Kretek sebagai Inovasi Budaya Asli Indon

Dasar Dasar Imu Budaya

Kretek Sebagai Inovasi Budaya Asli
Indonesia

Disusun Oleh
Yuanita Wahyu Pratiwi
13/347932/SA/16946

Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada

Latar Belakang

Merokok sudah menjadi kebiasaan tak terpisahkan bagi masyarakat Indonesia. Membeli rokok
bagi sebagian besar penduduk sudah dikategorikan ke dalam daftar pembelian pokok. Hal ini
mereka lakukan karena rokok mereka nilai dapat memberi banyak manfaat kepada mereka.
Rokok bisa menghilangkan stress dan penat, membantu mereka bersemangat dalam bekerja, dan
lain sebagainya. Sekali seseorang memulai untuk merokok, ia akan merasakan ketergantungan,
maka dari itu, keputusan untuk kemudian berhenti dan menjauhi rokok setelah pernah menjadi
perokok dinilai berat. Inilah mengapa pelarangan tegas kebiasaan merokok akan sulit untuk

berjalan dengan efektif sekiranya diterapkan.
Selain daripada persoalan individu, persoalan mengenai rokok dalam lingkup negara ternyata
jauh lebih pelik. Membicarakan rokok tak bisa dipisahkan dari sisi positif dan negatifnya yang
melahirkan banyak pertimbangan dan kebimbangan. Negatifnya, rokok dapat menurunkan
kualitas kesehatan masyarakat, membuat polusi udara, dan dalam jangka panjang akan
menimbulkan efek berupa penyakit-penyakit yang berbahaya. Tapi disamping keburukankeburukan tersebut, kebiasaan merokok sudah mendarah daging sejak tembakau pertama kali
dikenal orang Indonesia, industri rokok dan pertanian tembakau juga memegang tanggung jawab
atas nafkah sekian juta orang, dan cukai yang disumbangkan industri ini mencapai triliunan
rupiah setiap tahunnya.
Sudah lebih dari empat abad yang lalu tembakau untuk pertama kali masuk ke Jawa dan sebagai
akibatnya, merokok kemudian menjadi bagian budaya masyarakat Indonesia. Beberapa tahun
belakangan, pemerintah banyak menyoroti isu-isu mengenai rokok. Beberapa wacana mengenai
larangan merokok sudah banyak dibahas dan sebagai kelanjutannya, penanggulangan bahaya
rokok sudah banyak dilakukan dengan cara-cara misalnya menyediakan tempat khusus untuk
merokok, memajang poster-poster himbauan untuk menyadari bahaya merokok, termasuk pula
tulisan peringatan pada bungkus rokok, selain tentunya ancaman pidana dan denda pada undangundang rokok. Akhir-akhir ini, adegan merokok di televisi juga banyak disensor.

Padahal sebenarnya, suka tidak suka, rokok dan kebiasaan merokok telah mewarnai kehidupan
berbagai lapisan masyarakat. Rokok dan bagaimana cara menikmatinya menggambarkan
perkembangan peradaban masyarakat kita. Terlebih lagi, sekitar 90% konsumen


tembakau

Indonesia adalah perokok kretek yang merupakan rokok tradisional Indonesia. Rokok kretek
yang dibuat dari tembakau, kuncup cengkeh, dan bumbu (saus) merupakan produk asli Indonesia
yang diakui dunia. Bahan baku rokok kretek adalah tembakau dan cengkeh yang sebagian besar
menggunakan sumber alam lokal. Industri rokok kretek sendiri merupakan industri yang
memiliki andil besar dalam penerimaan cukai negara.
Dengan didasari oleh dua hal berlawanan tersebut, dalam makalah ini penulis akan membahas
mengenai dimana sebenarnya posisi rokok kretek dalam dinamika kebudayaan masyarakat
Indonesia. Terutama mengenai keunikan rokok kretek yang dianggap sebagai budaya asli
Indonesia dan dampak sosial yang ditimbulkan olehnya.

Rumusan Masalah
Dari penjabaran masalah dalam latar belakang diatas, maka dapat ditarik pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut.
1.

Apakah Rokok Kretek itu dan mengapa ia dianggap sebagai inovasi budaya asli
Indonesia?


2.

Kapan dan bagaimana masuknya tanaman tembakau ke Indonesia dan
perkembangannya?

3.

Kapan dan bagaimana perindustrian kretek dimulai dan berkembang?

4.

Apa dampak sosial yang ditimbulkan oleh kretek sampai sekarang?

Rokok Kretek sebagai Inovasi Budaya Asli Indonesia

Rokok kretek termasuk kebiasaan menghisapnya adalah warisan budaya hasil kreasi individuindividu maupun kelompok-kelompok masyarakat di wilayah nusantara yang tak terpisahkan dari
keseharian hingga saat ini. Kebiasan ini lahir dari kebiasaan serupa yang dibawa oleh orangorang Eropa yang masuk ke Indonesia sekitar abad XV yang sebenarnya juga merupakan adopsi
mereka terhadap kebiasaan orang-orang di kepulauan Karibia dan daratan Amerika Tengah dan
Selatan. Hanya saja, kebiasaan merokok orang Indonesia berkembang dengan inovasi-inovasi

yang memiliki kecenderungan terhadap budaya lokal seperti menambahkan cengkeh dan ramuan
saus pada rokok yang kemudian disebut rokok kretek.
Menurut Melville J. Herkovits dan Broinslaw Malinowski, segala sesuatu yang berkembang di
dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki masyarakat tersebut (cultural
determinism). Hal inilah yang berlaku pada proses lahirnya rokok kretek di Nusantara.
Kebudayaan suku-suku bangsa yang secara geografis menempati kepulauan tropis-vulkanis yang
kaya akan varietas flora dan fauna ini, cenderung bertradisi meramu banyak unsur yang tersedia
di alam sekitar pada apa yang dikonsumsi untuk mendapatkan kenyamanannya dalam bertahan
hidup dan berkembang. Rokok kretek juga lahir dari kebiasaan meramu ini. Meskipun orang
Eropa yang mengenalkan budaya menghisap rokok yang komposisinya murni tembakau, atas
dasar kebiasaannya, orang-orang di nusantara kemudian mencampurkan aneka bahan ke dalam
rokok mereka untuk memperoleh rasa yang diinginkan. Adopsi ini merupakan usaha pe’lokal’an
kebiasaan merokok yang merupakan narkose baru bagi masyarakat lokal yang sebelumnya sudah
memiliki kebiasaan mengunyah pinang. Pengaruh adat dan kebiasaan lokal ini melahirkan
budaya yang sama sekali baru dan tidak dijumpai baik di Eropa maupun di Karibia dan dataran
Amerika sebagai asal dari kebiasaan tersebut.
Masyarakat nusantara lambat laun mengadopsi kebiasaan merokok dari para bangsawan dan
penjajah. Terdapat beberapa sumber yang mengatakan bahwa laporan dari para utusan VOC pun
mengatakan bahwa Sultan Agung juga menghisap rokok menggunakan Pipa. Sementara itu,
sumber lokal yang berkaitan dengan ini yakni Babad Ing Sangkala menyebutkan bahwa para raja


sudah mengkonsumsi rokok tembakau pada masa Mataram Islam di bawah kepemimpinan
Panembahan Senopati.
Para priyayi dan masyarakat bawah mengembangkan kebiasaan menghisap rokok dengan
mencampur beberapa unsur perasa dan aroma lokal yang sudah lebih tua sejarah penggunaannya
seperti uwur, klembak, menyan, sampai cengkeh. Ini dimaknai sebagai lahirnya kebiasaan baru
bagi masyarakat nusantara. Hal tersebut dinilai tidak aneh karena masyarakat agraris yang meski
sebelah kakinya telah melangkah ke alam industri ini, seperti kita ketahui bersama, masih berada
pada masa kesadaran mistis. Kebiasaan membakar rokok klembak, opium, hingga menyan sudah
menjadi salah satu hal wajib dalam pelaksanaan ritual spiritual Kejawen. Sesajen berupa rokok
kretek dan minuman favorit seperti kopi atau the untuk mendoakan ketenangan bagi leluhur biasa
dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan setidaknya berupa sandwich tiga lapisan elemen dasar
sebuah masyarakat, yakni: pertama kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, selera, dan
peraturan-peraturan; kedua, kompleks aktivitas kelakuan berpola dalam masyarakat, atau ritual
dan adat kebiasaan; ketiga, adalah kompleks bentuk fisik atau kebendaan.
Dalam lapisan kedua, kebiasaan merokok sudah menjadi tradisi selama ratusan tahun yang biasa
dilakukan ketika mereka berkumpul atau beristirahat menenangkan diri. Sementara dalam lapisan
ketiga, rokok kretek sendiri adalah orisinil dengan campuran cengkeh dan berbagai saus yang asli
Indonesia.

Dengan demikian tradisi merokok kretek dapat disebut sebagai adat kebiasaan atau kebudayaan
asli Indonesia (nusantara). Hal tersebut kemudian memberikan banyak asumsi diantaranya bahwa
rokok kretek mungkin lebih cocok dikonsumsi di daerah kepulauan tropis. Asumsi lain adalah
bahwa bangsa-bangsa nusantara adalah bangsa yang dapat menerima kebiasaan dari luar tapi
bukanlah bangsa penjiplak. Hal lainnya lagi adalah bangsa nusantara adalah bangsa yang inovatif
dan memiliki citarasa tinggi.

Asal Mula Tembakau di Nusantara

Tanaman tembakau yang menjadi bahan utama berbagai jenis rokok termasuk kretek bukanlah
tanaman asli Indonesia. Tanaman ini dikenal berasal dari Amerika Tengah dan Selatan, meskipun
di Australia dan Irian Jaya pun terdapat tanaman serupa dengan varietas berbeda. Menyebarnya
tanaman tembakau ke bagian lain dunia selain daerah asalnya tak bisa dilepaskan dari kedatangan
Colombus ke San Salvador pada abad XV. Disana Colombus dan anak buahnya menemukan
kebiasaan aneh para penduduk lokal yang gemar menghisap gulungan daun kering yang salah
satu ujungnya dibakar. Daun kering yang sebenarnya adalah tembakau ini mereka asumsikan
sebagai sejenis rempah-rempah.
Ketika Colombus membawa biji tanaman tembakau ke luar Amerika yakni ke Lisabon pada abad
XVI, Raja Frans II dan Ratu Catharina de Medici menganggapnya sebagai barang yang sangat
berharga dan obat yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Beberapa tahun kemudian, raja

Portugis mengirim sebatang pohon tembakau ke Perancis. Tak lama berselang, seorang bernama
Andre Thevet mengirim tembakau temannya yang ada di Perancis yaitu Nicot. Nicot kemudian
secara serius mempelajari tanaman tersebut dan pada tahun 1586 karyanya mengenai sistematika
tanaman tembakau dimuat di buku Delachamp yang berjudul Historia plantarum. Pada buku
tersebut tanaman tembakau disebut Nicotiana sebagai penghargaan terhadap Nicot.
Pada perkembangannya, tanaman tembakau telah melibatkan berbagia bangsa yang memiliki
minat cukup besar terhadapnya. Permintaan yang besar ini kemudian mendorong bangsa Eropa
untuk mengusahakannya di daerah jajahan yang cocok untuk mengembangkan tanaman ini,
termasuk di Hindia Belanda.
Di wilayah nusantara, sebenarnya tembakau dan kebiasaan merokok sudah dikenal lama. Seperti
di Irian Jaya yang memiliki sendiri varietas tembakau khas (bukan dari hasil pembudidayaan),
kebiasaan merokok mulai dari jenis Klobot (yang menggunakan daun jagung sebagai
pembungkus, rokok biasa yang dibungkus daun pisang kering, sampai yang menggunakan pipa
dari bambu sudah dikenal jauh sebelum orang-orang Eropa datang. Namun lain ceritanya dengan
di Jawa. Tembakau mulai dikenal di Jawa sejak kedatangan bangsa Eropa pada awal abad XVII
meski jelasnya siapa yang membawanya masih simpang siur. Dalam bukunya The History of
Java, Raffless mengatakan bahwa tembakau dikenalkan ke pulau Jawa oleh Belanda, sementara
De Candolle berpendapat bahwa yang membawanya ialah orang-orang Portugis. Selain itu ada
sumber lain yang mengatakan bahwa seorang kepala pemukiman orang Inggris di Banten, Scott,


menyebutkan bahwa kebiasaan merokok tembakau dan menghisap madat telah dikenal di pulau
Jawa pada abad XVII. Sumber yang berbahasa Jawa yakni Babad Ing Sangkala mengatakan
bahwa tembakau telah dimasukkan ke Pulau Jawa bersamaan dengan mangkatnya Panembahan
Senopati. Tanda waktu yang ada dalam babad tersebut adala 1523 Saka atau 1602 Masehi. Dari
bukti-bukti tersebut, lebih cenderung bangsa Portugislah yang membawa tembakau pertama kali
ke Pulau Jawa, karena kata ‘Tembakau’ sendiri lebih mirip bahasa Portugis ‘Tambaco’ dibanding
bahasa Belanda yakni ‘Tabak’.
Dalam waktu singkat, penanaman tembakau berkembang luas di pulau Jawa. Armada laut VOC
yang ketika itu baru didirikan menjadikan Banten sebagai laan awal pembiakan tembakau. Dalam
catatan Belanda (Rumpius) pada tahun 1650 perkebunan tembakau sudah berkembang di
beberapa wilayah di nusantara seperti Kedu, Bagelen, Malang, dan Priangan. Puluhan tahun
setelahnya, tanaman tembakau dan mengkonsumsi tembakau dengan berbagai cara dan beraneka
ramuan telarmasuk dalam bentuk lokal yang nantinya disebut sebagai rokok kretek berkembag
luas dan telah mendarah daging dalam tradisi di wilayah nusantara.

Lahir dan Berkembangnya Industri Kretek
Pada tahun 1870, orang-orang di Kudus sudah banyak memproduksi kretek lintingan dengan
skala rumahan. Kretek diproduksi layaknya idustri unit rumah tangga lainnya yang tersebar
hingga berjarak 24 km dari kota Kudus seperti di desa Mayong, Pecangan, dan Welahan yang
masuk ke wilayah kabupaten Jepara. Nama yang disebut-sebut sebagai penemu dan produsen

rumahan awal rokok kretek di Kudus adalah H. Djamhari.
Dalam cerita yang banyak dikisahkan H. Djamhari menemukan rokok kretek dengan ‘kebetulan’.
Ketika itu, ia sedang merasakan sesak di dada. Untuk meredakan rasa sakitnya, ia mencoba
menggosokan minyak cengkeh di dada dan pinggangnya. Dengan apa yang dilakukannya itu,
ternyata sakitnya dapat berkurang meskipun tidak lantas hilang sama sekali. Berikutnya, ia
mencoba mengunyah cengkeh dan hasilnya baik, hingga terlintas dalam pikirannya untuk
memakai rempah-rempah sebagai obat. Cara yang digunakan masih sangat sederhana yakni
dengan merajang halus cengkeh dan mengoplosnya dengan tembakau sehingga, ketika dihisap
asapnya akan sampai ke paru-paru. Hasilnya, sakit dada H. Djamhari pun sembuh.

Kretek produksi H. Djamhari awalnya hanya beredar di sekitar Kudus sebelum kemudian berhasil
meluas ke daerah lain akibat kisah kemujarabannya yang dialami langsung oleh H. Djamhari.
Karena permintaan yang mulai membengkak, H. Djamhari harus mendirikan sebuah perusahaan
rokok kecil. Di masa-masa awal, seluruh kepemilikan dari industri rokok kretek berada di tangan
pribumi.
H.Djamhari meninggal tahun 1890, dan tahun meninggalnya menjadi tanda dimana industri
rokok di Kudus dimulai. Perhitungan yang paling moderat adalah sekitar 1880, atau sepuluh
tahun sebelum H. Djamhari meninggal dunia.
Selain H. Djamhari, nama yang juga melegenda dalam tradisi kretek di Kudus adalah Niti
Semito. Ia memulai kiprahnya dalam industri kretek pada awal abad XX. Sebelum menemukan

peruntungannya di dunia kretek, ia sempat berdagang kerbau dan minyak kelapa. Niti Semito
merintis rokok klobot (bukan kretek dan dibungkus daun jagung) dengan merk “Kodok Mangan
Ula” (Kodok Makan Ular). Karena selanjutnya nama ini dirasa cukup aneh, dicarilah merk baru.
Secara instan kemudian dibuatlah “tiga lingkaran” pada bungkus rokok klobotnya.
Logo yang sederhana tersebut rupanya membawa berkah. Oleh para penggemar rokok klobotnya,
logo tiga lingkaran ini disebut dengan “Tiga Bola” atau “Bal Tiga”. Dengan Bal Tiga inilah, Niti
Semito akhirnya mendapat perizinan resmi dari pemerintah Hindia-Belanda atas usaha rokoknya.
Baru pada tahun 1909, Niti Semito memulai produksi kreteknya. Awalnya, kretek produksi
pabriknya ini dijual curahan ke pasar. Produk kretek ini dikemas dalam satuan ikatan, dengan
harga 2,5 sen per ikat yang berisi kretek batang kecil, dan 3 sen per ikat kretek batang besar.
Ternyata, kretek Niti Semito ini juga mendapat sambutan positif dari konsumen. Setelah itu,
barulah ia diberi nama “ Soempil”, lalu diganti dengan merek “Djeruk”, kemudian diganti lagi
dengan namanya “M. Niti Semito”. Namun, apapun merknya pada produksi Niti Semito, logo
“Bal Tiga” tetap tertera pada kemasannya. Dengan produksi kretek ini pulalah usahanya menjadi
besar dan bernamakan resmi perusahaan Sigaretan Fabriek M. Niti Semito Koedoes. Pada tahun
1914, pabriknya sudah memiliki ribuan tenaga kerja. Pada puncaknya Niti Semito pernah
mempekerjakan sampai 15.000 orang.

Dari Kesuksesan Niti Semito, banyak orang tergiur dan lantas mengikuti jejaknya sehingga di
sekitar tahun 1912 sampai 1918, menjamur pabrik-pabrik rokok lainnya. Fenomena ini tidak

hanya terjadi di Kudus, tapi juga Semarang, Surabaya, Blitar, Kediri, Tulungagung, Malang, dan
seterusnya. Di Kudus sendiri, terdapat sejumlah pabrik kretek baru seperti cap “Delima” (Haji
Ashadi), “Mrico” (keluarga Atmo), dan cap “Jangkar Duren” (Haji Asikin).
Setelah itu di Pati pada tahun 1930 muncul merk “Menak Djinggo” yang merupakan hasil kongsi
antara Kho Djie Siong dan Tan Djie Siong. Lima tahun kemudian, pabrik ini pindah ke Kudus
dan memproduksi kretek cap “Nojorono”. Merk ini juga mendapat sambutan hangat, sehingga
kemudian dijadikan nama badan usaha pada tahun 1973 yakni PT Nojorono Kudus.
Perkembangan industri rokok masih berkembang pesat di tahun-tahun berikutnya. Hal ini
dibuktikan dengan munculnya kretek merk “Gentong Gotri” pada tahun 1936 yang dimiliki oleh
Kho Djie Hay dan merk “Djambu Bol” pada 1937 dengan pemilik Haji Ma’roef. Tahun 1949,
berdiri lagi perusahaan rokok cap “Sukun”. Hal ini terus berlanjut sampai muncul nama baru
yakni Oei Wie Gwan yang mendirikan pabrik kretek “Djarum”, yang menjadi terbesar di Kudus
dan merajai perindustrian kretek sampai sekarang.
Dari uraian diatas, disebutkan beberapa nama Tionghoa yang menjadi pemilik pabrikan-pabrikan
kretek. Hal ini memang terjadi, karena beberapa saat setelah para pengusahan pribumi menuai
sukses dari usaha kretek yang mereka rintis, para pengusaha Tionghoa kemudian mengikuti jejak
mereka. Puncaknya terjadi pada Oktober 1918 yakni kerusuhan di Kudus. Karena kerusuhan ini
banyak pabrik rokok yang hancur dan berakibat kemunduran terhadap industri rokok kretek
secara umum. Namun seusai kerusuhan, pengusaha Tionghoa justru berhasil memperoleh
kedudukannya kembali di perindustrian rokok Kudus. Rokok kemudian kembali berkembang,
baik di Kudus sendiri, maupun daerah yang relatif terletak jauh dari Kudus seperti Kediri, Blitar,
dan Tulungagung serta Malang. Data statistik menunjukkan perkembangan yang cukup
signifikan. Apabila pada tahun 1924 hanya terdapat sekitar 35 pabrik, pada tahun 1928 meningkat
menjadi 50 pabrik, kemudian jumlahnya menjadi 269 pabrik pada tahun 1933.
Pada tahun 1928, tercatat untuk pertama kalinya rokok kertas muncul dan menggantikan rokok
klobot diproduksi sebelumnya sampai sekarang. Karena pembungkusnya diganti dengan kertas,
produksinya jadi dapat menggunakan alat pelinting. Akan tetapi, meskipun sekarang rokok

buatan mesin yang berfilter sudah bayak memnuhi pasar, beberapa perusahaan masih setia
memproduksi rokok klobot, dan kalangan masyarakat tertentu, seperti masyarakat pedesaan di
Jawa, masih setia mengonsumsinya. Salah satu pabrik besar yang masih memproduksi rokok
klobot adalah Gudang Garam di Kediri.
Pada Awal abad XX, produsen rokok putih Eropa dan Amerika juga menjual produksi mereka ke
berbagai tempat diluar negaranya. Pada tahun 1923, Indonesia diperkirakan sudah mengimpor
sekitar sejuta batang rokok putih.
Sampai tahun 1970an, kretek dianggap sebagai konsumsi kalangan bawah, berlawanan dengan
rokok putih yang diimpor dari Eropa atau Amerika. Masyarakat kita kerap kali memahami kretek
sebagai rokok tanpa filter (busa). Bila rokok putih yang asalnya dari barat hanya mengandung
tembakau, rokok kretek merupakan produk hasil racikan tembakau dengan potongan cengkeh
serta tambahan saus. Racikan seperti inilah yang menjadikan rokok kretek memiliki rasa dan
aroma yang berbeda dari jenis rokok lain.
Berbagai tradisi juga turut mengikuti tumbuhnya kretek, salah satunya kebiasaan mengolesi kopi
pada batang kretek. Kebiasaan ini tumbuh di Rembang yang masih berdekatan dengan Kudus.
Bahkan, bukan hanya diolesi, melainkan ampas seduhan kopi digunakan untuk melukis dengan
media berupa sebatang rokok. Dengan melakukan ini dipercaya akan menambah aroma kopi pada
cita rasa kretek. Kebiasaan yang nampak sepele ini ternyata telah tumbuh sebagai kriya kesenian
rakyat.
Setelah perusahaan patungan Inggris-Amerika yakni British American Tobacco (BAT)
mendirikan dua pabrik di Cirebon (1925) dan Surabaya (1928) dan mencapai produksi hingga
tujuh juta batang pada tahun 1931, terjadi ketimpangan dalam hal produksi dibanding perusahaan
kretek lokal. Hal ini kemudian memancing dikeluarkannya beberapa regulasi seperti pembedaan
tarif cukai, serta dalam hal pemakaian mesin-mesin baru. Dari regulasi soal mesin inilah
kemudian muncul istilah SKT (Sigaret Kretek Tangan) dan SKM (Sigaret Kretek Mesin). Satu
lagi adalah SPM (Sigaret Putih Mesin) yang mejadi produk utama BAT.
Dengan kemajuan peralatan yang juga pesat pada pabrikan pribumi, dan pencapaian produksi
besar menandakan era industri rokok kretek di tanah Jawa telah dimulai. Puluhan pabrik rokok
dengan produksi hingga 50 juta batang per tahun bermunculan. Sebuah rantai produksi komoditi

tercipta mulai dari petani tembakau dan cengkeh, buruh pabrik, hinga jaringan distribusi. Menjadi
sebuah gambaran masyarakat mandri yang cukup sejahtera dan jarang sekali tedapat pada tempat
dan saat yang berada dalam lingkup kekuasaan penjajahan kolonial.
Dalam kurun waktu antara Perang Dunia I sampai zaman kemerdekaan, yang terjadi dibalik
berkembangnya industri ini adalah persaingan ketat antara pengusaha pribumi dan Tionghoa.
Pada awalnya, memang pengusaha pribumilah yang memulai dan otomatis menguasai pasar,
namun lama-kelamaan pengusaha Tionghoa merangsek masuk dan merebut dominasi atas pasar.
Persaingan ini termasuk kedalam perebutan tenaga yang handal dan berkualitas dalam dunia
perkretekan sebagai kunci produksi. Strategi yang digunakan pengusaha-pengusaha Tionghoa
adalah dengan memberi upah lebih tinggi, atau ontvangen-voorscot yakni panjar upah dengan
cicilan pinjaman bagi kebutuhan hidup para pekerjanya. Selain itu, dalam pemasarannya, para
pengusaha Tionghoa juga banyak menggunakan media iklan. Hal-hal seperti ini tidak dilakukan
oleh para pengusaha pribumi dikarenakan jam terbang mereka yang minim dibandingkan para
pengusaha Tionghoa saingan mereka. Lambat laun, pasar pun dikuasai pengusaha Tionghoa.
Persaingan bisnis seperti ini tak jarang menimbulkan kerusuhan yang disulut isu SARA seperti
pada Oktober 1918 di Kudus.
Selanjutnya, pada era globalisasi dan neoliberalisme abad XXI, pengusaha rokok kretek tak lagi
berurusan hanya dengan persaingan sesama pengusaha. Krisis ekonomi yang mengawali abad ini,
masalah permodalan sampai pergelutan dengan semakin rumitnya regulasi-regulasi perkretekan
menjadi persoalan yang sekarang mereka hadapi. Regulasi tak hanya lagi soal cukai yang harus
mereka setor ke negara, tapi juga kandungan-kandungan yang terdapat pada rokok kretek
produksi mereka yang kaitannya ada pada kesehatan konsumen. Selain itu semakin besarnya
sebuah pabrik kretek, serta semakin banyak ia memiliki karyawan, ia juga harus memperhatikan
kesejahteraan karyawannya, terlebih lagi, pada waktu-waktu belakangan dunia perburuhan mulai
mendapat perhatian serius.

Isu-Isu Sosial Perkretekan
Tembakau adalah komoditi ajaib bagi negara berpenduduk banyak yang berkembang seperti
Indonesia. Hal ini terperi pada isu-isu tentang pentingnya pengusahaan tembakau serta

pengolahan yang banyak dilontarkan pada 1980-an. Tanaman tembakau tak hanya tanaman yang
diproduksi untuk langsung dikonsumsi, melainkan memerlukan proses sangat panjang sebelum
dapat dikonsumsi, oleh karenanyalah, apabila tanaman ini diberdayakan akan ada banyak sekali
tenaga kerja yang terserap. Diperkirakan, penyediaan lahan rata-rata 200.000 hektar setiap
tahunnya mampu menyerap sekitar 1,2 tenaga kerja perkebunan. Selanjutnya, kegiatan industri
dan pengolahan lainnya seperti industri rokok mampu mempekerjakan buruh sebanyak 140.000
orang setiap hari, gudang pengolah tembakau cerutu menyerap tenaga buruh sebanyak 60.000
tenaga kerja musiman per hari. Di samping itu masih ada berbagai jenis kegiatan yang
membutuhkan lebih banyak lagi tenaga kerja di berbagai bidang seperti distributor hingga ke
pedagang kaki lima. Industri kertas rokok, kertas bitumen untuk kemasan kretek, kardus untuk
pengiriman rokok rokok putih dan kretek, triplek untuk kotak cerutu, dan iklan rokok juga akan
terkena imbas positif. Demikian pula lembaga pelayanan seperti eksportir, importir, perbankan,
asuransi, jasa angkutan, lembaga penelitian serta banyak instansi lainnya.
Sementara itu, berkenaan dengan hubungan kretek dan komoditi lain, industri kretek merupakan
konsumen cengkeh terbesar. Ini dikarenakan 30-40% komposisi sigaret kretek terdiri atas
cengkeh. Dengan demikian, petani cengkeh di manapun di Indonesia sangat erat hubungannya
dengan industri kretek. Bagi industri kretek, cengkeh dan tembakau tidak dapat dipisahkan
karena keduanya merupakan percampuran utama yang menghasilkan kekhasan rokok jenis ini.
Secara politis, perdagangan tembakau di pasar internasional mempunyai dampak positif sebab
dapat mendekatkan hubungan antar negara yang bersangkutan semisal antara Indonesia dan
negara-negara Eropa Barat yang secara tradisional membeli tembakau Indonesia maupun negara
lain yang merupakan pengembangan pasar seperti Afrika Utara, Tunisia, Mesir, Kamerun, dan
Amerika Serikat. Pada tataran lokal, tembakau memiliki peranan sosial politis yang besar karena
di daerah yang kurang subur dan tadah hujan, tanaman tembakau merupakan satu-satunya
alternatif tanaman yang bisa dijadikan tumpuan di musim kemarau. Yang selanjutnya berkenaan
dengan mutu dan produktivitas tembakau yang diusahakan petani. Hal ini menyebabkan perlu
adanya kebijakan nasional tembakau. Produktivitas tembakau yang diusahakan oleh perkebunan
besar jauh lebih tinggi dan mutunya lebih baik dibanding produksi rakyat. Ini merupakan masalah
yang memerlukan cukup waktu untuk pemecahannya.

Di tengah kesadaran masyarakat yang semakin tinggi akan bahaya merokok, terdengar himbauan
yang berkiblat lain bahwa industri pertembakauan dari penanaman sampai pabrikasi dan ekspor
patut dilestarikan karena memiliki arti sangat penting secara ekonomi dan sosial. Indonesia
memang tak menduduki tempat utama diantara negara-negara yang memroduksi tembakau dilihat
dari luas lahan, jumlah produksi dan tenaga kerja yang terlibat, namun sudah sejak lama,
tembakau-tembakau yang ditanam di Indonesia adalah tembakau yang bermutu tinggi. Tembakau
yang dimaksud adalah tembakau cerutu yang banyak ditanam di Deli, Klaten (Vorstenlanden),
dan Besuki. Tembakau-tembakau kualitas prima ini biasanya dilelang di pasar lelang di Bremen
dan London, karena pabrik dan konsumen tradisional cerutu memang banyak berada di negaranegara Eropa Barat.
Di dalam negeri, angka konsumsi kretek dari tahun ke tahun juga mengalami terus mengalami
peningkatan. Namun teknologi yang dimiliki petani tembakau belum bisa mengimbangi laju
konsumsi kretek. Akibatnya, kita masih selalu saja mengimpor tembakau untuk menutupi
kebutuhan pabrik yang ada.
Meskipun permintaan tembakau di dalam negeri cenderung selalu meningkat, ternyata tidak
semua petani lantas menikmati kenaikan harga, sehingga kesejahteraan petani masih minim.
Setidaknya terdapat perbedaan yang sangat mencolok di kalangan petani tembakau di berbagai
daerah/ sentra produksi tembakau. Perbedaan kesejahteraan tersebut paralel dengan jenis
tembakau yang dihasilkan petani lokal.
Selain itu, tanaman tembakau juga tergolong kontroversial untuk dikembangkan baik di
Indonesia maupun di negara-negara produsen tembakau lainnya. Kontroversi tanaman ini lahir
sebab di satu sisi—dari yang didasarkan pada penelitian-penelitian medis—terbukti menjadi
penyebab sejumlah penyakit alat pernafasan kronis. Namn di sisi lain, sejak tanaman ini
diperdagangkan, hingga saat ini, telah melibatkan sejumlah besar orang. Orang-orang yang
terlibat ini sebagian menggantungkan hidup sepenuhnya dari hasil produksi tanaman ini dan
sebagian lainnya, meskipun juga menggantungkan hidup dari produksi tembakau, telah dapat
meningkatkan taraf hidupnya dari daun tembakau.
Dalam kontroversi diatas, terdapat dua kubu yang saling bertentangan, yakni satu kubu yang
setuju dan sisanya yang tidak. Kubu yang tidak setuju untuk mencapai tujuan mereka, pada waktu

belakangan berusaha dengan melakukan berbagai macam penelitian dan aksi untuk
menghilangkan budaya merokok. Sementara kubu satunya lebih banyak memilih diam dan tetap
merokok. Dalam hal ini, posisi pemerintah sangat dilematis. Tidak satupun pemerintah dari
negara-negara produsen tembakau yang secara terbuka menyatakan dirinya memihak pada suatu
kubu tertentu.
Di samping petani dan pegawai pabrikan tembakau, terdapat golongan lain yang berada diantara
mereka. Mereka adalah pedagang perantara dan pengumpul (pengepul). Pedagang perantara dan
pedagang pengmpul muncul karena dua sebab. Sebab pertama ialah karena petani tidak bisa
memasarkan sendiri hasil produksi pertanian mereka pada konsumen (pabrik) dan eksportir.
Kedua, pabrik rokok dan eksportir juga tak memiliki cukup tenaga penilai mutu dan aroma, lantas
pekerjaan ini pun diambil alih oleh pedagang perantara. Sebab petani tidak mampu memasarkan
sendiri hasil pertanian mereka adalah karena tempat tinggal dan kebun mereka yang relatif jauh
dari pabrik dan cenderung kesulitan untuk mencari sarana transportasi. Di samping itu, karena
hasil produksi per-petani relatif kecil, maka pabrik biasanya jarang mau membeli tembakau dari
petani karena selain partainya kecil dan akan sangat merepotkan pihak pabrik, kualitas tembakau
yang didapatkan juga akan sangat tak seragam. Sebagai akibat dari lahirnya pedagang perantara
yang memiliki modal, kemampuan serta jaringan yang jauh lebih baik daripada petani, maka
permasalahan yang kemudian muncul adalah keuntungan yang didapatkan petani tidak sepadan
dengan biaya produksi yang harus mereka keluarkan dan resiko yang mereka tanggung. Kadang
kala, pedagang perantara juga melakukan kecurangan seperti yang dikatakan Padmo pada
bukunya Tembakau, Kajian Sosial Ekonomis, “Terdapat berbagai cara yang biasa dilakukan oleh
pedagang untuk memperbesar keuntungan dari petani seperti mengambil comotan yang besar,
menentukan tara tinggi, meletakkan berbagai benda seperti batu di keranjang, membayar di
belakang dan sebagainya.”
Yang terakhir adalah satu masalah klasik yakni hampir setiap masa pra panen nasib petani selalu
berada di ujung tanduk. Nasib petani selanjutnya hampir sepenuhnya hanya dapat digantungkan
pada iklim. Apabila keberuntungan berada di pihak petani, tak jarang mereka memperoleh hasil
yang lumayan, tapi apabila tidak, maka nasib mereka menjadi taruhannya. Untuk menanggulangi
hal ini kiranya perlu pengumpulan dana tembakau pada saat harganya sedang naik dan dapat
dipakau pada waktu harga turun. Permasalahan selanjutnya adalah modal usaha tani. Tembakau
sering kali digunakan sebagai sarana untuk pemenuhan kebutuhan sekunder semacam

memperbaiki rumah, membeli kendaraan dan peralatan rumah tangga, membayar uang sekolah
dan kebutuhan sekunder lainnya. Kebutuhan seperti ini sering muncul tanpa direncanakan,
akibatnya, hasil penjualan satu musim sudah habis dalam waktu sebulan. Hal ini di musim tanam
selanjutnya menyebabkan petani kurang modal usaha yang apabila tidak diatasi akan
mengganggu kelangsungan usaha taninya. Untuk mengatasi masalah ini, ada banyak cara yang
bisa ditempuh. Cara yang paling sederhana namun tinggi resikonya adalah pinjam pada rentenir.
Selain petani dan pedagang, pabrik rokok ternyata juga mengalami permasalahan. Permasalahan
pabrik rokok berkenaan dengan usaha-usaha mereka menarik minat konsumen, selain menjual
rokok dengan rasa seperti yang diinginkan konsumen yakni masalah promosi dengan iklan secara
besar-besarana. Usaha ini tentu saja memerlukan biaya besar. Untuk menekan biaya produksi ada
berbagia cara yang bisa ditempuh oleh pabrik, salah satu diantaranya ialah mekanisasi.
Dampaknya namun sulit untuk ditebak, yakni hilangnya kesempatan kerja bagi sebagian
orang/penduduk yang potensial untuk bekerja di sana.

Kesimpulan
Kebudayaan adalah hasil karya, cipta, dan karsa manusia. Kebudayaan dapat pula dimaknai
sebagai sebuah kebiasaan yang lahir dari dalam golongan masyarakat tertentu dan tumbuh serta
bertahan disana dalam waktu yang sangat lama, mengakar, serta berpengaruh kuat.
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan terdiri dari tiga lapis sandwich yakni kompleks ide-ide,
kompleks kebiasaan, serta kompleks kebendaan. Kretek sendiri, ditelaah dari kompleks pertama
merupakan ide yang tumbuh akibat kultur internal orang di nusantara. Kebiasaan menghisap
tembakau memang didapatkan dari orang-orang Eropa, tapi penambahan cengkeh, menyan, serta
saus lainnya kedalam kretek menjadikan kretek tumbuh sebagai ide yang orisinil sebagai hasil
kreasi orang-orang terdahulu Indonesia. Ia diciptakan melalui kombinasi yang sedemikian rupa
karena bangsa Indonesia merupakan bangsa yang bercita rasa tinggi. Dari kompleks kebiasaan
pun merokok kretek sudah mendarah daging dalam tradisi Indonesia sejak sekitar 4 abad lalu.
Sementara dari konsep kebendaan, jelas, rokok kretek merupakan jenis rokok khusus yang
merupakan ide asli dan hanya diproduksi di Indonesia serta diakui kenikmatannya oleh dunia
luas.
Lahirnya inovasi rokok kretek tak bisa dilepaskan dari masuknya tembakau ke nusantara yang
diperkirakan diperkenalkan oleh bangsa Portugis sekitar awal abad ke XVII, dengan mengacu
pada sumber lokal, sumber asing, serta kata “Tembakau” yang mirip kata “Tambaco” pada
bahasa Portugis. Pada 1870, H. Djamhari untuk pertama kalinya menemukan rokok kretek secara
tidak sengaja. Rokok temuannya yang dicampur cengkeh tersebut kemudian tersebar luas
beritanya sehingga ia terpaksa membuka pabrik kretek kecil demi memenuhi permintaan pasar.
Sejak saat itu, dimulailah perindustrian kretek di Kudus yang kemudian meluas sampai ke
daerah-daerah yang letaknya cukup jauh dari kudus seperti Temanggung dan Malang.
Pada awalnya industri rokok kretek seluruhnya dimiliki oleh pribumi, namun para pengusaha
Tionghoa kemudian tergiur untuk ikut masuk dalam perindustrian ini. Sejak masuknya para

pengusaha Tionghoa yang notabene memiliki jam terbang lebih tinggi di bidang wirausaha
ketimbang para pengusaha pribumi, mereka kemudian menguasai pasar. Hal ini menimbulkan
kecemburuan sosial yang berujung pada kerusuhan rasial seperti yang terjadi di Kudus pada
Oktober 1918.
Industri rokok kretek terus berkembang sampai saat ini, bahkan beberapa pabrikan masih
memproduksi kretek tradisional jenis klobot karena memang masih diinginkan pasar di pedesaan
di Jawa Tengah. Pada abad XXI ini, persoalan yang dihadapi para pengusaha kretek bukan hanya
soal persaingan antara satu pabrik dengan yang lain. Mereka harus lebih banyak berurusan
dengan regulasi serta kampanye anti rokok yang marak disuarakan.
Adapun masyarakat sudah semakin menyadari bahaya merokok, masih banyak orang yang tetap
setia mengonsumsi rokok dengan berbagai alasan. Pemerintah di negara-negara penghasil
tembakau pun tak ada yang pernah menyuarakan secara tegas apakah mereka memilih untuk
melarang rokok atau melegalkannya samasekali. Karena pada kenyataannya tanaman tembakau
memang sangat influental bagi negara.
Industri pertembakauan, dari penanaman sampai produksi dan distribusi produk tembakau
melibatkan jutaan tenaga kerja dan menjadi pendongkrak ekonomi yang cukup berpengaruh.
Apabila tembakau secara total dilarang, maka mata rantai perekonomian ini akan terputus dan
pengangguran akan semakin banyak. Dalam dinamikanya, baik petani, distributor, pegawai
pabrik, maupun pemilik modal sama-sama memiliki berbagai kendala. Oleh karena itu, perlu
dilakukan perbaikan disana-sini demi menjamin kesejahteraan dari petani sampai pedagang
kretek karena bagaimanapun sektor ini telah menyumbang cukai triliunan rupiah tiap tahunnya.
Dan rasanya, karena hal ini jugalah, sebagai negara penghasil tembakau yang memiliki kebiasaan
merokok sebagai tradisi dan bagian dari budaya, peraturan-peraturan seperti dilarang merokok di
tempat umum sudah cukup untuk meminimalisir bahaya rokok.

Daftar Pustaka
Budiman, Amen, Onghokham, Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan
Bangsa dan Negara, Kudus: PT. Djarum, 1987
Cribb, Robbert, Audrey Kahin, Kamus Sejarah Indonesia, Jakarta: Komunitas Bambu, 2012
Padmo, Soegijanto, Edhie Djatmiko, Tembakau: Kajian Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Aditya
Media, 1991
Sunaryo, Thomas, Dr. M.Si., Kretek: Pustaka Nusantara, Jakarta: Serikat Kerakyatan Indonesia
(SAKTI) dan Center For Law and Order Studies (CLOS), 2013