Objek Ilmu dalam Perpektif Islam

OBJEK ILMU
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Makalah untuk Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Oleh :
Aniq Darajat

FAKULTAS PASCASARCANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS IBNU KHALDUN BOGOR
1435 H / 2014 M

Pendahuluan
Konsep ilmu dalam Islam sangatlah khas, menunujukkan bahwa tradisi ilmu dalam Islam
sudah berkembang sejak awal turunnya Islam itu sendiri. Tradisi ilmu dalam Islam tidaklah
mengekor peradaban sebelumnya (Yunani, Romawi atau Persia) dan tidak pula hasil
sintesis dengan peradaban yang berkembang setelahnya.
Salah satu bukti yang menunjukkan kekhasan konsep Ilmu dalam Islam adalah
pembahasan tentang objek ilmu. Dari pembahasan

ini kita dapati bahwa terdapat


perbedaan mendasar antara objek ilmu dalam Islam dengan konsep tentang objek ilmu
dalam perspektif Barat.
Objek Ilmu dalam pandangan Ulama Islam
Untuk mengetahui perspektif Islam tentang objek ilmu, kita perlu merujuk kepada
pandangan para ulama Islam tentang objek ilmu tersebut. Pemahaman tentang objek ilmu
menurut para ulama Islam, dapat didekati dari penjelasan para ulama tersebut tentang
hakikat ilmu dan sumber-sumbernya. Penjelasan mengenai hal ini umumnya terdapat
dalam kitab-kitab ushul, para ulama menyebutnya dalam beberapa istilah: ushuluddin,
‘aqaid, ushulul fiqh.
Pembahasan tentang objek ilmu didahului tentang pandangan tentang realitas. Apa yang
disebut realitas? Apakah realitas itu dapat diketahui atau tidak? Pertanyaan-pertanyaan
telah dijawab dalam kitab-kitan klasik karya Ulama Islam
Pandangan Ulama Islam tentang Realitas
Realitas dalam Pandangan Imam An Nasafy
Imam An Nasafy rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya Al ‘Aqaid An Nasafiyyah:

2

Berkata Imam An Nasafy1:

“Para Ahlul Haq berkata: Hakikat dari segala sesuatu adalah pasti, dan ilmu tentangnya
adalah benar ada, berbeda dengan pendapat Sufasthaiyyah (kaum Sophist)2.
Dan sebab-sebab ilmu bagi makhluk ada tiga: Indera yang sehat, Khabar Shadiq, dan Akal.
Indra ada lima: pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa, dan peraba. Dengan setiap
indera mengenali (objek) yang terkait dengannya seperti pendengaran (untuk mengenali
suara), penciuman (untuk mengenali bau).
Khabar Shadiq terdiri dari dua jenis: pertama, khabar muatawatir, yakni khabar yang telah
pasti pada lisan kaum yang tidak mungkin bagi mereka bersepakat atas kedustaan. Khabar
ini berkonsekuensi adanya ilmu dharury3, seperti ilmu tentang kerajaan-kerajaan di masa
lampau dan negeri-negeri yang ada. Kedua, khabar dari Rasul yang diperkuat dengan
mu’jizat, dan ini menyebabkan adanya ilmu istidlaly, dan ilmu yang ditetapkan dengan hal
ini menyerupai ilmu dharury dalam keyakinan dan kepastian.
Adapun akal, maka dia menjadi sebab ilmu pula. Dan apa yang ditetapkan olehnya maka
bersifat dharury seperti ilmu bahwa segala sesuatu lebih besar ukurannya dari bagianbagiannya, sedangkan hal-hal yang ditetapkan oleh akal berdasarkan istidlal, maka dia
bersifat iktisaby”
Realitas dalam Pandangan Syed Muhammad Naquib Al Attas
Muhammad Naquib Al Attas membagi keberadaan (eksistensi) objek, ke dalam beberapa
tingkatan. Al Attas menyebutkan :

1 Belau adalah Imam Abu Hafsh Umar bin Muhammad An Nasafy Al Hanafi, wafat tahun 537 H. Lihat

Sa’duddin At Taftazzany (722-791 H), Syarh al ‘Aqaid an Nasafiyah tahqiq Dr. Ahmad Hijazy (Cairo,
Maktabah Kulliyyah Al Azhariyyah, 1408 H)
2 Di antara mereka ada yang mengingkari hakikat segala sesuatu, dan menyatakan bahwa itu semua adalah
waham dan khayalan batil. Golongan ini disebut ‘inadiyah. Ada pula golongan yang mengingkari kepastian
tentang keberadaan sesuatu, dan semua itu hanyalah mengkikuti keyakinan/persepsi semata, golongan ini
disebut ‘indiyyah. Golongan ketiga mengingkari ilmu tentang hakikat sesuatu tapi tidak mengingkari hakikat
tersebut. Mereka menganggap semua itu sebagai keraguan (syak). Golongan ini disebut laa adriyyah. Lihat
Sa’duddin At Taftazzany (722-791 H), Syarh al ‘Aqaid an Nasafiyah tahqiq Dr. Ahmad Hijazy (Cairo,
Maktabah Kulliyyah Al Azhariyyah, 1408 H)
3 Ilmu Dharury adalah ilmu yang didapat secara langsung, tanpa perlu melalui penalaran ataupun
pendalilan. Sedangkan Ilmu yang hanya bisa didapatkan setelah melalui penalaran dan pendalilan disebut
Ilmu Nazhary. Lihat Muhammad ibn Shalih Al Utsaimin. Al Ushul min ‘Ilmi al Ushul. (Dar Ibnul Jauzi. 1426 H)
dalam program Mausu’ah Ushulul Fiqh dari situs www.islamspirit.com.

3

“Eksistensi manusia dapat dipertimbangkan memiliki perbedaan tingkatan yang
berhubungan dengan pelbagai lingkungan operasi dari indera eksternal dan internal. Hal
tersebut merupakan:
1. Eksistensi Sejati (haqīqī), yang merupakan eksistensi pada tingkatan realitas

objektif seperti dunia eksternal;
2. Eksistensi

Inderawi

(hissi),

yang

terkurung

pada

fakultas

indera

dan

pengalaman inderawi termasuk mimpi, visi, ilusi;

3. Eksistensi Imajiner (khayāli), yang merupakan eksistensi objek-objek eksistensi
inderawi dalam imajinasi ketika mereka absen dari persepsi manusia;
4. Eksistensi Intelektual (‘aqlī), yang terdiri dari konsep abstrak dalam pikiran
manusia;
5. Eksistensi Analogis (shibhī), yang disusun oleh hal-hal yang tidak ada dalam
tingkatan manapun seperti di atas, tetapi yang ada sebagai sesuatu yang lain
menyerupai hal tersebut pada sisi tertentu, atau analogis

dengan

mereka.

Tingkatan ini dapat juga dipertimbangkan berhubungan dengan lingkungan
operasi dari fakultas diskursif dan kogitatif (fikri) dari jiwa. Pada setiap tingkatan
tersebut persepsi manusia akan objek persepsinya tidaklah sama.
6. Dalam
tingkatan

tambahan
lain


pada tingkatan
daripada

tersebut

kebenaran

kita

mengafirmasi

eksistensi

rasional; sebuah tingkatan eksistensi

suprarasional atau transendental yang dialami oleh para nabi dan wali Tuhan dan
orang-orang berpandangan tajam yang secara mendalam berakar dalam
pengetahuan. Level yang terakhir ini merupakan tingkatan eksistensi suci,
dimana hal-hal ditangkap sebagaimana adanya.

Maka, konsep ‘tempat yang tepat’, menyentuh pada semua tingkatan dari eksistensi
manusia tersebut, yang meliputi wilayah ontologis, kosmologis, dan psikologis, dan
termasuk manusia sendiri dan dunia hal-hal empiris sebagaimana juga aspek keagamaan
dan etis dari eksistensi manusia. Tempat yang ‘tepat’ berarti tempat ‘sejati’ dan ‘benar’
sebagaimana ditunjuk istilah haqq. Haqq menandakan baik realitas dan kebenaran. Sebagai
realitas, haqq itu menunjuk sebuah kondisi ontologis; sebagai kebenaran hal itu menunjuk

4

pada kondisi logis; dan haqq menunjuk sebuah putusan atau hukm yang menyesuaikan
dengan realitas atau situasi sesungguhnya.”4
Dari beberapa pandangan ulama tentang realitas tersebut, kita dapati perbedaan yang
sangat mencolok dengan konsep realitas dalam pandangan ilmuwan Barat setidaknya
dalam dua hal pokok: Pertama, menurut para ulama seperti tersebut di atas bahwa realitas
itu tetap adanya, tidak berubah, sehingga dapat diketahui oleh manusia. Singkatnya,
manusia dapat menjangkau realitas. Sementara menurut pandangan Barat yang diwakili
oleh kaum sophist realitas itu tidak dapat dijangkau oleh manusia, sehingga manusia tidak
mungkin mencapai hakikat kebenaran.
Kedua menurut konsep Barat, realitas terbatas pada sesuatu yang dapat dijangkau oleh
indera (empiris) atau terjangkau oleh akal (rasional). Di luar itu maka bukan realitas.

Pendapat ini dibantah dengan pernyataan Al Attas di atas bahwa realitas meliputi segala
yang terjaangkau dengan indera, akal, intusisi, maupun yang tidak terjangkau oleh
ketiganya, yang hanya dapat dijangkau melalui khabar shadiq.
Objek ilmu dalam Al Qur’an dan Hadits
Untuk menelusuri lebih jauh pandangan Islam tentang objek ilmu, kita dapat menelusuri
ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang mengisyaratkan tentang hal tersebut,
disertai penjelasan para ulama tentang makna ayat atau hadits tersebut yang dapat kita
telususri dalam kitab-kitab tafsir dan syuruh hadits.
Klasifikasi tentang objek ilmu dalam Al Qur’an dan Hadits berdasarkan penjelasan Imam
An Nasafy tentang sumber atau sebab-sebab ilmu yaitu:
A. Objek Ilmu yang terjangkau dengan khabar shadiq
B. Objek Ilmu yang terjangkau melalui akal
C. Objek Ilmu yang terjangkau melalui indera

4 Al Attas, Syed Muhammad Naquib. Prolegomena to The Metaphysics of Science. International Institute of
Islamic Thought and Civilization (ISTAC). Kulalumpur 2001 M/1422 H. terjemahan e book di situs
http://ayubmenulis.blogspot.com/

5


A. Ilmu yang Hanya Didapatkan Melalui Khabar Shadiq
Beberapa objek ilmu yang hanya bisa diperoleh melalui khabar shadiq antara lain :
1. Allah
Allah tidak terjangkau oleh indra (penglihatan)5, sebagimana firman Allah dalam
surah Al An’am ayat 103 :
       
  
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.
tetapi kita diperintahkan untuk mengilmui bahwa “Tidak ada Ilah kecuali Dia”
      
    
   
Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain
Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin,
laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat
kamu tinggal.
Ilmu harus ditetapkan dengan iqrar dan pengetahuan qalbu, dalam arti mengetahui
apa yang dituntut untuk diketahui. Hal ini akan sempurna dengan mengamalkan
konsekuensinya. Ilmu yang Allah perintahkan ini adalah Ilmu Tauhid yang


5 Para ulama ahlus sunnah sepakat, bahwa Allah tidak dapat dilihat oleh mata di dunia ini. Di akhirat, orangorang mu’min akan melihat-Nya di jannah. Meski demikian, penglihatan (ru’yah) ini tidak dapat mencapai
hakikat Allah (al idrak). Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy menjelaskan dalam Taisir Karimir Rahman
fi Tafsiri Kalamil Mannan : “Tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, karena keagungan-Nya,
kebesaran-Nya, dan kesempurnaan-Nya, artinya tidak terliputi oleh mata meskipun mata itu melihat-Nya,
dan berbahagia karena dapat melihat wajah-Nya yang mulia (di jannah –pen). Dalam al idrak
(pencapaian) tidak menafikan adanya ru’yah (penglihatan). Ayat ini menafikan adanya idrak, yang
merupakan sifat ru’yah yang paling khusus, menunjukkan bahwa ru’yah itu tetap adanya.
Karena jika yang dimaksud di sini adalah penafian ru’yah, ayat itu akan berbunyi “la tarahul abshar” atau
semacamnya. Maka diketahui bahwa dalam ayat ini tidak ada hujjah bagi madzhab mu’aththilah yang
menafikan ru’yah keapa Rab mereka di akhirat. Nbahkan dalam ayat ini terdapat dalil yang membantah
perkataan mereka”

6

merupakan fardhu ‘ain bagi setiap manusia, tidak gugur (kewajiban itu) dari seorang
pun, bagaimana pun keadaannya. Bahkan, setiap manusia harus mengilmuinya.6
2. Al Ghaib
    
   

(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib 7, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Adapun Al ghaib, yang dimaksud di sini, maka
telah terjadi perbedaan ungkapan para salaf tentangnya, dan semuanya benar
kembali kepada semua yang menjadi maksudnya. Berkata Abu Ja’far Ar Razy, dari
Rubai’ bin Anas dari Abul ‘Aliyah, tentang firman Allah “yu’minuna bil ghaib” dia
berkata: “Beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya,
dan hari akhir, surga-Nya, neraka-Nya, perjumpaan dengan-Nya, beriman kepada
kehidupan setelah kematian, kebangkitan, dan ini semuanya hal yang ghaib. Begitu
pula inilah perkataan Qatadan bin Di’amah.
Berkata As Sudy dari Abu Malik dari Abu Shalih dari Ibnu ‘Abbas, dan dari Murrah
al Hamdani dari Ibnu Mas’ud, dan dari sebagian sahabat Nabi , “Adapun yang
ghaib adalah apa yang todak terlihat oleh hamba seperti surga, neraka, dan apa-apa
yang disebutkan dalam Al Qur’an. Berkata Muhammad bin Ishaq dari Muhammad
bin Abu Muhammad dari Ikrimah atau Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas, “beriman
kepada yang ghaib artinya beriman kepada apa yang datang dari Allah subhanahu
wa ta’ala”8
3. Berita tentang masa lalu dan masa depan
Dalam Surah Hud ayat 49, setelah menyampaikan kisah tentang Nuh, Allah
berfirman:
6 As Sa’dy, Abdurrahman ibn Nashir. Taisir Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan dalam Mausu’ah
Tafsiril Qur’anil Karim. www.islamspirit.com.
7 Dalam penjelasan Al Qur’an terjemahan DEPAG disebutkan : Yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap
oleh pancaindera. percaya kepada yang ghaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang
tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti:
adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya.
8 Imam Abul Fida’ Ismail ibn Umar ibn Katsir (w. 773 H). Tafsir al Qur’an al ‘Azhim. Jum’iyyah Ihyaut Turats
Al Islamy. Kuwait. Cet. 1421 H/2001 M

7

       
        
     
Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami
wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak
(pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan yang
baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.
Allah ta’ala berkata kepada nabi-Nya : kisah ini dan yang serupa dengannya adalah
‘termasuk berita-berita ghaib yang telah lalu yang Kami wahyukan kepadamu
sebagaimana dia terjadi, seakan engkau menyaksikannya. ‘Kami wahyukan’ artinya
kami ajarkan kepadamu dengan wahyu dari Kami kepadamu. Tidak ada ilmu
tentang hal itu pada dirimu atau pada seorangpun dari kaummu. Bahkan orangorang yang mendustakanmu berkata “Sesungguhnya engkau mempelajari itu
darinya”. Tetapi Allah berikan khabar sesuai dengan peristiwa yang sebenarnya,
seperti yang disaksikan oleh kitab-kitab para Nabi sebelummu. (Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, Ibnu Katsir)
4. Sebagian pengetahuan tentang ruh manusia
Allah berfirman dalam Surah Al Isra’ ayat 85
       
       
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
Firman Allah ta’ala “katakanlah bahwa ruh itu ternasuk urusan Rab-ku”, artinya
dari pengetahuan Allah dan orang-orang dia khususkan ilmu tentangnya selain
kalian. Oleh karena itu Dia berfirman “dan tidaklah kalian diberikan ilmu kecuali
sedikit”, artinya tidaklah kami tampakkan ilmu tentangnya (ruh) kecuali sedikit,
karena tidak ada seorangpun yang dapat meliputi ilmu-Nya kecuali atas kehendakNya. Maknanya adalah bahwa ilmu kalian tentang ruh itu sangat sedikit. Dan apa
yang kalian tanyakan tentang ruh itu termasuk perkara yang Allah khususkan ilmu

8

tentangnya, dan Allah tidak tampakkan kepada kalian, sebagimana Allah tidak
tampakkan kecuali sedikit saja dari ilmu-Nya.
Kemudian Imam Ibnu Katsir menyebutkan khilaf para ulama tentang apakah ruh itu
sama dengan jiwa atau hal yang berbeda?9 Lalu beliau menyebutkan pengertian
yang baik tentang ruh adalah bahwa ruh itu asal dari jiwa dan bahan penyusunnya.
Dan jiwa tersusun dari ruh dan dari pertemuan ruh dengan badan.
5. Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’
Terlepas dari kandungan isinya yang juga memuat hal-hal yang telah disebutkan di
atas, secara umum Al Qur’an dan As Sunnah juga merupakan objek ilmu.
Sebagaimana disebutkn oleh Imam Asy Syafi’i : “Ahlus sunnah sepakat bahwa
dalil yang mu’tabar (diakui validitasnya) secara syar’I ada empat: yaitu Al Qur’an,
As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Berkata Imam Asy Syafi’I “dan Ilmu Khabar itu ada
dalam Al Kitab, atau As Sunnah, atau Ijma’, atau Qiyas”
“Mereka bersepakat pula bahwa keempat dalil ini merujuk kepada satu dasar yaitu
Al Qur’an dan As Sunnah, karena keduanya merupakan kunci agama dan sendisendi Islam.”10
Allah subhananhu wa ta’ala menjelaskan kedudukan Al Qur’an dan As Sunnah,
antara lain dalam ayat-ayat berikut:

     










 
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
9

Meski para ulama berbeda pendapat perihal ruh dan jiwa (nafs), mereka menetapkan bahwa ruh itu
dzat yang halus seperti udara, yang mengalir di badan seperti air mengalir di pembuluh pepohonan.
Mereka juga menetapkan bahwa ruh yang ditiupkan oleh malaikat di janin adalah jiwa (nafs) dengan
syarat dia bertemu dengan badan. Lalu dengan usahanya dia akan mendapatkan pujian atau celaan,
apakah termasuk nafs muthmainnah atau nafs ammarah bis suu’. Lihat Abul Fida’ Ismail ibn Umar ibn
Katsir (w. 773 H). Tafsir al Qur’an al ‘Azhim. Jum’iyyah Ihyaut Turats Al Islamy. Kuwait. Cet. 1421 H/2001
M
10 Al Jizany, Muhammad ibn Husain ibn Hasan. Ma’alim Ushulul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah.
Risalah doktoral di Universitas Islam Madinah 1427 H . dalam Mausu’ah Ushulul Fiqh.
www.islamspirit.com. Penulis menyebutkan sumber nukilannya antara lain dari kitab Al Faqih wal
Mutafaqqih, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, Ar Risalah Imam As Syafi’I, Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi.

9

penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil).

















    
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu
Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.

      
     
     
Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan
As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah).
Ijma’
Setelah Al Qur’an dan As Sunnah, Ijma’ juga menjadi dasar pengambilan hukum
hal itu berarti ijma’ juga berfungsi sebagai ilmu yang tetap kebenarannya. Dasar
hukum keabsahan ijma’ antara lain diebutkan dalam firman Allah taala:

      















     
Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

10

Sisi pendalilan dari ayat ini adalah bahwa Allah memberikan ancaman kepada
orang yang mengikuti jalan selain jalan kaum mukminin, ini menunjukkan bahwa
hal tersebut haram. Maka mengikuti jalan kaum mukminin adalah wajib, karena
tidak ada jalan ketiga selain jalan kaum mukminin dan jalan selain kaum
mukminin.11
Keabsahan ijma’ juga ditetapkan dengan hadits Rasulullah, di antaranya sabda
beliau :

‫إن أمتي ل تجتمع على ضللة‬
Sesungguhnya ummatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan
(H.R. Ibnu Majah dan ini adalah lafazh dari beliau, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Dalil-dalil di atas menunjukkan keabsahan ijma’ yang dibangun di atas dua pokok:
1. Wajibnya mengikuti jama’ah dan menetapinya serta haramnya memisahkan diri
dan menyelisihi jamaah
2. Terpeliharaanya umat ini dari (bersepakat) di atas kesalahan dan kesesatan.
Dua pokok ini saling terkait satu sama lain, yaitu bahwa perkataan suatu ummat
yang berijma’ tidak akan berkonsekuensi selain kebenaran. Dan terpeliharanya
ummat dari kesesatan adalah terjadi pada perkataan seluruh umat (ijma’nya) bukan
dari perkataan sebagian mereka.12
Ketika kita mendapati penukilan bahwa telah terjadi ijma’ tentang suatu perkara,
maka perkara tersebut menjadi objek ilmu bagi kita.

B. Objek yang terjangkau oleh Akal
Dalam Al Qur’an, banyak sekali ayat yang menunjukkan objek-objek ilmu yang perlu
dijangkau oleh akal manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

11 As Syafi’I, Muhammad ibn Idris. Ahkamul Qur’an dalam Al Jizany, Muhammad ibn Husain ibn Hasan.
Ma’alim Ushulul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Risalah doktoral di Universitas Islam Madinah 1427
H . dalam Mausu’ah Ushulul Fiqh. www.islamspirit.com
12 Al Jizany, Muhammad ibn Husain ibn Hasan. Ma’alim Ushulul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah.
Risalah doktoral di Universitas Islam Madinah 1427 H . dalam Mausu’ah Ushulul Fiqh. www.islamspirit.com

11

      
       
  
Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.

    
       
   
Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan
rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda
(kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan tanda kebesaran-Nya berupa buah kurma dan
anggur yang dapat diproduksi menjadi minuman yang memabukkan dan rizki yang
baik. Maka akal manusia berperan untuk memikirkan tanda-tanda ini untuk
memperoleh suatu ilmu. Ilmu yang dimaksud antara lain berupa keyakinan akan
kebesaran Allah, kesempurnaan takdir dan rahmat-Nya. “Sungguh pada hal itu
terdapat tanda bagi orang yang berakal (berfikir) tentang kesempurnaan takdir Allah,
dimana Dia mengeluarkan buah-buah itu dari pohon yang serupa dengan kayu bakar,
menjadi buah yang lezat, buah yang baik, dan dari kesempurnaan rahmatnya, Dia
berikan semua itu secara umum kepada seluruh hamba-Nya, dan memudahkan bagi
mereka. Sungguh Dia-lah yang Ilah yang disembah semata-mata, dan Dialah satusatunya yang berhak untuk itu”.13
Objek-objek lain yang terjangkau oleh akal, namun tidak terjangkau oleh indera
misalnya adalah konsep-konsep yang bersifat abstrak dalam imu matematika, fisika,
atau kimia, atau bahkan ilmu sosial. Konsep ini didapatkan setelah melalui penelitian,
observasi, pemikiran yang secara intens melibatkan akal manusia di dalamnya.
C. Objek yang terjangkau oleh Indera

13 As Sa’dy, Abdurrahman ibn Nashir. Taisir Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan dalam Mausu’ah
Tafsiril Qur’anil Karim. www.islamspirit.com.

12

Adapun objek ilmu yang terjangkau oleh indera, maka dapat diketahui dengan mudah,
meliputi apa-apa yang dapat dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, tercium oleh
penciuman, dirasakan oleh lidah, dan disentuh oleh indera peraba.
Pengetahuan terkait dengan realitas yang terjangkau oleh indera ini ada juga yang
bersifat dharury, dapat diketahui secara langsung, tanpa perlu pemikiran, seperti ilmu
bahwa suku cadang sepeda pasti lebih kecil dari sepeda, dan seterusnya. Ada pula
yang bersifat nazhary/iktisaby/istdidlaly, misalnya buah jeruk dengan bentuk dan
warna yang sama, ada yang rasanya manis, ada yang agak manis, atau masam, dan
sebagainya
Contoh realitas yang terjangkau oleh indera yang disebutkan dalam Al Qur’an antara
lain:
a. Bumi yang gersang lalu diturunkan hujan menjadi subur dan bergerak (karena
adanya tumbuhan)

     
    












      

Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau Lihat bumi kering dan gersang,
Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur.
Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya, pastilah dapat menghidupkan yang
mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Surah Fushshilat : 39)

b. Ada tanda-tanda kebesaran Allah yang terlihat di ufuq dan di dalam diri manusia











     
      
  
13

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al
Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi
saksi atas segala sesuatu? (Surah Fushshilat : 53)
Epilog
Demikianlah sekelumit penjelasan tentang objek ilmu dalam perspektif Islam. Dari satu
sisi ini saja kita telah dapati perbedaan mendasar antara konsep ilmu dalam pandangan
Barat dengan konsep ilmu Islam. Belum lagi dari sisi lain seperti definisi ilmu, sumber
ilmu, cara memperoleh ilmu, hirarki dan klasifikasi ilmu, bahkan motivasi (niat) dan adab
dalam menuntut ilmu.
Tentu menjadi tidak wajar, melihat perbedaan yang sedemikian mendasar, umat Islam
mengekor atau membiarkan dirinya terjajah oleh konsep ilmu Barat. Umat Islam harus
menggali sendiri konsep ilmunya yang telah dijelaskan secara luas dalam khazanah karya
tulis ulama terdahulu. Dari konsep ilmu yang jelas dan gamblang tersebut, umat Islam
dapat membangun peradabannya secara merdeka, bebas dari rasa minder atau terjajah oleh
konsep yang diusung oleh peradaban Barat.
Wallahu a’lam

14