Peranan Negara Berkembang dalam Negosias
Peranan Negara Berkembang dalam Negosiasi Putaran Uruguay
Putri Larasati
Apa Itu “Putaran Uruguay”?
Serangkaian peraturan WTO dibuat dengan melalui proses intergovernmental bargaining.
Intergovernmental bargaining adalah proses pengambilan keputusan yang paling diprioritaskan
oleh WTO yang di dalamnya termasuk proses persetujuan negosiasi yang melibatkan
pemerintah-pemerintah dari berbagai negara. Keputusan yang dihasilkan dari intergovernmental
bargaining akan berupa peraturan-peraturan yang mengeliminasi atau mereduksi adanya regulasi
negara yang menghalangi akses perdagangan. Dengan kata lain, keputusan yang dihasilkan dari
intergovernmental bargaining turut mendukung liberalisasi perdagangan, baik secara langsung
ataupun tidak langsung.1
Dalam perkembangannya, proses bargaining dibagi menjadi beberapa putaran dengan
tenggat waktu yang telah ditentukan, yaitu waktu putaran dimulai dan waktu target putaran yang
diharapkan menghasilkan konklusi. Pada awal putaran, pemerintah dari berbagai negara bertemu
dalam WTO Ministerial Conference. Mereka akan mengadakan pertemuan selama tiga atau
empat hari untuk bernegosiasi untuk membuat agenda dalam menghadapi isu-isu tertentu serta
menentukan waktu target untuk konklusi putaran. Setelah Ministerial Conference selesai,
masing-masing negara di level nasional akan mengadakan pembahasan tentang detail-detail
negosiasi yang termasuk ke dalam agenda yang telah ditentukan dalam Ministerial Conference.
Jika negara menyetujuinya, menteri perdagangan dari negara tersebut akan bertemu dalam Final
Ministerial Conference untuk menandatangani putaran. Kemudian pemerintah nasional
meratifikasi persetujuan dan mengimplementasikan hasil persetujuannya dalam beberapa waktu
yang telah disepakati.2
Pada awalnya, persetujuan lebih difokuskan pada serangkaian peraturan tentang tarif.
Misalnya pada konferensi Geneva (1947) yang diikuti 23 negara, Annecy (1949) yang diikuti 13
negara, Torguay (1951) yang diikuti 38 negara, Geneva (1956) yang diikuti 26 negara, tariflah
1
2
Thomas Oatley, International Political Economy, 5th Ed., New York: Pearson Education, 2012, hlm. 24.
Loc. Cit.
yang menjadi pembahasan utama. Bahkan pada permulaan pemberlakuan putaran, yaitu Putaran
Dillon (1960-1961) yang diikuti oleh 26 negara, tarif masih menjadi subjek negosiasi yang
diprioritaskan. Kemudian pada Putaran Kennedy (1964-1967) yang diikuti oleh 62 negara,
antidumping turut ditambahkan menjadi subjek pembahasan selain tarif. Selanjutnya, pada
Putaran Tokyo (1973-1979) yang diikuti oleh 102 negara, subjek yang dibahas ditambah lagi,
yaitu tarif, nilai non-tarif, dan kesepakatan kerangka.3
Kemudian pada Putaran Uruguay (1986-1993) yang diikuti oleh 123 negara, hal yang
dibahas lebih banyak lagi bahkan berujung pada suatu fenomena bersejarah, yaitu pembentukan
WTO (World Trade Organization) yang sebelumnya bernama GATT (General Agreement on
Tariffs and Trade). Putaran Uruguay termasuk salah satu putaran yang sangat berpengaruh besar
terhadap rezim perdagangan internasional sampai saat ini. Dalam Putaran Uruguay, fokus
negosiasi semakin meluas menjadi tarif, nilai non-tarif, peraturan, jasa, hak kekayaan intelektual,
tekstil dan pakaian, agrikultur, penyelesaian sengketa, dan yang paling disoroti yaitu pendirian
WTO. Lalu putaran selanjutnya ialah Putaran Doha (2002-?) yang diikuti oleh 147 negara, yang
bernegosiasi tentang tarif, agrikultur, jasa, hak kekayaan intelektual, pembekalan pemerintah,
peraturan, penyelesaian sengketa, perdagangan dan lingkungan, peraturan berkompetisi,
electronic commerce, dan lain sebagainya.4
Bagaimana Peran Negara Berkembang terhadap Putaran Uruguay?
Rezim perdagangan bebas tentunya tidak serta-merta dapat diterima secara umum oleh
semua negara. Apalagi oleh negara berkembang yang sebenarnya belum mampu mengikuti
serangkaian peraturan yang dihasilkan dari negosiasi dalam WTO. Selain itu pula disinyalir
bahwa serangkaian peraturan yang dihasilkan dari Putaran Uruguay ialah preferensi dari
Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang, seperti The General Agreement on Trade in Services
(GATS), the agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), TradeRelated Investment Measures (TRIMS), dan berbagai regulasi tentang pengurangan tarif yang
disertai keuntungan komparatif.5
3
Ibid., hlm. 25.
Loc. Cit.
5
Andrew Walter & Gautam Sen, Analyzing the Global Political Economy, New Jersey: Princeton University Press,
2009, hlm. 38.
4
Namun seiring berubahnya GATT menjadi WTO, negara berkembang yang semula
menjadi oposisi rezim perdagangan bebas, berubah haluan menjadi turut menyukseskan tujuan
liberalisasi perdagangan. Karena bagaimanapun perdagangan bebas multilateral dianggap
sebagai slah satu upaya pemenuhan kepentingan nasional mereka. Hal ini dilatarbelakangi pula
oleh berbagai hambatan dan konflik WTO seperti negosiasi Ministerial Conference pada tahun
1982 yang terhenti ketika negara-negara berkembang menginginkan untuk memperluas agenda.
Kemudian konflik Amerika Serikat dengan Uni Eropa mengenai subsidi pertanian yang juga
berdampak bagi peranan negara-negara berkembang dalam rezim perdagangan dunia, khususnya
pada saat Putaran Uruguay.6
Dengan adanya beberapa latar belakang tersebut, negara-negara berkembang yang
tadinya tidak mendapatkan kesempatan untuk bernegosiasi, menjadi lebih berkesempatan untuk
ikut bernegosiasi. Kesempatan tersebut digunakan oleh negara-negara berkembang dengan
sebaik-baiknya sehingga menghasilkan pengembangan aturan yang lebih kuat dan signifikan.
Misalnya peraturan tentang prosedur interaksi perdagangan yang diubah, yang berdampak pada
kesejahteraan para pedagang kecil yang semula sering dikhianati pedagang besar dalam
perjanjian multilateral.7
Berubahnya GATT menjadi WTO tercatat dapat meningkatkan persentase peran negara
berkembang dalam penyelesaian sengketa WTO sebesar 28,5%. Persentase ini tentu saja lebih
banyak daripada persentase peran negara-negara berkembang saat WTO masih berwujud GATT.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa negara-egara berkembang cukup punya andil besar
dalam menguatkan rezim perdagangan dunia. Negara-negara berkembang bisa dibilang dapat
mengubah egoistic multilateralism menjadi deep multilateralism atau superlateralism.8
6
Jane Ford, “A Social Theory of Trade Regime Change: GATT to WTO”, dalam International Studies Review, Vol.
4, No. 3, 2002, hlm. 115-138.
7
Loc. Cit.
8
Loc. Cit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ford, Jane. 2002. “A Social Theory of Trade Regime Change: GATT to WTO”, dalam
International
Studies
Review.
Vol.
4.
No.
3.
Diunduh
dari
http://www.jstor.org/stable/3186466, pada 5 Mei 2016, pukul 20.35 WIB.
2. Oatley, Thomas. 2012. International Political Economy. 5th Edition. New York: Pearson
Education.
3. Walter, Andrew & Sen, Gautam. 2009. Analyzing the Global Political Economy. New
Jersey: Princeton University Press.
POIN PENTING
1. Peraturan WTO dihasilkan dari proses intergovernmental bargaining kemudian
dikembangkan menjadi bargaining round (putaran)
2. Putaran Dillon (1960-1961) Putaran Kennedy (1964-1967) Putaran Tokyo (19731979) Putaran Uruguay (1986-1993) Putaran Doha (2002-?)
3. Putaran Uruguay cikal bakal berubahnya GATT menjadi WTO mengalami
hambatan (terhentinya negosiasi pada Ministerial Conference 1982 & konflik AS-UE
tentang subsidi pertanian)
4. Hambatan tersebut dimanfaatkan negara-negara berkembang kesempatan untuk
bernegosiasi menguatkan peraturan (pola interaksi perdagangan yang baru, dan lainlainj)
5. Kuatnya peraturan pada Putaran Uruguay bukti peran negara-negara berkembang
meningkat 28,5% ubah egoistic multilateralism menjadi deep multilateralism atau
superlateralism
Putri Larasati
Apa Itu “Putaran Uruguay”?
Serangkaian peraturan WTO dibuat dengan melalui proses intergovernmental bargaining.
Intergovernmental bargaining adalah proses pengambilan keputusan yang paling diprioritaskan
oleh WTO yang di dalamnya termasuk proses persetujuan negosiasi yang melibatkan
pemerintah-pemerintah dari berbagai negara. Keputusan yang dihasilkan dari intergovernmental
bargaining akan berupa peraturan-peraturan yang mengeliminasi atau mereduksi adanya regulasi
negara yang menghalangi akses perdagangan. Dengan kata lain, keputusan yang dihasilkan dari
intergovernmental bargaining turut mendukung liberalisasi perdagangan, baik secara langsung
ataupun tidak langsung.1
Dalam perkembangannya, proses bargaining dibagi menjadi beberapa putaran dengan
tenggat waktu yang telah ditentukan, yaitu waktu putaran dimulai dan waktu target putaran yang
diharapkan menghasilkan konklusi. Pada awal putaran, pemerintah dari berbagai negara bertemu
dalam WTO Ministerial Conference. Mereka akan mengadakan pertemuan selama tiga atau
empat hari untuk bernegosiasi untuk membuat agenda dalam menghadapi isu-isu tertentu serta
menentukan waktu target untuk konklusi putaran. Setelah Ministerial Conference selesai,
masing-masing negara di level nasional akan mengadakan pembahasan tentang detail-detail
negosiasi yang termasuk ke dalam agenda yang telah ditentukan dalam Ministerial Conference.
Jika negara menyetujuinya, menteri perdagangan dari negara tersebut akan bertemu dalam Final
Ministerial Conference untuk menandatangani putaran. Kemudian pemerintah nasional
meratifikasi persetujuan dan mengimplementasikan hasil persetujuannya dalam beberapa waktu
yang telah disepakati.2
Pada awalnya, persetujuan lebih difokuskan pada serangkaian peraturan tentang tarif.
Misalnya pada konferensi Geneva (1947) yang diikuti 23 negara, Annecy (1949) yang diikuti 13
negara, Torguay (1951) yang diikuti 38 negara, Geneva (1956) yang diikuti 26 negara, tariflah
1
2
Thomas Oatley, International Political Economy, 5th Ed., New York: Pearson Education, 2012, hlm. 24.
Loc. Cit.
yang menjadi pembahasan utama. Bahkan pada permulaan pemberlakuan putaran, yaitu Putaran
Dillon (1960-1961) yang diikuti oleh 26 negara, tarif masih menjadi subjek negosiasi yang
diprioritaskan. Kemudian pada Putaran Kennedy (1964-1967) yang diikuti oleh 62 negara,
antidumping turut ditambahkan menjadi subjek pembahasan selain tarif. Selanjutnya, pada
Putaran Tokyo (1973-1979) yang diikuti oleh 102 negara, subjek yang dibahas ditambah lagi,
yaitu tarif, nilai non-tarif, dan kesepakatan kerangka.3
Kemudian pada Putaran Uruguay (1986-1993) yang diikuti oleh 123 negara, hal yang
dibahas lebih banyak lagi bahkan berujung pada suatu fenomena bersejarah, yaitu pembentukan
WTO (World Trade Organization) yang sebelumnya bernama GATT (General Agreement on
Tariffs and Trade). Putaran Uruguay termasuk salah satu putaran yang sangat berpengaruh besar
terhadap rezim perdagangan internasional sampai saat ini. Dalam Putaran Uruguay, fokus
negosiasi semakin meluas menjadi tarif, nilai non-tarif, peraturan, jasa, hak kekayaan intelektual,
tekstil dan pakaian, agrikultur, penyelesaian sengketa, dan yang paling disoroti yaitu pendirian
WTO. Lalu putaran selanjutnya ialah Putaran Doha (2002-?) yang diikuti oleh 147 negara, yang
bernegosiasi tentang tarif, agrikultur, jasa, hak kekayaan intelektual, pembekalan pemerintah,
peraturan, penyelesaian sengketa, perdagangan dan lingkungan, peraturan berkompetisi,
electronic commerce, dan lain sebagainya.4
Bagaimana Peran Negara Berkembang terhadap Putaran Uruguay?
Rezim perdagangan bebas tentunya tidak serta-merta dapat diterima secara umum oleh
semua negara. Apalagi oleh negara berkembang yang sebenarnya belum mampu mengikuti
serangkaian peraturan yang dihasilkan dari negosiasi dalam WTO. Selain itu pula disinyalir
bahwa serangkaian peraturan yang dihasilkan dari Putaran Uruguay ialah preferensi dari
Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang, seperti The General Agreement on Trade in Services
(GATS), the agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), TradeRelated Investment Measures (TRIMS), dan berbagai regulasi tentang pengurangan tarif yang
disertai keuntungan komparatif.5
3
Ibid., hlm. 25.
Loc. Cit.
5
Andrew Walter & Gautam Sen, Analyzing the Global Political Economy, New Jersey: Princeton University Press,
2009, hlm. 38.
4
Namun seiring berubahnya GATT menjadi WTO, negara berkembang yang semula
menjadi oposisi rezim perdagangan bebas, berubah haluan menjadi turut menyukseskan tujuan
liberalisasi perdagangan. Karena bagaimanapun perdagangan bebas multilateral dianggap
sebagai slah satu upaya pemenuhan kepentingan nasional mereka. Hal ini dilatarbelakangi pula
oleh berbagai hambatan dan konflik WTO seperti negosiasi Ministerial Conference pada tahun
1982 yang terhenti ketika negara-negara berkembang menginginkan untuk memperluas agenda.
Kemudian konflik Amerika Serikat dengan Uni Eropa mengenai subsidi pertanian yang juga
berdampak bagi peranan negara-negara berkembang dalam rezim perdagangan dunia, khususnya
pada saat Putaran Uruguay.6
Dengan adanya beberapa latar belakang tersebut, negara-negara berkembang yang
tadinya tidak mendapatkan kesempatan untuk bernegosiasi, menjadi lebih berkesempatan untuk
ikut bernegosiasi. Kesempatan tersebut digunakan oleh negara-negara berkembang dengan
sebaik-baiknya sehingga menghasilkan pengembangan aturan yang lebih kuat dan signifikan.
Misalnya peraturan tentang prosedur interaksi perdagangan yang diubah, yang berdampak pada
kesejahteraan para pedagang kecil yang semula sering dikhianati pedagang besar dalam
perjanjian multilateral.7
Berubahnya GATT menjadi WTO tercatat dapat meningkatkan persentase peran negara
berkembang dalam penyelesaian sengketa WTO sebesar 28,5%. Persentase ini tentu saja lebih
banyak daripada persentase peran negara-negara berkembang saat WTO masih berwujud GATT.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa negara-egara berkembang cukup punya andil besar
dalam menguatkan rezim perdagangan dunia. Negara-negara berkembang bisa dibilang dapat
mengubah egoistic multilateralism menjadi deep multilateralism atau superlateralism.8
6
Jane Ford, “A Social Theory of Trade Regime Change: GATT to WTO”, dalam International Studies Review, Vol.
4, No. 3, 2002, hlm. 115-138.
7
Loc. Cit.
8
Loc. Cit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ford, Jane. 2002. “A Social Theory of Trade Regime Change: GATT to WTO”, dalam
International
Studies
Review.
Vol.
4.
No.
3.
Diunduh
dari
http://www.jstor.org/stable/3186466, pada 5 Mei 2016, pukul 20.35 WIB.
2. Oatley, Thomas. 2012. International Political Economy. 5th Edition. New York: Pearson
Education.
3. Walter, Andrew & Sen, Gautam. 2009. Analyzing the Global Political Economy. New
Jersey: Princeton University Press.
POIN PENTING
1. Peraturan WTO dihasilkan dari proses intergovernmental bargaining kemudian
dikembangkan menjadi bargaining round (putaran)
2. Putaran Dillon (1960-1961) Putaran Kennedy (1964-1967) Putaran Tokyo (19731979) Putaran Uruguay (1986-1993) Putaran Doha (2002-?)
3. Putaran Uruguay cikal bakal berubahnya GATT menjadi WTO mengalami
hambatan (terhentinya negosiasi pada Ministerial Conference 1982 & konflik AS-UE
tentang subsidi pertanian)
4. Hambatan tersebut dimanfaatkan negara-negara berkembang kesempatan untuk
bernegosiasi menguatkan peraturan (pola interaksi perdagangan yang baru, dan lainlainj)
5. Kuatnya peraturan pada Putaran Uruguay bukti peran negara-negara berkembang
meningkat 28,5% ubah egoistic multilateralism menjadi deep multilateralism atau
superlateralism