BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni Oleh Dinas Sosial Dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efektivitas

2.1.1 Pengertian Efektivitas

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektivitas diartikan sebagai sesuatu yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya) dapat diartikan dapat membawa hasil, berhasil guna, serta dapat pula berarti mulai berlaku. Seorang praktisi ahli mendefenisikan efektivitas sebagai pencapaian sasaran yang telah disepakati secara bersama serta tingkat pencapaian sasaran itu menunjukkan tingkat efektivitas ( Tampubolon, 2008:175).

  Hidayat menyatakan efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target kuantitas, kualitas dan waktu telah tercapai. Dimana makin besar persentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya. Sondang P. Siagian juga menjelaskan bahwa efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atau jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan.

  Menurut Abdurahman efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya. Menurut kamus administrasi efektif adalah berhasil guna/tepat guna. Efektif adalah pencapaian sasaran mengenai suasana dagang dan kemungkinan membuat laba/keuntungan. Efektif berarti terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan. Pekerjaan yang efesien adalah hasil yang dicapai dengan penghamburan pikiran, tenaga, waktu, ruang, dan benda.

  Dalam pengertian teoritis dan praktis, tidak ada persetujuan yang universal mengenai apa yang dimaksud dengan efektivitas. Efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan, kebijakan dan prosedur dari organisasi mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Suatu efektivitas dilihat berdasarkan pencapaian hasil atau pencapaian dari suatu tujuan. Efektivitas berfokus kepada outcome (hasil) dari suatu program atau kegiatan, yang dinilai efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan.

  Pada dasarnya, dikemukakan bahwa cara yang terbaik untuk meneliti efektivitas ialah memperhatikan secara serempak tiga buah konsep yang saling berhubungan, diantaranya adalah paham mengenai optimal tujuan, prespektif sistematika, tekanan pada segi tingkah laku manusia dalam susunan organisasi.

  Efektivitas dijabarkan berdasarkan kapasitas suatu organisasi untuk memperoleh mungkin dalam usahanya mengejar tujuan operasi dan operasionalnya.

  Efektivitas dan efisiensi adalah dua hal yang berbeda.Efektivitas adalah melakukan hal yang benar sesuai dengan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai.Efesiensi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara benar.Dalam hal ini efektivitas suatu program dapat menimbulkan sasaran atau tujuan yang telah disepakati bersama dapat terwujud dan dilaksanakan dengan baik maupun tidak.

  Efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional dalam melaksanakan program-program kerja yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya secara komprehensif. Efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat melaksanakan semua tugas-tugas pokok atau untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya.

  Dalam mengukur efektivitas suatu program atau kegiatan perlu diperhatikan beberapa indikator, yaitu:

1. Pemahaman program 2.

  Ketetapan sasaran 3. Tepat waktu 4. Tercapainya tujuan 5. Perubahan nyata (Sutrisno, 2007:125-126)

2.1.2 Pendekatan Terhadap Efektivitas

  Pendekatan terhadap efektivitas dilakukan dengan bagian yang berbeda, darilingkungannya. Kegiatan dan proses internal yang terjadi dalam perusahaan mengubah input menjadi output atau program yang kemudian dilemparkan kembali kepada lingkungannya. Pendekatanterhadap efektifitas terdiri dari:

  1.Pendekatan Sasaran Pendekatan ini mencoba mengatur sejauh mana suatu perusahaan berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai. Pendekatan sasaran dalam pengukuran efektivitas dimulai dengan identifikasi sasaran organisasi dan mengukur tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai sasaran tersebut.

  Sasaran yang perlu diperhatikan dalam pengukuran efektifitas ini adalah sasaran yang realistis untuk memberikan hasil maksimal berdasarkan sasaran resmi dengan memperhatikan permasalahan yang ditimbulkan. Dan memusatkan perhatian terhadap aspek output, yaitu dengan mengukur keberhasilan program dalam mencapai tingkat output. Pendekatan sasaran dapat direalisasikan apabila organisasimampu melakukan pendekatan kepad awarga binaaan sosial dalam mengarahkan kepada tujuan yang ingin dicapaiyaitu semua warga binaan sosial dapat berfungsi sosial.

  2.Pendekatan Sumber Pendekatan sumber mengukur efektivitasmelalui keberhasilan suatu lembaga dalam mendapatkan berbagai macam sumber yang dibutuhkan. Suatu organisasi harus dapat memperoleh berbagai macam sumber dan juga memelihara keadaan dan sistem agar dapat menjadi efektif. Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai keterbukaan sistem suatu organisasi terhadap lingkungannya, karena dari lingkungan diperoleh sumber-sumber yang merupakan input lembaga tersebut dan output yang dihasilkan juga dilemparkannya pada lingkungannya. Sementara itu sumber-sumber yang terdapat pada lingkungan sering kali bersifat langka dan bernilai tinggi. Pendekatan sumber dalam organisasi dapat di ukur dari seberapa jauh hubungan antara warga binaan sosial dengan lingkungan sekitarnya.

  3.Pendekatan Proses Pendekatan proses menganggap efektivitas sebagai defenisi dan kondisi kesehatan dari suatu organisasi. Pada organisasi yang efektif, proses internal berjalan dengan lancar dimana kegiatan bagian-bagian yang ada berjalan secara terkoordinasi. Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan melainkan memusatkan perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap berbagai sumber yang dimiliki organisasi, yang menggambarkan tingkat efesiensi serta kesehatan organisasi. Tujuan dari pada pendekatan proses yang dilakukan organisasi adalah bagaimana organisasi mampu menggunakan semua program secara terkoordinir dengan baik kepada warga binaan (Cunningham, 1978:635,dalam jurnal Dhahran Manogi Manurung, 2013).

2.1.3 Masalah dalam Pengukuran Efektivitas

  Kesulitan menilai efektivitas disebabkan oleh beberapa masalah yang tak terpisahkan dari model yang sekarang ada mengenai keberhasilan organisasi.

  Masalah-masalah pengukuran ini sangat beraneka ragam baik dalam sifat yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:

  1.Masalah kesahihan susunan.

  Maksud susunan disini adalah suatu hipotesis yang abstrak (sebagai lawan dariyang kongkrit) mengenai hubungan antara beberapa variabel yang saling berhubungan. Ia mengungkapkan keyakinan bahwa variabel-variabel tersebut bersama-sama membentuk suatu keseluruhan yang utuh.

  2.Masalah stabilitas kriteria Artinya bahwa banyak kriteria evaluasi yang digunakan ternyata relatif tidak stabil setelah beberapa waktu. Yaitu kriteria yang dipakai untuk mengukur efektivitas pada suatu waktu mungkin tidak tepat lagi atau menyesatkan pada waktu berikutnya. Kriteria tersebut berubah-ubah tergantung pada permintaan,kepentingan dan tekanan-tekanan ekstern.

  3.Masalah perspektif waktu.

  Masalah yang ada hubungannya dengan hal diatas adalah perspektif waktu yang dipakai orang pada waktu menilai efektivitas. Masalah bagi mereka yang mempelajari manajemen adalah cara yang terbaik menciptakan keseimbanganantara kepentingan jangka pendek dengan kepentingan jangka panjang, dalam usaha mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan dalam perjalanan waktu.

  4.Masalah kriteria ganda. dalam evaluasi efektivitas adalah sifatnya yang komprehensif,memadukan beberapa faktor kedalam suatu kerangka yang kompak. Hal yang terpenting adalah bahwa jika menerima kriteria tersebut untuk efektivitas, maka organisasi menurut defenisinya tidak dapat menjadi efektif, mereka tidak dapat memaksimalkan kedua dimensi tersebut secara serempak.

  5.Masalah ketelitian pengukuran.

  Pengukuran terdiri dari peraturan atau prosedur untuk menentukan beberapa nilai atribut dalam rangka agar atribut-atribut ini dapat dinyatakan secara kuantitatif. Jadi, berbicar amengenai pengukuran efektivitas organisasi,dianggap ada kemungkinan menentukan kuantitas dari konsep ini secara konsisten dan tetap. Tetapi penentuan kuantitas atau pengukuran demikian sering sulit karena konsep yang diteliti rumit dan luas. Dihadapkan dengan masalah tersebut, orang harus berusaha mengenali kriteria yang dapatdiukurdengan kesalahan minimum atau berusaha mengendalikan pengaruh yang menyesatkan dalam proses analisis.

  6.Masalah kemungkinan generalisasi Apabila berbagai masalah pengukuran diatas dapat dipecahkan, masih akan timbul persoalan mengenai seberapa jauh orang dapat menyatakan kriteria evaluasi yang dihasilkannya dapat berlaku juga pada organisasi lainnya. Jadi, pada waktu memilih kriteria orang harus memperhatikan tingkat konsistensi kriteria tersebut dengan tujuan dan maksud organisasi yang sedang dipelajari.

  7.Masalah relevansi teoritis Tujuan utama dari setiap ilmu adalah merumuskan teori-teori dan model-model yang secara tepat mencerminkan sifat subyek yang dipelajari. Jadi, dari sudut relevansi model-model tersebut. Jika model tersebut tidak membantu kita dalam memahami proses, struktur dan tingkah laku organisasi, maka mereka kurang bernilai pandang dari sudut teoritis.

  8.Masalah tingkat analisis Kebanyakan model efektivitas hanya menggarap tingkat makro saja, membahas gejala keseluruhan organisasi dalam hubungannya dengan efektivitas tetap imengabaikan hubungan yang kritis antara tingkah laku individu dengan persoalan yang lebih besar yaitu keberhasilan organisasi. Jadi, hanya ada sedikit integrasi antar model makro dengan apayang dapat kita sebut model mikro dari karya dan efektivitas (Steers, 1980: 61-64 dalam jurnal Dhahran Manogi Manurung, 2013).

2.2 Pengertian Program

  Program adalah unsur pertama yang harus ada demi terciptanya suatu kegiatan. Di dalam program dibuat beberapa aspek, disebutkan bahwa di dalam setiap program dijelaskan mengenai: 1. Tujuan kegiatan yang akan dicapai.

  2. Kegiatan yang diambil dalam mencapai tujuan.

  3. Aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui.

  4. Perkiraan anggaran yang dibutuhkan.

  5. Strategi pelaksanaan. Melalui program maka segala bentuk rencana akan lebih terorganisir dan lebihmudah untuk diopersionalkan. Hal ini sesuai dengan pengertian program

  “A programme is collection of interrelated project designed to harmonize and

integrated various action an activities for achieving averral policy abjectives”

  (suatu program adalah kumpulan proyek-proyek yang berhubungan telah dirancang untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang harmonis dan secara integraft untuk mencapai sasaran kebijaksanaan tersebut secara keseluruhan.

  Menurut Charles O. Jones, pengertian program adalah cara yang disahkan untuk mencapai tujuan, beberapa karakteristik tertentu yang dapat membantu seseorang untuk mengindentifikasi suatu aktivitas sebagai program atau tidak yaitu:

  1. Program cenderung membutuhkan staf, misalnya untuk melaksanakan atau sebagai pelaku program.

  2. Program biasanya memiliki anggaran tersendiri, program kadang biasanya juga diidentifikasikan melalui anggaran.

  3. Program memiliki identitas sendiri, yang bila berjalan secara efektif dapat diakui oleh publik.

  Program terbaik didunia adalah program yang didasarkan pada model teoritis yang jelas, yakni: sebelum menentukan masalah sosial yang ingin diatasi dan memulai melakukan intervensi, maka sebelumnya harus ada pemikiran yang serius terhadap bagaimana dan mengapa masalah itu terjadi dan apa yang menjadi solusi terbaik (Jones, 1996:295 dalam jurnal Benni Susanto Kembara, 2010).

2.3 Pemberdayaan Masyarakat

  Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas persoalan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraan. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai. (Siagian,2012:165)

  Pemberdayaan masyarakat secara sederhana dapat diartikan sebagai proses pengupayaan masyarakat yang di dalamnya terkandung gagasan dan maksud kesadaran tentang martabat dan harga diri, hak-hak masyarakat mengambil sikap, membuat keputusan dan selanjutnya secara aktif melibatkan diri dalam menangani perubahan.(Bahari dalam Siagian dan Suriadi, 2012:152)

  Pemberdayaan masyarakat pada dasarnya adalah mengembangkan kemampuan, kemandirian dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan, agar secara bertahap masyarakat dapat membangun diri dan lingkungannya secara mandiri dengan menciptakan demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pembangunan. Untuk mewujudkan kemandirian masyarakat dalam pembangunan, pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan memberikan kewenangan secara proporsional kepada masyarakat untuk mengambil keputusan secara mandiri tentang program – program yang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan demikian pemerintah berperan sebagai fasilitator melalui pemberian bantuan, pembinaan/arahan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan (akses Selasa, 27 Januari 2015 pukul 22.50 WIB). bukan hanya dalam bentuk kerja bakti dan donasi, tetapi masyarakat juga harus diberi kesempatan untuk ikut serta dalam menemukan masalah-masalah serta pengambilan keputusan dan penyusunan program pembangunan sehingga program yang disusun lebih sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. pemberdayaan masyarakat dewasa ini bangkit menggeliat menuntut haknya yaitu hak berdaulat, hak berkuasa, hak berencana, hak melaksanakan, hak mengawasi dan menikmati hasil pembangunan.(Sulaeman, 2012:8)

  Pembangunan masyarakat dengan pemberdayaan dipandang sangat penting berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut: (1) masyarakat yang produktif adalah masyarakat yang sehat, (2) proses perencanaan yang berasal dan diinginkan oleh masyarakat adalah lebih baik dibandingkan dengan perencanaan yang berasal dari penguasa, (3) proses partisipasi dalam pembangunan masyarakat merupakan pencegahan berbagai sikap masa bodoh, (4) proses pemberdayaan yang kuat dalam upaya-upaya kemasyarakatan merupakan dasar kekuatan bagi masyarakat yang demokratis dan mandiri. (Sulaeman, 2012:7)

  Pada prakteknya ruang lingkup program pemberdayaan masyarakat dapat diawali dari iktiar sederhana dalam suatu kelompok kecil. Ikhtiar tersebut selanjutnya dapat dikembangkan menjadi program dan aktivitas yang lebih luas,dan pada kelompok sasar yang lebih luas pula. Efektivitas pemberdayaan masyarakat dapat dicapai jika dirancang dalam masa panjang, melalui rancangan yang tepat, menyeluruh dan akurat, mengembangkan ikhtiar dan dukungan anggota masyarakat sebagai kelompok sasarkan masyarakat, dan berakhir pada pengalaman yang berkesan (Smith dalam Siagian dan Suriadi, 2012:153) kaidah yang dikembangkan dalam pendekatan dan strategi pemberdayaan masyarakat dalam perspektif pekerjaan sosial. Semua metode pekerjaan sosial, baik yang utama maupun pendukung senantiasa meletakkan manusia, baik secara pribadi, kelompok ataupun masyarakat sebagai fokus utama. Mereka tidak menerima begitu saja program dari pihak lain atau pihak luar, tetapi dilibatkan dalam proses supaya mereka berubah. Meminjam prinsip pekerjaan sosial, dalam program pemberdayaan masyarakat, maka masyarakat sebagai kelompk sasar tidak diberi ikan, tetapi diberi pancing.

  Efektivitas program pemberdayaan masyarakat hanya akan tercapai muatan program tersebut berisian peluang dan masyarakat bersikap tanggap.

  Selanjutnya masyarakat sadar atas kemampuan dan keterbatasannya dan mau bertindak bersama untuk menacapi keuntungan bersama, dan semua perubahan yang terjadi ditanggapi secara positif (Smith dalam Siagian dan Suriadi, 2012:154).

2.4 Kebijakan Publik dan Kebijakan Sosial

2.4.1 Kebijakan Publik

  Kebijakan (policy) adalah sebuah instrument pemerintah, bukan saja dalam arti goverment yang hanya menyangkut aparatur Negara, melainkan pula govermance yang menyeluruh pengelolaan sumber daya publik. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial, dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk,

  Banyak defenisi mengenai kebijakan publik. Sebagian ahli memberi pengertian kebijakan publik dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan sesuatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak bagi kehidupan warganya. Kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai “whatever goverment choose to do or not to do.” Artinya kebijakan publik adalah “apa saja yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.” (Brigdman dan Davis, dalam Suharto, 2008:3)

  Tidak berarti bahwa dalam kebijakan hanyalah milik atau domain pemerintah saja. Organisasi non pemerintah, organisasi sosial dan lembaga- lembaga sukarela lainnya memiliki kebijakan-kebijakan pula. Namun, kebijakan mereka tidak dapat diartikan sebagai kebijakan publik karena kebijakan mereka tidak memakai sumber daya publik atau tidak memiliki legalitas hukum sebagaimana kebijakan lembaga pemerintah.

  Kebijakan publik sedikitnya mencakup hal-hal sebagai berikut (Hogwood dan Gunn, dalam Suharto, 2008:5):

  1. Bidang kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan umum atau pernyataan- pernyataan yang ingin dicapai.

  2. Proposal tentu yang mencerminkan keputusan-keputusan pemerintah yang telah dipilih.

  3. Kewenanangan formal seperti undang-undang atau peraturan pemerintah.

  4. Program, yakni seperangkat kegiatan yang mencakup rencana penggunaan sumberdaya lembaga dan strategi pencapaian tujuan.

  5. Keluaran, yaitu apa yang nyata telah disediakan oleh pemerintah sebagai 6.

  Teori yang menjelaskan bahwa jika melakukan X maka diikuti oleh Y.

  7. Proses yang panjang dalam periode waktu tertentu yang relatif panjang.

  Brigdman dan Davis menerangkan bahwa kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang salung bertautan, yakni:

  1. Kebijakan publik sebagai tujuan Kebijakan adalah a means to an end yaitu alat untuk mencapai sebuah tujuan.

  Kebijakan publik pada akhirnya menyangkut pencapaian tujuan publik. Artinya, kebijakan publik adalah adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik sebagai konstituen pemerintah.

  2. Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang legal Melalui kebijakan-kebijakan, pemerintah membuat ciri khas kewenangannya.

  Artinya, kompleksitas dunia politik disederhanakan menjadi pilihan-pilihan tindakan yang sah dan legal untuk mencapai tujuan tertentu. Kebijakan kemudian dapat dilihat sebagai respon atau tanggapan resmi terhadap isu atau masalah publik.

  3. Kebijakan publik sebagai hipotesis Kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis mengenai sebab dan akibat. Kebijakan-kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi-asumsi mengenai perilaku. Kebijakan selalu mengandung insentif yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu. Kebijakan selalu memuat disinsetif yang mendorong orang tidak melakukan sesuatu.

2.4.2 Kebijakan Sosial

  Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Menurut Watts, Dalton dan Smith secara singkat kebijakan sosial menunjukkan pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya (Suharto, 2008:10).

  Kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori yakni: 1.

  Peraturan perundang-undangan yakni pemerintah memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan publik yang mengatur pengusaha, lembaga pendidikan, perusahaan swasta agar mengadopsi ketetapan-ketetapan yang berdampak langsung pada kesejahteraan.

  2. Program pelayanan sosial yakni sebagian besar kebijakan diwujudkan dan diaplikasikan dalam bentuk pelayanan sosial yang berupa bantuan barang, tunjangan uang, perluasan kesempatan, perlindungan sosial.

  3. Sistem perpajakan yakni dikenal sebagai kebijakan fiskal, selaian sebagai sumber utama pendanaan kebijakan sosial, pajak juga sekaligus merupaka instrumen kebijakan yang bertujuan langsung mencapai distribusi pendapatan yang adil. Di negara-negara maju bantuan publik dan asuransi sosial adalah dua bentuk jaminan sosial yang dananya sebagian berasal dari pajak. (Suharto, 2008:11) atau modern dan demokratis, semakin maju dan modern suatu negara maka semakin tinggi perhatian negara tersebut terhadap pentingnya kebijakan sosial. Sebaliknya di negara-negara miskin dan otoriter kebijakan sosial kurang mendapat perhatian. Kebijakan sosial pada hakekatnya merupakan kebijakan publik dalam bidang kesejahteraan sosial. Dengan demikian makna dari kebijakan sosial adalah kebijakan publik, sedangkan pada makna sosial adalah menunjuk pada bidang-bidang atau sektor yang menjadi garapannya yaitu bidang kesejahteraan sosial.

  Ada dua pendekatan dalam mendefenisikan kebijakan sosial sebagai sebuah kebijakan publik yaitu pendekatan pertama mendefenisikan kebijakan sosial sebagai seperangkat kebijakan negara yang dikembangkan untuk mengatasi masalah sosial melalui pemberian pelayanan sosial, dan jaminan sosial.

  Pendekatan kedua mendefenisikan kebijakan sosial sebagai disiplin studi yang mempelajari kebijakan-kebijakan kesejateraan, perumusan dan konsekuensinya. Meskipun kedua pendekatan ini memiliki orientasi yang berbeda baik sebagai ketetapan pemerintah maupun sebagai bidang studi keduanya memiliki atau menekankan bahwa kebijakan sosial adalah salah satu kebijakan publik yang menyangkut pembangunan kesejahteraan sosial (Spicker, Bregman dan Davis dalam Suharto, 2008:11-12).

2.5 Kemiskinan

  Ditinjau dari pihak yang mempersoalkan dan mencoba mencari solusi atas masalah kemiskinan, dapat dikemukakan bahwa kemiskikan merupakan masalah agenda khusus sehubungan dengan penanggulangan masalah kemiskinan. Dalam Millenium Development Goals, institusi sejagat tersebut memiliki target tertentu sehubungan dengan upaya penyelesaian masalah kemiskinan di muka bumi ini. Demikian halnya dengan negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, melalui berbagai kementrian, dinas maupun badan memiliki berbagai program penanggulangan masalah kemiskinan.

  Kemiskinan identik dengan suatu penyakit .Oleh karena itu, langkah pertama penanggulangan masalah kemiskinan adalah memahami kemiskinan sebagai suatu masalah. Cara berpikir seperti ini mengikuti alur berpikir dalam manajemen perencanaan strategik. Secara manajemen, memahami suatu masalah berarti menapaki 50% jalan penyelesaian masalah tersebut. Untuk memahami masalah kemiskinan, kita perlu memandang kemiskinan itu dari dua aspek, yakni kemiskinan sebagai suatu kondisi dan kemiskian sebagai suatu proses.

  Sebagai suatu kondisi, kemiskinan adalah suatu fakta dimana seorang atau sekelompok orang hidup di bawah atau lebih rendah dari kondisi hidup layak sebagai manusia disebabkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara, sebagai suatu proses kemiskinan merupakan proses menurunnya daya dukung terhadap hidup seseorang atau sekelompok oarang sehingga pada gilirannya ia atau kelompok tersebut tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak pula mampu mencapai taraf kehidupan yang dianggap layak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.

  Secara umum istilah miskin atau kemiskinan dapat dengan mudah kita artikan sebagai suatu kondisi yang kurang atau minim. Dalam hal ini konsep pribadi atau sekelompok orang di satu pihak dengan kebutuhan pribadi atau sekelompok orang di lain pihak. Pengertian minim di sini bersifat relatif, dapat berbeda dengan rentang waktu yang berbeda. Dapat pula berbeda dengan lingkungan yang berbeda. (Siagian, 2012:15).

  Kemiskinan merupakan produk dari interaksi teknologi, sumber daya alam dan modal dengan sumber daya manusia serta kelembagaan (Pearce, dalam Siagian 2012:7). Analisis kemiskinan seperti ini didasarkan pada hipotesis bahwa berbagai unsur yang menjadi elemen suatu ekosistem senantiasa terlibat dalam suatu interaksi. Dalam hal ini kemiskina itu merupakan suatu produk dari proses interaksi yang tidak seimbang atau interaksi yang bersifat timpang diantara berbagai elemen yang ada dalam ekosistem, sehingga pada gilirannya berdampak negatif terhadap kehidupan manusia. Interaksi diantara berbagai elemen yang telah dikemukakan sesungguhnya menentukan kondisi kehidupan manusia dan masyarakat, karena interaksi tersebut menentukan corak, bagaimana daya dukung suatu wilayah bagi kehidupan manusai atau masyarakat yang hidup di sekitarmya.

  Secara umum faktor-faktor penyebab kemiskinan secara ketegoris dengan menitikberatkan kajian pada sumbernya terdiri dari dua bagian besar, yaitu (Siagian, 2012:114-116): 1.

  Faktor Internal, yang dalam hal ini berasal dari dalam diri individu yang mengalami kemiskinan itu yang secara substansial adalah dalam bentuk kekurangmampuan, yang meliputi: a.

  Fisik misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan.

  Intelektual, seperti: kurangnya pengetahuan, kebodohan, miskinnya informasi.

  c.

  Mental emosional atau tempramental, seperti: malas, mudah menyerah dan putus asa. d.

  Spiritual, seperti: tidak jujur, penipu, serakah dan tidak disiplin.

  e.

  Sosial psikologis, seperti: kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi, stress, kurang relasi dan kurang mampu mencari dukungan.

  f.

  Keterampilan, seperti: tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja.

  g.

  Asset, seperti: tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah, tabungan, kendaraan dan modal kerja.

  2. Faktor eksternal, yakni bersumber dari luar diri individu atau keluarga yang mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik waktu menjadikannya miskin, meliputi: a.

  Terbatasnya pelayanan sosial dasar b.

  Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah sebagai aset dan alat memenuhi kebutuhan hidup.

  c.

  Terbatasnya lapangan perkerjaan formal dan kurang terlindunginya usaha- usaha sektor informal.

  d.

  Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga yang tidak mendukung sektor usaha mikro.

  e.

  Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor riil masyarakat banyak.

  f.

  Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum g.

  Dampak sosial negatif dari program penyesuaian struktural (structural

  adjusment program ) h.

  Budaya yang kurang medukung kemajuan dan kesejahteraan. i.

  Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil, atau daerah bencana. j.

  Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material k.

  Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata l. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin

2.6 Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni

  2.6.1 Tujuan Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni

  1) Tersedianya pelayanan perumahan yang layak huni bagi keluarga fakir miskin

  2) Meningkatnya kemampuan keluarga dalam melaksanakan peran dan fungsi keluarga untuk memberikan perlindungan, bimbingan, dan pendidikan keluarga.

  3) Meningkatnya kualitas kesehatan lingkungan pemukiman keluarga miskin

  4) Meningkatnya kualitas hidup masyarakat

  5) Berkembangnya kegotong-royongan dan kesetiakawanan sosial

  6) Meningkatnya kondisi perekonomian keluarga fakir miskin

  7) Terentaskannya masalah kemiskinan

  2.6.2 Kriteria Kepala Keluarga Penerima Bantuan RS-RTLH

  Adapun kriteria yang harus dimiliki kepala keluarga penerima bantuan 1.

  Memiliki KTP/identitas diri yang berlaku;

  2. Kepala keluarga /anggota keluarga tidak mempunyai sumber mata pencaharian atau mempunyai mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiian; 3. Kehidupan sehari-hari masih memerlukan bantuan pangan untuk penduduk miskin seperti zakat dan raskin;

  4. Tidak memiliki asset lain apabila dijual tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup anggota keluarga selama 3 bulan kecuali tanah dan rumah yang ditempati; 5. Memiliki rumah di atas tanah milik sendiri yang dibuktikan dengan sertifikat atau girik atau ada surat keterangan kepemilikan dari kelurahan

  /desa atas status tanah.

  6. Rumah yang dimiliki dan ditempati adalah rumah tidak layak huni yang tidak memenuhi syarat kesehatan, keamanan dan sosial, dengan kondisi sebagai berikut : a.

  Tidak permanen dan / atau rusak; b.

  Dinding dan atap dibuat dari bahan yang mudah rusak/lapuk, seperti : papan, ilalang, bamboo yang dianyam/gedeg, dsb; c.

  Dinding dan atap sudah rusak sehingga membahayakan, mengganggu keselamatan penghuninya; d.

  Lantai tanah/semen dalam kondisi rusak; Diutamakan rumah tidak memiliki fasilitas kamar mandi, cuci dan kakus.

2.6.3 Kriteria Sarana dan Prasarana Lingkungan

  Sarana prasarana lingkungan yang menjadi sasaran kegiatan adalah : a.

  Terletak pada lokasi RS-RTLH; b. Merupakan fasilitas umum yang mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat terutama warga miskin; c.

  Menjadi kebutuhan dan diusulkan oleh masyarakat; d. Legal dan tidak berpotensi menimbulkan konflik sosial; e. Masyarakat setempat bersedia untuk mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki seperti : lahan, tenaga dan material.

2.6.4 Kelompok Penerima Bantuan

  Kepala Keluarga penerima bantuan dengan difasilitasi oleh Dinas Sosial Kab/Kota membentuk kelompok dengan anggota berjumlah 5 sampai dengan 10 KK. Tugas kelompok adalah : a.

  Membentuk pengurus kelompok terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara; b.

  Membuka rekening di Bank Pemerintah atas nama kelompok dengan specimen ditandatangani ketua dan bendahara; c.

  Melakukan penilaian bagian rumah yang akan direhabilitasi; d. Menetapkan toko bangunan yang akan menjamin penyediaan barang; e.

  Mengusulkan pelaksana yang ahli dalam bidang bangunan (tukang);

  Mengajukan usulan kebutuhan perbaikan rumah beserta dana yang diperlukan maksimal sebesar Rp. 10.000.000,- setiap rumah untuk disetujui oleh Dinas SosialKab/Kota; g.

  Membantu tukang yang telah ditunjuk untuk mengerjakan perbaikan rumah secara gotong royong dalam satu kelompok; h.

  Setelah uang diterima, ketua membuat dan menandatangani tanda terima uang bantuan dari Kementerian Sosial sejumlah yang tercantum dalam rekening dengan diketahui aparat desa/kelurahan setempat dan segera dikirim ke Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota; i. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan dan kegiatan RS-RTLH kepada Direktorat Pemberdayaan Fakir

  Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota tembusan disampaikan kepada Dinas Sosial Provinsi dengan malampirkan bukti-bukti kwitansi pengeluaran dan surat pernyataan telah diselesaikannya pekerjaan yang diketahui kepala desa/lurah.

2.6.5 Tim Pembangunan Sarling ( Sarana Prasana Lingkungan)

  Dalam pelaksanaan pembangunan Sarling di RS-RTLH tim pembangunan sarling mempunyai tugas sebagai berikut: a.

  Menyusun pengurus Tim Sarling yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota; b.

  Membuka rekening di bank pemerintah atas nama kelompok dengan specimen ditandatangani ketua dan bendahara; Menentukan jenis Sarling yang akan dibangun sesuai kebutuhan masyarakat; d.

  Menggali dan mendayagunakan potensi dan sumber local; e. Menggerakkan masyarakat dan dunia usaha untuk berpartisipasi; f.

  Menunjuk tenaga ahli (tukang); g.

  Melaksanakan pembangunan Sarling secara bergotong-royong; h. Setelah uang diterima, ketua membuat dan menandatangani tanda terima uang bantuan dari Kementerian Sosial sejumlah yang tercantum dalam rekening dengan diketahui aparat desa/kelurahan setempat dan segera dikirim ke Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota; i. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan dan kegiatan Sarling kepada Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota tembusan disampaikan kepada Dinas Sosial Provinsi, dengan melampirkan bukti-bukti kwitansi pengeluaran dan surat pernyataan selesainya pekerjaan yang diketahui kepala desa/lurah.

2.6.6 Prosedur Pengusulan Kegiatan

  Prosedur pengusulan penerima bantuan rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni dan sarana prasarana lingkungfan adalah sebagai berikut : a.

  Dinas Sosial Kab/Kota bersama TKSK/PSM/Karang Taruna/Orsos/Aparat desa/Kelurahan melakukan pendataan KK calon penerima RTLH; b.

  Berdasarkan hasil pendataan tersebut, Dinas Sosial/Instansi rumah tidak layak huni ke Kementerian Sosial dengan rekomendasi Dinas Sosial Provinsi dengan melampirkan data lokasi, data calon penerima (by name by address) dan foto rumah; c.

  Ditjen Pemberdayaan Sosial cq Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi lapangan; d.

  Berdasarkan hasil verifikasi administrasi dan lapangan Ditjen Pemberdayaan Sosial mengeluarkan SK Penerapan KK penerima bantuan RS-RTLH dan alokasi Sarling; e.

  Nama penerima bantuan yang sudah ditetapkan dalam SK Dirjen Pemberdayaan Sosial tidak dapat diganti.

2.6.7 Pelaksanaan Kegiatan

2.6.7.1 Prinsip Pelaksanaan

  Prinsip pelaksanaan kegiatan RS-RTLH dan sarling adalah: a.

  Swakelola; Baik secara individu maupun kelompok sesuai pasal 39 dan lampiran I Bab III Keppres No.80 tahun 2003.

  b.

  Kesetiakawanan; Dilandasi oleh kepedulian sosial untuk membantu orang.

  c.

  Keadilan; Menekankan pada aspek pemerataan, tidak diskriminatif dan seimbang antara hak dan kewajiban.

  d.

  Kemanfaatan; Dilaksanakan dengan memperhatikan kegunaan diganti.

  e.

  Keterpaduan; Mengintegrasikan berbagai komponen terkait sehingga dapat berjalan secara terkoordinir dan sinergis. f.

  Kemitraan; Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan fakir miskin dan masyarakat pada umumnya dibutuhkan kemitraan dengan berbagai pihak.

  g.

  Keterbukaan; Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ini berhak mendapatkan informasi yang benar dan bersedia menerima masukan bagi keberhasilan pelaksanaan kegiatan RS- RTLH.

  h.

  Akuntabilitas; Berbagai sumber daya digunakan dengan penuh tanggung jawab dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun administratif. i.

  Partisipasi; Pelaksaan RS-RTLH dan Sarling dilaksanakan dengan melibatkan unsur masyarakat termasuk dunia usaha dengan mendayagunakan berbagai sumber daya yang dimilikinya. j.

  Profesional; Dilaksanakan dengan menggunakan manajemen yang baik dan pendekatan /konsep yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. k.

  Keberlanjutan; Dilaksanakan secara berkesinambungan untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian.

   Tahapan Pelaksanaan Bantuan a.

  Verifikasi proposal RS-RTLH dan Sarling; b. Penjajagan calon lokasi kegiatan, dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang kesiapan daerah dan masyarakat, kelayakan calon penerima bantuan dan faktor lainnya yang akan mendukung keberhasilan kegiatan; c.

  Sosialisasi Sosialisasi dilaksanakan dalam rangka memperoleh kesamaan pemahaman dan gerak langkah setiap pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan RS-RTLH dan SarlingSasaran kegiatan sosialisasi mencakup :

  1) Dinas/Instansi Sosial Provinsi;

  2) Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota;

  3) Unsur Masyarakat;

4) Pendamping (TKSK).

  d.

  Membangun dan mengembangkan komitmen untuk menyepakati berbagai sumber daya yang dapat dan akan dialokasikan oleh Pemerintah Daerah, masyarakat dan dunia usaha dalam rangka mencapai keberhasilan pelaksanaan program; e.

  Penentuan lokasi dan calon penerima; f. Verifikasi Calon Penerima Bantuan; g.

  Pelaksanaan pembangunan RS-RTLH dan Sarling : 1)

  Melakukan penilaian dan menentukan bagian rumah yang akan diperbaiki; Menetapkan prioritas bagian rumah yang akan diperbaiki berdasarkan pada fungsi dan ketersediaan dana dan sumber lainnya;

  3) Membuat rincian jenis/bahan bangunan yang diperlukan serta besarnya biaya;

  4) Melaksanakan pembelian bahan bangunan;

  5) Melaksanakan kegiatan perbaikan rumah dan pembangunan Sarling;

  6) Pelaksanaan pembangunan RS-RTLH dan Sarling telah selesai selambat-lambatnya 100 hari setelah dana masuk ke rekening kelompok.

  2.6.7.3 Pelaporan

  Pelaporan hasil pelaksanaan kegiatan oleh Dinas Sosial Kab/Kota kepada Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin, mencakup : a.

  Laporan pertanggungjawaban keuangan dana operasional dan Sarling masing-masing Kab/Kota selambat-lambatnya akhir tahun anggaran; b.

  Laporan pertanggungjawaban keuangan bantuan RS-RTLH masing-masing kelompok dan Sarling setelah selesai pelaksanaan pekerjaan; c. Laporan hasil pelaksanaan kegiatan dengan melampirkan foto rumah dan Sarling dalam kondisi sebelum, proses dan hasil akhir kegiatan dengan disertakan surat pernyataan penyelesaian hari setelah pekerjaan selesai.

  2.6.7.4 Pelaksanaan Program

  1) Unsur Pemerintahan

  • Kementrian Sosial • Dinas Sosial Provinsi • Jajaran Pemkot/Pemkab
  • Dinas Sosial Kota/Kabupaten
  • Dinas/Instansi/Lembaga terkait 2)

  Unsur Masyarakat

  • Penerima Bantuan • Tokoh Masyarakat, tokoh Agama, tokoh adat
  • TKSK, PSM, Karang Taruna, Tagana • WKSBM, FCU
  • Organisasi Sosial / LSM 3)

  Dunia Usaha

2.6.7.5 Peran Pihak-Pihak Terkait 1.

  Kementrian Sosial

  • Menyusun pedoman pelaksanaan Bedah Kampung • Menyiapkan anggaran Bedah kampung
  • Melakssanakan penjajakan dan verifikasi ke lokasi calon penerima kegiatan
  • Melaksanakn Koordinasi dengan pihak-pihak terkait
  • Menetapkan lokasi Bedah kampung berdasarkan usulan daerah
  • Menyalurkan bantuan Bedah Kampung • Melaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi
  • Membuat laporan kegiatan

2. Provinsi

  • Menerima usulan dari kab/kota data calon penerima bantuan RS-RLTH, Sarling, dan UEP KUBE serta memberikan rekomendasi
  • Mengusulkan lokasi yang menjadi prioritas kegiatan
  • Menggali potensi dan sumber untuk mengoptimalkan pelaksanaan bedah kampung
  • Bersama dengan kementrian sosial RI melakukan penjajakan, pematuhan evaluasi 3.

  Kabupaten

  • Melakukan pendataan/ menyiapkan mengajukan data lokasi bedah kampung dan data by name by addres calon kepala keluarga penerima kegiatan bantuan RS- RLTH, Sarling, dan UEP KUBE kepada kementrian sosial melalui dinas sosial provinsi
  • Melibatkan TKSK untuk menggerakan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan bedah kampung
  • Melakssakan sosial kegiatan bedah kampung kepada penerima bantuan pihak-pihak terkait wilayah kerjanya
  • Melaksanakan verifikasi calon penerima RS-RLTH,

  Sarling, UEP KUBE dalam rangka bedah kampung

  • Membentuk kelompok penerima bantuan UEP KUBE
  • Membentuk tim Sarling

  • Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan bedah kampung
  • Membuat/ menginformasikan rekening kelompok penerima bantuan dan menyiapkan rrekening untuk bantuan dana operasional untuk bantuan yang bersumber dari dana APBN
  • Mengalokasikan dana untuk optimalisasi pelaksanaan bedah kampung
  • Menggerakkan potensi sumber kesejahteraan sosial
  • Melaksanakan monitoring serta evaluasi
  • Bertanggung jawab atas kelancaran pelaksanaan pelaksanaan kegiatan bedah kampung
  • Menyampaikan laporan pertanggungjawaban bedah kampung kepada kementrian sosial.

4. Pendamping (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan)

  • Membantu membuat rencana usulan kebetuhan perbaikan rumah dan sarling dalam rangka bedah kampung
  • Membantu monitoring pelaksanaan kegiatan bedah kampung
  • Melaksanakan pendampingan terhadap KUBE
  • Membantu memobilisasi massa dalam pelaksanaan bedah kampung
  • Membantu pembuatan laporan

  • Memberikan motivasi kepada masyarakat penerima bantuan 5.

  Penerima bantuan RS-RLTH

  • Melakukan penilaian bagian rumah yang akan direhabilitasi
  • Mengajukan usulan kebutuhan perbaikan rumah beserta dana yang diperlukan maksimal sebesar Rp 10.000.000 untuk disetujui dinas sosial Kab/kota
  • Membantu tukang yang telah ditunjuk untuk mengerjakan perbaikan rumah secara gotong royong dalam satu kelompok 6.

  Masyarakat

  • Mengalokasikan sumber daya lain yang dibutuhkan untuk keberhasilan kegiatan
  • Melaksanakan penanggulangan dana dan sumber lainnya yang dibutuhkan
  • Bersama kelompok dan tim pembangunan sarling melaksanakan rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni dan sarana prasarana lingkungan
  • Melaksanakan pemeliharaan dan peningkatan hasil kegiatan bedan kampung

2.6.8 Penyaluran, Pencairan dan Penggunaan Dana

2.6.8.1 Penyaluran a.

  Pihak Dinas Sosial Kab/Kota mengajukan identitas penanggung jawab pengelola anggaran (nama dan alamat kantor, penanggung jawab program, nama bendahara pengeluaran, nomor rekening bank dan nomor pokok wajib pajak) ke Dit.

  PFM untuk dana operasional (tembusan disampaikan kepada Dinas/Instansi Sosial Provinsi); b. Pihak Dinas Sosial Kab/Kota mengajukan identitas dan nomor rekening Dinas Sosial yang sudah ada, rekening kelompok penerima bantuan RS-RTLH dan rekening Tim Sarling; c. Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Pemberdayaan Fakir

  Miskin mengajukan SPP-LS ke bagian keuangan Direktorat bJenderal Pemberdayaan Sosial dengan melampirkan SK Dirjen Pemberdayaan Sosial tentang penetapan penerima bantuan serta nomor rekening Dinas Sosial Kb/Kota, rekening kelompok penerima bantuan RS-RTLH dan rekening tim Sarling untuk dibuatkan SPM-LS; d.

  Pejabat Pembuat Komitmen mengajukan SPM-LS ke KPPN dilampiri SK Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial tentang penerima bantuan RS-RTLH dan Sarling, serta dana e.

  KPPN menerbitkan SP2D dan menyalurkan ke rekening Dinas Sosial Kab/Kota, rekening kelompok penerima bantuan RS- RTLH dan rekening tim Sarling; f.

  Pencairan dana kegiatan RS-RTLH dari rekening kelompok dapat dilaksanakan setelah mendapatkan rekomendasi/persetujuan dari Dinas Sosial Kab/Kota.

2.6.8.2 Penggunaan Dana a.

  Jumlah dana bantuan stimulant untuk setiap unit rumah; Rp.

  10.000.000,- dengan proporsi penggunaan sebagai berikut :

Tabel 2.1 Rincian Penggunaan Dana Bantuan RS-RTLH

  Uraian % Jumlah (Rp)

  Pembelian bahan bangunan dan konsumsi 90 9.000.000,- Biaya tukang 10 1.000.000,-

  J u m l a h 100 10.000.000,- b.

  Jumlah dana bantuan stimulant untuk setiap unit Sarling; Rp. 45.000.000,- dengan proporsi penggunaan sebagai berikut :

Tabel 2.2 Rincian penggunaan Dana Bantuan sarling Uraian % Jumlah (Rp)

  Pembelian bahan bangunan dqn konsumsi 90 40.500.000,-

  Biaya tukang 10 4.500.000,-

  J u m l a h 100 45.000.000,- c.

  Jumlah dana untuk operasional kegiatan sebesar Rp.

  12.500.000,- yang digunakan untuk:

  • Sosialisasi • Monitoring dan Evaluasi • Pelaporan d.

  Apabila sampai dengan akhir tahun anggaran masih terdapat sisa dana operasional, maka Dinas Sosial kab/Kota harus segera menyetor ke kas Negara dengan blanko Surat Setoran Pengembalian Belanja, belanja barang non operasional lainnya dengan kode 521218 an. Direktorat PFM kode Satker 440207.

  e.

  Seluruh pajak dan penerima Negara bukan pajak dalam pelaksanaan kegiatan dana operasional disetorkan ke kas Negara oleh pihak Dinas Sosial Kab/Kota sesuai peraturan perpajakan yang berlaku dengan menyampaikan bukti setoran pajak dan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) ke Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin.

2.6.9 Sanksi

  Sanksi hukum akan dikenakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku apabila : a.

  Dinas Sosial selaku penerima, pengelola dan penanggung jawab dana operasional tidak sepenuhnya dipergunakan sesuai dengan peruntukkannya; b. Kelompok penerima bantuan stimulan RS-RTLH selaku penerima, pengelola dan penanggung jawab dana bantuan tidak sepenuhnya dipergunakan sesuai dengan peruntukkannya; c. Tim Sarling selaku pengelola dan penanggung jawab dana Sarling tidak sepenuhnya dipergunakan sesuai dengan peruntukkannya.

2.6.10 Landasan Hukum a.

  Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 (ayat 2), 28 Huruf H ayat 3, 33, 34 ayat 1dan 2 b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tenteng Kesejahteraan

  Sosial c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan fakir

  Miskin d. Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 1981 tentang Pelayanan kesejahtraan sosial Bagi masyarakat Miskin e.

  PP 33Tahun 2007 tentang Pembagian Tugas pemerintahan antara

2.7 Kesejahteraan Sosial

  Kesejahteran berasal dari kata “sejahtera”. Sejahtera ini mengandung pengertian dari bahasa Sansekreta “Catera” yang berarti Payung. Dalam konteks ini, kesejahteraan yang terkandung dalam arti “cartera” (payung) adalah orang yang sejahtera yaitu orang yang dalam hidupnya bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketakutan, atau kekhawatiran sehingga hidupnya aman tentram, baik lahir maupun batin. Sedangkan sosial berasal dari kata “Socius” yang berarti kawan, teman, dan kerja sama. Orang yang sosial adalah orang yang dapat berelasi dengan orang lain dan lingkungannya dengan baik. Jadi kesejahteraan sosial adalah orang dapat berelasi dengan orang lain dan lingkungannya dengan baik. Jadi kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana orang dapat memenuhi kebutuhannya dan dapat berelasi dengan lingkungannya secara baik (Fahrudin,2012:8-9).

Dokumen yang terkait

Dampak Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Terhadap Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil Menengah (Umkm) Dan Penerimaan Pajak Penghasilan (Pph) Pasal 4 Ayat 2pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Pupuk Organik Aktif Dari Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit : Pengaruh Lubang Asupan Udara

1 2 26

1. Beranda.m (Antarmuka Beranda) - Implementasi Algoritma K-Nearest Neighbor untuk Mengklasifikasikan Motif Batik Besurek Bengkulu

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Batik Besurek 2.1.1 Sejarah Batik Besurek Bengkulu - Implementasi Algoritma K-Nearest Neighbor untuk Mengklasifikasikan Motif Batik Besurek Bengkulu

0 1 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Proses Transesterifikasi Minyak Kelapa Sawit Menggunakan Novozym® 435 dalam Sistem Pelarut ChCl untuk Menghasilkan Biodiesel

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu 2.1.1 Teori Agensi - Pengaruh Pengadopsian Isa, Ukuran Klien Audit, Kompleksitas Audit, Risiko Litigasi, Profitabilitas Klien, Dan Jenis Kap Terhadap Professional Fee

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Pengadopsian Isa, Ukuran Klien Audit, Kompleksitas Audit, Risiko Litigasi, Profitabilitas Klien, Dan Jenis Kap Terhadap Professional Fee

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Bank - Pengaruh Kualitas Aktiva Produktif, Tingkat Suku Bunga dan Loan to Deposit Ratio (LDR) terhadap Profitabilitas pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2010-2013

0 2 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perbankan berperan sebagai salah satu lembaga keuangan kepercayaan - Pengaruh Kualitas Aktiva Produktif, Tingkat Suku Bunga dan Loan to Deposit Ratio (LDR) terhadap Profitabilitas pada Perusahaan Perbankan yang

0 0 8

PROGRAM STUDI STRATA I AKUNTANSI DEPARTEMEN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 PERNYATAAN - Pengaruh Kualitas Aktiva Produktif, Tingkat Suku Bunga dan Loan to Deposit Ratio (LDR) terhadap Profitabilitas pada Perusa

0 1 12