Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

(1)

KORELASI KONSEP DIRI DENGAN KEPATUHAN PASIEN

TB PARU DALAM MENJALANI PENGOBATAN DI

RUMAH SAKIT GRAND MEDISTRA

LUBUK PAKAM

TESIS

Oleh

GRACE ERLYN DAMAYANTI S

127046025 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KORELASI KONSEP DIRI DENGAN KEPATUHAN PASIEN

TB PARU DALAM MENJALANI PENGOBATAN DI

RUMAH SAKIT GRAND MEDISTRA

LUBUK PAKAM

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

Oleh

GRACE ERLYN DAMAYANTI S

127046025 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

(5)

(6)

Judul Tesis : Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

Nama Mahasiswa : Grace Erlyn Damayanti S

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Kepatuhan merupakan kunci keberhasilan penanganan penyakit TB paru. Aspek psikososial turut memegang peranan terhadap kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatannya. Salah satu aspek psikososial yang penting adalah konsep diri pasien TB paru. Konsep diri adalah gabungan dari keyakinan dan perasaan yang seseorang pegang mengenai dirinya pada suatu waktu, dibentuk dari persepsi internal dan reaksi terhadap persepsi orang lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi frekuensi konsep diri, kepatuhan pasien TB paru, dan korelasi konsep diri dengan kepatuhan. Sampel penelitian berjumlah 62 orang pasien TB paru yang diambil dengan cara purposive sampling. Instrumen yang digunakan kuisioner data demografi, konsep diri pasien dengan kuisioner yang dikembangkan sendiri oleh peneliti dan kepatuhan menggunakan TB Medical Adherence Scale (TB-MAS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien TB paru yang mengalami tantangan pada konsep diri yaitu 32 orang


(7)

(51,6%) dan yang mengalami ancaman terhadap konsep diri yaitu 30 orang (48,4%) dengan nilai mean 42,48 dan standar deviasi 6,169. Sebanyak 32 responden (51,6%) patuh dalam menjalani pengobatan dan 30 responden (48,4%) tidak patuh dalam menjalani pengobatannya dengan nilai mean 109,24 dan standar deviasi 8,552. Uji hipotesis dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Berdasarkan analisa data, diperoleh nilai p value < 0,05, yang menunjukkan bahwa ada korelasi antara konsep diri dengan kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatan. Nilai r didapatkan 0,744 yang bermakna korelasi memiliki keeratan yang sangat kuat dan berpola positif yang berarti semakin tertantang konsep diri pasien TB paru maka pasien akan semakin patuh dalam menjalani pengobatannya. Perawat diharapkan tidak hanya memperhatikan adaptasi fisik pasien terhadap penyakitnya namun juga adaptasi psikologis dengan memfasilitasi pasien untuk memiliki tantangan terhadap konsep dirinya, agar pasien dapat beradaptasi positif terhadap penyakit dan pengobatannya.


(8)

Thesis Title : The Correlation of Self-concept and the Adherence of Lung Tuberculosis Patient in Treatment at Grand Medistra Lubuk Pakam Hospital

Name : Grace Erlyn Damayanti S

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Compliance is the key to success in handling lung tuberculosis. Psychological aspect also plays its role in lung tuberculosis patients’ compliance in the treatment. One of the psychological concepts is self-concept in lung tuberculosis patients. Self-concept is the combination of a person’s confidence and feeling about himself toward other people. The objective of the research was to find out the distribution of patients’ self-concept, patients’ compliance, the correlation between self-concept and compliance. 62 lung tuberculosis patients enrolled into this study, by purposive sampling technique. The instruments of the research were questionnaires on demographic data, self-concept were assessed by questionnaires while compliance by TB-MAS (Medical Adherence Scale Tuberculosis). Result showed that 32 respondents (51.6%) had to challenge the self-concept, 30 of them (48.4%) was threatened by self-concept at X = 42,48; SD = 6,169. 32 respondents


(9)

(51.6%) complied with the treatment, and 30 of them (48.4%) did not comply with the treatment at X = 109,24; SD = 8,552. The hypothesis was tested using Spearman correlation test. It was found that there is a correlation between self-concept and lung tuberculosis patients’ compliance in the treatment. R-value was 0.744 which indicated that there was positive and significant correlation which also indicated that the more challenging the self-concept of lung tuberculosis patients were, the more obedient they were to the treatment. It is recommended that nurses should not only pay attention to the physical adaptation of the patients to their illness, but also to psychological adaptation by facilitating them to have challenge the self-concept so that they can adapt positively to the illness and the treatment.


(10)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasihNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam”.

Selama menyusun tesis ini, penulis mengalami banyak pengalaman yang berharga dari berbagai pihak. Sehingga, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Dedi Ardinata., M. Kes., selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Achmad Fathi, S.Kep, Ns, MNS selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. 4. dr. Putri Chairani Eyanoer, MS. Epi., Ph.D selaku dosen pembimbing

pertama, yang telah senantiasa memberikan waktu untuk membimbing, memberikan arahan, ilmu dan saran yang sangat berharga dalam proses penyusunan hasil tesis ini.

5. Iwan Rusdi, SKp, MNS selaku dosen pembimbing kedua, yang juga telah senantiasa memberikan waktu untuk membimbing, memberikan arahan, ilmu dan saran yang sangat berharga dalam proses penyusunan hasil tesis ini.


(11)

6. Dr. dr. Amira Permatasari, M.Ked, Sp.P (K) selaku penguji I dan Ns. Mahnum Lailan Nasution, M.Kep selaku penguji II yang telah memberikan saran dan kritik yang sangat berguna untuk memperbaiki kekurangan yang terdapat dalam pembuatan tesis ini.

7. dr. Arif Sujatmiko selaku Direktur Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

8. Keluarga yang selalu memberikan semangat, motivasi dan dukungan yang begitu besar sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian ini.

9. Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan terkhusus teman-teman Konsentrasi Keperawatan Medikal Bedah angkatan pertama yang telah saling mengingatkan dan mendukung selama penyusunan tesis ini. 10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah

membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa hasil tesis ini masih ada kekurangan, baik dari aspek bahasa maupun isinya. Oleh karena itu penulis akan menerima saran dan masukan yang sifatnya memperbaiki hasil tesis ini.

Akhirnya penulis berharap semoga hasil tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi profesi keperawatan dan bagi masyarakat.

Medan, 12 September 2014 Penulis


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Grace Erlyn Damayanti Sitohang

Tempat Tanggal Lahir : Simalungun, 5 Juli 1987

Alamat : Jln. Sudirman No. 38 Lubuk Pakam No. Telp/HP : 085217067452

Riwayat Pendidikan :

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

SD SD Negeri 066045 Medan 1998

SLTP SLTP Negeri 18 Medan 2001

SMA SMA Negeri 4 Medan 2004

Ners Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

2009

Magister Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

2014

Riwayat Pekerjaan :

Bekerja sebagai Staf Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan MEDISTRA Lubuk Pakam mulai Oktober 2009 - sekarang.


(13)

Kegiatan Akademik Selama Studi :

Peserta pada acara “Seminar Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan Pengembangan Pengetahuan Disiplin Ilmu Kesehatan & Workshop Analisis Data dengan Content Analysis & Weft-QDA”, 31 Januari 2012, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Peserta Seminar Keperawatan Nursing Leadership menyongsong Asean Community 2015, 30 Januari 2013 Fakultas Keperawatan, USU.

Peserta pada 2013 MEDAN INTERNATIONAL NURSING CONFERENCE “The Application of Nursing Education Advanced Research and Clinical Practice”, 1 – 2 April 2013, Hotel Garuda Plaza, Medan, Sumatera Utara.

Peserta “Seminar & Workshop Diagnostic Reasoning NANDA dan ISDA Basic, 24 November 2014, Fakultas Keperawatan, USU.

Peserta “Pelatihan Perawatan Luka Dasar Certified Wound Care Clinician Associate (CWCCA)”, 24-29 Februari 2014, Indonesian Etnep.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2Permasalahan ... 4

1.3Tujuan Penelitian ... 4

1.4Hipotesis ... 5

1.5Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1Tuberkulosis ... 6

2.2Konsep Diri ... 16

2.3Kepatuhan Pasien TB Paru ... 26

2.4Landasan Teori ... 32

2.5Kerangka Konsep ... 36

BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1Jenis Penelitian ... 38

3.2Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

3.3Populasi dan Sampel ... 39

3.4Metode Pengumpulan Data ... 40

3.5Variabel dan Defenisi Operasional ... 41

3.6Metode Pengukuran ... 43

3.7Uji Validitas ... 45

3.8Uji Reliabilitas ... . 46

3.9Metode Analisa Data ... . 47

3.10 Pertimbangan Etik ... . 48

BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Responden ... 50

4.2Konsep Diri Pasien TB Paru ... 51

4.3Kepatuhan Pasien TB Paru ... 53

4.4Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan ... 58


(15)

BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Konsep Diri Pasien TB Paru ... 59

5.2Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan ... 62

5.3Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan ... 66

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 69

6.2Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... . 72


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Perbedaan pada Fase Tuberkulosis... 10 Tabel 3.1 Besar Sampel Rerata yang Dibutuhkan untuk Mendapatkan

Level Kekuatan yang Dipilih Sebagai Fungsi dari Korelasi Populasi yang Diperkirakan, dengan α= 0.05...

40

Tabel 3.2 Defenisi Operasional... 41 Tabel 4.1 Karakteristik Pasien TB Paru yang Menjalani Pengobatan

di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam...

51

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Konsep Diri Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Berdasarkan Item Pertanyaan (n=62)...

52

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Konsep Diri Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam (n=62)...

53

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Kepatuhan pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Berdasarkan Item Pertanyaan (n=62)...

54

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kepatuhan pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam (n=62)...

57

Tabel 4.6 Tabulasi Silang Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam...


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Instrumen Penelitian ... 75

a. Lembar Penjelasan tentang Penelitian ... 76

b. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 78

c. Kuesioner Data Demografi ... 79

d. Kuisioner Konsep Diri ... 80

e. Kuisioner Kepatuhan Pasien ... 81

Lampiran 2 Biodata Expert ... 83

Lampiran 3 Izin Penelitian ... 85

a. Surat Pengambilan Data dari Dekan Fakultas Keperawatan ... 86

b. Surat Persetujuan Etik Peneltian ... 87

c. Surat Ijin Pengambilan Data dari RS Grand Medistra Lubuk Pakam 88 d. Surat Selesai Penelitian dari Rumah Sakit... 89


(19)

Judul Tesis : Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

Nama Mahasiswa : Grace Erlyn Damayanti S

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Kepatuhan merupakan kunci keberhasilan penanganan penyakit TB paru. Aspek psikososial turut memegang peranan terhadap kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatannya. Salah satu aspek psikososial yang penting adalah konsep diri pasien TB paru. Konsep diri adalah gabungan dari keyakinan dan perasaan yang seseorang pegang mengenai dirinya pada suatu waktu, dibentuk dari persepsi internal dan reaksi terhadap persepsi orang lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi frekuensi konsep diri, kepatuhan pasien TB paru, dan korelasi konsep diri dengan kepatuhan. Sampel penelitian berjumlah 62 orang pasien TB paru yang diambil dengan cara purposive sampling. Instrumen yang digunakan kuisioner data demografi, konsep diri pasien dengan kuisioner yang dikembangkan sendiri oleh peneliti dan kepatuhan menggunakan TB Medical Adherence Scale (TB-MAS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien TB paru yang mengalami tantangan pada konsep diri yaitu 32 orang


(20)

(51,6%) dan yang mengalami ancaman terhadap konsep diri yaitu 30 orang (48,4%) dengan nilai mean 42,48 dan standar deviasi 6,169. Sebanyak 32 responden (51,6%) patuh dalam menjalani pengobatan dan 30 responden (48,4%) tidak patuh dalam menjalani pengobatannya dengan nilai mean 109,24 dan standar deviasi 8,552. Uji hipotesis dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Berdasarkan analisa data, diperoleh nilai p value < 0,05, yang menunjukkan bahwa ada korelasi antara konsep diri dengan kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatan. Nilai r didapatkan 0,744 yang bermakna korelasi memiliki keeratan yang sangat kuat dan berpola positif yang berarti semakin tertantang konsep diri pasien TB paru maka pasien akan semakin patuh dalam menjalani pengobatannya. Perawat diharapkan tidak hanya memperhatikan adaptasi fisik pasien terhadap penyakitnya namun juga adaptasi psikologis dengan memfasilitasi pasien untuk memiliki tantangan terhadap konsep dirinya, agar pasien dapat beradaptasi positif terhadap penyakit dan pengobatannya.


(21)

Thesis Title : The Correlation of Self-concept and the Adherence of Lung Tuberculosis Patient in Treatment at Grand Medistra Lubuk Pakam Hospital

Name : Grace Erlyn Damayanti S

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Compliance is the key to success in handling lung tuberculosis. Psychological aspect also plays its role in lung tuberculosis patients’ compliance in the treatment. One of the psychological concepts is self-concept in lung tuberculosis patients. Self-concept is the combination of a person’s confidence and feeling about himself toward other people. The objective of the research was to find out the distribution of patients’ self-concept, patients’ compliance, the correlation between self-concept and compliance. 62 lung tuberculosis patients enrolled into this study, by purposive sampling technique. The instruments of the research were questionnaires on demographic data, self-concept were assessed by questionnaires while compliance by TB-MAS (Medical Adherence Scale Tuberculosis). Result showed that 32 respondents (51.6%) had to challenge the self-concept, 30 of them (48.4%) was threatened by self-concept at X = 42,48; SD = 6,169. 32 respondents


(22)

(51.6%) complied with the treatment, and 30 of them (48.4%) did not comply with the treatment at X = 109,24; SD = 8,552. The hypothesis was tested using Spearman correlation test. It was found that there is a correlation between self-concept and lung tuberculosis patients’ compliance in the treatment. R-value was 0.744 which indicated that there was positive and significant correlation which also indicated that the more challenging the self-concept of lung tuberculosis patients were, the more obedient they were to the treatment. It is recommended that nurses should not only pay attention to the physical adaptation of the patients to their illness, but also to psychological adaptation by facilitating them to have challenge the self-concept so that they can adapt positively to the illness and the treatment.


(23)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa tuberkulosis (TB) telah menjadi kedaruratan bagi kemanusiaan sejak tahun 1993. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS (Directly observed treatment short course) untuk mengontrol angka kejadian TB paru, namun TB paru tetap menjadi masalah kesehatan global. Pada tahun 2012, diperkirakan 8,6 juta orang dengan kejadian TB paru baru dan 1,3 juta meninggal dengan penyakit TB paru. Prevalensi penduduk Indonesia pada tahun 2013 yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan yaitu sebesar 0,4% dan prevalensi nasional TB paru berdasarkan diagnostik tenaga kesehatan dan keluhan responden adalah 6, 7 %. Di Sumatera Utara terjadi peningkatan prevalensi TB paru pada tahun 2013 dimana prevalensi TB paru 0, 2 % yang didiagnosa oleh tenaga kesehatan dan 3,8 % dengan gejala batuk >2 minggu dan 2,7% dengan gejala batuk darah (Kemenkes, 2013).

Deli Serdang sebagai salah satu kabupaten di Sumatera Utara juga mendapatkan peningkatan kasus penderita TB paru baik yang merupakan penderita baru maupun pasien berulang. Rumah Sakit Grand Medistra (RSGM) Lubuk Pakam sebagai salah satu rumah sakit swasta di Deli Serdang yang menyediakan berbagai layanan kesehatan juga mendapatkan peningkatan kunjungan untuk angka penderita TB paru baik penderita baru maupun TB paru berulang. Tahun 2013 jumlah penderita TB sebanyak 435 orang yang rawat inap


(24)

dan rawat jalan. RSGM juga telah mengembangkan program penanggulangan TB paru seperti pengisian obat yang dilakukan per minggu dan adanya pengawas minum obat (PMO).

Program pemberantasan TB paru menghadapi berbagai macam tantangan, salah satunya adalah TB paru dengan Multi drug resistance (MDR). Kepatuhan terhadap pengobatan tuberkulosis merupakan hal yang penting dalam mengobati pasien, membatasi angka kejadian MDR dan menurunkan penyebaran TB paru di masyarakat luas. Kepatuhan ini mungkin saja tidak menjadi keharusan pada penyakit kronis lainnya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kepatuhan pasien pada pengobatannya penting untuk mencapai hasil yang baik (Khezerloo, Rahmani & Jafarizadeh, 2012).

Masalah psikososial adalah salah satu rintangan yang mempengaruhi keberhasilan penderita TB paru dalam menjalani terapi. Stigma, isolasi dan diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat terhadap pasien TB paru menyebabkan penurunan harga diri. Hal ini yang menjadi perbedaan penyakit TB paru dari penyakit kronis lainnya. Penyakit TB paru dan pengobatannya dapat mengganggu seluruh aspek dari diri seseorang. Perubahan fisik, pandangan negatif masyarakat mengenai penyakit ini, dan keterbatasan dalam melakukan aktivitas dan sosialisasi mempengaruhi seluruh bagian dari konsep diri pasien TB paru. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Raynel (2010) mengenai gambaran konsep diri pada penderita TB paru yang menunjukkan bahwa sebagian besar penderita TB paru memiliki gambaran diri negatif, ideal diri negatif, harga diri tinggi, penampilan peran positif, dan identitas diri positif.


(25)

Aspek psikologis dalam perawatan pasien TB paru seringkali menjadi hal yang terlupakan. Perawat sering lebih berfokus terhadap adaptasi fisik yang dilalui pasien dan cenderung mengesampingkan adaptasi psikologisnya ketika menderita TB paru. Roy (1999) dalam teori adaptasinya mengatakan bahwa pengalaman individu dan interpretasi dari lingkungan membentuk persepsi diri. Pada pasien TB paru sendiri, penyakit TB paru dan program pengobatan yang harus dijalani dalam jangka waktu yang lama serta stigma yang didapatkan dari masyarakat terkait penyakit TB paru dapat mempengaruhi konsep diri dan perilaku pasien TB paru. Ketika pasien TB paru menganggap penyakit dan pengobatannya menjadi suatu tantangan terhadap konsep dirinya maka pasien akan mematuhi semua regimen terapi pengobatan untuk mencapai kesembuhan. Sebaliknya jika pasien TB paru mengganggap penyakit dan pengobatannya sebagai ancaman terhadap konsep dirinya, maka pasien akan menolak atau menghindari penyakit dan pengobatan untuk melindungi harga dirinya.

Penelitian yang dilakukan Khezerloo, et al (2012) tentang hubungan antara konsep diri dengan kepatuhan terhadap regimen pengobatan pada pasien hipertensi didapatkan adanya hubungan antara konsep diri sebagai peluang dan kepatuhan regimen medikasi yang diresepkan. Konsep diri sebagai ancaman memiliki hubungan terbalik dengan kepatuhan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Thomas (2007) mengenai pengaruh konsep diri terhadap kepatuhan regimen kesehatan yang direkomendasikan pada orang dewasa dengan gagal jantung mendapatkan bahwa kepatuhan dan tantangan terhadap sensasi tubuh, ideal diri, dan konsistensi diri memiliki hubungan yang terbalik. Hubungan


(26)

yang positif ditemukan antara kepatuhan dan tantangan terhadap sensasi tubuh, citra tubuh, konsistensi diri, ideal diri dan moral etik spiritual diri.

Berdasarkan data di atas didapatkan bahwa konsep diri memiliki hubungan dan pengaruh terhadap kepatuhan minum obat pada penyakit kronis, namun belum ada penelitian yang menilai kaitan antara konsep diri dengan kepatuhan pengobatan pada pasien TB paru. Kepatuhan pada pasien TB paru merupakan kunci utama dalam penanggulangan TB paru dan tidak selalu pada penyakit lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian yang melihat korelasi konsep diri terhadap kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatan yang pada penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam.

1.2.Permasalahan

Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka masalah penelitian yang akan diteliti adalah apakah ada korelasi konsep diri dengan kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

1.3.Tujuan Penelitian

1.3.1. Untuk mengetahui karakteristik penderita TB paru berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, penyakit penyerta lain dan suku 1.3.2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi konsep diri atas ancaman dan

tantangan pada penderita TB paru

1.3.3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatan

1.3.4. Untuk mengetahui korelasi antara konsep diri dengan kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatan


(27)

1.3.5. Untuk mengetahui kekuatan dan arah korelasi antara konsep diri dengan kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatan

1.4. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Ada korelasi antara konsep diri dengan kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatannya”. Tantangan terhadap konsep diri akan meningkatkan kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatan dan sebaliknya ancaman terhadap konsep diri akan menyebabkan ketidakpatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatan.

1.5.Manfaat Penelitian

1.5.1. Pelayanan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi evidence based practice yang dapat digunakan dalam pemberian asuhan keperawatan holistik terhadap pasien dengan gangguan TB paru sehingga dapat meningkatkan pelayanan keperawatan yang optimal.

1.5.2. Institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian di bidang pendidikan sebagai evidence based practice yang dapat digunakan dalam pembelajaran asuhan keperawatan holistik terhadap pasien dengan gangguan TB paru.

1.5.3. Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dan dasar bagi peneliti selanjutnya dalam pengembangan penelitian yang berfokus terhadap aspek psikologis pada penderita TB paru untuk mendapatkan pendekatan yang terbaik dalam meningkatkan kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatan.


(28)

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Tuberkulosis (TB) Paru 2.1.1. Definisi TB Paru

Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang merupakan bakteri aerob berbentuk batang dan tidak berbentuk spora (Knechel, 2009). Tuberculosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh M. Tuberculosis, suatu bakteri aerob yang tahan asam (acid-fast bacillus). TB merupakan infeksi melalui udara dan umumnya didapatkan dengan inhalasi partikel kecil (diameter 1 hingga 5 mm) yang mencapai alveolus (Black & Hawks, 2012).

2.1.2. Transmisi TB paru

Mycobacterium tuberculosis menyebar melalui droplet di udara, yang disebut nukleus droplet, disebabkan oleh batuk, bersin, berbicara atau nyanyian dari orang dengan tuberkulosis paru atau laring. Droplet yang sangat kecil tinggal di udara selama beberapa menit hingga jam setelah meludah. Jumlah basil pada droplet, virulensi basil, terpaparnya basil pada sinar ultraviolet, dan derajat ventilasi mempengaruhi transmisi. Masuknya M tuberculosis ke paru memicu infeksi sistem pernafasan; meskipun organisme dapat menyebar ke organ lain, seperti limpa, tulang/sendi, atau meningen dan menyebabkan tuberkulosis ekstrapulmonal (Knechel, 2009).


(29)

2.1.3. Patofisiologi

Sekali dihirup, droplet infeksius diam di sepanjang jalan nafas. Sebagian besar basil tertahan di bagian atas jalan nafas dimana terdapat sel goblet yang mensekresi mukus. Mukus yang dihasilkan menangkap substansi asing, dan silia pada permukaan sel secara terus menerus mendorong partikel yang terjebak untuk berpindah. Sistem ini menyebabkan tubuh mengeluarkan pertahanan fisik awal yang mencegah infeksi pada sebagian besar orang yang terkena tuberkulosis (Knechel, 2009).

Bakteri pada droplet yang melewati sistem mukosiliari dan mencapai alveoli dengan cepat dikelilingi dan ditelan oleh makrofag alveolar, sel efektor imunitas yang paling banyak di rongga alveolar. Makrofag ini, garis pertahanan host berikutnya, adalah bagian dari sistem imunitas bawaan dan memberikan kesempatan bagi tubuh untuk merusak mycobakteria yang masuk dan mencegah infeksi. Makrofag memiliki sel fagosit yang melawan banyak patogen tanpa membutuhkan pajanan terhadap patogen sebelumnya. Beberapa mekanisme dan reseptor makrofag terlibat dalam penangkapan mycobacteria. Lipoarabinomannan mycobacterial adalah kunci untuk reseptor makrofag (Knechel, 2009).

Sistem tambahan juga memainkan peranan dalam fagositosis bakteri. Protein C3 terikat pada dinding sel dan meningkatkan pengenalan makrofag terhadap mycobakteri. Opsonisasi oleh C3 terjadi cepat, meskipun di ruang udara host dengan tidak ada pajanan terhadap M tuberculosis sebelumnya. Fagositosis berikutnya oleh makrofag memulai aliran kejadian yang dihasilkan oleh kontrol 6


(30)

infeksi yang berhasil pada tuberkulosis laten, atau kemajuan penyakit aktif, yang disebut tuberkulosis progresif primer. Hasil utama ditentukan oleh kualitas dari pertahanan host dan keseimbangan yang terjadi antara pertahanan host dan invasi mikobakteri (Knechel, 2009).

Setelah dicerna oleh makrofag, mikobakteria terus bermultiplikasi dengan lambat, dengan pembelahan sel setiap 25 sampai 32 jam. Dengan menghiraukan apakah infeksi terkontrol atau berkembang, perkembangan awal terkait produksi enzim proteolitik dan sitokin oleh makrofag sebagai usaha untuk menurunkan bakteri. Pelepasan sitokin menarik limfosit T pada bagian sel dimana merupakan imunitas sel. Makrofag kemudian menghadirkan antigen mikobakteria pada permukaan sel T (Knechel, 2009).

Proses imun awal berlanjut hingga 2 sampai 12 minggu, mikroorganisme terus bertumbuh sampai mereka mencapai jumlah yang cukup untuk mendapatkan respon imun sel segera yang dapat terdeteksi dengan tes kulit. Untuk orang dengan imunitas sel yang lengkap, langkah pertahanan berikutnya adalah pembentukan granuloma di sekitar organisme M tuberculosis. Lesi tipe nodular ini terbentuk melalui akumulasi dari aktivasi limfosit T dan makrofag, yang membentuk lingkungan mikro yang membatasi replikasi dan penyebaran mikobakteri. Lingkungan ini merusak makrofag dan menghasilkan nekrosis solid awal pada pusat lesi meskipun basilus mampu beradaptasi untuk dapat bertahan. Pada kenyataannya M tuberculosis dapat mengubah fenotipe, seperti regulasi protein, untuk meningkatkan pertahanan (Knechel, 2009).


(31)

Dalam 2 atau 3 minggu, lingkungan nekrotik menyerupai keju lunak, selalu menyerupai nekrosis seperti kayu, dan dikarakteristikkan degan level oksigen yang rendah, pH rendah, dan nutrisi yang terbatas. Kondisi ini membatasi perkembangan lebih lanjut dan tetap tersembunyi. Lesi pada orang dengan sistem imun yang adekuat umumnya mengalami fibrosis dan kalsifikasi, secara sukses mengontrol infeksi sehingga basilus terkandung di dalam dorman, lesi yang sembuh. Lesi pada orang dengan sistem imun yang kurang efektif berlanjut menjadi tuberkulosis progresif primer. Untuk orang dengan kemampuan imun yang rendah, pembentukan granuloma yang dimulai akhirnya tidak berhasil mengisi basilus. Jaringan nekrotik mengalami pencairan, dan dinding fibrosa kehilangan integritas struktural (Knechel, 2009).

Material nekrotik semiliquid dapat dialirkan ke bronkus atau dekat dengan pembuluh darah, meninggalkan kavitas yang dipenuhi udara pada bagian semula. Jika keluarnya melalui pembuluh darah terjadi, kemungkinan besar terjadi tuberkulosis ekstrapulmonal. Basilus juga dapat dialirkan ke sistem limfatik dan terkumpul di nodus limfa trakeobronkial pada paru yang terkena, dimana organisme dapat membentuk granula baru seperti kayu (Knechel, 2009).

2.1.4. Manifestasi Klinis

Knechel (2009) mengatakan Tuberkulosis berkembang berbeda-beda pada setiap pasien, tergantung kepada status sistem imun pasien. Tahapan terdiri dari fase laten, penyakit primer, penyakit primer progresif, dan penyakit ekstrapulmonal. Masing-masing tahap memiliki manifestasi klinis yang berbeda-beda.


(32)

Tabel 2.1

Perbedaan pada fase Tuberkulosis (Zumla, Raviglione, Hafner dan Reyn, 2013). Early infection Early primary

progressive (active) Late primary progressive (active) Latent

a. Sistem imun melawan infeksi b. Infeksi biasanya terjadi tanpa tanda atau gejala c. Pasien mungkin demam, limfadenopati paratrakeal, atau dispnea d. Infeksi mungkin hanya subklinis dan mungkin tidak berkembang menjadi penyakit aktif

a. Sistem imun tidak mengontrol infeksi awal b. Terjadi inflamasi jaringan

c. Pasien selalu tanda atau gejala non spesifik (cth. Kelelahan, kehilangan berat badan, demam) d. Batuk non

produktif e. Diagnosis sulit: temuan pada rontgen dada dapat normal dan sputum negatif terhadap mycobakteria

a. Batuk menjadi produktif

b. Tanda dan gejala lebih sebagai perkembangan penyakit c. Pasien mengalami kehilangan berat badan progresif, rales, anemia

d. Temua pada rontgen dada normal e. Diagnosis melalui kultur sputum a. Mycobakteria bertahan di tubuh b. Tidak ada

tanda dan gejala yang terjadi c. Pasien tidak

merasa sakit

d. Pasien rentan terhadap aktif kembalinya penyakit e. Lesi pengapuran granulomatosa dan menjadi fibrotik, menjadi tampak pada rontgen dada f. Infeksi dapat

muncul

kembali ketika terjadi


(33)

Tampilan klinis klasik dari Tuberkulosis paru yaitu batuk kronis, produksi sputum, kehilangan nafsu makan, kehilangan berat badan, demam, keringat malam, dan hemoptisis. TB ekstrapulmonal terjadi 10-42 % pasien, tergantung pada ras dan latar belakang etnik, usia, ada atau tidaknya penyakit penyerta, genotipe dari M. tuberculosis strain, dan status imun (Zumla, et al., 2013).

2.1.4. Diagnosis a. Infeksi laten

Skreening dan pengobatan untuk infeksi M. Tuberculosis laten diindikasikan untuk kelompok dimana prevalensi infeksi laten tinggi (contoh. Orang asing yang berasal dari daerah endemik tuberkulosis), kelompok dengan resiko tinggi berulang kembalinya penyakit (cth. Pasien dengan infeksi HIV atau diabetes dan pasien yang menerima terapi imunosupresi), dan kelompok dengan kedua faktor tersebut (cth. Interaksi dengan pasien tuberkulosis). Infeksi laten dapat didiagnosa dengan tes kulit tuberkulin atau menguji kadar pelepasan interferon-gamma. Tes kulit tuberkulin lebih murah dan oleh karena itu dianjurkan pada daerah ekonomi rendah. Sensitifitas tes kulit tuberkulin sama dengan uji kadar pelepasan interferon-gamma tetapi kurang spesifik (Zumla, et al., 2013).

b. Tuberkulosis Aktif

Kultur dan mikroskopik sputum pada medium cair dengan uji kerentanan obat berikutnya adalah rekomendasi sebagai metode standar untuk mendiagnosa tuberkulosis aktif. Uji kada interferon-gamma dan tes kulit tuberkulin tidak memiliki peranan dalam diagnosa penyakit aktif. Tes amplikasi asam nukleat,


(34)

citraan, dan pemeriksaan histopatologi dari sampel biopsi mendukung evaluasi. Diagnostik molekular baru yang disebut uji sesitifitas Xpert MTB/RIF mendeteksi M. Tuberculosis komplek dalam 2 jam, dengan uji sensitifitas yang lebih tinggi dari usapan mikroskopi. Uji molekular ini potensial untuk meningkatkan (Zumla et al., 2013).

c. Drug-Resistant Tuberculosis

Standar terkini uji kerentanan obat utama merupakan sistem kultur liquid otomatis, yang membutuhkan 4 sampai 13 hari untuk hasilnya. Dalam 2 jam, uji kadar Xpert MTB/RIF secara bersamaan memberi hasil terhadap resistensi rifampin, mewakili multidrug resistant tuberkulosis pada tempat dimana prevalensi tnggi dari resistensi obat, sejak resistensi rifampin pada ketiadaan resistensi isoniazid luar biasa (Zumla et al., 2013).

Modifikasi uji kadar telah diperkenalkan untuk menurunkan kesalahan positif WHO telah merekomendasikan bahwa ketika uji kerentanan obat dilakukan diwaktu yang sama juga dilakukan uji kadar Xpert MTB/RIF untuk mengkonfirmasi resistensi rifampicin dan kerentanan M.tuberculosis terhadap obat lain. Uji skreening lain untuk resistensi obat yaitu uji kadar microscopic-observation drug-susceptibility (MODS), uji kadar nitrat reduktase, dan metode reduktase colorimetric. Uji kadar MODS secara simultan mendeteksi M. Tuberculosis bacilli, pada dasar pembentukan ikatan, resistensi isoniazid dan rifampicin. Sejak hampir semua dari metode ini tidak tersedia di negara-negara dimana tuberkulosis endemik tinggi, diperkirakan hanya 10% kasus multidrug


(35)

resistant TB terdiagnosa di seluruh dunia dan hanya setengahnya yang menerima pengobatan yang tepat (Zumla et al., 2013).

2.1.5. Pengobatan a. Infeksi Laten

Pasien dengan infeksi M tuberculosis laten berisiko tinggi terhadap tuberkulosis aktif sehingga memerlukan pengobatan preventif. Regimen yang dianjurkan adalah isoniazid saja untuk 9 bulan atau durasi yang lebih lama pada pasien yang terinfeksi HIV di daerah dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi. Baru-baru ini observasi langsung setiap minggu untuk pemberian isoniazid dan rifapentine untuk 12 minggu telah menunjukkan keefektifan isoniazid saja pada dewasa tanpa infeksi HIV di negara dengan beban tuberkulosis yang rendah. Pedoman WHO terbaru merekomendasikan bahwa semua orang yang terinfeksi HIV dengan hasil tes tuberkulin kulit positif atau tidak diketahui dan tanpa tuberkulosis aktif yang tinggal di negara dengan beban tuberkulosis yang tinggi menerima terapi pencegahan dengan isoniazid paling sedikit 6 bulan. Tiga regimen efektif untuk mencegah tuberkulosis aktif pada orang yang terinfeksi HIV yaitu isoniazid yang dikonsumsi setiap hari untuk 6 sampai 9 bulan, rifampin yang dikonsumsi setiap hari untuk 3 bulan, dan rifampin dan isoniazid dua kali seminggu untuk 3 bulan. Regimen yang berisi rifampin memiliki angka toksisitas obat yang lebih tinggi dengan yang tidak berisi rifampin. Kesulitan mendiagnosa tuberkulosis aktif pada pasien dengan koinfeksi HIV menyebabkan lambatnya terapi pencegahan isoniazid pada praktik klinik. Hanya pasien dengan tes tuberkulin positif yang menerima terapi pencegahan isoniazid sudah menurunkan


(36)

angka tuberkulosis aktif dan kematian, dan perlindungan terhadap tuberkulosis menurun dalam beberapa bulan setelah berhentinya terapi isoniazid (Zumla et al., 2013).

b. Drug-Sensitive Active Tuberculosis

Pengobatan tuberkulosis yang efektif membutuhkan diagnosis yang akurat dan dini, skreening untuk resistensi obat dan HIV, pemberian regimen yang efektif di bawah supervisi, dan adanya dukungan pada pasien untuk memenuhi seluruh rangkaian pengobatan. Standar terbaru regimen pengobatan dengan empat obat (isoniazid, rifampin, pyrazinamide, dan ethambutol) mencapai angka kesembuhan lebih dari 95% pada kondisi percobaan dan lebih dari 90% pada pengobatan dengan kelalaian program kontrol tuberkulosis. Pengobatan membutuhkan minimum 6 bulan dengan 2 fase: 2 bulan dengan semua obat pada fase intensif dan 4 bulan dengan isoniazid dan rifampin pada fase lanjutan. Faktor risiko kekambuhan mencakup kavitasi, luasnya penyakit, imunosupresi, dan kultur sputum yang tetap positif pada 8 minggu. Jika ada dari faktor risiko tersebut, terapi dapat diperpanjang hingga 9 bulan (Zumla et al., 2013).

Tantangan terapi mencakup ketidakkonsistenan kualitas obat, kebutuhan untuk menjamin pemberian obat diobservasi secara langsung dan bahwa dukungan lain disediakan bagi pasien, gangguan pengobatan dan perubahan regimen karena efek samping, efek toksik, interaksi farmakokinetik (terutama dengan terapi antiretroviral pada pasien dengan koinfeksi HIV), dan isu pemenuhan terapi terkait periode pengobatan yang (Zumla et al., 2013).


(37)

c. Multidrug-Resistant Tuberculosis(MDR TB)

Pengobatan MDR TB berdasarkan pada opini para ahli dan membutuhkan ciptaan kombinasi regimen obat yang dipilih dari lima kelompok hirarki obat-obatan dari garis pertama dan garis kedua. Terapi berkaitan dengan risiko tinggi terhadap intoleransi dan efek toksik serius. Regimen dapat dipilih berdasarkan standar atau empiris dan kemudian diganti pada terapi individu setelah data dianggap uji kerentanan obat menjadi ada. Akan tetapi, uji kerentanan obat yang reliabel tidak secara luas tersedia ada di daerah dimana endemik tuberkulosis, terutama pada obat garis kedua (Zumla et al., 2013).

Pedoman pengobatan WHO untuk MDR TB merekomendasikan bahwa pada fase intensif terapi diberikan paling sedikit 8 bulan. Fluoroquinolone dan agen yang dapat diinjeksikan secara rutin dimasukkan untuk menghasilkan regimen dengan sedikitnya empat obat pada garis kedua yang akan memiliki kepastian dan hampir pasti efektif, seperti pyrazinamide. Terapi harus diberikan untuk sekurangnya 20 bulan pada pasien yang tidak menerima pengobatan untuk MDR TB sebelumnya dan sampai 30 bulan bagi mereka yang sudah menerima pengobatan sebelumnya (Zumla et al., 2013).

Sebuah penelitian observasional menunjukkan bahwa regimen yang lebih pendek, dengan pengobatan yang diberikan 9 sampai 12 bulan, memiliki efikasi yang dapat diterima dan beberapa reaksi merugikan pada populasi dengan pajanan terhadap obat garis kedua. Regimen ini lebih luas dievaluasi terus menerus dengan regimen pengobatan standar pada pasien dengan MDR TB. Sejak hampir semua


(38)

obat yang direkomendasikan memiliki efek samping yang serius yang membuat kesulitan pada pengobatan, kosultasi pada para ahli selalu disarankan untuk pengobatan MDR TB (Zumla et al., 2013).

2.2. Konsep Diri

2.2.1 Definisi konsep diri

Konsep diri merupakan citra mental individu. Konsep diri yang positif penting untuk kesehatan mental dan fisik individu. Individu yang memiliki konsep diri yang positif lebih mampu mengembangkan dan mempertahankan hubungan interpersonal dan lebih tahan terhadap penyakit psikologis dan fisik. Individu yang memiliki konsep diri yang kuat seharusnya lebih mampu menerima atau beradaptasi dengan perubahan yang mungkin terjadi sepanjang hidupnya. Cara pandang individu terhadap dirinya mempengaruhi interaksinya dengan orang lain (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2010).

Roy (1999) dalam Marriner Tomey dan Alligood (2006) mengatakan bahwa konsep diri adalah gabungan dari keyakinan dan perasaan yang seseorang pegang mengenai dirinya pada suatu waktu; dibentuk dari persepsi internal dan reaksi terhadap persepsi orang lain. Pengalaman individu dan interpretasi dari lingkungan membentuk persepsi diri. Oleh karena itu, perasaan yang diterima oleh karena penyakit dan pengobatan dapat mempengaruhi konsep diri dan perilaku seseorang. Roy dan Andrew mengidentifikasi 5 aspek yang berbeda dari konsep diri, yang terdiri dari citra tubuh, sensasi tubuh, ideal diri, konsistensi diri dan moral-etik-spiritual diri. Sensasi tubuh adalah bagaimana perasaan seseorang dan pengalaman sebagai dirinya. Citra tubuh adalah bagaimana pandangan seseorang


(39)

terhadap dirinya secara fisik dan pandangan seseorang terhadap penampilan personal. Konsistensi diri adalah bagian dari diri yang berusaha untuk mempertahankan organisasi diri yang konsisten dan mencegah ketidakseimbangan. Ideal diri adalah apa yang seseorang inginkan atau mampu lakukan. Moral-etikal-spiritual diri adalah aspek dari diri yang terdiri dari sistem kepercayaan dan evaluasi dari relasi di seluruh bidang.

2.2.2. Dimensi Konsep Diri

a. Pemahaman diri: pemahaman yang dimiliki individu mengenai dirinya, termasuk daya tilik diri terhadap kemampuan, sifat, dan keterbatasan dirinya

b. Pengharapan diri: harapan individu, mungkin berupa harapan realistis atau tidak realistis

c. Sosial diri: cara pandang orang lain dan masyarakat terhadap individu d. Evaluasi sosial: penilaian individu dalam hubungan dengan orang lain,

kejadian, atau situasi (Kozier et al., 2010).

2.2.3. Komponen Konsep Diri

Konsep diri mencakup semua persepsi diri yaitu penampilan, nilai dan keyakinan, yang memengaruhi perilaku dan ditunjukkan ketika menggunakan kata-kata saya atau aku (Kozier et al., 2010). Konsep diri yang positif memberikan rasa berarti, menyeluruh, dan konsisten pada seseorang. Konsep diri yang sehat memiliki derajat stabilitas yang tinggi dan menghasilkan perasaan positif terhadap diri. Komponen konsep diri yang sering dipertimbangkan adalah identitas, citra tubuh, dan penampilan peran. Harga diri sangat berkaitan dengan


(40)

konsep diri. Harga diri berasal dari konsep diri, dan harga diri mempengaruhi konsep diri (Potter & Perry, 2009).

a. Identitas

Identitas meliputi perasaan internal akan individualitas, menyeluruh, dan konsistensi seseorang pada waktu dan situasi yang berbeda. Identitas menunjukkan batasan dan pemisahan dari yang lainnya. Menjadi “diri sendiri” atau hidup dalam kehidupan nyata merupakan dasar dari identitas yang benar (Potter & Perry, 2009).

Identitas personal individu merupakan sensasi individualitas dan keunikan yang disadari dan secara kontinu muncul sepanjang hidup. Individu sering kali memandang identitas mereka dari nama, jenis kelamin, usia, ras, asal etnis atau budaya, pekerjaan atau peran, bakat, dan karakteristik situasional lainnya (Kozier et al., 2010).

Stuart & Laraia (2005) dalam Potter & Perry (2009) mengatakan bahwa pencapaian identitas merupakan hal penting dalam menjalin hubungan dekat, karena individu mengekspresikan identitas mereka saat berhubungan dengan orang lain. Semakin individu dikenal oleh kelompok sosial, maka akan semakin besar harga dirinya. Seorang individu yang mengalami diskriminasi, prasangka, atau tekanan lingkungan biasanya akan menempatkan dirinya secara berbeda dari individu yang memiliki kondisi kehidupan sebaliknya [Ruiz et al., (2002) dalam Potter & Perry (2009)].

Individu yang memiliki rasa identitas yang kuat mengintegrasikan citra tubuh, performa peran, dan harga diri ke dalam konsep diri sepenuhnya. Rasa identitas


(41)

ini memberi individu sensasi kontinuitas dan kesatuan kepribadian. Selain itu, individu memandang dirinya sendiri sebagai orang yang unik (Kozier et al., 2010).

b. Citra Tubuh

Citra tubuh (body image) meliputi perilaku yang berkaitan dengan tubuh, termasuk penampilan, struktur, atau fungsi fisik. Rasa terhadap citra tubuh termasuk semua yang berkaitan dengan seksualitas, feminitas dan maskulinitas, berpenampilan muda, kesehatan dan kekuatan (Potter & Perry, 2009).

Citra fisik diri, atau citra tubuh, adalah cara individu mempersepsikan ukuran, penampilan, dan fungsi tubuh dan bagian-bagiannya. Citra tubuh memiliki aspek kognitif dan afektif. Kognitif adalah pengetahuan materi tubuh dan kelekatannya, afektif mencakup sensasi tubuh, seperti nyeri, kesenangan, keletihan, dan gerakan fisik. Citra tubuh adalah gabungan dari sikap, kesadaran dan ketidaksadaran, yang dimiliki seseorang terhadap tubuhnya (Kozier et al., 2010).

Citra tubuh mencakup fungsi tubuh dan bagian-bagiannya termasuk pakaian, riasan, gaya rambut, perhiasan dan hal lain yang melekat pada diri individu. Citra tubuh juga mencakup prostese tubuh, seperti kaki palsu, gigi palsu dan wig, juga semua alat yang dibutuhkan untuk fungsi, seperti kursi roda, tongkat dan kacamata. Persepsi masa lalu dan saat ini serta bagaimana tubuh berkembang sepanjang waktu merupakan bagian citra tubuh seseorang (Kozier et al., 2010). Citra tubuh individu berkembang sebagian dari sikap dan respons orang lain terhadap tubuh individu tersebut dan sebagian lagi dari eksplorasi individu terhadap tubuhnya sendiri. Nilai budaya dan sosial juga memengaruhi citra tubuh


(42)

individu. Beragam informasi dan media hiburan selama bertahun-tahun memengaruhi cara individu memandang diri mereka dengan orang lain. Apabila citra tubuh individu mendekati ideal dirinya, individu tersebut cenderung berpikir positif tentang komponen fisik dan nonfisik diri (Kozier et al., 2010).

Individu yang memiliki citra tubuh yang sehat biasanya menunjukkan kekhawatiran baik terhadap kesehatan maupun penampilan. Individu ini akan mencari bantuan apabila sakit dan melakukan praktik promosi kesehatan dalam aktivitas sehari-hari. Individu yang memiliki citra tubuh yang tidak sehat cenderung terlalu mengkhawatirkan penyakit minor dan mengabaikan aktivitas, seperti tidur dan diet sehat yang penting untuk kesehatan (Kozier et al., 2010). Individu yang mengalami gangguan citra tubuh mungkin menyembunyikan atau tidak melihat atau menyentuh bagian tubuh yang strukturnya telah berubah akibat penyakit atau trauma. Beberapa individu dapat juga mengekspresikan perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak mampu mengendalikan situasi, dan kerapuhan. Individu tersebut kemungkinan juga menunjukkan perilaku destruktif, seperti usaha bunuh diri atau makan sangat sedikit atau makan sangat berlebihan (Kozier et al., 2010).

c. Penampilan peran

Potter & Perry (2009) mengatakan bahwa Penampilan peran (role performance) merupakan cara individu melakukan peran yang berarti. Peran yang dimaksud mencakup peran sebagai orang tua, pengawas, atau teman dekat. Peran yang diikuti individu dalam berbagai situasi mencakup sosialisasi terhadap harapan atau standar perilaku. Polanya bersifat stabil dan berubah secara minimal


(43)

selama masa dewasa. Individu mengembangkan dan menjaga perilaku yang disetujui masyarakat melalui proses-proses berikut ini.

1) Penguatan-pemadaman : Perilaku khusus menjadi biasa atau dihindari, tergantung apakah mereka setuju dan diperkuat, atau diperkecil dan dihukum. 2) Hambatan: Individu belajar untuk menahan diri dari suatu perilaku, meskipun

saat digoda untuk ikut serta di dalamnya.

3) Substitusi: Individu menggantikan satu perilaku dengan perilaku lainnya, yang memberikan kepuasan personal yang sama

4) Imitasi: Individu membutuhkan pengetahuan, keterampilan, atau perilaku dari anggota masyarakat atau kelompok budaya

5) Identifikasi: Individu memasukkan kepercayaan, perilaku, dan nilai-nilai dari model peran ke dalam suatu ekspresi personal diri yang unik.

Peran merupakan sekumpulan harapan mengenai bagaimana individu yang menempati satu posisi tertentu berperilaku. Performa peran menghubungkan apa yang dilakukan individu dalam peran tertentu dengan perilaku yang diharapkan oleh peran tersebut. Penguasaan peran berarti bahwa perilaku individu memenuhi harapan sosial. Harapan, atau standar perilaku peran, ditetapkan oleh masyarakat, kelompok budaya, atau kelompok yang lebih kecil yang salah satu anggotanya adalah individu tersebut (Kozier et al., 2010).

Konsep diri juga dipengaruhi oleh ketegangan peran dan konflik peran. Individu yang mengalami ketegangan peran frustasi karena merasa atau dibuat merasa tidak adekuat atau tidak cocok dengan satu peran. Konflik peran muncul dari harapan yang bertentangan atau tidak cocok. Dalam konflik interpersonal,


(44)

individu memiliki harapan yang berbeda mengenai peran tertentu. Dalam konflik antarperan, harapan peran seseorang atau kelompok berbeda dari harapan orang lain atau kelompok lain (Kozier et al., 2010).

d. Harga diri

Harga diri (self-esteem) adalah perasaan individu secara keseluruhan tentang harga diri atau pernyataan emosional dari konsep diri. Hal ini merupakan dasar dari evaluasi diri karena mewakili keseluruhan pendapat tentang penghargaan atau nilai personal. Harga diri bersifat positif saat seseorang merasa mampu, berguna, dan kompeten [Rosenberg (1965) dalam Potter & Perry (2009)].

Harga diri adalah penilaian individu akan harga dirinya, yaitu bagaimana standar dan penampilan dirinya dibandingkan dengan standar dan penampilan orang lain dengan ideal dirinya sendiri. Apabila harga diri seseorang tidak sesuai dengan ideal dirinya, terjadi penurunan konsep diri (Kozier et al., 2010).

Terdapat dua jenis harga diri: umum dan spesifik. Harga diri umum adalah seberapa besar individu menyukai dirinya sendiri secara keseluruhan. Harga diri spesifik adalah seberapa besar individu menerima bagian tertentu dari dirinya. Harga diri berasal dari diri sendiri dan orang lain Pada saat bayi, harga diri dikaitkan dengan orang lain. Sebagai orang dewasa, seseorang yang memiliki harga diri tinggi merasa berarti, kompoten, mampu menghadapi kehidupan, dan mengendalikan takdirnya sendiri (Kozier et al., 2010).

Landasan harga diri dibangun selama pengalaman hidup awal, biasanya dalam struktur keluarga. Akan tetapi, tingkat fungsi orang dewasa pada keseluruhan harga diri mungkin berubah drastis dari hari ke hari dan dari waktu


(45)

ke waktu. Harga diri fungsional adalah hasil evaluasi kontinu individu terhadap interaksinya dengan orang lain dan objek. Harga diri fungsional dapat lebih tinggi dari harga diri dasar, atau dapat juga mundur ke tingkat di bawah harga diri dasar. Stres berat, misalnya stres akibat penyakit kronis dapat menurunkan harga diri individu. Individu sering kali berfokus pada aspek negatif mereka dan menghabiskan lebih sedikit waktu untuk menghargai aspek positif mereka (Kozier et al., 2010).

2.2.4. Stresor yang memengaruhi Konsep Diri

Stresor konsep diri adalah perubahan yang nyata atau dapat diterima yang mengancam identitas, citra tubuh, atau penampilan peran. Persepsi individu terhadap tekanan merupakan faktor penting dalam menentukan responnya. Kemampuan untuk menyeimbangkan tekanan yang ada berkaitan dengan beberapa faktor, termasuk jumlah tekanan, lamanya tekanan dan status kesehatan. Tekanan dapat mengganggu kemampuan adaptasi seseorang. Perubahan yang terjadi pada kesehatan fisik, spiritual, emosional, seksual, keturunan, dan sosial budaya akan memengaruhi konsep diri. Dapat beradaptasi terhadap tekanan akan menimbulkan rasa diri yang positif, sedangkan kegagalan beradaptasi sering menyebabkan konsep diri yang negatif (Potter & Perry, 2009).

Beberapa perubahan dalam kesehatan merupakan stresor dan dapat memengaruhi konsep diri. Perubahan fisik tubuh terkadang menyebabkan perubahan citra tubuh, memengaruhi identitas dan harga diri. Penyakit kronis biasanya akan mengganggu penampilan peran, yang selanjutnya dapat mengubah identitas dan harga diri individu (Potter & Perry, 2009).


(46)

2.2.5. Faktor yang memengaruhi konsep diri

Konsep diri individu dipengaruhi oleh banyak faktor. Kozier et al. (2010) mengatakan bahwa faktor utama adalah perkembangan, keluarga dan budaya, stresor, sumber, riwayat keberhasilan dan kegagalan serta penyakit.

a. Perkembangan

Saat individu berkembang, faktor yang memengaruhi konsep diri berubah. Sebagai contoh, bayi membutuhkan lingkungan yang suportif dan penuh kasih sayang, sementara anak-anak membutuhkan kebebasan untuk menggali dan belajar.

b. Keluarga dan budaya

Nilai yang dianut anak kecil sangat dipengaruhi oleh keluarga dan budaya. Selanjutnya teman sebaya memengaruhi anak dan dengan demikian mempengaruhi rasa dirinya. Ketika anak berkonfrontasi dengan membedakan harapan dari keluarga, budaya dan teman sebaya, rasa diri anak sering kali membingungkan.

c. Stresor

Stresor dapat menguatkan konsep diri saat individu berhasil menghadapi masalah. Di pihak lain, stresor yang berlebihan dapat menyebabkan respon maladaptif termasuk penyalahgunaan zat, menarik diri, dan ansietas. Kemampuan individu untuk menangani stresor sangat bergantung pada sumber daya personal. d. Sumber daya

Individu memiliki sumber daya internal dan eksternal. Contoh sumber daya internal adalah rasa percaya diri dan nilai diri, sedangkan sumber daya eksternal


(47)

meliputi jaringan dukungan, pendanaan yang memadai, dan organisasi. Secara umum, semakin besar jumlah sumber daya yang dimiliki dan digunakan individu, pengaruhnya pada konsep diri semakin positif.

e. Riwayat keberhasilan dan kegagalan

Individu yang pernah mengalami kegagalan menganggap diri mereka sebagai orang yang gagal, sementara individu yang memiliki riwayat keberhasilan memiliki konsep diri yang lebih positif, yang kemungkinan dapat mencapai lebih banyak keberhasilan.

f. Penyakit

Penyakit dan trauma juga dapat memengaruhi konsep diri. Individu berspon terhadap stresor, seperti penyakit dan gangguan fungsi akibat penuaan dalam berbagai cara: menerima, menyangkal, menarik diri, dan depresi adalah reaksi yang umum.

2.2.6. Konsep Diri Pada Pasien TB paru

Masalah psikososial adalah salah satu rintangan yang mempengaruhi keberhasilan penderita TB dalam menjalani terapi. Stigma, isolasi dan diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat terhadap pasien TB menyebabkan penurunan harga diri. Hal ini merupakan perbedaan penyakit TB dari penyakit kronis lainnya.

Raynel (2010) dalam penelitiannya mengenai gambaran konsep diri pada penderita TB paru menunjukkan sebesar 56,8% memiliki gambaran diri negatif, 54,1% memiliki ideal diri negatif, 51,4% memiliki harga diri tinggi, 54,1% memiliki penampilan peran positif, dan 62,2% memiliki identitas diri positif.


(48)

Penurunan harga diri karena penyakit menyebabkan hilangnya kepercayaan diri, hubungan sosial yang memburuk dan menyerah untuk berjuang melawan penyakit. Pengangguran dan ibu rumah tangga, tidak memiliki pekerjaan, efek pada status ekonomi pasien, tidak memiliki harapan untuk sembuh, perubahan dalam keluarga dan hubungan sosial dan tidak memiliki dukungan sosial menurunkan harga diri pasien (Erdem & Tasci, 2003).

2.3. Kepatuhan

2.3.1. Definisi Kepatuhan

Kepatuhan pengobatan adalah pasien mengikuti pengobatan yang direkomendasikan dengan meminum seluruh obat yang diresepkan selama panjangnya waktu yang dibutuhkan. Kepatuhan penting karena TB hampir selalu teratasi jika pasien patuh terhadap regimen pengobatan TB (Centers for Disease Control and Prevention [CDC], 1999).

Ketidakpatuhan adalah ketidakmampuan pasien atau penolakan untuk mengkonsumsi obat sesuai dengan resep. Ketika pengobatan medis sulit dan berakhir untuk waktu yang lama, seperti pengobatan pada penyakit TB, pasien selalu tidak mengkonsumsi bat mereka sesuai instruksi. Perilaku ini adalah salah satu masalah terbesar dalam pengendalian TB dan dapat mengarah pada konsekuensi yang serius. Pasien yang tidak patuh dapat menyebarkan ke orang lain, tetap sakit untuk waktu yang lebih lama atau memiliki penyakit yang lebih berat, mengembangkan dan menyebarkan resristensi obat TB, dan meninggal karena terhentinya pengobatan (CDC, 1999).


(49)

2.3.2. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan

Banyak alasan mengapa seseorang terhambat dalam memenuhi regimen pengobatan TB paru.

a. Usia

Penelitian yang dilakukan oleh Mkopi, et al. (2012) menunjukkan bahwa usia berhubungan dengan kepatuhan terapi. Kelompok pasien umur 25 tahun ke bawah lebih patuh dari kelompok pasien yang berumur 35-44 tahun (OR: 0,77; 95% CI: 0,99; p<0,049). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anyaike et al. (2013) yang dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan signifikan atara usia dengan kepatuhan terapi pasien TB (p=0.0165).

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bello & Itiola (2010) dengan menggunakan uji chi square didapatkan bahwa usia tidak memiliki hubungan yang signifikan degan kepatuhan (p=0,844). Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Anyaike et al. (2013) yang mendapatkan bahwa ada hubungan antara kurangnya uang transportasi dengan kepatuhan pasien (p=0.0001).

b. Jenis Kelamin

Penelitian yang dilakukan ole Mkopi, et al (2012) menunjukkan bahwa jenis kelamin dan usia berhubungan dengan kepatuhan terapi. Pasien perempuan lebih patuh 2 kali dibanding dengan pasien laki-laki (OR= 2,04; 95% CI: 1.24-3,02; p = 0.003). Anyaike et al. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan signifikan atara jenis kelamin dan terapi (p=0.001).


(50)

c. Dukungan Sosial

Anyaike et al. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan signifikan antara dukungan teman dan keluarga dan kepatuhan pasien (p=0.042). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Solarte & Barona (2008) yang mendapatkan bahwa salah satu faktor yang berhubungan signifikan dengan kepatuhan penderita TB adalah kurangnya dukungan keluarga.

d. Pasien tidak lagi merasa sakit

Ketika pasien tidak lagi merasa sakit, pasien selalu berpikir tidak mengapa jika tidak melanjutkan konsumsi obat TB. Gejala TB dapat bertambah baik secara dramatis selama fase awal pengobatan (8 minggu pertama) (CDC, 1999).

Anyaike et al. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan signifikan antara perasaan membaik dan tidak ingin melanjutkan terapi serta merasa sakit dan depresi juga memiliki hubungan dengan kepatuhan (p=0.0001). e. Kurangnya pengetahuan

Pasien terkadang tidak mengerti secara penuh mengenai regimen pengobatan, atau alasan durasi pengobatan TB yang panjang. Kurangnya pengetahuan dapat menyebabkan ketidakmampuan dan kurangnya motivasi untuk memenuhi regimen (CDC, 1999).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Gopi et al. (2007) didapatkan faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan adalah tidak sekolah sebanyak 39% yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai pentingnya terapi dibawah pengawasan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bello & Itiola (2010) yang menemukan ada pengaruh positif dari konseling terhadap


(51)

kepatuhan pengobatan pasien. Lebih lanjut dengan menggunakan uji chi square didapatkan bahwa edukasi berhubungan signifikan dengan kepatuhan (p=0,001). Zhou, et al. (2012) dalam penelitiannya juga mendapatkan bahwa pasien yang tidak patuh tidak mengetahui TB sebelum diagnosa (P=0.05) dan tidak mendapat edukasi TB terkait kesehatan sebelum terapi (p=0.01). Lebih lanjut, dengan menggunakan analisis multivariat dengan regresi logistik didapatkan edukasi kesehatan terkait TB sebelum terapi adalah faktor yang berhubungan secara signifikan dengan kepatuhan pasien.

f. Nilai personal dan budaya

Beberapa pasien memiliki kepercayaan personal dan budaya yang kuat mengenai penyakit TB, bagaimana pengobatannya, dan siapa yang dapat dicari untuk pertolongan. Ketika pengobatan TB bertentangan dengan keyakinan, pasien menjadi takut, cemas, atau terasing dari orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada pasien, seperti dokter, asisten dokter dan perawat) (CDC, 1999). g. Kurangnya keterampilan

Pasien-pasien khusus memiliki keterampilan yang kurang untuk mengikuti instruksi dan patuh terhadap regimen yang diresepkan. Pasien lansia dengan keterbatasan mobilitas, pasien dengan penyalahgunaan obat atau masalah kesehatan mental, dan anak muda yang berisiko memiliki masalah untuk kepatuhan (CDC, 1999).


(52)

h. Kurangnya akses pada pelayanan kesehatan

Kurangnya akses terhadap pelayanan kesehtan dapat menjadi hambatan yang signifikan terhadap keberhasilan pemenuhan regimen TB. Usaha khusus harus dibuat untuk menjangkau dan memberikan pelayanan bagi pasien yang tidak memiliki alamat tetap dan alat transportasi. Pasien yang bekerja kemungkinan memiliki jadwal kerja yang bertentangan dengan jam klinik (CDC, 1999).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Gopi et al. (2007) didapatkan faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan adalah kesulitan mengakses fasilitas kesehatan sebanyak 57% karena kurangnya keuangan dan jarak dari tempat tinggal pasien ke fasilitas kesehatan dan pusat DOT swasta (43%). Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nezenega, Gacho & Tafere (2013) dengan menggunakan analisis multivariat didapatkan area tempat tinggal, waktu bersama tim kesehatan, kemudahan menjangkau, waktu tunggu, pelayanan profesional dam semua kepuasan pasien berhubungan secara signifikan dengan kepatuhan terapi TB ( p < 0,05).

i. Hubungan yang buruk dengan petugas kesehatan

Beberapa pasien memiliki hubungan yang buruk dengan petugas kesehatan. Ketika pasien dan petugas kesehatan gagal untuk membangun hubungan saling percaya, kurangnya hubungan dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, Jika pasien percaya atau merasa nyaman dengan perugas kesehatan, mereka lebih mengikut intruksi dan nasehat dan mampu bekerja sama dengan petugas kesehatan (CDC, 1999).


(53)

j. Motivasi yang rendah

Pasien mungkin memiliki motivasi yang rendah untuk patuh terhadap regimen TB. Jika pasien memiliki banyak prioritas yang bersaing dalam hidupnya seperti penyalahgunaan obat, tuna wisma, penyakit lain (cth. HIV), konsumsi obat TB mungkin tidak menjadi prioritas bagi pasien (CDC, 1999).

2.3.4. Kepatuhan Pasien Tuberkulosis Paru

Penelitian yang dilakukan oleh Gopi et.al (2007) didapatkan dari 1666 partisipan yang diwawancarai, 1108 (67%) patuh dan 558 (33%) tidak patuh. Hal yang sama didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Mkopi, et al (2012) yang mendapatkan dari 645 pasien yang diuji, 617 pasien (95,7%; 90% CI 94,3%-96,9%) menunjukkan kepatuhan terhadap terapi TB. Dari 617 pasien yang patuh, 563 (91,2%) melengkapi terapi dengan lengkap, 19 (3,1%) meninggal, 6 (1,0 %) dipindahkan dari tempat penelitian. Solarte & Barona (2008) juga mendapatkan dari seluruh responden, kelengkapan terapi dicapai oleh 65,6 % pasien.

Bello & Itiola (2010) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa mayoritas pasien (94,6%) patuh terhadap pengobatannya. Dengan uji regresi parsial didapatkan ada pengaruh positif dari konseling terhadap kepatuhan pengobatan pasien. Pada uji chi square didapatkan bahwa usia tidak memiliki hubungan yang signifikan degan kepatuhan (p=0,844) dan edukasi berhubungan signifikan dengan kepatuhan (p-0,001).

Penelitian yang dilakukan oleh Nezenega et al. (2013) didapatkan hanya 26% dari responden memiliki kepatuhan yang buruk terhadap terapi mereka. Shargie & Lindtjørn (2007) mendapatkan dari total responden, 81 pasien (20%) gagal


(54)

menjalani terapi, 310 (77%) melengkapi terapi dengan sukses, sementara sisanya meninggal, pindah dari tempat penelitian. Jakubowiak, Bogorodskaya, Borisov, Danilova & Kourbatova (2008) juga mendapatkan angka kegagalan pasien dalam menjalani terapi 4,6 %. Frekuensi terhentinya terapi 63% pada pasien yang gagal and 36% pada pasien yang terapi dengan sukses. Terhentinya terapi selama fase intensif dan 30% pada pasien yang gagal dan 45% pada hasil yang berhasil. Boogaard, Lyimo, Boeree, Kibikib & Aarnoutsec (2011) dalam penelitiannya juga mendapatkan rata-rata angka kepatuhan pada populasi yang diteliti adalah 96.3% (standard deviation, SD: 7.7). Kepatuhan kurang dari 100% pada 70% dari pasien, kurang dari 95% pada 21% pasien, dan kurang dari 80% pada 2%.

Anyaike et al. (2013) mendapatkan lebih dari dua pertiga (76,5%) responden mengkonsumsi obat antara 3-6 bulan dengan rata-rata durasi 5,4 bulan, (SD=±1.8). Penelitian juga mendapatkan bahwa 80.5% pasien tidak meliupakan pengobatannya dalam 3 bulan terakhir, dan 10,4 % lupa dengan pengobatannya. Dari yang lupa meminum obatnya, 42,5 % lupa karena bepergian, 21,7% merasa sakit dan depresi. 34% lupa karena mereka meminum obat di rumah dan 5,6 % lupa karena merasa lebih baik dan tidak melanjutkan pengobatan. Alasan lain yang diberikan adalah: tidak ada uang untuk transportasi, menghindari efek samping obat, lupa, tidak ingin dilihat di klinik ketika mengambil obat, dan tidak dapat mengambil obat karena liburan pemerintah yang tidak terjadwal.

2.4. Landasan Teori

Roy (1999) dalam Tomey dan Alligood (2006) mendefinisikan manusia adalah sistem adaptif yang holistik. Sebagai sistem adaptif, sistem manusia


(55)

digambarkan sebagai keseluruhan dengan fungsi satu untuk beberapa tujuan. Sistem manusia mencakup manusia sebagai individu atau kelompok termasuk keluarga, organisasi, komunitas dan sosial sebagai keseluruhan. Roy mendefinisikan manusia sebagai fokus utama dalam keperawatan, penerima asuhan keperawatan, sistem kehidupan kompleks dan adaptif dengan proses internal (kognator dan regulator), bertindak untuk memelihara adaptasi pada empat mode adaptif (fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi). Lingkungan adalah segala kondisi, keadaan dan pengaruh di sekeliling dan mempengaruhi perkembangan dan perilaku dari anggota kelompok, dengan perhatian khusus dari kebersamaan manusia dan sumber bumi yang mencakup stimulus fokal, kontekstual dan residual. Ini adalah perubahan lingkungan yang menstimulus orang tersebut untuk membuat respon adaptif. Lingkungan adalah masukan bagi seseorang sebagai sistem adaptasi termasuk faktor internal dan eksternal. Faktor tersebut bisa jadi kecil atau besar, negatif atau positif. Perilaku yang menunjukkan adaptasi dapat dilihat dari empat model adaptasi yang meliputi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi (Roy, 1999).

Konsep diri adalah gabungan dari keyakinan dan perasaan yang seseorang pegang mengenai dirinya pada suatu waktu; dibentuk dari persepsi internal dan reaksi terhadap persepsi orang lain. Pengalaman individu dan interpretasi dari lingkungan membentuk persepsi diri. Oleh karena itu, perasaan yang diterima oleh karena penyakit dan pengobatan dapat mempengaruhi konsep diri dan perilaku seseorang (Roy, 1999).


(56)

Dalam penelitian ini hal yang menjadi stimulus bagi pasien adalah penyakit TB paru dan regimen terapi dalam pengobatan TB paru. Modus adaptasi yang akan diteliti adalah konsep diri. Penyakit TB paru yang diderita pasien mendatangkan stigma, isolasi dan diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat terhadap pasien TB paru sehingga menyebabkan penurunan harga diri. Semua pandangan eksternal yang didapatkan dari lingkungan mempengaruhi konsep diri penderita TB paru.

Pasien TB paru menggunakan proses kognitif yang disaring oleh konsep diri untuk menginterpretasikan regimen pengobatan TB paru sebagai ancaman atau tantangan. Pasien akan menggunakan proses berpikir kognitif sadar dan tidak sadar untuk mengevaluasi pengalaman dalam menamakan, mengklarifikasi, mendefinisikan, dan memulai respon perilaku. Untuk tujuan penelitian ini, persepsi kognitif digunakan untuk menggambarkan proses yang digunakan seseorang untuk menginterpretasikan stimulus baik sebagai ancaman atau tantangan untuk konsep diri mereka. Ketika sesuatu diterima sebagai ancaman untuk diri, hal tersebut akan menyebabkan kecemasan. Orang akan berusaha untuk meringankan kecemasan dengan menggunakan respon yang berpusat pada emosional seperti mendefinisikan kembali situasi, menolak, atau menghindari stress pada situasi tersebut yang melindungi harga diri. Meskipun proteksi terhadap konsep diri baik, ketidakpatuhan terhadap pengobatan terjadi, yang menyebabkan memburuknya adaptasi fisik. Meskipun respon berpusat pada emosional tidak membantu individu ke arah tindakan yang mengubah situasi


(57)

dengan cara yang bermanfaat, hal tersebut dapat menjadi cara mempertahankan harapan, optimisme, atau harga diri, yang dapat bermanfaat dalam beberapa hal. Individu dapat juga menerima stimulus sebagai tantangan. Persepsi sebagai tantangan terjadi ketika penambahan dan pertumbuhan potensial diantisipasi dan menghasilkan kegembiraan. Stresor yang dianggap sebagai tantangan terhadap adaptasi menyebabkan respon penyelesaian masalah. Respon berpusat pada masalah menggunakan strategi penyelesaian masalah mengatur lingkungan dan diri. Usaha individu menggunakan respon berpusat pada masalah mengatur ke arah mendefinisikan masalah, menghasilkan alternatif solusi, mempertimbangkan alternatif dalam hal biaya dan keuntungan, memilih solusi dan bertindak. Mengubah tekanan lingkungan, penghambat, sumber, dan prosedur adalah cara penyelesaian masalah (Roy, 1999).

Dalam penelitian ini, ketika pasien menerima penyakit TB paru dan pengobatannya sebagai suatu ancaman terhadap dirinya, hal tersebut akan menyebabkan kecemasan. Pasien akan berusaha untuk meringankan kecemasan dengan menggunakan respon yang berpusat pada emosional seperti mendefinisikan kembali situasi, menolak, menghindari, atau mendevaluasikan penyakit dan pengobatan untuk melindungi harga diri. Salah satu cara adalah dengan tidak mengikuti regimen pengobatan yang dianjurkan. Hal ini dapat berdampak terhadap memburuknya adaptasi fisik. Sebaliknya ketika individu menerima penyakit TB paru dan pengobatannya sebagai suatu tantangan maka pasien akan berespon dengan menggunakan strategi penyelesaian masalah yang


(58)

mengatur lingkungan dan dirinya. Pasien akan mamatuhi regimen pengobatan sehingga kondisi fisik membaik.

Ancaman dan tantangan dapat terjadi secara simultan meskipun satu atau lainnya biasanya didominasi. Dalam penelitian ini konsep diri pada pasien TB paru diukur menggunakan kuisioner yang dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan teori adaptasi Roy.

Roy mengatakan bahwa keperawatan memiliki tujuan khusus untuk membantu usaha adaptasi seseorang dengan mengatur lingkungan. Hal ini dilakukan dengan melakukan 6 tahap proses keperawatan yang meliputi pengkajian perilaku, pengkajian stimulus, diagnosa keperawatan, penetapan tujuan, intervensi dan evaluasi. Intervensi keperawatan berfokus pada pengaturan stimulus lingkungan dengan “mengubah, meningkatkan, mengurangi, memindahkan, atau mempertahankannya.

2.5. Kerangka Konsep

Kerangka konseptual ini menggambarkan hubungan konsep diri dengan kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam. Variabel bebas (independent) pada penelitian ini adalah konsep diri dan variabel terikat (dependent) pada penelitian ini adalah kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kerangka konsep penelitian ini digambarkan sebagai berikut:


(59)

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Korelasi Konsep diri dengan Kepatuhan pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan

Keterangan:

= Diteliti

= Tidak diteliti

Konsep diri

Kepatuhan Pasien TB paru dalam menjalani

pengobatan

Faktor yang

mempengaruhi kepatuhan: a. Usia

b. Jenis Kelamin c. Dukungan Sosial d. Pasien tidak lagi

merasa sakit e. Kurangnya

pengetahuan f. Nilai personal dan

budaya g. Kurangnya

keterampilan

h. Kurangnya akses pada pelayanan kesehatan i. Hubungan yang buruk

dengan petugas kesehatan

j. Motivasi yang rendah Faktor yang

mempengaruhi konsep diri: a. Perkembangan b. Keluarga dan

budaya c. Stresor d. Sumber daya e. Riwayat

keberhasilan dan kegagalan f. Riwayat

penyakit saat ini dan penyakit penyerta lainnya g. Pendidikan Kozier, Erb, Berman & Snyder (2010)

Tantangan terhadap

konsep diri Patuh

Ancaman terhadap


(60)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode cross sectional, yaitu suatu penelitian yang mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat yaitu variabel dependen dan variabel independen diobservasi pada saat yang bersamaan (Notoadmojo, 2005). Dalam penelitian ini yang akan diidentifikasi adalah korelasi antara variabel independen yaitu konsep diri dengan variabel dependen yaitu kepatuhan.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Grand MEDISTRA Lubuk Pakam. Rumah sakit ini dipilih dengan pertimbangan karena rumah sakit ini merupakan rumah sakit tipe B yang menjadi rumah sakit rujukan di Kabupaten Deli Serdang, sehingga diperkirakan lokasi ini memiliki jumlah sampel yang memadai untuk bisa dilakukan penelitian. Rumah sakit ini juga menyediakan berbagai layanan kesehatan yang memfasilitasi semua pasien TB paru baik yang mampu maupun yang tidak mampu untuk mendapatkan pengobatan. Selain itu di rumah sakit ini belum pernah dilakukan penelitian tentang hubungan konsep diri dengan kepatuhan pasien TB paru dalam pengobatan sebelumnya. Pengambilan data penelitian dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus 2014.


(61)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam membuat suatu penelitian (Nursalam, 2008). Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien TB paru yang menjalani pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam. Jumlah pasien TB paru pada bulan Januari hingga Desember tahun 2013 di Rumah Sakit Grand Medistra adalah sebanyak 345 orang (Rekam Medis RSGM, 2013).

3.3.2. Sampel

Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2007).

Kriteria inklusi sampel pada penelitian ini adalah:

a. Pasien TB paru post primer yang sedang menjalani pengobatan b. Pasien berusia dewasa (26-45 tahun)

c. Bersedia menjadi responden

Kriteria eksklusi sampel pada penelitian ini adalah: a. Tidak pernah mengalami gangguan jiwa

b. Pasien dengan MDR TB

c. Pasien TB paru riwayat putus berobat

d. Pasien yang menggunakan pengobatan alternatif selain Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

e. Jarak dari tempat tinggal pasien ke rumah sakit tidak lebih dari 20 km f. Pasien tidak kooperatif


(62)

Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan cara mengambil dari tabel power analysis, dengan menggunakan derajat ketepatan (α) yang besarnya 0,05 dan analisa kekuatan sebesar 80% dengan effect size sebesar 35% sehingga didapatkan sampel sebanyak 62 responden. Penentuan jumlah sampel mengacu kepada standar penelitian keperawatan karena belum ada ditemukan penelitian dengan judul yang sama sebelumnya (Polit & Beck, 2012).

Tabel 3.1

Besar sampel rerata yang dibutuhkan untuk mendapatkan level kekuatan yang dipilih sebagai fungsi dari korelasi populasi yang diperkirakan, dengan α= 0.05

ESTIMASI POPULASI KOEFISIEN KORELASI

Kekuatan .10 .15 .20 .25 .30 .35 .40 .50 .60 .70 .80 Bagian A:α= .05

.60 489 217 122 78 54 39 30 19 13 9 7

.70 614 272 152 97 67 49 37 23 16 11 8

.80 785 347 194 123 85 62 47 29 19 13 10 .90 1047 463 258 164 112 81 61 37 25 17 12 .95 1296 575 322 204 141 101 80 50 32 22 18

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan Non Probability Sampling yaitu dengan metode Purposive Sampling yaitu pengambilan sampel dilakukan atas pertimbangan/tujuan tertentu (Saryono, 2010).

3.4. Metode Pengumpulan Data

Penelitian dilakukan setelah mendapat persetujuan proposal penelitian dari institusi pendidikan yaitu Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Peneliti mengirim permohonan izin untuk penelitian dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara ke Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam. Setelah mendapatkan izin, peneliti melaksanakan pengumpulan data. Peneliti menentukan responden sesuai dengan kriteria yang telah dibuat sebelumnya.


(63)

Peneliti menggunakan lembar screening untuk mengidentifikasi responden yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, lembar screening diisi oleh peneliti dengan beracuan kepada status rawatan pasien. Apabila peneliti telah menemukan responden, peneliti melakukan pendekatan. Setelah itu, peneliti menjelaskan pada responden tersebut tentang tujuan, manfaat dan proses pengisian kuesioner, kemudian responden yang bersedia diminta untuk menandatangani surat persetujuan (informed consent).

Penelitian ini dilakukan terlebih dahulu membuat kontrak dengan pasien, kemudian kuesioner diisi langsung oleh responden dan responden diberi kesempatan untuk bertanya pada peneliti bila ada pertanyaan yang tidak dimengerti atau tidak dipahami. Setelah kuesioner diisi oleh responden peneliti memastikan kembali apakah semua kuesioner telah terisi, kemudian data dikumpulkan untuk diolah.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional

Untuk memberikan pemahaman yang sama tentang variabel yang akan diteliti dan untuk menentukan metode penelitian yang digunakan dalam analisa data maka perlu dibuat Definisi operasional variabel independen dan variabel dependen yang dapat dinilai pada tabel di bawah ini

Tabel 3.2

Definisi operasional

Data Karakteristik

Responden

Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Usia Lama hidup

seseorang mulai dari lahir sampai hari ulang tahun terakhir

Kuisioner Usia dalam tahun


(64)

Data Karakteristik

Responden

Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Jenis Kelamin Identitas responden sesuai kondisi biologis atau fisiknya yaitu laki-laki dan perempua

Kuisioner Dinyatakan dengan angka 0-1:

0: laki-laki 1: wanita

Nominal

Pendidikan Jenjang pendidikan formal responden berdasarkan ijazah terakhir

Kuisioner Dinyatakan dengan angka 1-5

1: Tidak sekolah 2: SD 3: SMP 4: SMA 5: Perguruan tinggi Ordinal Status perkawinan

Keadaan responden berhubungan dengan kehidupan pribadinya dalam keluarga

Kuisioner Dinyatakan dengan angka 1-3:

1: Kawin 2. Tidak kawin 3: Duda/janda

Nominal

Penyakit penyerta lain

Penyakit yang diderita pasien selain TB paru

Kuisioner Dinyatakan dengan angka 1-3:

1: Tidak ada penyakit penyerta 2. Hipertensi 3: Diabetes Mellitus Nominal

Suku Identitas budaya

yang dimiliki oleh pasien

Kuisioner Dinyatakan dengan angka 1-3: 1: Batak 2: Jawa 3: Nias 4: Melayu Nominal


(65)

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Variabel independen:

Konsep Diri Persepsi seseorang mengenai dirinya seutuhnya yang dipengaruhi oleh pandangan orang lain terhadap dirinya.

Kuesioner Konsep Diri dengan 15 pernyataan yang

dikembangkan sendiri oleh penulis

mengacu pada teori adaptasi Roy

15-37 = Ancaman terhadap konsep diri

38-60 = Tantangan terhadap konsep diri

Ordinal

Kepatuhan Tindakan seseorang untuk mengikuti dan melakukan segala kegiatan yang direkomendasikan dalam pengobatan. Kuesioner kepatuhan dengan menggunakan kuesioner baku Tuberculosis Medication Adherence Scale (TB-MAS) yang terdiri atas 30 pernyataan

 113-150 = Patuh  <113 =

Tidak patuh

Ordinal

3.6. Metode Pengukuran

Metode pengukuran dalam penelitian ini dengan menggunakan lembar kuesioner yang terdiri dari 3 bagian yaitu kuisioner data demografi, kuisioner konsep diri dan kuisioner kepatuhan. Kuisioner data demografi berisi nomor responden, umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, penyakit penyerta lain dan suku.

Kuisioner konsep diri dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan tinjauan teoritis, yang secara keseluruhan terdiri atas 15 pernyataan untuk melihat citra tubuh, harga diri, penampilan peran dan identitas diri. Kuisioner konsep diri


(1)

LAMPIRAN 3

IZIN PENELITIAN


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Hubungan Motivasi Perawat dan Supervisi Kepala Ruangan Terhadap Kinerja Perawat di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam.

11 84 207

Hubungan Caring Process dengan Kepuasan Kerja Perawat dan Kepuasan Pasien rawat inap di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

5 94 131

Pengaruh Faktor Sosial Budaya dan Personal terhadap Perilaku Merokok Keluarga Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

2 67 151

Implementasi Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) Pada Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

1 74 121

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TB PARU DENGAN KEPATUHAN MENJALANI PROGRAM PENGOBATAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru Dengan Kepatuhan Menjalani Program Pengobatan Pada Penderita TB Paru di BBKPM Surakarta.

0 0 15

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TB PARU DENGAN KEPATUHAN MENJALANI PROGRAM PENGOBATAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru Dengan Kepatuhan Menjalani Program Pengobatan Pada Penderita TB Paru di BBKPM Surakarta.

0 0 15

Hubungan Caring Process dengan Kepuasan Kerja Perawat dan Kepuasan Pasien rawat inap di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

0 0 23

HUBUNGAN CARING PROCESS DENGAN KEPUASAN KERJA PERAWAT DAN KEPUASAN PASIEN DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT GRAND MEDISTRA LUBUK PAKAM TESIS

0 0 19

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1. Tuberkulosis (TB) Paru 2.1.1. Definisi TB Paru - Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

0 0 32

Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

0 1 18