Perkembangan Pemerintahan Orde Baru (1)

Perkembangan Pemerintahan Orde
Baru
A. Akhir Orde Lama
1. Pemberontakan G30S/ PKI
Gerakan 30 September (G30S), yang disebutkan para pelakunya
sebagai gerakan untuk menyelamatkan Presiden Soekarno dari
rencana kudeta dewan jenderal yang disponsori CIA, pada akhirnya
justru menjadi titik awal dari kejatuhan Presiden Soekarno. Mulai 1
Oktober Presiden Soekarno bukan lagi merupakan satu-satunya
pemimpin tertinggi Indonesia. Letjen Soeharto secara bertahap mulai
membangun kekuatan tandingan dan melakukan pembangkangan
terhadap Presiden Soekarno. Soeharto terus merongrong Soekarno.
Peristiwa G30S digunakan secara maksimal oleh Soeharto untuk
menggoyangkan kedudukan Presiden Soekarno terus menerus.
Tekanan secara terus menerus yang dilancarkan mahasiswa membuat
Presiden Soekarno akhirnya tidak mempunyai pilihan lain kecuali
membubarkan kabinetnya.
Masyarakat luas yang terdiri dari berbagai unsur seperti kalangan
partai politik, organisasi massa, perorangan, pemuda, mahasiswa,
pelajar, kaum wanita secara serentak membentuk satu kesatuan aksi
dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan para pendukung

G30S/ PKI. Front Pancasila mengadakan demonstrasi di jalan-jalan
raya. Pada tanggal 8 Januari 1966 mereka menuju Gedung Sekretariat
Negara dengan mengajukan pernyataan bahwa kebijakan ekonomi
pemerintah tidak dapat dibenarkan. Kemudian pada tanggal 12
Januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front
Pancasila berkumpul di halaman Gedung DPR-GR untuk mengajukan
Tritura (pembubaran PKI beserta organisasi massanya, pembersihan
kabinet Dwikora, penurunan harga-harga barang).
Soeharto menggunakan G30S untuk melenyapkan lawan politiknya
dan musuh-musuh pribadi. Begitu peristiwa G30S terjadi yang
pertama kali dilakukan Soeharto adalah mengejar pelakunya, antara

lain Letkol Untung; Brigjen Supardjo; dan Kolonel Soeherman.
Kemudian mengejar PKI, organisasi dibawahnya dan simpatisannya.
Soeharto juga menangkap orang-orang yang setia terhadap Presiden
Soekarno, mereka dipenjara tanpa alasan yang jelas. Dan ketika
diperlukan alasan untuk diajukan ke pengadilan, dibuat bahwa mereka
terlibat G30S. Setelah peristiwa G30S terjadi pembunuhan massal
anggota PKI dan simpatisannya di berbagai wilayah di Indonesia
tahun 1965-1966, serta pembuangan ke Pulau Buru 1969-1979. Pada

tanggal 20 Februari 1967, Soekarno mengajukan surat pengunduran
diri dan menyerahkan kekuasaan pada Letjen Soeharto.

2. SUPERSEMAR

Tanggal 21 Februari 1966, Presiden Soekarno mengadakan
sidang paripurna Kabinet Dwikora “yang disempurnakan” yang
dikenal dengan Kabinet 100 Menteri. Kabinet 100 Menteri dilantik
pada tanggal 24 Februari 1966, mahasiswa dan pelajar yang
tergabung dalam KAMI/KAPPI yang didukung oleh Kostrad dan
RPKAD memblokir jalan masuk istana. Aksi itu dihadang oleh
Pasukan Cakrabirawa. Hal ini menyebabkan terjadinya bentrokan
antara pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran. Dalam
peristiwa itu, seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang bernama
Arief Rahman Hakim gugur dalam bentrokan tersebut. Dalam sidang
tersebut Soeharto tidak hadir. Isi Surat Perintah 11 Maret
(SUPERSEMAR) antara lain Presiden Soekarno memberikan
kekuasaan pada Letjen Soeharto untuk dan atas nama Presiden
mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya
keamanan, ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintah dan

jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan
kewibawaan Presiden serta demi keutuhan bangsa dan negara RI serta
melaksanakan dengan pasti ajaran-ajaran panglima besar revolusi.
Namun Letjen Soeharto menganggap Surat Perintah 11 Maret 1966
sebagai penyerahan kekuasaan walaupun Presiden Soekarno sudah
menegaskan bahwa Surat Perintah 11 Maret 1966 bukan merupakan
penyerahan kekuasaan. Begitu menggenggam Supersemar langkah
pertama yang dilakukan Soeharto adalah membubarkan PKI. Secara

bertahap dan sistematis, Soeharto memotong pilar-pilar penopang
kekuasaan kekuasaan Presiden Soekarno dengan langkah-langkah
pembersihannya. Peran Presiden sebagai presiden terpinggirkan.
Bahkan sampai sekarang naskah asli Supersemar belum ditemuka

B. Pemerintahan Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden
Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang
merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan
semangat “koreksi total” atas penyimpangan yang dilakukan oleh
Soekarno pada masa Orde Lama.

Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka
waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal
ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di
negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin
juga semakin melebar.
Pada hakikatnya, Orde Baru merupakan tatanan seluruh kehidupan
rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan pada kemurnian
pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, atau sebagai koreksi terhadap
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi di masa lampau.
Berikut ini beberapa kebijakan dalam masa Orde baru.
1. Bidang ekonomi

Dalam masa Orde Baru mengutamakan pertumbuhan ekonomi dalam
setiap kebijakan ekonominya. Doktrin pembangunan Orde Baru
tertuang dalam Trilogi Pembangunan yaitu stabilitas nasional,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemerataan hasil
pembangunan.
Trilogi Pembangunan ini dimanifestasikan dalam kebijakan
pemerintah yang dinamakan Repelita (Rencana Pembangunan Lima
Tahun) dalam rangka memajukan pertumbuhan ekonomi dan

meningkatkan kesejahteraan rakyat. Repelita I sampai Repelita IV
menitikberatkan pada sektor pertanian sebagai pilar utama
perekonomian Indonesia, sedangkan mulai Repelita V
menitikberatkan pada sektor jasa dan perdagangan.

2. Bidang politik
a. Dwifungsi ABRI
Militer pada masa Orde Baru mempunyai jaringan dan akses yang
besar pada kekuasaan. Dwifungsi ABRI-lah yang membuat peranan
militer begitu kuat dalam dunia politik. Doktrin Dwifungsi ABRI
menekankan pentingnya peranan militer tidak saja mengurusi
pertahanan keamanan negara, tetapi juga dalam dunia sosial politik.
Begitu banyak anggota ABRI, baik yang masih aktif maupun yang
telah pensiun terjun ke dunia politik praktis.
b. Dua partai politik dan satu golongan karya
Konstelasi politik Orde Baru ditunjukkan dengan adanya dua partai
politik dan satu golongan karya. Akan tetapi dalam praktik politik
sehari-hari muncul ketidakseimbangan di antara ketiga unsure
tersebut. Golongan karya yang sebenarna bukan partai politik, justru
merupakan kekuatan politik terbesar dan paling berpengaruh.

c. Birokrasi
Sistem birokrasi yang berlaku di Indonesia pada masa orde baru tidak
dapat dilepaskan dari sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan,
pemerintahan kolonial dan pemerintahan Orde Lama. Masing-masing
tahap tersebut membawa corak birokrasi sendiri. Dalam zaman
kerajaan dimana feodalisme menjadi landasan birokrasi maka dituntut
kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap raja dan para punggawa
kerajaan, sebagai kelompok elit pemerintahan.
3. Hubungan luar negeri
Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia diupayakan
kembali kepada jalurnya yaitu politik luar negeri yang bebas aktif.
Untuk itu maka MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi
landasan politik luar negeri Indonesia. Dimana politik luar negeri
Indonesia harus berdasarkan kepentingan nasional, seperti
permbangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta
keadilan.

1) Kembali menjadi anggota PBB

Indonesia kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya

desakan dari komisi bidang pertahanan keamanan dan luar negeri
DPR GR terhadap pemerintah Indonesia. Pada tanggal 3 Juni 1966
akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus kembali menjadi anggota
PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka menjawab
kepentingan nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk
kembali ini dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat
yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota PBB pada tahun
1950-1964. Indonesia secara resmi akhirnya kembali menjadi anggota
PBB sejak tanggal 28 Desember 1966.
Kembalinya Indonesia mendapat sambutan baik dari sejumlah negara
Asia bahkan dari pihak PBB sendiri hal ini ditunjukkan dengan
ditunjuknya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk
masa sidang tahun 1974. Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB
dilanjutkan dengan tindakan pemulihan hubungan dengan sejumlah
negara seperti India, Filipina, Thailand, Australia, dan sejumlah
negara lainnya yang sempat remggang akibat politik konfrontasi Orde
Lama.
2) Normalisasi hubungan dengan beberapa negara

(1) Pemulihan hubungan dengan Singapura

Sebelum pemulihan hubungan dengan Malaysia Indonesia telah
memulihkan hubungan dengan Singapura dengan perantaraan
Habibur Rachman (Dubes Pakistan untuk Myanmar). Pemerintah
Indonesia menyampikan nota pengakuan terhadap Republik
Singapura pada tanggal 2 Juni 1966 yang disampikan pada Perdana
Menteri Lee Kuan Yew. Akhirnya pemerintah Singapurapun
menyampikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan
diplomatik.
(2) Pemulihan hubungan dengan Malaysia
Normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan

diadakan perundingan di Bangkok pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang
menghasilkan perjanjian Bangkok, yang berisi:
Ø Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan
yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi
Malaysia.
Ø Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan
diplomatik.
Ø Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Peresmian persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia oleh

Adam Malik dan Tun Abdul Razak dilakukan di Jakarta tanggal 11
agustus 1966 dan ditandatangani persetujuan Jakarta (Jakarta
Accord). Hal ini dilanjutkan dengan penempatan perwakilan
pemerintahan di masing-masing negara..

3) Pendirian ASEAN(Association of South-East Asian Nations)
Indonesia menjadi pemrakarsa didirikannya organisasi ASEAN pada
tanggal 8 Agustus 1967. Latar belakang didirikan Organisasi ASEAN
adalah adanya kebutuhan untuk menjalin hubungan kerja sama
dengan negara-negara secara regional dengan negara-negara yang ada
di kawasan Asia Tenggara.
Tujuan awal didirikan ASEAN adalah untuk membendung perluasan
paham komunisme setelah negara komunis Vietnam menyerang
Kamboja.
Hubungan kerjasama yang terjalin adalah dalam bidang politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Adapun negara yang tergabung dalam
ASEAN adalah Indonesia, Thailand, Malysia, Singapura, dan
Filipina.
4) Integrasi Timor-Timur ke Wilayah Indonesia
Timor- Timur merupakan wilayah koloni Portugis sejak abad ke-16

tapi kurang diperhatikan oleh pemerintah pusat di Portugis sebab
jarak yang cukup jauh. Tahun 1975 terjadi kekacauan politik di
Timor-Timur antar partai politik yang tak terselesaikan sementara itu
pemerintah Portugis memilih untuk meninggalkan Timor-Timur.
Kekacauan tersebut membuat sebagian masyarakat Timor-Timur yang
diwakili para pemimpin partai politik memilih untuk menjadi bagian

Republik Indonesia yang disambut baik oleh pemerintah Indonesia.
Secara resmi akhirnya Timor-Timur menjadi bagian Indonesia pada
bulan Juli 1976 dan dijadikan provinsi ke-27. Tetapi ada juga partai
politik yang tidak setuju menjadi bagian Indonesia ialah partai
Fretilin. Hingga akhirnya tahun 1999 masa pemerintahan Presiden
Habibie melakukan jajak pendapat untuk menentukan status TimorTimur. Berdasarkan jajak pendapat tersebut maka Timor-Timur secara
resmi keluar dari Negara Kesatuan republik Indonesia dan
membentuk negara tersendiri dengan nama Republik Demokrasi
Timor Lorosae atau Timur Leste.
4. Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
• Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968
hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
• Sukses transmigrasi

• Sukses KB
• Sukses memerangi buta huruf
• Sukses swasembada pangan
• Pengangguran minimum
• Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
• Sukses Gerakan Wajib Belajar
• Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
• Sukses keamanan dalam negeri
• Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
• Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam
negeri
5. Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
• Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
• Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya
kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian
disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
• Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena
kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
• Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran
yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada
tahun-tahun pertamanya
• Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak
merata bagi si kaya dan si miskin)

• Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama
masyarakat Tionghoa)
• Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
• Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan
majalah yang dibredel
• Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain
dengan program “Penembakan Misterius”
• Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke
pemerintah/presiden selanjutnya)
• Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit
Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena
tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
• Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik
sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.

REFORMASI INDONESIA
A.Pengaruh Perang Dingin Terhadap Indonesia
Setelah Perang Dunia II berakhir ternyata muncul dua negara super
power di dunia yang saling berebut pengaruh di berbagai kawasan

dunia. Dua kekuatan itu adalah yaitu Amerika Serikat yang berhaluan
demokrasi-kapitalis dan Uni Soviet yang berhaluan sosialis-komunis.
Perang dingin berdampak pada peta perpolitikan dunia pada saat itu,
sehingga dunia seolah terbagi menjadi tiga kelompok yaitu: negaranegara Blok Barat yang menganut paham demokrasi, negara-negara
Blok Timur yang menganut paham komunis dan negara-negara Non
Blok yang tidak memihak Blok Barat dan tidak memihak Blok Timur.
1.Arah Kebijakan Luar Negeri Indonesia Pada Masa Perang Dingin
Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia lebih condong
kepada negara-negara Blok Barat dalam rangka mendapatkan pinjaman
dana dari negera-negara tersebut untuk memperbaiki ekonomi
Indonesia yang hampir mengalami kebangkrutan. Dengan adanya
pinjaman ini secara tidak langsung Indonesia mulai dipengaruhi oleh
Blok Barat yang tercermin dari kebijakan-kebijakan luar negeri Indonesia
yang cenderung pro-Barat, walaupun tetap berusaha untuk netral
dengan tidak memihak salah satu blok yang ada.
2.Peran Lembaga Keuangan Internasional Terhadap Pemerintah
Orde Baru
Pada masa Orde Baru setahap demi setahap bisa keluar dari
keterpurukan ekonomi melalui bantuan dari negara-negara Barat.
Perbaikan ekonomi dilakukan dalam bentuk pembangunan yang disebut
dengan rencana pembangunan lima tahun. Adapun negara-negara
Barat yang membantu Indonesia tersebut dalam bentuk konsorsium
yang dinamakan IGGI (Inter-Gouvernmental Group on Indonesia) yang
beranggotakan Belanda, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia
Baru, Jepang, Inggris, Perancis, Jerman Barat, Belgia, Italia, dan Swiss.
Negara-negara maju tersebut pada tanggal 23-24 Pebruari 1967
diadakan pertemuan di Amsterdam (Belanda) menyepakati membentuk
badan IGGI untuk memberi kredit kepada Indonesia dengan bantuan
pinjaman syarat-syarat ringan.
B.Berakhirnya Pemerintahan Orde Baru
1. Faktor Penyebab Munculnya Reformasi
Perjalanan panjang sejarah Orde Baru di Indonesia dapat
melaksanakan pembangunan sehingga mendapat kepercayaan dalam
dan luar negeri. Mengalawai perjalannya pada dasawarsa 60-an rakyat
sangat menderita pelan-pelan keberhasilan pembangunan melalui
tahapan dalam pembangunan lima tahun (Pelita) sedikit demi sedikit
kemiskinan rakyat dapat dientaskan. Sebagai tanda terima kasih kepada
pemerintah Orde Baru yang berhasil membangun negara, Presiden
Soeharto diangkat menjadi "Bapak Pembangunan ".
Temyata keberhasilan pembangunan tersebut tidak merata, maka
kemajuan Indonesia temyata hanya semu belaka. Ada kesenjangan

yang sangat dalam antara yang kaya dan yang miskin. Rakyat
mengetahui bahwa hal ini disebabkan cara-cara mengelola negara yang
tidak sehat ditandai dengan merajalela korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN). Protes dan kritik masyarakat seringkali dilontarkan namun
pemerintah Orba seolah-olah tidak melihat, dan mendengar, bahkan
masyarakat yang tidak setuju kepada kebijaksanaan pemerintah selalu
dituduh sebagai "PKI", subversi, dan sebagainya.
Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi, hargaharga mulai membumbung tinggi sehingga daya beli rakyat sangat
lemah, seakan menjerit lebih-lehih banyak perusahaan yang terpaksa
melakukan "PHK" karyawannya. Diperburuk lagi dengan kurs rupiah
terhadap dolar sangat rendah. Disinilah para mahasiswa, dosen, dan
rakyat mulai berani mengadakan demonstrasi memprotes kebijakan
pemerintah. Setiap hari mahasiswa dan rakyat mengadakan
demonstrasi mencapai puncaknya pada bulan Mei 1998, dengan berani
meneriakkan reformasi bidang politik, ekonomi, dan hukum.
Pada tanggal 20 Mei 1998 Presiden Soeharto berupaya untuk
memperbaiki program Kabinet Pembangunan VII dengan menggantikan
dengan nama Kabinet Reformasi, namun tidak mendapat tanggapan
rakyat. Pada hari berikutnya tanggal 21 Mei 1998 dengan berdasarkan
Pasal 8 UUD 1945, Presiden Soeharto terpaksa menyerahkan
kepemimpinan kepada Wakil Presiden Prof. DR. B.J. Habibie.
2.Krisis Ekonomi
Diawali krisis moneter yang melanda Asia Tenggara sejak bulan Juli
1997 berimbas pada Indonesia, bangunan ekonomi Indonesia temyata
belum kuat untuk menghadapi krisis global tersebut. Krisis ditandai
dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Nilai tukar rupiah turun dari Rp. 2.575,00 menjadi Rp. 2.603,00 pada 1
Agustus 1997. Tercatat di bulan Desmeber 1997 nilai tukar rupiah
terhadap dolar mencapai R. 5.000,00 perdolar, bahkan mencapai angka
Rp. 16.000,00 perdolar pada sekitar Maret 1997.
Nilai tukar rupiah semakin melemah,pertumbuhan ekonomi Indonesia
menjadi 0 % sebagai akibat lesunya ikiim bisnis. Kondisi moneter
mengalami keterpurukan dengan dilikuidasinya 16 bank pada bulan
Maret 1997. Untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah
membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan
mengeluarkan Kredit Likuidasi Bank Indonesia (K.LBI), temyata tidak
membawa hasil sebab pinjaman BLBI terhadap bank bermasalah
tersebut tidak dapat mengembalikan. Dengan demikian pemerintah
harus menanggung beban utang yang cukup besar. Akibatnya
kepercayaan dunia intemasional mulai menurun. Krisis moneter ini
akhimya berdampak pada krisis ekonomi sehingga menghancurkan
sistem fundamental perekonomian Indonesia.

a.Utang Negara Republik Indonesia.
Penyebab krisis diantaranya adalah utang luar negeri yang sangat
besar, terhitung bulan Pebruari 1998 pemerintah melaporkan tentang
utang luar negeri tercatat :
utang swasta nasional Rp. 73,962 miliar dolar AS + utang pemerintah
Rp. 63,462 miliar dolar AS, jadi utang seluruhnya mencapai 137,424
miliar dolar AS. Data ini diperoleh dari pernyataan Ketua Tim HutangHutang Luar Negeri Swasta (HLNS), Radius Prawiro seusai sidang
Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK) yang
dipimpin oleh Presiden Soeharto di Bina Graha pada 6 Pebruari 1998.
Perdagangan luar negeri semakin sulit karena barang dari luar negeri
menjadi sangat mahal harganya. Mereka tidak percaya kepada para
importir Indonesia yang dianggap tidak akan mampu membayar barang
dagangannya. Hampir semua negara tidak mau menerima letter of credit
(L/C) dari Indonesia. Hal ini disebabkan sistem perbankan di Indonesia
yang tidak sehat karena kolusi dan korupsi.
b. Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945.
Pemerintah Orde Baru berusaha menjadikan Indonesia sebagai negara
industri yang kurang memperhatikan dengan seksama kondisi riil
masyarakat agraris, dan pendidikan masih rendah, sehingga akan
sangat sulit untuk segera berubah menjadi masyarakat industri.
Akibatnya yang terpacu hanya masyarakat kelas ekonomi atas, para
orang kaya yang kemudian menjadi konglomerat. Meskipun gross
national product (GNP) pada masa Orba pernah mencapai diatas US$
1.000,00 tetapi GNP tersebut tidak menggambarkan pendapatan rakyat
sebenamya, karena uang yang beredar sebagian besar dipegang oleh
orang kaya dan konglomerat. Rakyat secara umum masih miskin dan
kesenjangan sosial ekonomi semakin besar.
Pengaturan perekonomian pada masa Orba sudah menyimpang dari
sistem perekonomian Pancasila, seperti yang diatur dalam Pasal 33 ayat
(1), (2), dan (3). Yang terjadi adalah berkembangnya ekonomi kapitalis
yang dikuasai para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli,
oligopoli korupsi, dan kolusi.
c. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Masa Orde Baru dipenuhi dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme
menyebabkan runtuhnya perekonomian Indonesia. Korupsi yang
menggerogoti keuangan negara, kolusi yang merusak tatanan hukum,
dan nepotisme yang memberikan perlakuan istimewa terhadap kerabat
dan kawan menjadi pemicu lahimya reformasi di Indonesia.
Walaupun praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme ini telah merugikan
banyak pihak, termasuk negara tapi tidak dapat dihentikan karena
dibelakangnya ada suatu kekuatan yang tidak tersentuh hukum.
d. Politik Sentralisasi

Pemerintahan Orde Baru menjalankan politik sentralistik, yakni bidang
politik, ekonomi, sosial dan budaya peranan pemerintah pusat sangat
menentukan, sebaliknya pemerintah daerah tidak 'punya peran yang
signifikan. Dalam bidang ekonomi sebagian besar kekayaan dari daerah
diangkut ke pusat pembagian yang tidak adil inilah menimbulkan
ketidakpuasan rakyat dan pemerintah daerah. Akibatnya mereka
menuntut berpisah dari pemerintah pusat terutama terjadi di daerahdaerah yang kaya sumber daya alam, seperti Aceh, Riau, Kalimantan
Timur, dan Irian Jaya (Papua).
Proses sentralisasi bisa dilihat adanya pola pemberitaan pers yang
Jakarta sentries. Terjadinya banjir informasi dari Jakarta (pusat)
sekaligus dominasi opini dari pusat. Pola pemberitaan yang cenderung
bias Jakarta, terutama di halaman pertama pers. Kecenderuangan ini
sangat mewamai pola pemberitaan di halaman pertama pers di daerah.
3.Krisis Politik
Krisis politik pada akhir orde baru ditandai dengan kemenangan mutlak
Golkar dalam Pemilihan Umum 1997 yang dinilai penuh kecurangan,
Golkar satu-satunya kontestan pemilu yang didukung fmansial maupun
secara politik oleh pemerintah memenangkan pemilu dengan meraih
suara mayoritas. Golkar yang pada mulanya disebut sebagai Sekretariat
Bersama (Sekber) Golongan Karya, lahir dari usaha untuk menggalang
organisasi-organisasi masyarakat dan angkatan bersenjata, muncul satu
tahun sebelum peristiwa G30S/PKI tepatnya lahir pada tanggal 20
Oktober 1964. Dan memang tidak dapat disangkal bahwa organisasi ini
lahir dari pusat dan dijabarkan sampai kedaerah-daerah. Disamping itu
untuk tidak adanya loyalitas ganda dalam tubuh Pegawai Negeri Sipil
maka Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) yang lahir tanggal 29
Nopember 1971 ikut menggabungkan diri ke dalam Golongan Karya.
Golkar ini kemudian dijadikan kendaraan politik Soeharto untuk
mendukung kekuasaannya selama 32 tahun, karena tidak ada satupun
kritik dari infra struktur politik ini yang berani mencundangi dirinya.
K-emenangan Golongan Karya dinilai oleh para pengamat politik di
Indonesia dan para peninjau asing dalam pemilu yang tidakjujur dan adil
(jurdil) penuh ancaman dan intimidasi terhadap para pemilih di
pedesaan. Dengan diikuti dukungan terhadap Jenderal (Pum) Soeharto
selaku ketua dewan pembina Golkar untuk dicalonkan kembali sebagai
presiden pada sidang umum MPR tahun 1998 temyata mayoritas
anggota DPR/MPR mendukung Soeharto menjadi presiden untuk
periode 1998-2003.
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya menimbulkan
permasalahan masa pemerintahan Orde Barn, kedaulatan rakyat ada
ditangan kelompok tertentu, bahkan lebih banyak dipegang pihak
penguasa. Kedaulatan ditangan rakyat yang dilaksanakan sepenuhnya

MPR dilaksanakan de jure secara de facto anggota MPR sudah diatur
dan direkayasa sehingga sebagian besar anggotanya diangkat dengan
sistem keluarga (nepotisme).
Rasa ketidak percayaan rakyat kepada pemerintah, DPR, dan MPR
memicu gerakan reformasi. Kaum reformis yang dipelopori mahasiswa,
dosen, dan rektomya menuntut pergantian presiden, reshuffle kabinet,
Sidang Istimewa MPR, dan pemilu secepatnya. Gerakan menuntut
reformasi total disegala bidang, termasuk anggota DPR/MPR yang
dianggap penuh dengan KKN dan menuntut pemerintahan yang bersih
dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
Gerakan reformasi menuntut pembaharuan lima paket undang-undang
politik yang menjadi sumber ketidakadilan, yaitu : (1) UU No. 1 Tahun
1985 tentang Pemilihan Umum; (2) UU No. 1 Tahun 1985 tentang
susunan, kedudukan, Tugas, dan wewenang DPR/MPR; (3) UU No. 1
Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya; (4) UUNo. 1
Tahun 1985 tentang Referendum; (5) UU No. 1 Tahun 1985 tentang
organisasi masa.
4. Krisis Hukum.
Orde Baru banyak terjadi ketidak adilan dibidang hukum, dalam
kekuasaan kehakiman berdasar Pasal 24 UUD 1945 seharusnya
memiliki kekuasaan yang merdeka terlepas dari kekuasaan eksekutif,
tapi Kenyataannya mereka dibawah eksekutif. Dengan demikian
pengadilan sulit terwujud bagi rakyat, sebab hakim harus melayani
penguasa. Sehingga sering terjadi rekayasa dalam proses peradilan.
Reformasi diperlukan aparatur penegak hukum, peraturan perundangundangan, yurisprodensi, ajaran-ajaran hukum, dan bentuk praktek
hukum lainnya. Juga kesiapan hakim, penyidik dan penuntut, penasehat
hukum, konsultan hukum dan kesiapan sarana dan prasarana.
5.Krisis Kepercayaan
Pemerintahan Orde Baru yang diliputi KKN secara terselubung maupun
terang-terangan pada bidang parlemen, kehakiman, dunia usaha,
perbankan, peradilan, pemerintahan sudah berlangsung lama sehingga
disana-sini muncul ketidakadilan, kesenjangan sosial, rusaknya system
politik, hukum, dan ekonomi mengakibatkan timbul ketidak percayaan
rakyat terhadap pemerintahan dan pihak luar negeri terhadap Indonesia
C.Gerakan Reformasi Indonesia
Reformasi menghendaki adanya perubahan kehidupan berbangsa dan
bernegara kearah yang lebih baik secara konstitusional dalam bidang
ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya. Dengan semangat
reformasi, rakyat menghendaki pergantian pemimpin bangsa dan negara
sebagai langkah awal, yang menjadi pemimpin hendaknya
berkemampuan, bertanggungjawab, dan peduli terhadap nasib bangsa

dan negara.
Reformasi adalah pembaharuan radikal untuk perbaikan bidang sosial,
politik, atau agama (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dengan demikian
reformasi merupakan penggantian susunan tatanan perikehidupan lama
menjadi tatanan perikehidupan baru secara hukum menuju perbaikan.
Reformasi yang digalang sejak 1998 merupakan formulasi menuju
Indonesia baru dengan tatanan baru, maka diperlukan agenda reformasi
yang jelas dengan penetapan skala prioritas, pentahapan pelaksanaan,
dan kontrol agar tepat tujuan dan sasaran.
1. Tujuan Reformasi
Atas kesadaran rakyat yang dipelopori mahasiswa, dan cendikiawan
mengadakan suatu gerakan reformasi dengan tujuan memperbaharui
tatanan kehidupan masyarakat, berbangsa, bemegara, agar sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
2. Dasar Filosofi Reformasi
Agenda reformasi yang disuarakan mahasiswa diantaranya sebagai
berikut: (1)adili Soeharto dan kroni-kroninya; (2) amandemen UndangUndang dasar 1945; (3) penghapusan dwifungsi ABRI; (4) otonomi
daerah yang seluas-luasnya; (5) Supermasi hukum; (6) pemerintahan
yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
3. Kronologi Reformasi
Kabinet Pembangunan VII dilantik awal Maret 1998 dalam kondisi
bangsa dan negara krisis, yang mengundang keprihatinan rakyat.
Memasuki bulan Mei 1998 mahasiswa di berbagai daerah melakukan
unjuk rasa dan aksi keprihatinan yang menuntut: (1) turunkan harga
sembilan bahan pokok (sembako); (2) hapuskan korupsi, kolusi, dan
nepotisme; (3) turunkan Soeharto dari kursi kepresidenan.
Secara kronologi terjadinya tuntutan reformasi sampai dengan turunnya
Soeharto dari kursi kepresidenan sebagai berikut: (1) pada tanggal 10
Mei 1998 perasaan tidak puas terhadap hasil pemilu dan pembentukan
Kabinet Pembangunan VII mewarnai kondisi politik Indonesia.
Kemarahan rakyat bertambah setelah pemerintah secara sepihat
menaikkan harga BBM. Namun keadaan ini tidak menghentikan
Presiden Soeharto untuk mengunjungi Mesir karena menganggap
keadaan dalam negeri pasti dapat diatasi; (2) pada 12 Mei 1998
semakin banyak mahasiswa yang berunjuk rasa membuat aparat
keamanan kewalahan, sehingga mereka harus ditindak lebih keras,
akibatnya bentrokan tidak dapat dihindari. Bentrokan aparat keamanan
dengan mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta yang berunjuk rasa
tanggal 12 Mei 1998 mengakibatkan empat mahasiswa tewas tertembak
yaitu Hery Hartanto, Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, dan
Hafidhin Royan serta puluhan mahasiswa dan masyarakat mengalami
luka-luka.Peristiwa ini menimbulkan masyarakat berduka dan marah

sehingga memicu kerusuhan masa pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998 di
Jakarta dan sekitamya. Penjarahan terhadap pusat perbelanjaan,
pembakaran toko-toko dan fasilitas lainnya; (3) pada 13 Mei 1998
Presiden Soeharto menyatakan ikut berduka cita ats terjadinya peristiwa
Semanggi. Melalui Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan presiden
menyatakan atas nama pemerintah tidak mungkin memenuhi tuntutan
para reformis di Indonesia; (4) pada 15 Mei 1998 Presiden Soeharto tiba
kembali di Jakarta, oleh karena itu Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia menyiagakan pasukan tempur dengan peralatannya di segala
penjuru kota Jakarta; (5) Presiden Soeharto menerima ketatangan
Harmoko selaku Ketua DPR/MPR RI yang menyampaikan aspirasi
masyarakat untuk meminta mundur dari jabatan Presiden RI; (6) pada
17 Mei 1998 terjadi demonstrasi besar-besaran di gedung DPR/MPR RI
untuk meminta Soeharto turun dari jabatan presiden Republik Indonesia;
(7) pada 18 Mei 1998 Ketua DPR/MPR RI Harmoko di hadapan para
wartawan mengatakan meminta sekali lagi kepada Soeharto untuk
mundur dari jabatan presiden RI; (8) pada 19 Mei 1998 beberapa ulama
besar, budayawan, dan toko cendiriawan bertemu Presiden Soeharto di
Istana Negara membahas reformasi dan kemungkinan mundurnya
Presiden Soeharto, mereka ini adalah : Prof. Abdul Malik Fadjar
(Muhammadiyah), KH. Abdurrahman Wahid (PB NU), Emha Ainun
Nadjib (Budayawan), Nurcholis Madjid (Direktur Universitas Paramadina
Jakarta), Ali Yafie (Ketua MUI), Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (Guru
Besar Universitas Indonesia), K.H. Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia),
Sumarsono(Muhammadiyah), Ahmad Bagja (NU), K.H. Ma’ruf Amin
(NU). Sedangkan di luar aksi mahasiswa di Jakarta agak mereda saat
terjadi kerusuhan masa, tapi setelah kejadian itu pada tanggal 19 Mei
1998 mahasiswa yang pro-reformasi berhasil menduduki gedung
DPR/MPR untuk berdialog dengan wakil rakyat walaupun mendapat
penjagaan secara ketat aparat keamanan; (9) pada 20 Mei 1998
Presiden Soeharto berencana membentuk Komite Reformasi untuk
mengkompromikan tuntutan para demonstran. Namun, komite ini tidak
pernah menjadi kenyataan karena dalam komite yang mayoritas dari
Kabinet Pembangunan VII tidak bersedia dipilih. Pada suasana yang
panas ini kaum reformis diseluruh tanah air bersemangat untuk
menuntur reformasi dibidang politik, ekonomi, dan hukum. Maka tanggal
20 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh bangsa
Indonesia untuk diminta pertimbangan dalam rangka membentuk
"Komite Reformasi" yang diketuai Presiden. Namun komite ini tidak
mendapat tanggapan sehingga presiden tidak mampu membentuk
Komite Reformasi dan Kabinet Reformasi; (10) dengan desakan
mahasiswa dan masyarakat serta demi kepentingan nasional, tanggal
21 Mei 1998 pukul 10.00 WIB Presiden Soeharto meleetakkan

kekuasaan didepan Mahkamah Agung. Presiden menunjuk Wakil
Presiden B.J. Habibie menjadi pengganti presiden; (11) pada 22 Mei
1998 setelah B.J. Habibie menerima tongkat estafet kepemimpinan
nasional maka dibentuk kabinet baru yang bernama Kabinet Reformasi
Pembangunan.
D. Masa Pemerintahan Presiden Habibie (1998-1999)
Tugas B.J. Habibie adalah mengatasi krisis ekonomi yang
melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, menciptakan
pemerintahan yang bersih, berwibawa bebas dari praktek korupsi, kolusi
dan nepotisme. Hal ini dilakukan oleh presiden untuk menjawab
tantangan era reformasi.
A. Dasar Hukum Habibie Menjadi Presiden.
Naiknya Habibie menggantikan Soeharto menjadi polemik
dikalangan ahli hukum, ada yang mengatakan hal itu
konstitusional dan inskonstitusional.Yang mengatakan
konstitusional berpedoman Pasal 8 UUD 1945, "Bila Presiden mangkat,
berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya, ia diganti oleh Wakil
Presiden sampai habis waktunya". Adapun yang mengatakan
inskonstitusional berlandaskan ketentuan Pasal 9 UUD 1945, "Sebelum
Presiden meangku jabatan maka Presiden harus mengucapkan sumpah
dan janji di depan MPR atau DPR". Secara hukum materiel Habibie
menjadi presiden sah dan konstitusional. Namun secara hukum formal
(hukum acara) hal itu tidak konstitusional, sebab perbuatan hokum yang
sangat penting yaitu pelimpahan wewenang dari Soeharto kepada
Habibie harus melalui acara resmi konstitusional. Saat itu DPR tidak
memungkinkan untuk bersidang, maka harus ada alas an yang kuat dan
dinyatakan sendiri oleh DPR.
B. Langkah-langkah Pemerintahan Habibie.
1. Pembentukan Kabinet.
Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan pada tanggal 22 Mei
1998 yang meliputi perwakilan militer (TNI-PoIri), PPP, Golkar, dan PDI.
2. Upaya Perbaikan Ekonomi.
Dengan mewarisi kondisi ekonomi yang parah "Krisis Ekonomi"
Presiden B.J. Habibie berusaha melakukan langkah-langkah
perbaikan, antara lain :
a) Merekapitalisasi perbankan.
b) Merekonstruksi perekonomian nasional.
c) Melikuidasi beberapa bank bermasalah.
d) Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika hingga dibawahRp.
10.000,00
e) Mengimplementasikan refbrmasi ekonomi yang disyaratkan IMF.
3. Reformasi di Bidang Politik.

Presiden mengupayakan politik Indonesia dalam kondisi yang
transparan dan merencakan pemilu yang luber dan jurdil, sehingga
dapat dibentuk lembaga tinggi negara yang betul-betui representatif.
Tindakan nyata dengan membebaskan narapidana politik diantaranya
yaitu : (1) DR. Sri Bintang Pamungkas dosen Universitas Indonesia (UI)
dan mantan anggota DPR yang masuk penjara karena mengkritik
Presiden Soeharto. (2) Mochtar Pakpahan pemimpin buruh yang dijatuhi
hukuman karena dituduh memicu kerusuhan di Medan dalam tahun
1994.
4. Kebebasan Menyampaikan Pendapat.
Kebebasan ini pada masa sebelumnya dibatasi, sekarang masa
Habibie dibuka selebar-lebarnya baik menyampaikan pendapat dalam
bentuk rapat umum dan unjuk rasa. Dalam batas tertentu unjuk rasa
merupakan manifestasi proses demokratisasi. Maka banyak kalangan
mempertanyakan mengapa para pelaku unjuk rasa ditangkap dan diadili.
Untuk menghadapi para pengunjuk rasa Pemerintah dan DPR berhasil
menciptakan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang " kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum ".
Diberlakukannya undang-undang tersebut bukan berarti keadaan
menjadi tertib seperti yang diharapkan. Seringkali terjadi pelanggaran
oleh pengunjuk rasa maupun aparat keamanan, akibatnya banyak
korban dari pengunjuk rasa dan aparat keamanan. Hal ini disebabkan
oleh : (1) Undang-undang ini belum begitu memasyarakat. (2)
Pengunjuk rasa memancing permasalahan, dan membawa senjata
tajam. (3) Aparat keamanan ada .yang terpancing oleh tingkah laku
pengunjuk rasa sehingga tidak dapat mengendalikan diri. (4) Ada
pihak tertentu yang sengaja menciptakan suasana panas agar negara
menjadi kacau.
Krisis ini merupakan momentum koreksi historis bukan sekedar
lengsemya Soeharto dari kepresidenan tapi yang paling penting
membangun kelompok sipil lebih berpotensi untuk membongkar praktek
KKN, otonomi daerah, dan lain-lainnya. Dimana krisis multidimensi ini
berkaitan dengan sistem pemerintahan Orde Baru yang sentralistik yaitu
kurang memperhatikan tuntutan otonomi daerah sebab sebab segala
kebijakan untuk daerah selalu ditentukan oleh pemerintah pusat.
5. Masalah Dwi Fungsi ABRI
Gugatan terhadap peran dwifungsi ABRI maka petinggi militer bergegasgegas melakukan reorientasi dan reposisi peran sosial politiknya selama
ini. Dengan melakukan reformasi diri melalui rumusan paradigma baru
yaitu menarik diri dari berbagai kegiatan politik.
Pada era reformasi posisi ABRI dalam MPR jumlahnya sudah dikurangi
dari 75 orang menjadi 38 orang. ABRI yang semula terdiri atas empat
angkatan yang termasuk Polri, mulai tanggal 5 Mei 1999 Kepolisian RI

memisahkan diri menjadi Kepolisian Negara RI. Istilah ABRI berubah
menjadi TNI yaitu angkatan darat, laut, dan udara.
6. Reformasi di Bidang Hukum
Pada masa pemerintahan Orde Baru telah didengungkan pembaharuan
bidang hukum namun dalam realisasinya produk hukum tetap tidak
melepaskan karakter elitnya. Misalnya UU Ketenagakerjaan tetap saja
adanya dominasi penguasa. DPR selama orde baru cenderung telah
berubah fungsi, sehingga produk yang disahkannya memihak
penguasa bukan memihak kepentingan masyarakat.
Prasyarat untuk melakukan rekonstruksi dan reformasi hukum
memerlukan reformasi politik yang melahirkan keadaan demokratis
dan DPR yang representatif mewakili kepentingan masyarakat. Oleh
karena itu pemerintah dan DPR merupaka'n kunci untuk pembongkaran
dan refbrmasi hukum. Target reformasi hukum menyangkut tiga hal,
yaitu : substansi hukum, aparatur penegak hukum yang bersih dan
berwibawa, dan institusi peradilan yang independen. Mengingat produk
hukum Orde Baru sangat tidak kondusif untuk menjamin perlindungan
hak asasi manusia, berkembangnya demokrasi dan menghambat
kreatifitas masyarakat. Adanya praktek KKN sebagai imbas dari adanya
aturan hukum yang tidak adil dan merugikan masyarakat.
7. Sidang Istimewa MPR
Salah satu jalan untuk membuka kesempatan menyampaikan
aspirasi rakyat ditengah-tengah tuntutan reformasi total pemerintah
melakasanakan Sidang Istimewa MPR pada tanggal 10-13 Nopember
1998, diharapkan benar-benar menyuarakan aspirasi masyarakat
dengan perdebaaatan yang lebih segar, dan terbuka.
Pada saat sidang berlangsung temyata diluar gedung DPR/MPR
Senayan suasana kian memanas oleh demonstrasi mahasiswa dan
massa sehingga anggota MPR yang bersidang mendapat tekanan untuk
bekerja lebih keras, serius, cepat sesuai tuntutan reformasi.
Sidang Istimewa MPR menghasilkan 12 ketetapan, yaitu :
a. Tap MPR No. X/MPR/1998 tentang : Pokok-pokok Reformasi
Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara
b. Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang : Penyelenggaraan Negara yang
bersih dan bebas KKN.
c. Tap MPR No. XH/MPR/1998 tentang : Pembatasan Masa Jabatan
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indinesia.
d. Tap MPR No. XV/MPR/1998 tentang : Penyelenggaraan Otonomi
Daerah.
e. Tap MPR No. XVI/MPR/1998 tentang : Politik Ekonomi dalam Rangka
Demokrasi Ekonomi.
f. Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang : Hak Asasi Manusia.

g. Tap MPR No. VII/MPR/1998 tentang : Perubahan dan Tambahan atas
Tap MPR Nomor : I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib MPR
sebagaimana telah beberapa kali dirubah dan ditambah dengan
ketetapan MPR yang terakhirNomor: I/MPR/1998.
h. Tap MPR No. XIV/MPR/1998 tentang : Perubahan dan Penambahan
atas Tap MPR No. III/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum.
i. Tap MPR No. III/V/MPR/1998 tentang : mencabut Tap MPR No. IV/MPR/
1983 tentang referendum.
j. Tap MPR No. IX/MPR/1998 tentang : mencabut Tap MPR No.
II/MPR/1998 tentang GBHN.
k. Tap MPR No. XII/MPR/1998 tentang : mencabut Tap MPR No.
V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada
Presiden/Mandataris MPR RI dalam Rangka Penyukseskan dan
Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.
l. Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang : mencabut Tap MPR No. II/MPR/
1978 tentang Pendoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetia Pancakarsa) dan penetapan tentang Penegasan Pancasila
sebagai DasarNegara.
8. Pemilihan Umum 1999
Faktor politik yang penting untuk memulihkan krisis multidimensi di
Indonesia yaitu dilaksanakan suatu pemilihan urnum supaya dapat
keluar dari krisis diperlukan pemimpin yang dipercaya rakyat. Asas
pemilihan urnum tahun 1999 adalah sebagai berikut:
(1).Langsung, Pemilih mempunyai hak secara langsung memberi suara
sesuai kehendak nuraninya tanpa perantara. (2) Umum, bahwa semua
warga negara tanpa kecuali yang memenuhi persyaratan minimal dalam
usia 17 tahun berhak memilih dan usia 21 tahun berhak dipilih.
(3) Bebas, tiap warga negara berhak menentukan pilihan tanpa tekanan
atau paksaan dari siapapun/pihak manapun. (4) Rahasia, tiap pemilih
dijamin pilihannya tidak diketahui oleh pihak manapun dengan cara
apapun (5) Jujur, semua pihak yang terlibat dalam
penyelenggaraan pemilu (penyelenggara/pelaksana, pemerintah,
pengawas, pemantau, pemilih, dan yang terlibat secara langsung) harus
bersikap dan bertindak jujur yakni sesuai aturan yang berlaku.
6. Adil, bahwa pcmilili dan partai politik peserta pemilu mendapat
perlakuan yang sama, bebas dari kecurangan pihak manapun.
Sebagaimana yang diamanatkan dalam ketetapan MPR, Presiden B.J.
Habibie menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu pelaksanaan
pemilihan umum. Maka dicabutlah lima paket undang-undang tentang
politik yaitu UU tentang (1) Pemilu, (2) Susunan, kedudukan, tugas, dan
wewenang DPR/MPR, (3) Parpol dan Golongan Karya, (4) Referendum,
(5) Organisasi Masa. Sebagai gantinya DPR berhasil menetapkan tiga
undang-undang politik baru yang diratifikasi pada tanggal 1 Pebruari

1999 oleh Presiden B.J. Habibie yaitu : (1) UU Partai Politik, (2) UU
Pemilihan Umum, dan (3) UU Susunan serta Kedudukan MPR, DPR,
dan DPRD.
Adanya undang-undang politik tersebut menggairahkan kehidupan
politik di Indonesia, sehingga muncul partai-partai politik yangjumlahnya
cukup banyak, tidak kurang dari 112 partai politik yang lahir dan
mendaftar ke Departemen Kehakinam namun setelah diseleksi hanya 48
partai politik yang berhak mengikuti pemilu. Pelaksana pemilu adalah
Komisi Pemilihan Umum yang terdiri atas wakil pemerintah dan parpol
peserta pemilu.
Pemungutan suara dilaksanakan pada hari Kamis, 7 Juni 1999
berjalan lancar dan tidak ada kerusuhan seperti yang dikhawatirkan
masyarakat. Dalam perhitungan akhir hasil pemilu ada dua puluh satu
partai politik meraih suara untuk menduduki 462 kursi anggota DPR,
yaitu :
1) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PD1-P) : 153 kursi.
2) Partai Golongan Karya ( Partai Golkar)
: 120 kursi.
3) Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
: 58 kursi.
4) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
: 51 kursi.
5) Partai Amanat Nasional (PAN)
: 34 kursi.
6) Partai Bulan Bintang (PBB)
: 13 kursi
7) Partai Keadilan (PK)
: 7 kursi
8) Partai Nahdiarul Ummah (PNU)
: 5 kursi
9) Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB)
: 5 kursi
10) Partai Keadilan Persatuan (PKP)
: 4 kursi
11) Partai Demokrasi Indonesia
: 2 kursi
12) Partai Kebangkitan Ummat (PKU)
: 1 kursi
13) Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
: 1 kursi
14) Partai Politik Islam Indonesia Masyumi
: 1 kursi
15) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI): 1 kursi
16)PNI-MasaMarhaen
: 1 kursi
17)PNI-FrontMarhaen``
: 1 kursi
18) Partai Persatuan (PP)
: 1 kursi
19) Partai Daulat Rakyat (PDR)
: 1 kursi
20) Partai Bhineka Tunggal Ika (FBI)
: 1 kursi
21) Partai Katholik Demokrat (PKD)
: 1 kursi
22) TNI/POLRI
: 46 kursi
9. Sidang Umum MPR Hasil Pemilu 1999
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diketuai oleh Jenderal (Pum)
Rudini menetapkan jumlah anggota MPR berdasarkan hasil pemilu 1999
yang terdiri dari anggota DPR (462 orang wakil dari parpol dan 38 orang

TNI/PoIri), 65 orang wakil-wakil Utusan Golongan, dan 135 orang
Utusan Daerah. Maka MPR melaksanakan Sidang Umum MPR Tahun
1999tanggal 1-21 Oktober 1999. Sidang mengesahkan Prof. DR. H.
Muhammad Amin Rais, MA (PAN) sebagai Ketua MPR, dan Ir. Akbar
Tandjung (Partai Golkar) sebagai Ketua DPR.
Dalam pencalonan presiden muncul tiga nama calon yang diajukan oleh
fraksi-fraksi di MPR, yaitu KH Abdurrahman Wahid (PKB), Hj.Megawati
Soekamoputri (PDI-P), Prof.DR. Yusril Ihza Mahendra, SH, MSc (PBB),
Namun sebelum pemilihan Yusril mengundurkan diri. Hasil pemilihan
dilaksanakan secara voting KH. Abdurrahman Wahid mendapat 373
suara, Megawati mendapat 313 suara, dan 5 abstein. Dalam pemilihan
wakil presiden dengan calon Hj.Megawati Soekamoputri (PDI-P) dan
DR. Hamzah Haz (PPP) dimenangkan oleh Megawati Soekamoputri.
Pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden KH Abdurrahman
Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekamoputri menyusun Kabinet
Persatuan Nasional, yang terdiri dari: 3 Menteri Koordinator (Menko
Polkam, Menko Ekuin, dan Menko Kesra), 16 menteri yang memimpin
departemen, 13 Menteri Negara.
Pemerintahan Presiden KH.Abdurrahman Wahid (1999-2001) ini tidak
dapat berlangsung lama pada akhir Juli 2001 jatuh lewat Sidang
Istimewa MPR akibat perseteraunnya dengan DPR dan kasus
Brunaigate serta Buloggate, kemudian melalui Sidang Istimewa MPR
yang kemudian melantik Wakil Presiden Hj.Megawati Sukamoputri
menjadi Presiden RI ke-5 (2001 - 2004) dan DR. H.Hamzah Haz dari
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi Wakil Presiden RI ke-9
(2001 - 2004).

Perkembangan Pemerintahan
Orde Baru dan

Reformasi Indonesia

Riezky Herdian Sadmoko
XII IPS 3/28