KETAATAN KEPADA PEMIMPIN DALAM PENETAPAN AWAL RAMADHAN DAN HARI RAYA DI INDONESIA MENURUT HADIS

KETAATAN KEPADA PEMIMPIN DALAM PENETAPAN AWAL RAMADHAN DAN HARI RAYA DI INDONESIA MENURUT HADIS

Faisal Yahya

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh Email: faisalyahya82@gmail.com

Abstract: The determination of the firts Ramadhan and Shawwal is always different in Indonesia, this is due to the many authorities that implement the determination. This paper examines the obedience to the government in the determining of first Ramadan and Holiday in Indonesia according to the hadist. After reviewing the hadits of early Ramadhan and holidays and also data on the determination of the firts Ramadhan and Shawwal by the Ministry of Religious of RI, it can be concluded that in the haditts perspective show that the government has autoriti in the determination of the beginning of Ramadhan and The holyday. So that Muslimsare ordered to perform the worship in a congregation. While in the context of Indonesia, the authority is not only given to the Ministry of Religious of RI but also to other institutions, therefore the observance of the results of the determination of Ministry of Religious Affairs is not an absolute.

Keywords: Beginning of Ramadhan, Holyday, obedience, authority

Abstrak: Penetapan awal Ramadhan dan hari raya selalu terjadi perbedaan di Indonesia, hal ini terjadi karena banyaknya otoritas yang melaksanakan penetapan tersebut. Tulisan ini mengkaji tentang ketaatan kepada pemerintah dalam penetapan awal Ramadhan dan hari raya di Indoensia menurut hadist. Setelah menelaan hadist-hadist penentuan awal Ramadhan dan hari raya serta data-data tentang penentuan awal Ramadhan dan hari raya oleh Kementerian Agama RI, maka dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif hadist pemerintah mempunyai otoritas dalam penentuan awal Ramadhan dan hari raya, serta umat Islam diperintahkan untuk menjalankan ibadah tersebut secara berjamaah. Sedangkan dalam konteks Indonesia, otoritas tersebut tidak hanya diberikan kepada Kementerian Agama RI tetapi juga kepada institusi-institusi lainya, oleh karena itu ketaatan kepada hasil penetapan Kemenetrian Agama tidaklah bersifat mutlak.

Kata Kunci: Awal Ramadhan, hari Raya, ketaatan, otoritas.

Pendahuluan

Perbedaan pendapat dalam penentuan awal bulan Ramadhan dan hari raya selalu terjadi di Negara Indonesia, disebabkan berbeda pemahaman dan metode dalam menetapan awal puasa Ramadhan dan hari raya tersebut. Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya nomor 2 tahun 2004 telah memutuskan dengan berlandaskan kepada surat al-N isa‟ ayat 59 dan beberapa hadist serta al-qawa‟id al- fiqhiyyah bahwa pemerintah melalui Menteri Agama mempunyai kewenangan untuk menetapkan awal puasa Ramadhan dan hari raya di Indonesia serta seluruh umat Islam di Indoensia wajib mentaati ketetapan pemerintah tersebut.

Di antara organisasi keislaman yang tidak ikut berpuasa dan berhari raya menurut ketetapan pemerintah, mereka beralasan bahwa otoritas dalam penetapan awal Ramadhan dan hari raya bukan saja ada pada kekuasaan pemerintah akan tetapi

juga ada pada organisasi keislaman. Mereka berpendapat bahwa makna uli al-amr 1 dalam al- qur‟an tidak hanya bermakna pemimpin, tetapi juga bermakna ulama atau

orang-orang yang diberikan otoritas oleh masyarakat. 2 Persoalan penetapan awal Ramadhan dan hari raya juga merupakan persoalan khilafiyyah yang masuk dalam

bidang ibadah yang diberikan kebebasan kepada individu dalam memahami dalil agama dan mengamalkan sesuai kenyakinan masing-masing. 3

1 Dalam beberapa kitab tafsir disebutkan bahwauli al-amr adalah al- ʻumaraʻ, ʻulama‟ atau ulu al- „ilm wa fiqh. ahl al-halliwalaqd yang dipercaya oleh umat untuk mengatur kemaslahatan kehidupan

umat. Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Jamiʻ al-Bayan ʻan Ta'wil Ay al-Qur'an (Beirut: Jamiʻ al- Huquq al-Mahfudah, 2003),7:176-182. Dan Ismaʻil Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-ʻAdim (Kairo: Mu'assasah Qurtubah, 2000 M/1421 H)4: 136 dan Abu Bakr Muhammad Ibn ʻAbd Allah, Ahkam al- Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub Al- Qism ʻIlmiyah, 2002), 1:574 dan Abu Qasim Mahmud Ibn ʻUmar al- Zamakhshari, AL-Kashshaf (Riyad: Maktabah al- ʻAbaykan, 1998 M/1418 H), 2:95. Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Mesir: al-Bab al-Halabi, 1946), 5:72

2 “Muhammadiyah: Pemerintah Bukan UlilAmri yang ditaati, kerena Korupsi”, Voa-Islam, 4 Zulqaidah

2015, http://www.voa- islam.com/read/indonesiana/2013/07/08/25770/muhammadiyahpemerintah-bukan-ulil-amri-yang- ditaatikarena-korupsi/#sthash.8tr7eLEj.dpuf

3 YunaharIlyas: “Ulil Amri Tidak Hanya Pemerintah”, diakses tanggal 08 Juli 2013, http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-2851-detail-yunahar-ilyas-ulil-amri-tidak-hanya

pemerintah.html

Tulisan ini akan mengkaji tentang bagaimana ketaatan kepada pemimpin dalam penentuan awal Ramadhan dan hari raya menurut hadist Nabi Muhammad SAW. Data yang gunakan beberapa hadist Nabi SAW yang menjelaskan tentang penetapan awal Ramadhan dan hari raya iaitu hadist tentang hisab rukyah, kesaksian hilal, dan persoalan kesaksian merupakan masuk dalam bagian qadha, dimana para

ulama siyasah menyatakan bahwa hal tersebut tugas dan tangungjawab pemimpin, 4 hadist tentang perintah berpuasa secara jamaah, dan hadist larangan berpuasa pada

hari yang diragukan. Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa untuk menyatukan perbedaan dalam puasa Ramadhan dan hari raya di Indoensia memerlukan kepada pendekatan metodologis dan authority (kekuasaan). Namun untuk percepatan terwujudnya persatuan penetapan awal bulan qamariyah maka pendekatan yang kedua harus diutamakan terlebih dahulu sebelum pendekatan

pertama membuahkan hasil yang bisa diterima secara 5 syar‟iyah dan ilmiah. Penelitian yang lain tentang otoritas pemimpin tersebut telah juga dilakukan

dengan pendekatan siyasah sharʻiah dan telah diperoleh dua buah kesimpulan yang berbeda. Pertama dalam konteks fiqh siyasah Yusuf Qardhawi memahami bahwa Kementerian Agama RI mempunyai otoritas dalam ithbat awal bulan qamariyah sedangkan Ormas Islam tidak mempunyai otoritas kecuali hanya sekedar ikhbar (mengumumkan) dan keputusan Kementerian Agama tersebut wajib diikuti bagi mereka yang tidak mempunyai kemampuan pribadi untuk melakukan ijtihad dalam

penentuan awal bulan qamariyah. 6 Kedua, dengan pendekatan siyasah Shariʻiyah disimpulkan bahwa pemimpin tidak mempunyai otoritas dalam penentapan awal

Ramadhan dan hari raya secara muthlak karena persoalan tersebut berhubungan

4 Ibn Taymiyyah, al-Siyasah al- Sharʻiyyah fi Ishlah al-Raʻi wa Raʻiyyah, (T.tp. Dar ʻAlam al- Fawa‟id, tt), 83

5 Ahmad Wahidi, Menyatukan penetapan 1 ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah di Indonesia Ahmad Wahidi, Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah Vol. 2, no. 2 (2011), 85

6 M. Nur Hidayat, Otoritas Pemerintah dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah Perspektif FiqhSiyasah Yusuf Qardhawi, Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah, Volume 3, Nomor 1(Juni 2012),

78-91 78-91

raya tidak wajib ditaati. 7 Oleh karena itu tulisan ini bertujuan mencari jawaban dengan pendekatan hadist Nabi SAW terhadap ketaatan kepada keputusan

Kemeterian Agama RI dalam penentuan awal puasa Ramadhan dan hari raya.

Hadist-hadist Penentuan awal puasa Ramadhan dan hari raya

1. Hadist Hisab Rukyah

Dari Salim ibn ʻAbd Allah ibn ʻUmarbahwa Ibn ʻUmarra.berkata; Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Jika kamu melihatnya maka berpuasalah dan jika kamu

melihatnya lagi maka berbukalah. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari di sempurnakan)”. Dan berkata, selainnya dari al- Laythtelah menceritakan kepada saya ʻUqayl dan Yunus: “Ini maksudnya

untuk hilal bulan Ramadhan ”(HR. Bukhari) .

Dalam hadist yang lain:

“dari Saʻid ibn ʻAmru bahwa ia mendengar Ibn ʻUmarra menceritakan dari Nabi SAW , beliau bersabda: “Kita adalah umat yang ummi (buta huruf), kita tidak menulis dan tidak pula mengira. Satu bulan itu adalah begini, begini dan begini

maksudnya kadangkala dua puluh sembilan dan kadangkala tiga puluh”. (HR. Bukhari)

7 Muhammad Nasril, Ketaatan Kepada Pemimpin Dalam Penentuan Awal Ramadhan Dan Hari Raya Dalam Perspektif SiyasahSyari‟iyah, (Tesis, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2014)

8 Hadist riwayat al -Bukhari Kitab al - Ṣiyam Bab hal yuqalramaḍ an awsyahrramad ̣ an? man ra‟akuluhuwasi„an no. hadist 1900, Muhammad ibn Ismaʻil al-Bukhari, Al-Jami' al-Sahih (Mesir: Al-

Salafiyyah, 1403 H), 2: 30, 9 Hadistriwayat al-Bukhari, Kitab al - Ṣaum, Bab qaul al-nabisaw lanaktubwa la nahsib, no.

Hadist 1913.

2. Hadist Kesaksian hilal

Hadist dari Ibn ʻUmar:

“Orang-orang melihat hilal, lalu aku memberitahu Rasulullah SAW, bahwa aku melihatnya. Beliau kemudian berpuasa dan menyuruh orang-orang supa ya berpuasa”.

3. Puasa dan berhari raya bersama berjamaah

“Berpuasa pada hari kalian berpuasa, berhari raya puasa lah pada hari kalian semua berhari raya, dan berhari raya kurbanlah pada hari kalian semua berhari raya kurban”.

Diakui bahwa para ulama mutaqaddimin termasuk dari golongan fuqaha ʻ dan ulama hadist menolak untuk berpegang kepada metode hisab dalam mengetahui permulaan puasa Ramadhan dan hari raya. Mereka mengatakan bahwa syariat memerintahkan melakukan ibadah tersebut dengan melihat bukti-bukti yang kongrit dan nyata yang dapat disaksikan oleh semua orang baik yang pandai dalam menghisab perjalanan bulan ataupun tidak dan yang pandai baca tulis maupun buta huruf. Ilmu hisab yang dipraktikkan pada masa awal merupakan cabang dari ilmu

10 Hadist riwayat AbuDawud, kitab sawm, bab fishahadah al- wahid „alaru‟yahhilalramdan, no. Hadist 2342. Al-Shawkani berpendapat hadist tersebut juga diriwayatkan oleh Ibn Hibban, al-

Darimi dan al-Hakim yang berkualitassahih, lihat Abi Dawud Sulayman bin al- Ashʻath al-Sijistani, Sunan AbiDawud , (Riyad: Maktabah al- Marʻaif, tt),411dan Muhammad bin ʻAli bin Muhammad al- Shawkani, Nayl al-Awtarbi SharhMuntaqa al-Akhbar, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi,tt.), 4:209- 210

11 Hadist riwayat Al-Tumidhi, kitab al-Sawm, bab ma ja‟ al-sawmyawmtasumun wa al- fitryawmtuftirun al- „adha yawn tudahun, no. Hadist 697. Al-Turmidhi memberikan kualitas hadist

tersebut dengan hadist gharib hasan, Muhammad bin ʻIsa ibn Sawrah al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, (Riyad: Maktabah al- Maʻarif, tt) 174 tersebut dengan hadist gharib hasan, Muhammad bin ʻIsa ibn Sawrah al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, (Riyad: Maktabah al- Maʻarif, tt) 174

Al-Qarafi (w.684 H) dari kalangan Mazhab Maliki menjelaskan sebab wajibnya puasa pada bulan Ramadhan bukan karena telah masukknya bulan Ramadhan, tetapi karena telah dapat dilihatnya hilal bulan Ramadhan dengan mata manusia. Oleh karena itulah penentuan awal puasa dan hari raya tidak dapat diganti dengan hisab. Menurut al-Qarafi puasa berbeda dengan sholat. Sebab wajibnya mengerjakan sholat telah masuknya waktu. Oleh karena itulah dalam penentuan waktu sholat boleh mengunakan hisab dan alat-alat pengukuran waktu seperti jam karena yang terpenting telah mengetahui masuknya waktu itu sendiri. Jika para penguasa menetapkan awal Ramadhan dan hari raya dengan hisab hilal maka tidak

boleh diikuti demikianlah pendapat ulama salaf dan khalaf. 13 Menurut Ibn Taymiyah, para ahli hisab telah melakukan penyempurnaan

terhadap ilmu tersebut, tapi para ahli hisab sendiri bersepakat bahwa koreksi tersebut belum pasti dan masih bersifat kurang lebih atau praduga saja. Ahli hisabpun belum bersepakat pada derajat berapakah hilal dapat dilihat. Sebagian orang dapat melihat pada ketingian delapan derajat, sebagian yang lain dapat melihat pada ketingian dua belas derajat. Sebab melihat hilal sangat bergantung kepada ketajaman penglihatan,

altitid, dan cuaca. 14

12 Ahmad Ibn ʻAli Ibn Hajar al-ʻAsqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Kutub al- ʻIlmiyah, 1997 M/1418 H), 4:151-152.Badr al-Din Abi Muhammad Mahmud ibn Ahmad

al- ʻAyni, ʻUmdah al-Qari Sharh Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar Kutub al-ʻIlmiyyah, 2001 M/1421 H), 10:409, dan Abi al- Hasan ʻAli ibn Khalf ibn ʻAbd al-Malik, Syarh Sahih al-Bukhari li ibn Battal, (Riyad: Maktabah al-Rushd, tt) 4: 27-28 dan 31-32

13 Shihab al-Din Ahmad ibn Idris al-Qarafi, Al-Dhakhyarah (t.tp: Dar al-Maghrib al-Islami, 1994),2:493, dan Abi al-Walid Sulayma n ibn Khalf ibn Saʻad ibn Ayyub al-Baji, Al-Muntaqa Syarh Muwata' Malik (Beirut: Dar al-Kutub al-

14 Ibn Taymiyah, Al-Fatawa al-Kubra, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1987 M / 1408 H), ʻIlmiyyah, 1999 M/1420 H),3:9 2:464

Antara ulama yang menerima kaidah hisab terbagi kepada dua kelompok. Kelompok pertama adalah yang menjadikan hisab untuk menolak kesaksian hilal dan menetapkan kemunculan hilal, antaranya adalah Ahmad al-Zarqa, setelah menyebutkan hadist-hadist tentang larangan dan perintah berpuasa dengan melihat hilal serta hadist jumlah bilangan bulan hijrah dan hadist tentang hisab, maka al- Zarqa menyimpulkan bahwa ilmu falak atau astronomi yang pasti dan tidak bertentangan serta hasilnya benar dan dapat memberikan pengetahuan yang meyakinkan mengenai kelahiran bulan dan bilangan umur bulan 29 dan 30 hari dalam keadaan cuaca mendung ataupun cerah. Maka tidak ada hambatan bagi syariah mengunakan hisab untuk keluar dari perbedaan dalam penentuan awal puasa Ramadhan dan hari raya yang menjadi sebab hukum (ʻillah) wajibnya puasa jika masuknya bulan Ramadhan bukan rukyah itu sendiri, karena rukyah hanyalah saranan

yang dapat berubah menurut masa tertentu. 15 Sharf al-Qudah memberikan ulasan dalam perspektif hadist mengenai

penggunaan hisab dalam penentuan awal Ramadhan dan hari raya. Perkataan “هلوردقاف” bermakna perintah mengunakan ilmu hisab atau menhitung. Asalnya adalah karena perkataan tersebut secara bahasa bermakna mengira. Makna kata

“tetapkanlah” dalam hadist di atas tidak ada yang berselisih pendapat dan semuanya memberikan makna “menghitung”. Alasan kedua adalah setelah dikumpulkan seluruh hadist-hadist tentang rukyah hilal, maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas perawi dari Ibn ʻUmar yang terdapat dalam kitab-kitab hadist sepakat mengunakan kata “هلوردقاف ” serta sebagian dari sanad-sanad hadist tersebut merupakan asah al-

asanid (sanad yang paling sahih). Sedangkan kata “tetapkanlah bulan yang sedang berjalan selama 30 hari” hanya terdapat tiga hadist dari lima belas hadist yang mengunakan kata “هلوردقاف ”. Oleh karena itu, riwayat yang menggunakan kata

“ هلوردقاف” merupakan riwayat yang paling sahih karena terdapat banyak riwayat serta

15 Mustafa Ahmad al-Zarqa, al- ʻAqlwa al-Fiqh fi Fahm al-Hadist al-Nabawi, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2003) 71-97.

ketepatan hafalan perawinya (al-dawabit al-ruwah). Oleh karena itu, menurut al- Qudah dasar dalam penetapan bulan hijrah serta ibadah-ibadah yang ada di dalamnya

iaitu dengan mengunakan hisab bukan dengan rukyah. 16 kesimpulan yang sama juga difatwakan oleh beberapa ulama lainya seperti Ahmad Shakir 17 .

Pendapat yang kedua adalah menjadikan hisab sebagai bantuan dalam menglihat hilal serta membatalkan kesaksian. Al-Subki menyatakan dalam fatwanya

bahwa apabila hisab dapat memastikan hilal tidak dapat rukyah, maka kesaksian melihat hilal tidak dapat diterima karena bohong atau salah dalam melihat. Beliau menyatakan bahwa hisab qat ʻi dan kesaksian atau laporan bersifat dann dan tidak pasti tidak boleh menandingi kepastian. Maka wajib bagi pemerintah menolak kesaksian dan laporan tampak hilal apabila menyalahi kaidah hisab. Hal ini tersebut

adalah sesuatu yang mustahil menurut panca indera manusia, akal dan syariah. 18 Pendapat tersebut juga didukung oleh oleh Ibn Hajar al-Haytami, 19 al-Qaradhawi,

20 21 Muhammad Ilyas 22 dan Mohammad Shawkat Odeh. Pembuktian tentang telah adanya hilal dapat dibuktikan dengan dua cara yaitu

Shahadah (kesaksian) dan ilmu hisab. Hadist-hadist Nabi saw menjelaskan bahwa kebenaran kesaksian hilal diukur dengan kuantitas saksi yang dapat melihat hilal dan keadilan mereka, semakin banyak kuantitasnya maka kebenaran tersebut semakin

16 Sharf al-Qudah, Thubut al-Shahr al-Qamaribayn al-Hadist al-Nabawi wa al- ʻilm al- Hadist, (1999),diakses tanggal 20 Nopember 2014, http://www.icoproject.org/pdf/sharaf_1999.pdf , 8-9

17 Ahmad Muhammad Shakir, Awa‟il al-Shuhur al-ʻArabiyyah: Hal YajuzSharʻanIthbatuha bi al-Hisab al- falaki? BahthJadidʻIlmiHurr, (Mesir: Mistafa al-babi al-Halabi1939 H / 1358 H),8-14

18 Taqi al- Din binʻAli ibn Abd al-Kafi al-Subki, Fatawa al-Subki fi Furuʻ al-Fiqh al- Shafiʻi,(Beirut: Dar al-Maʻrifah,tt) 209

19 Ibn Hajar al-Haytami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyya , (Mesir: ʻAbd al-Hamid Ahmad Hanafi, tt),. 2;53

20 Yusuf al-Qardawi, KaifNataʻamalMaʻa al-Sunnah al-Nabawiyyah: Maʻalim wa Dawabit, (Virginia: IIIT, 1990), 146

21 Lihat karyanya seperti Mohammad Ilyas, Sistem Kalendar Islam dari Perspektif Astronomi, ( Kuala Lumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa, 1999),

22 Ia pendiri Islamic Crescents‟ Observation Project Karyanya seperti sofwer Accurate Time 5.3,

al-Taqwim al-Hijri al- ʻAlami, al-HilalBayn al-Hisab al-Falakiyah wa al- Ru‟yahhttp://www.icoproject.org.

menyakitkan. 23 Dengan berpedoman kepada konsep bayyinah dalam persolan qadha (pengadilan) maka kesaksian bukan satu-satunya alat bukti yang dapat digunakan

untuk membuktikan hilal telah ada, 24 namun ilmu hisab juga dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk menerangkan bahwa hilal sudah dalam derajat yang dapat

dirukyah. 25 Memulai puasa pada hari-hari yang kemunculan hilalnya tidak dapat dibuktikan oleh ilmu hisab dan shahadah ataupun terjadi pertentangan antara

keduanya dapat digolongkan berpuasa pada hari yang diragukan (yawm shak) dan Rasulullah SAW melarang berpuasa pada keadaan yang demikian. 26

Berpuasa Ramadhan dan berhari raya harus dikerjakan secara berjamaah oleh sekelompok manusia. Dalam proses penetapannya terdapat banyak faktor yang harus diperhatikan terutama dalam penetapan dua hari raya karena pada hari tersebut terdapat ibadah-ibadah tertentu yang haram untuk dilakukan seperti berpuasa dan pada hari-hari tersebut momentum yang sangat besar dalam islam baik dalam syiar maupun ibadah-ibadah lain seperti haji dan kurban. Maksud dari puasa dan berhari

raya secara berjamaah adalah bersama pemimpin atau imam. 27 Aisyah meriwayatkan

23 Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh,(Damshiq: Dar al-Fikr, 1985) 2:51, dan Muhammad Ibn Idris al- Shafiʻi, Al-Umm, (t.tp, Dar al-Wafa', 2001 M / 1422 H), 321, dan Abi al-

Hasan ʻAlibin Muhammad bin ibn Habib al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, (Beirut: Dar Al-Kutub al- ʻIlmiyyah,1994 M / 1414 H), 3:412, dan AbiZakariyyaMuhy al-Din bin Sharf al-Nawawi, Kitab al- MajmuʻSharh al-Muhadhdhab li al-Shayrazi(Riyad: Maktabah al-Irshad, t.t),6:289.

24 Lihat Konsep BayyimahIbn Qayyim al-Jawziyyah, Iʻlam al-Muwaqʻinʻan Rabb al-ʻAlamin (Mesir: Dar al-Hadist, 2006 M/1427 H), 1:78-79 dan Lukman Abdul Mutalib dan Wan Abdul Fattah

Wan Ismail, Al-Qarinah: antara Kekuatan dan Keperluan dalam Mensabitkan Kesalahan Jenayah (Zina),International Journal of Islamic Thought, Vol. 2, (2012), 41-48

25 Faisal Yahya Yacob, Memahami Hadist Ithbat Kesaksian Hilal Secara Kontekstual, Makalah International Seminar on Sunnah Nabawiyyah III Jabatan Quran Hadist Universiti Malaya,

Kuala Lumpur 27-28 Oktober 2015 26 Hadist riwayat al-Bukhari, Kitab al-siyam, Bab la yutaqaddamramadan bi saum yaum wa

layawmayn, No. hadist 1914 27 Abu Al- ʻUla Muhammad Abd al-Rahman ibn Abd al-Rahim Al Mubarakfuri, Tuhfah al-

Ahwadhi bi SharhJamiʻ al-Tirmidhi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 3:383, dan Abu al-Tayb Muhammad Shams al-Haq al- ʻAdimAbadi, ʻAwn al-Maʻbud, (Madinah: Al-Maktabah al-Salafiyah, 1968 M / 1388

H), 6:442.

bahwa puasa dan berhari raya dengan pandangan pribadi dan tidak bersama imam kaum muslimin termasuk berpuasa pada hari yang diragukan. 28

Penetapan awal Ramadhan dan hari raya adalah persolan furu ‟ bukan persoalan usul, dan ini termasuk ke dalam katagori fiqh. Pada asasnya persoalan yang berhubungan dengan fiqh merupakan hasil ijtihad yang dapat dilakukan oleh semua orang yang telah mampu untuk berijtihad dan hasil ijtihat itu sendiri bersifat relatif adakalanya benar dan salah. Puasa Ramadhan dan hari raya bukan saja ibadah yang berhubungan dengan persoalan pribadi, tetapi berhubungan juga dengan persoalan sosial kemasyarakatan. Ibadah tersebut mencerminkan kepada persatuan dan kesatuan umat Islam dalam menampakkan syiar-syair agama mereka. Oleh karena penetapan awal bulan Ramadhan dan hari raya hendaklah diberikan kepada pemerintah, dengan tujuan tercapainya kemashlahatan bersama.

Kitab-kitab fiqh telah menyebutkan bahwa setiap negara harus melihat hilal dan orang yang dapat melihat hilal bersaksi kepada penguasa. Misalnya dalam mazhab Shafiʻi, orang yang tidak diterima kesaksiannya oleh hakim dalam melihat hilal Ramadhan, wajib berpuasa secara sembunyi-sembunyi agar tidak kelihatan

berbeda dengan kaum muslimin lainnya. 29 Demikian juga dalam mazhab Maliki, jika seseorang melihat hilal, tidak boleh berpuasa ataupun berhari raya sebelum ada

keputusan dari hakim atau penguasa. 30 Seluruh ulama bersepakat bahwa mewajibkan kepada orang yang melihat hilal untuk melapor kepada penguasa bahwa ia telah

melihat hilal baik untuk mengawali puasa ataupun berhari raya. Ibn al-Qudamah mengatakan:

28 Hadis Riwayat ʻAbd al-Razaq, Kitab al-Siyam, bab al-Siyam, No. hadis 7310, Ibn Raʻjab mengatakan bahwa riwayah hadis ini daʻif karena terputus salah seorang rawi iaitu Jaʻfar bin Burqan.

Abi Bakr ʻAbd al-Razzaq bin Hammam al-Sanʻani, al-Musannaf (Beirut: Maktabah al-Islami, 1972 M/1391 H), 4:157

29 Abi Zakariyya Yahya al-Din ibn Sharf al-Nawawi, Kitab al- Majmuʻ 6: 281 30 Abi al- Walid Sulayman ibn Khalf ibn Saʻad ibn Ayyub al-Baji, Al-Muntaqa, 3:13

Kewajiban dalam penentuan puasa Ramadhan dan hari raya atas otoritas pemerintah, pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama baik pada masa sahabat maupun masa imam mazhab. Oleh karena itu seluruh umat Islam diwajibkan patuh dan taat kepada pemimpin mereka dalam berpuasa Ramadhan dan berhari raya.

Wahbah al-Zuhayli juga mengkuatkan pendapat tersebut رملأا ماملإل نأ ىف فلاخ لاو ...

فلاخلا عفري مكاحلا مكح نلأ . هيدل تبث امب موصلاب (tidak ada perbedaan pendapat bahwa penguasa berhak memerintahkan rakyat untuk berpuasa berasaskan bukti yang ada padanya, sebab keputusan penguasa menghilangkan perbedaan pendapat). Penguasa yang dimaksud disini yaitu imam tertinggi dalam sebuah wilayah yang mempunyai kekuasan secara politik (wilayah al-hukm) untuk mengatur rakyat yang

ada di dalam pemerintahannya. 33

Penentuan awal puasa Ramadhan dan hari Raya Kementerian Agama RI

1. Kewenangan Kementerian Agama RI dalam Penentuan Awal Ramadhan dan Hari Raya

Keputusan Presiden 1946 No.2/Um.7/Um.9/Um jo Keputusan Presiden No.25 Tahun 1967, No.148 Tahun 1968 dan No.10 Tahun 1971, menyebutkan bahwa Kementerian agama RI mempunyai kewenangan untuk menetapakan hari-hari libur bersama untuk memperingati hari-hari besar agama-agama yang ada di Indoensia, termasuk agama Islam. Selanjutnya menteri agama mengatur seluruh aturan dan tata cara penentuan hari-hari tersebut dengan menerbitkan surat keputusan Menteri Agama.

31 Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni (Riyad: Dar ʻAlam al-Kutub, 1997 M / 1417 H),4:330

32 Wahbah Al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, 2:533-534 33 Abi al- Walid Sulayman ibn Khalf ibn Saʻad ibn Ayyub al-Baji, Al-Muntaqa, 3:8 dan

Shihab al-Din Ahmad bin Idris al-Qarafi, Al-Dhakhyarah (t.tp: Dar al-Maghrib al-Islami, 1994),2:491

Majlis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang kewenangan pemerintah dalam penetapan awal Ramadhan dan hari raya “Penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah dilakukan berdasarkan metode

ru‟yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional. 2. Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan pemerintah RI

tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah. 3. Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait. 4. Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla‟nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.” 34

Terdapat beberapa alasan yang digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia dalam memberikan keputusan tersebut yaitu ayat al- Qur‟an, hadis tentang hisab rukyah dan beberapa pendapat ulama. 35

Proses penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya oleh Kementerian Agama

Kementerian Agama melalui Badan Hisab dan Rukyah (BHR) mengambungkan dua metod dalam penentuan awal Ramadhan dan hari raya, iaitu metode hisab dan rukyah.Kementerian Agama mengunakankriterian ijtimak

(conjunction) 36 sebagai syarat awal dalam penentuan awal Ramadhan dan hari raya. Kementerian agama mensyaratkan kriteria awal bulan apabila ijtimaʻqabl al-ghurub

konjungsi awal bulan terjadi sebelum matahari terbenam. Kriteria kedua, hilal terbenam sebelum terbenamnya matahari dan dalam keadaan imkan al- ru‟yah.

Imkan al- ru‟yah adalah kriteria penentuan awal bulan hijrah yang ditetapkan berdasarkan kepada posisi hilal pada keadaan ketingian yang dapat dilihat dengan mata telanjang atau melihat tanpa mengunakan alat bantuan. Kriteria yang digunakan adalah pada waktu matahari terbenam ketinggian hilal (altitude) di atas cakrawala

34 Keputusan Fatwa Mejelis Ulama Indonesia tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah, (Nomor 2 tahun 2004)

35 Seperti pendapat al-Sharwani dalam ʻAbd al-Hamid al-Sharwani, Hawashi Tuhfah al-Muhtaj bi Sharh al-Minhaj (Mesir: Mustafa Muhammad, t.t), 3:376

36 SusiknanAzharimejelaskan bahwa kata ijtimaʻ sebut juga iqtiran iaitu pertemuan, berkumpul atau berimpitnya dua benda yang berjalan secara aktif..Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab

Rukyah (Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar, 2008), 93-94 Rukyah (Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar, 2008), 93-94

disepakati oleh negara-negara Islam di Asia Tenggara. Tahun 1992 Menteri Agama negara Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapore yang dikenal dengan MABIMS. Kreteria tersebut dihasilkan dari pengalam-pengalaman hasil rukyah yang

telah digunakan pada negera-negara tersebut selama puluhan tahun. 37 Adapun metode hisab yang digunakan oleh Kementerian Agama Indonesia

adalah metode hisab hakiki dengan mengunakan data-data yang bersumber dari ilmu astronomi modern. Metode Kementeria Agama Indenesia tersebut dinamakan dengan

“Ephemeris 38 Hisab Rukyat”.Ephemeris Hisab Rukyah merupakan metode hisab awal bulan yang dikembangkan Kementerian Agama RI saat ini. Metode ini dimuat dalam

buku Ephemeris Hisab dan Rukyat yang diterbitkan setiap tahun sejak tahun 1993 oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam yang sekarang bernama Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama Republik Indonesia.

Hisab yang dilakukan di atas bukan sebagai asas dalam penentuan awal Ramadhan dan hari raya oleh Kementerian Agama, namun hisab tersebut dilakukan sebagai panduan yang digunakan oleh orang-orang yang hendak melakukan rukyah hilal. Oleh karena itu apabila secara hisab disimpulkan bahwa kriteria awal bulan baru telah tercapai sepenuhnya, namun keputusan masuknya bulan hijrah baru belum

37 Thomas Djamaluddin, Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat (Indonesia: Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), 2011), 18, dan Keputusan Menteri Agama Republik

Indonesia tentang Pembentukan Pengurus Badan Hisab dan Rukyah Kementerian Agama (Nomor 56 Tahun 2010), Muchtar Ali et al., Ephemeris Hisab Rukyah 2014 (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2013), 396

38 Waktu Ephemeris (Ephemeris Time - ET) didefinisikan oleh Perserikatan Astronomi Internasional (International Astronomical Union - IAU) pada tahun 1952 sebagai pengganti Waktu

Universal (Universal Time - UT) yang sering digunakan dalam ephemeride pada tahun 1960 hingga tahun

20 Februari 2015, http://id.wikipedia.org/wiki/Waktu_Efemeris

1983.Wikipedia:

Ensiklopedia

bebas,

dicapai dicapai

Rukyah yang diamalkan oleh Kementerian Agama adalah ruʻyah al-hilal bi al- fiʻli yaitu melihat hilal dengan mata secara langsung. Pengunaan alat-alat rukyah modern dalam proses pelaksaan rukyah tetap dibenarkan akan tetapi dengan tujuan membantu atau memastikan kebenaran hilal yang telah berhasil dilihat. Kriteria ini bertujuan untuk menghindari rukyah yang meragukan. Oleh karena itulah Kementerian Agama menolak kesaksian hilal yang bercangah dengan hasil hisab imkan al-rukyah yang diamalkan oleh kementerian Agama karena hasil rukyah

tersebut bercangah secara akal. 39 Keberlakuan hasil rukyah yang dilakukan oleh kementerian agama

berpedoman kepada metod mathlaʻ wilayah al-hukm, bermakna bahwa keberhasilan rukyah yang telah ditetapkan (ithbat) oleh Kementerian Agama disuatu daerah di Indonesia dapat diberlakukan kepada daerah-daerah lain yang ada di dalam negara Indonesia. Mathla‟ yang diamalkan oleh Kementerian agama merupakan mathla‟ yang terhadkan kepada batasan negara secara politik.

Pelaksanaan kegiatan rukyatulhilal oleh pemerintah melalui Kantor wilayah Kementerian Agama Provinsi atau Kantor Kementerian Agama

Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. 40 Kegiatan rukyatul hilal dilakukan bersama dengan Hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syari‟ah, instansi terkait, perwakilan

ormas Islam, tokoh agama, ahli hisab rukyat dan masyarakat luas di tempat-tempat strategis atau di tempat yang dimungkinkan hilal dapat terlihat. Setiap masyarakat atau kelompok yang melakukan rukyah hilal harus sepengetahuanKementerian Agama. Saksi yang dapat menyaksikan hilal di sumpah oleh Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syariah.

39 Thomas Djamaluddin, Astronomi Memberi Solusi, 18, dan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tentang Pembentukan Pengurus Badan Hisab dan Rukyah Kementerian Agama

(Nomor 56 Tahun 2010), Muchtar Ali et al., Ephemeris Hisab Rukyah 2014, 396 40 http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=99352

Dalam Undang-undang nomor 3 tahun 2006 menjelaskan bahwa, Pengadilan agama atau mahkamah syariah mempunyai kuasa untuk memeriksa keabsahan saksi dalam pelaksanaan rukyah. Seluruh tempat yang digunakan untuk melihat hilal harus terdaftar pada Badan Hisab Rukyah nasional atau daerah, tujuannya agar hakim pengadilan agama atau mahkamah syariah dapat menugaskan hakim pada tempat- tempat rukyah tersebut, agar kesaksian dapat diakui keabsahannya.

Selanjutnya membuat laporan kegiatan hasil rukyat dari Panitia Rukyat daerah dan masyarakat luas sesegera mungkin disampaikan kepada Panitia Rukyat dan Istbat awal Ramadhan, Syawal, atau Dzulhijjah di Kementerian Agama RI (Pusat) pada nomor telefon/fak. atau email yang disediakan.

Sidang Ithbat adalah musyawah yang diadakan oleh kementerian agama serta diikutu oleh ulama, perwakilan ormas Islam serta Badan Hisab Rukyah Kemenag, para ahli-ahli hisab rukyah hilal yang berasal dari masyarakat dan universitas, serta perwakilan negara-negara islam lainnya. Sidang tersebut dilaksanakan pada hari-hari sebelum pengantian bulan pada sore hari sampai selesai dan dipimpin oleh Menteri Agama RI.

Pelaksanaan kegiatan penetapan (itsbat) rukyatulhilal bertujuan untuk mendapatkan keabsahan dan kepastian hukum, mencegah kerancuan dan keraguan sistem pelaporan, mempersatukan umat dan menghilangkan perbezaan pendapat di masyarakat.

Mekanisme penetapan itsbat ini adalah sebagai berikut:Sidang Itsbatdiawali dengan pemaparan rangkuman hasil hisab dari para ahli, posisi hilal, dan simulator rukyatul hilal dari tim ahli dari Badan Meteorogi, Klimatologi dan Giofisika

(BMKG), Lapan dan Observatorium ITB. 41 Setelah itu dilanjutkan dengan presentasi laporan hasil rukyah hilal dari seluruh Indonesia yang telah diterima. Sidang

41 Observatorium Bosscha (Peneropongan Bintang Bosscha) Lembang Bandung, dahulu bernama

Indische Sterrenkundige Vereeniging, Bosscha Observatory - Institut Teknologi Bandung

Bosscha Sterrenwacht,

dicapai 21 Februari 2015, http://bosscha.itb.ac.id/en/about/access.html dicapai 21 Februari 2015, http://bosscha.itb.ac.id/en/about/access.html

Pelaksanaan sidang itsbat selalu menjunjung tinggi musyawarah, menghormati sikap perbedaan pendapat, kebersamaan, dan demokratis, serta menerima saran dan pendapat dari peserta sidang. Setelah saran dan pendapat dibahas dan diterima, dengan suasana bersama-sama mencari keputusan yang terbaik, lalu mengambil musyawarah mufakat, bulat dan maslahah, maka sidang memutuskan “Penetapan tanggal 1 Ramadhan, Syawal dan Zulhijah.”

Analisis

Kemenag RI sebagai lembaga yang dilantik oleh Presiden Republik Indonesia yang ditugaskan untuk mengatur persoalan yang berhubungan dengan keagamaan seperti perkawinan, zakat, wakaf, haji dan sebagainya. Kemanag RI dalam melaksanakan tugas tersebut selalu melakukan musyawarah dengan MUI. Oleh yang demikian, Kemenag RI berhak diberikan kuasa dan amanah untuk penentuan awal Ramadhan dan Syawal serta umat Islam harus taat kepada keputusan tersebut.

Agama Islam mempunyai hukum yang secara perinciannya terdiri daripada bidang ibadah dan bidang muamalah. Pengurusan dan penghakiman dalam bidang ibadah memerlukan suatu perincian yang mendalam. Manakala dalam bidang muamalat atau keadaan kehidupan masyarakat tidaklah memerlukan perincian yang mendalam seperti bidang ibadah, karena hanya melibatkan prinsip-prinsip umum saja. Oleh itu, amalan dari prinsip tersebut dijalankan oleh negara dan pemerintah Agama Islam mempunyai hukum yang secara perinciannya terdiri daripada bidang ibadah dan bidang muamalah. Pengurusan dan penghakiman dalam bidang ibadah memerlukan suatu perincian yang mendalam. Manakala dalam bidang muamalat atau keadaan kehidupan masyarakat tidaklah memerlukan perincian yang mendalam seperti bidang ibadah, karena hanya melibatkan prinsip-prinsip umum saja. Oleh itu, amalan dari prinsip tersebut dijalankan oleh negara dan pemerintah

Perbedaan pelaksanaan puasa Ramadhan dan hari raya di Indonesia turut membawa kepada kerusakan persaudaraan (ukhuwah Islamiyah), bahkan membawa kepada permusuhan dan kebencian. Persoalan perbedaan tersebut selalu aktual untuk diperbincangkan mendekati puasa Ramadhan dan hari raya, padahal perbezaan

tersebut adalah isu yang klasik yang telah terjadi begitu lama di Indonesia. 43 Terdapat aspek utama dan pokok dalam penentuan awal Ramadhan dan

Syawal yang perlu kepada ketetapan pemimpin iaitu persoalan kesaksian. Kesaksian merupakan data utama yang harus dipenuhi sebagai syarat penetapan awal bulan dan semestinya data tersebut harus bersumber kepada data yang autentik yang sahih yang sesuai dengan ilmu pengetahuan. Pembuktian kebenaran kesaksian rukyatul hilal tidak dapat dilakukan oleh sembarangan orang atau badan melainkan oleh pakar yang telah dilantik oleh pemimpin.

Keabsahan kesaksian yang tidak sesuai dengan tatacara yang telah disepakati, semestinya menjadikan penetapan awal Ramadhan dan Syawal diragukan. Perkara ini telah dilarang oleh Rasulullah SAW dalam melakukan puasa pada waktu yang diragukan.

Analisis secara fiqh al-siyasah telah pun dibuat untuk mengetahui otoritas pemimpin dalam melakukan penentuan awal Ramadhan dan Syawal. Penelitian menurut konsep fiqh al-siyasah Yusuf Qaradawi telah memberi kesimpulan bahwa: “Persoalan penetapan awal bulan merupakan ranah ijitihad, maka wajar terjadi perbedaan pendapat. Namun ketika persoalan tersebut sudah di adopsi dan ditetapkan

42 M. Nur Hidayat, "Otoritas Pemerintah dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah Perspektif Fiqh Siyasah Yusuf Qardhawi," , 81-83

43 Muchtar Ali et al., Buku Saku Hisab Rukyah (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2013), 93- 94 43 Muchtar Ali et al., Buku Saku Hisab Rukyah (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2013), 93- 94

Menurut Mazhab fiqah, terdapat tiga pendapat tentang kewajiban mengikuti pemimpin dalam permulaan puasa Ramadhan dan berhari raya. Pertama, seseorang boleh berpuasa secara tersembunyi jika telah melihat hilal awal Ramadhan dan Syawal, disebabkan hakim menolak kesaksiannya. Kedua, saksi rukyah hilal yang ditolak oleh hakim boleh berpuasa Ramadhan, namun dalam hari raya harus mengikuti pemimpin. Ketiga, wajib terhadap kaum muslimin berpuasa Ramadhan

dan berhari raya mengikuti pemimpin muslimin. 45 Pendapat pertama dan kedua tersebut dilaksanakan apabila anak bulan yang

berhasil di rukyah tidak disahkan oleh mahkamah, karena tidak memenuhi syarat kesaksian yang dikehendaki. 46 Dalam hal ini, dibenarkan untuk berpegang kepada

rukyah sendiri, tetapi perlu dilakukan secara tersembunyi. Menurut pendekatan fiqah, mayoritas ulama memberikan otoritas kepada pemimpin kaum muslimin untuk menetapkan awal Ramadhan dan Syawal serta menetapkan kewajiban mengikuti perintah tersebut.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan peraturan-peraturan undang-undang di Indonesia telah memberikan ptoritas kepada Kemenag RI selaku institusi yang melakukan penentuan awal Ramadhan dan Syawal. Hadist-hadist yang telah dihuraikan juga mengisyaratkan bahwa otoritas dalam penentuan tersebut juga dilaksanakan oleh pemimpin, termasuk juga dalam hal kaidah-kaidah fiqh serta aspek kemaslahatan yang sangat besar.

Undang-undang Indonesia tidak menyebutkan perintah khusus untuk patuh dan taat kepada hasil sidang isbat Kemenag RI. Persoalan tersebut tidaklah teramat ditekankan seperti mana pemberian otoritas kepada Kemenag RI dalam

44 M. Nur Hidayat, "Otoritas Pemerintah dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah Perspektif Fiqh Siyasah Yusuf Qardhawi," 89

45 ʻAbd al-Rahman bin Ahmad bin Rajab al-Hanbali, Ahkam al-Ikhtilaf fi Ru'yah Hilal Dhilhijjah (Makkah al- Mukarramah: Dar ʻAlam al-Fawa'id, 1422 H), 23-64

46 AbiZakariyyaMuhy al-Din bin Sharf al-Nawawi, Kitab al- Majmuʻ, 6:280 46 AbiZakariyyaMuhy al-Din bin Sharf al-Nawawi, Kitab al- Majmuʻ, 6:280

Zainul Abas dalam penyelidikannya menyebutkan tentang kedudukan fatwa MUI dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Fatwa MUI memiliki peran yang sangat penting dalam membina kehidupan masyarakat Islam di Indonesia. Namun demikian, fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tidak mempunyai peruntukan khusus dalam undang-undang Indonesia sehingga seringkali terjadi perselisihan pendapat

antara pemerintah dan MUI. 47 Keadaan ini semakin rumit apabila otoritas fatwa tidak hanya kepada MUI, tetapi juga diserahkan kepada institusi-institusi Islam

seperti Muhammadiyyah dan Nahdlatul Ulama. Keadaan ini memberi pengaruh buruk dalam ketaatan umat Islam Indonesia terhadap fatwa MUI.

Toleransi dalam berpendapat dan mengikuti pemahaman agama sesuai dengan keyakinan dan pilihan masing-masing dibolehkan di Indonesia selama tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Penasehat DirjenBimas Islam

48 Kemenag RI 49 dan juga Menteri Agama telah membolehkan masyarakat Indonesia berbeda dalam melaksanakan awal puasa Ramadhan dan hari raya.

Keputusan Menteri Agama tetap memberikan toleransi dan kebebasan terhadap umat Islam Indonesia untuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan dan hari raya sesuai dengan keyakinan masing-masing. Penetapan Kemenag RI hanya

47 Zainul Abas, "Fatwa MUI dan Kajian Hukum Islam di Indonesia," dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Perspektif Hukum dan Perundang-undangan (Jakarta: Badan Litbang

dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012), 59 48 Pernyataan DirjenBimas Islam dalam Sidang Isbat awal Zulhijah 1436 H 13 September

2015. M. Machasin (Ketua Pengarah DirjenBimas Islam Kementerian Agama RI), dalam Sidang Isbat awal Zulhijah 1436 H 13 September 2015, “IdulAdha Jatuh 24 September 2015”, laman sesawangYoutube, dicapai 15 Februari 2016, https://www.youtube.com/watch?v=OK2n3CmQ1r0

49 Lukmanul Hakim (Menteri Agama Repub lik Indonesia), “Konferensi Press: Hasil Sidang Isbat Penetapan 1 Ramadhan 1435 H,” laman sesawangYoutube, dicapai 15 Februari 2016, https://www.youtube.com/watch?v=lXMaqgXe2IA 49 Lukmanul Hakim (Menteri Agama Repub lik Indonesia), “Konferensi Press: Hasil Sidang Isbat Penetapan 1 Ramadhan 1435 H,” laman sesawangYoutube, dicapai 15 Februari 2016, https://www.youtube.com/watch?v=lXMaqgXe2IA

Oleh itu uli al-amr yang wajib ditaati oleh rakyat Indonesia dalam pelaksanaan puasa Ramadhan dan hari raya bukan pemerintah saja, tetapi juga siapa saja kelompok atau pribadi yang diberikan otoritas oleh masyarakat untuk menetapkan tanggal awal puasa Ramadhan dan Syawal. Kesimpulan ini sesuai dengan penelitian Sriyatin yang menjelaskan bahwa “Dalam otoritas sosial, umat Islam Indonesia mempunyai otoritas yang kuat dan mengikuti keputusan uli al-amr

masing-masing, yaitu otoritas rasional, karismatik, dan 50 tradisional”. Hasilnya, penyatuan pelaksana ibadah puasa Ramadhan dan berhari raya di

Indonesia tidak pernah dapat dilakukan, sebelum kesepakatan terhadap otoritas dipersetujui. Menurut penyelidikan Ahmad Wahidi, terdapat dua pendekatan yang harus dilakukan dalam penyatuan awal bulan hijrah di Indonesia yaitu pendekatan metodologi dan otoritas (kekuasaan), namun untuk mempercepat terwujudnya persatuan, maka pendekatan otoritas harus diutamakan terlebih dahulu sebelum

pendekatan metodologi disepakati. 51

Dalam konteks Negara Indonesia diharapkan kepada umat Islam untuk mengamalkan sifat tasamuh (toleransi) sehingga dapat saling menghormati pendapat

yang berbeda tersebut karena perbezaan tersebut adalah rahmat. 52

50 Sriyatin, "Penentuan Awal Bulan Islam Di Indonesia (Studi Terhadap Keputusan Menteri Agama RI tentang Penetapan Tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Zulhijah)" (Sinobsis Disertasi,

Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2012) 7 51 Ahmad Wahidi, "Menyatukan Penentuan 1 Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah Di

Indonesia," Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah,Vol. 2, No. 2 (Disember 2011), 91 52 Maskufa dan Wahyu Widiana, “Titik kritis Penentuan Awal Puasa dan Hari Raya di

Indonesia”. Jurnal Ahkam, Vol. XII, No. 1 (Januari 2012),80

Kesimpulan

Hadist-hadist penentuan awal Ramadhan dan Syawal menjelaskan bahwa dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal perlu kepada otoritas dan tanggungjawab pemerintah (hakim). Sehingga pelaksanaan puasa Ramadhan dan sambutan hari raya dapat dilaksanakan secara jamaah kaum muslimin.

Dalam konteks Negara Republik Indonesia, keputusan Menteri Agama dalam Sidang Isbat tarikh awal Ramadhan dan Syawal merupakan satu perintah undang-undang untuk memberikan kepastian pelaksanaan ibadah umat Islam di Indonesia. Namun, ini tidak menjadi suatu kewajiban kepada rakyat Indonesia untuk mengikutinya, bahkan dibolehkan untuk mengikuti keputusan penentuan awal Ramadhan dan Syawal daripada otoritas sosial dalam masyarakat.

Bibliography Books

ʻAbd al-Hamid al-Sharwani, Hawashi Tuhfah al-Muhtaj bi Sharh al-Minhaj Mesir: Mustafa Muhammad, t.t

ʻAbd al-Rahman bin Ahmad bin Rajab al-Hanbali, Ahkam al-Ikhtilaf fi Ru'yah Hilal Dhilhijjah , Makkah al-Mukarramah: Da r ʻAlam al-Fawa'id, 1422 H Abi al-H asan ʻAli bin Muhammad bin ibn Habib al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, Beirut: Dar Al-Kutub al- ʻIlmiyyah, 1994 M / 1414 H Abi al- Hasan ʻAli ibn Khalf ibnʻAbd al-Malik, Syarh Sahih al-Bukhari li ibn Battal, Riyad: Maktabah al-Rushd, tt Abi al-Walid Sulayma n ibn Khalf ibn Saʻad ibn Ayyub al-Baji, Al-Muntaqa Syarh Muwata' Malik, Beirut: Dar al-Kutub al- ʻIlmiyyah, 1999 M/1420 H Abi al- Walid Sulayman ibn Khalf ibn Saʻad ibn Ayyub al-Baji, Al-Muntaqa, 3:8 dan Shihab al-Din Ahmad bin Idris al-Qarafi, Al-Dhakhyarah t.tp: Dar al- Maghrib al-Islami, 1994

Abi Bakr ʻAbd al-Razzaq bin Hammam al-Sanʻani, al-Musannaf Beirut: Maktabah al-Islami, 1972 M/1391 H Abi Dawud Sulayman bin al- Ashʻath al-Sijistani, Sunan AbiDawud, Riyad: Maktabah al- Marʻaif, tt AbiZakariyyaMuhy al-Din bin Sharf al-Nawawi, Kitab al-Majmu ʻSharh al- Muhadhdhab li al-Shayrazi, Riyad: Maktabah al-Irshad, t.t

Abu al-Tayb Muhammad Shams al-Haq al- ʻAdimAbadi, ʻAwn al-Maʻbud, Madinah: Al-Maktabah al-Salafiyah, 1968 M / 1388 H Abu Al- ʻUla Muhammad Abd al-Rahman ibn Abd al-Rahim Al Mubarakfuri, Tuhfah al- Ahwadhi bi SharhJamiʻ al-Tirmidhi, Beirut: Dar al-Fikr, tt Abu Bakr Muhammad Ibn ʻAbd Allah, Ahkam al-Qur'an, Beirut: Dar al-Kutub Al- Qism ʻIlmiyah, 2002 Abu Qasim Mahmu d Ibn ʻUmar al-Zamakhshari, AL-Kashshaf Riyad: Maktabah al- ʻAbaykan, 1998 M/1418 H Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni, Riyad : Dar ʻAlam al-Kutub, 1997 M / 1417 H Ahmad Ibn ʻAli Ibn Hajar al-ʻAsqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub al- ʻIlmiyah, 1997 M/1418 H Ahmad

al- ʻArabiyyah: Hal YajuzSharʻanIthbatuha bi al-Hisab al-falaki? BahthJadidʻIlmiHurr, Mesir: Mistafa al-babi al-Halabi 1939 H / 1358 H

Muhammad

Shakir,

Awa‟il

al-Shuhur

Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Mesir: al-Bab al-Halabi, 1946 Ahmad Wahidi, "Menyatukan Penentuan 1 Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah Di

Indonesia," Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah,Vol. 2, No. 2 (Disember 2011)

Ahmad Wahidi, Menyatukan penetapan 1 ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah di Indonesia Ahmad Wahidi, Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah Vol. 2, no. 2 (2011)

Badr al-Din Abi Muhammad Mahmud ibn Ahmad al- ʻAyni, ʻUmdah al-Qari Sharh Sahih al-Bukhari , Beirut: Dar Kutub al- ʻIlmiyyah, 2001 M/1421 H Faisal Yahya Yacob, Memahami Hadist Ithbat Kesaksian Hilal Secara Kontekstual,

Makalah International Seminar on Sunnah Nabawiyyah III Jabatan Quran Hadist Universiti Malaya, Kuala Lumpur 27-28 Oktober 2015

Ibn Hajar al-Haytami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyya , Mesir: ʻAbd al-Hamid Ahmad Hanafi, tt Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Iʻlam al-Muwaqʻinʻan Rabb al-ʻAlamin, Mesir: Dar al- Hadist, 2006 M/1427 H Ibn Taymiyah, Al-Fatawa al-Kubra, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1987 M / 1408 H Ibn Taymiyyah, al-Siyasah al- Sharʻiyyah fi Ishlah al-RaʻiwaRaʻiyyah, T.tp. Dar ʻAlam al-Fawa‟id, tt Isma ʻil Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-ʻAdim, Kairo: Mu'assasah Qurtubah, 2000 M/1421 H

Keputusan Fatwa Mejelis Ulama Indonesia tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah, (Nomor 2 tahun 2004) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tentang Pembentukan Pengurus

Badan Hisab dan Rukyah Kementerian Agama (Nomor 56 Tahun 2010) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tentang Pembentukan Pengurus

Badan Hisab dan Rukyah Kementerian Agama (Nomor 56 Tahun 2010) Lukman Abdul Mutalib dan Wan Abdul Fattah Wan Ismail, Al-Qarinah: antara Kekuatan dan Keperluan dalam Mensabitkan Kesalahan Jenayah (Zina), International Journal of Islamic Thought , Vol. 2, (2012)

M. Nur Hidayat, Otoritas Pemerintah dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah Perspektif FiqhSiyasah Yusuf Qardhawi, Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah, Volume 3, Nomor 1 (Juni 2012)

Maskufa dan Wahyu Widiana, “Titik kritis Penentuan Awal Puasa dan Hari Raya di Indonesia”. Jurnal Ahkam, Vol. XII, No. 1 (Januari 2012) Mohammad Ilyas, Sistem Kalendar Islam dari Perspektif Astronomi, Kuala Lumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa, 1999 Muchtar Ali et al., Buku Saku Hisab Rukyah Jakarta: Kementerian Agama RI, 2013 Muchtar Ali et al., Ephemeris Hisab Rukyah 2014 Jakarta: Kementerian Agama RI,