Paradigma Berpikir penulisan ilmiah (1)

GEDABU

Termometer Paradigma Berpikirdan Bela Negara

Penulis Dr. Mhd. Halkis

halkis@idu.ac.id ISBN:978-602-17915-9-2 Halaman 184 halaman Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Cetak Pertama, Mei 2016

Diterbikan oleh Universitas Pertahanan Bogor, Maret 2016 Jl. Anyar DesaTangkil Kawasan IPSC Sentul Bogor Indonesia 16730 Website: www.idu.ac.id

Pengantar Rektor Unhan;

Revolusi Mental, Bela Negara dan

Paradigma Berpikir

Paradigma postmodern telah membangun peradaban yang semakin liberal. Postmodern mendasari pemikiran pada ketidakpastian, tidak ada satu pun yang permanen di dunia ini. Kalau ketidakpastian menjadi landasan berpikir tentang negara, persepsi dan keyakinan orang terhadap eksistensi negara perlu diselidiki. Melihat pengalaman beberapa negara ternyata keinginan untuk maju dan berubah menjadi penentu eksistensi sebuah negara. Untuk itu, pertanyaannya adalah apa strategi kita untuk menghadapi perubahan tersebut. Konsep Revolusi Mental yang dicanangkan pemerintah tampaknya memiliki relevansi dan memungkinkan untuk menjadi solusi problem kenegaraan di era kita ini.

Kalau konsep Revolusi Mental bertitik tolak pada konsep keseimbangan antara hak dan kewajiban selaku warga negara, sesungguhnya masalah perubahan seperti apapun tidak masalah. Hak dan kewajiban selaku warga negara bersifat konstitusional. Menjadi warga negara adalah hak, tetapi di situ juga ada kewajiban. Untuk itu, implementasi usaha membela negara melalui Revolusi Mental perlu diwujudkan.

Memang perdebatan pada tataran intelektual konsep Revolusi Mental cukup serius, mulai dari pesimis, skeptis sampai pada optimis. Setelah diadakan kajian awal, Revolusi Mental dikaitkan dengan upaya membela negara dan pembentukan karakter bangsa. Revolusi Mental dalam kerangka demokrasi sangat penting, paling tidak ada tiga hal. Pertama, membangkitkan semangat nasionalisme. Manfaat ini Memang perdebatan pada tataran intelektual konsep Revolusi Mental cukup serius, mulai dari pesimis, skeptis sampai pada optimis. Setelah diadakan kajian awal, Revolusi Mental dikaitkan dengan upaya membela negara dan pembentukan karakter bangsa. Revolusi Mental dalam kerangka demokrasi sangat penting, paling tidak ada tiga hal. Pertama, membangkitkan semangat nasionalisme. Manfaat ini

Kedua, memberikan landasan moral bagi aparatur penyelenggara negara dalam melakukan aktivitas cinta negara. Memang hukum lahir dan berkembang di tengah masyarakat melalui proses demokrasi. Namun tatkala hukum belum terwujud dalam sebuah ketentuan perundangan, sedangkan dinamika masyarakat semakin tinggi dan sisi lain aparatur negara yang diberi tanggung jawab yang diharapkan bertindak cepat. Untuk itu, Revolusi Mental memberikan pencerahan dalam membangun moral bangsa, hukum akan lahir dan hidup melalui moral kebangsaan yang berlandasan Pancasila.

Ketiga, Revolusi Mental sebagai alat pembaharuan. Reformasi sejak dua dekade terakhir terasa ikatan primordial semakin kuat. Namun, pada sisi lain kepentingan dan komitmen bernegara harus terjaga tanpa cacat. Persoalannya terletak bagaimana antarprimordial dapat bersatu secara dinamis, sehingga diperlukan alat yang dapat menjadi rujukan Ketiga, Revolusi Mental sebagai alat pembaharuan. Reformasi sejak dua dekade terakhir terasa ikatan primordial semakin kuat. Namun, pada sisi lain kepentingan dan komitmen bernegara harus terjaga tanpa cacat. Persoalannya terletak bagaimana antarprimordial dapat bersatu secara dinamis, sehingga diperlukan alat yang dapat menjadi rujukan

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana konsep dan teknis mewujudkan Revolusi Mental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Secara praktis proses Revolusi Mental dapat dilakukan melalui tiga jalur, yaitu lingkungan pemukiman, lingkungan pendidikan, dan lingkungan pekerjaan. Secara teoretis, Jurgen Habermas menjelaskan di era post nationalism negara tidak hanya ditentukan oleh hukum ekonomi, tetapi tinjauan dari perspektif lain dan saling ketergantungan di arena

lain justru kadangkala menentukan. 1 Pentingnya ruang publik dan partipasi publik terhadap bela negara melalui demokrasi

merupakan pilihan. Althusser memisahkan ruang privat dan ruang publik, karena kalau revolusi mental hanya dalam ruang privat kemajuan publik akan timpang untuk itu penting hubungan Ideological State Aparatus (ISA) dengan Repressive State Apparatus (RSA). Aparatur ideologis berperan memanggil (interpelasi) aparatur represif melalui ideologi. Kemajuan dalam kehidupan bernegara bukan hanya untuk suatu class struggles semata walaupun adanya kelompok suatu keniscayaan.

Lain lagi dengan Husserl; manusia lahir bersifat given (terberikan, menerima apa adanya) untuk itu lebenswelt (dunia

Constellation, Political EssaysTranslated, edited and with an introductionby Max PenskyThe MIT PressCambridge,The MIT PressCambridge, Massachusetts, 2001,p.55

1 Jurgen Habermas,

The

Postnational Postnational

Halkis dalam bukunya “GEDABU, Termometer Paradigma Berpikir dan Bela Negara ” menjelaskan bahwa kreativitas dan perilaku disebabkan oleh nilai budaya. Sementara itu, nilai budaya dikonstruksi oleh paradigma berpikir. Oeh karena itu, dengan memahami paradigma berpikir seseorang akan dapat dipahami pola kreativitas dan perilaku seseorang melalui nilai-nilai budaya tersebut. Termometer paradigma dapat membedakan konstruksi nilai- nilai budaya yang dimiliki para agen pembaharuan dan yang dimiliki oleh struktur nilai dominan aparatur. Penggunaan termometer paradigma berpikir tidak hanya sampai memahami cara berpikir, tetapi dapat juga diaplikasikan sebagai termometer bela negara. Kadar bela negara seseorang dapat diketahui, sehingga bermanfaat untuk rekayasa sosial budaya dalam konteks Revolusi Mental melalui bela negara.

Kunci persoalannya menyangkut pemahaman atas negara sebagai sebuah “subjek”. Problemnya adalah indikator

usaha bela negara tidak dapat berdasarkan nilai subjektivitas seseorang. Melalui teori struktur, dapat dijelaskan negara sebagai sebuah subjek. Distansi antara struktur dan agen atau usaha bela negara tidak dapat berdasarkan nilai subjektivitas seseorang. Melalui teori struktur, dapat dijelaskan negara sebagai sebuah subjek. Distansi antara struktur dan agen atau

Terlepas dari kekuatan dan kelemahan teori ini, paling tidak sebuah upaya dalam mendeteksi paham-paham yang perlu diwaspadai dalam konteks bela negara perlu diapresiasi. Bela negara bersifat pragmatis, sedangkan termometer paradigma bersifat teoretis-praktis dalam mendeteksi sang subjek, dan mengukur jarak antara subjek dean negara (Subjek). Melalui penjelasan termometer paradigma berpikir subjektivitas seseorang tidak selalu sama, karena memiliki latar belakang dan pengalaman berbeda. Namun, penggunaan Termometer paradigma berpikir memberikan tawaran pemahaman yang menarik, negara akan tetap eksis karena adanya konstelasi yang selalu bekerja menjadi Lebenswelt (duniakehidupan) bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika.

Bogor, 18 Mei 2016

KATA PENGANTAR PENULIS

Revolusi Mental berdasarkan “maximum prosperity” dikembangkan oleh Frederick W.Taylor dan Daniel Nelson dalam bukunya “A Mental Revolution, Scientific Management since Taylor” bergema sampai Indonesia di era kepemimpinan Jokowi-JK. Menurut Nelson, kunci sukses menuju kemakmuran dapat tercapai dengan mengembangkan ide dalam mengelola setiap usaha tidak hanya bertitik tolak pada keuntungan investor, tetapi dampaknya terhadap kemakmuran

masyarakat lebih penting. 2 Bagi Indonesia, jargon istilah “revolusi” tidak bisa terlepas dari “Bung Karno” sebagai salah

seorang The Founding Fathers bangsa Indonesia. Bung Karno di awal kemerdekaan bermaksud untuk menggerakkan semangat rakyat mengusir kolonial dari bumi Indonesia dan mengubah mindset kaum feodal tidak hanya mengejar keuntungan keluarga, tetapi juga persatuan dan kesatuan bangsa.

Sekalipun maksudnya berbeda antara Taylor dan Bung Karno, dalam kepemimpinan Jokowi-Jk tampaknya berusaha menyatukan antara semangat liberal dan sosialis itu dalam satu Rumah Besar Indonesia. Program membuka jalur tol laut misalnya, muncul harapan baru bagi investor dan di balik itu bagi sang negarawan bermaksud menghubungan Sabang- Merauke dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika. Upaya menjaga persatuan bangsa tidak hanya tanpa paksaan, tetapi cara-cara baru demikian menjadi spirit baru dalam mengelola manajemen bela negara. Untuk membuka rahasia pandangan-

2 Nelson, Daniel, A Mental Revolution, Scientific Management since Taylor, Ohio State University Press. Columbus, 1992 p.5 2 Nelson, Daniel, A Mental Revolution, Scientific Management since Taylor, Ohio State University Press. Columbus, 1992 p.5

Pendekatan asimetrik kultural juga dapat digunakan dalam melihat kasus bom “Sarinah”. Ketika banyak pengamat

menyebutkan bom Sarinah adalah lanjutan bom Paris dan bom Turki, jaringan ISIS bekerja menebarkan rasa takut di kalangan masyarakat. Akan tetapi di Indonesia justru menjadi tontonan gratis di siang bolong. Memang fenomena sosial budaya di masyarakat semakin aneh dan rumit. Banyak orang bertekuk lutut untuk mengerti dengan peristiwa, tingkah laku dan nilai dalam masyarakat saat ini. Teori-teori sosial modern tidak mampu menjelaskan mengapa ini berbeda, ini begini, itu begitu, semestinya tidak begitu tetapi kok begitu. Aturan hukum tidak ada yang pasti, sementara tuntutan meminta kepastian. Kekacauan realitas nilai menusuk hati sanubari, jawaban sementaranya karena dampak hempasan ombak globalisasi, informasi masuk tanpa permisi membangun nilai dan persepsi. Hasrat klasik dipandang takdir tidak lagi memberikan makna karena sang tuan mestinya menguasai budaknya, majikan menguasi pembantunya, penguasa menguasai massanya. Namun kenyataan tidak lagi demikian, justru sebaliknya. Sang tuan diatur budaknya, sang raja diatur hambanya dan sebagainya.

Teka-teki bagaimana hubungan tingkah laku, sistem nilai dan paradigma terbongkar setelah dengan sungguh- sungguh diteliti melalui teori psikologi, sosiologi-antropologi dan Filsafat Ilmu peneliti merumuskan skala tingkah laku manusia, kemudian ditingkatkan dalam penggunaan termometer

dan kemungkinan penerapannya dalam termometer bela negara. Persepsi tentang hakikat diri, ruang, waktu mampu menggambarkan kesadaran

paradigma

berpikir berpikir

Pemahaman akan diri sendiri menjadi awal untuk mencari posisi, subjektivitas dalam berkreativitas dipandang penting. Kesesuaian alam pikiran dan ruang mendukung suasana batin manusia untuk berkreatif. Untuk itu termometer Gedabu ini akan bermanfaat kalau dapat digunakan dalam menjaga arah tindakan siapa diri sendiri (subjek) dan siapa yang lainnya (others/objek). Demikian juga hanya ketika subjetivitas negara dapat ditemukan, pendekatan nilai-nilai Pancasila melalui konstelasi politik dapat pahami, skala Gedabu dapat dioperasikan sebagai termometer bela negara.

Terselenggaranya tugas ini berkat dukungan banyak pihak. Untuk itu kami ucapakan terima kasih kepada ayah- bunda, istri, anak-anak, adik-adikdan teman-temankami. Almamater kami UIN Suska (S1,1992), Universitas Andalas (S2,2006) dan Universitas Indonesia (S3,2014). Kemudian khusus Rektor Universitas Pertahanan, Dekan Fakultas Strategi Pertahanan dan Kaprodi Peperangan Asimetris tempat kami mengabdi yang mendukung sepenuhnya atas diterbitkannya buku ini saat di usia kami genap 47 tahun.

Bogor, 13 Mei 2016

Dr. Mhd. Halkis

DAFTAR ISI

Pengantar Rektor Unhan …………………………… ii Pengantar Penulis …………………………………… v

Bab 1 Manusia Selaku Subjek Berbudaya ………..

Mengukur Tingkah Laku Manusia ………………

1 Pokok Persoalan …………………………………….

7 Landasan Teori ……………………………………...

9 Metodologi ……………………………………....

Bab 2 Paradigma Berpikir dan Teori Nilai Budaya....... …………………..…………

Paradigma Berpikir dan Ontologi Nilai dalam Pemikiran Barat ………………………………….…

29 Pengertian Nilai dan Paradigma Berpikir dalam Islam …………………………….………........

Bab 3 Eksperimen Sistem Nilai Budaya dalam Masyarakat Terasing ……………………... 47

Talang Gedabu dan Rawang Kao sebagai Objek Uji Coba Penelitian ………………………………….

47 Indikator-indikator Nilai Budaya Masyarakat Terasing…………………………………… 49 Konsekuensi Logis……………………………………..

Paradigma Alamiah sebagai Pertimbangan untuk sebuah aplikasi ………………………………………..

55 Contoh Aplikasi Termometer Gedabu………………..

59 Perubaha n Nilai dan Peristiwa……………………….

64 Membangun Dinamika Grup ………………………..

65

Bab 4 Termometer Gedabu dan Habitus Masyarakat……………................................................... 68

Habitus Masyarakat Vakum …………………………

69 Habitus Masyarakat Pasif ………………………………

74 Habitus Masyarakat Aktif ………………………………

77 Habitus Masyarakat Hiperaktif ………………………

82

Bab 5 Aplikasi Gedabu sebagai Termometer Bela Negara………………………………………………

87

Persoalan Negara sebagai Subjek. ……………………… 87 Persatuan Vs. Individu al……………………………….

89 Anarkisme dan Marxisme Selalu Menggorogoti Stabilitas 92 Ideologi Tengah dan Kanan Selalu Bekerja……………

95 Menafsir Hukum dan Pent ingnya Dekonstruksi………… 97 Agen Radikal, Demokras i dan Globalisasi……………… 106

Bab 6 Pancasila sebagai Subjek M emanggil………… 111

Agama dan Praktek Ketu hanan Yang Maha Esa………… 111 Persatuan dan Politik Pengakuan: Subjek Lokal, Persatuan dan Politik Pengakuan; Subjek Lokal, Otda dan

Otsus………………………………………….. ……….. 121 Sublimasi dan Interpelasi (Mema nggil) Pancasila……….. 132 Kritikan atas Sublimasi Pancasila versi Posmodern ……. 142

Bab 1 Manusia Selaku Subjek Berbudaya

Mengukur Tingkah Laku Manusia

Setiap ada masyarakat, di situ ada budaya. 1 Budaya merupakan kemampuan berkreasi manusia dalam mengatasi

masalah di lingkungannya. Semakin besar masalah yang dihadapi, semakin tinggi kemampuan suatu masyarakat yang dibutuhkan. Kemampuan suatu masyarakat terlihat dari kreativitas masyarakat dalam menghasilkan ide, kebijaksanaan, dan karya teknologi dari waktu ke waktu. Apabila suatu permasalahan tersebut tidak bisa diatasi, di dalam masyarakat akan timbul konflik berkepanjangan dan berakibat budaya masyarakat tersebut akan ketinggalan, bahkan hilang dalam peta dunia. Usaha perlindungan sebuah kebudayaan suatu masyarakat tersebut dapat muncul dari masyarakat tersebut atau datang dari luar masyarakat tersebut. Proses pembentukan budaya sebagai kreasi manusia sebagai hasil kemampuan suatu masyarakat yang didapat dengan belajar disebut sebagai kebudayaan dan kadang kala disebut juga sebagai peradaban. Ketika manusia berkreasi sendiri atau sama-sama

1 Cicero menyebutnya Ubi societas ibi Ius ,(baca: ū´bē sōkē´ātas, ē´bē yūs . ū´bē susī´etus, i´bē jus) dimana ada masayarakat di situ ada hukum.

Hukum bagian dari budaya.

menghasilkan peradaban, pada saat itu manusia disebut sebagai subjek.

Masyarakat dan kebudayaan berkaitan dengan lingkungan dan kreativitas manusia di dalamnya. 2 Kebudayaan

pada suatu waktu berupa perlombaan menguasai alam dengan teknologi. Suatu masyarakat terlihat maju ketika memiliki implikasi terhadap interaksi peradaban manusia global. Setelah dua kali perang dunia, timbul kesadaran bahwa keadilan dan kesejahteraan tidak dapat tercapai tanpa memperhatikan esensi hakikat manusia itu sendiri dan diatur secara bersama-sama dalam organisasi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB). Melalui lembaga ini, negara dilihat sebagai sebuah organ dan hubungan antara satu dan yang lainnya yang diatur oleh PBB. Sekalipun produk hukum yang dimiliki PBB berupa konvensi yang tidak efektif karena berhadapan dengan kedaulatan suatu negara, tetapi memiliki arti yang sangat besar, terutama terkait dengan perjuangan hak asasi manusia.

Salah satu persoalan hak asasi manusia yang mengemuka dan cukup rumit setelah perang dunia kedua adalah masalah hak-hak masyarakat terasing. Dalam literatur, hal ini dapat dipahami melalui istilah indigenous people. Dalam Konvensi 169, disebutkan bahwa suku-suku di negara- negara merdeka memiliki kondisi sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda dari bagian lain dari masyarakat nasional. Selain itu, status mereka diatur seluruhnya atau sebagian oleh adat atau tradisi mereka sendiri atau oleh undang-undang atau peraturan khusus.

Latar belakang pemikiran konvensi ini adalah kesadaran para intelektual masyarakat modern bahwa terdapat

2 Lihat; Board of Studies New South Wales (BOS NSW), Society and Culture, Syllabus 6, Original published version updated: April 2000 –

Board Bulletin/Official Notices Vol 9 No 2 (BOS 13/00) September 2009 Board Bulletin/Official Notices Vol 9 No 2 (BOS 13/00) September 2009

Masyarakat terasing memiliki berbagai jenis budaya. Secara sederhana, dilihat dari tingkat keterpengaruhannya dalam hal teknologi, masyarakat terasing dapat dibagi menjadi dua, yaitu masyarakat yang mulai terpengaruh teknologi tetapi masih terlihat statis dan masyarakat yang tidak tersentuh oleh perkembangan teknologi yang terlihat super-statis. Secara umum, masyarakat terasing tidak mampu berproduksi yang diperlukan oleh masyarakat lain, bahkan hampir tidak mampu berkomunikasi dengan masyarakat lain. Sebaliknya, masyarakat maju seperti Jepang dapat menjangkau bahkan menguasai masyarakat di dunia ini.

Masyarakat yang ada di luar masyarakat Jepang seolah- olah hanya pemakai budaya Jepang. Masyarakat Jepang berusaha agar semua produksi mereka dimiliki oleh masyarakat lain yang ada di dunia ini. Masyarakat Jepang berusaha mendapatkan dan memiliki hasil alam yang bermanfaat baginya. Lain halnya dengan masyarakat terasing yang dalam mengatasi kesulitan hidup, terutama masalah teknologi, pada umumnya memiliki buatan Jepang atau Masyarakat yang ada di luar masyarakat Jepang seolah- olah hanya pemakai budaya Jepang. Masyarakat Jepang berusaha agar semua produksi mereka dimiliki oleh masyarakat lain yang ada di dunia ini. Masyarakat Jepang berusaha mendapatkan dan memiliki hasil alam yang bermanfaat baginya. Lain halnya dengan masyarakat terasing yang dalam mengatasi kesulitan hidup, terutama masalah teknologi, pada umumnya memiliki buatan Jepang atau

Indonesia adalah sebuah negara yang masyarakatnya dominan tinggal di desa. Masyarakat desa disebut juga sebagai masyarakat agraris. Masyarakat agraris berusaha menggunakan teknologi buatan Jepang atau imitasi buatan Jepang untuk membantu dan mempercepat proses suatu pekerjaan. Masyarakat semacam ini lebih suka menjual hasil alami kepada masyarakat lain. Derajat kehidupan dari segi ekonomi dapat dilihat dan ditentukan oleh kemampuan masyarakat tersebut dalam menggunakan budaya masyarakat modern. Lembaga-lembaga pendidikan digunakan untuk menampung perkembangan teknologi modern dengan mendidik kelompok masyarakat yang disebut mahasiswa, siswa atau pelajar.

Sistem komunikasi masyarakat desa juga sangat terbatas dan sangat ditentukan oleh kepala desa. Kepala desa mempunyai peranan yang sangat besar dan menjadi perantara masyarakat dengan dunia luar. Warga desa dapat diberikan surat jalan oleh kepala desa untuk menjamin identitas seorang penduduk dalam melakukan perjalanannya ke luar desa. Untuk itu, masyarakat desa dapat disebut sebagai masyarakat terasing. Menurut UU Hamidi secara umum masyarakat terasing memiliki tanda-tanda sebagai berikut.

―berada pada tempat yang terpencil, terisolasi oleh keadaan geografi dan alam lingkungan. Oleh sebab itu, pergaulan mereka dengan pihak luar amat terbatas, sehingga kemungkinan melakukan komunikasi dengan masyarakat yang lebih luas dan beragam juga amat sedikit sekali. Hal ini menyebabkan mereka ketinggalan dalam kemajuan budaya teknologi dan terbenam ―berada pada tempat yang terpencil, terisolasi oleh keadaan geografi dan alam lingkungan. Oleh sebab itu, pergaulan mereka dengan pihak luar amat terbatas, sehingga kemungkinan melakukan komunikasi dengan masyarakat yang lebih luas dan beragam juga amat sedikit sekali. Hal ini menyebabkan mereka ketinggalan dalam kemajuan budaya teknologi dan terbenam

Ilustrasi di atas memberi pengertian umum kepada kita bahwa ada beberapa variasi budaya yang merupakan hasil kreativitas dan tingkah laku suatu masyarakat. Kalau kita mengatakan suatu masyarakat, berarti suatu kelompok manusia yang memiliki cara tersendiri, pola kesadaran ruang dan waktu, pemahaman tentang pendekatan dan tujuan tindakan struktur dan agen yang oleh Bourdieu disebut sebagai

―habitus‖. 4 Pada kenyataannya, budaya tersebut membedakan suatu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya.

Persoalannya, bukan hanya berbeda tetapi ada nilai kontradiksi bahwa budaya yang satu dipersepsikan lebih tinggi dari yang lain. Oleh karena itu, jika ada nilai tinggi dan rendah suatu budaya serta nilai budaya ada ukurannya, inti persoalannya adalah bagaimana cara mengukurnya.

Banyak cara dari berbagai kalangan untuk mengukur nilai budaya, tetapi secara umum bersifat subjektif. Misalnya, kalangan agama merasa nilai budaya mereka lebih tinggi, karena mereka meyakini kelompok mereka adalah utusan Tuhan. Kemudian, dari kelompok etnis juga ada yang merasa kelompoknya adalah manusia super. Alasan yang demikian tampaknya menimbulkan konflik, bahkan dapat memicu perang dari zaman ke zaman, termasuk teroris-teroris yang dipahami melalui doktrin-doktrin ajaran mereka. Untuk itu peneliti mencoba merumuskan skala nilai budaya dari dimensi keilmuan, sehingga diharapkan lebih objektif. Kalangan ilmuwan psikologi juga telah banyak menghasilkan indikator-

3 UU. Hamidy, Masyarakat Terasing Daerah Riau Di Gerbang Abad XXI, Pekanbaru, Zamrad, I99I, pp I7-I8.

4 Cargile, Aaron Castelan, Being Mindful of the Habitus of Culture, China Media Resercha, 7 (3), 2011, p.12 4 Cargile, Aaron Castelan, Being Mindful of the Habitus of Culture, China Media Resercha, 7 (3), 2011, p.12

Kalau melihat cara kerja Celcius dalam menentukan skala suhu, peneliti mestinya mencari indikator terendah dan indikator tertinggi untuk merumuskan skala nilai budaya. Dalam penelitian ini, pertama, peneliti mencari objek yang terendah, kemudian mencari indikator tertinggi dengan melakukan refleksi implikasi logika. Untuk mengambil indikator terendah, peneliti mengambil kelompok masyarakat terasing. Masyarakat terasing yang dipilih ada dua, yaitu masyarakat di hutan Talang Gedebu (Suku Talang Mamak, Riau), karena belum tersentuh sama sekali oleh teknologi dari luar, dan masyarakat terasing di desa Rawang Kao (Suku Kubu), karena sedang menghadapi pengaruh dari luar atau menghadapi perubahan lingkungan transmigrasi. Pada saat dilakukan penelitian, masyarakat Rawang Kao sedang menghadapi konflik dengan masyarakat transmigrasi dari pulau Jawa. Pilihan masyarakat ini kemudian akan dikonstruksi menjadi sebuah skala nilai budaya untuk semua kelompok masyarakat secara universal.

Alasan pemilihan objek penelitian di dalam masyarakat terasing adalah untuk menemukan indikator titik minimal dari nilai budaya sebagai penyebab tingkah laku dan aktivitas minimal.

dapat dikembangkan menggunakan aturan-aturan logika agar dapat membentuk pola nilai budaya secara universal. Dari pola tersebut, dapat dianalisis bentuk-bentuk tingkah laku suatu masyarakat dunia yang dapat diuji dengan logika (tautologi).

Dengan

demikian,

Pokok Persoalan

Pokok persoalan dalam penelitian ini adalah mengapa nilai budaya suatu kelompok masyarakat (habitus) ada yang tinggi dan ada yang rendah. Karena nilai budaya bersifat abstrak dan perilaku diyakini sebagai wujud nilai budaya, dengan mengukur nilai budaya berarti mengukur tingkah laku itu sendiri. Kondisi yang berbeda antara suatu masyarakat dan masyarakat yang lain disebabkan oleh produksi budaya yang berbeda-beda. Dalam hal ini, tingkah laku diartikan sebagai kreativitas. Hal ini karena budaya sesungguhnya merupakan kreativitas manusia. Kreativitas ini dapat terjadi di bidang ekonomi, politik, militer, teknologi, dan sebagainya.

Budaya merupakan manifestasi dari kemampuan suatu masyarakat dalam menghadapi permasalahan dan memenuhi kebutuhan dalam lingkungan masing-masing. Gambaran budaya masyarakat berarti gambaran dari kreativitas suatu masyarakat tersebut. Karena peneliti meneliti budaya, peneliti semestinya menggambarkan bentuk karya masing-masing masyarakat yang berkaitan dengan sistem-sistem gagasan, tindakan-tindakan dan karya fisik milik masyarakat tersebut. Keadaan lingkungan dan historis masing-masing kelompok masyarakat penting untuk dipahami sebagai faktor yang saling mempengaruhi. Demikian juga halnya tentang sistem nilai budaya, norma-norma, peraturan-peraturan dan hubungan antarsub-budaya.

Mengingat luasnya kajian ini, peneliti membatasi persoalan pada bagaimana indikator-indikator nilai budaya suatu masyarakat terasing menyebabkan adanya tingkah laku yang dimilikinya. Dengan demikian, tingkah laku atau kreativitas masyarakat merupakan faktor-faktor yang diteliti. Selain itu, sistem nilai budaya digunakan sebagai kerangka berpikir agar penelitian ini dapat dilakukan di lapangan secara empiris. Penting bagi peneliti untuk membangun sebuah Mengingat luasnya kajian ini, peneliti membatasi persoalan pada bagaimana indikator-indikator nilai budaya suatu masyarakat terasing menyebabkan adanya tingkah laku yang dimilikinya. Dengan demikian, tingkah laku atau kreativitas masyarakat merupakan faktor-faktor yang diteliti. Selain itu, sistem nilai budaya digunakan sebagai kerangka berpikir agar penelitian ini dapat dilakukan di lapangan secara empiris. Penting bagi peneliti untuk membangun sebuah

Dengan berbagai pertimbangan konsep operasional, peneliti memilih teori Kluckhohn. Dalam teori Kluchohn, konsep operasional penelitian berpijak pada pengertian bahwa sistem nilai budaya yang dimaksud adalah tanggapan suatu masyarakat dalam menjawab permasalahan dasar dalam hidup. Kemudian, permasalahan mendasar dalam hidup dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan seperti bagaimana tanggapan masyarakat terasing tentang masalah hakikat hidup? Bagaimana tanggapan masyarakat terasing tentang hakikat karya? Bagaimana tanggapan masyarakat terasing tentang hakikat waktu? Bagaimana tanggapan masyarakat terasing tentang hakikat hubungan antarsesama? Bagaimana tanggapan masyarakat terasing tentang masalah hakikat alam?

Indikator-indikator yang ditemukan dalam objek penelitian tentang tingkah laku masyarakat terasing dikelompokkan menjadi kelompok masyarakat vakum dan pasif. Masyarakat vakum adalah masyarakat yang tidak memiliki kreativitas, karena semuanya tergantung pada alam. Sementara itu, masyarakat pasif adalah masyarakat yang hanya menerima perubahan dengan terpaksa. Kedua habitus kelompok masyarakat ini menjadi fondasi pembentukan indikator skala nilai budaya masyarakat terasing tersebut. Untuk mencapai tujuan penelitian ini, peneliti mengkonstruksi proposisi-proposisi yang ditemukan untuk membentuk sebuah rangkaian indikator nilai budaya.

budaya dirumuskan direfleksikan dalam kehidupan bernegara ternyata di balik itu terbongkar pola-pola pikir dalam berpolitik, sehingga nilai budaya terkait dengan ideologi. Konstelasi terbentuk antara ideologi dalam suatu waktu untuk menghadapi suatu masalah bersama. Artinya, di ujung akar ideologi tersebut terdapat

Setelah indikator

nilai nilai

struktur. Akan tetapi, ketika digunakan dalam kehidupan bernegara, teori diaplikasikan dalam sebuah kepentingan. Jika kepentingan tersebut untuk kepentingan negara, relevan disebut untuk membela negara. Untuk itu, Gedabu memungkinkan dapat digunakan sebagai alternatif termometer bela negara.

Landasan Teori

Persepsi adanya tinggi dan rendah nilai budaya suatu kelompok masyarakat (habitus) menyangkut paradigma berpikir. Teori paradigma berpikir terkait dengan filsafat ilmu, yang lebih spesifik lagi disebut philosophy of mind. Elemen dasar dalam philosophy of mind adalah persepsi, intensionalitas, subjektivitas, dan mentalitas. Kalau difokuskan pada intensionlitas, persoalannya adalah mental representation (menghadirkan mental), problem kesadaran, dan problem

persepsi. 6 Karena penelitian ini bersifat filosofis dan diteliti dalam lingkungan empiris aktivitas kehidupan manusia, studi

ini termasuk psikologi dan secara khusus lagi pada pendekatan studi psikoanalisis. Untuk itu Gedabu, termometer paradigma berpikir dan bela negara dalam studi ini dapat dipahami melalui tes-tes kepribadian, paradigma berpikir dan psiko- kultur. Dengan demikian, apabila termometer gedabu diperuntukan untuk diri sendiri, dapat juga disebut sebagai termometer narsis.

5 Pohon ada akarnya, pada ujung akar tersebut terdapat tudung akar atau disebut kaliptra. Kaliptra identik dengan ideologi, nilai budaya akarnya.

6 Crane, Tim, Elements of Mind, an Introduction of The Philosophy of

Mind, Oxford University Press, New York, 2001 Mind, Oxford University Press, New York, 2001

umum adalah dengan menganalisis individu yang telah dikembangkan oleh antropologi, yaitu tes Rorschach. Hal ini dilakukan dengan menggunakan kartu-kartu yang tertera 10 macam noda-noda tinta yang bilateral dan simetris. Klien diminta untuk menceritakan dan mengarang hal-hal yang dilihatnya. Walaupun masing-masing peserta mempunyai gambar yang sama, jawaban akan berlainan. Untuk itu, mereka yang terlibat dalam tes tersebut memang memproyeksikan tanda-tanda yang terdapat dalam noda tersebut dan itulah maknanya. Tes Rorscach ini dapat disebut sebagai percobaan proyektif. Hasil analisis dari jawaban pertanyaan itu dapat digunakan untuk mengetahui kepribadian seseorang. Namun, banyak juga ahli yang menolak tes Rorschach ini karena banyak menghabiskan waktu. Di sisi lain, ada juga yang membelanya karena tes ini dapat

mengetahui subjektivitas klien tanpa perlu pandai menulis. 7

Ada lagi cara lain untuk mengetahui kepribadian ini, yaitu dengan menyelesaikan yang terbengkalai, 8 metode tes

gambar adalah Machover DAP tes dan Buck HTP tes,

9 Rosenzweig Test . Hal ini dilakukan dengan membuat pernyataan provokatif yang lain. Selain itu, pemirsa

memutuskan bagaimana karakter kedua harus merespon. Kemudian yang cukup banyak digunakan oleh seksi

7 T. O. Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Gramedia, I986, pp. II5-II9.

8 Koentjaraningrat, loc. Cit. , p. 59.

9 DAP adalah singkatan dari Draw a Person, dan HTP adalah singkatan dari Hause Tree-Person. keterangan terinci mengenai teori dan arti dari

analisis gambar dalam ilmu psikologi dapat dilihat dalam buku K. Machoper (I989) dan S. Levy (I959). Dikutip dari buku Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi, Jilid II, Jakarta: UI press I990.

personalia dalam melakukan seleksi penerimaan karyawan antara lain sebagai berikut.

1) Graphologi, yaitu analisis tulisan tangan dan tanda tangan.

2) Luscher Colour Test. Peringkat kartu berwarna dalam urutan pilihan digunakan untuk mengungkapkan ciri- ciri kepribadian.

3) Hand Test. Metode ini digunakan untuk menilai agresi, kecemasan, dan kepribadian lainnya.

4) Tes Penyelesaian Kalimat, misalnya "Kalau saja aku bisa..." Tes ini valid untuk mengukur ego, seperti moralitas dan empati.

5) Szondi Test, menggunakan foto-foto pasien dan pilihan untuk mengungkapkan sesuatu yang paling bernilai.

6) Tes IQ. Tes intelligence quotient (IQ) digunakan untuk mengukur tingkat kecerdasan seseorang dalam menyelesaikan masalah. Perbandingan usia mental dan usia fisik menjadi patokan dan bersifat personal.

b. Teori Kluchohn dan Psiko-Cultur Dalam dunia antropologi budaya pada pertengahan abad 20, penelitian tentang orientasi nilai budaya (cultural value orientation) yang dikembangkan oleh Clyde Cluchohn dan setelah ia meninggal dilanjutkan istrinya Florence Kluchohn serta diterbitkan buku yang berjudul ―Variations in Value Orientation 1961 ‖. Mereka beranggapan bahwa dalam rangka sistem nilai budaya dari tiap kebudayaan mempunyai konsep-konsep yang abstrak yang dijadikan pedoman oleh suatu masyarakat yang kedudukannya lebih tinggi dari norma- norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya. Dalam hal ini, sejak kecil orang diresapi oleh nilai budaya yang kemudian berwujud kepada tindakan dan tingkah laku.

Kluchohn membuat kerangka yang dapat dilakukan dengan perhitungan statistik. Kerangka tersebut dibuat untuk

meneliti lima golongan sosial di Rimrock. 10 Kerangka Kluchohn tersebut dijadikan hipotesis dalam penelitian ini

dengan maksud sebagai berikut.

a. Melihat hasil dugaan bahwa teori yang dibangun atas data empiris dapat disempurnakan dengan rasional.

b. Mengembalikan permasalahan filosofis (nilai) yang telah terjun ke dalam dunia ilmu kepada kajian yang bersifat filosofis.

Dengan ditemukannya beberapa kesalahan dari kerangka Kluchohn yang kemudian disintesiskan lagi sehingga menjadi lebih bermanfaat daripada awalnya, baik dari segi teoretis maupun praktis. Setelah mendapat kesimpulan dalam penelitian tersebut, penulis ingin berdiskusi beberapa teori psikologi sebagai kemungkinan keberadaan teori yang diujicobakan. Teori tersebut memiliki kelemahan dan berdiri tidak terpisah dengan keberadaan teori yang lain. Diskusi tersebut hanya berupa teori-teori yang lemah yang dapat runtuh. Kehancuran teori yang dimaksud bukan berarti tidak dapat lagi dipakai pada bidangnya. Mencari kelemahan teori- teori dalam hal ini, jika teori tersebut diterapkan dalam dunia antropologi.

Teori tingkah laku telah dibicarakan oleh Scopenhour dengan anggapan bahwa tingkah laku manusia ditentukan oleh pembawaan sejak lahir. Teori ini disebut sebagai teori nativisme. Lain halnya dengan John Locke yang menyatakan bahwa manusia lahir laksana kartu putih, sehingga tingkah laku didapat dari lingkungan. Teori tingkah laku yang disebabkan oleh lingkungan ini disebut tabula rasa atau

10 Kerangka dalam bahasa asli lihal lampiran I.

empirisme. Sebagai jalan tengah dari kedua teori tersebut, Williem Sterm membangun teori konvergensi. Teori konvergensi ini menyatakan bahwa individu adalah hasil heriditas dan lingkungannya.

Ivan Petrovich Pavlov menarik kesimpulan dari percobaannya bahwa tingkah laku adalah rangkain refleks berkondisi. Rangkaian refleks berkondisi terjadi setelah proses kondisioning. Dalam hal ini, refleks-refleks yang tadinya dihubungkan dengan rangsangan tidak berkondisi dan lama-

kelamaan dihubungkan dengan rangsangan berkondisi. 11 Edward Spranger merupakan seorang tipolog yang

membagi tipe manusia yang didasarkan pada nilai budaya. Spranger berpendapat bahwa pada diri seseorang hanya ada satu nilai dominan yang kemudian membentuk tingkah laku

seseorang. 12 Lain halnya dengan Kohler yang mengatakan bahwa tingkah laku merupakan produk coba-coba salah.

Kohler mengolah

dengan hukum kontinguitasnya. 13 Sementara itu, Sigmun Freud, dalam teori

teori

asosiasi

psikoanalisisnya, menyatakan bahwa itu terjadi dari tiga sistem, yaitu id sebagai dorongan primitif yang terletak dalam ketidaksadaran dan belum dipengaruhi oleh kebudayaan, super ego adalah kebalikan dari id. Untuk menjaga keseimbangan

ini, ego mengambil fungsi. 14 Hendri Alexander Murray mengatakan ada 28 macam

kebutuhan pokok manusia, yang kemudian dikembangkannya untuk tes kepribadian. Dalam hal ini, tingkah laku erat hubungannya dengan tekana-tekanan dari lingkungan untuk

11 Sarwito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokih-tokoh Psikilogi, Jakarta: Bulan Bintang, I978, p. I29

12 Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, Jakarta: Raja Wali Perss, I983, p. I29.

13 Lihat loc. cit. , pp. I59-I64. 14 Lihat ibit. , pp. I75-I85.

memenuhi kebutuhan tersebut. 15 Manusia dan lingkungan berhadapan dengan waktu, sehingga manusia menghadapi

adanya perubahan setiap saat. Nostradamus merupakan seorang peramal masa depan yang terkenal dan hidup pada abad 16 di Eropa bersamaan dengan Jayabaya di Indonesia. Oleh Sir Thomas More, karyanya yang demikian diberi nama ―Utopia‖. Kalau kita sebut pemikiran dan ramalan mereka yang sekarang tidak lagi sebagai ramalan, tetapi hampir sudah dirasakan sepenuhnya. Bagaimanapun perkembangan tersebut ditentukan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.

A. Comte mengatakan bahwa perubahan masyarakat terdiri dari tiga tahap, yaitu religius, metafisis, dan science (ilmu pengetahuan). Sementara itu, dari segi cara masyarakat memecahkan masalah dalam hidupnya, dapat dilihat dari beberapa tahap.

Pertama, tahap mistis. Pada tahap ini, manusia dan alam saling meresapi, sehingga kebutuhan manusia dan ilahi dipandang saling melebur. Nilai-nilai dan norma-norma dipegang sangat kuat dan para tokoh mitos dipandang sebagai sesuatu yang suci. Problem yang muncul diselesaikan melalui tokoh-tokoh suci tersebut.

Kedua, tahap ontologis. Peralihan ini disebut sebagai peralihan dari mistis ke logos. Manusia sudah mulai mengambil jarak dengan alam dan mempelajari daya-daya alam dan manusia. Peristiwa alam tidak lagi terhenti sampai kepada kesalutan saja, tetapi mereka pikirkan.

Ketiga, tahap fungsional. Pemikiran yang ketiga tertuju kepada masyarakat modern. Manusia sudah dapat melihat dirinya sebagai sebuah subjektif diri, tetapi ia juga sebagai sebuah yang objektif. Manusia menyadari bahwa dirinya

15 Lihat ibit. , pp. I20-I23.

merupakan pengembangan kebudayaan dan menggunakannya serta mengembangkan alam. 16

Demikianlah beberapa teori tentang tingkah laku dan gerak kebudayaan. Teori mengenai permasalahan tersebut sangat banyak. Akan tetapi, dari berbagai sudut pandang dan pertimbangan, sangatlah cukup yang telah ditulis di atas. Namun, teori berfokus pada teori Kluchohn tentang tingkah laku dan nilai budaya. Kalau disederhanakan, teori tersebut dapat dibuat dalam gambar sebagai berikut.

16 C. A. van Peorsen, Starategi Kebudayaan, Jakarta: Gunung Mulia, I985.

MANUSIA KEBUDAYAAN

Potensi membangun 3. Macam wujud budaya. Kemampuan Kebudayaan:

yang dimiliki: a. Ide

1. Pikiran

b. Kebijaksanaan

2. Rasa

c. Bentuk Fisik

3. Karsa

Ide dapat berbentuk dan berwujud kepada:

1. Sistem Nilai Budaya

2. Norma-norma

3. Peraturan-peraturan

4. Dan lain-lain

Sistem nilai budaya ialah tanggapan masalah dasar dalam hidup;

1. Hakekat Hidup. laku/aktivitas

Tingkah

2. Hakekat Karya

3. Hakekat Waktu

4. Hubungan antar sesama

5. Hakekat Alam Keterangan:

= Hubungan Kausalitas

Penelitian ini berbentuk field research (penelitian lapangan) dan bersifat kualitatif. Harapan peneliti adalah untuk menemukan indikator-indikator baru, tetapi tidak dapat dipungkiri adanya subjektivitas peneliti melalui pengalaman yang sudah ada. Pengalaman tersebut sebagai dugaan-dugaan awal atau asumsi yang berguna untuk mengarahkan penelitian tentang hal-hal yang ingin diteliti.

1) Gejala jiwa manusia dapat dilihat dari tingkah lakunya. Tingkah laku adalah akibat dari nilai budaya yang dimilikinya. Dengan mengetahui nilai budaya suatu masyarakat, berarti mengetahui tingkah lakunya.

2) Nilai budaya masyarakat bermacam-macam. Setiap yang bermacam pasti ada tingkatannya. Jadi setiap wujud budaya pasti ada nilai tingkatannya dan pasti bisa diukur. Jadi, nilai budaya masyarakat pasti ada nilai dan ada ukurannya. Jika nilai budaya bisa diukur, tingkah laku pun bisa diukur.

3) Jika tingkat kemampuan memecahkan masalah disebabkan oleh nilai budaya terendah, kemampuan tersebut adalah tingkat terendah.

4) Nilai budaya adalah ciptaan manusia. Ciptaan manusia adalah sebatas yang dapat diamati. Setiap yang dapat diamati dalam ruang dan waktu tetap bersifat relatif. Jadi, nilai budaya dan tingkah laku masyarakat bersifat relatif.

5) Kerangka Kluchohn adalah teori sistem nilai untuk memahami kemungkinan pola nilai budaya suatu masyarakat secara universal, tetapi bersifat satu dimensi. Masyarakat terasing adalah sebagian masyarakat yang ada di dunia yang menghadapi ruang dan waktu dalam bentuk dua dimensi, sehingga kemungkinan pola nilai budaya masyarakat terasing yang diterangkan oleh kerangka Kluchohn dapat 5) Kerangka Kluchohn adalah teori sistem nilai untuk memahami kemungkinan pola nilai budaya suatu masyarakat secara universal, tetapi bersifat satu dimensi. Masyarakat terasing adalah sebagian masyarakat yang ada di dunia yang menghadapi ruang dan waktu dalam bentuk dua dimensi, sehingga kemungkinan pola nilai budaya masyarakat terasing yang diterangkan oleh kerangka Kluchohn dapat

a) Hakikat Hidup: hidup itu buruk, hidup itu baik, hidup itu buruk tetapi manusia wajib berikhtiar.

b) Hakikat Karya: karya itu untuk nafkah, karya itu untuk kedudukan, dan karya itu untuk kehormatan.

c) Hakikat Waktu: orientasi ke masa depan, orientasi ke masa lalu, dan orientasi ke masa sekarang.

d) Hakikat Hubungan Antarsesama: orientasi kolateral (horizontal), rasa ketergantungan antarsesama

vertikal, rasa ketergantungan kepada atasan dan berpangkat, individualistis menilai tinggi usaha kemampuan sendiri.

orientasi

e) Hakikat Alam: manusia tunduk kepada alam yang dahsyat, manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam, manusia berhasrat menguasai alam.

c. Paradigma Berpikir Paradigma berpikir dapat diartikan secara sederhana sebagai pola pikir. Banyak paradigma yang digunakan untuk memandu penelitian. Berbagai skema paradigmati digunakan untuk membangun konsep dan mengklasifikasikan penelitian serta menggiring suatu

penelitian dalam sebuah konteks. 17 Dalam penelitian

17 Ponterotto, Joseph G. , Qualitative Research in Counseling Psychology: A Primer on Research Paradigms and Philosophy of Science,

Journal of Counseling Psychology. The American Psychological Association, Vol. 52, No. 2, , 2005, p. 128 Journal of Counseling Psychology. The American Psychological Association, Vol. 52, No. 2, , 2005, p. 128

Ontologi terkait dengan yang ada (eksistensi) dan atau menjadi (being). Epistemologi tentang ilmu pengetahuan, sedangkan aksiologi tentang nilai. Aksiologi membagi nilai dalam beberapa cabang, yaitu etika, estetika, dan logika. Etika membicarakan nilai perbuatan baik dan buruk. Estetika membicarakan nilai keindahan dan kejelekan sesuatu. Sementara itu, logika untuk mengetahui benar atau salah. Ketiga cabang aksiologi ini biasanya disebut sebagai trinitas nilai.

Etika meninjau secara rinci tentang perbuatan dan norma-norma yang dianut atau dipakai oleh manusia. Di sinilah tokoh-tokoh etika melahirkan bermacam- macam aliran, seperti hedonisme, pragmatisme, fatalisme, dan sebagainya. Estetika meninjau sebuah karya sebagai manifestasi dari semua kelompok masyarakat atau seseorang dalam hal keindahan dan kejelekan. Dalam pengertian ini, sesuatu yang indah atau jelek juga mempunyai versi beragam. Pengertian tersebut berbeda jika dilihat berdasarkan paling tidak ada dua sumber. Ada ahli yang mengatakan keindahan atau kejelekan itu berasal dari dalam diri sendiri. Akan tetapi, ada pula yang mengatakan sebaliknya, yaitu berasal dari luar dirinya.

Logika sering disebut dengan ilmu tentang aturan benar dan salah. Prinsip dasar logika yang ditetapkan pertama kali oleh Aristoteles menurut Imanuel Kant tidak dapat disempurnakan lagi. Akhir-akhir ini, logika Aristoteles disebut juga sebagai logika proposional dan Logika sering disebut dengan ilmu tentang aturan benar dan salah. Prinsip dasar logika yang ditetapkan pertama kali oleh Aristoteles menurut Imanuel Kant tidak dapat disempurnakan lagi. Akhir-akhir ini, logika Aristoteles disebut juga sebagai logika proposional dan

Metodologi

Metodologi merupakan prosedur dan teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk membuat alat ukur paradigma berpikir habitus yang selanjutnya diberi nama Gedabu. Termometer Gedabu dikonstruksi dari nilai budaya dan paradigma berpikir yang dilihat melalui tingkah laku. Untuk itu, alat ukur ini diharapkan dapat diterapkan untuk mengukur potensi paradigma berpikir seseorang, lingkungan sosial budaya sebuah perusahan, kelompok masyarakat, dan juga dapat diterapkan dalam mengukur kadar bela negara seseorang.

a. Prosedur Pendekatan Prosedur

dimaksudkan untuk mempermudah cara kerja dalam mencapai tujuan penelitian ini. Karena tujuan penelitian ini adalah membuat alat ukur tingkah laku yang akan digunakan untuk mengukur paradigma berpikir dan bela negara yang mirip dengan alat pengukur suhu, peneliti menggunakan pendekatan Ander Celcius dalam membuat termometer. Bagi Celcius, termometer merupakan alat untuk mengukur suhu (temperatur). Bahan utama termometer Celsius adalah merkuri atau air raksa sebagai

pendekatan pendekatan

Menyamakan suhu dengan tingkah laku dan merkuri dengan nilai budaya merupakan persoalan keilmuan. Namun, cara kerja ini merupakan pilihan. Sekalipun upaya membangun skala tingkah laku bukan sesuatu yang baru, tetapi peneliti melakukan dengan cara yang berbeda dengan peneliti sebelumnya. Peneliti melakukan bongkar pasang kerangka Kluckhohn sebagai indikatornya dan tingkah laku sebagai fakta empirisnya. Hal ini merupakan cara yang baru dalam bidang antropologi dan psikologi. Peneliti melakukan modifikasi atau menyempurnakan menjadi skala relativitas tingkah laku yang berlaku secara universal dan kemungkinan penerapannya terhadap bela negara. Kerangka Kluckhohn awalnya hanya dimaksudkan untuk mendeskripsikan nilai budaya suatu komunitas masyarakat. Akan tetapi, peneliti menyempurnakannya sebagai alat untuk mengukur tinggi- rendahnya tingkat kreativitas suatu masyarakat.

Permasalahan di atas ialah hubungan antara tingkah laku dan nilai budaya. Tingkah laku adalah kajian ilmu psikologi sedangkan nilai budaya adalah kajian ilmu antropologi. Penggabungan kedua disiplin ilmu ini berkembang di Amerika Serikat. Dalam beberapa literatur, hal Permasalahan di atas ialah hubungan antara tingkah laku dan nilai budaya. Tingkah laku adalah kajian ilmu psikologi sedangkan nilai budaya adalah kajian ilmu antropologi. Penggabungan kedua disiplin ilmu ini berkembang di Amerika Serikat. Dalam beberapa literatur, hal

1) Suatu usaha memandang kebudayaan sebagai kesatuan yang holistik dan memfokuskan pada watak khas yang dipancarkan oleh suatu kebudayaan yang sedang diteliti, termasuk kebudayaan sebuah bangsa.

2) Sampai sejauh mana konsep atau teori psikologis yang berlaku didapat dari data kebudayaan Eropa dan Amerika dalam penerapannya di luar kebudayaan tersebut, termasuk usaha membela negara.

3) Berkeinginan untuk mendeskripsikan kepribadian umum penduduk suatu kebudayaan tertentu. 18

Penelitian ini juga diharapkan berguna untuk: a.cermin masyarakat tentang tingkah laku dan nilai budaya yang dimilikinya, b. sebagai teropong oleh orang yang akan terjun ke dalam masyarakat untuk sekadar mendapatkan pengertian umum, c. alat ukur tingkatan (derajat) tingkah laku masyarakat, dan d. sarana atau alat ukur nilai kadar bela negara seseorang.

b. Teknik Pengumpulan Data Logika ilmiah ialah interaksi logika induktif dan

deduktif. Logika induktif berawal dari fakta-fakta kemudian ditarik pernyataan-pernyataan umum. Penelitian melalui logika induktif ini bertujuan untuk menampilkan temuan dan penelitian yang bersifat kualitatif. Kemudian, diadakan pembuktian di lapangan dan diskusi-diskusi dengan hasil

18 Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Antrologi II, Jakarta; UI press, I990, p. 39.