kebijakan kapala sekolah dalam pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(PROPENAS), dinyatakan bahwa ada tiga tantangan besar dalam bidang
pendidikan di Indonesia, yaitu (1) mempertahankan hasil-hasil pembangunan
pendidikan yang telah dicapai; (2) mempersiapkan sumber daya manusia yang
kompeten dan mampu bersaing dalam pasar kerja global; dan (3) sejalan dengan
diberlakukannya otonomi daerah sistem pendidikan nasional dituntut untuk
melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses
pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman, memperhatikan
kebutuhan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi
masyarakat.
Dalam upaya memaksimalisasi penyelenggaraan otonomi daerah sistem
pendidikan tersebut, pemerintah berupaya meningkatkan peran sekolah dan
masyarakat sekitar (stakeholder) dalam pengelolaan pendidikan, sehingga
penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih baik dan mutu lulusan semakin bisa
ditingkatkan. Pemerintah memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada
sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya pengalihan
kewenangan pengambilan keputusan ke level sekolah, maka sekolah diharapkan
lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan

kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya. Atau dengan kata lain, sekolah
harus mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan
masyarakat.
Kebijakan merupakan suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk
mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten
dalam mencapai tujuan tertentu.
Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problemoriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Kebijakan sekolah
menjadi kata kunci dalam merumuskan tujuan umum dan spesifik sekolah, maka
kebijakan sekolah harus benar-benar orientasinya kepada persoalan yang dihadapi

oleh pendidikan itu sendiri, baik secara internal maupun eksternal yang disertai
dengan upaya pembenahan, sehingga kualitas pelayanan sekolah dapat
diwujudkan. 1 Namun demikian, baik analisis kebijakan maupun pengembangan
kebijakan keduanya memfokuskan pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan.
Analisis kebijakan mengkaji kebijakan yang telah berjalan, sedangkan
pengembangan kebijakan memberikan petunjuk bagi pembuatan atau perumusan
kebijakan yang baru.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kebijakan pendidikan?
2. Apa karakteristik kebijakan pendidikan?

3. Unsur apa saja yang berperan dalam pembuatan kebijakan pendidikan?
4. Apa saja rumusan dan ruang kebijakan pendidikan?
3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian kebijakan pendidikan
2. Memahami karakteristik kebijakan pendidikan
3. Mengetahui unsur yang berperan dalam pembuatan kebijakan pendidikan
4. Mengetahui Apa saja rumusan dan ruang kebijakan pendidikan

Muhtar, Orientasi Baru Supervisi Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada, 2009, hal. 33

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebijakan Pendidikan
1. Pengertian Kebijakan
Kebijakan (policy) secara etimologi (asal kata) diturunkan dari bahasa Yunani,
yaitu “Polis” yang artinya kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan
gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama
diterima pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar
tujuannya (Monahan dalam Syafaruddin, 2008:75).
Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi,

yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan
tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para
anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku (Dunn, 1999).
Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan
Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan
interpratatif, meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang
tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa
menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan harus memberi peluang
diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada.
2. Fungsi Kebijakan
Faktor yang menentukan perubahan, pengembangan atau restrukturisasi
organisasi adalah terlaksananya kebijakan organisasi sehingga dapat dirasakan
bahwa kebijakan tersebut benar-benar berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan
ialah berupa keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturanaturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan sebagai pedoman oleh
pimpinan, staf, dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan
eksternal.
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan
kebijakan (policy making) adalah sejumlah model yang dirangkum dari semua
bagian yang ada di lingkungan kebijakan dan berhubungan langsung kepada
sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan


memperhatikan

faktor

lingkungan

eksternal,

input

(masukan),

proses

(transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan
kepada pembuat kebijakan.
Dari model diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan dibuat untuk menjadi
pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan

garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang
organisasi.
3. Kebijakan Pendidikan
Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa
kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959)
memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) sebagai suatu
pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan beberapa penilaian atas
faktor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai
dasar untuk mengopersikan pendidikan yang bersifat melembaga. Pertimbangan
tersebut merupakan perencanaan yang dijadikan sebagai pedoman untuk
mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai.
Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan kebijakan yang ada dalam
lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar negeri,
keagamaan dan lain-lain. Konsekuensinya kebijakan pendidikan di Indonesia
tidak bisa berdiri sendiri. Ketika ada perubahan kebijakan publik maka kebijakan
pendidikan bisa berubah. Ketika kebijakan politik dalam dan luar negeri,
kebijakan pendidikan biasanya akan mengikuti alur kebijakan yang lebih luas
B. Karakteristik Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
a. Memiliki tujuan pendidikan.

Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan
terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
b. Memenuhi aspek legal-formal.
Kebijakan pendidikan perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat agar diakui
dan secara sah. Kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional

sesuai dengan hierarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia
dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut.
c. Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya
harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan untuk
memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Hal ini
karena

kebijakan

pendidikan

memiliki


fungsi

sebagai

pendukung

pengambilan keputusan.
d. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang
memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tidak menimbulkan kerusakan
pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para administrator
pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan
langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan
pendidikan.
e. Dapat dievaluasi
Setiap kebijakan tentunya tak luput dari kesalahan dan kekurangan yang
harus terus dievaluasi dan ditindaklanjuti. Jika baik maka dipertahankan atau
dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan maupun kekurangan,
maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki
karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi secara mudah dan efektif.

f. Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan representasi dari sebuah sistem
yang ingin dibangun, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas
menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun
dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan stabilitas yang tinggi agar
kebijakan pendidikan itu tidak rapuh akibat serangkaian faktor yang hilang
atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan
cermat agar pemberlakuannya tidak menimbulkan kecacatan hukum serta
sejalan dengan kebijakan lainnya seperti kebijakan politik, kebijakan
moneter dan kebijakan pendidikan di atas dan dibawahnya.
1. Pendekatan dalam Perumusan Kebijakan Pendidikan
a. Pendekatan Social Demand Approach (kebutuhan sosial)

Sosial demand approach adalah suatu pendekatan dalam perumusan
kebijakan pendidikan yang mendasarkan diri pada aspirasi, tuntutan serta
aneka kepentingan yang didesakkan oleh masyarakat. Pada jenis pendekatan
jenis ini para pengambil kebijakanakan lebih dahulu menyelami dan
mendeteksi terhadap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat sebelum
mereka merumuskan kebijakan pendidikan yang ditanganinya.
Pendekatan social demand sebenarnya tidak semata-mata merespon aspirasi

masyarakat sebelum dirumuskannya kebijakan pendidikan, akan tetapi juga
merespon

tuntutan

masyarakat

setelah

kebijakan

pendidikan

diimplementasikan. Partisipasi warga dari seluruh lapisan masyarakat
diharapkan terjadi baik pada masa perumusan maupun implementasi
kebijakan pendidikan.
Dalam perumusan kebijakan dapat digolongakan ke dalam tipe perumusan
kebijakan yang bersifat pasif. Artinya suatu kebijakan baru dapat dirumuskan
apabila ada tuntutan dari masyarakat terlebih dahulu.
b. Pendekatan Man-Power Approach

Pendekatan

jenis

ini

lebih

menitikberatkan

kepada

pertimbangan-

pertimbangan rasional dalam rangka menciptakan ketersediaan sumberdaya
manusia (human resources) yang memadai di masyarakat. Pendekatan manpower ini tidak melihat apakah ada permintaan dari masyarakat atau tidak,
apakah masyarakat menuntut untuk dibuatkan suatu kebijakan pendidikan
tertentu atau tidak, tetapi yang terpenting adalah menurut pertimbanganpertimbangan rasional dan visioner dari sudut pandang pengambil kebijakan.
Pemerintah sebagai pemimpin yang berwenang merumuskan suatu kebijakan
memiliki legitimasi kuat untuk merumuskan kebijakan pendidikan.

2. Aspek-aspek yang tercakup dalam Kebijakan Pendidikan
Aspek-aspek yang tercakup dalam kebijakan pendidikan menurut H.A.R Tilaar &
Riant Nugroho dalam Arif Rohman (2009: 120):

a. Kebijakan pendidikan merupakan suatu keseluruhan mengenai hakikat
manusia sebagai makhluk yang menjadi manusia dalam lingkungan
kemanusiaan. Kebijakan pendidikan merupakan penjabaran dari visi dan misi
dari pendidikan dalam masyarakat tertentu.
b. Kebijakan pendidikan dilahirkan dari ilmu pendidikan sebagai ilmu praktis
yaitu kesatuan antara teori dan praktik pendidikan. Kebijakan pendidikan
meliputi proses analisis kebijakan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan
evaluasi.
c. Kebijakan pendidikan haruslah mempunyai validitas dalam perkembangan
pribadi serta masyarakat yang memiliki pendidikan itu. Bagi perkembangan
individu, validitas kebijakan pendidikan tampak dalam sumbangannya bagi
proses pemerdekaan individu dalam pengembangan pribadinya.
d. Keterbukaan (openness). Proses pendidikan sebagai proses pemanusiaan
terjadi dalam interaksi sosial. Hal ini berarti bahwa pendidikan itu
merupakan milik masyarakat. Apabila pendidikan itu merupakan milik
masyarakat maka suara masyarakat dalam berbagai tingkat perumusan,
pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pendidikan perlu mendengar suara atau
saran-saran dari masyarakat.
e. Kebijakan pendidikan didukung oleh riset dan pengembangan. Suatu
kebijakan pendidikan bukanlah suatu yang abstrak tetapi yang dapat
diimplementasikan. Suatu kebijakan pendidikan merupakan pilihan dari
berbagai alternatif kebijakan sehingga perlu dilihat output dari kebijakan
tersebut dalam praktik.
f. Analisis kebijakan sebagaimana pula dengan berbagai jenis kebijakan seperti
kebijakan ekonomi, kebijakan pertahanan nasional dan semua jenis kebijakan
dalam kebijakan publik memerlukan analisis kebijakan.
g. Kebijakan pendidikan pertama-tama ditujukan kepada kebutuhan peserta
didik. Kebijakan pendidikan seharusnya diarahkan pada terbentuknya para
intelektual organik yang menjadi agen-agen pembaharuan dalam masyarakat
bangsanya.
h. Kebijakan pendidikan diarahkan pada terbentuknya masyarakat demokratis.
Peserta didik akan berdiri sendiri dan mengembangkan pribadinya sebagai
pribadi yang kreatif pendukung dan pelaku dalam perubahan masyarakatnya.
Kebijakan pendidikan haruslah memfasilitasi dialog dan interaksi dari

peserta didik dan pendidik, peserta didik dengan masyarakat, peserta didik
dengan negaranya dan pada akhirnya peserta didik dengan kemanusiaan
global.
i.

Kebijakan pendidikan berkaitan dengan penjabaran misi pendidikan dalam
pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Apabila visi pendidikan mencakup
rumusan-rumusan yang abstrak, maka misi pendidikan lebih terarah pada
pencapaian tujuan-tujuan pendidikan yang konkret. Kebijakan pendidikan
merupakan hal yang dinamis yang terus menerus berubah namun terarah
dengan jelas.

j.

Kebijakan pendidikan harus berdasarkan efisiensi. Kebijakan pendidikan
bukan semata-mata berupa rumusan verbal mengenai tingkah laku dalam
pelaksanaan praksis pendidikan. Kebijakan pendidikan harus dilaksanakan
dalam

masyarakat,

dalam

lembaga-lembaga

pendidikan.

Kebijakan

pendidikan yang baik adalah kebijakan pendidikan yang memperhitungkan
kemampuan di lapangan, oleh sebab itu pertimbangan-pertimbangan
kemampuan tenaga, tersedianya dana, pelaksanaan yang bertahap serta
didukung oleh kemampuan riset dan pengembangan merupakan syarat-syarat
bagi kebijakan pendidikan yang efisien.
k. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaan tetapi kepada
kebutuhan peserta didik. Telah kita lihat bahwa pendidikan sangat erat
dengan kekuasaan. Menyadari hal itu, sebaiknya kekuasaan itu diarahkan
bukan untuk menguasai peserta didik tetapi kekuasaan untuk memfasilitasi
dalam pengembangan kemerdekaan peserta didik. Kekuasaan pendidikan
dalam konteks masyarakat demokratis bukannya untuk menguasai peserta
didik, tetapi kekuasaan untuk memfasilitasi tumbuh kembang peserta didik
sebagai anggota masyarakat yang kreatif dan produktif.
l.

Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan intiusi atau kebijaksanaan yang
irasional. Kebijakan pendidikan merupakan hasil olahan rasional dari
berbagai alternatif dengan mengambil keputusan yang dianggap paling
efisien dan efektif dengan memperhitungkan berbagai jenis resiko serta jalan
keluar bagi pemecahannya. Kebijakan pendidikan yang intuitif akan tepat
arah namun tidak efisien dan tidak jelas arah sehingga melahirkan
pemborosan-pemborosan. Selain itu kebijakan intuitif tidak perlu ditopang
oleh riset dan pengembangannya. Verifikasi terhadap kebijakan pendidikan

intuitif akan sulit dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu sehingga bersifat
sangat tidak efisien. Kebijakan intuitif akan menjadikan peserta didik sebagai
kelinci percobaan.
m. Kejelasan tujuan akan melahirkan kebijakan pendidikan yang tepat.
Kebijakan pendidikan yang kurang jelas arahnya akan mengorbankan
kepentingan peserta didik. Seperti yang telah dijelaskan, proses pendidikan
adalah proses yang menghormati kebebasan peserta didik. Peserta didik
bukanlah objek dari suatu projek pendidikan tetapi subjek dengan nilai-nilai
moralnya.
C. Unsur Pembuat kebijakan Pendidikan
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat dan
pemerintah. Dengan dasar tersebut maka perbaikan kualitas pendidikan di
Indonesia menjadi beban bersama orang tua, masyarakat dan pemerintah. Dalam
UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan nasional disebutkan beberapa
peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan pendidikan, yaitu
a. Dewan pendidikan, yaitu lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai
unsur masyarakat yang berperan dalam peningkatan mutu pelayanan
pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat
Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/ Kota yang tidak mempunyai
hubungan hirarkis
b. Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan
orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat
yang dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan
memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan
prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
c. Pemerintah pusat dan daerah melalui kementerian terkait sebagai penentu
kebijakan pendidikan nasional
Selain peran pengawasan dan regulator dari ketiga unsur di atas, penyusunan
kebijakan pendidikan, terutama lembaga pendidikan swasta, dilakukan oleh
lembaga pelaksana pendidikan berdasarkan
a. Faktor demografi
b. Nilai dan norma yang berlaku di masyarakat

c. visi, misi dan tujuan penyelenggaraan pendidikan itu sendiri
D. Rumusan dan Ruang Kebijakan Pendidikan
1. Rumusan Kebijakan Pendidikan
Keberhasilan dalam pembuatan kebijakan sangat dipengaruhi langkah pertama,
yaitu identifikasi dari bidang umum, analisis, penyusunan sasaran, memutuskan
bidang-bidang pelaksanaan, menjelajahi administrasi secara luas, politik dan
dimensi masyarakat, negosiasi dan konsultasi, dan akhirnya formulasi akhir serta
pelasanaan kebijakan. Efektivitas pembuatan kebijakan didasari kesamaan
sasaran pada semua level.
Pengambil kebijakan meracik seputar kebutuhan dalam pendidikan agar dapat
terlaksana, untuk merumuskan kebijakan pendidikan berdasarkan sistematis
seperti berikut ini:
b. Munculnya Masalah dan Isue
Kebijakan adalah hasil dari kebutuhan dan nilai yang belum terpenuhi
atau kesempatan untuk mengadakan perbaikan berdasarkan masalah yang
muncul
c. Pengagendaan
Pada tahap ini seluruh isu dan masalah yang berkembang yang
mempunyai urgensi terhadap kemaslahatan akan difilter, masalah dan isu
yang paling urgensi layak untuk diidentifikasi lebih awal dibandingkan
dengan isu dan masalah lain untuk dimasukkan kepada pengagendaan
penyusunan kebijakan.
d. Formulasi Kebijakan
Setelah masalah teridentifikasi maka berlanjut kepada proses yang sangat
urgen yaitu perumusan kebijakan pendidikan, Anderson mengungkapkan
perumusan

kebijakan

menyangkut

upaya

menjawab

pertanyaan

bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalah-masalah yang
dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi. 2 ini merupakan proses yang
secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
khusus.
Pada tahap formulasi, masalah-masalah yang sudah masuk ke dalam
agenda para perumus kebijakan dicarikan pemecahan masalah terbaik,
Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan., hal 95

yang kemudian dirumuskan menjadi suatu kebijakan. Mengadopsi
masukan terbaik dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan oleh
perumus hingga dapat menghasilkan kebijakan terbaik.
Jika sebuah kebijakan telah diambil maka secara tidak langsung
pengambil kebijakan wajib mengimplementasikan dan menyosialisasikan
kepada seluruh sumberdaya yang dimiliki untuk nantinya akan mencapai
tahap evaluasi dengan tujuan melihat sejauh mana kebijakan yang telah
dirumuskan dapat memecahkan permasalahan.
Dalam membuat kebijakan, Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan Nasional era
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan kepada para pembuat
kebijakan, agar di dalam membuat kebijakan harus berdasarkan pada pilar 5K,
yakni Ketersediaan, Keterjangkauan, Kualitas, Kesetaraan dan Kepastian.
Kelima pilar ini menjadi satu kesatuan dan harus dilaksanakan pada akselerasi
yang sama, jika ingin perluasan pendidikan yang bermutu menjadi target
kebijakan pendidikan. Pilar Ketersediaan merefleksikan jaminan, bahwa layanan
pendidikan harus tersedia bagi semua anak usia pendidikan dari dasar sampai
perguruan tinggi. Sedangkan pilar Keterjangkauan mempunyai dua makna, yakni
Keterjangkauan secara ekonomis (affordable), dan Keterjangkauan secara
geografis (reacheable). Pilar Kesetaraan memiliki nilai tersendiri, karena setiap
orang di negeri ini memang pantas dan layak untuk mendapatkan sebuah
pendidikan. Terakhir pilar Kepastian merupakan komitmen pemerintah untuk
menjamin bahwa peserta didik dapat memilih jenis dan jalur, serta jenjang
pendidikan yang sesuai dengan potensi akademis, minat dan bakatnya.
Menurut Newton dan Tarrant, sebagaimana dikutif oleh Safaruddin, proses
membuat kebijakan dan penyusunan tujuan untuk meletakkan kebijakan ke dalam
praktik adalah menguji kebaikannya secara detail. Kebijakan dapat berasal pada
sejumlah tingkatan atau dari berbagai macam sumber yaitu : pemerintah pusat,
pemerintah daerah, administrator, guru dan lain-lain.
2. Ruang Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan bisa dikelompokkan menjadi empat kategori

Pertama, kebijakan yang berkenaan dengan fungsi-fungsi esensial dari sekolah
dan lembaga-lembaga pendidikan tersier.
berhubungan dengan kurikulum,

tetapi

Sebagian dari kebijakan ini
juga

meliputi

kebijakan

yang

berhubungan dengan penetapan tujuan dan sasaran, rekrutmen dan pendaftaran
siswa, penilaian siswa, penghargaan dan disiplin siswa.
Kedua, kebijakan yang berkenaan dengan penetapan, struktur dan pengaturan
lembaga secara individual dan sistem pendidikan yang menyeluruh atau sebagian.
Ketiga berhubungan dengan rekrutmen; pekerjaan, promosi dan supervisi seluruh
staf.
keempat ialah kebijakan yang berhubungan dengan ketentuan alokasi sumber
keuangan dan ketentuan dan pemeliharaan bangunan dan peralatan.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari makalah yang telah dipaparkan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;
1. kebijakan pendidikan (educational policy) sebagai suatu pertimbangan yang
didasarkan atas system nilai dan beberapa penilaian atas faktor-faktor yang
bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk
mengopersikan pendidikan yang bersifat melembaga.
2. Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni memiliki
tujuan

pendidikan,

memenuhi

aspek

legal-formal,

memiliki

konsep

operasional, dibuat oleh yang berwenang, dapat dievaluasi dan memiliki
sistematika.
3. Perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia menjadi beban bersama orang tua,
masyarakat

dan

pemerintah

melalui

dewan

pendidikan,

komite

sekolah/madrasah, pemerintah pusat dan daerah.
4. Selain peran pengawas dan regulator penyusunan kebijakan pendidikan,
terutama lembaga pendidikan swasta, dilakukan oleh lembaga pelaksana
pendidikan berdasarkan (1) faktor demografi, (2) nilai dan norma yang berlaku
di masyarakat, dan (3) visi, misi dan tujuan penyelenggaraan pendidikan itu
sendiri

DAFTAR PUSTAKA
H.A.R.Tilaar & Riant Nugroho. Kebijakan Pendidikan, Yogyakarta: PusakaPelajar.
2008
Muhtar. Orientasi Baru Supervisi Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada. 2009

Pongtuluran, Aris. Kebijakan Organisasi dan Pengambilan Keputusan Manajerial,
Jakarta: LPMP. 1995
Sirozi, Muhammad. Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: INIS. 2004
UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan nasional