BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian Paradigma yang dipakai dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Menurut von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

  Paradigma yang dipakai dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Menurut von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Akan tetapi, bila ditelusuri lebih jauh, awal mula konstruktivisme berasal dari gagasan pokok konstruktivisme Giambatissa Vico, seorang epistemolog dari Italia. Pada tahun 1710, Vico dalam De Antiquissima Italorum

  

Sapientia menyatakan filsafatnya bahwa, “Tuhan adalah pencipta alam semesta

  dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu.” Artinya, seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico, hanya Tuhan yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Dia membuatnya. Sementara itu, orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya (Suparno, 1997: 24-25).

  Konstruktivisme berada di titik temu dua aliran besar dalam sejarah sosiologi, yaitu sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) dan sosiologi sains (sociology of science). Sosiologi pengetahuan dibentuk oleh pandangan tiga pemikir cemerlang: Marx, Mannheim, dan Durkheim. Ketiganya saling memberi akibat dari faktor-faktor sosial dalam bentuk kepercayaan individu (Kukla, 2003: 11). Dalam pandangan konstruktivisme, terdapat penolakan terhadap positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Tetapi, subjek yang ada memiliki kemampuan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu atau terhadap objek yang ada. dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis, dan hermeneutik. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan kepada semua orang. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial dapat disebut berada diantara teori fakta sosial dan defenisi sosial (Eriyanto, 2004: 13). Karenanya, konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia.

  Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar apabila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Bagi kostruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lainnya, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus mampu mengkonstruksi pengetahuan karena pengetahuan bukanlah sesuatu yang telah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang secara terus-menerus (Suparno, 1997: 28).

  Sedangkan konstruktivisme sosial berpandangan bahwa pengetahuan merupakan hasil penemuan sosial dan sekaligus merupakan faktor dalam perubahan sosial. Menurut Berger dan Luckmann, kenyataan dibentuk secara sosial dan ditentukan secara sosial. Berger mendasarkan pengetahuannya pada kenyataan sehari-hari. Dia melihat bahwa kenyataan hidup sehari-hari merupakan dunia yang dialami bersama dengan orang lain. Menurut Weber, perilaku manusia adalah sebagai agen yang mengkonstruksi realitas sosial mereka sendiri. Dengan begitu, substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan setiap orang yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Karenanya, Weber juga melihat bahwa tiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya (Suparno, 1997: 47).

  Konstruktivisme sosial menekankan bahwa pengetahuan ilmiah pengetahuan. Mereka cenderung mengambil fungsi dan peran masyarakat begitu saja dalam pembentukan pengetahuan manusia. Konstruksivisme sosial mempertahankan bahwa pengetahuan ilmiah dibentuk dan dibenarkan secara sosial. Suasana, lingkungan, dan dinamika pembentukan ilmu pengetahuan adalah sangat penting. Mekanisme psikologi individu dikesampingkan, sebaliknya lingkungan sosial menentukan kepercayaan individu.

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Komunikasi

  Komunikasi adalah proses personal karena makna atau pemahaman yang kita peroleh pada dasarnya bersifat pribadi. Karenanya, menurut John R. Wenburg dan William W. Wilmot, komunikasi adalah usaha untuk memperoleh makna. Ketika mendengarkan seseorang yang berbicara, sebenarnya pada saat itu terjadi proses pengiriman pesan secara nonverbal (isyarat tangan, ekspresi wajah, nada suara, dan sebagainya) kepada pembicara tersebut. Komunikasi dalam hal ini bersifat intersubjektif, yang dalam bahasa Rosengren disebut komunikasi penuh manusia. Penafsiran seseorang atas perilaku verbal dan nonverbal orang lain yang dikemukakan seseorang tersebut akan mengubah penafsiran orang lainnya atas pesan-pesan yang telah disampaikan, dan pada gilirannya, mengubah penafsiran pribadi seseorang tersebut atas pesan-pesannya, begitu seterusnya. Hal ini secara singkat disimpulkan oleh Karl Erik Rosengren, bahwa komunikasi adalah interaksi subjektif purposif melalui bahasa manusia yang berartikulasi ganda berdasarkan simbol-simbol (Mulyana, 2008: 74-76).

  Pada tahun 1986, Lee Thayer, dalam bukunya Komunikasi dan Sistem

  

Komunikasi (Communication and Communication System), memberikan

  pandangan mengenai komunikasi. Thayer menekankan komunikasi sebagai proses yang dinamis, dimana individu menciptakan dan menginterpretasikan informasi yang dilihatnya sebagai sesuatu kompleks yang dinamis dan sangat pribadi. Model komunikasi yang digambarkan Thayer adalah dinamis dan bertumpu pada beberapa ide kunci. Adapun ide kunci tersebut adalah pesan yang diperoleh dalam cara yang berbeda-beda, orang bisa bertindak sebagai pengirim sekaligus penerima pesan, dan pergantian dari satu kepada yang lainnya adalah tidak selalu jelas, dan informasi yang diterima dapat berfungsi sebagai umpan balik (Ruben, 2013: 51).

  Selain komunikasi yang menekankan proses menciptakan dan menginterpretasi pada informasi yang diterima, komunikasi juga memiliki beberapa arti yang berkaitan dengan penggunaan simbol yang dapat diinterpretasi oleh seorang individu. Bernard Berelson dan Gary A. Steiner mengatakan bahwa:

  “Komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunakan simbol- simbol―kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi” (Mulyana, 2008: 68).

  Sedangkan menurut Raymond S. Ross, “Komunikasi adalah suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan komunikator” (Mulyana, 2008: 69).

  Komunikasi sebagai proses, memegang peranan penting untuk menciptakan iklim kerja harmonis dan menciptakan kredibilitas organisasi terhadap masyarakat lingkungan. Komunikasi merupakan kebutuhan hakiki umat manusia. Manusia menggunakan proses komunikasi untuk 80% waktu yang dimilikinya. Hanya waktu tidur manusia tidak melakukan proses komunikasi. Agar manusia sukses dalam kehidupan, ia harus mampu melaksanakan proses komunikasi efektif. Makna efektif disini dapat bersifat konstruktif apabila digunakan untuk mencapai tujuan yang bersifat konstruktif. Pemrakarsa proses komunikasi sebelum melakukan proses komunikasi perlu melakukan langkah empati, yaitu usaha untuk mengetahui sebanyak-banyaknya tentang seseorang yang akan diajak untuk berkomunikasi. Berdasarkan hasil empati ini, pemrakarsa komunikasi harus memilih strategi komunikasi yang tepat, agar proses komunikasi dapat berjalan efektif dan efisien (Wahyudi, 1994: 96-97).

  Mulyana (2008) dalam buku Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, pokok manusia. Susanne K. Langer berpendapat bahwa manusia memiliki kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang-lambang. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu hal lainnya yang berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama, misalnya memasang bendera di halaman rumah untuk menyatakan penghormatan atau kecintaan kepada negara. Lambang adalah salah satu kategori tanda. Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan.

  Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang direpresentasikannya. Representasi ini ditandai dengan kemiripan. Misalnya, patung Soekarno adalah ikon Soekarno. Rambu-rambu lalu-lintas di jalan raya yang menunjukkan arah untuk menuju pom bensin, masjid, atau rumah makan di depan, atau kondisi jalan (berbelok, menanjak, atau menurun) juga termasuk ikon. Sedangkan indeks adalah tanda yang secara alamiah merepresentasikan objek lainnya. Istilah lain yang sering digunakan untuk indeks adalah sinyal (signal), yang dalam bahasa sehari-hari disebut juga gejala (symptom). Indeks muncul berdasarkan hubungan antara sebab dan akibat yang punya kedekatan eksistensi. Misalnya, awan gelap adalah indeks hujan yang akan turun, sedangkan asap merupakan indeks api (Mulyana, 2008: 92-93).

  Simbol ataupun hal-hal yang bersifat simbolik sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, pekerjaan bersifat simbolik. Satu diantaranya adalah pekerjaan sekretaris, dimana pekerjaan sekretaris dianggap lazim untuk dilakukan oleh seorang wanita. Sekretaris juga merupakan lambang kekuasaan yang menegaskan bahwa atasannya benar-benar seorang bos, orang yang memberikan perintah kepada orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan. Sampai sekarang citra simbolik ini pun masih terasa. Ada kesan bahwa semakin indah seorang sekretaris dipandang, semakin menyakinkanlah perusahaan yang bersangkutan. Namun, lambang pada dasarnya tidak mempunyai makna, kitalah yang memberi makna pada lambang. Makna sebenarnya ada dalam kepala kita, bahwa kata-kata itu mendorong orang untuk memberi makna (yang telah disetujui bersama) terhadap kata-kata tersebut (Mulyana, 2008: 96).

  Komunikasi adalah kompleks dan memiliki banyak bentuk namun tetap menjadi sebuah hal yang mendasar dalam kehidupan kita. Misalnya, ketika seorang dokter berbicara dengan pasien tentang masalah kesehatan dan menyarankan perubahan gaya hidup. Hal tersebut tentu membutuhkan komunikasi. Contohnya, komunikasi dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, profesional, teknologi, nasional, ataupun internasional yang adalah berbeda-beda. Komunikasi itu penting untuk efektifitas kerja. Pengetahuan dan keterampilan komunikasi merupakan dasar bagi kepemimpinan sebagaimana kemampuan tertentu lainnya untuk kepemimpinan yang efektif, misalnya dalam mengelola hubungan antarpribadi, mendapatkan pengaruh dan mengelola aliran informasi dalam organisasi, hingga mencapai tujuan organisasi.

2.2.2 Komunikasi Nonverbal

  Komunikasi nonverbal merupakan komunikasi tanpa bahasa atau komunikasi tanpa kata, maka tanda nonverbal berarti tanda minus bahasa atau tanda minus kata (Sobur, 2004: 122). Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai potensial bagi pengirim atau penerimanya. Jadi, komunikasi nonverbal mencakup perilaku yang disengaja dan tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan, dimana kita banyak mengirim pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain (Mulyana, 2008: 343). Adapun bentuk dari nonverbal tersebut menurut Duncan adalah berupa kinesik atau gerak tubuh, paralinguistik atau suara, proksemik atau penggunaan ruangan personal dan sosial, olfaksi atau penciuman, sensitivitas kulit, dan faktor akrtifaktual seperti pakaian dan kosmetik.

  Pesan kinesik , terdiri dari tiga komponen utama, yaitu pesan fasial, pesan penilaian dengan ekspresi senang dan tidak senang, wajah mengkomunikasikan berminat atau tidak berminat pada orang lain atau lingkungan, wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam suatu situasi, wajah mengkomunikasikan tingkat pengendalian individu terhadap pernyataannya sendiri, dan wajah barangkali mengkomunikasikan adanya atau kurangnya pengertian. Pesan gestural menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Menurut Galloway, makna tersebut antara lain mendorong/membatasi, menyesuaikan/mempertentang- kan, responsif/tak responsif, perasaan positif/negatif, memperhatikan/tidak memperhatikan, melancarkan/tidak reseptif, dan menyetujui/menolak. Pesan

  

postural berkaitan dengan postur badan yang memiliki makna immediacy atau

  ungkapan kesukaan/ketidaksukaan, power atau status komunikator, dan responsiveness atau emosi positif/negatif (Rakhmat, 2007: 290).

  Pesan proksemik disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang, yaitu

  dimana seseorang mengungkapkan jarak keakrabannya dengan orang lain. Hall menemukan bahwa jarak dapat diperkirakan bergantung pada kondisi dan isi percakapan, yaitu percakapan publik (12 kaki atau lebih hingga batas yang dapat dilihat), percakapan informal dan bisnis (4 sampai 12 kaki), percakapan biasa (1,5 sampai 4 kaki), dan percakapan intim (0 sampai 18 inci). Fluktuasi jarak dalam setiap kategori tergantung pada sejumlah faktor, yaitu budaya dimana percakapan berlangsung, usia dari yang saling berinteraksi, topik yang sedang dibahas, keadilan, sifat hubungan, sikap, perasaan dari individu dan seterusnya. Misalnya, penggunaan ruang dan posisi juga penting di tempat duduk. Dalam situasi kelompok, posisi tertentu sering dikaitkan dengan tingginya tingkat aktifitas dan kepemimpinan terhadap yang lain. Berada di depan kelompok dan lebih terpisah dari kelompok dibanding siapapun, mendukung individu yang bersangkutan untuk memiliki posisi jarak dan wewenang. Contohnya adalah seorang guru di depan kelas, seorang hakim di depan pengadilan, seorang pemimpin agama di bagian depan gereja dan sebagainya (Ruben, 2013: 193).

  Pesan artifaktual diungkapkan melalui penampilan, seperti pakaian dan

  

image ). Hal ini erat kaitannya dengan tubuh yaitu dengan pakaian dan kosmetik

  kita berupaya untuk membentuk citra tubuh. Umumnya, pakaian digunakan untuk menyampaikan identitas atau mengungkapkan siapa diri kita kepada orang lain (Rakhmat, 2007: 292).

  Pesan paralinguistik berhubungan dengan cara mengungkapkan pesan

  verbal. Paralinguistik mengacu pada setiap pesan yang menyertai dan lebih melengkapi bahasa. Bentuk vokal dan bentuk tertulis merupakan bagian dari paralinguistik. Bentuk vokal meliputi tinggi rendah suara, kecepatan berbicara, irama, batuk, tertawa, sengau, berhenti, bahkan keheningan yang bersumber dalam penyampaian pesan tatap muka (Ruben, 2013: 175).

  Pesan sentuhan dan bau-bauan termasuk pesan nonverbal nonvisual dan

  nonvokal. Kita mampu menerima dan membedakan berbagai emosi yang disampaikan orang melalui sentuhan. Alat penerima sentuhan adalah kulit. Smith telah meneliti kemampuan kulit yang mampu menyampaikan berbagai perasaan yang pada umumnya meliputi: tanpa perhatian (detached), kasih sayang (mothering), takut (fearful), marah (angry), dan bercanda (playful). Sedangkan bau-bauan digunakan manusia untuk berkomunikasi secara sadar dan tidak sadar. Dr. Harry Wiener dari New York Medical College menyimpulkan bahwa manusia menyampaikan dan menerima pesan kimiawi eksternal (Rakhmat, 2007: 293- 294).

  Pesan nonverbal menurut Mark L. Knapp memiliki lima fungsi, yaitu (1) Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. Misalnya, setelah saya menjelaskan penolakan saya, saya menggelengkan kepala berkali-kali, (2) Substitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya, tanpa sepatah kata pun Anda berkata, Anda dapat menunjukkan persetujuan dengan mengangguk-angguk, (3) Kontradiksi, yaitu menolak pesan verbal atau memberikan makna yang lain terhadap pesan verbal. Misalnya, Anda memuji prestasi kawan Anda dengan mencibirkan bibir Anda, “Hebat, kau memang hebat”, (4) Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan verbal. Misalnya, air muka Anda menunjukkan tingkat penderitaan yang atau menggarisbawahinya. Misalnya, Anda mengungkapkan betapa jengkelnya Anda dengan memukul mimbar (Rakhmat, 2007: 287).

  Studi komunikasi nonverbal sebenarnya masih relatif baru. Pada zaman Yunani kuno, apabila bidang pertama dimulai dengan studi tentang persuasi, khususnya pidato, maka studi bidang kedua mengajarkan tentang ekspresi wajah sebagaimana dengan yang telah ditulis Charles Darwin pada tahun 1873. Sejak terdapat studi tersebut, banyak orang yang mengkaji komunikasi nonverbal ini demi keberhasilan komunikasi, bukan hanya ahli-ahli komunikasi, tetapi juga antropolog, psikolog, dan sosiolog. Simbol-simbol nonverbal lebih sulit ditafsirkan daripada simbol-simbol verbal. Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa isyarat nonverbal pada umumnya adalah tidak berlaku secara universal. Nonverbal ini harus dipelajari, karena isyarat nonverbal yang merupakan bawaan hanyalah sedikit. Kita semua lahir dan mengetahui bagaimana tersenyum, namun kebanyakan ahli sepakat bahwa dimana, kapan, dan kepada siapa kita menunjukkan emosi ini adalah dengan dipelajari dan dipengaruhi oleh konteks serta budaya (Mulyana, 2008: 343).

  Dilihat dari fungsinya, perilaku nonverbal memiliki bebeberapa fungsi. Paul Ekman menyebutkan lima fungsi pesan nonverbal, seperti yang dapat digambarkan dengan perilaku mata, yaitu sebagai berikut (Mulyana, 2008: 349): a.

  Emblem. Gerakan mata tertentu merupakan simbol yang memiliki kesetaraan dengan simbol verbal. Kedipan mata dapat mengatakan, “Saya tidak sungguh-sungguh.” b. Ilustrator. Pandangan ke bawah dapat menunjukkan depresi atau kesedihan.

  c.

  Regulator. Kontak mata berarti saluran percakapan terbuka.

  Memalingkan muka menandakan ketidaksetiaan berkomunikasi.

  d.

  Penyesuai. Kedipan mata yang cepat meningkat ketika orang berada dalam tekanan. Itu merupakan upaya tubuh untuk mengurangi kecemasan.

  e.

  Affect Display. Pembesaran manik-mata (pupil dilation) menunjukkan peningkatan emosi. Isyarat wajah lainnya menunjukkan perasaan takut, terkejut, atau senang. Komunikasi nonverbal memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya komunikasi verbal yang sering kita lakukan. Ada sejumlah kesamaan antara komunikasi verbal dan nonverbal, yaitu (1) adanya sama. Sedangkan perbedaan kunci antara komunikasi verbal dan nonverbal adalah (1) dibandingkan dengan bahasa verbal, telah terjadi kurangnya kesadaran dan perhatian terhadap isyarat-isyarat nonverbal dan dampaknya terhadap perilaku, (2) komunikasi nonverbal melibatkan aturan yang utamanya tertutup, daripada yang terbuka, dan (3) pengolahan pesan verbal diduga terjadi di belahan otak kiri, sedangkan belahan otak kanan sangat penting untuk pengolahan informasi yang berkaitan dengan kegiatan nonverbal (Ruben, 2013: 201).

  Pengetahuan komunikasi nonverbal atau yang juga berupa bahasa tubuh banyak digunakan untuk bidang intelejen seperti di Amerika, dimana setiap agen FBI atau CIA dibekali kemampuan membaca bahasa tubuh dan mutlak untuk mereka miliki. Meskipun dalam dunia pendidikan komunikasi nonverbal belum mendapatkan banyak perhatian dibandingkan komunikasi verbal, bagi beberapa kalangan, mempelajari komunikasi nonverbal sangatlah penting. Dalam sebuah penelitian, Profesor Mehrabian menyimpulkan bahwa seseorang dapat dipercaya bergantung pada konsistensinya dalam tiga faktor komunikasi, yaitu verbal (perkataan), vokal (nada suara), dan visual (bahasa tubuh). Masing-masing faktor mempunyai pengaruh yang berbeda-beda. Perkataan yang diucapkan hanya merupakan 7% dari bagian yang menjadi perhatian lawan bicara, sedangkan bahasa tubuh 55%. Hal ini menunjukkan bahwa pesan nonverbal lebih mendapatkan perhatian lawan bicara daripada pesan verbal yang disampaikan (Putra, 2013: 14-15).

  Pesan nonverbal pada umumnya memiliki enam sumber utama yang sangat penting, yaitu kinesik atau gerak tubuh, paralinguistik atau suara, proksemik atau penggunaan ruangan personal dan sosial, olfaksi atau penciuman, sensitivitas kulit, dan faktor artifaktual. Pesan nonverbal yang ditampilkan memainkan peran penting dalam hubungan interpersonal, khususnya dalam kesan awal. Baju atau gaun dan perhiasan fisik adalah aspek penampilan yang berfungsi sebagai sumber informasi potensial. Wajah adalah aspek sentral dari penampilan seseorang yang menyediakan sumber utama informasi tentang keadaan emosi seseorang. Rambut pun merupakan sumber pesan (Ruben, 2013: 201). Karenanya, memproses informasi tentang orang-orang, situasi, objek pada lingkungan, dan juga mengenai diri kita sendiri.

2.2.3 Semiotika

  Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dianggap mewakili sesuatu yang lain. Istilah semeion diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial. “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api. Secara terminologis, semiotika dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda, dan mengartikan semiotika sebagai ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya, yaitu cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya (Bungin, 2007: 164).

  Menurut Dick Hartoko, semiotika adalah bagaimana karya itu ditafsirkan oleh para pengamat dan masyarakat lewat tanda-tanda atau lambang-lambang. Luxemburg menyatakan bahwa semiotika adalah ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem-sistemnya, dan proses perlambangan. Sedangkan menurut Preminger, semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotika itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Bungin, 2007: 165).

  Semiotika memang dimaksudkan sebagai ilmu tanda. Artinya, apabila kita mempelajari semiotika, maka kita mempelajari tentang berbagai tanda. Cara kita berpakaian, apa yang kita makan, dan cara kita bersosialisasi sebenarnya juga mengkomunikasikan hal-hal mengenai diri kita yang dapat kita pelajari sebagai tanda. Ziauddin Sardar dan Borin van Loon, dalam buku Cultural Studies for berpikir dengan sarana tanda. Karenanya, tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi. Tanda-tanda adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn dalam Sobur, 2004: 15). Manusia dengan perantaraan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya.

  Tanda-tanda mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Sistem penandaan memiliki pengaruh yang besar. Paul Cobley dan Litza Jansz beranggapan munculnya studi khusus tentang sistem penandaan adalah benar- benar karena fenomena modern. Tanda dalam pandangan Peirce adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated), dimana tanda hadir dalam proses interpretasi (semiosis) yang mengalir (Sobur, 2004: 17).

  Tanda-tanda dapat mengacu ke denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena, dimana hubungannya berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol itu muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Simbol adalah “objek” atau peristiwa apapun yang merujuk kepada suatu hal. Simbol adalah suatu istilah dalam logika, matematika, semantik, semiotika, dan epistemologi. Simbol juga memiliki sejarah panjang di dunia teologi, dimana simbol dianggap sebagai sebuah sinonim dari “kepercayaan” (Sobur, 2004: 154).

  Simbol (symbol) berasal dari kata Yunani “sym-ballein” yang artinya melemparkan secara bersama sesuatu (benda, perbuatan) yang dikaitkan dengan suatu ide. Adapula yang menyebutkan simbol berasal dari kata “symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan suatu hal kepada seseorang (Herusatoto dalam Sobur, 2004: 155). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia tahun 2003, karangan W.J.S Poerwadarminta, simbol atau lambang diartikan sebagai semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan suatu hal atau maksud tertentu. Misalnya, warna putih

  Saussurean memiliki pendapat bahwa simbol merupakan diagram yang mampu menampilkan gambaran suatu objek meskipun objek itu tidak dihadirkan. Contohnya, peta bisa memberikan gambaran hubungan objek-objek tertentu meskipun objek itu tidak dihadirkan. Manusia memiliki kemampuan menggunakan simbol. Kemampuan manusia menciptakan simbol membuktikan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam berkomunikasi, mulai dari simbol yang sederhana seperti bunyi dan isyarat, sampai kepada simbol yang dimodifikasi dalam bentuk sinyal-sinyal melalui gelombang udara dan cahaya, seperti radio, televisi, dan satelit (Sobur, 2004: 164).

  Kajian semiotika bukanlah kajian yang benar-benar baru, namun analisis- analisis tentang bagaimana interpretasi dan penggunaan citra simbolik sudah berkembang di era 1940-an dan lumayan bersaing dengan penelitian efek atau dampak media massa yang populer di Amerika saat itu. Apabila kita telusuri dalam buku-buku semiotika yang ada, hampir sebagian besar yang menyebutkan bahwa ilmu semiotika bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913). Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik, tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotika dalam bukunya

  

Course in General Linguistics (1916). Dalam bukunya tersebut, ia

  mengemukakan bahwa semiotika merupakan ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Menurut Saussure, penggunaan tanda secara sosial diatur oleh pemilihan, pengkombinasian dan penggunaan tanda- tanda dengan cara tertentu sehingga sesuatu mempunyai makna dan nilai sosial.

  Menurut Saussure, penggunaan tanda secara sosial dan kaitannya dengan sistem tanda menggunakan dua model analisis bahasa dalam semiotika. Model analisis bahasa tersebut adalah langue, yaitu analisis bahasa sebagai sebuah sistem, dan parole, yaitu bahasa yang digunakan secara nyata oleh individu- individu dalam berkomunikasi secara sosial. Secara epistemologis, “semiotika signifikansi” pada prinsipnya adalah semiotika pada tingkat langue, sementara “semiotika komunikasi” adalah semiotika pada tingkat parole. Dalam kerangka

  

langue , Saussure menjelaskan bahwa tanda sebagai kesatuan yang tak dapat

  ‘bentuk’ atau ‘ekspresi’, dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’ (Sobur, 2004: vii-vii).

  Selain Saussure, tokoh penting lain dalam kajian semiotika adalah Charles Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf Amerika, dan Charles Williams Morris (1901-1979) yang mengembangkan behaviourist semiotics. Kemudian yang mengembangkan teori-teori semiotika modern adalah Roland Barthes (1915- 1980), Algirdas Greimas (1917-1992), Yuri Lotman (1922-1993), Christian Metz (1931-1993), Umberto Eco (1932), dan Julia Kristeva (1941). Selain Saussure, yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev (1899-1966) dan Roman Jakobson (1896-1982). Dalam Ilmu Antropologi terdapat Claude Levi Strauss (1980), dan Jacques Lacan (1901-1981) dalam psikoanalisis.

2.2.4 Semiologi dan Mitologi (Roland Barthes)

  Roland Barthes (1951-1980) merupakan salah satu ahli semiotika. Namun, dalam karya-karyanya, Barthes lebih sering memakai istilah semiologi dibandingkan semiotika. Menurut Hawkes, istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa, sedangkan semiotika dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris. Akan tetapi, komite internasional di Paris pada bulan Januari 1969 dan Association for

  

Semiotics Studies pada kongres pertamanya pada tahun 1974 memutuskan hanya

  untuk menggunakan istilah semiotika (Sobur, 2004: 13). Menurut Barthes, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda- tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di dunia, di tengah-tengah manusia, dan bersama-sama manusia. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) artinya objek-objek tidak hanya membawa informasi, dimana objek-objek tersebut hendak berkomunikasi, namun juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2004: 16).

  Selain ahli semiotika, Barthes juga merupakan intelektual dan kritikus sastra Perancis ternama. Bertens menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme di tahun 1960-an dan 1970-an. Ia tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dan dalam waktu tertentu (Sobur, 2004: 63). Kunci dari analisis Barthes adalah konsep tentang konotasi dan denotasi, dimana ia menggunakan versi yang jauh lebih sederhana saat membahas model “glossematic sign” (tanda-tanda glossematic) (Wibowo, 2013: 21).

  Barthes memiliki konsep bahwa tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Secara lebih rinci, linguistik pada dasarnya membedakan tingkatan ekspresi (E) dan tingkat isi (C) yang keduanya dihubungkan oleh sebuah relasi (R). Ketiga tingkatan tersebut pun membentuk sebuah sistem (ERC). Sistem ini menjadi unsur sederhana dari sebuah sistem kedua yang akibatnya diperluas. Menurut Hjelmslev, bahasa dapat dipilih menjadi dua artikulasi. Artikulasi yang pertama, sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat ekspresi untuk sistem kedua: (ERC)RC. Sistem 1 berkorespondensi dengan tingkat konotasi. Artikulasi kedua, sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat isi untuk sistem kedua: ER(ERC). Pada artikulasi ini, sistem 1 berkorespondensi dengan objek bahasa dan sistem 2 dengan metabahasa (metalanguage) (Kurniawan dalam Sobur, 2004: 70).

  Fiske menyebut model artikulasi pertama dan kedua sebagai signifikansi dua tahap (two order of signification). Melalui model Barthes ini, telah dijelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara penanda (ekspresi) dan petanda (content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Hal inilah yang disebut Barthes sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda (sign) (Wibowo, 2013: 21). Signifikasi tahap kedua adalah konotasi, dimana digambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya.

  Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting dalam sebuah ujaran. Makna denotasi bersifat langsung, dimana makna yang terdapat dalam sebuah tanda pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Sedangkan pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).” Contohnya kata amplop. Amplop bermakna sampul yang berfungsi sebagai tempat mengisi surat yang akan disampaikan kepada orang lain, kantor, atau instansi lainnya. Makna inilah yang disebut sebagai makna denotatif. Namun, dalam kalimat “Berilah ia amplop agar urusanmu segera beres,” kata amplop telah memiliki makna konotatif, yaitu

  

berilah ia uang . Kata amplop dan uang masih memiliki hubungan, karena amplop

  dapat diisi dengan uang. Dengan kata lain, makna kata amplop mengacu pada uang , apakah uang pelicin, uang semir, atau uang sogok (Sobur, 2004: 263).

  Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya. Konotasi tersebut bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karenanya, salah satu tujuan analisis semiotika adalah menyediakan metode analisis, kerangka berpikir, dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda (Wibowo, 2013: 22).

  1. Signifier

  2. Signified (Penanda) (Petanda)

  3. Denotative Sign (Tanda Denotatif)

  5. Connotative Signified

  4. Connotative Signifier (Petanda Konotatif)

  (Penanda Konotatif)

  6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes

  

Sumber: Alex Sobur. 2004. Semiotika Komunikasi. Peta Tanda Roland Barthes di atas menjelaskan bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Namun, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut dapat dikatakan sebagai unsur material. Misalnya, hanya jika mengenal tanda “singa”, konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley dan Jansz dalam Sobur, 2004: 69).

  Konotasi identik dengan operasi ideologi, dalam kerangka Barthes disebut sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda (Sobur, 2004: 71).

  Barthes menempatkan mitos sama dengan ideologi karena, baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dengan petanda konotatif terjadi secara termotivasi. Ia memahami bahwa ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalam dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian. Ideologi ada selama kebudayaan ada. Kebudayaan mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain (Sobur, 2004: 71).

  Menurut Barthes terdapat lima kode dalam semiotika, yaitu (Sobur, 2004: 65-66): 1.

  Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

2. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan berbagai sisi.

  Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”.

  3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan, baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Misalnya, seorang anak belajar bahwa ibunya dan ayahnya berbeda satu sama lain dan bahwa perbedaan ini juga membuat anak itu sama dengan satu diantara keduanya dan berbeda dari yang lain―atau pun pada taraf pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes.

  4. Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang bersifat naratif. Jika Aristoteles dan Todorov hanya mencari adegan-adegan utama atau alur utama, secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi, dan terbukanya pintu sampai petualangan yang romantis. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu mengharap lakuan di-“isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks (seperti pemilahan ala Todorov).

  5. Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu.

2.2.5 Citra

  Pengertian citra adalah (1) kata benda: gambar, rupa, gambaran; (2) gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk; (3) kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa atau puisi. Sedangkan menurut Frank Jefkins, dalam buku Essential of Public

  

Relations , Jefkins menyebut bahwa citra adalah kesan yang diperoleh berdasarkan terhadap objek tersebut. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi- informasi yang diterima seseorang (Soemirat, 2004: 114).

  Saat ini, hampir semua pihak yang berkepentingan dengan opini publik menyadari pentingnya mengelola citra. Global Image Group merupakan salah satu perusahaan yang membantu orang untuk menampilkan citra tersebut dan

  

image terbaik seseorang melalui penampilan dan citranya. Pendiri perusahaan ini,

  Michelle T. Sterling, pernah mengatakan bahwa setiap orang menilai orang lain dari penampilan visual dan perilaku dari kepala hingga ujung kaki, kemudian mereka akan mengamati bagaimana pembawaan orang lain tersebut dari tata krama, sampai jam tangan, dan akan mengamati bahasa tubuh orang tersebut hanya dalam 3 detik. Hal ini menjadi kesan yang tak terhapuskan dari seseorang yang melakukan penilaian di saat pertemuan pertama (Putra, 2013: 8).

  Apabila pada pertemuan pertama seseorang telah memiliki image dan kesan yang positif, maka kedepannya kesan ini akan mengalami penguatan dan sebagai referensi orang lain untuk mengambil keputusan dalam berhubungan. Robert Zajonc (1979) seorang psikolog Amerika, mengatakan bahwa detik-detik pertama saat bertemu merupakan saat yang menentukan apakah seseorang menyukai yang lainnya atau tidak, meskipun masing-masing tidak mempunyai pengetahuan tentang pribadi lainnya. Zajonc berkeyakinan bahwa komunikasi nonverbal berperan sangat dominan dalam image seseorang atau pembentukan kesan pertama seseorang terhadap yang lainnya (Putra, 2013: 36).

  Citra yang positif diyakini akan mendatangkan goodwill dari publik mengenai suatu objek, dan sebaliknya citra yang buruk akan menjauhkan publik dari objek tersebut. Jika tidak dikelola dengan benar maka citra akan mudah sekali rusak, oleh karena itu meski citra adalah kesan, perasaan, atau gambaran publik tentang suatu objek, citra positif harus dibentuk melalui proses pencitraan yang tepat. Jadi, proses pembentukan citra nantinya akan menghasilkan sikap, pendapat, tanggapan, atau perilaku tertentu. Pada akhirnya, citra mampu menentukan daya tarik pesan dalam hubungan bermasyarakat.

2.2.6 Pemimpin

  Pengertian pemimpin menurut Henry Pratt Fairchild terbagi atas dua, yaitu pengertian dalam arti luas dan pengertian dalam arti yang sempit. Pemimpin dalam arti luas merupakan seorang yang memimpin dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, mengarahkan, mengorganisir, atau mengontrol usaha/upaya orang lain, atau melalui prestise, kekuasaan atau posisi. Sedangkan dalam arti sempit, pemimpin adalah seseorang yang membimbing, memimpin dengan bantuan kualitas-kualitas persuasifnya, dan penerimaan secara sukarela oleh pengikutnya. Pemimpin juga dapat diartikan sebagai pribadi yang memiliki kecakapan khusus, dengan atau tanpa pengangkatan resmi, dapat mempengaruhi kelompok-kelompok yang dipimpinnya untuk melakukan usaha secara bersama yang mengarah pada pencapaian sasaran-sasaran tertentu, atau dengan kata lain sesungguhnya kepemimpinan bersumber dari keunggulan manusia, yaitu dari segi kualitas (Arifin, 2012: 2).

  Apabila kepemimpinan didefinisikan sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktifitas yang berkaitan dengan tugas dari para anggota kelompok, maka akan ditemukan tiga implikasi, yaitu harus melibatkan orang lain, mencakup distribusi kekuasaan yang tidak sama, dimana semakin besar sumber kekuasaan, semakin besar pula potensinya untuk menjadi pemimpin yang efektif, dan kemampuan untuk menggunakan berbagai bentuk kekuasaan demi mempengaruhi perilaku pengikut melalui sejumlah cara, diantaranya dengan mendelegasikan, mengikutsertakan, menjajakan, ataupun memberitahukan. Karenanya, kepemim- pinan merupakan bentuk dominasi yang didasari oleh kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu berdasarkan keahlian khusus yang tepat bagi situasi khusus, misalnya, situasi yang informal. Adapun pemimpin insitusional sering dikaitkan dengan kekuasaan formal (Arifin, 2012: 3-4).

  Kepemimpinan berhubungan erat dengan komunikasi karena sebagai seorang pemimpin, orang tersebut harus memiliki tiga syarat, yaitu kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan. Salah satu syarat lainnya yang paling riil dari Namun, cara yang paling efektif untuk mendapatkan pengikut adalah dengan komunikasi. Komunikasi tersebut digunakan untuk menciptakan pengaruh, dimana orang lain akan mengikuti pengaruh tersebut. Untuk mencapai komunikasi yang efektif, seorang pemimpin harus memahami bahwa komunikasi yang efektif memiliki lima karakter pokok, yaitu komunikasi adalah media dan pesan dari proses pemasaran, komunikasi sebagai penghubung di antara manusia, komunikasi sebagai proses memperoleh persetujuan/dukungan, dan komunikasi sebagai pembuktian kredibilitas (Nugroho, 2004: 82-84).

  Menurut Steven M Bornstein dan Anthony F Sands, terdapat lima inti kredibilitas, yakni conviction, character, courage, composume, dan competence.

  

Conviction adalah keyakinan dan komitmen. Character adalah integritas,

  kejujuran, respect, dan kepercayaan yang konsisten. Courage adalah keberanian dan kemauan untuk bertanggung jawab atas keyakinannya. Composume adalah ketenangan batin, suatu kemampuan untuk memberikan reaksi dan emosi yang tepat dan konsisten, khususnya dalam menghadapi situasi kritis. Competence adalah keahlian, keterampilan, dan profesionalitas. Sebagai seorang pemimpin, seseorang diharapkan dapat mendidik pengikutnya, dimana seorang pemimpin dapat mempersiapkan pemimpin-pemimpin yang dapat menggantikannya di masa depan (Nugroho, 2004: 85). Dalam hal ini, pemimpin yang dimaksudkan adalah pemimpin formal maupun pemimpin informal.

  Pemimpin formal merupakan orang yang ditunjuk oleh organisasi/lembaga sebagai pemimpin, berdasarkan keputusan dan pengangkatan resmi untuk memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi dengan segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya dan untuk mencapai sasaran organisasi. Adapun ciri-ciri dari pemimpin formal ini adalah berstatus sebagai pemimpin selama masa jabatan tertentu (legitimas), harus memenuhi persyaratan formal, didukung oleh organisasi formal, mendapatkan balas jasa materil dan immateril serta emolumen (keuntungan ekstra), terdapat mutasi dan mencapai promosi, ada hukuman dan sanksi, dan memiliki kekuasaan dan wewenang (Arifin, 2012: 9).

  Sedangkan pemimpin informal adalah orang yang tidak mendapatkan kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok atau masyarakat. Ciri-ciri dari pemimpin informal ini antara lain, tidak memiliki penunjukan formal/legitimas, ditunjuk oleh masyarakat, dimana kepemimpinan berlangsung selama masyarakat mengakuinya, tidak memperoleh dukungan dari suatu organisasi formal, biasanya tidak mendapatkan imbalan balas jasa atau imbalan diberikan secara sukarela, tidak dapat dimutasi dan mencapai promosi, dan hukuman yang ada berbentuk rasa respect yang berkurang dan pribadi tidak diakui/ditinggalkan oleh masyarakat (Arifin 2012: 10).

  Pemimpin memiliki etika profesi, dimana profesi adalah suatu lapangan kegiatan (a field of activity) yang memiliki kriteria, antara lain pengetahuan (knowledge), aplikasi yang kompeten (competent application), tanggung jawab sosial (social responsibility), pengontrol diri (self control), dan sanksi dari masyarakat (community sanction). Profesi kepemimpinan harus dilandaskan kepada paham dasar yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, yaitu pengabdian pada kepentingan umum, jaminan keselamatan, kebaikan, dan kesejahteraan bagi bawahan atau masyarakat, menjadi pengingat dan pemersatu dalam segala gerak upaya, dan penggerak dari setiap kegiatan. Etika adalah penyelidikan filsafat mengenai kewajiban-kewajiban manusia, dan tentang perkara yang baik dan buruk ataupun yang berkaitan dengan moral (Arifin, 2012: 10-11).

  Etika tidak membahas kondisi/keadaan manusia, melainkan tentang bagaimana manusia itu seharusnya bertingkah laku, dimana etika juga merupakan filsafat mengenai praxis manusia yang harus berbuat menurut aturan dan norma tertentu. Karenanya, etika profesi pemimpin adalah mengenai kewajiban- kewajiban pemimpin, tingkah laku pemimpin yang baik, dan moral pemimpin. Kriteria dari etika profesi pemimpin tersebut mencakup pemimpin yang memiliki satu atau beberapa kelebihan dalam pengetahuan dan keterampilan, keterampilan sosial, kemahiran teknis serta pengalaman, sehingga ia kompeten melakukan kewajiban dan tugas-tugas kepemimpinan. Pemimpin juga harus dapat membedakan hal-hal yang baik dan buruk, bertanggung jawab, memiliki

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Batak Toba - Dalihan Na Tolu” Sebagai Katup Pengaman Bagi Potensi Konflik Dalam Masyarakat Batak Toba Yang Berbeda Agama (Studi : Sidabaribaparapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun)

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Dalihan Na Tolu” Sebagai Katup Pengaman Bagi Potensi Konflik Dalam Masyarakat Batak Toba Yang Berbeda Agama (Studi : Sidabaribaparapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun)

0 0 11

BAB II PENGELOLAAN KASUS A. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN MASALAH KEBUTUHAN DASAR OKSIGENASI 1. Pengertian Kebutuhan Oksigenasi - AsuhanKeperawatanpada An.A dengan Gangguan Kebutuhan Dasar Oksigenasi di RSUD.dr.Pirngadi Medan Tahun 2014

0 0 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelaksanaan Program - Pelaksanaan Program Kota Layak Anak Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Anak Oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan

0 0 41

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Esa, bahkan anak dianggap - Pelaksanaan Program Kota Layak Anak Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Anak Oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana

0 0 14

Pelaksanaan Program Kota Layak Anak Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Anak Oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan

0 1 10

10 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Peranan Pemerintah Daerah Dalam Memberikan Surat Izin Usaha Perdagangan (Suatu Studi Pada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Gunungsitoli)

0 1 36

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAN II.1. Kerangka Teori II.1.1. Organisasi - Evaluasi Kinerja Forum Kerukunan Umat Beragama (Fkub) Provinsi Sumatera Utara Dalam Menjaga Kerukunan Umat Beragama Di Provinsi Sumatera Utara

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah - Evaluasi Kinerja Forum Kerukunan Umat Beragama (Fkub) Provinsi Sumatera Utara Dalam Menjaga Kerukunan Umat Beragama Di Provinsi Sumatera Utara

0 1 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif Kajian Penelitian - Strategi Komunikasi Awak Kabin Garuda Indonesia Airlines(Studi Deskriptif Kualitatif Strategi Komunikasi Awak Kabin Garuda Indonesia Airlines Sehingga Mendapat Predikat Sebagai The World’s Best Cabi

0 0 28