Spiritualitas dalam Olahraga Mind Body

Spiritualitas dalam Olahraga: Mind – Body - Soul

1

Oleh
Drs. D.P. Budi Susetyo, MSi2
Abstract
Sport has become popular in the community activities in Indonesia. Sport
experience is basically not only focus on physical activity, but it is a form of
compounding reciprocal mind-body-soul. In this situation the person is able to
experience a spiritual experience through sport. Connection with the exercise of
spirituality can be expressed through the spiritual dimension of experience
concerning the presence of power, energy beyond himself or feel close to God.
Spirituality in sport is the result of optimization of the results themselves through
sport.
Mind-Body-Soul sebuah pengalaman personal
Olahraga terlihat sudah memasyarakat di Indonesia. Penulis mengamati
semakin banyak aktivitas olahraga yang dilakukan masyarakat baik secara
kolektif/ bersama-sama maupun perorangan, olahraga sebagai hobi maupun
prestasi. Setiap hari Jumat khususnya di instansi pemerintah selalu
diselenggarakan olahraga pagi dalam beragam bentuknya. Setiap hari Minggu

semakin banyak kota-kota di Indonesia membuka zone car free day, dimana
warga kota dapat menjalankan berbagai aktivitas olahraga, mulai dari sekedar
jalan-jalan, jogging, bersepeda dan aktivitas yang lain. Tempat-tempat kegiatan
olahraga terlihat ramai dikunjungi orang, seperti fitness centre, lapangan futsal,
lapangan tenis, lapangan bulutangkis dan lainnya, walaupun harus
mengeluarkan biaya untuk sewa tempat. Pada tataran olahraga untuk prestasi,
olahraga sudah menjadi pilihan untuk profesi bahkan berkembang menjadi
industry olahraga.
Menjalankan aktivitas olahraga memiliki makna personal masing-masing.
Ada yang menjalankan aktivitas olahraganya dengan keterpaksaan namun
banyak juga yang mampu berolahraga dengan rutin, disiplin. Berolahraga
menjadi sebuah pilihan. Seorang kawan, seorang pria usia 50 an tahun,
bercerita tentang pengalamannya mengikuti kegiatan hiking setiap akhir pekan
di kawasan hutan dan perbukitan di luar kota Semarang dalam sebuah
komunitas yang diikutinya. Pada awalnya tidak mudah untuk melalui rute-rute
hiking yang ditetapkan mengingat usianya yang tidak muda lagi. Fase-fase awal
yang berat menjadi dilema tersendiri dalam dirinya antara menyerah ataukah
1 Disampaikan dalam Diskusi Psikologi Kesehatan, 05 Juni 2013 di Fakultas Psikologi
Unika Soegijapranata Semarang
2 Dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang


1

meneruskan perjalanan. Namun keinginan kuat untuk menjaga kebugaran
tubuhnya membuatnya ia ingin tetap fokus pada program akhir pekannya
tersebut. Pikiran yang tetap fokus menjadi motivasi tersendiri bagi kawan tadi
untuk disiplin mengikuti hiking akhir pekannya. Ia juga meyakini adanya
pengalaman spiritual ketika orang mampu melampaui tahap-tahap sulit pada
olahraga yang dijalaninya, yaitu ketika menjalani aktivitas olahraga bukan
sebagai beban namun sebagai sebuah pilihan.
Ungkapan kawan tadi mengisyaratkan bahwa olahraga bukanlah hanya
aktivitas yang hanya berfokus pada tubuh/raga, namun memiliki keterkaitan
berbagai antara pikiran, tubuh dan spirit atau yang lebih sering disebut dengan
mind body and soul. Belajar dari pengalaman master-master beladiri berikut
yaitu Andrie Wongso seorang motivator dan pendiri perguruan Hap Kun Do dan
Gunawan Rahardjo Guru Besar PGB Bangau Putih, penulis mencoba memahami
seperti apa keterkaitan spiritualitas dengan olahraga yang dijabarkan dalam
proses persenyawaan mind body and soul tersebut.
Dharnoto (2007) dalam Majalah Intisari edisi Desember 2007 menulis
profil Andrie Wongso, seorang yang dikenal sebagai motivator handal, memiliki

latarbelakang seorang master beladiri kungfu yang telah ia tekuni sejak usia
belasan. Karena kecintaan dan keseriusannya pada beladiri asal negeri Tiongkok
ini, pada usia 25 tahun, pada tahun 1979 mendirikan perguruan Hap Kun Do,
yang merupakan ilmu bela diri gabungan. Landasannya cepat-kuat-fleksibel.
Sebagaimana ilmu beladiri pada umumnya, untuk menguasai beladiri Hap Kun
Do harus dicapai dengan latihan disiplin jurus-jurus dasar secara berulang-ulang,
sampai pada pada tahap tertentu gerakan tersebut menyatu dengan dirinya
hingga menjadi naluri.
Andrie Wongso menjelaskan prinsip kelebihan Hap Kun Do justru tidak
pada latihannya yang keras dan kejam, atau bagaimana menghasilkan serangan
mematikan. Hal ini karena bukan hanya fisik yang dilatih, tetapi juga
otak/pikiran. Berpikirlah dalam bergerak, bergeraklah dalam berpikir. Mental
lebih penting daripada fisik, namun fisik kita bisa melatih mental. Ketika fisik
digenjot terus menerus melalui latihan yang keras, saat itulah juga berlangsung
tempaan mental melalui semacam penanaman motivasi, mental positive
thinking. Di kala fisik sudah teramat letih, maka mental ikut berperan, mental
digedor untuk positive thinking sehingga tak pernah berpikir tak bisa. Jadi
dengan latihan fisik yang keras akan memperkuat daya mental ataupun daya
pikirnya.
2


Salah satu pengalaman yang dikemukakan adalah ketika pada suatu hari
ketika mengendarai mobil Mercy hitam-nya ditodong oleh penjahat kapak merah
di Jakarta. Nyalinya tak takut sedikitpun dengan situasi tersebut. Lalu ia
membuka jendela mobil, menatap tajam ke mata penjahat dan mengunci
pandangan. Hatinya berseru:”Polisi”. Beberapa saat kemudian penjahat tersebut
lari lintang pukang karena dari arah belakang telah datang polisi. Ia mengatasi
masalah dengan pikirannya.
Profil Gunawan Rahardjo, Guru Besar Persatuan Gerak Badan Bangau Putih
ditulis oleh Redana (2013) melalui catatan-catatan yang terkait dengan
pengalamannya menjadi murid di PGB Bangau Putih di Bogor. Menurut Gunawan
Rahardjo, dengan berlatih beladiri, maka akan menumbuhkan kesadaran tentang
keterkaitan unsur tubuh (body) dan pikiran (mind). Secara sistematik tubuh dan
pikiran bisa dimanfaatkan dalam bersilat, kapan tubuh harus mengikuti pikiran,
atau sebaliknya, kapan pikiran harus mengikuti tubuh. Keduanya menghasilkan
akibat yang berbeda, bukan saja kepada lawan, tetapi kepada diri sendiri.
Salah satu ajarannya adalah:” Begitu mau jatuh, lepaskan pikiran mau
jatuh,” Pikiran terkadang membatasi kemungkinan yang bisa diutarakan tubuh,
dalam bentuk ketidakberdayaan, ketakutan, kecemasan, kekhawatiran,
kekurangyakinan, ketergesa-gesaan dan lain-lain. Dengan demikian untuk

membebaskan tubuh dari belenggu pikiran negatif, maka tubuh harus
dibebaskan dari pikiran. Kepekaan merasakan dengan badan ini tidak bisa
datang dengan seketika, harus terus menerus diolah dalam latihan. Berulangulang, dari waktu ke waktu. Dengan badan terpisahkan dari pikiran, pikiran
dilatih mengikuti badan. Pada kesempatan lain, badan yang mengikuti pikiran.
Dengan berlatih menghilangkan pikiran, sebenarnya juga berlatih tentang kapan
mendatangkan pikiran pada saat dibutuhkan.
Selain aspek badan dan pikiran, ada lagi aspek yang tidak kalah
pentingnya yaitu spirit. Dalam ungkapan sederhana Guru Besar Gunawan
Rahardja spirit diartikan sebagai semangat. Ketika murid berlatih berpasangan
dan salah satu tersudut ke tembok dan tak ada lagi ruang utuk melepaskan diri
dari desakan lawan. Bagaimana mengatasi keadaan ini ? Dalam situasi seperti ini
yang harus diolah adalah spirit, karena spirit mengatasi keterbatasan pikiran dan
tubuh. Spirit semacam kehendak, niat, atau dalam bahasa Jawa niat ingsun.
Niat kita adalah mengatasi keterdesakan itu.
Dari ajaran/ prinsip/ pendirian yang disampaikan oleh Andrie Wongso dan
Gunawan Rahadjo dapatlah dipahami prinsip mind-body-spirit sebagai proses
3

yang tak terpisahkan tentang olah badan dan olah pikir yang saling terkait
secara resiprokal satu sama lain. Adrie mengistilahkan sebagai proses

persenyawaan mind-body-spirit. Jika Andrie Wongso menggunakan simbol Yin
Yang maka hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa semua unsur tersebut
merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan, seperti kita membicarakan
tentang gelas berisi setengah ataukah gelas yang kosong setengah adalah sama
saja. Spiritualitas diartikan oleh Gunawan sebagai niat, kehendak yang mampu
mengatasi keterbatasan tubuh dan pikiran, sedangkan Adrie Wongso memahami
spiritualitas sebagai kemampuan mengalahkan diri sendiri.
Spiritualitas dalam Olahraga
Apa itu spiritualitas ? Secara spontan mungkin kita sering menyamakan
dengan religiusitas. Hal tersebut dibantah oleh John Naisbitt dan Patricia
Aburdene (dalam Naim, 2010) spiritualitas tidaklah identik dengan agama.
Sebab, spiritualitas dan agama bukan sesuatu yang tunggal atau identik. Bahkan
bisa jadi keduanya terpisah sama sekali. Dalam konteks demikian, orang bisa
saja tidak mempercayai suatu agama namun memiliki spiritualitas.
Pada kenyataannya spiritualitas sendiri seringkali dipahami dalam
cakupan yang luas. Mengacu pada Unruh dkk (dalam Crust, 2006), jika dilihat
dari kategori tematiknya maka definisi spritualitas dapat terkait dengan: 1)
Hubungan dengan Tuhan, makhluk spiritual, kekuatan supra, 2) Bukan tentang
diri sendiri, 3) Kepercayaan transendental pada kekuatan yang maha kuasa, 4)
Makna dan tujuan hidup, 5) Kekuatan hidup seseorang, aspek integritas

seseorang.
Menurut Shiraev dan Levy (2013), spiritualitas mengacu pada
serangkaian fenomena yang berhubungan dengan soal-soal “non material” yang
terkait dengan iman, kepercayaan, harapan, yang berbeda dengan persoalan
“material” yang terkait dengan kepemilikan, akumulasi harta dan kompetisi.
Dalam konteks psikologis, spiritualitas mengutamakan pikiran di atas materi,
menjadi di atas memiliki, usaha mental di atas tindakan fisik. Individu
mengembangkan keyakinan kuat akan adanya esensi spiritual yang memenuhi
semesta, termasuk manusia. Esensi ini ada sebelum, sesudah dan di luar
eksistensi materi.
Kaitan spiritualitas dengan olahraga dikemukakan oleh beberapa ahli.
Seperti Watson dan Nesti (dalam Crust, 2006) yang berpendapat bahwa olahraga
memiliki kaitan sejarah yang panjang dengan religi dan spiritualitas. Banyak
4

pengalaman para atlet yang tidak mudah dijelaskan dengan pendekatan ilmiah
pada umumnya. Menurut Crust (2006) para ahli psikologi dengan pendekatan
kognitif-behavioral dan psiko-fisiologis menjelaskan pengalaman seseorang yang
terkait dengan pikiran, perasaan dan mekanisme fisiologis membentuk dimensi
spiritual dalam olahraga dengan mempertimbangkan pentingnya faktor diluar

mind-body link. Aspek faktor di luar diri inilah yang seringkali diperdebatkan
sebagai bukan kawasan kajian ilmiah namun kawasan kajian keagamaan,
mempertentangkan apakah itu sebagai science ataukah pseudo science ?
Mengacu pada pandangan Maddi (dalam Crust, 2006), pakar psikologi
eksistensialis yang lebih menekankan pada makna dan tujuan hidup dalam
risetnya, dengan meminta para atlet menceritakan pengalaman pribadinya
dengan dimensi spiritual. Pendekatan ini mampu memunculkan data tentang
dimensi spiritualitas, yaitu merasa ada yang membimbing ataupun membantu
ketika atlet hampir menyerah pada kelelahan yang dialami. Dillon dan Tait
(dalam Crust, 2006) memasukkannya sebagai dimensi spiritual dalam bidang
olahraga ketika hal tersebut menyangkut pengalaman tentang hadirnya
kekuatan, energi di luar dirinya atau merasa dekat dengan Tuhan.
Dengan demikian, apa makna tanda salib yang ditunjukkan oleh Susi
Susanti ketika game kemenangannya di Olimpiade Barcelona 1992, yang
mempersembahkan emas pertama kali bagi Indonesia di ajang olahraga terbesar
di dunia tersebut ? Tentu saja lebih tepat jika ditanyakan langsung kepada Susi
Susanti apa makna spiritual dari ekspresi kemenangan tersebut. Tentunya
pengalaman spiritual pada aktivitas olahraga tidak selalu harus terkait dengan
olahragawan profesional. Siapapun sebenarnya dapat memenuhi kebutuhan
spiritualnya melalui olahraga. Mengacu pada paparan sebelumnya, makna

spiritual adalah buah dari kerja keras terus menerus untuk berolahraga sehingga
mampu mencapai chemisty mind body and soul, sebagai bentuk capaian supra
ketika pengalaman berolahraga tidak sekedar aktivitas fisik olahraga. Mungkin
saja ia seorang pendaki gunung yang mampu melewati tahap-tahap sulit ketika
mendaki. Pada akhirnya ia merasakan suatu kelegaan dan rasa syukur ketika
mampu mencapai puncak.
Buah Optimalisasi Prestasi Diri
Ketika memperhatikan orang-orang berolahraga dengan tantangan yang
berat, misalnya bersepeda dengan rute yang mendaki, atau bagaimana
perjuangan Susi Susanti dan Alan Budikusuma mempersiapkan diri dan
5

mengatasi beban yang begitu menggunung karena harapan rakyat Indonesia
yang begitu besar akan emas pertama Olimpiade pada Olimpiade Barcelona
1992 saat itu. Hal ini dapat dipahami sebagai proses mengatasi tantangan untuk
mencapai sukses. Sukses yang dicapai adalah ketika seseorang mampu
mencapai target optimal walaupun harus dilalui dengan tidak mudah. Konsep
Adversity Quotient yang dikemukakan Stoltz (2000) terlihat relevan menjadi
frame psikologis untuk memahami dinamika spiritualitas dalam olahraga.
Menurut Stoltz, faktor sukses ada dalam kerangka berpikir yang disebut

Adversity Quotient (AQ) yaitu kecerdasan menghadapi tantangan. AQ mendasari
semua segi kesuksesan. AQ diartikan sebagai mampu bertahan menghadapi
serta mengatasi kesulitan. Stoltz membedakan 3 jenis manusia dilihat dari
ketahanannya untuk melakukan pendakian gunung kesulitan, yaitu:
1. Quitter mereka yang menolak untuk menerima tantangan mendaki.
2. Campers adalah mereka yang merasa sudah puas dengan apa yang telah
mereka capai kemudian berhenti. Mereka cukup puas dengan berkemah dan
tidak meneruskan untuk mendaki.
3. Climbers adalah sang pendaki sejati. Mereka yang diibaratkan memiliki enerji
yang tak pernah habis (energizer), yang terus menerus mendaki tanpa
memperhitungkan latarbelakang dan kesulitan yang harus dihadapi. Ketika
keadaan semakin sulit maka quitter akan menyerah, campers akan berhenti
dan bekemah dan climber akan terus mendaki.
Konsep AQ menengarai adanya empat komponen utama penentu tingkat
AQ yang disingkat dengan CORE.
C (control) adalah mempertanyakan seberapa jauh kita merasa memiliki kendali
atas suatu kesulitan yang kita alami. Orang ber AQ tinggi memiliki kendali atas
apa yang terjadi dan dapat melakukan sesuatu untuk mengadapi situasi yang
sulit. Ia memiliki keyakinan kuat bahwa ia bisa mengatasi kesulitan tersebut.
O (origin dan ownership), mempertanyakan apa yang menjadi penyebab

kesulitan serta sejauh mana kita mengakui adanya kesulitan tersebut. Orang
dengan AQ rendah menyalahkan dirinya secara destruktif dan memberi label
negatif atas ketidakmampuan dirinya menghadapi kesulitan. Akibatnya ia
menjadi tidak berdaya karena rasa bersalah yang berlebih-lebihan, namun tidak
melakukan tindakan apapun.
R (reach), mempertanyakan sejauh mana kita membiarkan suatu kesulitan
mengganggu sisi-sisi kehidupan kita yang lain. Misalnya rasa malas berolahraga

6

yang selalu dipelihara, sehingga Anda tidak melakukan aktivitas olahraga
apapun, ataupun melakukan dengan malas-malasan.
E (endurance) mempertanyakan seberapa lama kita memperkirakan kesulitan
akan berlangsung. Orang ber-AQ rendah dengan mudah akan melihat masalah
dengan pesimis, bahwa segala sesuatu tidak pernah membaik dan bahwa dirinya
akan selalu gagal.
Untuk memiliki AQ yang bagus, maka Stoltz memberikan resep yang
disebut LEAD.
Pertama, orang harus belajar untuk mendengar (Listen) responnya sendiri
sehubungan dengan faktor CORE di atas. Tahap ini merupakan tahap introspeksi
atas kualitas AQ yang dimilikinya. Kedua, melakukan eksplorasi (Explore)
terhadap hal-hal dimana Anda merasa bertanggungjawab terhadap kesulitan
tersebut dan mampu untuk memperbaiki ataupun mengatasinya. Ketiga
melakukan analisis (Analyze) guna melawan pikiran-pikiran negatif, mitos-mitos,
gembok-gembok psikologis. Keempat, melakukan (Do) sesuatu untuk mengatasi
kesulitan yang terjadi. Dengan tekun melatih LEAD maka hal ini akan menjadi
alat yang ampuh untuk meraih sukses. Melalui AQ tidak ada alasan untuk
menyerah. Kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa untuk
bertumbuh.
Mengacu pada konteks persoalan yang dibahas, maka pengalaman
spiritual dalam olahraga terkait dengan tahap tertinggi dari prestasi oleh raga
yang diraih. Pengalaman spiritual tidak mungkin diperoleh manusia tipe Quitter
mereka yang menolak untuk menerima tantangan mendaki dan lebih memilih
sebagai penonton, ataupun tipe Campers yang menyerah sebelum mencapai
puncak. Untuk mencapai pengalaman spiritual yang bermakna melalui olahraga
maka seseorang harus mengembangkan karakter Climber, dengan terus
mendaki pantang menyerah berperang melawan kelemahan-kelemahan yang
dimiliki. Namun seberapa banyak orang yang memiliki karakter Climber ketika
menjalankan aktivitas olahraganya ?
Prama (1998) menawarkan suatu resep untuk memaksimalkan prestasi
pribadi (maximizing personal achievement). Untuk itu ia merekomendasikan
beberapa langkah sebagai berikut:
1) Unlocking potentian power, tanpa disadari banyak orang sering memasang
gembok-gembok psikologis dalam tubuh kita. Tidak mungkin, tidak bisa, tidak
berpengalaman, terlalu tua dan masih banyak lagi merupakan gembokgembok yang membelenggu prestasi. Ibarat orang mau lompat tinggi, belum
7

mencoba sudah menyimpulkan tidak bisa. Dengan demikian syarat utama
dan pertama untuk memaksimalkan prestasi pribadi adalah dengan membuka
semua bentuk gembok psikologis yang menghalangi kemajuan, yaitu dengan
keberanian bermimpi dan ketekunan untuk mencoba.
2) Maximizing inner resources, dalam diri kita banyak sekali sumberdaya yang
tidak terpakai. Dalam keadaan normal, orang lebih banyak ‘tidur’ karena
hanya menggunakan sedikit sekali resource dari dalam. Disamping tidak
tergunakan, banyak enerji terbuang percuma karena digunakan menuruti
emosi negatif seperti kejengkelan, ketidaksukaan dan lainnya.
Memaksimalkan inner resource dapat dilakukan dengan membuang enerji
secara percuma, fokus dan perhatian pada suatu aktivitas dalam waktu lama,
memanfaatkan seluruh potensi untuk mendongkrak prestasi
3) Giant steps to success, dalam masa-masa tertentu dalam kehidupannya
banyak orang yang prestasinya menjulang berani melakukan langkah besar,
bila perlu meninggalkan sejumlah kehidupan mapan sekalipun, ataupun
berani meninggalkan banyak kenikmatan hidup.
Mengambil saripati dari Stoltz dengan konsep Adversity Quotient-nya
atapun Gde Prama dengan Maximizing Personal Achievement, maka dapat
disimpulkan bahwa olahraga merupakan suatu aktivitas yang mampu membawa
seseorang pada pengalaman spiritual. Namun hal tersebut dapat dicapai ketika
seseorang menempatkan olahraga sebagai pilihan hidup yang ditekuni dan
dieksplorasi secara optimal. Olahraga sebagai media untuk mengenali diri dan
mengasah mind-body-soul, dimana mengacu pada pengalaman dan ajaran
Andrie Wongso dan Gunawan Rahadjo dicapai melalui latihan terus menerus
sampai mencapai chemistry tubuh, pikiran dan jiwanya. Untuk itu orang harus
mampu mengatasi kelemahannya, membebaskan gembok-gembok psikologisnya
dan memanfaatkan seluruh potensi diri.

DAFTAR PUSTAKA
Crust, L. 2006. Challenging the ‘Myth’ of a Spiritual Dimension in Sport. Athletic
Insight-The Online Journal of Sport Psychology. June 2006, Volume 8, Issue
2, hal. 17-31.
Dharnoto (2007). Kalahkan Diri Sendiri Tanpa Berkelahi. Dalam Majalah Intisari
edisi Desember 2007, hal. 162-173.
Naim, N. 2010. Aneka Ragam Spiritualitas dalam Kebudayaan Modern. elHarakah. Vol.12 No.1, hal. 66-84.

8

Prama, G. 1998. Maximizing Personal Achievement. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Redana, B. 2013. Mind Body Spirit: Aku Bersilat Aku Ada. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Stoltz, P. 2000. Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang.
Jakarta: PT. Grasindo

9