penekanan, dewasa ini masyarakat lebih cebderung memakai istilah “kelompok kepentingan”.
muncul pertama kali pada awal abad ke-19. Organisasi internal yang lebih logar dibanding dengan partai politik. Mereka juga tidak memperjuangkan kursi dalam parlemen karena menganggap badan tersebut telah berkembang menjadi terlalu umum sehingga tidak sempat mengatur masalah-masalah yang lebih spesifik. Mereka cenderung memfokuskan
(29)
diri pada satu masalah tertentu saja. Keanggotaannya terutama terdiri dari golongan-golongan yang menganggap dirinya tertindas serta terpinggirkan, seperti kaum buruh dan perempuan.
Pada tahun 1960-an muncul fenomena baru sebagai lanjutan dari gerakan sosial yang lama, yaitu Gerakan Sosial Baru (New Social Movements atau NSM). Gerakan sosial baru ini berkembang menjadi gerakan yang sangat dinamis. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas hidup (quality of life) dengan cara mendirikan berbagai kelompok yang peduli pada masalah-masalah baru seperti lingkungan, gerakan perempuan, hak asasi manusia, dan gerakan anti nuklir. Diantara kelompok kepentingan itu ada yang bersifat sosial dan ada yang lebih bersifat advokasi (seperti penegakan hak asasi).
Dasar dari kelompok ini adalah “protes”. Mereka sangat kritis terhadap cara-cara berpolitik dari para politisi dan pejabat, dan merasa “terasingkan” dari masyarakat. Mereka menginginkan desentralisasi dari kekuasaan negara, desentralisasi pemerintah, partisipasi dalam peningkatan swadaya masyarakat (self help) terutama masyarakat lokal. Kadang-kadang fenomena ini dinamakan demokrasi dari bawah (democrazy from below), mereka bertindak sebagai mediator antara pemerntah dan masyarakat, terutama di tingkat akar rumput (grass roots) dengan memberikan masukan (input) kepada para pembuat keputusan. Selain itu, mereka dapat menjadikan badan eksekutif dan anggota parlemen menjadi lebih responsif dan akuntabel terhadap masyarakat. Dalam rangka ini mereka dianggap sebagai faktor yang sangat penting dalam proses demokrasi.
Karena beragamnya kelompok-kelompok kepentingan ini Gabriel A. Almond dan Bingham G. Powell dalam buku “Comparative Politics Today: A World View” (1992) yang diedit bersama membagi kelompok kepentingan dalam 4 kategori yakni 1) Kelompok Anomi, 2) Kelompok Nonasosiasional, 3) Kelompok Institusional, 4) Kelompok Asosiasional dan 5) Lembaga Swadaya
(30)
Masyarakat (LSM/NGO)17.
6.3Teori Gerakan Sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan Sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada. Perlawanan atau desakan yang bertujuan untuk melakukan suatu perubahan dapat dikategorikan sebagai gerakan sosial yang lahir daripada suatu kondisi tau situasi yang dialami masyarakat yang dalam penekanannya ada 4 faktor yakni; ketidakpuasan, sumber daya, peluang politis dan proses-proses konstruksi pemaknaan18
Berbagai gerakan sosial dalam bentuk LSM/NGO, Ormas ataupun Parpol yang semakin menjamur keberadaannya merupakan suatu indikasi bahwa masyarakat mengalami sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingan atau keinginan yang ideal menurut mereka, dan berupaya untuk memperbaiki sistem atau struktur yang dianggap cacat atau tidak sesuai tersebut. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi maka secara sosial yang sifatnya menuntut perubahan institusi, kebijakan dan lainnya maka gerakan sosial akan terjadi. Dari hal tersebut dapat kita ambil kesimpulan sementara bahwa gerakan sosial merupakan sebuah gerakan yang lahir dari dan atas prakarsa masyarakat sendiri dalam usaha menuntut perubahan yang lebih baik.
.
Beberapa ahli mempunyai pandangan yang berbeda-beda mengenai apa itu gerakan sosial dan bagaimana memahaminya. Ada beberapa ahli yang lebih menekankan pada aspek organisasi dan tujuan daripada gerakan sosial. Misalnya Michael Useem, mendefinisikan gerakan sosial sebagai “tindakan kolektif
17
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama. Hal. 382-387
18
(31)
terorganisasi yang dimaksudkan untuk mengadakan perubahan sosial”, John Mc.Carthy dan Meyer Zald, berpendapat bahwa “gerakan sosial merupakan upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan di dalam distribusi hal-hal apapun yang bernilai secara sosial”, sedangkan Charless Tilly menambahkan corak perseteruan atau perlawanan di dalam interaksi antara gerakan sosial dan lawan-lawannya, charles mengatakan bahwa “gerakan sosial adalah suatu upaya-upaya mengadakan perubahan lewat interaksi yang mengandung perseteruan dan berkelanjutan antara warga negara dan negara”. Tak jauh berbeda, Anthony Giddens menyatakan bahwa “gerakan sosial merupakan sebuah upaya kolektif untuk mengejar kepentingan kepentingan bersama atau gerakan untuk mencapai tujuan bersama atau gerakan bersama melalui tindakan kolektif di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan”19
Gerakan sosial secara teoritis merupakan sebuah gerakan yang lahir dari dan atas prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut perubahan dalam institusi, kebijakan atau struktur pemerintah. Disini terlihat tuntutan perubahan itu biasanya karena kebijakan itu bertentangan dengan kehendak sebagian rakyat. Karena gerakan sosial lahir dari masyarakat maka kekurangan apapun ditubuh pemerintah menjadi sorotannya. Dari literatur yang ada mengenai gerakan sosial, ada pula yang mengartikan gerakan sosial sebagai sebuah gerakan yang anti pemerintah dan juga pro pemerintah. Ini berarti tidak selalu gerakan sosial itu muncul dari masyarakat tapi bisa juga hasil rekayasa para pejabat pemerintah atau penguasa
.
20
Denny JA menyatakan ada tiga kondisi lahirnya gerakan sosial. Yang pertama, gerakan sosial dilahirkan dengan kondisi yang memberikan kesempatan bagi gerakan itu, misalnya dalam pemerintahan moderat memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang dalam pemerintahan otoriter. Kedua, gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas
.
19
Astrid S. Susanto. 1998. Masyarakat Indonesia Memasuki Abad 21, Dirjen dikti depdikbud, Hal. 21.
20
Juwono Sudarsono (ed). 1976. Pembangunan dan Perubahan Politik, Jakarta : Gramedia. Hal. 24-25.
(32)
situasi yang ada, misalnya perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang dapat menimbulkan tingginya kesenjangan sosial. Dan yang ketiga, geraan sosial semata-mata masalah kemampuan dari tokoh penggerak. Sang tokoh penggerak akan menjadi inspirator, membangun jaringan, membentuk organisasi yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi untuk terlibat dalan gerakan tersebut21
6.4 Kesadaran Politik
.
Secara harfiah kata kesadaran berasal dari kata ‘sadar’, yang berarti merasa; tahu; dan mengerti. Jadi, kesadaran adalah merasa mengerti atau memahami sesuatu. Berbicara mengenai kesadaran akan selalu berkaitan dengan individu dan anggota masyarakat. Dengan kesadaran yang dimiliki oleh setiap individu, maka ia dapat mengendalikan, memempatkan atau menyesuaikan diri baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Menurut Widjaya (1984: 14), “Sadar (kesadaran) adalah kesadaran kehendak dan kesadaran hukum. Sadar diartikan merasa, tahu, ingat keadaan sebenarnya, dan ingat keadaan dirinya. Kesadaran diartikan sebagai keadaan tahu, mengerti, dan merasa, misalnya tentang harga diri, kehendak hukum dan lainnya”. Widjaya juga (1984:14) juga mengatakan bahwa ada dua sifat kesadaran yakni;
a. Kesadaran yang bersifat statis yaitu; kesadaran yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan berupa ketentuan-ketentuan dalam masyarakat.
b. Kesadaran yang bersifat dinamis yaitu; kesadaran yang menitikberatkan pada kesadaran yang timbul dari dalam diri manusia.
Kesadaran juga memiliki beberapa tingkatan yang menunjukkan derajat seseorang. Menurut N.Y Bull (Djahiri, 1985: 24), tingkatan – tingkatan kesadaran tersebut adalah sebagai berikut:
21
Noer Fauzi. 2005. Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga, Yogyakarta : Insist Press. Hal. 21.
(33)
a. Kesadaran yang bersifat anomous yaitu kesadaran atau kepatuhan yang tidak jelas dasar dan alasan atau orientasinya.
b. Kesadaran yang bersifat heteronomous yaitu kesadaran atau kepatuhan yang berlandaskan dasar/orientasi motivasi yang beraneka ragam atau beranti-ganti. Hal tersebut kurang pasti sebab mudah berubah oleh situasi dan kondisi.
c. Kesadaran yang bersifat sosionomous yaitu kesadaran atau kepatuhan yang berorientasikan pada kiprah umum atau khalayak ramai.
d. Kesadaran yang bersifat autonomous yaitu kesadaran atau kepatuhan yang terbaik karena didasari oleh konsep kesadaran yang ada dalam diri seseorang.
Dari pengertian diatas maka kesadaran merupakan sikap atau perilaku mengetahui atau mengerti dan taat pada aturan serta ketentuan perundanga-undangan yang ada. Selain itu juga, kesadaran dapat diartikan sebagai sikap atau perilaku mengetahui atau mengerti dan taat pada adat istiadat serta kebiasaan hidup dalam masyarakat.
Sedangkan kesadaran politik menutut Ramlan Surbakti (1995: 114), “kesadaran politik adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara”. Hal ini menyangkut pengetahuan seseorang tentan lingkungan masyarakat dan politik serta menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat ia hidup. Koentjaraningrat, dkk (dikutip Sri Mulyani 1991: 71) mengemukakan bahwa kesadaran politik memerlukan kesadaran dan pengetahuan orang mengenai ketentuan – ketentuan politik dan masyarakat. Dari dua pengertian di atas memiliki penekanan yang sama yaitu pengetahuan politik seseorang tentang realitas politik yang ada di lingkungannya, yang dilanjutkan dengan merealisasikan apa yang diketahuinya melalui perhatiannya terhadap lingkungan politik. Maksudnya kesadaran politik tidak hanya berupa pengetahuan tentang politik tetapi juga dibarengi dengan aplikasinya di tengah-tengah masyarakat.
(34)
Untuk mengukur tinggi rendahnya kesadaran politik secara kuantitatif sangatlah sulit, dan salah satu jalan yang ditempuh untuk mengukur kesadaran politik tersebut yaitu dengan mengemukakan dan mengenali indikator-indikator yang dapat menunjukkan kecenderungan kesadaran politik warga negara. Menurut Gabriel Almond dan Sindey Verba (1984: 67), untuk mengukur dimensi kesadaran politik dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
a. Mengikuti segala aktifitas pemerintahan
b. Mengikuti laporan mengenai aktivitas pemerintahan melalui berbagai media.
6.5 Teori Gender
Teori gender dipakai sebagai pisau analisis sosial konflik yang mengacu kepada ketidakadilan peran, fungsi, kedudukan, dan struktural karena kondisi sosial, tradisi masyarakat, keyakinan beragama individu, dan kebijakan pemerintah. Istilah gender sering dipakai kalangan Feminis ataupun masyarakat yang tertarik dengan Pergerakan Perempuan. Gender membicarakan tentang kedudukan perempuan dan laki-laki. Lebih lengkapnya gender adalah suatu konstruksi sosial antara laki-laki dan perempuan yang mana dilihat bukan dari perbedaan biologisnya namun dari kedudukan, status, tugas dan peranan di antara keduanya ditinjau dari persfektif sosial, ekonomi, hukum, budaya, HAM bahkan di lingkungan keluarga sendiri. Gender bukan hanya berbicara tentang perempuan tetapi laki-laki juga mengalaminya. Meskipun, yang sering mendapat perbedaan dan perlakuan yang tidak adil adalah perempuan.
Secara etimologi gender berasal dari kata Latin genus, Inggris abad pertengahan gendre, Yunani gen, dan Prancis modern genre. Awalnya secara umum berarti “jenis” (kata benda) atau “menghasilkan” (kata benda), namun belakangan secara gramatikal lebih sering digunakan untuk menunjuk jenis
(35)
kelamin atau seks secara sosial daripada biologis22. Kata gender dipopulerkannya oleh Ann Oakley, seorang sosiologi asal Inggris. Seperti dijelaskan Oaklley dalam bukunya yang berjudul Sex, Gender and Society , secara praktis istilah gender awalnya dikenal dalam ilmu medis terutama dalam psikologi era 1930-an yang mempergunakan istilah ini untuk menunjuk atribut psikologis seseorang tanpa mempersoalkan kaitannya dengan seks. Kaitan gender dengan seks baru dipersoalkan pada 1986 oleh seorang psikiater bernama Robert Stoller dalam bukunya berjudul Sex and Gender. Dalam buku tersebut, Stoller membahas seseorang yang dilahirkan dengan alat kelamin (external genitalia) jantan atau betina, namun yang bersangkutan tumbuh berkembang justru menyerupai lawan jenisnya. Berdasarkan hal inilah, Stoler mempergunakan istilah gender untuk menunjuk perilaku, perasaan, pikiran, dan fantasi tentang seks yang tidak selalu berkonotasi biologis. Oakley mendefinisikan gender as a matter of culture taht refers to social classfication of masculine and feminisme yang dibedakan dengan sex that refers to the biological differences between male and female. Dengan kata lain, gender menurut Oakley adalah pada dasarnya merupakan sebuah konstruksi sosial. 23
Dalam buku Pemberdayaan Perempuan dari masa ke masa, karangan Aida Vitalaya S.Hubeis, Gender adalah suatu konsep yang merujuk pada suatu sistem peranan dan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, akan tetapi oleh lingkungan sosial budaya, politik dan ekonomi. Gender mengacu pada perbedaan peran sosial serta tanggung jawab perempuan dan lelaki pada perilaku dan karakteristik yang dipandang tepat untuk perempuan dan laki-laki pada pandangan bagaimana kegiatan yang mereka lakukan seharusnya dihargai.24
22
23
Basilica Dyah Putranti. SDM, Tantangan masa depan : reposisi gender dalam pembangunan. Yogyakarta. Gadjahmada. 2007. Hal: 220
24
Hubeis, Aida vitalaya S. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor. PT. Penerbit IPB Press.2010
(36)
Masyarakat umum sangat sulit membedakan antara pengertian gender dengan seks (jenis kelamin) sehingga seringkali terjadi ‘penyamaan’ pengertian yang menimbulkan kesalahpahaman. Padahal gender dengan seks itu jelas berbeda. Seks adalah perbedaan biologis dan fungsional tubuh antara laki-laki dan perempuan. Karakteristik seks adalah sebagai berikut:
1) Ciptaan tuhan 2) Bersifat kodrati
3) Tidak dapat ditukar/diubah
4) Berlaku dimanapun dan kapanpun
Sedangkan, Gender merupakan perbedaan fungsi, peranan, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil daripada konstruksi sosial. Karakteristik gender yakni:
1) Buatan manusia 2) Tidak bersifat kodrat 3) Dapat berubah/ditukar
4) Tergantung waktu dan budaya setempat
Dan untuk memahami konsep gender, ada beberapa hal yang harus kita pahami yakni ketidakadilan gender dan kesetaraan gender.
A. Kesetaraan gender
Kesetaraan gender merupakan suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial antara perempuan dan laki-laki setara, seimbang, dan harmonis.
B. Ketidakadilan gender
Ketidak-adilan gender merupakan suatu kondisi tidak adil sebagai akibat daripada sistem atau struktur sosial dimana laki-lai dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut, dan hal ini terjadi karena adanya keyakinan/pembenaran yang ditanamkan secara turun-temurun.
(37)
Untuk melihat apakah ada masalah sebagai akibat dari gender dalam suatu masyarakat adalah dengan melihat apakah di suatu negara atau masyarakat menimbulkan ketidakadilan gender baik perempuan atau laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari bentuk – bentuk ketidak-adilan gender yang meliputi :
• Marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) perempuan yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat di Negara berkembang seperti penggusuran dari kampung halaman, eksploitasi, banyak perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti intensifikasi pertanian yang hanya memfokuskan pada petani laki – laki.
• Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Ada pandangan yang menempatkan kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki – laki.
• Stereotypemerupakan pelabelan atau penandaan yang sering kali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidak-adilan pada salah satu jenis kelamin tertentu.
• Kekerasan (violence), artinya suatu serangan fisik maupun serangan non fisik yang dialami perempuan maupun laki – laki sehingga yang mengalami akan terusik batinnya
• Beban kerja (double burden) yaitu sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidak-adilan gender dimana beberapa beban kegiatan diemban lebih banyak oleh salah satu jenis kelamin25.
25
(38)
6.6 Teori Feminisme
Feminisme dilahirkan beberapa abad yang lalu di Barat yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet, karena menilai adanya ketidakadilan bagi kaum perempuan. Sumber ketidakadilan itu dinilai karena kuatnya dominasi laki-laki (pathriarki). Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Simone de Beauvoir dalam Le Deuxieme Sexe (1949) memunculkan eksistensi perempuan sebagai kelas kedua. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa (perempuan kulit putih) memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.
Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pada awalnya gerakan ini diperlukan pada masa itu, karena terjadinya pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang pathriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan terutama bidang-bidang politik, hak-hak kaum perempuan biasanya memang lebih rendah ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris (pertanian), cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan atau di luar rumah sedangkan kaum perempuan di rumah.
Secara umum, hal-hal yang menjadi momentum perjuangan gerakan feminisme yaitu: hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya, gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, dan penindasan perempuan.
Dalam perjalanan sejarahnya, ide feminisme ternyata muncul di berbagai penjuru dunia dan punya berbagai corak yang masing-masing menawarkan analisisnya tentang sebab dan pelaku penindasan kaum perempuan. Meski berbeda-beda, pada
(39)
dasarnya feminisme sampai kini masih sepakat bahwa diperlukan perjuangan untuk mencapai kesetaraan harkat perempuan dengan laki-laki, serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga.
Menurut Gerda Lerner terdapat beberapa defenisi mengenai istilah feminisme. Diantaranya, feminisme adalah sebuah doktrin yang menyokong hak-hak sosial dan politik yang setara bagi perempuan; kepercayaan pada perubahan sosial yang luas dan berfungsi untuk meningkatkan daya perempuan. Menurutnya, feminisme dapat mencakup baik gerakan hak-hak perempuan maupun emansipasi perempuan. Feminisme juga dapat dikatakan sebagai sebuah ide yang berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Feminisme sesungguhnya adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan. Berbicara mengenai pembebasan berarti ada hubungannya dengan penindasan. Pembebasan mewujudkan pembatasan atas penindasan. Penindasan bersifat tidak adil. Penindasan dan pembebasan tidak hanya memperkenalkan terminologi politik baru, namun sebuah perspektif baru dalam dunia politik, pandangan ini dipengaruhi oleh ide Marxis dari perlawanan kelas26
Sampai kini dikenal beberapa aliran besar feminisme antara lain feminisme Marxis, feminisme Sosialis, feminisme liberal, dan feminisme radikal.
.
1. Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi
26
(40)
(private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus. Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
2. Feminisme Sosialis
Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide tanpa kelas, tanpa pembedaan gender. Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini hendak mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan.
Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan
(41)
ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
3. Feminisme Liberal
Feminisme Liberal memiliki pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh d kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki. Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi
(42)
bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota (UU No. 8 tahun 2012) bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
4. Feminisme Radikal
Aliran ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan perempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black campaign), banyak ditujukan kepada feminis radikal, padahal karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)27.
27
(43)
7. Metodologi Penelitian
a) Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-eksplanatif28 , yakni pendeskripsian atau penggambaran secara mendalam tentang situasi atau proses yang diteliti. Penelitian kualitatif tidak berusaha untuk menguji hipotesis, dan penelitian ini bersifat alamiah (natural setting), artinya peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi situs (setting) penelitian ataupun melakukan intervensi terhadap aktivitas subjek penelitian dengan memberikan perlakuan tertentu namun peneliti berusaha untuk memahami fenomena yang dirasakan subjek sebagaimana adanya. Oleh karena itu, peneliti kualitatif membutuhkan waktu yang “cukup lama” agar dapat mengikuti atau melihat perubahan dan perkembangan subjek yang diteliti.29
b) Teknik Pengumpulan Data
Menurut Bagong Suyanto ,dkk. dalam suatu penelitian kualitatif ada tiga macam atau teknik dalam mengumpulkan data, yakni30
1. Wawancara secara mendalam
:
Data yang diperoleh merupakan kutipan langsung dari orang-orang tentang pengalaman, perasaan, dan pengetahuannya. Untuk mengumpulkan data penulis akan melakukan wawancara dengan pengurus Pesada dan masyarakat atau perempuan dampingan Pesada.
2. Observasi langsung/terlibat
Proses pengumpulan data dengan turun langsung ke lapangan serta ikut terlibat dalam proses yang tengah dialami subjek penelitian.
3. Penelaahan terhadap dokumen tertulis (kepustakaan)
28
Deskriptif-eksplanatif menggambarkan serta menjelaskan (To explain; menjelaskan).
29
Muhammad Idrus. 2002. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta. Penerbit Erlangga. Hal. 24-25.
30
(44)
Pencarian data dari buku-buku, jurnal, koran, catatan organisasi, dan lainnya.
c) Teknik Analisis Data
Metode penelitian kualitatif lebih berorientasi pada eksplorasi dan penemuan (discovery oriented). Oleh karena itu, peneliti akan mencoba memahami fenomena atau gejala yang dilihatnya sebagaimana adanya dengan teknik analisis-induktif yang dimulai dengan melakukan observasi-observasi untuk menemukan pola atau hubungan daripada judul penelitian31. Pada awalnya peneliti akan melakukan pra observasi dan berdiskusi langsung dengan pengurus atau koordinator Pesada baik di cabang maupun pusat. Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan data dan menyusun data tersebut yang akan disesuaikan kembali dengan fakta atau fenomena yang ada di lapangan serta mengikuti kegiatan-kegiatan Pesada yang berhubungan dengan program pendidikan politik.
31
(45)
8. Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan yang akan dilakukan di dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Pada bab ini akan dimuat latar belakang, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, sistematika penelitian.
Bab II : Profil Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA)
Pada bab ini akan dibahas mengenai sejarah pesada ( perkumpulan sada ahmo ), visi dan misinya, strategi/kerangka kerja, program penguatan, dan struktur organisasinya dan staf/karyawan pesada.
Bab III : Peranan LSM/ORNOP PESADA ( Perkumpulan Sada Ahmo ) dalam Meningkatkan Kesadaran Politik Perempuan.
Pada bab ini akan dibahas mengenai Peranan Pesada Sebagai Institusi Feminis, Peranan Pesada Dalam Meningkatkan Kesadaran Politik Perempuan, Peranan Pesada Dalam Penguatan Politik Perempuan serta Hambatan atau Kendala yang dialami dalam melakukan Pendidikan Politik.
(46)
BAB II
PROFIL PERKUMPULAN SADA AHMO (PESADA)
I. Sejarah Pesada
Berawal dari reaksi atas termarjinalisasinya suku Pakpak sebagai suku asli Kabupaten Dairi merupakan cikal bakal berdirinya Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA) sebagai organisasi non politik yang konsern terhadap isu-isu kemanusiaan khususnya perempuan dan anak. Pada awalnya sejumlah teolog dan mahasiswa Sekolah Tinggi Theologia (STT) HKBP Pematangsiantar pada tahun 1988-an seperti misalnya Siparani P.Siregar, Bonar Hasudungan Lumbantobing, dan Tiominar Hotmauli Ujung yang juga merupakan salah satu mahasiswi yang berasal dari Pakpak terlibat aktif dalam aktivitas kampus yakni penguatan masyarakat marjinal pada Program Latihan Penelitian dan Pengembangan (PLPP). Hal atau aktivitas tersebut dipahami mereka sebagai panggilan kenabian dalam proses pendewasaan spiritualitas.
Bentuk panggilan kenabian tersebut diwujudkan dalam beberapa upaya yakni membela nasib para nelayan tradisional di Sibolga, kaum buruh di kawasan Medan dan Belawan, serta pedagang tradisional yang terjerat dalam praktek riba uang yang tinggi di Pematang Siantar. Kaum nelayan, buruh, dan pedagang tradisional merupakan yang paling dirugikan oleh sistem yang ada serta rentan mengalami kekerasan dan ketidakadilan. Misalnya seperti yang dialami kaum buruh dimana mereka tidak hanya mendapatkan upah yang tidak layak serta fasilitas kerja dan kesehatan yang minim, namun mereka juga sering mengalami kekerasan baik secara fisik maupun seksual.
Dari berbagai pengalaman melakukan pendampingan dengan orang-orang yang dimarjinalkan membuat beberapa mahasiswa dan dosen semakin menguatkan tekat untuk meningkatkan pengabdian mereka. Dengan latar belakang
(47)
perguruan tinggi agama, maka muncul ide atau gagasan awal untuk mendirikan sebuah biara. Dalam sejarah nya biara memainkan peranan penting dalam memajukan kaum marjinal serta dianggap mempunyai impuls politik dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun secara fsik biara tidak berhasil dibangun namun semangat melayani dan mengasihi masih tetap hidup sehingga dalam perjalanannya dirasa perlu untuk melembagakan nilai-nilai semangat dari biara yakni Sinceritas dan Simplicitas.
Hal inilah yang mendorong pemikiran tentang pentingnya sebuah wadah untuk menaungi aktivitas pelayanan tersebut. Maka atas inisiatif 15 aktivis yakni; Siparani P. Siregar, Bonar H. Lumbantobing, Jaharianson S. Sumbayak, Tiominar Hotmauli Ujung, Humala Doloksaribu, Erlina C.D Pardede, Dina Lumbantobing, Tiodorlin Gultom, Nelly Maria Hutahean, Risma Sitorus, Marudut Manalu, Jadasri Dosdo Saragih, Rista Maruli Saragih dan Ramlan Sinaga didirikanlah sebuah Yayasan Sada Ahmo pada Oktober 1990 yan secara formal diaktenotariskan pada 1 Februari 1991.
Masyarakat Pakpak dipilih sebagai wilayah pelayanan karena dalam pandangan para pendiri yayasan, wilayah tersebut merupakan cermin dari perlakuan rezim Orde Baru yang banyak mengabaikan pembanunan di wilayah pedesaan (sentralisasi pembangunan). Yayasan itu sendiri diberi nama Sada Ahmo; Sada berarti satu dan Ahmo berarti persaudaraan, yang berarti satu persaudaraan.
1. VISI
Terciptanya kondisi masyarakat yang dijiwai oleh semangat, ketulusan hati, disiplin, kesederhanaan, solidaritas, pengabdian, kesetaraan, dan keadilan gender.
2. MISI
(48)
• Penguatan ekonomi, sosial, budaya, dan politik perempuan, anak, dan kelompok marjinal.
• Advokasi dan pembelaan perempuan, anak, dan kelompok marjinal.
• Kajian dan pengembangan kapasitas.
I.1 Mendirikan Taman Bina Asuh Anak (TBAA) Arkemo di Tinada
Desa Tinada terletak di pertengahan wilayah Kecamatan Salak dan Kerajaan. Letak geografis Tinada yang strategis, membuat desa ini sering dijadikan tempat persinggahan pejabat yang melakukan kunjungan kerja, baik tingkat lokal maupun nasional seperti misalnya Ali Sadikin dan Raja Inal Siregar32
Pada umumnya masyarakat Tinada bermata pencaharian sebagai petani yang merupakan warisan keluarga. Kondisi lahan pertanian yang kritis dengan kemiringan sampai 450 dan pola pikir masyarakat menyebabkan hasil pertanian mereka kurang maksimal. Dengan kata lain, petani Tinada umumnya adalah petani subsisten. Akibatnya masyarakat Tinada didera kemiskinan terus menerus sehingga tidak mengenal konsep menabung apalagi memikirkan tentang pendidikan anak-anak mereka khususnya pendidikan anak-anak pra sekolah. Pemerintah daerah pada waktu itu belum memberikan perhatian yang lebih pada bidang pendidikan terutama pendidikan anak-anak usia pra sekolah sehingga hampir kebanyakan anak-anak di Tinada menghabiskan waktu di ladang
. Namun demikian, kehadiran pejabat-pejabat tersebut tidak berpengaruh banyak terhadap masyarakat Tinada. Desa Tinada merupakan salah satu yang mayoritas penduduknya bersuku Pakpak, namun dalam segala lapangan pekerjaan pemerintahan, jabatan-jabatan strategis seperti kepala sekolah, kepala dinas, mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan, bahkan tidak jarang sampai tingkat desa diisi oleh orang-orang non Pakpak, hal ini merupakan salah satu representasi bentuk kebijakan pemerintahan orde baru yang cenderung memarjinalkan.
32
Wawancara dengan Ester Ritonga (salah satu staf lapangan Pesada yang bertugas melakukan pengorganisasian masyarakat Tinada)
(1)
• Rekomendasi 19 : Kekerasan terhadap Perempuan. • Rekomendasi 20 : Reservasi terhadap Konvensi.
• Rekomendasi 21 : Persamaan dalam Perkawinan dan Relasi Keluarga. • Rekomendasi 22 : Penambahan terhadap pasal 20 Konvensi.
• Rekomendasi 23: Perempuan dalam kehidupan publik. • Rekomendasi 24 : Perempuan dan Kesehatan (pasal 12).
b. MEKANISME PELAPORAN DAN PEMANTAUAN
Berdasarkan pasal 18, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, negara berkewajiban membuat laporan. Laporan tersebut ada tiga jenis :
1) Inisiatif Report, yaitu laporan yang disusun atau yang harus dibuat oleh negara peserta selama satu tahun setelah mereka meratifikasi atau mengadopsi Konvensi.
2) Annual Report, Laporan yang harus disampaikan oleh negara peserta yang
secara rutin dilakukan 4 tahun sekali.
3) Additional Report, yaitu di samping laporan awal, dan laporan empat tahunan, Negara juga dapat menyusun sebuah laporan tambahan berdasarkan permintaan Komite.
Laporan-laporan tersebut boleh memberikan indikasi mengenai faktor kesulitan yang berdampak pada tingkat pemenuhan tanggung jawab berdasarkan Konvensi. Komite ini akan melakukan pembahasan terhadap laporan-laporan negara. Hasil pembahasan ini akan disampaikan kepada Majelis Umum PBB melalui Dewan Ekonomi dan Sosial.
c. FORMAT LAPORAN
Komite CEDAW berdasarkan pengalamannya menyadari bahwa ada perbedaan format laporan dari setiap anggota. Perbedaan format akan menyulitkan Komite untuk dapat mengakses secara cepat laporan. Oleh karena itu Komite CEDAW menyusun sebuah format yang dijadikan guideline oleh para negara peserta dalam membuat laporan. Panduan telah dibuat dan disempurnakan berulang kali. Di bawah ini akan dipaparkan panduan yang telah direvisi.
(2)
(Berlaku untuk seluruh laporan yang diserahkan sesudah tanggal 31 Desember 2002) MEMBAHAS/MELIPUTI :
1. Pasal-pasal dan Rekomendasi Komite CEDAW. Pembahasan laporan akan
memuat tentang perkembangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal-pasal (terdiri dari 4 bagian dalam Konvensi) dan pelaksanaan terhadap seluruh Rekomendasi Komite CEDAW.
2. Reservasi dan Deklarasi. Jika sebuah negara melakukan reservasi atau deklarasi terhadap salah satu pasal di dalam Konvensi, maka negara harus menjelaskan alasannya. Negara juga harus melaporkan dampak dari reservasi tersebut terhadap hukum nasional maupun intepretasi yang berkembang karenanya. Negara juga harus menjelaskan apakah ada reservasi lain yang dilakukan terhadap konvensi internasional lainnya yang berhubungan dengan penegakan HAM.
3. Faktor hambatan dan kesulitan. Jika negara menyampaikan adanya faktor hambatan dan kesulitan dalam pemenuhan hak sebagaimana diatur dalam pasal 18 (2), Negara harus menjelaskan penyebab, perkembangan dan alasan mengapa faktor tersebut menjadi hambatan dan sejauh mana upaya untuk menghapuskan hambatan dan kesulitan tersebut.
4. Data dan Statistik. Laporan harus memuat data dan statistik yang memadai, valid, terperinci antara situasi laki-laki dan perempuan, dan relevan terhadap setiap pasal yang ada dalam konvensi.
5. Dokumen Inti. Paparan tentang situasi umum tentang kerangka hukum nasional, informasi dan penyebaran informasinya.
PANDUAN LAPORAN AWAL
I. UMUM
Pada bagian ini negara pihak memiliki kesempatan untuk menjelaskan tentang perkembangan di tingkat hukum dan pelaksanaannya setelah ratifikasi, yang menyangkut tentang :
(3)
• Pengadaan konstitusi, peraturan dan pelaksanaan administratif untuk mengimplementasikan Konvensi.
• Menjelaskan hukum dan prosedur pengukuran pelaksanaan yang telah diadopsi untuk mengefektifkan aturan dalam Konvensi.
• Menggambarkan perkembangan yang terjadi dalam mendorong pemanfaatan hak.
II. ISI
Negara harus membahas secara spesifik pasal demi pasal yang ada dalam 4 bagian Konvensi yang meliputi; penggambaran norma hukum, situasi nyata dan praktek yang ada, dampak dan pelaksanaan perlindungan terhadap pelanggaran terhadap aturan dalam Konvensi.
1. Laporan harus menjelaskan :
Apakah Konvensi langsung dapat diaplikasikan setelah ratifikasi atau harus ada penyesuaian terlebih dahulu dalam konstitusi nasional, atau apakah hukum nasional langsung dalam disesuaikan.
Apakah pengaturan yang ada dalam Konvensi dijamin di dalam konstitusi ataukah hukum lainnya, apakah pengaturan tersebut harus disusun sebelumnya dan memberikan dampak terhadap pengadilan, dan pelaksanaan administratif pemerintahan.
Bagaimana pasal 2 dari konvensi dilaksanakan dan tahap perlindungan yang diberikan bagi pihak yang dilanggar haknya.
2. Informasi juga harus diberikan mengenai lembaga peradilan, administrasi dan pihak yang mempunyai otoritas lainnya.
3. Laporan harus memasukkan informasi tentang institusi pelaksana Konvensi di tingkat nasional yang mempunyai tanggung jawab dalam pelaksanaan Konvensi, dan memberikan contoh tentang aktifitas mereka.
4. Laporan harus meggambarkan batasanbatasan hukum, praktek atau kebiasaankebiasaan, atau perilaku-perilaku dalam penikmatan hak.
(4)
5. Laporan harus menggambarkan situasi NGO dan kelompok perempuan lain dan partisipasi mereka di dalam pelaksanaan konvensi.
III. LAMPIRAN
Laporan dilampirkan dengan resume atau catatan tentang peraturan yang relevan dengan jaminan atau perlidungan hak yang dapat dimanfaatkan oleh komite.
PANDUAN LAPORAN PERIODIK (4 TAHUNAN)
Laporan ini lebih menekankan negara untuk menyampaikan langkah-langkah yang dilakukan oleh negara dalam melaksanakan Konvensi baik langkah-langkah legislatif, yudikatif, administratif atau lainnya.
Pada intinya laporan ini :
Fokus pada periode di antara laporan sebelumnya dan laporan sekarang. Ada 2 titik tolak :
• Komentar akhir Komite pada laporan sebelumnya. • Perkembangan pelaksanaan Konvensi.
Laporan disusun berdasarkan struktur dari Konvensi, yaitu pasal per pasal dari setiap bagian Konvensi. Jika tidak ada hal yang baru dari laporan sebelumnya harus disampaikan pula.
Laporan harus mengangkat masalah tentang hambatan perempuan dalam berpartisipasi di wilayah politik, sosial, ekonomi dan budaya.
Laporan ini mengikuti ketentuan yang berlaku untuk laporan awal termasuk lampirannya.
Laporan juga memasukkan keadaan yang perlu diberi perhatian khusus : • Kemungkinan perubahan pendekatan dalam politik dan hukum
negara yang berpengaruh kepada pelaksanaan Konvensi. • Kebijakan-kebijakan hukum dan administratif yang baru.
(5)
LANGKAH - LANGKAH DARI PELAKSANAAN HASIL KONFERENSI PERTEMUAN PUNCAK DAN REVIEW PBB
1. Laporan Awal dan Laporan Periodik harus memuat pula informasi tentang pelaksanaan 12 area keprihatinan dalam Landasan Aksi Beijing.
2. Laporan Awal dan Laporan Periodik juga harus menyinggung pelaksanaan terhadap hasil-hasil dari semua deklarasi, landasan kerja, program aksiyang diadopsi oleh Konferensi PBB, pertemuan Puncak, Pertemuan Khusus, Sidang Umum yang berkaitan dengan Konvensi.
FORMAT UMUM LAPORAN
Laporan harus ditulis dalam salah satu bahasa PBB. Laporan harus sepadat mungkin.
Laporan awal tidak boleh lebih dari 100 halaman. Laporan Periodik tidak lebih dari 70 halaman. Tiap paragraph harus diberi nomor berurutan.
Dokumen harus menggunakan kertas ukuran A4 dan dengan spasi tunggal. Dokumen harus diprint pada sisi kertas sehingga mudah untuk difoto kopi.
Berdasarkan laporan-laporan yang disampaikan oleh negara, guna menciptakan situasi yang lebih konstruktif, Komite akan menyusun tanggapan terhadap laporan negara. Tanggapan tersebut dibuat secara tertulis. Tanggapan tersebut berisi list issue yang penting untuk dijadikan pertimbangan dalam menyusun strategi di tingkat nasional dan dimasukkan dalam laporan negara pada periode berikutnya. Komite juga akan menuliskan komentar penutup terhadap laporan negara. Komentar ini akan diserahkan pula kepada Majelis PBB sebagai bagian dari laporan Komite, dan disebarluaskan kepada publik. Atas tanggapan tersebut, negara memiliki waktu untuk menanggapi kembali dalam beberapa bulan dengan data-data yang dibutuhkan sesuai dengan pertanyaan yang diajukan oleh Komite.
(6)