STUDI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI AUS

TUGAS AKHIR
MATA KULIAH TEORI HUKUM DAN KONSTITUSI

Dosen: Dr. Taufiqurrahman, SH., MH

“STUDI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRIA”

NAMA: AMIR HAMDANI NASUTION
NIP: 7112034

PROGRAM PASCA SARJANA JURUSAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA
2013

BAB I
PENDAHULUAN

Wacana penguatan hak konstitusional warga negara semakin menggeliat baik dalam
dunia akademis maupun praktik kenegaraan sehari-hari. Awal refomasi sampai hari ini,
perdebatan serta dinamika konstitusi tidak terelakkan seiring dengan tuntutan perubahan zaman

dan upaya menjaga kedaulatan negara ditengah percaturan politik luar negeri. Salah satunya
dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai lembaga penguji
konstitusi yang wewenangnya diberikan Undang-Undang Dasar 1945.
Berkenaan dengan hal tersebut, memang dapat dikemukakan pula bahwa pengujian
konstitusionalitas itu merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh siapa saja atau
lembaga mana saja, tergantung kepada siapa atau lembaga mana kewenangan diberikan secara
resmi oleh konstitusi suatu negara.

Lembaga-lembaga dimaksud tidak selalu merupakan

lembaga peradilan, seperti dalam sistem Prancis, disebut “Conseil Constitutionnel” yang
memang bukan “Cour ” atau pengadilan sebagai lembaga hukum, melainkan Dewan Konstitusi
merupakan lembaga politik. Jika dipakai istilah “judicial review”, maka dengan sendirinya
berarti bahwa lembaga yang menjadi subjeknya adalah pengadilan atau lembag “ judicial
(judiciary). Namun, dalam konsepsi “judicial review”, cakupan pengertiannya sangat luas, tidak

saja menyangkut segi-segi konstitusionalitas objek yang diuji, melainkan menyangkut pula segisegi legalitasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang Dasar.1

Jimly Asshiddiqie, “Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara”, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006) hlm. 3

1

BAB II
SEJARAH DAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI INDONESIA
Indonesia telah melakukan perubahan besar dan penting dalam sistem ketatanegaraannya.
Salah satu perubahan tersebut adalah amandemen Undang- Undang Dasar 1945 (reformasi
konstitusi) yang dilakukan sebanyak 4 kali hanya dalam periode 2 tahun. Reformasi konstitusi
dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum
perubahan dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai
harapan rakyat, Good Governance, tegaknya demokrasi dan hak asasi manusia.
Reformasi konstitusi ini dinilai sangat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan
rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Akibatnya, semua lembaga negara dalam
UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup
wewenangnya masing-masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat besar
(concentration of power and responsibility upon the President) menjadi prinsip saling mengawasi
dan mengimbangi (checks and balances). Prinsip- prinsip tersebut menegaskan cita negara yang
hendak dibangun, yaitu negara hukum yang demokratis. Ini sejalan dengan prinsip negara hukum
yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 19451 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia
adalah negara hukum”, dan penjelasan umum UUD 1945 sebelum perubahan tentang sistem

pemerintahan negara yang menyatakan bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum
(rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat).
Salah satu lembaga negara, hasil amandemen ketiga konstitusi, yang melaksanakan
kedaulatan rakyat adalah Mahkamah Konstitusi (MK). MK mempunyai kedudukan setara
dengan Mahkamah Agung (MA), berdiri sendiri, serta terpisah (duality of jurisdiction) dengan
MA. Fungsi utamanya dikenal sebagai the guardian of the constitution (penjaga konstitusi).
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai kewenangan berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
e. memutus pendapat DPR terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang diduga melakukan
pelanggaran hukum. 2

Menurut Jimly, pengujian atas UU dilakukan dengan tolok ukur UUD. Pengujian dapat
dilakukan secara materiel atau formil. Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi UU,

sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU yang bersangkutan bertentangan
dengan ketentuan mana dari UUD. Yang diuji dapat terdiri hanya 1 bab, 1 pasal, 1 kaimat
ataupun 1 kata dalam UU yang bersangkutan. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian
mengenai proses pembentukan UU tersebut menjadi UU apakah telah mengikuti prosedur yang
berlaku atau tidak.3
Dalam memahami persoalan sengketa kewenangan antar lembaga negara,

yang

dipersoalkan bukan subjek kelembagaannya tetapi objek kewenangan yang dipersengketakan,
yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau disebut sebagai kewenangan
konstitusional. Artinya, sejauh berkenaan dengan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh
UUD kepada organ-organ yang disebutkan dalam UUD, apabila timbul persengketaan dalam
pelaksanaannya oleh lembaga-lembaga atau antar lembaga-lembaga yang dimaksudkan dalam
UUD

itu,

Konstitusilah


yang

2

dianggap

maka
paling

tahu

apa

maksud

Mahkamah
konstitusi

memberikan


Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pasal 10 ayat 1 dan 2
Jimly Asshiddiqie “Kedudukan Mahmakah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”,
http://jimlyschool.com/read/analisis/238/kedudukan-mahkamah-konstitusi-dalam-struktur-ketatanegaraan-indonesia/
3

diunduh 1 September 2013

kewenangan-kewenangan

tersebut

kepada

lembaga

yang

mana

di


antara

yang

bersengketa.
Mekanisme bahwa pembubaran suatu partai politik menurut Jimly, haruslah ditempuh
melalui prosedur peradilan konstitusi. Yang diberi hak “standing” untuk menjadi pemohon
dalam
politik

perkara
adalah

berwenang

Pemerintah,

memutuskan


pembubaran

bukan

benar

orang

tidaknya

per

orang

dalil-dalil

atau

yang


pembubaran partai politik itu adalah Mahkamah Konstitusi.

partai
kelompok

dijadikan

orang. Yang

alasan

tuntutan

Dengan demikian, prinsip

kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam UUD tidak dilanggar oleh para penguasa politik
yang pada pokoknya juga adalah orang-orang
memenangkan
timbulnya


pemilihan

gejala

dimana

umum.

Dengan

penguasa

partai politik lain yang kebetulan

mekanisme

politik

yang


ini,

dapat

memenangkan

pula

dihindarkan

pemilihan

umum

memberangus partai politik yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak
sehat menjelang pemilihan umum tahap berikutnya.
Selanjutnya, terkait, soal perselisihan perhitungan perolehan suara pemilihan umum yang
telah dtetapkan dan diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih
perolehan suara dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang diperebutkan. Jika terbukti bahwa
selisih peroleh suara tersebut tidak berpengaruh terhadap peroleh kursi yang diperebutkan, maka
perkara yang dimohonkan akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Jika selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti yang diajukan kuat dan
beralasan, maka permohonan dikabulkan dan perolehan suara yang benar ditetapkan oleh
Mahkamah Konstitusi sehingga perolehan kursi yang diperebutkan akan jatuh ke tangan
pemohon yang permohonannya dikabulkan. Sebaliknya, jika permohonan tersebut tidak
beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka permohonan pemohon akan ditolak.
Ketentuan-ketentuan demikian itu berlaku baik untuk pemilihan anggota DPR, pemilihan
anggota DPD, pemilihan anggota DPRD (kabupaten/kota ataupun provinsi), maupun untuk
pemilihan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres/cawapres).
Perkara penuntutan pertanggungjawaban presiden atau wakil presiden dalam istilah
resmi UUD 1945 dinyatakan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memutus pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya. Atau perbuatan
tercela; dan/atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Pesiden. Dalam hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah
Konstitusi bukanlah lembaga yang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Yang
memberhentikan dan kemudian memilih penggantinya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan apakah pendapat DPR yang berisi tuduhan (a)
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar hukum, (b) bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden,
terbukti benar secara konstitusional atau tidak. Jika terbukti, Mahkamah Konstitusi akan
menyatakan bahwa pendapat DPR tersebut adalah benar dan terbukti, sehingga atas dasar
itu, DPR dapat melanjutkan langkahnya untuk mengajukan usul pemberhentian atas Presiden
dan/atau Wakil Presiden tersebut kepada MPR.
Sejauh menyangkut pembuktian hukum atas unsur kesalahan karena melakukan
pelanggaran hukum atau kenyataan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, maka putusan MK itu bersifat final
dan mengikat. DPR dan MPR tidak berwenang mengubah putusan final MK dan terikat
pula untuk menghormati dan mengakui keabsahan putusan MK tersebut.
Namun, kewenangan untuk meneruskan tuntutan pemberhentian ke MPR tetap ada di
tangan DPR, dan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang
bersangkutan tetap berada di tangan MPR. Inilah yang banyak dipersoalkan orang karena ada
saja kemungkinan bahwa MPR ataupun MPR tidak meneruskan proses pemberhentian itu
sebagaimana mestinya, mengingat baik DPR maupun MPR merupakan forum politik yang dapat
bersifat dinamis. Akan tetapi, sejauh menyangkut putusan MK, kedudukannya sangat jelas
bahwa putusan MK itu secara hukum bersifat final dan mengikat dalam konteks kewenangan
MK itu sendiri, yaitu memutus pendapat DPR sebagai pendapat yang mempunyai dasar
konstitusional atau tidak, dan berkenaan dengan pembuktian kesalahan Presiden/Wakil Presiden
sebagai pihak termohon, yaitu benar- tidaknya yang bersangkutan terbukti bersalah dan
bertanggungjawab.4

4

Ibid.

BAB II
SEJARAH DAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI AUSTRIA

Peradilan konstitusi Austria merupakan peradilan konstitusi pertama kali di Eropa.
Konstitusi 1920 juga sebagai tonggak awal pembentukan Mahkamah Konstitusi di Austria,
meskipun sebelumnya pada konstitusi 1848 telah mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Selain
itu Austria telah terbentuk suatu system pemerintahan monarki konstitusional. Sedangkan pada
tahun 1849 Reich Constitution dibentuk untuk menggantikan Konstitusi 1848. Konstitusi 1849
didesain untuk Negara federalism, yang mengedepankan pada prinsip-prinsip kesetaraan. 5
Konstitusi ini menciptakan ketatanegaraan yang lebih demokratis, yang terjewantahkan
melalui demokrasi perwakilan. Konstitusi ini juga menjalankan system uji administrative oleh
Pengaadilan Tata Usaha Negara. Baru kemudian pada tahun 1920 lahirlah konstitusi yang
dibentuk oleh Hans Kelsen, dan konstitusi ini yang dianggap paling memenuhi syarat dari
konstitusi yang berlaku sebelumnya, dikarenakan menganut prinsip demokrasi perwakilan,
jaminan Hak Asasi Manusia, dan pemisahan kekuasaan, oleh sebab itu kemudian memunculkan
gagasan tentang dibentuknya suatu organ penegak konstitusi yang pada saat itu disebut sebagai
Vervassungsgericht.

Kekuasaan Mahkamah Konstitusi Austria adalah
a) menentukan kadar konstitusionalitas Undang-Undang Federal, Negara bagian dan
peraturan perundang-undangan yang letaknya dibawah Undang-Undang
b) menguji perjanjian Internasional secara umum,
c) menyelesaikan sengketa Pemilihan Umum Presiden dan Pemilihan Umum Parlemen,
d) kewenangan memutus sengketa kompetensi yang terjadi diantara peradilan Umum
dengan Peradilan Administratif atau Peradilan Administratif terhadap seluruh jenis
peradilan lainnya, dan

5

Jimly As.., “Model-Model.. hlm. 50

e) memutus perkara Impeachment terhadap pejabat tinggi Negara yang diduga
melakukan pelanggaran hukum.6

Terkait dengan uji konstitusionalitas undang-undang (“Gesetzesprufung”), mahkamah
juga elakukan pengujian terhadap undang-undang Federal ataupun negara bagian. Pengujian
model ini dapat diajukan oleh Mahkamah Agung, Peradilan Tata Usaha Negara dan Pemerintah
Federal maupun Pemerintah Negara bagian.
Mahkamah juga dapat menguji legalitas Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan oleh
Negara Federal dan bagian, aka tetapi pengujia baru dapat dilakukan setelah mahkamah
menerima permohonan dari pengadilan. Perorangan dapat juga melakukan permohonan dan
dapat menunda berlakunya peraturan pemerintah.
Ada juga istilah “Dikotonomi Putusan”, dlam hal Mahkamah membatalkan bagian atau
keseluruhan dari peraturan perundang-undangan, maka dapat memberikan kesempatan kepada
legislatur untuk memperbaiki kesalahan da mahkamah dapat memberikan waktu untuk
memperbaikinya. Pentingnya dialog konstitusional antara hakim pengadilan negeri dengan
peradilan konstitusi terkait dengan suatu undang-undang yang sedang diterapkan pada perkara
umum. Mahkamah juga berwenang menguji terhadap proses perubahan konstitusi (formal),
namun tidak secara materiil.
Sementara, kewenangan khusus administratif mahkamah. Dalam permohonan ke
Mahkamah, dapat kemudian menyatakan keberatan yang diderita, untuk itu seringkali sebab
dimohonkannya perkara ke mahkamah dikarenakan terdapat rendahnya tingkat validitas produk
regulasi yang diberlakukan oleh otoritas birokrasi administrative. Permohonan yang seperti itu
dapat dilakukan setelah semua upaya telah dilakukan. 7

Jimly As dan Ahmad Syahrizal, “Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara” (Jakarta: Konstitusi Press, 2006)
hlm. 1-15
7
Ibid,
6

BAB III
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA DAN AUSTRIA

Mengingat rincian diatas, maka persamaan yang ada antara Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia dengan Austria dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Mahkamah Konstitusi RI dan Austria sama-sama mengadili atau menguji sebuah
peraturan perundangan di bawah Undang-Undang Dasar,
2. Mahkamah Konstitusi RI dan Austria sama-sama memutus perkara pemilihan umum
dan pemilihan presiden,
3. Mahkamah Konstitusi RI dan Austria sama-sama memutus perkara impeachment
terhadap pejabat tinggi negara yang melakukan pelanggaran hukum, namun disini
belum dipaparkan secara spesifik dugaan pelanggaran hukum yang dimaksud.
4. Mahkamah Konstitusi RI dan Austria sama-sama memutus perkara sengketa lembaga
negara
Maka perbedaan mendasar terkait kewenangan mahkamah konstitusi yang berada di
Indonesia dan Austria dapat di jelaskan sebagai berikut:
1. Mahkamah Konstitusi Austria berwenang menguji perjanjian internasional secara
umum sedangkan Mahkamah Konstitusi Indonesia tidak mempunyai wewenang,
2. Mahkamah Konstitusi Austria berwenang menguji peraturan perundangan yang
dibawah Undang-Undang sementara Mahkamah Konstitusi Indonesia tidak
mempunyai wewenang.

BAB III
KESIMPULAN

Berkenaan dengan pembahasan tersebut, memang dapat dikemukakan pula bahwa
pengujian konstitusionalitas itu sangat penting untuk menciptakan keadilan dalam kehidupan
bernegara serta tetap menjaga koridor undang-undang sesuai dengan Undang-Undang Dasar.
Kewenangan Mahkamah Konstisusi Austria jika dimaknai secara terperinci ternyata lebih
luas wewenangnya yang telah mampu menguji perjanjian insternasional, sementara Mahkamah
Konstisusi Indonesia belum mempunyai wewenang tersebut. Ini tentu menjadi “pekerjaan
rumah” bagi para akademisi dan penggiat hukum konstitusi.

SUMBER BACAAN

Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstisusi
Asshiddiqie, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara , Jakarta:
Konstitusi Press, 2006.
Asshiddiqie, Jimly dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara”
Jakarta: Konstitusi Press, 2006.