TINJAUAN PUSTAKA Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.)

  TINJAUAN PUSTAKA Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.)

  Pohon gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang telah dikembangkan dengan teknik kultur jaringan. Jenis A.

  malaccensis Lamk merupakan jenis pohon gaharu yang paling banyak ditemukan di Sumatera Utara (Yusnita, 2003).

  Taksonomi tumbuhan gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) menurut Tarigan (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dikotiledoneae Sub Kelas : Dialypetale Ordo : Myrtales Famili : Thymeleaceae Genus : Aquilaria Species : Aquilaria malaccensis Lamk.

  Gaharu memiliki morfologi atau ciri-ciri morfologi, tinggi pohon ini dapat mencapai 40 meter dengan diameter batang mencapai 60 cm. Pohon ini memiliki permukaan batang licin, warna keputih-putihan, kadang beralur dan kayunya agak keras. Bunga terdapat diujung ranting, ketiak daun, kadang-kadang di bawah ketiak daun. Berbentuk lancip, panjang sampai 5 mm. Buahnya berbentuk bulat telur, tertutup rapat oleh rambut-rambut yang berwarna merah. Biasanya memiliki

  3.5 cm hingga 5 cm, ovoid dan berwarna coklat. Kulitnya agak keras dan berbaldu. Mengandung 3 hingga 4 biji benih bagi setiap buah (Tarigan, 2004).

  Daerah sebaran tumbuh pohon penghasil gaharu di Indonesia dijumpai di wilayah hutan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya dan Nusa Tenggara. Secara ekologis berada pada ketinggian 0-2400 mdpl, pada daerah beriklim panas dengan suhu antara 28º–34

  C, berkelembaban sekitar 80 % dan bercurah hujan antara 1000–2000 mm/th. Lahan tempat tumbuh pada berbagai variasi kondisi struktur dan tekstur tanah, baik pada lahan subur, sedang hingga lahan marginal. Gaharu dapat dijumpai pada ekosistem hutan rawa, gambut, hutan dataran rendah atau hutan pegunungan, bahkan dijumpai pada lahan berpasir berbatu yang ekstrim (Sumarna, 2012).

  Beberapa sifat biofisiologis tumbuh pohon penghasil gaharu yang penting untuk diperhatikan adalah faktor sifat fisiologis pertumbuhan, sebagian besar pohon pada fase pertumbuhan awal (vegetatif) memiliki sifat tidak tahan akan intensitas cahaya langsung (semitoleran) hingga berumur 2-3 tahun. Faktor lain sifat fenologis pembungaan dimana setiap jenis, selain dipengaruhi oleh kondisi iklim dan musim setempat juga akan dipengaruhi oleh kondisi edafis lahan tempat tumbuh. Sifat fenologis buah/benih yang rekalsitran, badan buah pecah dan tidak jatuh bersamaan dengan benih. Sifat fisiologis benih memiliki masa istirahat (dormansi) yang sangat rendah, benih-benih yang jatuh di bawah tajuk pohon induk pada kondisi optimal setelah 3-4 bulan akan tumbuh dan menghasilkan permudaan alam tingkat semai yang tinggi dan setelah 6-8 bulan akan terjadi

  %. Aspek pertumbuhan permudaan alam tingkat semai penting diketahui sebagai dasar dalam penyediaan bibit tanaman dengan cara memanfaatkan cabutan Semakin tinggi tingkat permintaan akan gaharu menyebabkan terjadinya eksploitasi A. malaccensis Lamk secara besar-besaran di hutan alam. Saat ini tanaman gaharu berada diambang kepunahan hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Convention On International Trade Endangered Species Of Wuild

  

Flora And Fauna (CITES) yang memasukkan tanaman A. malaccensis ke dalam

  jenis tanaman terancam punah (Apendix II) (Sumarna, 2009). Pohon gaharu dapat dimanfaatkan bukan hanya gubalnya saja akan tetapi bagian batang, kulit batang, akar dan daun juga sudah dimanfaatkan sebagai bahan untuk merawat wajah dan menghaluskan kulit (Tarigan, 2004).

  Daun Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.)

  Bagian tumbuhan yang berpotensi dalam proses fotosintesi adalah organ daun. Proses fotosintesis dalam daun membutuhkan suplai air, CO2 dan cahaya.

  Daun juga membutuhkan sisa gula (karbohidrat) dan O2 yang merupakan produk fotosintesis itu sendiri. seluruh kebutuhan daun untuk fotosintesis tersebut dipersiapkan oleh struktur daun (Utomo, 2007). Gaharu memiliki bentuk daun lonjong agak memanjang, panjang 6-8 cm, lebar 3-4 cm, bagian ujung meruncing.

  Daun yang kering berwarna abu-abu kehijaun, agak bergelombang, melengkung, permukaan daun atas-bawah licin dan mengkilap, tulang daun 12-16 pasang (Tarigan, 2004).

  Kandungan kimia tanaman gaharu antara lain adalah: noroxo-agarofuran, aquilochin, Jinkohol, jinkohol ermol dan kusunol. Senyawa antioksidan diantaranya adalah asam fenolik, flavonoid, karoten, vitamin E, (tokoferol), dan Swastini, 2010). Zat-zat gizi mineral seperti mangan, seng, tembaga dan selenium (Se) juga berperan sebagai antioksidan. Diantara zat-zat antioksidan ini diduga ada dalam ekstrak metanol daun gaharu seperti senyawa fenol dan flavonoid (Mega dan Swastini, 2010).

  Ekstraksi

  Ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dari campurannya dengan pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat tercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari satu pelarut ke pelarut yang lain. Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi, suhu dan jenis pelarut yang digunakan. Pelarut yang digunakan tergantung dari sifat komponen yang akan diisolasi. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah sifat polaritas bahan. Sifat polaritas bahan harus sama dengan polaritas pelarut agar bahan dapat larut. Ada tiga jenis pelarut, yaitu pelarut polar, semi-polar dan non polar (Aras, 2013).

  Menurut Depertemen Kesehatan Republik Indonesia (2000), beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu: A. Cara dingin

  1. Maserasi menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi.

  2. Perkolasi Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada suhu kamar.

  Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) yang terus- menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

  B. Cara panas

  1. Sokletasi Sokletasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, yang umumnya dilakukan dengan alat khusus (menggunakan alat Sokhlet) sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

  2. Refluks Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas

  3. Digesti Digesti adalah proses penyarian simplisia dengan pengadukan secara terus- dilakukan pada temperatur 40-50°C.

  4. Dekoktasi Dekoktasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit.

  5. Infundasi Infundasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama waktu 15 menit.

  Skrining Fitokimia

  Skrining fitokimia adalah pemeriksaan kimia secara kualitatif terhadap senyawa-senyawa aktif biologis yang terdapat dalam simplisia tumbuhan.

  Senyawa-senyawa tersebut adalah senyawa organik. Skrining fitokimia terutama ditujukan terhadap golongan senyawa organik seperti alkaloid, glikosida, flavanoid, terpenoid, tanin dan lain-lain. Pada penelitian tumbuhan, untuk aktivitas biologi atau senyawa yang bermanfaat dalam pengobatan perlu diisolasi.

  Pemeriksaan fitokimia dengan teknik skrining dapat membantu langkah-langkah fitofarmakologi yaitu seleksi awal dari pemeriksaan tumbuhan tersebut untuk membuktikan adanya senyawa kimia tertentu dalam tumbuhan tersebut dan dapat dikaitkan dengan aktivitas biologinya (Farnsworth, 1996).

  Golongan senyawa-senyawa organik yang perlu diskrining pada penelitian ini adalah:

1. Alkaloida

  Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Hampir semua alkaloida yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan biologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan.

  Alkaloida dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan seperti biji, daun, ranting dan kulit batang. Alkaloida umumnya ditemukan dalam kadar yang kecil dan harus dipisahkan dari campuran senyawa yang rumit yang berasal dari jaringan tumbuhan (Lenny, 2006).

  Alkaloida pada umumnya merupakan senyawa padat, berbentuk kristal atau amorf, tidak berwarna dan mempunyai rasa pahit. Dalam bentuk bebas alkaloida merupakan basa lemah yang sukar larut dalam air tetapi mudah larut dalam pelarut organik. Untuk identifikasi biasanya dilakukan dengan menggunakan larutan pereaksi yang dapat membentuk endapan dengan alkaloida, misalnya pereaksi Meyer, Dragendroff dan lain-lain (Rusdi, 1998).

  Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan biologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan. Jenis dan konsentrasi alkaloid dapat menjadi sangat beracun, salah satu jenis alkaloid yang beracun adalah nikotin. Alkaloid memiliki kegunaan dalam bidang medis, antara lain sebagai analgetika dan narkotika, mengubah kerja jantung, penurun tekanan darah, obat asma, sebagai antimalari, stimulan uterus, dan anastesi lokal (Sirait 2007).

  Glikosida Glikosida merupakan suatu senyawa yang bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon atau genin). Kegunaan glikosida bagi tanaman yaitu sebagai cadangan gula untuk sementara, menjaga diri terhadap hama dan penyakit, mencegah saingan dari tanaman lain, pengatur turgor dan mencegah keracunan (Sirait, 2007).

  Pengelompokan glikosida berdasarkan ikatan antara glikon dan aglikon dapat dibagi menjadi empat, yaitu: a.

  Tipe O-heterosida atau O-glikosida, jika glikon dan aglikonnya dihubungkan oleh atom O, contohnya : salisin.

  b.

  Tipe S-heterosida atau S-glikosida, jika glikon dan aglikonnya dihubungkan oleh atom S, contohnya : sinigrin.

  c.

  Tipe N-heterosida atau N-glikosida, jika glikon dan aglikonnya dihubungkan oleh atom N, contohnya nikleosidin dan kronotosidin.

  d.

  Tipe C-heterosida atau C-glikosida, jika glikon dan aglikonnya dihubungkan oleh atom C, contohnya : aloin dan viteksin (Sirait, 2007).

3. Flavanoid

  Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu dan biru dan sebagai zat warna kuning yang ditemukan pada tumbuhan (Lenny, tumbuhan mulai dari fungus hingga angiospermae. Flavanoida dalam tubuh bertindak menghambat enzim lipooksigenase yang berperan dalam biosintesis pereduksi yang baik sehingga akan menghambat reaksi oksidasi (Robinson, 1995).

  Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau dengan mengecualikan alga dan hornwort. Flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tubuh tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, nektar, bunga, buah dan biji ( Markham, 1988). Senyawa Flavonoid adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Cincin A memiliki karakterisasi bentuk hidroksilasi phloroglusinol atau resorsinol, dan cincin B biasanya 4,3,4 atau 3,4,5-terhidroksilasi (Sastrohamidjojo, 1996).

4. Steroida/triterpenoida

  Steroid adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklo pentana perhidrofenantren. Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Uji yang biasa digunakan adalah reaksi Liebermann-Burchard yang dengan kebanyakan triterpen dan steroida memberikan warna hijau-biru. Senyawa triterpenoid dan steroid berstruktur siklik dengan berbagai gugus fungsi yang melekat padanya, seperti gugus alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tidak berwarna, berbentuk kristal, sering kali memiliki titik leleh tinggi dan bersifat aktif optik Triterpenoid sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Triterpena tertentu menjadi terkenal karena rasanya, terutama kepahitannya (Harborne, 1987).

  Saponin Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida ataupun glikosida steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel darah merah. Pola glikosida saponin kadang-kadang rumit, banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat (Harborne, 1987). Saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan dapat menyebabkan bersin dan bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, banyak di antaranya digunakan sebagai racun ikan (Gunawan dan Mulyani, 2004).

6. Tanin

  Tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung silang proteina. Tanin tumbuhan dibagi menjadi dua golongan, yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Kadar tanin yang tinggi mempunyai arti penting bagi tumbuhan yakni pertahanan bagi tumbuhan dan membantu mengusir hewan pemakan tumbuhan. Tanin terkondensasi terdapat pada paku- pakuan, gimnospermae, dan angiospermae, sedangkan tanin terhidrolisis penyebarannya terbatas pada tumbuhan berkeping dua. Beberapa tanin terbukti mempunyai antioksidan dan menghambat pertumbuhan tumor (Harborne, 1987).

  Radikal Bebas

  Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif karena memiliki satu atau lebih elektron tak berpasangan pada orbital terluarnya.

  Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan bereaksi dengan molekul sekitarnya untuk memperoleh pasangan electron. Reaksi ini akan berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan akan menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan dini, serta penyakit degenerative lainnya. Tubuh memerlukan subtansi penting yaitu antioksidan yang mampu menangkap radikal bebas tersebut sehingga tidak dapat menginduksi suatu penyakit (Waji dan Andis, 2009). Radikal bebas dapat terbentuk dalam tubuh atau masuk melalui pernafasan, kondisi lingkungan yang tidak sehat dan makanan berlemak (Kumalaningsih, 2006).

  Radikal bebas memiliki reaktivitas yang tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh sifatnya yang segera menarik atau menyerang elektron di sekelilingnya. Senyawa radikal bebas juga dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal. Dampak kerja radikal bebas akan terbentuk radikal bebas yang berasal dari atom atau molekul yang elektronnya diambil untuk berpasangan dengan radikal sebelumnya, namun bila dua senyawa radikal bertemu elektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya bila senyawa bertemu dengan senyawa bukan radikal bebas, akan terjadi tiga kemungkinan yaitu: radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak berpasangan (reduktor) pada senyawa bukan radikal bebas, radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas, radikal

  Pembentukan radikal bebas dan reaksi oksidasi pada biomolekul akan berlangsung sepanjang hidup. Radikal bebas yang sangat berbahaya dalam

  nitrogen monooksida (NO), peroksidal (RO ), peroksinitrit (ONOO ), asam

  2

  hipoklorit (HOCl) dan hidrogen peroksida (H

  2 O 2 ) (Silalahi, 2006).

  Antioksidan

  Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan, membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen reaktif (Muchtadi 2001). Antioksidan merupakan subtansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein, dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang terdapat menimbulkan stres oksidatif. Ada beberapa bentuk antioksidan diantaranya vitamin, mineral, dan fitokimia. Berbagai tipe antioksidan bekerja bersama dalam melindungi sel normal dan menetralisir radikal bebas. Anti oksidan adalah suatu inhibitor yang bekerja menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif lebih stabil (Waji dan Andis, 2009).

  Irianti (2008) juga menyatakan bahwa antioksidan alami sebenarnya sudah sejak dahulu digunakan secara turun temurun, namun belum banyak diteliti aktivitas dan kandungan bioaktifnya. Misalnya saja daun gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) yang sudah dimanfaatkan tetapi belum begitu populer karena kurangnya informasi tentang kandungan senyawa-senyawa kimia dan kandungan biokaktifnya. dari jenis Gyrinops versteegii mengandung senyawa metabolit sekunder flavonoid, terpenoid dan senyawa fenol. Hasil uji fitokimia daun gaharu (Gyrinops versteegii) dapat dilihat pada Tabel 1: Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia daun Gaharu (Gyrinops versteegii)

  Hasil Pengamatan No Pereaksi Keterangan Perubahan warna larutan setelah + pereaksi

  (+) Mengandung

  1 Willstater Coklat muda menjadi kuning muda Flavonoid (+) Mengandung

  2 NaOH 10% Coklat muda menjadi kuning Flavonoid (-) Mengandung

  3 Meyer Tak terjadi perubahan/tak timbul endapan Alkaloid Leiberman-

  (+) Mengandung

  4 Coklat muda menjadi merah muda Burchard Terpenoid

  • Air lalu Tidak Timbul Buih yang stabil selama 5 (+) Mengandung

  5 dikocok menit Saponin (+) Mengandung 6 +FeCl Coklat muda menjadi coklat keunguan 3 senyawa Fenol (Mega dan Swastini (2010).

  Hasil uji fitokimia yang dilakukan Mega dan Swastini (2010), diketahui bahwa senyawa-senyawa metabolit sekunder tersebut yang diperkirakan mempunyai aktivitas sebagai antiradikal bebas.

  Bila produksi radikal bebas dalam tubuh terus meningkat karena pengaruh eksternal, sistem pertahanan antioksidan tubuh tidak akan efektif lagi bekerja sebagai pelindung serangan radikal bebas sehingga terjadi stres oksidatif, untuk mencegah terjadinya stres oksidatif diperlukan suplemen antioksidan. Antioksidan juga sering diistilahkan sebagai peredam dan pemerangkap (scavenger) radikal bebas yaitu molekul yang dapat bereaksi dengan radikal bebas dan berfungsi

  Sumber Antikoksidan

  Bahan pangan yang dapat menjadi sumber antioksidan alami, misalnya protein. Kebanyakan sumber antioksidan alami adalah tumbuhan dan umumnya merupakan senyawa fenolik yang tersebar di seluruh bagian tumbuhan baik di kayu, biji, daun, buah, akar, bunga maupun serbuk sari (Sarastani, dkk. 2002).

  Senyawa fenolik atau polifenolik antara lain dapat berupa golongan flavonoid. Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan telah banyak diteliti belakangan tahun ini, dimana flavonoid memiliki kemampuan untuk merubah atau mereduksi radikah bebas dan juga sebagai anti radikal bebas (Giorgio, 2000).

  Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin dan tokoferol. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, katekin, flavanon dan kalkon. Senyawa antioksidan alami polifenolik dapat bereaksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas, pengkelat logam dan peredam terbentuknya singlet oksigen (Kumalaningsih, 2006).