Membelenggu Kriya Membaca Kriya dalam Ko

Membelenggu Kriya?:
Membaca Kriya dalam Konstalasi Kuasa Wacana Seni Rupa1
Ikwan Setiawan
Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Jember
Dari sebilah keris yang sangat sederhana, terdapat
proses yang demikian kompleks, tidak saja
menyangkut material, tetapi juga “laku”. Karena itu,
saya tidak kaget jika dari sosoknya muncul “aura”
yang demikian kuat.
—Suwarno Wisetrotomo2—

Kriya yang fungsional: pemahaman awal
Dalam perkembangan seni rupa, kriya, diakui atau tidak, kurang
mendapatkan perhatian—terutama dalam hal kritik—bila dibandingkan dengan
seni lukis. Apabila kita membaca koran ataupun majalah seni, kita akan
menjumpai tulisan-tulisan dari para kritikus ataupun kurator yang lebih banyak
mengupas pameran seni lukis yang banyak diselenggarakan oleh galeri ataupun
museum. Realitas tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari pemahaman tentang
produk kriya sebagai karya seni fungsional yang bernilai guna (useful object).
Memang, kriya juga mensyaratkan keterampilan-keterampilan estetik tertentu
(craftsmanship) sepertihalnya karya seni rupa murni lainnya. Namun, kemudian

yang banyak dilihat tetaplah pada nilai gunanya dalam kehidupan sehari-hari
sehingga kriya tidak banyak dikaitkan dengan kepuasan emotif maupun
pencapaian estetika tertentu seperti yang dilakukan para perupa murni. Padahal
kalau kita melihat lebih jauh lagi, sebenarnya jagat kriya (crafts world) juga
mempunyai pengetahuan, standard-standar estetik dan konvensi dalam produksi,
serta sistem distribusi yang cukup menarik untuk dijadikan bahan kajian.
Memang benar, kriya selama ini banyak menggunakan pengetahuan tradisional
kerajinan yang sudah mapan dalam masyarakat untuk menciptakan produkproduk yang bernilai praktis dalam masyarakat. Namun, di balik itu semua,
1

Artikel ini merupakan tugas akhir untuk matakuliah “Budaya Visual” (Visual Culture) sewaktu
penulis menjadi mahasiswa S-2 Program Studi Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
2 Dikutip dari Suwarno Wisetrotomo. “Mengolah Kayu, Mengukir Jiwa”, Pengantar untuk
Pameran Tunggal Seni Kriya Kayu Bagus Indrayana, Bentara Budaya Yogyakarta, 15-22 Desember
2006.

1

terdapat keunikan-keunikan tersendiri yang membedakan kriya dengan bentuk

seni rupa lainnya.
Tulisan ini berusaha untuk mediskusikan jagat kriya dalam pendekatan
sosiologis dan cultural studies serta implikasinya dalam perkembangan seni rupa
di Indonesia saat ini. Asumsi pertama yang dikembangkan adalah bahwa
sebenarnya kriya mempunyai konteksnya sendiri yang bisa digunakan untuk
mengkaji lebih jauh tentang eksistensinya dalam kehidupan masyarakat dan lebih
khusus lagi dalam perkembangan seni rupa Indonesia saat ini. Asumsi kedua
adalah bahwa ada kesalahpahaman dalam memahami kriya sehingga anggapan
umum yang berkembang selalu menempatkan kriya sebagai produk seni yang
semata-mata berorientasi bisnis dan bersifat massif-tradisional, singkatnya
berkutat pada kerajinan tangan dan perabot rumah tangga. Asumsi ketiga adalah
bahwa kriya pada dasarnya merupakan produk seni yang juga mempunyai
standard estetikanya sendiri. Dan asumsi berikutnya adalah bahwa ternyata
dalam

perkembangannya

banyak

seniman-seniman


lukis

yang

juga

memanfaatkan pengetahuan dan karya kriya untuk dieskplorasi sebagai bentuk
seni rupa kontemporer. Untuk mendapatkan pemahaman komperhensif tentang
persoalan tersebut, maka penulis menggunakan pendekatan sosiologis seni.
Standard-standard estetika dan bentuk organisasional kriya:
penghampiran teoretis
Sebagai sebuah karya, kriya tentu saja mempunyai standard-standard yang
membedakannya dengan seni rupa lainnya. Sebuah ranjang ukir dari Jepara,
misalnya, pasti mempunyai standard penciptaan yang berbeda dengan sebuah
lukisan abstrak. Tentang persoalan tersebut Becker dalam bukunya Art Worlds,
menjelaskan:
Sebagai ideologi karya, estetika, dan bentuk organisasi karya, kriya benar-benar
mampu dan benar-benar mengeksiskan dunia seni, para praktisi, definisi-definisinya
secara independen. Dalam definisi rakyat, kriya terdiri dari seperangkat

pengetahuan dan kemampuan (skills) yang bisa digunakan untuk memproduksi
objek-objek yang bernilai guna, seperti piring, kursi, dan lain-lain. (1982: 273)

Definisi Becker di atas menyiratkan betapa kriya sebenarnya mampu
membangun dan mengembangkan jagat seninya sendiri dan membuatnya
berbeda dengan jagat seni yang lain.

2

Dengan kata lain kriya mensyaratkan pengetahuan dan kemampuan yang
mempunyai karakteristik sendiri dan berimplikasi pada kerja produksi para
pekerja/kriyawan (craftsmen/craftspersons) serta jaringan distribusi dan konsumsi.
Lebih jauh Becker menambahkan:
Definisi kriya sebagai pengetahuan dan skill yang menghasilkan aktivitas-aktivitas
dan objek-objek bernilai guna mengimplikasikan sebuah estetika—standard yang
bisa dijadikan dasar bagi penilaian item karya—dan juga sebuah bentuk
organisasional yang mana standard evaluatif menemukan asal-muasal serta
justifikasi logisnya. Bentuk organisasional merupakan sebuah bentuk (relasi, pen)
dimana para pekerja mengerjakan karya-karyanya untuk orang lain—klien,
pelanggan, ataupun juragan—yang menentukan apa-apa yang harus dikerjakan dan

bagaimana seharunya karya yang dihasilkan. Para juragan paham bahwa para
pekerja mempunyai kemampuan dan pengetahuan khusus namun merekalah yang
menentukan karya yang dihasilkan. Para pekerja memang lebih mengerti bagaimana
harus mengerjakan sesuatu yang tidak dipahami oleh mereka yang tidak bergulat
dalam jagat kriya, namun mereka tetap menghargai hak juragan sebagai kata
terakhir.…Meskipun seorang pekerja terkadang membuat karya untuk
kepentingannya sendiri (terlepas dari kepentingan juragan, pen), objek yang
dihasilkan tetap saja dibuat untuk melayani kebutuhan seseorang sebagai objek yang
bernilai guna. (ibid.hlm.274)

Penjelasan Becker di atas menggambarkan betapa standard estetika karya
kriya sangat ditentukan oleh kepentingan orang-orang yang melingkari jagat
kreatifnya. Orang-orang tersebut antara lain adalah juragan, klien, dan
pelanggan. Karya kriya sebagai objek bernilai guna memang sangat ditentukan
oleh pihak-pihak tersebut. Para pekerja mau tidak mau harus menyesuaikan
dengan kepentingan dan standard karya yang mereka inginkan karena dari
merekalah para pekerja memperoleh penghasilan. Kalaupun mereka bisa
menghasilkan karya kriya sendiri tanpa harus bekerja pada seorang juragan, toh
mereka tetap harus memperhatikan selera dan kecenderungan estetika yang
diinginkan dan digemari oleh para pelanggannya atau pasar secara umum.

Sepandai apapun tukang ukir Jepara, misalnya, ketika mereka bekerja kepada
juragan, maka ia harus mengikuti standard-standard yang dibuat oleh juragan.
Mungkin mereka bisa membuat desain yang cukup bagus dibanding desaindesain lainnya, namun penilaian akhir layak atau tidaknya desain tersebut untuk
diproduksi secara massif sangat tergantung pada keinginan dan penilaian dari
juragannya. Para juragan tentu saja tetap mempertimbangkan kemungkinan
pemasaran karya, apakah akan mendapatkan sambutan positif atau sebaliknya.
Maka dari itu para juragan cenderung memilih cara aman dengan mengikuti
trend yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kalaupun harus

3

dimunculkan sebuah desain baru, maka para juragan tidak akan berani membuat
dalam jumlah yang massif, tetapi sekedar membuat contoh-contoh karya
terbatas. Setelah ada respons positif, barulah mereka menyuruh para pekerjanya
untuk membuat karya baru tersebut dalam jumlah massif.
Karena bekerja untuk melayani kepentingan dan kepuasan pihak-pihak yang
mau membayar karya-karya mereka, maka seorang pekerja kriya harus
mempunyai standard estetika untuk diri mereka sendiri, yakni virtuoso skill,
sebuah keahlian yang mumpuni. Dengan keahlian itulah, seorang pekerja kriya
mampu mengerjakan sebuah karya kriya yang rumit dalam tempo yang cepat

dan hasil yang cukup memuaskan. Untuk hal ini Becker menjelaskan:
Sebagian besar karya kriya sangatlah sulit dalam pengerjaannya dan mensyaratakan
waktu tahunan untuk menguasai keahlian fisik serta disiplin mental guna menjadi
praktisi kelas wahid. Seorang ahli, yang menguasai skill, mempunyai kontrol yang
cukup terhadap material-material kriya, bisa mengerjakan apa saja dengan material
tersebut, bisa bekerja dengan cepat, serta bisa mengerjakan pekerjaan berat sebagai
pekerjaan yang tampak begitu mudah…Objek khusus dari keahlian memang
berbeda antara bidang kriya yang satu dan yang lain, namun selalu saja melibatakan
kontrol ekstra terhadap material dan teknik. Terkadang keahlian juga melibatkan
penguasaan terhadap beragam teknik, tidak hanya mampu mengerjakan karya lebih
baik dari yang lain, tetapi mampu mengerjakan lebih banyak hal lagi. (ibid.hlm.275)

Dari konteks keahlian tersebut, bisa dikatakan seorang kriyawan juga
mempunyai keterampilan (craftsmanship) yang tidak kalah hebat dengan para
pelukis. Yang membedakan kemudian adalah pada unsur inovasi karya. Para
pelukis selalu berusaha menemukan teknik, desain, maupun tema yang
membuatnya berbeda dengan karya-karya lain, sehingga karya mereka yang
mempunyai karakteristik—baik dari sisi kualitas garapan maupun tematiknya—
dan akan berakibat pada tingginya apresiasi para kurator. Dengan demikian
harga jualnya di kalangan kolektor juga akan meningkat. Sedangkan para

kriyawan cenderung meneruskan teknik-teknik penggarapan dan desain yang
sudah biasa dan menjadi trend, kurang berpikir inovatif.
Yang tidak kalah pentingnya dalam standard estetik karya kriya adalah
keindahan (beauty). Memang pada setiap karya seni rupa yang lain, unsur
keindahan juga menjadi kata kunci yang sukup siginifikan dalam penilaian
estetisnya. Namun, keindahan yang ada dalam karya kriya, tentu saja agak
berbeda bila dibandingkan dengan karya seni rupa yang lain.

4

Beberapa karya kriya berkembang dalam tradisinya sendiri dan memiliki rasa
keindahan yang memenuhi standard estetika dan selera. Baik pembuat maupun
pengguna berpikir bahwa beberapa benda furniture mempunyai kualitas keindahan
yang membuatnya berbeda, di samping bernilai guna. Memang tidak banyak orang
yang mempedulikan perbedaan ini di antara objek-objek kriya perabotan. Namun
mereka yang benar-benar peduli, menambahkan rasa keindahan dalam kegunaan dan
keahlian sebagai kriteria ketiga untuk penilaian yang mana menginformasikan
aktivitas keseharian mereka. Keindahan menjadi kriteria tambahan yang digunakan
para ahli/penilai (connoisseur) untuk memberikan penilaian. Keindahan juga menjadi
standard yang harus dipenuhi oleh para pekerja. (ibid)


Dari konteks keindahan ini, harga sebuah benda kriya, semisal lemari, akan
berbeda antara satu produk dengan produk lainnya. Lemari yang digarap dengan
sentuhan keindahan ornamen ukir yang membutuhkan keahlian tersendiri tentu
saja akan lebih mahal dengan lemari yang hanya dibiarkan polos, tanpa ukiran.
Keindahan dalam karya kriya bisa berasal dari beberapa inspirasi kreatif berupa
desain,

seperti

dari

desain

binatang,

tumbuhan,

ataupun


cerita-cerita

pewayangan. Desain-desain tersebut memberikan keindahan yang bisa
mengangkat citra karya dan pada akhirnya bisa mendongkrak harga penjualan.

Kriyawan biasa, kriyawan-seniman, dan perupa kontemporer-berdimensi
kriya: kutub-kutub yang berbeda
Persoalan keindahan dan nilai filosofis sebuah karya seringkali menjadi
pemicu kritik yang kurang mengenakkan bagi karya kriya. Karena cenderung
mengusung nilai fungsional, betapapun indahnya sebuah karya kriya—yang
mungkin ditunjukkan dengan desain ukiran, misalnya—masih saja dianggap
sebagai produk yang kurang bernilai filosofis dan indah. Kalaupun indah, tetap
saja sebuah produk dianggap biasa karena tertutupi oleh nilai fungsionalnya dan
seringkali sebuah karya yang indah diproduksi lebih dari satu sehingga
keindahannya menjadi biasa. Hal itu berbeda dengan seni lukis yang
mengedepankan nilai filosofis dan keindahan yang bersifat emotif dan pada
umumnya sebuah karya hanya diproduksi tidak lebih dari satu sehingga
mendongkrak citra yang dibangun oleh para kurator dan berakibat pada
tingginya nilai jual.
Kondisi di atas dalam perkembangan seni kriya menghasilkan dua kutub

kriyawan, yakni kriyawan biasa (ordinary craftsmen) dan kriyawan-seniman
(artist-craftsman). Dua kutub kriyawan tersebut kemudian menghasilkan karya
kriya yang disebut Guntur sebagai (1) kriya rakyat (folk crafts) dan (2) kriya

5

studio (studio crafts).3 Kriyawan biasa/rakyat, seperti dibahas pada subbab
sebelumnya, adalah mereka yang membuat karya kriya beradasarkan
pengetahuan tradisional yang berkembang dalam masyarakat serta orientasi
produknya diarahkan pada kebutuhan fungsional yang berkembang di
masyarakat sehingga lebih berorientasi komersil murni serta terkesan kurang
berorientasi ideologis-filosofis. Dan patron dari para kriyawannya adalah para
juragan yang mempekerjakan mereka serta para konsumen dari rakyat
kebanyakan. Di Indonesia, realitas ini bisa kita jumpai di wilayah Jepara dan
Pasuruan yang terkenal dengan kerajinan perabotan kayu ukirnya.

Gambar 1
Meja kepiting, karya Suhud,
Desa Sukodono, Kec.
Tahunan, Jepara
(Courtesy Sri Krisnanto)

Gambar 2
Meja kepala kuda, karya
Suhud, Desa Sukodono, Kec.
Tahunan, Jepara
(Courtesy Sri Krisnanto)

Contoh karya Suhud di atas menunjukkan bahwa kriya rakyat pada dasarnya
juga tidak bisa dilepaskan dari unsur keindahan. Meja kepala kuda dan meja
kepiting, merupakan dua conton riil, betapa para seniman biasa juga
memperhatikan keindahan serta unsur-unsur estetik lainnya. Kesan keindahan
yang melekat pada kedua karya tersebut cenderung bersifat dekoratif dengan
memanfaatkan inspirasi dari binatang. Dari perspektif pemaknaan filosofissemiotik, motif binatang tersebut memang hanya mengandung makna denotatif,

3 Kriya rakyat dikelola secara tradisional, komunal, kolektif, dan subsisten serat berbasis di
pedesaan dengan atmosfer sosio-budayanya sendiri. Kriya studio lebih berdimensi individulitas,
autentisitas, orisinalitas, dan ekspresionisme serta berbasisdi studio-studio di kota. Guntur.2001.
Teba Kriya.Surakarta:Artha 28.hlm.24-25.

6

begitulah adanya. Mungkin Suhud ingin meletakkan makna bahwa siapa yang
memiliki kedua meja tersebut terkesan memiliki kepribadian yang “kuat” (sekuat
cengkraman kepiting) dan “dinamis” (selincah lari kuda). Namun, makna tersebut
tidak menjadi filosofis karena dilekatkan pada benda fungsional bernama “meja”
sehingga terkesan hanya “tempelan” belaka.
Berkurangnya pemaknaan filosofis ini pada akhirnya juga menyebabkan nilai
jual yang menjadi tidak begitu mahal bila dibandingkan dengan harga seni rupa
murni. Tidak adanya campur tangan kritikus dan kurator dalam memberikan
apresiasi dan pemaknaan, menyebabkan para kriyawan rakyat melakukan
penjualan langsung kepada para konsumen sehingga menjadikan harganya tidak
begitu mahal. Dan mungkin, para kriyawan biasa tersebut lebih melihat pada
tenaga, bahan, dan nilai guna dari penciptaan karya tersebut, serta mereka
memperhatikan pasar. Meskipun bahan, tenaga, dan ketrampilan yang mereka
gunakan terbilang tidak gampang dan tidak murah, tapi karena mereka ingin
karya mereka cepat laku di pasaran, maka mereka tidak berani memasang harga
yang terlalu mahal. Harga meja kepiting berkisar antara Rp. 1.000.000,- hingga
Rp. 2.250.000,- (tergantung ukurannya). Sedangkan harga meja kuda adalah Rp.
1.000.000,-. (Krisnanto, 1999: 97)
Kriya rakyat juga mempunyai sistem kerja yang bersifat sangat komunal.
Suhud, memang seorang juragan, tetapi ia juga sekaligus kriyawan. Dalam
kerjanya, Sujud dibantu banyak kriyawan lain yang sudah mempunyai job
sendiri-sendiri, dari mengolah bahan mentah, mengukir, hingga menghaluskan.
Namun ia juga mempunyai toko untuk menjual karya-karya yang dihasilkan dari
sanggarnya, dimana ia juga mempekerjakan para penjaga toko hinggga tukang
angkut dan sopir angkutan untuk mengantarkan barang ke pembeli. Sujud dalam
hal ini dikategorikan sebagai kriyawan yang multi-talenta. Memang ada juga
kriyawan yang bekerja pada juragan yang semata-mata mengelola bisnis bendabenda kriya.
Sementara, para kriyawan-seniman cenderung lebih ambisius dalam hal
tujuan dan ideologi dari penciptaan sebuah karya. Tentang hal tersebut Becker
menjelaskan:

7

Karya para kriyawan seniman, dengan beberapa klaim yang dilontarkan oleh para
kustodian seni rupa konvensional—kolektor, kurator, dan pemilik galeri—
menemukan setting organisasional baru, yang secara parsial membebaskan
kriyawan-seniman dari batasan-batasan yang melekat pada karakteristik hubungan
juragan-pekerja dari posisi murni kriyawan. Dengan membawa bendera “seni
minor”, objek kriya yang indah dipamerkan di museum, memenangkan hadiah untuk
keindahannya, berkontribusi bagi reputasi kriyawan yang membuatnya, menjadi
subjek buku, memberikan kesempatan untuk mendemonstrasikan ‘bagaimana cara
membuatnya, dan bahkan menjadikan kriyawannya mendapat kesempatan untuk
menjadi pengajar. Pendek kata, sebenarnya para kriyawan-seniman tersebut tidak
hanya membuat pembedaan antara objek kriya yang indah dan biasa, tetapi ada hasil
substansial.(Op.cit.hlm.277)

Paparan di atas menunjukkan betapa para kriyawan-seniman dalam proses
kreatifnya lebih banyak mendekati standard-standard estetika seni rupa murni.
Dengan memamerkan karya mereka di museum ataupun galeri serta
mendapatkan apresiasi dan penghargaan dari para kritikus, kurator, kolektor,
maupun para pemilik galeri, para kriyawan-seniman merasa masih menjadi
bagian dari seni rupa murni, baik secara teknik, keindahan, maupun filosofis.
Museum maupun galeri, bagaimanapun juga, sampai saat ini masih dianggap
sebagai representasi otoritas budaya yang bernilai tinggi karena mengusung
tradisi

saintifik.

Mengenai

hal

ini

Attiwil—sebagaimana

dikutip

Lueckenhausen—menjelaskan:
Objek-objek boleh berubah namun secara esensial museum-museum tetap terus
bekerja dalam premis yang sama—sebagai instrumen pengumpul dan penentu
berdasarkan rasionalisme saintifik dan perspektivalisme Cartesian. Posisi mereka
sebagai representasi otoritatif kebudayaan serta sebagai ‘kontainer’ pengetahuan
yang benar dan nyata, terasa sangat solid dan tidak bisa ditolak lagi. (1997: 33)

Dengan menggelar pameran di museum, maka para kriyawan-seniman akan
mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari seni rupa murni yang bernilai
saintifik dalam perspekti kebudayaan. Dengan menjadi bagian dari seni rupa
murni, maka karya-karya para kriyawan-seniman mendapatkan legalitas tentang
ide/gagasan, teknik penciptaan, keindahan, dan, tentu saja, nilai-nilai filosofisnya
sehingga bisa terangkat citra dan nilainya. Kriya tidak semata-mata menjadi
objek fungsional yang hanya menjual ‘keindahan permukaan’ berbalut nilai guna.
Lebih dari itu, kriya bisa menjadi karya yang mencurahkan pikiran, emosi, serta
gagasan filosofis di dalamnya. Mungkinkah karya kriya bisa menjadi sedahsyat
itu?

8

Suwarno—kritikus dan kurator seni rupa dari ISI Yogyakarta—yakin bahwa
sebenarnya kriya bisa menjadi produk estetik yang dahsyat karena pada dasarnya
kriya mempunyai kelebihan-kelebihan yang seharusnya bisa terus dieksplorasi.
Saya membayangkan, demikianlah seharusnya proses kreatif berkesenian
dilangsungkan. Tak hanya berkutat soal material dan teknik yang sesungguhnya
miskin, serta ide yang seringkali tidak jelas. Akan tetapi melibatkan seluruh energi
lahir batin; material dan teknik prima, serta gagasan yang memiliki sumber dan akar
yang jelas sebagai titik pijak orientasi. Bayangan atau impian saya tentang proses
kreatif yang demikian itu, paling dekat bisa ditemukan adalah (semestinya) di dalam
dunia seni kriya. Karena dalam pandangan saya, pertama, seni kriya memiliki sumber
yang demikian kaya untuk diolah. Kedua, sesuai fitrahnya, seni kriya mengandalkan
keterampilan tinggi (craftsmanship). Maka bisa dibayangkan, apa yang terjadi
seandainya seni kriya ‘mengingkari’ potensi dasar yang melekat pada dirinya.
Menghancurkan diri sendiri? Ya, karena menyia-nyiakan potensi.4

Statemen Suwarno di atas menyiratkan optimisme yang seharusnya
melingkupi proses kreatif para kriyawan-seniman. Dengan banyaknya sumber
yang bisa diolah—dari kayu, kulit, besi, dan lain-lain—para seniman kriya
seharusnya bisa mengeksplorasi gagasan-gagasan filosofis yang terbebas dari
nilai fungsi dengan ketrampilan tinggi yang mereka kuasai. Pandangan tersebut,
sekali lagi, semakin mempertegas bahwa kriya studio yang dihasilkan para
kriyawan-seniman—yang sebagian besar berasal dari kalangan kampus—pada
dasarnya lebih dekat pada standard estetika seni rupa murni.

Gambar 4
Cakramanggilingan,
karya Bagus Indrayana
(Courtesy Bagus Indrayana)

4

Gambar 5
Mahkota,karya Bagus
Indrayana
(Courtesy Bagus Indrayana

Suwarno.Op.cit.

9

Sementara, Bagus Indrayana merupakan contoh kriyawan-seniman. Dengan
latar belakang pendidikan kriya di ISI Yogyakarta—dan kini menjadi pengajar
kriya di ISI Surakarta—Bagus mengembangkan kriya dalam konteks seni yang
berdimensi filosofis-ideologis. Dengan tetap mendasarkan karyanya pada basis
kriya, Bagus berusaha memberikan pemaknaan baru, bahwa karya kriya juga
mampu menghadirkan fungsi kontemplatif-emotif dengan desain-desain yang
disesuaikan tema-tema filosofis-ideologis tertentu. Dengan craftsmanship yang
cukup mumpuni, Bagus ingin mengola tema-tema adiluhung yang seputar
kehidupan dengan idiom-idiom yang banyak berkembang dalam masyarakat.
Dalam Cakramanggilingan, misalnya, Bagus begitu jeli mengola cerita klasik
pewayangan dalam sebuah sentuhan kriya yang halus. Dari karya ini kita bisa
melihat betapa makna filosofis menjadi sangat dominan, yang tergambar dengan
nyala api maupun simbol-simbol trisula. Dalam Mahkota, kita juga bisa
menemukan simbol-simbol serupa. Dengan nyala api dan trisula, Bagus seperti
ingin memberikan pemahaman mendalam tentang makna kehidupan itu sendiri.
“Cakramanggilingan adalah roda kehidupan yang selalu berputar, ada kalanya di
atas, begitupula sebaliknya. Trisula unik karena menyiratkan pesan bahwa ada yang
‘lebih tinggi’ dibanding yang lain. Sedangkan untuk nyala api, lebih pada spirit
kehidupan.”5

Untuk mendapatkan ‘pengakuan’ akan makna filosofis-ideologis yang
disampaikan lewat karya-karyanya, Bagus menggelar pamerannya di Bentara
Budaya Yogyakarta, 15-22 Desember 2006. Di samping itu, ia juga meminta
Suwarno Wisetrotomo, kritikus dan kurator seni rupa, untuk memberikan
pengantar pada katalog pameran tunggalnya tersebut. Dengan menggunakan
institusi Bentara Budaya dan juga pengantar dari Suwarno, Bagus secara tersirat
sebenarnya ingin mengatakan kepada publik bahwa karya kriya seni yang
dihasilkannya juga layak diapresiasi. Hal itu merupakan sesuatu yang wajar di
tengah-tengah perkembangan seni rupa mutakhir, apalagi kriya seni selama ini
memang kurang mendapatkan respons apresiatif.

5 Lebih jauh Bagus mengatakan bahwa trisula juga menggambarkan tiga aspek kehidupan
manusia: kelahiran, kehidupan, dan kematian. Di dalam ketiganya, kesedihan dan kegembiraan
selalu datang silih berganti. “Nyala Kehidupan dalam Pahatan”, Kompas Yogyakarta, 21 Desember
2006.

10

Dalam perkembangan lanjut, muncul kalangan perupa kontemporer yang
mengambil ketrampilan dan bahan dari seni kriya sebagai basis proses kreatif
yang dipadukan dengan ketrampilan seni rupa murni.
Tipe baru seniman dalam kriya menciptakan standard nonutilitarian yang baru dan
agresif. Hanya kegunaan yang didefinisikan oleh jagat seni (jagat seni rupa murni,
pen) yang mana di dalamnya mereka berpartisipasi yang menarik perhatian mereka.
Kegunaan seni yang secara tipikal melibatkan kegunaan sebagai objek kontemplasi
estetik, objek koleksi dan pameran-pameran, dan sebagai item-item investasi serta
pencapaian finansial, namun bukan kegunaan praktis sebagaimana didefinisikan oleh
fungsi dan organisasi dari jagat lain (jagat kriya, misalnya, pen). Para seniman yang
menginvasi kriya ingin memastikan bahwa karya-karya mereka tidak bisa digunakan
oleh orang-orang yang sebelumnya sudah biasa menggunakannya…Para seniman
dengan standard baru itu menciptakan pemahaman bahwa kegunaan dari sebuah
karya hanyalah sebagai seni—yang harus dihargai, diapresiasi, dan dialami. Para
seniman itu mengkritisi virtuositas dari para kriyawan beraliran kuno. Mereka
menemukan dan menciptakan kontinyuitas sadar dengan karya dalam area-area seni
lainnya, terutama area tradisional dari seni lukis dan patung. Mereka
mengumumkan independensinya dari ide-ide lain serta mengkritisi segala usaha
yang membatasi karya mereka sebatas pada keguanaanya. (Becker, Op.cit.hlm 278281)

Para

perupa

kontemporer-berdimensi

kriya

ini

sebenarnya

tetap

menggunakan patokan seni rupa murni yang dianggap sebagai bagian dari
budaya tinggi ketika memadukan keterampilan dan bahan kriya pada karyakarya kreatif mereka. Mereka tetap menggunakan standard estetika seni rupa
murni yang berdimensi emotif-ideologis di dalam racikan kriya. Dalam kasus
Indonesia kita bisa menemukannya dalam karya-karya para perupa kontemporer
yang bernuansa instalatif, seperti dalam karya-karya Heri Dono. Karena
membakukan standard seni rupa murni dalam karya mereka, maka ‘ruang sosial’
karya tersebut sebatas pada pameran-pameran di museum atau galeri sehingga
karya mereka tidak bernilai fungsional sama sekali. Yang membedakannya
dengan para kriyawan-seniman adalah asal-muasal mereka. Kalau kriyawanseniman berasal dari disiplin kriya itu sendiri, para perupa kontemporerberdimensi kriya ini berasal dari disiplin seni rupa murni.

Membaca kriya dalam jagat seni rupa:
melintasi perspektif Adorno, Gans, Foucault hingga Bourdieu
Munculnya, kriyawan-seni yang kebanyakan berasal dari kalangan akademis
serta para perupa-berdimensi kriya, tentu saja menarik untuk dikaji lebih lanjut
karena akan berkaitan dengan konstalasi pengetahuan dan selera dalam seni rupa

11

pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Dari persoalan itu pula,
nantinya kita bisa melacak kondisi yang menyebabkan kriya—terutama kriya
rakyat—jarang mendapatkan apresiasi dari para kritikus seni rupa saat ini.
Perkembangan wacana kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari ‘pertikaianpertikaian’ seputar wacana tentang eksistensi budaya tinggi (high culture), budaya
populer/massa (popular/mass culture)—atau dalam perspektif Adorno lebih
dikenal dengan industri budaya (culture industry), dan budaya rakyat (folk culture).
Permasalahan yang seringkali terjadi lebih berkaitan dengan persoalan mutu
intelektualitas karya, partisipan, selera, dan pengaruh masing-masing budaya
terhadap masyarakat.
Budaya tinggi sering didefinisikan sebagai bentuk-bentuk budaya yang
mewakili kelas elit masyarakat terdidik yang mengedepankan selera bermutu
tinggi dan dikerjakan oleh para seniman bertalenta yang benar-benar
berorientasi pada karya, bukan semata-mata audiens. Dalam hal mutu karya, seni
dalam budaya tinggi lebih berorientasi pada keterampilan dan kecerdasan para
kreatornya—penulis serius, pelukis, dan sejenisnya— serta kepandaian para
kritikus dan kuratornyanya sehingga mewujud dalam karya-karya yang serius
pula, seperti orkestra, novel, teater, maupun lukisan. Karena keseriusan dalam
penggarapan, maka karya-karya seni dalam budaya tinggi dianggap mampu
memberikan sentuhan emotif yang mencerahkan secara filosofis. Audiens dari
seni dari budaya tinggi adalah mereka yang berasal dari kalangan elit dengan
tingkat ekonomi dan pendidikan yang mumpuni.6

6

Dalam pandangan Gans terdapat dua jenis audiens/pengguna dari seni dari budaya tinggi,
yakni: (1) para pengguna yang berorientasi pada seniman (the creator-oriented) yang memandang
karya dari perspektif si seniman dan (2) para pengguna yang berorientasi pada diri mereka
sendiri (user-oriented), yang berpartisipasi dalam budaya tinggi lebih tertarik pada produk
seniman ketimbang pada metode-metode penciptaannya. Namun, di antara kreator dan kedua
jenis audiens tersebut terdapat persamaan, yakni bahwa hampir semua dari mereka berpendidikan
tinggi dan berasal dari kelas atas (upper class) serta kelas menengah-atas (upper-middle class), dan
sebagian bekerja dalam sektor akademik dan profesional lainnya. Herbert J. Gans.1974. Populer
Culture and High Culture.New York: Basic Books.hlm.75-76.

12

Sementara budaya populer/massa/industri budaya7 lebih banyak didefinsikan
sebagai produk budaya massif-industrial yang sepenuhnya berorientasi pada
audiens/pengguna sehingga semua bersifat serba standard, seragam, serta
berasal dari komodifikasi dari hal dan peristiwa yang bersifat sepele dalam
kehidupan sehari-hari. Para kreator dari budaya populer adalah seniman-seniman
ber-skill yang dibayar oleh para pengusaha untuk menciptakan produk yang
massif. Para pengguna dari budaya populerkan adalah mereka yang berasal dari
rakyat

kebanyakan—massa—yang

berpendidikan

rendah

serta

kurang

memahami cita rasa seni berselera tinggi. Dengan demikian budaya populer lebih
identik dengan budaya yang rendah, kurang bermutu, remeh-temeh, dangkal,
tidak mencerahkan, menjadikan massa konsumtif, dan menciptakan kepasifan.
Lebih lanjut menjelaskan bahwa budaya populer seringkali dianggap (1) sematamata berorientasi pada komersialitas; (2) mengganggu kemapanan budaya tinggi
karena budaya populer seringkali mengambil sumber dari budaya tinggi; (3)
menjadikan para audiensnya agresif dan anarkis, dan; (4) merusak tatanan norma
dan aturan yang ada dalam masyarakat.8 Contoh produk budaya populer adalah
musik industri, film, tayangan televisi, media cetak, dan lain-lain.
Sementara budaya rakyat (folk culture) berada di posisi yang berbeda dengan
budaya tinggi atau budaya populer. Budaya rakyat merupakan bentuk budaya
yang dikembangkan secara komunal oleh masyarakat pedesaan berdasarkan
standard estetika yang mereka warisi secara turun-temurun dari para pendahulu
mereka dan terkesan apa adanya. Sebagai bentuk budaya komunal, budaya rakyat
mengembangkan jenis kesenian yang bisa dipertunjukkan secara partisipatif di
depan audiens yang mempunyai kolektivitas secara psikis.9 Kesenian rakyat
biasanya dimainkan secara kolektif dengan medan permainan di tanah lapang

7 Adorno tidak mau menggunakan istilah budaya populer maupun budaya massa karena istilah
budaya massa lebih mengesankan pembelaan dari para kreator dan jajaran manajemennya yang
menjadikan budaya massa seolah-olah sebagai bentuk budaya yang langsung berasal dari
massa—rakyat kebanyakan, sebuah bentuk kontemporer dari seni populer. Industri budaya lebih
bermakna bentuk-bentuk budaya yang ditujukan pada konsumsi massa sehingga bersifat serba
standard dan seragam. Untuk pembahasan lebih jauh bisa dibaca di Theodor W. Adorno and
Max Hokheimer, The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception, dalam www.marxist.org.
dan Theodor W. Adorno.1997. “Culture Industry Reconsidered”, dalam Paul Marris and Sue
Tornham (eds). Media Studies: A Reader. Edinburgh: Edinburgh University Press.hlm.24.
8 Gans.Op.cit.hlm.19-50.
9 Lebih jauh tentang hal ini bisa dibaca dalam Arnold Hausser.1979. The Sociology of Art. Chicago:
The University of Chicago Press.hlm.562-579.

13

atau halaman-halaman rumah. Contoh dari budaya rakyat adalah jaranan,
angguk, ludruk, reog, maupun ritual seperti bersih desa.
Paparan di atas menunjukkan betapa dalam perkembangan wacana kesenian
dan kebudayaan, peran status—baik ekonomi maupun sosial, tingkat pendidikan,
proses penciptaan karya oleh seniman, selera, hingga audiens tetap menempati
posisi sentral. Pertimbangan-pertimbangan itulah yang kemudian semakin
menciptakan perbedaan pemaknaan dan penggunaan benda-benda budaya dan
pada akhirnya menciptakan perbedaan kelompok sosial dalam masyarakat.
Seni rupa pada dasarnya merupakan salah satu bentuk dari budaya tinggi
yang tetap berkembang hingga dewasa ini. Seni rupa secara umum terdiri dari
seni lukis (seni rupa murni), seni patung, seni kriya, dan desain grafiis. Dalam
perkembangannya, seni lukislah yang menempati posisi kultural yang lebih
tinggi di tengah-tengah masyarakat. Hal itu tentu saja tidak bisa dilepaskan dari
citra-citra yang melingkupinya. Dalam pemahaman penulis, seni lukis dikatakan
lebih ‘nyeni’ karena beberapa faktor. Pertama, para pelukis merupakan individuindividu yang mempunyai talenta lebih dalam mengekspresikan pesan-pesan
filosofis. Kedua, seni lukis lebih mengedepankan nilai-nilai filosofis-ideologis
bernuansa humanisme. Ketiga, seni lukis mewakili intelektualitas karena untuk
memahaminya dibutuhkan bantuan dari para kurator. Keempat, sebuah lukisan
diproduksi selalu dalam edisi tunggal, artinya tidak mungkin sebuah lukisan
masterpiece dibuat lebih dari satu kecuali bentuk repronya. Faktor-faktor itulah
yang menjadikan seni lukis mendapatkan posisi terhormat dalam jagat seni rupa.
Faktor-faktor tersebut dalam istilah Foucault merupakan wacana (discourse)
yang sengaja dikembangkan.10 Karena wacana seni lukis sebagai seni bercitarasa
tinggi tersebut terus diperbincangkan dalam masyarakat, maka lama-kelamaan ia
menjadi pengetahuan (knowledge) yang diyakini kebenarannya dalam masyarakat.
Pengetahuan tersebut telah menjadi rezim kebenaran (regime of truth), dan
menempatkan wacana lain yang berbeda sebagai sang liyan (the others).
Pengetahuan tersebut akhirnya melahirkan institusi dan aparatus diskursif
10

Untuk pembahasan ini, penulis mengambil kerangka teori representasi pengetahuan dan kuasa
yang dikembangkan Stuart Hall—salah satu pemikir cultural studies di Birmingham Inggris—
yang mendasarkan salah satu kajian teoretiknya pada teori yang dikembangkan Michel Foucault,
knowledge and power. Stuart Hall.1997. “The Work of Representation”, dalam Stuart Hall (eds).
Representation: Cultural Representation and Signifying Practices.London: Sage Publications in
association with The Open University Press.hlm.41-63.

14

bernama museum, galeri, kurator, kritikus, dan kolektor. Institusi dan aparatus
inilah yang bergerak dan beroperasi secara kontinyu dan saling terhubung satu
sama lain sehingga semakin meninggikan status seni lukis. Dalam konteks itulah
sebenarnya tengah berlangsung sebuah relasi kuasa yang dibangun melalui
sebuah representasi pengetahuan. Representasi intelektualitas dan lingkaran
ideologis-filosofis inilah yang kemudian menjadikan anggota kelas elit dalam
masyarakat berusaha untuk mengkoleksi karya-karya lukis dari para seniman
yang sudah mempunyai reputasi. Dalam konteks status sosial, koleksi lukisan
dari para pelukis bereputasi sebenarnya ikut memapankan posisi mereka dalam
kelas elit berbudaya tinggi sehingga semakin membedakan mereka dari kelas
sosial lainnya.
Sedangkan

seni

kriya—terutama

kriya

rakyat—dianggap

kurang

merepresentasikan makna filosofis-ideologis sehingga kurang mendapatkan
posisi terhormat dalam konstalasi seni rupa. Akibatnya, meskipun sebuah
ranjang ukir Jepara berharga 3-5 juta, hal itu belum mampu mengangkat citra
intelektualitasnya karena lebih dekat dengan nilai fungsionalnya. Lagi pula,
banyaknya jumlah kriya yang dibuat dalam model dan desain yang sama
menjadikan karya kriya rakyat sebagai produk biasa karena dimiliki banyak
orang sehingga kesan simbolik yang ditampilkan tidaklah istimewa. Berbeda
dengan lukisan masterpiece yang jumlahnya hanya satu sehingga si pemilik akan
tedongkrak citranya. Hal itu pula yang menjadikan para kritikus ataupun kurator
‘menegasikan’ potensi perkembangan seni kriya rakyat di Indonesia. Usaha para
kriyawan-seniman untuk mendekatkan produk-produknya pada standard estetika
seni rupa murni memang bisa dilihat sebagai perjuangan ambisius, namun
sampai saat ini toh belum mampu mensejajarkan karya mereka dengan karya
para pelukis murni, meskipun sudah banyak perguruan tinggi seni yang
membuka jurusan kriya. Lagi-lagi ini tidak lepas dari relasi kuasa yang dibangun
oleh institusi dan aparatus diskursif yang menjadikan seni lukis sebagai seni
‘nomor wahid’.
Dalam konteks itulah kita perlu kembali menengok pemikiran yang
dikembangkan oleh Bourdiue dalam memandang persoalan selera seni dan
implikasinya dalam memapankan perbedaan kelas sosial. Zolberg menjelaskan
pemikiran Bourdieu dalam sebuah konsepsi teoretik sebagai berikut.

15

Dia memandang preferensi cita rasa sebagai tanda-tanda budaya yang ikut
mendorong keberlanjutan ketidaksamaan sosial, sehingga mereka yang berasal dari
kelas dominan menenggelamkan diri dalam cita rasa dan fasilitas dalam pameran
dari lahir hingga dewasa. Dengan demikian mereka semakin memancarkan
superioritasnya dalam masyarakat. Dalam ‘habitus’ mereka, status sosial mereka
muncul sebagai sesuatu yang natural (secara virtual), yang mana bagi mereka yang
tidak beruntung haruslah berjuang untuk memperoleh habitus tinggi yang
dihadiahkan. Namun kenyataannya, semua itu melewati mereka. Akhirnya, pilihan
mereka hanyalah mengakui bahwa kebesaran budaya tinggi bukanlah ditakdirkan.
(1990: 156)

Mengikuti alur pemikiran di atas, budaya tinggi dengan segala representasi
kultural—termasuk seni lukis—telah menjadi kebiasaan yang dijalani secara
terus-menerus oleh kelas elit bermodal besar. Kebiasaan yang dijalani ini
kemudian menjadi sesuatu yang terkesan natural, memang begitu adanya
sehingga melahirkan habitus. Bagi kelas subordinat yang tidak mempuyai modal
besar, sekeras apapun berusaha, mereka tetap tidak mampu untuk mengkonsumsi
benda-benda kultural dari budaya tinggi sebagaimana yang dikonsumsi kelas
dominan. Sekuat apapun usaha tukang becak, mereka tetap tidak akan mampu
membeli lukisan Joko Pekik yang dikatakan banyak bermuatan kritik sosial itu.
Yang bisa dilakukan mungkin hanyalah membeli gelang dari batok kelapa untuk
diberikan kepada anak-anaknya, itupun kalau mereka mendapatkan kelebihan
rezeki. Pada akhirnya kondisi itu memunculkan anggapan umum bahwa kelas
dominan memang sudah sewajarnya dekat dengan budaya tinggi, dengan
lukisan-lukisan berharga ratusan juta.
Ketika habitus-habitus ini terus berlangsung secara natural dalam sistem
sosial masyarakat, maka lahirlah “doksa” (doxa), kebiasaan-kebiasaan dalam
masyarakat yang sudah dianggap menjadi pengetahuan bersama yang mengikat
mereka.11 Bahwa orang-orang kaya menonton opera dan orang-orang miskin
harus menonton dangdut koplo memang sudah seharusnya seperti itu. Bahwa
kelas dominan megkoleksi lukisan-lukisan masterpiece dan kelas menengah ke
bawah cukup memajang wayang semar yang terbuat dari kulit atau kertas
memang sudah selayaknya begitu. Tidak perlu digugat dan tidak perlu
dipersoalkan lagi.
11

Bourdieu menambahkan bahwa instrumen pengetahuan dalam jagat sosial merupakan
instrumen politis yang memberi kontribusi pada reproduksi jagat sosial dengan memproduksi
keterikatan langsung pada jagat itu. Pierre Bourdieu.1994. “Structure, Habitus, Power: Basis for
Theory of Symbolic Power” dalam Nicholas B. Dirk, Geoff Eley, and Sherry B. Ortner (eds).
Culture/Power/History, A Reader in Contemporary Theory.Pricenton: Pricenton University
Press.hlm.162.

16

Dengan demikian klasifikasi sosial dalam strata kelas mendapatkan legalitas
simboliknya melalui perbedaan selera kultural yang berlangsung secara natural
dan terus-menerus. Dalam kajian Bourdieu kondisi itu disebut sebagai intolerance
aesthetic,

estetika

intoleransi.

Bourdieu—sebagaimana

dikutip

Storey—

memaparkan:
Estetik intoleransi bisa jadi kekerasan yang menakutkan....Sesuatu yang paling tidak
toleran bagi mereka yang merasa sebagai pemilik kebudayaan yang legitimate adalah
penyatuan kembali cita rasa yang ’tidak suci’ di mana cita rasa didikte untuk
terpisah. Hal ini berarti bahwa permainan seniman dan estetikus serta perjuangan
mereka bagi monopoli legitimasi artistik bukanlah tanpa maksud, seperti yang
ditampakkan. Pada dasarnya, dalam setiap perjuangan seni terdapat juga imposisi
bagi seni kehidupan, yakni transmutasi cara manasuka hidup menjadi cara hidup yang
legitimate yang mana menganggap setiap cara hidup lain sebagai sesuatu cara yang
manasuka. (1993: 192)

‘Keterpisahan selera estetik’ telah menjadi representasi dari ‘keterpisahan
kelas’. Kelas dominan dengan selera estetik tinggi menganggap selera estetik
kelas yang lebih rendah. Maka cara hidup yang dijalani oleh kelas subordinat
juga bisa dikatakan sebagai cara-cara yang manasuka, kurang intelektual.
Dengan demikian, kelas dominan mempunyai modal simbolik (symbolic capital)
untuk terus mempertahankan relasi kuasanya dalam masyarakat. Modal simbolik
itu berupa, misalnya, lukisan seharga ratusan juta. Dengan lukisan itu mereka
bisa mendapatkan citra-citra tinggi dari masyarakat di sekitarnya sehingga
mereka akan tetap dipandang sebagai kelas dominan yang bisa mengendalikan
masyarakat dalam sistem dominasi. Hal itu sejalan dengan apa yang dikatakan
Bordiue bahwa benda seni bisa menjadi sebuah modal simbolik bagi
berlangsungnya relasi kuasa dominasi dalam sebuah masyarakat.12
Lalu, mungkinkah karya kriya bisa menjadi modal simbolik? Mungkin saja.
Tentu saja kalau karya kriya seni yang dihasilkan para kriyawan-seniman sudah
mampu ‘menaklukkan’ nalar-nalar intelektual dalam balutan budaya tinggi yang
diusung para kurator dan pengelola museum/galeri sehingga harga karya
mereka bisa menyamai—atau paling tidak—mendekati harga seni lukis. Dengan
menaklukkan ranah tersebut maka, para kolektor akan merasa yakin untuk
membeli dan menjadikannya sebagai barang koleksi yang bernilai filosofis
sekaligus meningkatkan harga diri di mata masyarakat. Dan untuk produkproduk seni kriya rakyat, kiranya ia akan tetap menjadi benda fungsional yang
12

Bourdieu.Op.cit.hlm.181.

17

dibeli

oleh

rakyat

kebanyakan

sehingga

tetap

mengusung

citra-citra

konvensionalnya dan sulit menjadi modal simbolik kecuali terjadi perubahan
pengetahuan tentang seni rupa di dunia ini.
Simpulan: memberi nilai lebih pada kriya rakyat, mungkinkah?
Sebenarnya, kalau kembali ke nilai fungsional, maka bisa dikatakan bahwa
seni kriya rakyat lebih independen karena tidak membutuhkan bantuan-bantuan
apresiatif dari pihak kritikus maupun kurator yang bernaung dalam kemegahan
galeri maupun musium. Kriya rakyat bagaiamanapun juga adalah bagian dari
sebuah industri dan perdagangan yang sudah memunyai sistem distribusi dan
pemasaran sendiri, serta terbebas dari ‘aturan-aturan akademis’ jagat seni rupa.
Namun, apakah realitas kriya rakyat sebagai bagian dari sistem industri dan
perdagangan ini menjadikannya tidak harus mendapatkan apresiasi akademis?
Persoalan di atas memang dilematis, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di
negara-negara penghasil kriya rakyat lainnya, seperti Australia, Haiti, negaranegara Afrika, dan lain-lain. Mengenai persoalan ini Cochrane menjelaskan:
Dalam beberapa tahun terakhir kita berusaha untuk mendefinisikan posisi dan
tempat baru bagi kriya dan praktik-prakitk desain dalam masyarakat kontemporer.
Kita berusaha mempertanyakan sebuah terminologi yang melaluinya kita bisa
memaknai objek-objek ke dalam nilai fungsional, seremonial, dekoratif ataukah
ornamental—demikian juga halnya dengan apa-apa yang bisa diistilahkan ke dalam
ekspresi personal. Dalam kenyataannya, apa yang kita kerjakan adalah
mempertanyakan penyelamatan bahasa yang disalahtempatkan dalam kebangkitan
sebuah pencarian nilai-nilai ideal seni rupa. Kita bereaksi melawan nilai dan makna
yang didefinisikan oleh bahasa seni rupa dan kesastraan. Kita membutuhkan karya
dengan pengertian-pengertian yang mengaplikasikan secara langsung pada kriya
dan desain. Sesungguhnya, beberapa tulisan terkini tentang praktik kekriyaan yang
paling berguna lebih bersifat sosiologis—bagaimana sejarahnya, dan bagaimana kita
menempatkan nilai-nilai pada sifat, ide, dan beberapa objek tertentu. (1997: 56-57)

Paparan di atas menunjukkan betapa para kritikus kriya rakyat berusaha
menggugat standard penilaian kriya dengan menggunakan bahasa dan aturan
seni rupa sebagai representasi dari budaya tinggi. Karena usaha apresiasi kriya
dalam budaya tinggi cenderung menganggap kriya semata-mata sebagai benda
fungsional. Mungkin standard apresiasi seni rupa lebih cocok diterapkan bagi
karya kriya seni yang dihasilkan para kriyawan-seniman. Yang paling mengena
adalah tulisan-tulisan sosiologis tentang kriya yang juga harus memperhatikan
sejarah kriyawan dan karya ciptanya serta lingkungan dan institusi yang
mendukung proses kreatif sebuah karya kriya—seperti peran dan ekspetasiekspetasi yang berubah dari sekolah-sekolah seni, museum dan galeri seni rupa,

18

pengaruh dari sifat dan praktik budaya lain, peran dan makna dari organisasiorganisasi kriya, pengaruh dari gerakan sosial dan politik yang lain, serta peran
ekonomi, sosial, atau bahkan romantis dari para kriyawan dalam komunitas
mereka (ibid).
Jadi pada dasarnya masih ada celah bagi karya kriya rakyat untuk bisa
bersuara. Masalahnya adalah bagaimana kemudian institusi-institusi seni—
museum dan galeri—dan para kritikus serta kurator memperlakukan kriya
rakyat, apakah kriya rakyat hanya dijadikan ‘sebatas pajangan eksotis yang
menandakan kearifan lokal’ ataukah kriya rakyat juga diberi penilaian-penilaian
sesuai dengan estetika penciptaan kriya dan lingkungan-lingkungan yang
membuatnya ada. Ataukah kriya rakyat sudah dianggap mapan dengan jagatnya
sendiri. Semua tergantung pada perspekti yang diemban masing-masing pihak.
Pada dasarnya yang harus dipahami adalah kriya rakyat dalam segala
bentuknya mempunyai standard-standard estetika penciptaan yang juga bisa
dikaji oleh mahasiswa seni kriya, kritikus ataupaun kurator sebuah museum
ataupun galeri sehingga kriya tidak lagi dipandang sebagai seni yang kurang
bernilai filosofis-ideologis. Cochrane menjelaskan:
Saya yakin sepenuhnya bahwa penting bagi kita untuk mengkaji secara mendalam
tentang apa yang menjadikan ‘objek-objek berbicara’. Kita perlu memahami
beberapa elemen bahasa dari objek-objek tersebut agar bisa memulai membaca
objek-objek tersebut: seperti (i) alasan-alasan nirsadar mengapa objek bisa
menyenangkan, mengganggu, atau familiar, (ii) tujuan-tujuan dibuatnya objek, (iii)
lingkungan-lingkungan tempat produksi, (iii) teknik-teknik konstruksinya serta
pengaruh sosial dan fungsional dari perubahan teknologi, (iv) signifikansi materialmaterial yang digunakan, (v) cara-cara objek tersebut merepresentasikan ideologi,
(vi) tempatnya dalam perdagangan dan pasar, dan lain-lain. (ibid)

Mengikuti pola pikir yang diajukan oleh Cochrane, seorang kritikus atau
mahasiswa seni kriya sebenarnya bisa melakukan pembacaan kritis terusmenerus tentang kriya rakyat sehingga akan memunculkan pemahaman yang
lebih komperhensif dan arif. Yang pasti kriya rakyat bisa berbicara dan
dibicarakan melalui banyak elemen yang melekat pada dirinya, dari elemen
material, proses produksi-distribusi, lingkungan dan organisasi pendukung,
makna-makna filosofis-ideologis, dan lain-lain. Untuk elemen produksidistribusi, material, maupun lingkungan dan organisasi pendukung, para
pengkaji dari perguruan tinggi seni sudah banyak yang membicarakan. Yang
harus diberikan perhatian lebih adalah pada level representasi filosofis-ideologis,
meskipun makna yang mungkin ditemukan haruslah tetap bersumber pada
ukuran-ukuran estetik yang dimiliki oleh kriya.

19

Ketika kriya rakyat banyak diulas dalam perspektif makna filosofis-ideologis,
maka secara tidak langsung para pengkaji telah berusaha memberi nilai lebih
pada benda-benda kriya dan tidak menganggapnya sebagai semata-mata benda
pasaran. Di sinilah kesadaran dan keikhlasan dari para pengkaji, kritikus, serta
kurator untuk ‘berlaku jujur’ sangat dibutuhkan untuk terus melakukan proses
pemaknaan dan kritik terhadap potensi kriya yang banyak berkembang di
masyarakat kita. Karena hanya dengan kesadaran dan keikhlasan itulah, jarak
pemaknaan akan bisa direduksi sehingga kita tidak semakin memperlebar jarak
sosial yang ada di masyarakat dengan berlaku ‘berat sebelah’. Bagaimanapun,
kriya rakyat adalah realitas kultural yang mempunyai dimensi makna yang tidak
bisa disamakan dengan bentuk seni rupa lainnya. Dengan pemaknaan tersebut
para kriyawan dan pengguna seni kriya rakyat sangat mungkin mendapatkan
‘posisi sejajar’ dengan para pelukis ataupun kolektor lukisan berharga ratusan
juta. Semua memang serba mungkin.
Bahan bacaan
Adorno, Theodor W. and Max Hokheimer, The Culture Industry: Enlightenment as
Mass Deception, dalam www.marxist.org.
Adorno, Theodor W.1997. “Culture Industry Reconsidered”, dalam Paul Marris
and Sue Tornham (eds). Media Studies: A Reader. Edinburgh: Edinburgh
University Press.
Becker, Howard S.1982. Art Worlds.Los Angeles: University of California Press.
Bourdieu, Pierre.1994. “Structure, Habitus, Power: Basis for Theory of Symbolic
Power” dalam Nicholas B. Dirk, Geoff Eley, and Sherry B. Ortner (eds).
Culture/Power/History, A Reader in Contemporary Theory.Pricenton: Pricenton
University Press.
Cochrane, Grace.1997. “Keeping content: craft, history, and curathorship”, dalam
Sue Rowly (eds). Craft and contemporary theory. New South Wales: Allen &
Unwin.
Gans, Herbert J.1974. Populer Culture and High Culture.New York: Basic Books.
Guntur.2001. Teba Kriya.Surakarta:Artha 28.
Hall, Stuart.1997. “The Work of Representation”, dalam Stuart Hall (eds).
Representation: Cultural Representation and Signifying Practices.London: Sage
Publications in association with The Open University Press.
Hausser, Arnold.1979. The Sociology of Art. Chicago: The University of Chicago
Press.
Krisnanto, Sri.1999.Kreativitas dalam Seni Kriya, Suatu Kajian Proses Kreatif
Menuju Terbentuknya Karya Beridentitas Unik (Studi Kasus Karya Suhud pada
Sanggar Seni Sungging Adi Luwih di Desa Sukodono, Kecamatan Tahunan,

20

Kabupaten Jepara), Skripsi.Yogyakarta: Jurusan Kriya Fakultas Seni Rupa
Institut Seni Yogyakarta.
Lueckenhausen, Helmut.1997. “Wonder and despite: craft and design in museum
history”, dalam Sue Rowly (eds). Craft and contemporary theory. New South
Wales: Allen & Unwin.
Storey, John.1993. An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular
Culture.Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf.
Wisetrotomo, Suwarno. “Mengolah Kayu, Mengukir J