Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Pasien Menjalani Pengobatan TB Paru di Puskesmas Sunggal Medan Tahun 2014

(1)

TAHUN 2014

SKRIPSI

OLEH : DERMAWANTI

111021058

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

HUBUNGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PETUGAS KESEHATAN TERHADAP KEPATUHAN PASIEN MENJALANI PENGOBATAN

TB PARU DI PUSKESMAS SUNGGAL MEDAN TAHUN 2014

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH : DERMAWANTI

111021058

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

(4)

ABSTRAK

Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara dua orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal. Komunikasi interpersonal ini hanya terdiri dua orang, seperti perawat pasien, suami istri, guru-murid dan sebagainya. Sehingga komunikator dapat melihat reaksi yang diberikan oleh komunikan. Namum prakteknya dilapangan komunikasi interpersonal ini sering dilupakan petugas karena keterbatasan waktu yang dimiliki petugas.

Kepatuhan berobat adalah yang menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan. Dengan komunikasi interpersonal yang terbina baik antara petugas dan pasien diharapakan dapat meningkatkan kepatuhan pasien menjalani pengobatan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan dengan tujuan menganalisis Hubungan Komunikasi interpersonal petugas terhadap Kepatuhan Pasien menjalani Pengobatan TB Paru. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien penderita TB Paru di Puskesmas Sunggal dan jumlah sampel adalah seluruh populasi yaitu sebanyak 42 orang. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dianalisis dengan uji Chi-square pada =0,05

Hasil penelitian menunjukkan frekuensi pasien yang patuh sebanyak 28 orang (66,7%) dan tidak patuh sebanyak 14 orang (33,3%). Hasil uji statistik menunjukkan variabel komunikasi interpersonal dari aspek keterbukaan, empati, sikap mendukung, dan kesetaraan berpengaruh terhadap kepatuhan pasien menjalani pengobatan TB Paru di Puskesmas Sunggal Medan. TB Paru. Disarankan kepada petugas Puskesmas khususnya yang memegang program TB Paru agar selalu memberi motivasi kepada pasien untuk teratur mengambil obat di Puskesmas.


(5)

ABSTRACT

Interpersonal communication is communication between two people face to face, which allows any other person reaction catch participants directly, either in verbal or nonverbal. Interpersonal communication is only consisted of two people, such us the patient and nurse, the husband and wife, teacher and student and etc. So that communicator can see the reaction given by komunikan. But the real practice interpersonal communication is often overlooked because of time belonging to the health worker.

Treatment Compliance is a complete regularly and complete treatment without interrupted for at least 6 months up to 8 months. With good interpersonal communication built up between the health worker and the patients are expected to improve patient medication adherence.

This research is descriptive analytic study with the purpose of analyzing the relations interpersonal communication health worker on the compliance of patients lived treatment of Pulmonary Tuberkulosis. The population in this study were all patients with Pulmonary Tuberculosis in Sunggal the Health Center and the number of samples is entire populations that as many as 42 people. Data was obtained with the interview using questionnaire were analyzed using Chi-square test at = 0.05

The results showed the frequency of adheren patients as many as 28 people (66,7%)andnon-adherent many as 14 people (33.3%). The results of statistical tests shows interpersonal communication variable aspects of openness, empathy, supportiveness and equality effect to compliance of patients lived treatment of pulmonary Tuberculosis in Medan Sunggal the Health Center. Pulmonary Tuberculosis. To the health worker advised that holds especially Pulmonary Tuberculosis programe in order to always provide motivation to patients to regularly take medication at the health center.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I . Identitas

Nama : Dermawanti

NIM : 111021058

Tempat/tanggal Lahir : Sidalu-dalu, 14 Mei 1987

Agama : Katolik

Anak Ke : Pertama Dari Dua Bersaudara

Status Perkawinan : Belum Menikah

Nama Ayah : T.R. Malau (+)

Nama Ibu : N. Marbun

Alamat Rumah : Dusun I, Bagan Makmur RT/RW 001/002 Desa Bukit Kerikil Kec.Bukit Batu Kab. Bengkalis - Riau

II. Riwayat Pendidikan

1. Tahun 1994-2000 : SDN 021 Bukit Kerikil 2. Tahun 2000-2003 : SLTP Santo Tarcisius Dumai 3. Tahun 2003-2006 : SLTA Santo Tarcisius Dumai

4. Tahun 2006-2009 : Akademi Keperawatan Santa Elisabeth Medan 5. Tahun 2011-2014 : Menyelesaikan Pendidikan Fakultas Kesehatan


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini yang berjudul “ Hubungan Komunikasi Interpersonal Terhadap Kepatuhan Pasien Menjalani Pengobatan TB Paru Di Puskesmas Sunggal Medan Tahun 2014 “.

Dalam penyusunan skripsi ini banyak mendapat bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Tukiman, MKM selaku Ketua Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalaman kepada penulis selama menuntut ilmu di FKM USU.

3. Bapak Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan, petunjuk, saran dan support yang tiada terhingga kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Bapak Drs. Tukiman, MKM selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan, petunjuk, saran dan support yang tiada terhingga kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.


(8)

5. Bapak Drs. Eddy Syahrial, MS dan dr. Taufik Ashar, MKM selaku dosen penguji yang tela memberikan masukan dan kritikan sehingga tersusunlah skripsi ini

6. Seluruh Staf Dosen PKIP yang telah memberikan bimbingan selama mengerjakan skripsi ini.

7. Seluruh Dosen FKM USU dan Staf Administrasi yang terlah memberikan bimbingan dan masukan selama mengerjakan skripsi ini.

8. dr. Efa Fartini selaku Kepala Puskesmas Medan Sunggal, beserta seluruh staf yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam melakukan penelitian.

9. Orang tua dan Adek tercinta: Lastika Malau, Safrida Malau,Tupa Marni Malau dan Ardito Manalu yang telah mendoakan dan memberikan dorongan semangat kepada penulis.

10. Yufi Sinaga tercinta yang selalu setia mendampingi dan memberikan dorongan semangat kepada penulis.

11. Teman- teman mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat dan teman-teman mahasiswa peminatan PKIP: Helmida, Mella, Yenni, dan Eka Jaya yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan upaya dalam membantu menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dalam materi, makna maupun tata cara penulisan, Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini.


(9)

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan karunia dan kasihNya kepada kita semua dan semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi kita semua, Amin.

Medan Januari 2014 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.3.1. Tujuan Umum ... 9

1.3.2. Tujuan Khusus ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Komunikasi ... 11

2.1.1. Prinsip dasar Komunikasi ... 11

2.1.2. unsur-unsur Komunikasi ... 11

2.1.3. Bentuk-bentuk Komunikasi ... 13

2.1.3.1 Komunikasi Interpersonal... 13

2.2. Kepatuhan ... 19

2.2.1. Pengertian Kepatuhan ... 19

2.2.2. Proses Perubahan Sikap Dan Perilaku ... 20

2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepatuhan Berobat ... 22

2.3. Tuberkulosis paru ... 28

2.3.1. Pengertian dan penyebab TB paru ... 28

2.3.2. Gejala penyakit TB paru ... 28

2.3.3. Klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB paru ... 29

2.3.4. Cara penularan TB Paru ... 32

2.3.5. Pengobatan TB paru ... 33

2.3.6. Strategi DOTS ... 36

2.3.7. Pencegahan penularan TB Paru ... 37

2.3.8. Penyuluhan TB paru ... 38

2.4. Landasan teori Perilaku ... 39

2.5. Kerangka Konsep ... 41

2.6. Hipotesis Penelitian ... 41

BAB III METODE PENELITIAN ... 42

3.1. Jenis Penelitian ... 42

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 42


(11)

3.3. Populasi dan Sampel ... 42

3.3.1. Populasi ... 42

3.3.2. Sampel ... 42

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 43

3.4.1. Data Primer ... 43

3.4.2. Data Sekunder ... 43

3.5. Instrumen Penelitian... 43

3.6. Defenisi Operasional ... 43

3.7. Aspek Pengukuran ... 46

3.8. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ... 49

3.8.1. Tehnik Pengolahan Data ... 49

3.8.2. Tehnik Analisa Data ... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 51

4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 51

4.1.1. Lokasi Penelitian ... 51

4.1.2. Wilayah Kerja Puskesmas Sunggal ... 51

4.2. karakteristik Responden ... 52

4.2.1. Distribusi Karakteristik Responden ... 52

4.3. Distribusi Komunikasi Interpersonal Petugas ... 54

4.3.1. Distribusi Frekuensi Variabel Keterbukaan Petugas ... 54

4.4.2. Distribusi Frekuensi Variabel Empati Petugas ... 56

4.4.2. Distribusi Frekuensi Var. Sikap Mendukung Petugas .... 58

4.4.2. Distribusi Frekuensi Variabel Sikap Positif Petugas ... 61

4.4.2. Distribusi Frekuensi Variabel Kesetaraan Petugas ... 63

4.4. Distribusi Frekuensi Variabel Kepatuhan ... 65

4.5. Hubungan Keterbukaan Petugas Terhadap Kepatuhan Pasien .. 66

4.6. Hubungan Empati Petugas Terhadap Kepatuhan Pasien ... 67

4.7. Hubungan Sikap Mendukung Petugas Terhadap Kepatuhan ... 68

4.8. Hubungan Sikap Positif Petugas Terhadap Kepatuhan Pasien .. 69

4.9. Hubungan Kesetaraan Petugas Terhadap Kepatuhan Pasien ... 70

BAB V PEMBAHASAN ... 71

5.1. Karakteristik Responden ... 71

5.2. Tingkat Kepatuhan Pasien ... 74

5.3. Hubungan Keterbukaan Petugas Terhadap Kepatuhan Pasien .. 75

5.4. Hubungan Empati Petugas Terhadap Kepatuhan Pasien ... 77

5.5. Hubungan Sikap Mendukung Petugas Terhadap Kepatuhan ... 79

5.6. Hubungan Sikap Positif Petugas Terhadap Kepatuhan Pasien .. 80

5.7. Hubungan Kesetaraan Petugas Terhadap Kepatuhan Pasien ... 82

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 85

6.1. Kesimpulan ... 85

6.2. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin

di Puskesmas Sunggal Medan Tahun 2014 ... 52 Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Umur

di Puskesmas Sunggal Medan Tahun 2014 ... 52 Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pendidikan

di Puskesmas Sunggal Medan Tahun 2014 ... 53 Tabel 4.4 Distribusi Kategori Responden Menurut Pendidikan

di Puskesmas Sunggal Medan Tahun 2014 ... 53

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pekerjaan

di Puskesmas Sunggal Medan Tahun 2014 ... 53 Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Keterbukaan

Petugas dalam Melayani Pasien di Puskesmas Sunggal

Medan Tahun 2014 ... 54 Tabel 4.7 Distribusi Kategori Berdasarkan Variabel Keterbukaan

Petugas dalam Melayani Pasien di Puskesmas Sunggal

Medan Tahun 2014 ... 55 Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Empati

Petugas dalam Melayani Pasien di Puskesmas Sunggal

Medan Tahun 2014 ... 56 Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Kategori Berdasarkan Variabel Empati

Petugas dalam Melayani Pasien di Puskesmas Sunggal

Medan Tahun 2014 ... 58 Tabel 4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Sikap

Mendukung Petugas dalam Melayani Pasien di Puskesmas

Sunggal Medan Tahun 2014 ... 58 Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Kategori Berdasarkan Variabel

Sikap Mendukung Petugas dalam Melayani Pasien


(13)

Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Pernyataan Berdasarkan Sikap Positif Petugas dalam Melayani Pasien di Puskesmas

Sunggal Tahun 2014 ... 61 Tabel 4.13 Distribusi Frekuensi Kategori Berdasarkan Sikap Positif

Petugas dalam Melayani Pasien di Puskesmas Sunggal

Tahun 2014 ... 62 Tabel 4.14 Distribusi Frekuensi Pernyataan Berdasarkan Kesetaraan

Petugas dalam Melayani Pasien di Puskesmas Sunggal

Tahun 2014 ... 63 Tabel 4.15 Distribusi Frekuensi Kategori berdasarkan Pernyataan

Kesetaraan Petugas dalam Melayani Pasien di Puskesmas

Sunggal Tahun 2014 ... 65 Tabel 4.16 Distribusi Frekuensi berdasarkan Pernyataan Kepatuhan

Pasien Menjalani Pengobatan TB Paru di Puskesmas

Sunggal Tahun 2014 ... 65 Tabel 4.17 Distribusi Frekuensi Kategori berdasarkan Variabel

Kepatuhan Pasien Menjalani Pengobatan TB Paru

di Puskesmas Sunggal Tahun 2014 ... 66 Tabel 4.18 Hubungan Keterbukaan Petugas Terhadap Kepatuhan

Pasien Menjalani Pengobatan TB Paru di Puskesmas

Sunggal Tahun 2014 ... 66 Tabel 4.19 Hubungan Empati Petugas Terhadap Kepatuhan Pasien

Menjalani Pengobatan TB Parudi Puskesmas Sunggal

Tahun 2014 ... 67 Tabel 4.20 Hubungan Sikap Mendukung Petugas Terhadap Kepatuhan

Pasien Menjalani Pengobatan TB Paru di Puskesmas Sunggal

Tahun 2014 ... 68 Tabel 4.21 Hubungan Sikap Positif Petugas Terhadap Kepatuhan

Pasien Menjalani Pengobatan TB Paru di Puskesmas

Sunggal Tahun 2014 ... 69 Tabel 4.22 Hubungan Kesetaraan Petugas Terhadap Kepatuhan

Pasien Menjalani Pengobatan TB Parudi Puskesmas Sunggal


(14)

ABSTRAK

Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara dua orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal. Komunikasi interpersonal ini hanya terdiri dua orang, seperti perawat pasien, suami istri, guru-murid dan sebagainya. Sehingga komunikator dapat melihat reaksi yang diberikan oleh komunikan. Namum prakteknya dilapangan komunikasi interpersonal ini sering dilupakan petugas karena keterbatasan waktu yang dimiliki petugas.

Kepatuhan berobat adalah yang menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan. Dengan komunikasi interpersonal yang terbina baik antara petugas dan pasien diharapakan dapat meningkatkan kepatuhan pasien menjalani pengobatan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan dengan tujuan menganalisis Hubungan Komunikasi interpersonal petugas terhadap Kepatuhan Pasien menjalani Pengobatan TB Paru. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien penderita TB Paru di Puskesmas Sunggal dan jumlah sampel adalah seluruh populasi yaitu sebanyak 42 orang. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dianalisis dengan uji Chi-square pada =0,05

Hasil penelitian menunjukkan frekuensi pasien yang patuh sebanyak 28 orang (66,7%) dan tidak patuh sebanyak 14 orang (33,3%). Hasil uji statistik menunjukkan variabel komunikasi interpersonal dari aspek keterbukaan, empati, sikap mendukung, dan kesetaraan berpengaruh terhadap kepatuhan pasien menjalani pengobatan TB Paru di Puskesmas Sunggal Medan. TB Paru. Disarankan kepada petugas Puskesmas khususnya yang memegang program TB Paru agar selalu memberi motivasi kepada pasien untuk teratur mengambil obat di Puskesmas.


(15)

ABSTRACT

Interpersonal communication is communication between two people face to face, which allows any other person reaction catch participants directly, either in verbal or nonverbal. Interpersonal communication is only consisted of two people, such us the patient and nurse, the husband and wife, teacher and student and etc. So that communicator can see the reaction given by komunikan. But the real practice interpersonal communication is often overlooked because of time belonging to the health worker.

Treatment Compliance is a complete regularly and complete treatment without interrupted for at least 6 months up to 8 months. With good interpersonal communication built up between the health worker and the patients are expected to improve patient medication adherence.

This research is descriptive analytic study with the purpose of analyzing the relations interpersonal communication health worker on the compliance of patients lived treatment of Pulmonary Tuberkulosis. The population in this study were all patients with Pulmonary Tuberculosis in Sunggal the Health Center and the number of samples is entire populations that as many as 42 people. Data was obtained with the interview using questionnaire were analyzed using Chi-square test at = 0.05

The results showed the frequency of adheren patients as many as 28 people (66,7%)andnon-adherent many as 14 people (33.3%). The results of statistical tests shows interpersonal communication variable aspects of openness, empathy, supportiveness and equality effect to compliance of patients lived treatment of pulmonary Tuberculosis in Medan Sunggal the Health Center. Pulmonary Tuberculosis. To the health worker advised that holds especially Pulmonary Tuberculosis programe in order to always provide motivation to patients to regularly take medication at the health center.


(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis atau TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenaiorgan tubuh lainnya. Pada tahun 1993 World Health Organization (WHO) menyatakan TB sebagai suatu problema kesehatan masyarakat yang sangat penting dan serius di seluruh dunia dan merupakan penyakit yang menyebabkan kedaruratan global (Global Emergency) karena pada sebagian besar negara di dunia penyakit TB paru tidak terkendali, ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, serta sebagai penyebab kematian utama yang diakibatkan oleh penyakit infeksi. (Depkes RI, 2002).

Pada tahun 2006, terdapat sekitar 9,2 juta kasus baru TB secara global. Diperkirakan 1,7 juta orang (25/100.000) meninggal karena TB. Menurut data WHO tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat ke-3 penyumbang kasus TB terbesar di dunia setelah India dan China.TB di Indonesia bahkan telah menjadi penyebab kematian ketiga, setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan lainnya. Jumlah kasus baru sekitar 539.000 setiap tahunnya dan jumlah kematian sekitar 101.000 per tahun (Depkes RI, 2007).

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga


(17)

memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Depkes RI, 2008).

Sejak tahun 1990-an WHO dan International Union Agains Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective). Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya Multi Drugs Resistance Tuberculosis (MDR-TB). Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien menular. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. Pengembangan strategi DOTS telah dilaksanakan di seluruh provinsi pada fasilitas pelayanan kesehatan,Puskesmas (96%) dan di Rumah Sakit (40%) .baik Rumah Sakit Pemerintah, Swasta, BUMN, dan TNI-POLRI. (Depkes RI, 2007).

Risiko penularan setiap tahun ARTI (Annual Risk of Tuberkulosis Infection)di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI(Annual Risk of Tuberkulosis Infection) sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi TB paru. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akanmenjadi penderita tuberkulosis, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberculosis. Berdasarkan keterangan tersebut dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita Tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif. (Depkes RI, 2008).


(18)

3

Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011 melaporkan bahwa Indonesia telah diakui keberhasilannya dalam pengendalian TB, hal ini dibuktikan dalam laporan Global Report Update tahun 2009 bahwa Indonesia berhasil menurunkan posisinya dari posisi 3 menjadi posisi ke 5 sebagai negara dengan jumlah pasien TB terbanyak di dunia. Selain itu dari data Global Report juga bisa dilihat keberhasilan Indonesia dalam menurunkan angka kematian akibat TB dari 348/hari (Global Report GR, 2002), 300/hari (GR, 2007), 250/hari (GR, 2009), dan 169/hari (GR, 2010). Selain itu target cakupan penemuan kasus TB atau case detection rate sebesar 70% sudah tercapai karena Indonesia telah mencapai 77,3%, demikian pula target keberhasilan pengobatan atau success rate yang ditetapkan 85%, kita sudah mencapai 89,6%. Target Millenium Development Goals atau MDGs untuk pengendalian TB adalah prevalensi TB menurun menjadi 222 per 100.000 penduduk dan angka kematian TB menurun sampai 46 per 100.000 di tahun 2015. Berdasarkan Global Report tahun 2010, prevalensi TB di Indonesia adalah 285 per 100.000 penduduk, sedangkan angka kematian TB telah turun menjadi 27 per 100.000 penduduk. Artinya, target MDGs untuk angka prevalensi TB diharapkan akan tercapai pada 2015, sedangkan target angka kematian TB sudah tercapai (Kemenkes RI, 2011)

Namun demikian tentunya permasalahan dalam pengendalian TB masih sangat besar, dan Indonesia masih berkontribusi sebesar 5,8% dari kasus TB yang ada di dunia. Dengan masih adanya sekitar 430.000 pasien baru per tahun dan angka insiden 189/100.000 penduduk serta angka kematian akibat TB sebesar 61.000 per tahun atau 27/100.000 penduduk, TB masih menjadi tantangan dalam masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (Kemenkes RI, 2011).


(19)

TB Paru merupakan penyakit menular, dimana kepatuhan yang rendah terhadap obat yang diberikan dokter dapat meningkatkan risiko morbiditas, mortalitas dan resistensi obat baik pada pasien maupun pada masyarakat luas.Diagnosa yang tepat, pemilihan obat serta pemberian obat yang benar dari tenaga kesehatan ternyata belum cukup untuk menjamin keberhasilan suatu terapi jika tidak diikuti dengan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obatnya (Asti, 2006).

Riskesdas tahun 2010 melaporkan bahwa cakupan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) nasional adalah sebesar 83,2%. Persentase penderita TB yang telah menyelesaikan pengobatan OAT sebanyak 59,0 persen, sebanyak 19,3 persen berobat tidak lengkap (<5 bulan) dan tidak minum obat 2,6 persen.

Di Sumatera Utara, penderita TB menempati urutan ketujuh nasional. Jumlah penderita TB Paru di Sumatera Utara pada tahun 2010 sebanyak 104.992 orang setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 13.744 orang, dari jumlah yang diobati jumlah pasien yang sembuh sebanyak 9.390 orang atau sekitar 68,32% (Dinkes Prov. Sumatera Utara, 2010).

Kota Medan merupakan yang terbesar jumlah penderita TB bila dibandingkan dengan jumlah penduduk dari tiap Kab/Kota dengan jumlah penderita sebanyak 10.653 orang yang positif setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 1.960 orang, dari jumlah yang diobati yang sembuh sebanyak 790 orang atau sekitar 40,30% (Dinkes Kota Medan, 2010).

Berdasarkan Indikator Sasaran program penanggulangan TB adalah tercapainya cakupan kesembuhan 85% dari semua pasiendalam setahun serta mempertahankannya. Kota Medan terdiri dari 21 Kecamatan,Puskesmas Sunggal


(20)

5

merupakan salah satu yang memberikan pelayanan pengobatan TB yang ada di kota Medan. Pada tahun 2011 jumlah penderita TB yang ada di Puskesmas Sunggal yaitu 43 orang, sedangkan angka kesembuhan yang dicapai sebesar 76,7% hal ini menunjukkan bahwa Puskesmas Sunggal belum mencapai target keberhasilan kesembuhan yang harus dicapai yaitu 85%. Keadaan ini menggambarkan bahwa tingkat kepatuhan pasien penderita TB Paru masih kurang yaitu hanya 76,7% dari cakupan yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan yaitu 85% (Dinkes Kota Medan 2012) Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah pengetahuan, motivasi minum obat dan KIE (Komunikasi,Informasi dan Edukasi). Faktor penting lainnya adalah tingkat pendidikan pasien,Pendidikan rendah mengakibatkan pengetahuan rendah. Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB paru dan menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TB paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar. Hal ini akan mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta memperberat beban pemerintah. (Aditama, 2004)

Ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi penderita TB paru tetap menjadi hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi.Kebanyakan penderita tidak datang selama fase intensif karena tidak adekuatnya motivasi terhadap kepatuhan berobat dan kebanyakan penderita merasa enak pada akhir fase intensif dan merasa tidak perlu kembali untuk pengobatan (Simamora, 2004).

Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB paru dan menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TB paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar. Hal ini


(21)

akan mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta memperberat beban pemerintah.

Berdasarkan hasil survey awal pada bulan November tahun 2013 yang dilakukan peneliti di Puskesmas Sunggal jumlah penderita TB Paru 43 orang pada tahun 2011, sedangkan pada tahun 2012 jumlah penderita adalah sebanyak 41 orang dan tahun 2013 sebanyak 42 orang. Sedangkan cakupan kesembuhan pengobatan TB pada tahun 2011 adalah 76,7 % dan tahun 2012 adalah 75,6 %. Berdasarkan target program penanggulangan TB Puskesmas Sunggal belum mencapai target yaitu 85 % dari semua pasien TB Paru.

Saat dilakukan wawancara kepada orang penderita TB, pasien menyatakan bahwa pasien malas ke Puskesmas karena pada saat berkonsultasi, petugas hanya menjelaskan seperlunya dan tidak ada waktu untuk mendengarkan semua keluhan pasien padahal pasien kurang mengerti dengan penjelasan yang diberikan petugas kesehatan. Selain alasan tersebut, penderita TB paru juga mengatakan bosan mengkonsumsi obat dalam jangka waktu yang lama, karena kurang merasakan efek kesembuhan, sehingga merasa pesimis dan ragu akan kesembuhan penyakitnya.

Hasil penelitian Erawatyningsih (2009) bahwa keteraturan/kepatuhan berobat penderita TB paru ditentukan oleh perhatian tenaga kesehatan untuk memberikan penyuluhan, penjelasan kepada penderita, kalau perlu mengunjungi ke rumah serta tersedianya obat paket TB paru. Petugas kesehatan perlu meningkatkan penyuluhan untuk meningkatkan pemahaman dan memberikan motivasi bagi penderita agar penderita dan keluarga dapat memahami tentang penyakit TB paru, cara pencegahan dan akibat dari tidak teraturnya menjalankan pengobatan, sehingga dapat


(22)

7

meningkatkan kepatuhan penderita untuk datang berobat. Petugas harus memberikan penjelasan secara rinci, berlaku simpatik dan ramah, serta empati.

Menurut Bart dalam Niven (2002), berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan petugas kesehatan mempengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan petugas kesehatan, ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan.

Salah satu strategi untuk meningkatkan ketaatan adalah memperbaiki komunikasi antara dokter maupun perawat dengan pasien. Kualitas interaksi antara petugas kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatkan interaksi petugas kesehatan dengan pasien adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Untuk meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien, diperlukan suatu komunikasi yang baik oleh tenaga kesehatan. Dengan komunikasi, seorang tenaga kesehatan dapat memberikan informasi yang lengkap guna meningkatkan pengetahuan pasien dalam setiap instruksi yang diberikan kepadanya, sehingga diharapkan lebih dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi (Niven, 2002).

Menurut Murwani (2009) komunikasi menjadi penting karena: 1) merupakan sarana terbina hubungan yang baik antara pasien dan tenaga kesehatan, 2) dapat melihat perubahan perilaku yang terjadi pada individu atau pasien, 3) dapat sebagai kunci keberhasilan tindakan kesehatan yang telah dilakukan, 4) dapat sebagai tolak


(23)

ukur kepuasan pasien, dan 5) dapat sebagai tolak ukur komplain (keluhan) tindakan dan rehabilitasi.

Pasien cenderung menunjukkan kepuasan lebih besar pada tenaga kesehatan yang memberikan mereka kesempatan berbicara, memberikan waktu untuk mendengarkan, memberikan penjelasan tentang penyakit dan pengobatan yang harus dilakukan, serta menunjukkan kepedulian, dibandingkan tenaga kesehatan yang berlaku sebaliknya. Semakin besar kepuasan yang dirasakan oleh pasien cenderung dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan yang berlangsung rutin dengan tenaga kesehatan tersebut. Kepuasan pasien juga ditunjukkan pada kepatuhannya terhadap anjuran dan saran dari tenaga kesehatan (Alven, 2008).

Menurut Nazar (2013) kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis Paru dipengaruhi oleh komunikasi petugas kesehatan, isi informasi dan teknik komunikasi, akan tetapi diketahui bahwa variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kepatuhan berobat yaitu isi informasi.

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Pasien Menjalani Pengobatan TB Paru di Puskesmas Sunggal Medan Tahun 2014”

1.2. Rumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah ketidakpatuhan pasien dalam menjalankan pengobatan TB Paru. Berdasarkan data Puskesmas Sunggal Tahun 2012 dari 41 orang penderita TB Paru, 4 orang pasien pengobatan lengkap dan satu orang


(24)

9

tidak tuntas. Hal ini diduga karena komunikasi petugas yang masih kurang kepada pasien sehingga peneliti ingin mengetahui “Bagaimana Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Pasien menjalani Pengobatan TB Paru di Puskesmas Sunggal Medan Tahun 2014”

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis Bagaimana Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Pasien menjalani Pengobatan TB Paru di Puskesmas Sunggal Medan Tahun 2014.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui hubungan komunikasi interpersonal dari aspek keterbukaan petugas kesehatan terhadap kepatuhan menjalani pengobatan TB paru

2. Mengetahui hubungan komunikasi interpersonal dari aspek empati petugas kesehatanterhadap kepatuhan menjalani pengobatan TB paru

3. Mengetahui hubungan komunikasi interpersonal dari aspek sikap mendukung petugas kesehatan terhadap kepatuhan menjalani pengobatan TB paru

4. Mengetahui hubungan komunikasi interpersonal dari aspek sikap positif petugas kesehatan terhadap kepatuhan menjalani pengobatan TB paru

5. Mengetahui hubungan komunikasi interpersonal dari aspek kesetaraan petugas kesehatan terhadap kepatuhan menjalani pengobatan TB paru


(25)

1.4. Manfaat Penelitian

a. Bagi Puskesmas Sunggal Medan, sebagai informasi mengenai masalah yang berkaitan dengan Hubungan Komunikasi Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Pasien dalam Pengobatan TB Paru di Puskesmas Sunggal Medan b. Bagi penderita, sebagai acuan dalam rangka peningkatan Kepatuhan Pasien

Menjalani Pengobatan serta memberikan motivasi kepada penderita TB Paru. c. Secara teoritis dapat mendukung pengembangan ilmu pendidikan kesehatan

dan ilmu perilaku, serta dapat dimanfaatkan sebagai acuan ilmiah untuk pengembangan ilmu kesehatan khususnya tentang TB Paru.

d. Sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya baik dengan variabel yang sama maupun berbeda serta tempat yang berbeda pula.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi

2.1.1. Prinsip Dasar Komunikasi

Komunikasi adalah proses pengoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk memengaruhi perilaku orang lain. Stimulus atau rangsangan dapat berupa suara/bunyi atau bahasa lisan berupa gerakan, tindakan atau simbol-simbol yang dapat dimengerti oleh pihak lain. Oleh sebab itu reaksi atau respon dalam bentuk simbol merupakan pengaruh atau hasil proses komunikasi (Notoatmodjo, 2007).

2.1.2. Unsur-unsur Komunikasi

Hubungan yang terjadi dalam suatu proses komunikasi adalah untuk mencapai tujuan dari komunikasi yang dilakukan. Dengan demikian, apabila salah satu dari unsur tersebut tidak ada, maka akan terhambatlah proses komunikasi tersebut, dan akan menyebabkan tergantungnya pencapaian tujuan dari proses komunikasi. Menurut Wilbur Schramm untuk dapat berkomunikasi itu paling sedikit diperlukan 3 (tiga) unsur, yaitu: the source, the message, the destination.

Unsur-unsur tersebut dapat diperinci lagi ke dalam 5 (lima) unsur, yaitu: a. Source (sumber)

Sumber adalah pihak yang mensponsori atau ide yang melandasi kegiatan-kegiatan komunikasi. Sumber dapat merupakan sebuah lembaga, sebuah kejadian atau si penyampai pesan sendiri.


(27)

b. Encoder (Komunikator)

Komunikator adalah pihak yang menjalankan atau menyampaikan pesan dalam suatu proses komunikasi. Seorang komunikator dalam suatu proses komunikasi terkadang dapat berubah menjadi komunikan dan sebaliknya komunikan dapat berubah menjadi komunikator. Komunikator dalam melancarkan kegiatan komunikasi dapat melakukannya dalam situasi antar personal, komunikasi kelompok dan komunikasi massa.

c. Message (pesan)

Message adalah materi pernyataan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Materi pernyataan ini dapat diwujudkan secara lisan dan tulisan, juga dalam bentuk gambar, warna, isyarat, dan segala lambang yang ada di alam pikiran manusia, asal saja lambang-lambang ini sama-sama dapat dipahami baik oleh komunikator maupun komunikan. Wilbur Schramm menampilkan apa yang ia sebut “Thecondition of success in comumnication” yakni kondisi yang harus dipatuhi jika kita menginginkan agar suatu pesan membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki:

1) Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian komunikan.

2) Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga sama-sama dimengerti. 3) Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikator dan


(28)

13

4) Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi situasi kelompok dimana komunikan berada pada saat ia digerakan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki.

d. Dekoder (komunikan/sasaran)

Komunikan atau sasaran adalah orang atau pihak yang menerima pesan didalam suatu kegiatan komunikasi. Komunikan dalam suatu kegiatan komunikasi dapat berbentuk:

1. Masyarakat umum (general public) 2. Masyarakat khusus (special public)

3. Individu-individu yang berasal dari suatu particular group atau massa, seperti pendengar radio, pemirsa televisi, pembaca surat kabar dan lain-lain.

e. Destination (tujuan)

Setiap komunikasi yang dilancarkan pasti mempunyai tujuan, yakni bagaimana hasil dari komunikasi yang dijalankan mendapat umpan balik yang positif. Atau dengan kata lain komunikan dapat memberikan respon/tanggapan yang merupakan umpan balik (feed back) yang positif. (Meinanda,1981).

2.1.3. Bentuk-bentuk Komunikasi

2.1.3.1. Komunikasi Interpersonal/Tatap Muka (Face to face) a. Pengertian Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal. Komunikasi interpersonal ini adalah


(29)

komunikasi yang hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya (Mulyana, 2000).

Menurut Effendi dalam Sunarto (2003), pada hakekatnya komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar komunikator dengan komunikan, komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Arus balik bersifat langsung, komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga. Pada saat komunikasi dilancarkan, komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau tidaknya. Jika ia dapat memberikan kesempatan pada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya.

Menurut Devito, komunikasi interpersonal adalah pengiriman pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung. Dalam menerangkan komunikasi interpersonal, maka perlu dijelaskan pengertian komunikasi diadik serta komunikasi interpersonal. Karena dalam proses komunikasi interpersonal secara universal adalah karakteristik atau konsep-konsep yang relevan dengan semua bentuk komuniksi interpersonal.

Konsep-konsep ini adalah konsep komunikasi kelompok oleh karenanya, sebagai konsekuensinya ialah bahwa dalam komunikasi interpersonal tidak ada pemecahan unit dari komunikasi diadik maupun komunikasi kelompok. Komunikasi diadik adalah komunikasi antara dua orang individu, sedangkan komunikasi interpersonal ialah komunikasi dengan pribadi sendiri. Perlu ditekankan disini bahwa komunikasi interpersonal adalah dasar dari komunikasi interpersonal, karena tidak mungkin seseorang berbicara dengan orang lain sebelum ia sendiri mempertanyakan


(30)

15

persoalan apa atau masalah yang ditemui dalam percakapan yang melibatkan dirinya dengan orang lain. Setelah adanya jawaban yang keluar dari dirinya sendiri, maka ia baru dapat mengeluarkan atau mengekspresikan pendapat, perasaan yang terkandung di dalam hatinya.

Sementara pada komunikasi didik adalah bahwa setiap komunikasi interpersonal, minimal dilakukan oleh dua orang, tetapi selama tiap individu dapat berkomunikasi dengan individu lainnya dalam kelompok kecil serta dapat memperoleh umpan balik dan efek langsung, maka situasi komunikasi juga masih disebut komunikasi interpersonal.

b. Bentuk-bentuk Komunikasi Interpersonal

Bentuk komunikasi dapat dikasifikasikan menjadi dua yaitu: 1) Komunikasi interpersonal verbal

2) Komunikasi interpersonal non verbal

Komunikasi interpersonal verbal menggunakan kata-kata yang meliputi bahasa lisan. Komunikasi lisan sering digunakan orang banyak, karena dapat mewakili hal yang konkrit dalam dunia dan dapat mewakili hal yang bersifat abstrak Komunikasi interpersonal non verbal menyangkut tentang sikap, ekspresi wajah dapat digunakan untuk menyampaikan pesan (Klapper, 1960).

c. Faktor-faktor yang Memengaruhi Komunikasi Interpersonal

Menurut Devito (1989), Faktor-faktor efektivitas komunikasi interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu :


(31)

1. Keterbukaan (Openness)

Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya memang ini mungkin menarik, tapi biasanya tidak membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut. Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan yang menjemukan. Kita ingin orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang kita ucapkan. Dan kita berhak mengharapkan hal ini. Tidak ada yang lebih buruk dan pada ketidakacuhan, bahkan ketidak sependapatan jauh lebih menyenangkan. Kita memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain.

Aspek ketiga menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pikiran (Bochner dan Kelly, 1974). Terbuka dalam pengertian ini adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang anda lontarkan adalah memang milik anda dan anda bertanggung jawab atasnya. Cara terbaik untuk menyatakan tanggung jawab ini adalah dengan pesan yang menggunakan kata saya (kata ganti orang pertama tunggal).


(32)

17

2. Empati (empathy)

Empati adalah sebagai “kemampuan seseorang untuk „mengetahui‟ apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.” Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi orang lain atau merasa ikut bersedih. Sedangkan berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya, berada di kapal yang sama dan merasakan perasaan yang sama dengan cara yang sama. Orang yang empati mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang. Kita dapat mengkomunikasikan empati baik secara verbal maupun non verbal. Secara nonverbal, kita dapat mengkomunikasikan empati dengan memperlihatkan yaitu :

1) keterlibatan aktif dengan orang itu melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai

2) konsentrasi terpusat meliputi kontak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan kedekatan fisik; serta

3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya. 3. Sikap mendukung (supportiveness)

Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang perumusannya dilakukan berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung.


(33)

Kita memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategis, dan (3) provisional, bukan sangat yakin.

4. Sikap positif (positiveness)

sedikitnya dua cara: (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara positif mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati interaksi atau tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap situasi atau suasana interaksi.

5. Kesetaraan (Equality)

Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang mungkin lebih pandai. Lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih atletis daripada yang lain. Tidak pernah ada dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal. Terlepas dari ketidak setaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.


(34)

19

Dalam suatu hubungan interpersonal yang ditandai oleh kesetaraan, ketidak-sependapatan dan konflik lebih dilihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain apa adanya.

2.2. Kepatuhan

2.2.1. Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan menurut Trostle dalam Niven (2002), adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan.

Seseorang dikatakan patuh berobat bila mau datang ke petugas kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh petugas (Lukman Ali et al, 1999 dalam Yuanasari 2009). Menurut Sarafino (Bart, 1994) mendefinisikan kepatuhan sebagai tingkat perilaku penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau yang lain.

Dalam hal pengobatan TB paru, Depkes RI (2002) mengemukakan bahwa penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan, sedangkan penderita yang tidak patuh datang berobat dan bila frekuensi minum obat


(35)

tidak dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Penderita dikatakan lalai jika tidak datang lebih dari 3 hari - 2 bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan drop out jika lebih dari 2 bulan berturut-turut tidak datang berobat setelah dikunjungi petugas kesehatan

2.2.2. Proses Perubahan Sikap dan Perilaku

Menurut Skinner (1938) dalam teori Stimulus-Organisme-Respon (S-O-R) bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kualitas rangsangan yang berkomunikasi dengan organisme. Proses yang terjadi pada organisme berupa perhatian, pengertian dan penerimaan (Notoatmodjo, 2005).

Berdasarkan teori S-O-R, perilaku manusia dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1) perilaku tertutup (covert behavior), terjadi bila respon terhadap stimulus masih belum dapat diamati orang lain secara jelas. Respon seseorang masih terbatasdalam bentuk pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan; 2) perilaku terbuka (overt behavior), terjadi bila respon terhadap stimulus sudah berupa tindakan, atau praktik yang dapat diamati orang dari luar. Contoh: seorang penderita TB paru minum obat anti TB secara teratur (Notoatmodjo, 2005).

Sementara menurut Kelman (1955) bahwa perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi kemudian baru menjadi internalisasi. Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman/sanksi jika tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut tahap ini disebut tahap kepatuhan (compliance). Biasanya


(36)

21

perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan (Sarwono, 2007).

Menurut Kelman, pengawasan itu tidaklah perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh otoriter, melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika individu tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan kelompok sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun segera setelah dia keluar dari kelompok tersebut, mungkin sekali perilakunya akan berubah, menjadi perilaku yang diingininya sendiri.

Kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru itu dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan atau tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent). Biasanya kepatuhan ini timbul karena individu merasa tertarik atau mengagumi petugas atau tokoh tersebut, sehingga ingin mematuhi apa yang dianjurkan atau diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan mamfaat dari tindakan tersebut, tahap ini disebut proses identifikasi. Meskipun motivasi untuk mengubah perilaku individu dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam compliance, namun motivasi ini belum dapat menjamin kelestarian perilaku itu karena individu belum dapat menghubungkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya, sehingga jika dia ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya itu maka dia merasa tidak perlu melanjutkan perilaku tersebut.


(37)

Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi, dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri individu dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya. Internalisasi ini dapat dicapai jika petugas kesehatan merupakan tokoh yang dapat dipercaya (kredibilitasnya tinggi) yang dapat membuat individu/masyarakat sasaran memahami makna dan penggunaan perilaku tersebut serta membuat mereka mengerti akan pentingnya perilaku tersebut bagi kehidupan mereka sendiri. Memang internalisasi ini tidaklah mudah dicapai sebab diperlukan kesediaan individu/masyarakat sasaran untuk mengubah sistem nilai dan kepercayaan mereka agar menyesuaikan diri dengan nilai atau perilaku yang baru.

2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Berobat

Menurut Sarafino (Bart, 1994) ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang, atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan pengobatan. Faktor yang memengaruhi kepatuhan seseorang dalam berobat yaitu faktor petugas, faktor obat, dan faktor penderita. Karakteristik petugas yang memengaruhi kepatuhan antara lain jenis petugas, tingkat pengetahuan, lamanya bekerja, frekuensi penyuluhan yang dilakukan. Faktor obat yang memengaruhi kepatuhan adalah pengobatan yang sulit dilakukan tidak menunjukkan ke arah penyembuhan, waktu yang lama, adanya efek samping obat. Faktor penderita yang menyebabkan ketidakpatuhan adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, anggota keluarga, saudara atau teman khusus.


(38)

23

Dalam hal kepatuhan Carpenito (Niven 2002) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah segala sesuatu yang dapat tidak mampu lagi mempertahankan kepatuhannya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh berpengaruh positif sehingga penderita. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya:

1. Pemahaman tentang instruksi

Tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Hal ini disebabkan oleh kegagalan professional kesalahan dalam memberikan informasi lengkap, penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang harus di ingat oleh pasien.

2. Faktor umur

Gunarsa (2005) mengemukakan bahwa semakin tua umur seseorang maka proses perkembangan mentalnya bertambah baik, dengan demikian dapat disimpulkan faktor umur akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang yang akan mengalami puncaknya pada umur-umur tertentu dan akan menurun kemampuan penerimaan atau mengingat sesuatu seiring dengan usia semakin lanjut. Hal ini menunjang dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah.

3. Kesakitan dan pengobatan

Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas), saran


(39)

mengenai gaya hidup dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas

4. keyakinan sikap dan kepribadian

Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuran-pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Orang-orang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas, sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Ciri-ciri kepribadian yang disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh dari program pengobatan.

5. Dukungan Keluarga

Dukungan Keluarga dapat menjadi faktor yang dapat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta menentukan program pengobatan yang akan mereka terima.

6. Tingkat ekonomi

Tingkat ekonomi merupakan kemampuan finansial untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, akan tetapi ada kalanya penderita TB sudah pensiun dan tidak bekerja namun biasanya ada sumber keuangan lain yang bisa digunakan untuk membiayai semua program pengobatan dan perawatan sehingga belum tentu tingkat ekonomi menengah ke bawah akan mengalami ketidakpatuhan dan sebaliknya tingkat ekonomi baik tidak terjadi ketidakpatuhan.


(40)

25

7. Dukungan sosial

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga teman, waktu, dan uang merupakan faktor penting dalam kepatuhan. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan mereka dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan.

8. Dukungan profesi kesehatan

Dukungan profesi kesehatan merupakan faktor penting yang dapat memengaruhi perilaku kepatuhan penderita. Dukungan mereka terutama berguna pada saat penderita menghadapi kenyataan bahwa perilaku sehat yang baru itu merupakan hal yang penting

Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2002), ada lima faktor yang mendukung kepatuhan pasien, dimana jika faktor ini lebih besar daripada hambatannya maka kepatuhan harus mengikuti. Kelima faktor tersebut adalah:

1. Pendidikan

Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.

2. Akomodasi

Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Sebagai contoh, pasien yang lebih mandiri harus dapat merasakan bahwa ia dilibatkan secara akut dalam program pengobatan, sementara pasien yang lebih mengalami ansietas dalam


(41)

menghadapi sesuatu, harus diturunkan dulu tingkat ansietasnya dengan cara menyakinkan dia atau dengan teknik-teknik lain sehingga ia termotivasi untuk mengikuti anjuran pengobatan.

3. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial

Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap program-program pengobatan seperti pengurangan berat badan, berhenti merokok, dan menurunkan konsumsi alkohol.

4. Perubahan model terapi

Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien dapat terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut. Dengan cara ini komponen-komponen sederhana dalam program pengobatan dapat diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang lebih kompleks.

5. Interaksi petugas kesehatan dengan pasien

Adalah suatu hal penting untuk memberi umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Untuk melakukan konsultasi dan selanjutnya dapat membantu meningkatkan kepatuhan.

Sementara menurut Asti (2006) bahwa banyak faktor berhubungan dengan kepatuhan terhadap terapi tuberkulosis, antara lain:


(42)

27

1. Faktor struktural dan ekonomi

Tidak adanya dukungan sosial dan kehidupan yang tidak mapan menciptakan lingkungan yang tidak mendukung program tercapainya kepatuhan pasien.

2. Faktor pasien

Umur, jenis kelamin dan suku/ras berhubungan dengan kepatuhan pasien dibeberapa tempat. Pengetahuan mengenai penyakit tuberkulosis dan keyakinan terhadap efikasi obatnya akan mempengaruhi keputusan pasien untuk menyelesaikan terapinya atau tidak.

3. Kompleksitas regimen

Banyaknya obat yang harus diminum dan toksisitas serta efek samping obat dapat merupakan faktor penghambat dalam penyelesaian terapi pasien. Dukungan dari petugas pelayanan kesehatanEmpati dari petugas pelayanan kesehatan memberikan kepuasan yang signifikan pada pasien. Untuk itu, petugas harus memberikan waktu yang cukup untuk memberikan pelayanan kepada setiap pasien.

5. Cara pemberian pelayanan kesehatan

Sistim yang terpadu dari pelayanan kesehatan harus dapat memberikan sistem pelayanan yang mendukung kemauan pasien untuk mematuhi terapinya. Dalam sistem tersebut, harus tersedia petugas kesehatan yang berkompeten melibatkan berbagai multidisiplin, dengan waktu pelayanan yang fleksibel.


(43)

2.3. Tuberkulosis Paru

2.3.1. Pengertian dan Penyebab TB Paru

Tuberkulosis yang dulu disingkat menjadi TBC karena berasal dari kata tuberculosis saat ini lebih lazim disingkat dengan TB saja. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat jugamengenai organ tubuh yang lainnya. Tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan tetapi dapat ditularkan dari seseorang ke orang lain (Sulianti, 2007).

Mycobacterium tuberculosis bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu, mikroorganisme ini senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis (Somantri, 2008).

2.3.2. Gejala Penyakit TB Paru

Gejala penyakit TB paru (Depkes RI, 2007), antara lain: 1. Batuk

Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa atau akibat rokok. Proses yang paling ringan ini menyebabkan sekret akan terkumpul pada waktu penderita tidur dan dikeluarkan saat penderita bangun pagi hari.


(44)

29

2. Dahak

Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi purulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen dan kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi perlunakan.

3. Batuk darah

Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. 4. Nyeri dada

Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Bila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas (nyeri dikeluhkan di daerah aksila, di ujung skapula atau di tempat-tempat lain). 5. Mengi

Mengi terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan oleh sekret, bronkostenosis, peradangan, jaringan granula, ulserasi dan lain-lain (pada tuberkulosis lanjut).

6. Dispneu

Dispneu merupakan late symptom dari proses lanjut tuberkulosis paru akibat adanya restriksi dan obstruksi saluran pernapasan serta loss of vascular bed/thrombosis yang dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi pulmonal dan korpulmonal.

2.3.3. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB Paru

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:


(45)

1. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena a) Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

b) Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

2. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis a. Tuberkulosis paru BTA positif

1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. 2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.

3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. 4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS

pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

b. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru dan BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

1. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. 2. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. 3. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.


(46)

31

4. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

3. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit

TB paru BTA negatif foto toraks positif, dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien burukTB ekstra paru, dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:

1) TB ekstra-paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. 2) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,

pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

5. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

a. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b. Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).


(47)

c. Kasus setelah putus berobat (Default) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif

d. Kasus setelah gagal (Failure)Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan ke-5 atau lebih selama pengobatan.

e. Kasus pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB untuk melanjutkan pengobatannya.

f. Kasuslain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.3.4. Cara Penularan TB Paru

Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis Basil Tahan Asam (BTA) positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.

Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2007).


(48)

33

2.3.5. Pengobatan TB Paru 1. Tujuan Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Depkes RI, 2007).

2. Paduan OAT di Indonesia

a. Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk: (1) penderita baru TBC paru BTA positif, (2) penderita TBC paru BTA positif rontgen positif yang “sakit berat”, (3) penderita TBC ekstra paru berat

Untuk seorang penderita baru BTA Positif (114 dosis), disediakan OAT untuk fase awal 60 kombipak II dan untuk fase lanjutan 54 kombipak III masing-masing dikemas dalam 1 dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.

b. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE


(49)

yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomycin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.

Obat ini diberikan untuk: (1) Penderita kambuh (relaps), (2) Penderita gagal (failure), (3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) Untuk seorang penderita kambuh atau gagal pengobatan BTA positif (156 dosis), disediakan OAT untuk fase awal 90 kombipak II, dan fase lanjutan 66 kombipak IV dikemas dalam satu dos besar disertai 1 dos Streptomicyn dan 1 dos pelengkap pengobatan (spuit dan aqua bidest).

c. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).

Sehingga untuk 1 penderita BTA negatif (rontgen positif atau ekstra paru) 114 kali dosis harian, disediakan OAT untuk fase awal 60 kombipak I dan untuk fase lanjutan 54 kombipak III yang masing-masing dikemas dalam 1 dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.

d. OAT sisipan (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.


(50)

35

3. Prinsip Pengobatan

Depkes RI (2007), pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasian menelan obat, dilakukan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Tahap awal (intensif):

1) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap lanjutan:

1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lama.

2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.


(51)

2.3.6. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course)

Strategi DOTS adalah strategi penanggulangan TB paru nasional yang telah direkomendasikan oleh WHO, yang pelaksanaannya di Indonesia dimulai pada tahun 1995. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS (1969-1994) angka kesembuhan TB paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40-60%. Dengan strategi DOTS diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB paru BTA positif yang ditemukan (Aditama, 2002).

Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan (Permatasari, 2005).

Strategi DOTS mempunyai lima komponen:

a) Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.

b) Diagnosa TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

c) Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

d) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

e) Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.


(52)

37

2.3.7. Pencegahan Penularan TB Paru

Cara pencegahan penularan TB menurut Depkes RI (2007) sebagai berikut: 1. Minum obat TB secara lengkap dan teratur sampai sembuh.

2. Pasien TB harus menutup mulutnya pada waktu bersin dan batuk karena pada saat bersin dan batuk ribuan hingga jutaan kuman TB keluar melalui percikan dahak.

3. Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang pada tempat khusus dan tertutup. Misalnya dengan menggunakan wadah tertutup yang sudah diberi karbol/antiseptik atau pasir. Kemudian timbunlah dengan tanah. 4. Menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), antara lain:

a. Menjemur peralatan tidur.

b. Membuka jendela dan pintu setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk.

c. Ventilasi yang baik dalam ruangan dapat mengurangi jumlah kuman di udara. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman.

d. Makan makanan bergizi.

e. Tidak merokok dan minum minuman keras. f. Lakukan aktifitas fisik/olah raga secara teratur.

g. Mencuci peralatan makan dan minum dengan air bersih mengalir memakai sabun.

h. Mencuci tangan dengan air bersih mengalir dan memakai sabun.


(53)

2.3.8. Penyuluhan TB Paru

Menurut Depkes RI (2002), penyuluhan TB paru perlu dilakukan karena masalah TB paru berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB paru.

Dalam program penanggulangan TB paru, penyuluhan langsung perorangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek, penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TB paru dari ”suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan”, menjadi ”suatu penyakit yang berbahaya tapi bisa disembuhkan”.

Informasi yang perlu disampaikan adalah sebagai berikut:

1. Pesan pokok: apa itu penyakit TB, bagaimana cara penularan dan pengobatannya serta bagaimana cara pencegahannya.

2. Pesan penunjang: pencegahan TB, perilaku hidup bersih dan sehat.

3. Manfaat mematuhi pengobatan secara teratur sesuai dengan anjuran dokter. 4. Akibat bila tidak memeriksakan diri, tidak minum obat secara teratur. Agar pesan yang disampaikan didengarkan, dimengerti dan dipahami, maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan yaitu:

a. Pesan yang disampaikan disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi pada saat itu: misalnya masalah keteraturan


(54)

39

minum obat, maka pesan yang diberikan adalah bagaimana cara mencegah agar tidak lupa minum obat dan apa bahaya kalau tidak minum obat secara teratur.

b. Pesan yang disampaikan harus jelas dan mudah dimengerti oleh pasien.

c. Melakukan tanya jawab setelah selesai memberikan pesan untuk mengetahui apakah sasaran memahami pesan penyuluhan yang disampaikan.

d. Menggunakan alat bantu penyuluhan seperti poster, leaflet, dan lain-lain.

2.4. Landasan Teori Perilaku

Kepatuhan menurut Trostle dalam Niven (2002), adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan.

Sarafino (Bart, 1994) mendefinisikan kepatuhan sebagai tingkat perilaku penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan olehdokternya atau yang lain. Ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang, atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita.

Menurut Depkes RI (2008), penderita TB paru yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan, sedangkan penderita yang tidak patuh


(55)

datang berobat dan minum obat bila frekuensi minum obat tidak dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan.

Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2002), ada lima faktor yang mendukung kepatuhan pasien, yaitu: (1) Pendidikan, (2) akomodasi, (3) modifikasi faktor lingkungan dan sosial, (4) perubahan model terapi, dan (5) interaksi petugas kesehatan dengan pasien. Untuk meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien, diperlukan suatu komunikasi yang baik oleh tenaga kesehatan. Dengan komunikasi, seorang tenaga kesehatan dapat memberikan informasi yang lengkap guna meningkatkan pengetahuan pasien dalam setiap instruksi yang diberikan kepadanya, sehingga diharapkan lebih dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi (Niven, 2002).

Dalam melakukan komunikasi interpersonal, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perawat, Menurut Devito (1989), Faktor-faktor efektivitas komunikasi interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu : keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif dan Kesetaraan. Komunikasi interpersonal bertujuan untuk menciptakan hubungan yang baik antara petugas kesehatan dengan Pasien guna mendorong pasien agar mampu meredakan segala ketegangan emosinya dan memahami dirinya serta mendukung tindakan konstruktif terhadap kesehatannya dalam rangka mencapai kesembuhannya (Dalami, 2009).

Menurut Teori Stimulus-Organisme-Respon (S-O-R), bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsangan (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme (Notoatmodjo, 2003). Untuk lebih jelasnya dapat


(56)

41

kita pada Kerangka konsep pada gambar di bawah ini yang mendasari dilakukan penelitian tentang Hubungan komunikasi interpersonal terhadap kepatuhan pasien menjalani pengobatan tuberkulosis paru rawat jalan di Puskesmas Sunggal Kecamatan Sunggal Medan Tahun 2014.

2.5. Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

2.6. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan komunikasi Interpersonal Petugas TB terhadap Kepatuhan Pasien Menjalani Pengobatan TB Paru.

Komunikasi Interpersonal - Keterbukaan (openness) - Empati (empaty)

- Sikap mendukung (supportiveness) - Sikap positif

(positiveness)

- Kesetaraan (equality)

Kepatuhan Pasien Menjalani Pengobatan TB Paru


(1)

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Kategori keterbukaan petugas * Kategori kepatuhan pasien

42 100.0% 0 .0% 42 100.0%

Kategori empati petugas * Kategori kepatuhan pasien

42 100.0% 0 .0% 42 100.0%

Kategori sikap mendukung petugas * Kategori kepatuhan pasien

42 100.0% 0 .0% 42 100.0%

Kategori sikap positif petugas * Kategori kepatuhan pasien

42 100.0% 0 .0% 42 100.0%

Kategori kesetaraan petugas * Kategori kepatuhan pasien


(2)

Kategori keterbukaan petugas * Kategori kepatuhan pasien

Crosstab

Kategori kepatuhan pasien

Total Tidak patuh Patuh

Kategori keterbukaan petugas

Baik Count 9 18 27

% within Kategori keterbukaan petugas

33.3% 66.7% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

84.3% 64.3% 64.3%

Cukup Count 0 10 10

% within Kategori keterbukaan petugas

0% 100.0% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

0% 35.7% 28.6%

Kurang Count 5 0 5

% within Kategori keterbukaan petugas

100.0% 0% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

35.7% 0% 11.9%

Total Count 14 28 42

% within Kategori keterbukaan petugas

33.3% 66.7% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 15.000a 2 .001

Likelihood Ratio 19.005 2 .000

Linear-by-Linear Association 2.384 1 .123

N of Valid Cases 42

a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,33.


(3)

Kategori empati petugas * Kategori kepatuhan pasien

Crosstab

Kategori kepatuhan pasien

Total Tidak patuh Patuh

Kategori empati petugas Baik Count 8 5 13

% within Kategori empati petugas

61.5% 38.5% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

57.1% 17.9% 31.0%

Cukup Count 5 23 28

% within Kategori empati petugas

17.9% 82.1% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

35.7% 82.1% 66.7%

Kurang Count 1 0 1

% within Kategori empati petugas

100.0% .0% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

7.1% .0% 2.4%

Total Count 14 28 42

% within Kategori empati petugas

33.3% 66.7% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 9.672a 2 .008

Likelihood Ratio 9.868 2 .007

Linear-by-Linear Association 3.740 1 .053

N of Valid Cases 42

a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,33.


(4)

Kategori sikap mendukung petugas * Kategori kepatuhan pasien

Crosstab

Kategori kepatuhan pasien

Total Tidak patuh Patuh

Kategori sikap mendukung petugas

Baik Count 8 5 13

% within Kategori sikap mendukung petugas

61.5% 38.5% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

57.1% 17.9% 31.0%

Cukup Count 3 22 25

% within Kategori sikap mendukung petugas

12.0% 88.0% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

21.4% 78.6% 59.5%

Kurang Count 3 1 4

% within Kategori sikap mendukung petugas

75.0% 25.0% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

21.4% 3.6% 9.5%

Total Count 14 28 42

% within Kategori sikap mendukung petugas

33.3% 66.7% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 12.899a 2 .002

Likelihood Ratio 13.299 2 .001

Linear-by-Linear Association 1.166 1 .280

N of Valid Cases 42

a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,33.


(5)

Kategori sikap positif petugas * Kategori kepatuhan pasien

Crosstab

Kategori kepatuhan pasien

Total Tidak patuh Patuh

Kategori sikap positif petugas

Baik Count 10 15 25

% within Kategori sikap positif petugas

40.0% 60.0% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

71.4% 53.6% 59.5%

Cukup Count 3 10 13

% within Kategori sikap positif petugas

23.1% 76.9% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

21.4% 35.7% 31.0%

Kurang Count 1 3 4

% within Kategori sikap positif petugas

25.0% 75.0% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

7.1% 10.7% 9.5%

Total Count 14 28 42

% within Kategori sikap positif petugas

33.3% 66.7% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.240a 2 .538

Likelihood Ratio 1.273 2 .529

Linear-by-Linear Association .950 1 .330

N of Valid Cases 42

a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,33.


(6)

Kategori kesetaraan petugas * Kategori kepatuhan pasien

Crosstab

Kategori kepatuhan pasien

Total Tidak patuh Patuh

Kategori kesetaraan petugas

Baik Count 8 5 13

% within Kategori kesetaraan petugas

61.5% 38.5% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

57.1% 17.9% 31.0%

Cukup Count 2 22 24

% within Kategori kesetaraan petugas

8.3% 91.7% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

14.3% 78.6% 57.1%

Kurang Count 4 1 5

% within Kategori kesetaraan petugas

80.0% 20.0% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

28.6% 3.6% 11.9%

Total Count 14 28 42

% within Kategori kesetaraan petugas

33.3% 66.7% 100.0% % within Kategori

kepatuhan pasien

100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 16.304a 2 .000

Likelihood Ratio 17.372 2 .000

Linear-by-Linear Association .474 1 .491

N of Valid Cases 42

a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,67.


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TB PARU DENGAN KEPATUHAN MENJALANI PROGRAM PENGOBATAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru Dengan Kepatuhan Menjalani Program Pengobatan Pada Penderita TB Paru di BBKPM Surakarta.

0 0 15

DAFTAR PUSTAKA Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru Dengan Kepatuhan Menjalani Program Pengobatan Pada Penderita TB Paru di BBKPM Surakarta.

0 1 4

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TB PARU DENGAN KEPATUHAN MENJALANI PROGRAM PENGOBATAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru Dengan Kepatuhan Menjalani Program Pengobatan Pada Penderita TB Paru di BBKPM Surakarta.

0 0 15

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL PETUGAS KESEHATAN DENGAN PASIEN TB PARU DALAM MENJAGA KELANGSUNGAN PENGOBATAN DI PUSKESMAS

0 0 23

HUBUNGAN FASE PENGOBATAN TB DAN PENGETAHUAN TENTANG MDR TB DENGAN KEPATUHAN PENGOBATAN PASIEN TB (Studi di Puskesmas Perak Timur)

0 0 12

HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI PASIEN HIPERTENSI TERHADAP KEPATUHAN DALAM MENJALANI PENGOBATAN DI PUSKESMAS TALANG KABUPATEN SOLOK TAHUN 2014

0 1 11

Lampiran 1 KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PETUGAS KESEHATAN DENGAN KEPATUHAN BEROBAT PENDERITA TB PARU DI KECAMATAN SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2013

0 0 31

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013

0 0 12

HUBUNGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PETUGAS KESEHATAN DENGAN KEPATUHAN BEROBAT PENDERITA TB PARU DI KECAMATAN SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2013 TESIS

0 0 21

HUBUNGAN TINGKAT STRES DENGAN MEKANISME KOPING PADA PASIEN TB PARU YANG SEDANG MENJALANI PENGOBATAN

0 20 23