BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang - Pola Budaya Matrilineal Dalam Politik (Studi Kasus Keterwakilan Perempuan di DPRD Sumatera Barat Tahun 2014)

BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Ketika orang mendengar tentang Minangkabau, barangkali yang terbayang adalah

  bahwa adat dan budaya Minang sangat menghormati posisi kaum perempuan. Hal ini dikarenakan budaya Minangkabau sebelum penjajahan Belanda hingga kini me nganut sistem

  1

  matrilineal. Matrilineal sendiri berarti bahwa keturunan dan pembentukan kelompok

  2 keturunan diatur menurut garis ibu.

  Ini tentu sejalan dengan persepsi bahwa masyarakat dan budaya Minang mengandung nilai-nilai demokratis. Ini dapat diihat dari Ungkapan duduak samo randah tagak samo

  tinggi (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi) mencerminkan egaliterianisme budaya

  masyarakat Minang, termasuk untuk kalangan perempuan. Dalam sistem adat matrilineal di Minangkabau, perempuan ditempatkan dalam posisi yang sentral. Dalam sistem ini, perempuan dianggap berkuasa atas harta pusaka dalam keluarga maupun kaum. Dalam literatur lama, memang digunakan juga istilah matriachaats, atau perempuan penyambung

  3 keturunan dan sekaligus pemilik segala kekuasaan.

  Untuk menggambarkan domain kekuasaan perempuan Minang sejatinya adalah

  Rumah Gadang , yang merupakan rumah keluarga besar dari garis ibu. Di wilayah ini,

  perempuan ditahbiskan pertama-tama sebagai penguasa/pemilik harta pusaka keluarga. Jika 1 dielaborasi, ungkapan di atas sekaligus mencerminkan lapangan pengabdian, sanjungan

H. Suardi Mahyuddin, SH. 2009, Dinamika Sistem Hukum Adat Minangkabau dalam Yurisprudensi

2 Mahkamah Agung , Jakarta, PT. Candi Cipta Paramuda, hal 60

  3 Prof. Dr. Koentjaraingrat. 2007, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta, Penerbit Djambatan, hal 248 Prof. Mr. M. Nasroen, 1965, Dasar Falsafah Alam Minangkabau, Jakarta, Percetakan Negara, hal 12 sekaligus harapan terhadap perempuan. Perempuan sebagai limpapeh mengandung makna yang prinsipil. Secara harfiah, limpapeh artinya tiang tengah yang menjadi penyangga bagi tiang-tiang lainnya dalam sebuah bangunan. Apabila tiang tengah ini ambruk, maka tiang-

  4 tiang lainnya ikut jatuh berantakan.

  Dalam konteks keluarga, terlihat betapa sentralnya posisi dan peran ibu atau disebut juga bundo kanduang sebagai pembimbing dan pendidik bagi anak-anaknya serta anggota keluarga lainnya. Bundo kanduang bahkan memiliki tanggung jawab yang besar. Ungkapan

  umbun puruak pagangan kunci mengandung makna bahwa bundo kanduang adalah sosok

  wanita bijaksana, telaten dalam rumah tangga, pandai merawat penampilan diri, serta patuh pada suami.

  

Pusek jalo kumpulan tali , berarti bahwa perempuan sebagai pengatur kehidupan

  rumah tangga. Baik jeleknya anggota keluarga ditentukan oleh ibu atau perempuan. Ia tempat suri teladan, tidak hanya bagi keluarga tetapi juga masyarakat. Karena itu, ibu juga dituntut memiliki ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan agama, sebagai bekal kehidupan anak-anak. Ilmu itu didapatkan dengan cara belajar dan menuntut ilmu.

  Bundo kanduang sebagai sumarak dalam nagari memperlihatkan sanjungan tinggi

  kepada perempuan/ibu sebagai orang yang pandai bergaul, memelihara diri dan keluarga, tolong menolong dengan sesama tetangga, serta menjaga adat sopan santun. Dalam ketentuan adat, seorang bundo kanduang haruslah memiliki sifat sifat kepemimpinan serta ibu sebagai perantara keturunan dan menentukan watak manusia (anak-anak) yang dilahirkannya.

  Tuntutan karakter perempuan Minang tampaknya sama dengan tuntutan karakter para pemimpin adat (penghulu) pada umumnya, diantaranya bersifat benar, bersifat jujur, 4 dipercaya lahir dan batin, cerdik dan punya ilmu pengetahuan, pandai berbicara dan

  

Sutan Mahmoed IA, BA, 2004, Nagari Limo Kaum Pusat Bodi Caniago Minangkabau, Yayasan Mesjid Raya Limo Kaum, hal 51 mempunyai sifat malu. Tampak di sini, bahwa karakter yang hendak dilekatkan pada perempuan. Jika dielaborasi, sifat-sifat kepemimpinan perempuan yang ditentukan dalam adat Minang tak berbeda dengan sifat-sifat kepemimpinan pada umumnya. Sekilas ungkapan “ibu” menunjukkan suatu wujud emansipasi ketentuan adat terhadap kaum perempuan. Sifat cerdik, misalnya ternyata tidak hanya menyangkut kemampan menggunakan akal sehat (rasio), membedakan baik dan buruk, manfaat dan mudharat, tetapi juga keharusan memiliki ilmu pengetahuan, supaya perempuan bisa pula di keluarga dan kaumnya.

  Pandai berbicara, juga mencerminkan tuntutan keterampilan berargumentasi untuk melindungi keluarga dan kaumnya. Budayawan AA Navis mengatakan, sistem matrilineal menjadi lahan subur berkembangnya kultur demokratis justru dalam masyarakat tradisional Minang. Sebab matrilineal adalah sistem dari budaya egaliter (egalite) yang memungkinkan berlangsungnya kesetaraan gender. Secara harfiah, egaliter itu sendiri berarti persamaan, kesamaan, kebersamaan antara seasama manusia. Menurutnya, matrilineal merupakan sistem untuk memantapkan kedudukan perempuan agar sederajat dengan laki-laki secara hukum, sosial dan kebudayaan.

  Dari dulu identitas Minangkabau kuat dan ambivalen, beraneka lapisan, dan penuh dengan kontradiksi-kontradiksi serta ketegangan-ketegangan. Secara historis lapisan yang tertua berakar dalam adat. Tetapi adat telah digabungkan, secara parsial dikesampingkan tetapi tidak pernah benar-benar digusur, oleh pandangan-pandangan dunia, dunia-dunia simbolik dan tatanan-tatanan hukum lain. Meskipun sejauh mana Minangkabau memeluk atau menolak pengetahuan dan nilai-nilai baru sangat bervariasi, mereka jarang

  5 menghapuskan pengetahuan atau nilai-nilai lama itu.

5 Henk Schulte Nordholt, Gerry van Klinken dan Ireen Karang-Hoogenboom, 2007, Politik Lokal di Indonesia,

  Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hal 558

  Masalah keterwakilan perempuan dalam politik menjadi isu sekaligus persoalan yang hangat di Indonesia khususnya Sumbar. Permasalahan keterwakilan perempuan ini penting dalam kehidupan perpolitikan di Indoensia dan masalah keterwakilan perempuan sebenarnya merupakan isu keadilan politik yang masih membutuhkan perhatian untuk diperjuangkan oleh kaum perempuan. Rendahnya representasi keterwakilan perempuan dalam politik formal merupakan penghambat bagi perempuan untuk mengartikulasikan kepentigannya. Karena dengan keadaan seperti itu maka kebijakan-kebijakan pemerintah yang dikeluarkan menjadi kurang berpihak terhadap kepentingan-kepentingan perempuan.

  Diketahui bahwa keterbatasan keterwakilan perempuan dalam politik banyak dibatasi oleh sistem sosial dan budaya yang ada di masyarakat membuat perempuan berperan terbatas dan hal ini terjadi pada sistem budaya yang berkembang di masyarakat. Di mana Indonesia adalah negara yang memiliki realitas politik yang didominasi laki-laki sedangkan penduduk Indonesia diketahui mayoritas adalah perempuan.

  Sehingga adanya bias gender antara laki-laki atas perempuan, dimana jumlah laki-laki lebih besar di dalam lembaga-lembaga pengambil keputusan dan perempuan dianggap tidak terlalu penting sehingga dalam mengambil keputusan perempuan sangat jarang diikutsertakan dan perempuan ditempatkan pada posisi sebagai orang yang selalu harus menaati keputusan dan peraturan yang dihasilkan tersebut kurang berpihak pada kepentingan perempuan.

  Sebagai ibu, perempuan dituntut tanggung jawab lebih besar dalam mengurus anak - anaknya dibanding laki-laki. Karena besarnya tanggung jawab yang dipikul oleh perempuan berdampak pada masalah keterwakilan perempuan dalam politik. Begitu juga halnya dengan masalah tingkat pendidikan perempuan yang relatif rendah yang berakibat tidak siapnya perempuan memasuki wilayah-wilayah politik praktis yang berkompetitif dan maskulin.

  Selain hal di atas, banyak kalangan masih enggan untuk melihat keterlibatan perempuan dalam politik dengan dimensi yang lebih luas. Banyak kalangan belum sadar bahwa melibatkan perempuan dalam politik adalah bagian dari penciptaan mayarakat

  6 demokratis yang berkeadilan baik secara politik, ekonomi maupun budaya.

  Besarnya polemik yang dihadapi oleh perempuan disegala apek kehidupan terutama aspek politik mengakibatkan kurang berpengaruhnya proses pengambilan keputusan dan produk kebijakan yang menyuarakan aspirasi perempuan. Karena permasalahan keterwakilan perempuan dan untuk memenuhi azas keterwakilan, kuota 30% diberlakukan. Sebagaiman ditetapkan dalam UU Pemilu Pasal 65 ayat 1 menyebutkan: setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan sekurang-kurangnya

  7 30%.

  Namun penjatahan yang diyakini membuka jalan bagi keterwakilan perempuan secara optimal di dunia politik tidaklah memberikan penyelesaian. Karena ketika daftar caleg disusun oleh peserta pemilu, banyak kalangan peserta pemilu kurang serius meningkatkan keterwakilan perempuan. Dan caleg- caleg perempuan tidak ditempatkan di “nomor jadi” sehingga kesempatan perempuan untuk dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan kaumnya terhambat.

  Untuk itulah di Minang, perempuan diberi kekuatan pengimbang dengan pemilikan atas harta dan anak. Namun, tuntutan dan kepercayann yang diberikan kepada perempuan Minang tak berbanding lurus dengan jumlah perempuan yang ada di lembaga-lembaga politik. Hal ini bisa kita lihat dari jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif. Dari 6 65 jumlah keseluruhan anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat hanya 6 yang berjenis 7 Ibid hal 15 Undang-undang Politik 2003, 2003, UU No 12 Tentang Pemilu, Fokus Media, Bandung, hal 62 kelamin perempuan. Melihat kondisi tersebut keterwakilan perempuan perlu mendapatkan perhatian yang serius di daerah yang mengadopsi budaya matrilineal dalam kehidupaan budayanya.

  Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang sangat kental dengan budaya Matrilineal. Dimana hubungan antara ibu sangat kuat, karena sentralnya posisi perempuan di dalam keluarga. Namun berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, hanya terdapat enam perempuan yang mewakili kaum perempuannya di lembaga legislatif tahun 2014-2019. Keenam perempuan tersebut adalah, dari partai NasDem yakni Endarmy berasal dari daerah pemilihan 2, dari PDI-P Riva Melda berasal dari daerah pemilihan 4, dari partai Golkar Siti Izzati Aziz berasal dari daerah pemilihan 2 dan Marlina Suswati berasal dari daerah pemilihan 6, dari partai Hanura yakni Armiati yang berasal dari daerah pemilihan 3 se rta Zusmawati yang berasal dari daerah pemilihan 4. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik bagaimana bisa struktur budaya dan kondisi sosial yang mengagungkan perempuan sebagai pemimpin namun dalam bidang politik hal ini tidak tercermin, bahkan negara dengan kebijakan Affirmative action telah mendukung perempuan agar kiranya bisa lebih banyak perempuan yang ikut mengambil peran dalam bidang politik. Namun, jika kita melihat kuota sebesar 30% yang telah ditentukan pemerintah seharusnya sebanyak 19-20 orang perempuan yang duduk di DPRD, namun melihat kenyataannya hal itu masih sangat jauh dari harapan.

I.2 Perumusan Masalah

  Perumusan masalah adalah usaha untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan- pertanyaan penelitian yang perlu dijawab dan dicarikan jalan pemecahannya dan perumusan masalah merupakan konteks dari penelitian dimana memberikan arah terhadap penelitian yang dilakukan. Berdasarkan pemaparan pada bagian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu, Mengapa keterwakilan perempuan di DPRD Sumatera Barat rendah padahal di Sumbar menganut budaya matrilineal?

  I.3 Pembatasan Masalah

  Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan dalam batasan penelitian yang akan diteliti. Batasan masalah ini berguna untuk mengidentifikasikan faktor mana saja yang tidak termasuk kedalam ruang penelitian tersebut. Maka untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan menghasilkan uraian yang sistematis diperlukan adanya batasan masalah. Adapun masalah yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimana budaya matrilineal yang berkembang dalam hubungan bermasyarakat di kota Padang?

  2. Mengapa budaya matrilineal tidak berpengaruh terhadap keterwakilan perempuan di DPRD Sumatera Barat?

  I.4 Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah:

  1. Untuk mengeksplorasi budaya matrilineal yang berekambang dalam kehidupan bermasyarakat di Provinsi Sumatera Barat

  2. Untuk menganalisis mengapa budaya matrilineal tidak berpengaruh terhadap keterwakilan perempuan di DPRD Sumatera Barat tahun 2014

  I.5 Manfaat Penelitian

  Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

  1. Secara Teoritis, Penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai pengaruh budaya terhadap keterwakilan perempuan.

  Diharapkan hasil penelitian ini secara konseptual bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

  2. Secara Lembaga, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi kepada lembaga apakah itu lembaga adat atau lembaga legislatif dalam membuat kebijakan khusunya yangberkaitan dengan perempuan. Serta dapat menjadi referensi bagi departemen Ilmu Politik FISIP USU.

  3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu membantu masyarakat Sumatera Barat secara khusus dalam memahami pengaruh budaya matrilineal terhadap keterwakilan politik perempuan.

  I.6 Kerangka Teori

1.6.1 Feminisme

  Feminisme lahir akibat dari ketidakadilan dalam struktur sosial antara laki dan perempuan yang kemudian termanifestasikan melalui kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya.

  Aliran ini mempersoalkan ketidakadilan gender melalui analisis di berbagai bidang kehidupan secara kritis. Kesadaran akan adanya ketidakadilan terhadap kaum perempuan sebenarnya telah lama terjadi. Kaum perempuan sudah lama melakukan perjuangan membebaskan diri dari ketidakadilan.

  Tetapi pada waktu itu belum ada istilah feminism (femenisme). Istilah itu mulai disosialisasikan oleh majalah Century pada musim semi pada tahun 1914. Kata feminisme yang berasal dari bahasa Perancis pertama kali digunakan pada tahun 1880-an, untuk menyatakan perjuangan perempuan menuntut hak politiknya. Hubertine Auclort adalah pendiri perjuangan politik perempuan yang pertama di Perancis, dalam salah satu publikasinya menggunakan kata femenisme dan femeniste.

  Sejak itulah feminisme tersebar diseluruh Eropa dan sampai AS, melalui New York pada tahun 1906. Gerakan femenisme di New York diwarnai oleh perjuangan menuntut hak-hak perempuan sebagai warga negara, hak perempuan di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Perempuan dan laki-laki telah dijajah oleh struktur yang tidak adil melalui kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya dan juga praktik keagamaan. Kemunculan gerakan emasipatoris yang menanggapi masalah ini, yakni gerakan feminisme itu merupakan upaya untuk mendudukkan relasi yang setara antara perempuan dan laki-laki. Aliran ini mempersoalkan ketidakadilan gender melalui analisis berbagai bidang kehidupan. Gerakan ini bertujuan untuk mencapai keadilan dan perdamaian dalam kehidupan masyarakat secara luas. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan dirugikan dalam semua bidang dan di nomor duakan oleh kaum laki-laki khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum perempuan lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat trdisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan dan diluar rumah, sedangkan kaum perempuan (domestik). Inti pandangan femenisme adalah bahwa setiap perempuan juga perlu mempunyai hak untuk dapat memilih apa yang menurutnya baik bukan yang ditentukan kaum laki-laki atau orang lain baginya sebagai perempuan. Teori feminisme tidak hanya satu melainkan banyak. Namun, hampir dari semua teori tersebut menjelaskan tentang penindasan terhadap perempuan, menerangkan sebab dan akibat serta strategi pembebasannya. Ada 2 teori yang membahas tentang feminisme yaitu feminisme liberal dan feminisme radikal yang akan diuraikan sebagai berikut :

   Feminisme Liberal

  Feminisme Liberal secara sederhana adalah episteme dan gerakkan politik yang berupaya untuk menempatkan perempuan guna memiliki kebebasan secara dan individual.

  Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kapasitas untuk berfikir dan bertindak secara rasional yang sama. Akar ketertindasan dan keterbelakangan perempuan menurut logika mereka adalah karena disebabkan kesalahan perempuan itu sendiri.

  Aliran ini muncul akibat kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendeskrisikan kaum perempuan. Oleh karena itu jalan keluar yang ditawarkan oleh aliran ini adalah perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa atau mampu bersaing diberbagai aspek kehidupan dalam persaingan bebas, sehingga mempunyai kedudukan yang setara dengan laki-laki. Teori feminisme liberal pertama kali dirumuskan oleh Mary Woolstonecraft (1759-

  1799) dalam tulisan “The Vindication of The

  Right Of Woman

  ” dan Jhon Stuart Mill dalam tulisannya “ The Subjection of Women “, kemudian Betty Frei dan dalam tulisannya “The Feminim Mystique” dan “The Second State”.

  Mereka menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dalam keterbatasan hukum adat sehingga menghalangi perempuan untuk masuk ke lingkungan publik.

  Akar pemikiran ini muncul dari pengalaman perempuan yang secara pribadi tidak bebas menentukan hidupnya. Sejak lahir dalam keluarga, pribadi perempuan telah diatur tergantung kepada bapak, abang, suami atau laki-laki yang lain. Bahkan negara juga mengatur dan memgontrol setiap pribadi perempuan. Dalih melindungi kaum perempuan yang terjadi justru perempuan tidak bebas secara individu. Asumsi dasar pemikiran liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada “kesempatan yang sama dan hak yang sama” bagi setiap individu, termasuk didalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting bagi mereka dan karenanya tidak perlu pembedaan kesempataan antara laki-laki dan perempuan.

  Oleh karena itu ketika menyoalkan mengapa kaum perempuan dalam keadaan terbelakang atau tertinggal, feminisme liberal beranggapan bahwa hal itu disebabkan oleh kesalahan “mereka sendiri”. Dengan kata lain jika sistem sudah memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan maka jika kaum perempuan tidak mampu bersaing dan kalah yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan itu sendiri. Pada intinya kaum feminisme liberal menganggap bahwa perempuan dan laki-laki memang diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama pula untuk memajukan dirinya dalam berbagai hal oleh sebab itu aliran ini berupaya mempercepat tercapainya kesetaraan dan keadilan dalam bebagai bidang. Melalui suatu perdebatan terbentuklah teorisasi feminisme secara jelas dan meyakinkan perdebatan

  “ persamaan dan perbedaan”. Persamaan dan perbedaan, keduanya adalah istilah yang kaya, kompleks dan diperjuangkan dalam hak-hak mereka sendiri. Orang-orang yang berkepentingan dalam menggambarkan posisi idiologi telah memetakan pencarian persamaan kedalam bentuk - bentuk feminisme radikal atau sosialis dan mencari perbedaan ke dalam bentuk feminisme

  16

  radikal atau kultural. Kritik paling utama bagi feminisme liberal adalah bahwa feminisme liberal tidak pernah mempertanyakan ideologi patriarki dan sama sekali tidak bisa menjelaskan akar ketertindasan perempuan. Feminisme liberal dianggap hanya mengatakan permasalahan pada perempuan selama ini adalah pada perempuan sendiri dan jalan keluarnya ialah perempuan harus membekali diri sendiri dengan pendidikan dan pendapatan. Teori ini tidak bisa melihat bahwa justru kaum perempuanlah yang merupakan golongan yang paling minim untuk mendapatkan akses pendidikan, baik karena biaya pendidikan yang mahal ataupun bentuk diskriminasi yang kerap terjadi.

  Salah satu tokoh feminisme liberal adalah Naomi Wolf, menurutnya feminisme liberal adalah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equaliy) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Menurut Wolf setiap manusia memiliki kapasitas untuk berfikir dan bertindak secara rasional. Untuk itu, perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan laki-laki.

  Perempuanlah yang harus membekali dirinya dengan bekal pendidikan dan pendapatan (ekonomi). Setelah perempuan mempunyai kekuatan dari segi pendidikan, pendapatan, perempuan harus terus menuntut persamaan (equality) haknya serta saatnya perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada laki-laki. Femenisme liberal ini muncul pada abad 18, gerakannya menuntut persamaan pendidikan bagi kaum perempuan dan laki-laki. Dasar pemikirannya, perempuan tidak mengetahui hak-haknya dibidang hukum karena rendahnya pendidikan. Oleh sebab itu asumsinya, apabila pendidikan perempuan meningkat maka mereka akan mudah diajak untuk menyadari hak-haknya. Gerakan ini berkembang pada abad 19 dan mulai memperjuangkan hak-hak sebagai warga negara dan hak dibidang ekonomi. Mereka menuntut kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki. Pada abad 20, tuntutan mereka berkembang menjadi tuntutan perlakuan yang sama terhadap perempuan dan laki-laki, yakni dihapuskannya diskriminasi terhadap perempuan. Dalam tradisi feminisme liberal penyebab penindasan perempuan dikenal sebagai kurangnya kesempatan dan pendidikan mereka secara individual atau kelompok. Cara pemecahan untuk mengubahnya yaitu menambah kesempatan bagi perempuan terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan partisipasi perempuan.

  Feminisme Radikal

  Femisnisme radikal muncul sejak pertengahan tahun 1970an dimana aliran ini menawarkan ideologi perjuangan “separatisme perempuan” pada sejarahnya aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasarkan jenis kelamin di barat pada tahun 1960an, kegiatan utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah datu fakta dalam sistem masyarakat yang ada sekarang. Gerakan ini sesuai dengan namanya yang “radikal” aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriaki. Beberapa tokoh aliran ini seperti Allison Jaggar dan Paula Rothenberg mengatakan bahwa perempuan berada di tempat penindasan yang paling bawah. Situasi ini digambarkan pada perempuan dalam sejarah digambarkan sebagai kelompok yang tertindas, penindasan terhadap perempuan tersebar luas ke berbagai kehidupan sosial, penindasan terhadap perempuan adalah paling dalam, dan tidak dapat digeser oleh perubahan sosial antar kelas, penindasan perempuan menyebabkan penderitaan secara kantitatif dan kualitatif walaupun penderitaan ini tidak selalu diakui dan diasadari baik oleh pelaku maupun korban, dan penindasan terhadap perempuan dapat memberikan konseptual model untuk mengetahui

bentuk penindasan lainnya. Kelompok pertama penganut teori konflik adalah Feminisme Radikal yang sejarahnya justru muncul sebagai reaksi atas kultur sexism atau deskriminasi sosial atas jenis kelamin. Teori Feminisme radikal mempersoalkan fungsi reproduksi dan melahirkan (mothering), serta perbedaan seks dan gender yang merampas kekuasaan perempuan. Teori ini didasari pada pandangan bahwa perhatian analisis langsung pada cara laki-laki menguasai tubuh perempuan dan secara eksplisit teori ini mengkonstruksikan seksualitas sehingga perempuan melayani laki-laki sesuai dengan kebutuhan dan keinginan melalui lembaga keluarga.

  Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual dan biologis. Sehingga dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, mereka menganggapnya berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarki.

  Dengan demikian kaum laki-laki secara biologis maupun politisi adalah bagian dari permasalahan. Dengan demikian aliran feminisme ini menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan seksual adalah bentuk penindasan kaum laki-laki tehadap kaum perempuan. Feminisme radikal bertujuan menghancurkan sistem klas jenis kelamin dan yang membuat aliran ini radikal adalah fokus utamanya pada akar dominasi dan klaim yang menyatakan bahwa segala bentuk penindasan adalah perpanjangan dari supermasi laki-laki. Dalam kaitan dengan kekuasaan teori ini mempermasalahkan perbedaan seks atas dasar biologis, kemudian di konstruksikan menjadi perbedaan gender oleh budaya patriarkhi. Akibat dari konstruksi ini perempuan teralieansi dari berbagai bidang kehidupan khususnya bidang politik yang mengatur masyarakat. Analisis perempuan dari sudut pandang politik menjadi pusat perhatian teori ini. Bagi perempuan politik tidak hanya mengatur kehidupan publik saja, melainkan juga kehiduipan domestik dan pribadi perempuan.

  Aliran ini menolak setiap jenis kerja sama dimana feminisme radikal ingin mengembangkan analisis feminis yang lebih nyata dan lebih merdeka. Dalam hal ini analisis sosialis Marx tersebut bermanfaat untuk melihat problem-problem ketidakadilan, ketidaksetaraan dan penindasan yang menjadi beban kaum perempuan. Dalam membahas teori tentang kesetaraan (equality), banyak orang yang mempelajari teory gender dan politik dari perspektif kesetaraan (equality) sangat menyakini bahwa gender akan menjadi tidak relevan jika dilihat secara politik atau dengan kata lain tidak berhubungan satu sama lain. Pada kenyataannya bahwa pria dan wanita pada umumnya dipahami bebeda dalam lingkungan politik. Selain kesetaraan (equality), keadilan (justice) pada dasarnya juga menyangkut akan masalah gender dan kaum perempuan. Adapun literatur mengenai gender dalam teori politik biasanya disamakan dengan yang namanya etika keadilan. Etika keadilan ini dikecam secara luas dalam teori politik feminis. Apa yang telah muncul dalam teori feminis yang dilambangkan sebagai perspektif, etika keadilan adalah sebuah artikulasi tertentu tentang objektivisme moral.

  Adapun ide dasar dari feminisme adalah kesetaraan (equality), kedudukan laki-laki dan perempuan yang dibangun atas dasar kesetaraan (equality) dan keadilan (justice) hak-hak antara kaum laki-laki dan kaum perempuan.Bagi gerakan feminisme radikal revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil reaksi untuk merubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki. Lain halnya dengan feminisme liberal yang lebih menekankan akan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan, aliran feminisme radikal menekankan pada perbedaan antara kaum wanita dan kaum laki-laki.. Seperti halnya wanita dan laki-laki dalam mengkonseptualisasikan kekuasaan secara berbeda, dimana bila laki-laki berusaha mendominasi dan mengontrol orang lain, maka maka wanita lebih tertarik untuk berbagi dan merawat kekuasaan.

  Pada dasarnya ajaran feminisme radikal menyatakan “the personal is

  political

  ” yang merupakan slogan yang kerap digunakan oleh kaum feminisme radikal. Yang artinya bahwa pengalaman-pengalaman individual wanita mengenai ketidakadilan dan kesengsaraan oleh para wanita dianggap sebagai masalah-masalah personal. Pada hakikatnya feminisme radikal menganggap bahwa isu -isu politik yang membuat ketidakseimbangan kekuasaan antara wanita dan laki-laki. Aliran feminisme radikal juga menolak sistem hirarki yang berstrata berdasarkan garis gender dan klas, yang sebagaimana hal tersebut diterima oleh aliran feminisme liberal.

  1. Politik Perempuan Kata politik yang digunakan dalam tulisan ini adalah segala usaha, kegiatan, dan upaya yang bertujuan mempengaruhi proses kebijakan dan perundangan yang berkaitan

  8

  dengan issue perempuan. Di mana politik berkaitan erat dengan konsep demokrasi dan secara sederhana pengertian demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

  Dengan demikian persoalan keterwakilan perempuan dalam proses demokrasi adalah bagian inheren dari demokrasi dan juga turut pula menentukan kualitas demokrasi itu sendiri.

  Oleh sebab itu, keterwakilan perempuan dalam institusi-institusi politik sangat penting untuk

  9 menentukan apakah sebuah item politik adalah sistem perwakilan.

  Karena semua anggota masyarakat dari berbagai kelompok dan golongan perlu diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan disegala tingkatan kehidupan bangsa, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Dan dengan adanya perempuan di dalam lembaga-lembaga politik merupakan suatu keharusan dan keperluan yang memungkinkan perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya melalui arena politik.

  2. Keterwakilan Politik Untuk mengetahui defenisi keterwakilan terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai defenisi perwakilan, dimana secara sederhana perwakilan diartikan sebagai suatu proses interaksi wakil dengan yang diwakili. Dalam perwakilan ini, yang diwakili adalah sejumlah warga negara yang bertempat tinggal disuatu daerah atau distrik tertentu. Hal ini mencakup berbagai kepentingan, sedangkan yang mewakili adalah seorang atau lebih wakil rakyat yang bergabung ke dalam satu atau lebih partai politik.

8 Indriyati Suparno, 2005, Masih dalam posisi pinggiran: membaca tingkat partisipasi politik perempuan di

  9 kota Surakarta , Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal 29 Ibid hal 31

  Dalam sistem perwakilan, seorang warga negara mewakilkan dirinya sebagai yang berdaulat kepada seorang calon wakil rakyat atau partai politik yang dipercayai melalui pemilihan umum. Sedangkan pengertian perwakilan dalam buku Perwakilan Politik Indonesia karangan Drs. Arbi Sanit, yaitu: “perwakilan adalah bahwa seseorang ataupun sekelompok orang berwenang menyatakan sikap atau melakukan suatu tindakan baik diperuntukkan bagi,

  10 maupun yang mengatasnamakan pihak lain.

  Dari segi keterikatan wakil rakyat dan keinginan rakyat yang diwakili, konsep perwakilan dibedakan menjadi dua, yaitu : pertama perwakilan tipe delegasi (manndat), yang berpendirian wakil rakyat merupakan corong keinginan rakyat. Wakil rakyat harus menyuarakan apa saja keinginan rakyat yang diwakilinya. Wakil rakyat sangat terikat dengan keinginan rakyat diwakili. Wakil rakyat sama sekali tidak memiliki kebebasan untuk berbicara lain daripada apa yang dikehendaki konstituennya. Fungsi wakil rakyat menuruut tipe perwakilan ini menyuarakan pendapat dan keinginan para pemilihnya serta memperjuangkan kepentingan para pemilihnya. Keinginan konstituennya dapat diketahui melalui kontak langsung yang secara periodik dilakukan. Dan keinginan yang harus diikuti wakil rakyat ialah suara mayoritas konstituen.

  Kedua, perwakilan tipe trustee (independen) berpendirian wakil rakyat dipilih berdasarkan pertimbangan secara baik (good judgment). Oleh karena itu, untuk dapat melaksanakan hal ini wakil rakyat memerlukan kebebasan dalam berpikir dan bertindak. Selain itu, tipe perwakilan ini berpandangan tugas wakil rakyat adalah memperjuangkan kepentingan nasional. Dengan demikian, manakala terdapat pertentangan antara keinginan lokal atau para pemilih dan kepentingan nasional maka wakil rakyat harus memihak kepada kepentingan nasional.

10 Drs. Arbi Sanit, 1985, Perwakilan Politik Indonesia, Jakarta, CV Rajawali, hal 23

  Jadi, keinginan para pemilih tetap ikut dipertimbangkan tetapi tidak mengikat. Tipe perwakilan ini disebut trustee karena wakil rakyat dipercaya sebagai pemegang kekuasaan.

  Setelah mempercayakan kekuasaan kepada wakilnya melalui pemilihan umum, dan para pemilih tidak lagi mempunyai kekuasaan sampai pada pemilihan berikutnya. Secara implisit terkandung penilaian bahwa wakil rakyat memiliki kemampuan politik yang lebih tinggi daripada para pemilihnya.

  Sedangkan pengertian keterwakilan disini adalah “sebagai terwakilinya kepentingan anggota masyarakat oleh wakil-wakil mereka di dalam lembaga dan proses

11 Kadar keterwakilan tersebut ditentukan oleh sistem perwakilan yang berlaku di politik”.

  dalam masyaraat bersangkutan. Sistem perwakilan politik yang formalistis seringkali tidak menghasikan tingkat ‘keterwakilan politik’ yang cukup.

  Kemungkinan menciptakan tingkat keterwakilan yang cukup menjadi lebih besar jika terdapat keserasian di antara segi formal dengan aspek aktual dari sistem perwakilan politik.

  Karena keterwakilan diukur dari kemampuan wakil bertindak atas pihak yang diwakili, maka konsep ini menyangkut himpunan elit di dalam lembaga-lembaga politik yang berwenang bertindak atas nama anggota masyarakat, untuk menentukan kebijakan guna mencapai tujuan dan kepentingan masyarakat tersebut. Dan dua lembaga politik utama yang dimaksud ialah badan perwakilan (legislatif) dan pemerintah (eksekutif).

  3. Budaya Politik Menurut Cliford Geertz, kebudayaan adalah seluruh cara hidup dari sebuah masyarakat yang berkaitan dengan nilai, praktik, sosial, lembaga, dan hubungan 11 antarmanusia. Sedangkan menurut Samuel Huntington, kebudayaan berarti nilai-nilai, sikap,

  Ibid hal 28 kepercayaan, orientasi dan praduga mendasar yang lazim di antara orang-orang dalam suatu masyarakat. Menurut Gabriel A. Almond dan Sidney Verba mendefenisikan budaya poitik sebagai sikap individu terhadap sistem dan komponen-komponennya, dan juga sikap individu

  12

  terhadap peranan yang dimainkan dalam sistem politik. Dengan kata lain, budaya politik tidak lain merupakan orientasi psikologis terhadap obyek sosial, dalam hal ini sistem

  13

  politik. Sikap positif atau negatif seseorang terhadap sistem politik tergantung dari corak orientasi budaya politik yang dimilikinya.

  Di samping orientasi terhadap sistem politik, menurut Almond dan Powell, terdapat aspek lain dari budaya politik yang berkaitan dengan pandangan dan sikap individu dalam masyarakat sebagai sesama waga negara. Sikap atau pandangan ini berkaitan dengan rasa percaya dan permusuhan antara warga negara yang satu dan lainnya atau antara golongan

  14

  yang satu dengan golongan lainnya dalam masyarakat. Perasaan-perasaan yang merupakan cerminan budaya politik tersebut mungkin terlihat pada pandangan dan sikap seseorang terhadap pengelompokan yang ada di sekitarnya dalam bentuk kualitas politik, yaitu konflik

  15

  dan kerja sama. Jadi, kerja sama dan konflik antar kelompok atau golongan sosial merupakan ciri aktual yang dapat mewaarnai budaya politik di dalam masyarakat.

  Perkembangan budaya politik suatu masyarakat dipengaruhi oleh kompleksitas nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kehidupan masyarakat dipenuhi oleh interaksi antarorientasi dan antarnilai yang memungkinkan timbulnya kontak-kontak di antara budaya politik suatu kelompok atau golongan, yang mungkin lebih tepat disebut ‘subbudaya politik’ yang pada dasarnya merupakan proses terjadinya pengembangan budaya 12 bangsa.

  

Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, 1990, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima

, Jakarta, Bumi Aksara, hal 13 13 Negara 14 Affan gaffar, 1999, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal 99

R. Siti Zuhro, 2003, Demokrasi lokal perubahan dan kesinambungan nilai-nillai budaya politik lokal,

15 Gramedia Pustaka, Jakarta, hal 36 Nazarudin Syamsudin, 1991, Aspek-aspek budaya politik Indonesia, Gramedia pustaka, Jakarta, hal 23

  Berfungsinya budaya politik dengan baik sebagai budaya bangsa yang matang, menurut Almond dan Verba, pada prinsipnya ditentukan oleh tingkat keserasian antara kebudayaan bangsa itu dan struktur politiknya. Budaya politik memiliki pengaruh penting dalam perkembangan demokrasi. Demokratisasi tidak berjalan baikbila tidak ditunjang oleh terbangunnya budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi, pandangan dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang demokratis akan mendukung terciptanya sistem politik yang demokratis. Menurut Almmond dan Verba, budaya politik demokratis adalah suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya yang menopang terwujudnya partisipasi. Budaya politik yang demokratis merupakan budaya politik yang partisipatif, yang diistilahkan oleh Almond sebagai civic culture. Antara budaya politik dan demokrasi dalam konteks civic culture tidak dapat dipisahkan.

  Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada s aat yang bersamaan adalah ‘sub-budaya etnik

16 Keanekargaman tersebut akan membawa pengaruh dan daerah’ yang mejemuk pula.

  terhadap budaya politik bangsa. Dalam interaksi antara sub-sub budaya politik kemungkinan terjadinya jarak tidak hanya antarbudaya politik tingkat nasional yang tempak lebih menonjol adalah pandangan dan sikap antara sub bdaya politik yang salling berinteraksi pada tingkat daerah yang masih berkembang adalah subbudaya politik yang lebih kuat dalam arti primordial.

  Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :

16 Koentjaraningrat, 2007, Manusia dan kebudayaan di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, hal 11

  a. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).

  b. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.

  c. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.

  Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.

  No Budaya Politik Uraian / Keterangan

  1. Parokial

  a. Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.

  b. Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.

  c. Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.

  d. Kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik.

  e. Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim. f. Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif dari pada kognitif.

  2. Subyek/Kaula

  a. Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.

  b. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah

  c. Hubungannya terhadap sistem plitik secara umum, dan terhadap output, administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.

  d. Sering wujud di dalam masyarakat di mana tidak terdapat struktur input yang terdiferensiansikan.

  e. Orientasi subyek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.

  3. Partisipan

  a. Frekuensi orientasi politik sistem sebagai obyek umum, obyek- obyek input, output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.

  b. Bentuk kultur dimana anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem politik secara komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif (aspekinput dan output sistem politik) c. Anggota masyarakat partisipatif terhadap obyek politik d. Masyarakat berperan sebagai aktivis.

  Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.

  Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara.

  Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.

  

Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan.

  Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik.

  Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.

  

Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah, yang

  didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik.

  Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru.

  4. Beberapa Pendapat Para Ahli Tentang Matrilineal

  1. Menurut Yoke Van Reenen Salah seorang peneliti dari Eropa yang bernama Yoke Van Reenen ditemani oleh seseorang yang bernama Irfani Dharma pada ahir 1990an telah langsung turun ke

  Minangkabau, tepatnya di Nagari Rao-Rao Kecamatan Sei Tarab Kabupaten Tanah Datar Batu Sangkar yang terletak di pinggir jalan propinsi yang dapat menuju ketiga kota di Sumatera Barat yaitu ke selatan Batusangkar, ke utara-timur ke Payakumbuh, dan ke utara-

  17 barat Bukittinggi.

  Dalam penelitiannya ini difokuskan kepada dua desa yang terdapat di nagari Rao-Rao yaitu Desa Carano Batirai dan Desa Balerong Bunta. Hampir semua rumah di desa ini terbuat dari kayu, baik dinding dan lantai dengan atap seng. Diantaranya terdapat rumah gadang, rumah adat yang dihuni oleh keluarga besar matrilineal yang kenyataan rumah gadang itu banyak kosong dan jika dihuni kebanyakan oleh nenek seorang diri atau beberapa orang penghuninya.

  Bahwa di Desa ini rumah tangga yang dikepalai wanita cukup tinggi yaitu 31,8 % atau 64 RT dari 201 WKRT, tetapi yang diseleksi untuk studi hanya 16 Wanita Kepala Rumah Tangga. Jumlah ini sudah bisa mencerminkan hasil survey. Bahwa tugas pokok WKRT ini ialah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan anak-anak, dana kesehatan dan sebagainya. Pekerjaan ini diambil oleh WKRT adalah sebagai pengganti dari tanggung jawab. Karena suami mereka ada yang sudah meninggal atau pergi merantau. Bagi merea yang tidak dapat bantuan dari rantau , mereka mencari nafkah sendiri, bertani, berdagang, Kadang-kadang berdagang di kampung seperti bua warung bagi kaum

Dokumen yang terkait

2.1 Kerangka Teori - Pengaruh Pelayanan Customer Service Terhadap Citra Perusahaan (Studi Korelasional Pengaruh Pelayanan Customer Service terhadap Citra Terminal Terpadu Amplas Medan)

0 0 18

1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Pelayanan Customer Service Terhadap Citra Perusahaan (Studi Korelasional Pengaruh Pelayanan Customer Service terhadap Citra Terminal Terpadu Amplas Medan)

0 3 8

Pengaruh Pelayanan Customer Service Terhadap Citra Perusahaan (Studi Korelasional Pengaruh Pelayanan Customer Service terhadap Citra Terminal Terpadu Amplas Medan)

0 0 16

BAB II KEMENYAN 2.1. Sejarah Kemenyan di desa Hutajulu. - Mata Pencaharian Petani Desa Hutajulu, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Studi Etnografi)

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Mata Pencaharian Petani Desa Hutajulu, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Studi Etnografi)

0 0 16

Mata Pencaharian Petani Desa Hutajulu, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Studi Etnografi)

0 0 12

BAB II PROFIL KABUPATEN LANGKAT DAN DPC PDI PERJUANGAN KABUPATEN LANGKAT A. Sejarah Ringkas Pemerintahan Kabupaten Langkat - Pengaruh Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terhadap Sosialisasi Ideologi Partai Dalam Kampanye (StudiPada : DPC Partai PDI Perjua

0 3 29

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Pengaruh Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terhadap Sosialisasi Ideologi Partai Dalam Kampanye (StudiPada : DPC Partai PDI PerjuanganKabupatenLangkat)

0 0 43

Pengaruh Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terhadap Sosialisasi Ideologi Partai Dalam Kampanye (StudiPada : DPC Partai PDI PerjuanganKabupatenLangkat)

0 0 13

BAB II PROFIL SUMATERA BARAT II.1 Sejarah Provinsi Sumatera Barat - Pola Budaya Matrilineal Dalam Politik (Studi Kasus Keterwakilan Perempuan di DPRD Sumatera Barat Tahun 2014)

0 0 40