KEWAJIBAN SUAMI DAN ISTRI DALAM RUMAH

KEWAJIBAN SUAMI DAN ISTRI
DALAM RUMAHTANGGA

Kewajiban Istri
Pasutri pasti selalu menginginkan keluarganya terus tentram dan langgeng. Namun
kadang yang terjadi di tengah-tengah pernikahan adalah pertengkaran dan perselisihan. Ini
boleh jadi karena tidak mengetahui manakah yang menjadi hak atau kewajiban dari masingmasing pasutri. Oleh karena itu, mengetahui kewajiban suami atau kewajiban istri sangatlah
penting. Sehingga istri atau suami masing-masing mengetahui manakah tugas yang mesti ia
emban dalam rumah tangga. Kali inirumaysho.com akan mengulas bahasan kewajiban istri.
Namun jangan khawatir, untuk kewajiban suami masih tetap ada setelah bahasan untuk istri
selesai. Allahumma yassir wa a’in.
Keagungan Hak Suami
Hak suami yang menjadi kewajiban istri asalnya dijelaskan dalam ayat berikut ini,
َ ‫ض َل‬
ٌ َ‫َات َحافِظ‬
ٌ ‫ات قَانِت‬
ُ ‫ْض َوبِ َما أَ ْنفَقُوا ِم ْن أَ ْم َوالِ ِه ْم فَالصَالِ َح‬
َ َ‫ال ِر َجا ُل قَوَا ُمونَ َعلَى النِ َسا ِء بِ َما ف‬
‫ب بِ َمََا‬
َ ‫اُ بَ ْع‬
ِ ‫ات لِ ْل َغ ْي‬

ٍ ‫ضهُ ْم َعلَى بَع‬
َ َ‫َحفِظ‬
َ ‫اُ َو‬
‫ضا ِج ِع َواضْ ِربُوه َُن فَإ ِ ْن أَطَ ْعنَ ُك ْم فَ َل تَ ْب ُغوا َعلَ ْي ِه َن َسبِ ل‬
‫يل‬
َ ‫اللتِي تَ َخافُونَ نُ ُشو َزه َُن فَ ِعظُوه َُن َوا ْه ُجرُوه َُن فِي ْال َم‬
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lakilaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya.” (QS. An Nisa’: 34)

Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah besar sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
َ ‫ت النِ َسا َء أَ ْن يَ ْس ُج ْدنَ لَ ْز َوا ِج ِه َن لِ َما َج َع َل‬
ُ ْ‫ت آ ِمرلا أَ َحدلا أَ ْن يَ ْس ُج َد لَ َح ٍد لَ َمر‬
ُ ‫لَوْ ُك ْن‬
ِ ‫اُ لَهُ ْم َعلَ ْي ِه َن ِمنَ ْال َح‬

‫ق‬
“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku
akan memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan
begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi
no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Ketaatan seorang istri pada suami termasuk sebab yang menyebabkannya masuk
surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ ‫ت فَرْ َجهَا َوأَطَاع‬
ْ َ‫ت َش ْه َرهَا َو َحفِظ‬
ْ ‫صا َم‬
‫ت‬
َ ‫ت ْال َمرْ أَةُ َخ ْم َسهَا َو‬
َ ‫إِ َذا‬
ِ ‫ب ْال َجنَ ِة ِش ْئ‬
ِ ‫َت َزوْ َجهَا قِي َل لَهَا ا ْد ُخلِى ْال َجنَةَ ِم ْن أَىِ أَب َْوا‬
ِ َ‫صل‬
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan
Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar
taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah

dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu
Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
‫وليس على المرأة بعد حق ا ورسوله أوجب من حق الزوج‬
“Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan
Rasul-Nya- daripada hak suami” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 260)
Jika kewajiban istri pada suami adalah semulia itu, maka setiap wanita punya
keharusan mengetahui hak-hak suami yang harus ia tunaikan.

Berikut adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi kewajiban istri:
Pertama: Mentaati perintah suami
Istri yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak membangkang yang membuat
suami benci, itulah sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
َ ‫صلَى‬
َ ‫قِي َل لِ َرسُو ِل‬
‫اُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم أَيُ النِ َسا ِء َخ ْي ٌر قَا َل الَتِي تَسُرُ هُ إِ َذا نَظَ َر َوتُ ِطي ُعهُ إِ َذا أَ َم َر َو َل تُخَالِفُهُ فِي نَ ْف ِسهَا َو َمالِهَََا بِ َمََا‬
َ ِ‫ا‬
ُ‫يَ ْك َره‬
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang
paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya,

mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga
membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Begitu pula tempat seorang wanita di surga ataukah di neraka dilihat dari sikapnya
terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.
Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan
tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
ْ َ‫ت لَهُ؟ قَال‬
ْ َ‫ت؟ قَال‬
ُ ‫ َما آلُوْ هُ إِلَ َما َع َج ْز‬:‫ت‬
ُ ‫أَ َذ‬
‫ك‬
ِ ُ‫ فَإنَ َما هُ َو َجنَت‬،ُ‫ت ِم ْنه‬
ِ ‫ فَا ْنظُ ِريْ أينَ أَ ْن‬:‫ قَا َل‬.ُ‫ت َع ْنه‬
ِ ‫ َك ْيفَ أَ ْن‬:‫ قَا َل‬.‫ نَ َع ْم‬:‫ت‬
ِ ‫ج أَ ْن‬
ٍ ْ‫ات زَ و‬
‫ك‬
ِ ‫َونَا ُر‬

“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana
(sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia
menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak
mampu.”

Rasulullah shallallahu

‘alaihi

wa

sallam bersabda,

“Lihatlah

di

mana

keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan

nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al
Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933)

Namun ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami untuk
tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria lain, meninggalkan shalat lima waktu, atau
bersetubuh di saat haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ُوف‬
ِ ‫ إِنَ َما الطَا َعةُ فِى ْال َم ْعر‬، ‫صيَ ٍة‬
ِ ‫لَ طَا َعةَ فِى َم ْع‬
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang
ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan,
ِ‫صيَ ِة ا‬
ِ ‫ق فِي َم ْع‬
ٍ ْ‫لَ طَا َعةَ لِ َم ْخلُو‬
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad 1: 131.
Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Kedua: Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan izin suami
Allah Ta’ala berfirman,

‫َوقَرْ نَ فِي بُيُوتِ ُك َن َو َل تَبَرَجْ نَ تَبَرُ َج ْال َجا ِهلِيَ ِة ْالُولَى‬
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri
keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun
untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri
keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar
rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat
kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa,
32: 281)

Ketiga: Taat pada suami ketika diajak ke ranjang
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ َ‫إِ َذا َدعَا ال َر ُج ُل ا ْم َرأَتَهُ إِلَى فِ َرا ِش ِه فَأَب‬
‫ت أَ ْن تَ ِجى َء لَ َعنَ ْتهَا ْال َملَئِ َكةُ َحتَى تُصْ بِ َح‬
“Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka
malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no.
1436).
Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,

‫ضى َع ْنهَا‬
َ ْ‫اشهَا فَتَأْبَى َعلَ ْي ِه إِلَ َكانَ الَ ِذي فِي ال َس َما ِء َسا ِخطلا َعلَ ْيهَا َحتَى يَر‬
ِ ‫َوالَ ِذي نَ ْف ِسي بِيَ ِد ِه َما ِم ْن َر ُج ٍل يَ ْدعُو ا ْم َرأَتَهُ إِلَى فِ َر‬
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya
ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk
langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim no.
1436)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi
ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur karena suami masih bisa
menikmati istri di atas kemaluannya” (Syarh Shahih Muslim, 10: 7). Namun jika istri ada
halangan, seperti sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi
hal ini.
Keempat: Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami
Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,
َ ‫اِ َوا ْستَحْ لَ ْلتُ ْم فُرُو َجه َُن بِ َكلِ َم ِة‬
َ ‫اَ فِى النِ َسا ِء فَإِنَ ُك ْم أَخ َْذتُ ُموه َُن بِأ َ َما ِن‬
َ ‫فَاتَقُوا‬
ُ‫اِ َولَ ُك ْم َعلَ ْي ِه َن أَ ْن لَ يُو ِط ْئنَ فُ ُر َش ُك ْم أَ َحدلا تَ ْك َرهُونَه‬
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya
kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan

mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh

mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR.
Muslim no. 1218)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ َ‫ َو َما أَ ْنفَق‬، ‫َ َولَ تَأْ َذنَ فِى بَ ْيتِ ِه إِلَ بِإ ِ ْذنِ ِه‬،‫لَ يَ ِحلُ لِ ْل َمرْ أَ ِة أَ ْن تَصُو َم َو َزوْ ُجهَا َشا ِه ٌد إِلَ بِإ ِ ْذنِ ِه‬
‫َر ِه فَإِنَهُ يُ َ َؤ َدى‬
ِ َ‫َر أَ ْم‬
ِ َ‫ت ِم ْن نَفَقَ ٍة ع َْن َغ ْي‬
ْ ‫إِلَ ْي ِه َش‬
‫طرُه‬
“Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali
dengan izinnya. Dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin
darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami
mendapat setengah pahalanya”. (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Hurairah,
‫ت زَ وْ ِجهَا َوهُ َو َشا ِه ُد إِلَ بِإ ِ ْذنِ ِه‬
ِ ‫لَ تَأْ َذنُ ال َمرْ أَةُ فِي بَ ْي‬
“Tidak boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya
sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata

Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Hadits di atas dipahami jika tidak diketahui ridho suami ketika ada orang lain yang masuk.
Adapun jika seandainya suami ridho dan asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka
tidaklah masalah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)
Kelima: Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami
Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk melaksanakan
puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam
hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫لَ يَ ِحلُ لِ ْل َمرْ أَ ِة أَ ْن تَصُو َم َو َزوْ ُجهَا َشا ِه ٌد إِلَ بِإ ِ ْذنِ ِه‬

“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak
bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh lainnya disebutkan,
َ‫ضان‬
َ ‫لَ تَصُو ُم ْال َمرْ أَةُ َوبَ ْعلُهَا َشا ِه ٌد إِلَ بِإ ِ ْذنِ ِه َغ ْي َر َر َم‬
“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang
ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi
dalam Al Majmu’ 6: 392 mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat
Bukhari dan Muslim”)

Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho
suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di atas dimaksudkan
untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya. Menurut ulama
Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram.” (Syarh
Shahih Muslim, 7: 115)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa izin
suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya
adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk
menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami. … Hadits ini menunjukkan
diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami. Demikianlah pendapat mayoritas
ulama.” (Fathul Bari, 9: 295)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang wanita menjalankan puasa (selain
puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia telah melakukan
keharaman.

Demikian

pendapat

mayoritas

fuqoha.

Ulama

Hanafiyah

menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan seperti itu haram jika
puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya tidak berulang kali (artinya, memiliki
batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arofah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan

Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali jika memang suami melarangnya.”
(Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam: (1) puasa sunnah yang
tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis[1]), (2) puasa wajib yang
masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’
puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya.[2]
Jika Suami Tidak di Tempat
Berdasarkan pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di tempat, maka istri
tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin melakukan puasa sunnah. Keadaan yang
dimaksudkan seperti ketika suami sedang bersafar, sedang sakit, sedang berihrom atau
suami sendiri sedang puasa (Lihat Fathul Bari, 9: 296 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28:
99) Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin melakukan jima’ (hubungan badan).
Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu pula ketika suami sedang puasa. Inilah yang
dimaksud kondisi suami tidak di tempat.
Hikmah Mengapa Harus dengan Izin Suami
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang menerangkan
masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada
menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu
kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang
sifatnya sunnah.” (Fathul Bari, 9/296)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di
atas adalah karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen)
bersama pasangannya setiap harinya. Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia
melakukan puasa sunnah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.” (Syarh
Shahih Muslim, 7: 115)

[1] Puasa senin kamis bisa saja dilaksanakan di minggu-minggu berikutnya. Jadi waktunya
begitu longgar.
[2] Ini berarti kalau puasanya adalah puasa Syawal, maka boleh tanpa izin suami karena
puasa Syawal adalah puasa yang memiliki batasan waktu tertentu hanya di bulan Syawal
Keenam: Tidak menginfakkan harta suami kecuali dengan izinnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ ِ‫لَ تُ ْنف‬
‫ت زَ وْ ِجهَا إِلَ بِإ ِ ْذ ِن َزوْ ِجهَا‬
ِ ‫ق ا ْم َرأَةٌ َش ْيئلا ِم ْن بَ ْي‬
“Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izin
suaminya” (HR. Tirmidzi no. 670. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Ketujuh: Berkhidmat pada suami dan anak-anaknya
Semestinya seorang istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan
oleh istri-istri shalihah dari kalangan shahabiyah seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi
Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair
ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi
makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung
untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak
tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh[1].” (HR. Bukhari no. 5224 dan
Muslim no. 2182)
Demikian pula khidmat Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah
suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sampai-sampai kedua tangannya lecet
karena menggiling gandum. (HR. Bukhari no. 5361 dan Muslim no. 2182)
Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu,
menikahi seorang janda agar bisa berkhidmat padanya dengan mengurusi 7 atau 9 saudara
perempuannya yang masih belia. Kata Jabir kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ayahku, Abdullah, telah wafat dan ia meninggalkan banyak anak perempuan. Aku tidak

suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku
pun

menikahi

seorang

wanita

yang

bisa

mengurusi

dan

merawat

mereka.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Jabir,
– ‫ خَ ْيرلا‬: ْ‫ك – أَو‬
َ َ‫ك ا ُ ل‬
َ ‫فَبا َ َر‬
“Semoga Allah memberkahimu.” Atau beliau berkata, “Semoga kebaikan untukmu.” (HR.
Muslim no. 715)
Kedelapan: Menjaga kehormatan, anak dan harta suami
Allah Ta’ala berfirman,
َ َ‫ب بِ َما َحفِظ‬
ٌ َ‫َات َحافِظ‬
ٌ ‫ات قَانِت‬
ُ ‫فَالصَالِ َح‬
ُ‫ا‬
ِ ‫ات لِ ْل َغ ْي‬
“Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada” (QS. An Nisa’: 34). Ath Thobari mengatakan dalam kitab tafsirnya (6:
692), “Wanita tersebut menjaga dirinya ketika tidak ada suaminya, juga ia menjaga kemaluan
dan harta suami. Di samping itu, iawajib menjaga hak Allah dan hak selain itu.”
Kesembilan: Bersyukur dengan pemberian suami
Seorang istri harus pandai-pandai berterima kasih kepada suaminya atas semua yang telah
diberikan suaminya kepadanya. Bila tidak, si istri akan berhadapan dengan ancaman neraka
Allah Ta’ala.
Seselesainya dari shalat Kusuf (shalat Gerhana), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau ketika shalat,
ُ َ‫ْت النَا َر فَلَ ْم أَ َر َك ْاليَوْ ِم َم ْنظَرلا ق‬
ُ ‫ط َو َرأَي‬
ُ ‫َو َرأَي‬
:‫ يَ ْكفُرْ نَ بِالِ؟ قَََا َل‬:‫ قِي َْل‬.‫ بِ ُك ْف ِر ِه َن‬:‫ال‬
َ َ‫ لِ َم يَا َرسُوْ َل اِ؟ ق‬:‫ قَالُوا‬.‫ْت أَ ْكثَ َر أَ ْهلِهَا النِ َسا َء‬
َ
ُ َ‫ك خَ ْيرلا ق‬
ْ َ‫ك َش ْيئلا قَال‬
ْ َ‫ ثُ َم َرأ‬،‫لى إِحْ دَاه َُن ال َد ْه َر‬
ُ ‫ َما َرأَي‬:‫ت‬
‫ط‬
َ ‫ْت ِم ْن‬
َ ‫ت ِم ْن‬
َ ِ‫ لَوْ أحْ َس ْنتَ إ‬، َ‫يَ ْكفُرْ نَ ْال َع ِش ْي َر َويَ ْكفُرْ نَ ْا ِلحْ َسان‬
“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari
ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya,
“Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau

menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah
para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan) mereka kufur
kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada
salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada
sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum
pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari no. 5197 dan Muslim no. 907). Lihatlah
bagaimana kekufuran si wanita cuma karena melihat kekurangan suami sekali saja, padahal
banyak kebaikan lainnya yang diberi. Hujan setahun seakan-akan terhapus dengan kemarau
sehari.
Kesepuluh: Berdandan cantik dan berhias diri di hadapan suami
Sebagian istri saat ini di hadapan suami bergaya seperti tentara, berbau arang (alias: dapur)
dan jarang mau berhias diri. Namun ketika keluar rumah, ia keluar bagai bidadari. Ini
sungguh terbalik. Seharusnya di dalam rumah, ia berusaha menyenangkan suami.
Demikianlah yang dinamakan sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia
berkata,
َ ‫صلَى‬
َ ‫قِي َل لِ َرسُو ِل‬
‫اُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم أَيُ النِ َسا ِء َخ ْي ٌر قَا َل الَتِي تَسُرُ هُ إِ َذا نَظَ َر َوتُ ِطي ُعهُ إِ َذا أَ َم َر َو َل تُخَالِفُهُ فِي نَ ْف ِسهَا َو َمالِهَََا بِ َمََا‬
َ ِ‫ا‬
ُ‫يَ ْك َره‬
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang
paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya,
mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga
membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Kesebelas: Tidak mengungkit-ngungkit pemberian yang diinfakkan kepada suami dan
anak-anaknya dari hartanya
Allah Ta’ala berfirman,
‫ص َدقَاتِ ُك ْم بِ ْال َمنِ َو ْالَ َذى‬
َ ‫يَا أَيُهَا الَ ِذينَ آَ َمنُوا َل تُ ْب ِطلُوا‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” (QS. Al Baqarah: 264).
Keduabelas: Ridho dengan yang sedikit, memiliki sifat qona’ah (merasa cukup) dan
tidak membebani suami lebih dari kemampuannya
Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫اُ نَ ْفسلا إِ َل َما آَتَاهَا َسيَجْ َع ُل‬
َ ُ‫اُ َل يُ َكلِف‬
َ ُ‫لِيُ ْنفِ ْق ُذو َس َع ٍة ِم ْن َس َعتِ ِه َو َم ْن قُ ِد َر َعلَ ْي ِه ِر ْزقُهُ فَ ْليُ ْنفِ ْق ِم َما آَتَاه‬
‫ْر يُ ْسرلا‬
ٍ ‫اُ بَ ْع َد ُعس‬
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang
Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
(QS. Ath Tholaq: 7)
Ketigabelas: Tidak menyakiti suami dan tidak membuatnya marah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ َ‫لَ تُ ْؤ ِذي ا ْم َرأَةٌ زَ وْ َجهَا فِي ال ُد ْنيَا إِلَ قَال‬
ُ َ ‫ك د َِخ ْيَ ٌل يُوْ ِش‬
‫ك أَ ْن‬
َ ‫َو ِع ْنَ َد‬
ِ ََ‫ قَاتَل‬, ‫ لَ تُ ْؤ ِذ ْي ِه‬: ‫ت زَ وْ َجتُهُ ِمنَ ْالحُوْ ِر ْال ِع ْي ِن‬
َ َُ‫ فَإِنَ َمََا ه‬, ُ‫ك ا‬
‫ك إِلَ ْينَا‬
ِ َ‫ارق‬
ِ َ‫يُف‬
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari kalangan
bidadari akan berkata, “Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah memusuhimu. Dia
(sang suami) hanyalah tamu di sisimu; hampir saja ia akan meninggalkanmu menuju kepada
kami”. (HR. Tirmidzi no. 1174 dan Ahmad 5: 242. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih)
Keempatbelas: Berbuat baik kepada orang tua dan kerabat suami
Kelimabelas: Terus ingin hidup bersama suami dan tidak meminta untuk ditalak
kecuali jika ada alasan yang benar
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ َ‫أَيُ َما ا ْم َرأَ ٍة َسأَل‬
. ‫الجنَ ِة‬
َ ‫ت زَ وْ َجهَا الطَ َل‬
َ ُ‫س فَ َح َرا ٌم َعلَ ْيهَا َرائِ َحة‬
ٍ ْ‫ق فِي َغي ِْر َما بَأ‬
“Wanita mana saja yang meminta talak kepada suaminya tanpa ada alasan (yang
dibenarkan oleh syar’i), maka haram baginya mencium wangi surga.” (HR. Tirmidzi no.
1199, Abu Daud no. 2209, Ibnu Majah no. 2055. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih)
Keenambelas: Berkabung ketika meninggalnya suami selama 4 bulan 10 hari
Allah Ta’ala berfirman,
‫َاح َعلَ ْي ُك ْم فِي َمََا فَ َع ْلنَ فِي‬
َ ََ‫َوالَ ِذينَ يُتَ َوفَوْ نَ ِمن ُك ْم َويَ َذ ُرونَ أَ ْز َواجلا يَت ََربَصْ نَ بِأَنفُ ِس ِه َن أَرْ بَ َعةَ أَ ْشه ٍُر َو َع ْش لرا فَإ ِ َذا بَلَ ْغنَ أَ َجلَه َُن فَ َل ُجن‬
‫وف َواللََهُ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِي ٌر‬
ِ ‫أَنفُ ِس ِه َن بِ ْال َم ْع ُر‬
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234)
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ِ‫لَ يَ ِحلُ ِل ْم َرأَ ٍة تُ ْؤ ِمنُ ب‬
‫ج أَرْ بَ َعةَ أَ ْشه ٍُر َو َع ْشرلا‬
َ ْ‫ت فَو‬
ٍ ِ‫الِ َو ْاليَوْ ِم اخ ِخ ِر أَ ْن تُ ِح َد َعلَى َمي‬
ِ َ‫ق ثَل‬
ٍ ْ‫ إِلَ َعلَى زَ و‬، ‫ث لَيَا ٍل‬
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya,
yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491)[2]
Supaya mengimbangi pembahasan ini, nantikan bahasan mengenai kewajiban suami yang
menjadi hak istri. Semoga Allah mudahkan untuk menyusunnya.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 26 Shafar 1433 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

[1] 1 farsakh kurang lebih 8 km atau 3,5 mil
[2] Bahasan kali ini dikembangkan dari Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 3: 192-197.
Kewajiban Suami
Kesempatan yang lalu, telah diangkat mengenai kewajiban istri di web Muslim.Or.Idtercinta
ini. Saat ini, giliran suami pun harus mengetahui kewajibannya. Apa saja kewajiban suami,
berkaitan dengan berbuat baik pada istri dan kewajiban nafkah, akan diulas secara sederhana
dalam tulisan kali ini. Moga dengan mengetahui hal ini pasutri semakin lekat kecintaannya,
tidak penuh ego dan semoga hubungan mesta tetap langgeng.
Pertama: Bergaul dengan istri dengan cara yang ma’ruf (baik)
Yang dimaksud di sini adalah bergaul dengan baik, tidak menyakiti, tidak menangguhkan hak
istri padahal mampu, serta menampakkan wajah manis dan ceria di hadapan istri.
Allah Ta’ala berfirman,
‫ُوف‬
ِ ‫َوعَا ِشرُوه َُن بِ ْال َم ْعر‬
“Dan bergaullah dengan mereka dengan baik.” (QS. An Nisa’: 19).
‫ُوف‬
ِ ‫َولَه َُن ِم ْث ُل الَ ِذي َعلَ ْي ِه َن بِ ْال َم ْعر‬
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫خَ ْي ُر ُك ْم َخ ْي ُر ُك ْم لَ ْهلِ ِه َوأَنَا خَ ْي ُر ُك ْم لَ ْهلِى‬
“Sebaik-baik kalian adalah yan berbuat baik kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah
orang yang paling berbuat baik pada keluargaku” (HR. Tirmidzi no. 3895, Ibnu Majah no.
1977, Ad Darimi 2: 212, Ibnu Hibban 9: 484. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata mengenai surat An Nisa’ ayat 19 di atas, “Berkatalah yang
baik kepada istri kalian, perbaguslah amalan dan tingkah laku kalian kepada istri. Berbuat
baiklah sebagai engkau suka jika istri kalian bertingkah laku demikian.” (Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, 3: 400)
Berbuat ma’ruf adalah kalimat yang sifatnya umum, tercakup di dalamnya seluruh hak
istri. Nah, setelah ini akan kami utarakan berbagai bentuk berbuat baik kepada istri.
Penjelasan ini diperinci satu demi satu agar lebih diperhatikan para suami.
Kedua: Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal dengan baik
Yang dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anakanaknya berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah seperti ini adalah
kewajiban suami berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits, ijma’ dan logika.
Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
َ ُ‫اُ َل يُ َكلِف‬
َ ُ‫لِيُ ْنفِ ْق ُذو َس َع ٍة ِم ْن َس َعتِ ِه َو َم ْن قُ ِد َر َعلَ ْي ِه ِر ْزقُهُ فَ ْليُ ْنفِ ْق ِم َما آَتَاه‬
‫اُ نَ ْفسلا إِ َل َما آَتَاهَا‬
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang
Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).
‫ُوف‬
ِ ‫َو َعلَى ْال َموْ لُو ِد لَهُ ِر ْزقُه َُن َو ِك ْس َوتُه َُن بِ ْال َم ْعر‬

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf”
(QS. Al Baqarah: 233).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang
ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang
dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya
tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai
kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).
Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika haji wada’,
ْ ََ‫اَ فِى النِ َس َا ِء فَ َإِنَ ُك ْم أَخ‬
َ ‫اس َتَحْ لَ ْلتُ ْم فُ َرُو َجه َُن بِ َكلِ َمَ ِة‬
َ ‫َذتُ ُموه َُن بِأ َ َمََا ِن‬
َ ‫فَََاتَقُوا‬
َ ‫اِ َولَ ُك ْم َعلَ ْي ِه َن أَ ْن لَ يََُو ِط ْئنَ فُر‬
ْ ‫اِ َو‬
‫ُش َ ُك ْم أَ َحَ دلا‬
‫ُوف‬
َ ِ‫ فَإ ِ ْن فَ َع ْلنَ َذل‬.ُ‫تَ ْك َرهُونَه‬
َ ‫ك فَاضْ ِربُوه َُن‬
ِ ‫ح َولَه َُن َعلَ ْي ُك ْم ِر ْزقُه َُن َو ِك ْس َوتُه َُن بِ ْال َم ْعر‬
ٍ ‫ضرْ بلا َغ ْي َر ُمبَ ِر‬
“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian
sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan
kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh
permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan
demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri
kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim
no. 1218).
Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
ْ ُ‫أَ ْن ت‬
‫ت‬
ِ ‫ب ْال َوجْ هَ َولَ تُقَبِحْ َولَ تَ ْهجُرْ إِلَ فِى ْالبَ ْي‬
ِ ‫ط ِع َمهَا إِ َذا طَ ِع ْمتَ َوتَ ْكس َُوهَا إِ َذا ا ْكتَ َسيْتَ – أَ ِو ا ْكتَ َسبْتَ – َولَ تَضْ ِر‬
“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian
sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul
istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya

(dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang
pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku
mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
‫ُوف‬
ِ ‫َك بِ ْال َم ْعر‬
ِ ‫ك َو َولَد‬
ِ ‫ُخ ِذى َما يَ ْكفِي‬
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar
sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Lalu berapa besar nafkah yang menjadi kewajiban suami?
Disebutkan dalam ayat,
َ ُ‫لِيُ ْنفِ ْق ُذو َس َع ٍة ِم ْن َس َعتِ ِه َو َم ْن قُ ِد َر َعلَ ْي ِه ِر ْزقُهُ فَ ْليُ ْنفِ ْق ِم َما آَتَاه‬
ُ‫ا‬
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).
ُ‫َعلَى ْال ُمو ِس ِع قَ َد ُرهُ َو َعلَى ْال ُم ْقتِ ِر قَ َد ُره‬
“Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula)” (QS. Al Baqarah: 236).
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hindun,
‫ُوف‬
ِ ‫َك بِ ْال َم ْعر‬
ِ ‫ك َو َولَد‬
ِ ‫ُخ ِذى َما يَ ْكفِي‬
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar
sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah:
1.

Mencukupi istri dan anak dengan baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan
zaman.

2.

Dilihat dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam
rizki ataukah tidak.
Termasuk dalam hal nafkah adalah untuk urusan pakaian dan tempat tinggal bagi istri.
Patokannya adalah dua hal yang disebutkan di atas.
Mencari nafkah bagi suami adalah suatu kewajiban dan jalan meraih pahala. Oleh karena itu,
bersungguh-sungguhlah menunaikan tugas yang mulia ini.
Masih ada beberapa hal terkait kewajiban suami yang belum dibahas. Insya Allah akan
berlanjut pada tulisan berikutnya.
Ketiga: Meluangkan waktu untuk bercanda dengan istri tercinta
Inilah yang dicontohkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang
diceritakan oleh istri beliau, ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha,
ْ َ‫ فِى َسفَ ٍر قَال‬-‫صلى ا عليه وسلم‬- ‫َت َم َع النَبِ ِى‬
ْ ‫أَنَهَا َكان‬
ُ ‫ى فَلَ َما َح َم ْل‬
« ‫َال‬
َ ََ‫ت اللَحْ َم َسابَ ْقتُهُ فَ َسَبَقَنِى فَق‬
َ َ‫ت فَ َسابَ ْقتُهُ فَ َسبَ ْقتُهُ َعلَى ِرجْ ل‬
.» ‫ك ال َس ْبقَ ِة‬
َ ‫هَ ِذ ِه بِتِ ْل‬
Ia pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. ‘Aisyah lantas berlomba
lari bersama beliau dan ia mengalahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala ‘Aisyah
sudah bertambah gemuk, ia berlomba lari lagi bersama Rasulshallallahu ‘alaihi wa sallam,
namun kala itu ia kalah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini balasan
untuk kekalahanku dahulu.” (HR. Abu Daud no. 2578 dan Ahmad 6: 264. Syaikh Al Albani
mengatakan

bahwa hadits ini shahih).

Nabishallallahu

‘alaihi

wa

menyempatkan diri untuk bermain dan bersenda gurau dengan istrinya tercinta.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

sallam masih

ُ ‫َرأَي‬
‫ َحتَى أَ ُكََونَ أَنَََا الَ ِذى‬، ‫ َوأَنَََا أَ ْنظَُ ُر إِلَى ْال َحبَ َشَ ِة يَ ْل َعبََُونَ فِى ْال َم ْسَ ِج ِد‬، ‫ى – صلى ا عليه وسََلم – يَ ْسَتُ ُرنِى بِ ِردَائِ ِه‬
َ ِ‫ْت النَب‬
‫ص ِة َعلَى اللَه ِْو‬
َ ‫اريَ ِة ْال َح ِديثَ ِة ال ِسنِ ْال َح ِري‬
ِ ‫ فَا ْق ُدرُوا قَ ْد َر ْال َج‬، ‫أَسْأ َ ُم‬
“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menutup-nutupi pandanganku dengan
pakaiannya, sementara aku melihat ke arah orang-orang Habasyah yang sedang bermain di
dalam Masjid sampai aku sendirilah yang merasa puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian
bisa seperti gadis belia yang suka bercanda” (HR. Bukhari no. 5236 dan Muslim no. 892).
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda sambil menutupnutupi pandangan istrinya yang ingin memandang seorang pemuda. Lihatlah candaan beliau
dan senda gurau kepada istrinya tercinta! Sebagai suami pernahkah kita seperti itu?
Keempat: Menyempatkan waktu untuk mendengar curhatan istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa duduk dan menyimak curhatan dan cerita
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sampai pun kisah itu panjang. Di antara cerita ‘Aisyah pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikisahkan dalam hadits yang lumayan panjang berikut
ini.
ْ َ‫ع َْن عَائِ َشةَ قَال‬
‫ار أَ ْز َوا ِج ِه َن َش ْيئلا‬
َ َ‫ت َجل‬
ِ َ‫س إِحْ دَى َع ْش َرةَ ا ْم َرأَةل فَتَ َعاهَ ْدنَ َوتَ َعاقَ ْدنَ أَ ْن لَ يَ ْكتُ ْمنَ ِم ْن أَ ْخب‬
Sebelas orang wanita berkumpul lalu mereka berjanji dan bersepakat untuk tidak
menyembunyikan sedikit pun cerita tentang suami mereka.
ْ
ٍ ‫ت الُوْ لَى َزوْ ِجي لَحْ ُم َج َم ٍل غ‬
‫س َجبَ ٍل لَ َس ْه َل فَيُرْ تَقَى َولَ َس ِم ْينَ فَيُ ْنتَقَ ُل‬
ِ َ‫قَال‬
ِ ‫َث َعلَى َرأ‬
Wanita pertama berkisah, “Sesungguhnya suamiku adalah daging unta yang kurus yang
berada di atas puncak gunung yang tanahnya berlumpur yang tidak mudah untuk didaki dan
dagingnya juga tidak gemuk untuk diambil.
[Maksud perkataan di atas: Si wanita memisalkan suaminya dengan daging yang kurus,
sedikit dagingnya. Lalu daging tersebut diletakkan di atas gunung yang terjal yang sulit
didaki. Daging unta berbeda dengan daging domba atau kambing yang terasa lebih enak.
Artinya, si istri ingin menyatakan sulitnya bergaul dengan suaminya. Ia tidak mengerti

bagaimana cara yang baik untuk berbicara dengan suaminya karena suaminya buruk
perangainya. Sudah dengan usaha keras, si istri ingin berhubungan baik dengan suaminya, ia
tidak bisa meraih dan bersenang-senang dengannya.]
ُ ‫ت الثَانِيَةُ َزوْ ِجي لَ أَب‬
ْ َ‫قَال‬
ُ‫ُث خَ بَ َرهُ إِنِي أَ َخافُ أَ ْن لَ أَ َذ َرهُ إِ ْن أَ ْذ ُكرْ هُ أَ ْذ ُكرْ ُع َج َرهُ َوبُ َج َره‬
Wanita kedua berkisah, “Mengenai suamiku, aku tidak akan menceritakannya karena jika
aku berkisah tentangnya aku khawatir aku (tidak mampu) meninggalkannya. Jika aku
menyebutkan tentangnya maka aku akan menyebutkan urat-uratnya yang muncul di tubuhnya
dan juga perutnya”.
[Maksud perkataan di atas: Ia mengisyaratkan bahwa suaminya itu penuh dengan ‘aib. Jika
diceritakan, ia khawatir tidak akan ada ujungnya kisah tentang suaminya karena saking
banyaknya ‘aib suaminya. Jika aibnya disebut maka akan nampak aib luar seperti urat di
badan dan dalam tubuhnya seperti urat di perut. Ada pula yang menafsirkan, jika si istri
menceritakan aib suaminya, maka ia khawatir akan berpisah darinya. Karena jika sampai
ketahuan, suaminya akan menceraikannya dan ia khawatir karena masih ada anak dan
hubungan dengan suaminya.]
ْ ‫ق إِ ْن أَ ْن ِط ْق أُطَلَ ْق َوإِ ْن أَ ْس ُك‬
ْ َ‫قَال‬
ُ َ‫ت الثَالِثَةُ َزوْ ِجي ْال َع َشن‬
‫ت أُعَلَ ْق‬
Wanita ketiga berkisah, “Suamiku tinggi, jika aku berucap maka aku akan dicerai, dan jika
aku diam maka aku akan tergantung”.
[Maksud perkataan di atas: Ia memaksudkan suaminya adalah suami yang berperangai buruk
atau ada yang mengatakan bahwa suaminya itu egois (mementingkan diri sendiri). Ia
mengetahui jika ia mengeluh kepada suaminya maka sang suami langsung menceraikannya.
Namun jika ia berdiam diri maka ia akan tersiksa karena seperti wanita yang tidak bersuami
padahal ia bersuami.]
َ‫ت الرَابِ َعةُ زَ وْ ِجي َكلَ ْي ِل تِهَا َمةَ لَ َح َر َولَ قَ َر َولَ َمخَافَةَ َولَ َسآ َمة‬
ِ َ‫قَال‬

Wanita keempat berkisah, “Suamiku seperti malam di Tihamah, tidak panas dan tidak
dingin, tidak ada ketakutan dan tidak ada rasa bosan”.
[Maksud perkataan di atas: Tihamah adalah suatu daerah yang ma’ruf. Malam di sana
seimbang (tidak panas dan tidak dingin), cuacanya bagus dan bersahabat. Jadi si wanita
menyifati suaminya yang pelembut dan berperangai baik. Si wanita selalu tentram, tidak
penuh kekhawatiran ketika berada di sisi suaminya. Suaminya tidak ada rasa bosan
dengannya. Istrinya merasakan keadaannya di sisi suaminya seperti keadaan penduduk
Tihamah, suaminya menikmati hubungan dengannya seperti kenikmatan di Tihamah yang
tidak panas dan tidak dingin serta dalam cuaca yang bersahabat.]
‫ت ْال َخا ِم َسةُ َزوْ ِجي إِ ْن َد َخ َل فَ ِه َد َوإِ ْن َخ َر َج أَ ِس َد َولَ يَسْأ َ ُل َع َما َع ِه َد‬
ِ َ‫قَال‬
Wanita kelima berkisah, “Suamiku jika masuk rumah seperti macan dan jika keluar maka
seperti singa dan tidak bertanya apa yang telah diperbuatnya (yang didapatinya)”.
[Maksud perkataan di atas: Cerita si wanita bisa jadi sebuah pujian, bisa jadi suatu celaan.
Apabila yang dimaksud adalah pujian, maka ada beberapa tafsiran. Tafsiran pertama,
suaminya disifatkan seperti macan karena biasa menundukkan dan menjima’ istrinya.
Aritnya, istrinya begitu disayangi sampai si suami tidak kuat tatkala memandangnya. Jika
keluar dari rumah, ia adalah seorang yang gagah seperti singa. Jika datang, ia biasa membawa
makanan, minuman dan pakaian, jangan ditanya di mana ia memperolehnya. Tafsiran kedua,
masih sebagai pujian. Jika ia memasuki rumah, seperti macan, yaitu ia tidak pernah
mengomentari apa yang terjadi di rumah, adakah yang cacat, dan tidak banyak komentar. Jika
ia keluar dari rumah, ia begitu perkasa seperti singa. Ia tidak banyak bertanya apa yang
terjadi. Maksudnya adalah si suami begitu bergaul dengan istri meskipun ia melihat
kekurangan yang nampak pada istrinya.
Adapun jika maksud perkataan si wanita adalah celaan, dapat ditafsirkan ia mensifati
suaminya ketika suaminya masuk ke dalam rumah seperti macan, yaitu bersikap kasar, tidak
ada muqoddimah atau ancang-ancang sebelum hubungan intim. Juga ia memaksudkan bahwa
suaminya memiliki perangai buruk, sering menyiksa dan memukulnya tanpa bertanya

padanya. Jika suaminya keluar dan istrinya dalam keadaan sakit lalu ia kembali, tidak ada
perhatiannya padanya dan anak-anaknya.]
َ َ‫ف لِيَ ْعلَ َم ْالب‬
َ ‫َف َولَ يُوْ لِ ُج ْال َك‬
َ ‫َف َوإِ ِن اضْ طَ َج َع ْالت‬
َ ‫ب ا ْشت‬
َ َ‫ت السَا ِد َسةُ زَ وْ ِجي إِ ْن أَ َك َل ل‬
‫ث‬
َ ‫ف َوإِ ْن َش ِر‬
ِ َ‫قَال‬
Wanita keenam berkisah, “Suamiku jika makan maka banyak menunya dan tidak ada
sisanya, jika minum maka tidak tersisa, jika berbaring maka tidur sendiri sambil
berselimutan, dan tidak mengulurkan tangannya untuk mengetahui kondisiku yang sedih”.
[Maksud perkataan di atas: Ia mensifati suaminya yang biasa menyantap makanan apa saja
dan banyak minum. Jika ia tidur, ia sering menjauh dari istrinya dan tidur sendirian. Ia pun
tidak berusaha mengetahui keadaan istrinya yang sedih. Intinya, ia menyifati suaminya
dengan banyak makan dan minum, serta sedikit jima’ (berhubungan intim). Ini menunjukkan
celaan.]
‫ك‬
ِ َ‫ك أَوْ َج َم َع ُكلًل ل‬
ِ َ‫ك أَوْ فَل‬
ِ ‫ت السَابِ َعةُ َزوْ ِجي َغيَايَا ُء أَوْ َعيَايَا ُء طَبَاقَا ُء ُكلُ دَا ٍء لَهُ دَا ٌء َش َج‬
ِ َ‫قَال‬
Wanita ketujuh berkisah, “Suamiku bodoh yang tidak pandai berjimak, semua penyakit
(aib) dia miliki, dia melukai kepalamu, melukai badanmu, atau mengumpulkan seluruhnya
untukmu”.
[Maksud perkataan di atas: Ia menjelaskan bahwa suaminya tidak kuat berhubungan intim
dengan istrinya. Jika ia berbicara, ia biasa menyakiti kepala. Jika ia berhubungan intim, ia
biasa memukul kepala dan melukai jasad.]
‫َب‬
َ ‫َب َوال ِر ْي ُح ِر ْي ُح زَرْ ن‬
َ ‫ت الثَا ِمنَةُ َزوْ ِجي ْال َمسُ َمسُ أَرْ ن‬
ِ َ‫قَال‬
Wanita kedelapan berkisah, “Suamiku sentuhannya seperti sentuhan kelinci dan baunya
seperti bau zarnab (tumbuhan yang baunya harum)”.
[Maksud perkataan di atas: Suaminya selalu bersikap lemah lembut dan bersikap baik pada
istrinya.]
‫ت ِمنَ النَا ِد‬
ِ ‫اس َعةُ َزوْ ِجي َرفِ ْي ُع ْال ِع َما ِد طَ ِو ْي ُل النِ َجا ِد َع ِظ ْي ُم ال َر َما ِد قَ ِريْبُ ْالبَ ْي‬
ِ َ‫ت الت‬
ِ َ‫قَال‬

Wanita kesembilan berkisah, “Suamiku tinggi tiang rumahnya, panjang sarung pedangnya,
banyak abunya, dan rumahnya dekat dengan bangsal (tempat pertemuan)”.
[Maksud perkataan di atas: Suaminya itu termasuk orang terpandang, banyak tamu yang
mengunjunginya sehingga ia pun biasa menyembelih hewan untuk menyambut tamunya. Ia
pun dianggap mulia oleh keluarganya. Suamiya pun biasa didatangi oleh orang-orang yang
ingin curhat berbagai masalah dan persoalan mereka. Ia terkenal dengan sifatnya yang mulia,
orang yang terpandangan, berakhlak mulia dan memiliki pergaulan yang baik dengan sesama]
ُ َ‫ك قَلِ ْيل‬
ُ ‫ك لََهُ إِبَِ ٌل َكثِ ْيَ َر‬
ٌ ِ‫ك َو َما َمال‬
ٌ ِ‫ت ْال َعا ِش َرةُ َزوْ ِجي َمال‬
ُ َ‫ك؟ َماِل‬
َ‫صَوْ ت‬
َ َِ‫ك خَ ْيََر ِم ْن َذل‬
َ َ‫ َوإِ َذا َسَ ِم ْعن‬،‫ح‬
ِ ‫َار‬
ِ َ‫قَال‬
ِ َ‫ت ْال َم َس‬
ِ ََ‫ات ْال َمب‬
ِ ‫ار‬
ُ ِ‫ْال ُم ْز ِه ِر أَ ْيقَ َن أَنَه َُن هَ َوال‬
‫ك‬
Wanita kesepuluh berkisah, “Suamiku (namanya) adalah Malik, dan siapakah gerangan si
Malik? Malik adalah lebih baik dari pujian yang disebutkan tentangnya. Ia memiliki unta
yang banyak kandangnya dan sedikit tempat gembalanya,