konstruksi gender dalam masyarakat sebag

Konstruksi Gender Dalam Masyarakat
Sebagai Suatu Bentuk Politik Seksual Sepihak

Oleh: Pandhu Wismono, Mahasiswa Prodi Sastra Inggris Universitas Negeri Semarang.

Sejak dahulu keberadaan perempuan dianggap sebagai sebuah keberadaan yang hanya
sebagai pelengkap bagi keberadaan kaum laki-laki. Fakta tersebut sudah sejak lama terjadi di
seluruh bagian dunia. Misalnya saja di dunia pertama subordinasi perempuan sudah terjadi sejak
jaman imperial, bahkan jauh sebelumnya. Selain terjadi di berbagai belahan dunia, fenomena
subordinasi kaum lelaki terhadap perempuan juga terjadi di berbagai aspek kehidupan, mulai dari
lingkungan terkecil yaitu keluarga hingga lingkungan terbesar yaitu lingkungan internasional.
Subordinasi kaum laki laki terhadap eksistensi perempuan pada dasarnya tidak terjadi
begitu saja, melainkan disebabkan oleh hegemoni masyarakat yang menjunjung tinggi garis
keturunan ayah atau disebut sebagai patriarkhat. Kaum patriarkhat menanamkan hegemoni
tentang definisi-definisi sosok ideal perempuan melalui ajaran-ajaran yang diberikan kepada
anak sejak masih kecil. Dari definisi tentang perempuan yang bersifat hegemonic, kaum
patriarkhat kemudian menciptakan kekuasaan untuk mengendalikan lingkungan social. Kathe
Millet (dalam sugihastuti-suharto, 2002:12) mengemukakan bahwa apa yang dilakukan kaum
patriarkhat terhadap perempuan tersebut adalah merupakan sebuah sexual politic yang
memungkinkan kaum laki-laki untuk menjadi lebih berkuasa dalam lingkungan social, bahkan
mampu menguasai eksistensi perempuan.

Kekuasaan laki laki terhadap lingkungan social bahkan terhadap eksistensi perempuan
menjadi begitu kuat dikarenakan berbagai cara yang dilakukan oleh patriarkhat untuk
menanamkan hegemoni tentang superioritas kaum laki laki..Hegemoni yang ditanamkan oleh
patriarkhat ke dalam masyarakat begitu kuatnya bahkan mampu membuat perempuan menyetujui
perbedaan kelas antara laki-laki dan perempuan yang telah diciptakan oleh patriarkhat. Bahkan
di dunia ketiga hegemoni atas kekuasaan laki-laki tidak hanya membuat kaum perempuan setuju
1

atas kekuasaan laki-laki namun juga mampu membuat perempuan merasa bangga atas
keberadaannya yang hanya dianggap sebagai pelengkap eksistensi laki-laki. Hal ini seperti yang
telah disetujui oleh masyarakat jawa bahwa perempuan ideal adalah seperti yang digambarkan
dalam dunia pewayangan sebagai istri-istri arjuna yang memiliki sifat sebagai berikut:
memperhatikan kesehatan dan keindahan badan agar senantiasa enak dipandang, memperhatikan
busana agar sesuai dengan situasi dan kondisi, mudah memaafkan, supel dalam pergaulan,
bersahaja, tidak cemburu terhadap madu nya, mempunyai keterampilan, tanggap akan kehendak
suami, dan abdinya, …setia, memperlihatkan baktinya terhadap suami dengan cara menuruti
kehendaknya….. (wahyono, 1998 dalam yan mujianto dkk, 2010). Dalam anggapan masyarakat
jawa tentang sosok perempuan yang ideal tersebut terlihat jelas bahwa subordinasi terhadap
perempuan adalah suatu hal yang mutlak harus terjadi dan perempuan harus menyetujui akan hal
tersebut.

Fenomena tentang mengakarnya definisi perempuan yang inferior tidak hanya terjadi di
dunia ketiga namun juga dunia pertama, hanya saja di dunia pertama subordinasi tidak begitu
ekstrim seperti yang terjadi di dunia ketiga dikarenakan para perempuan di dunia pertama sudah
lebih dulu menyadari tentang emansipasi gender yang harus ditegakkan. Namun proses
hegemoni patriarkhat atas keberadaan perempuan yang hanya sebagai pelengkap keberadaan
laki-laki terus berlanjut bahkan hingga disisipkan dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan umberto
eco, seorang ahli semiotika, dalam bukunya a theory of semiotics memberikan sebuah contoh
penandaan bahwa perempuan berfungsi sebagai tanda yang mengontrol keberadan laki-laki di
masyarakat sebagai laki-laki yang memiliki pasangan (Eco, 1979). Dalam bukunya tersebut ia
mengatakan:
“let us now consider the exchange of women. In what sense can this be considered as symbolic
process? In this context women would appear to be physical objects to be used through
physiological operations (to be consumed as in the case of food and other goods). However if
the women were merely the physical body with which the husband enters into sexual relations in
order to produce sons, it could not then be explained why every man does not copulate with
every woman. Why is man obliged by certain conventions to choose one (or more according to
the custom) following very precise and inflexible rules of choice? Because it is only a woman
symbolic value which puts her in opposition, within the system, to other women. The woman the
2


moment she becomes “wife”, is no longer merely a physical body: she is a sign which connotes
a system of social obligation (levi-Strauss, 1947) ” (Eco, 1979: 26).
Dalam pendapatnya tersebut terdapat sebuah pernyataan ekstrim tentang keberadaan perempuan,
yaitu bahwa keberadaan perempuan adalan sebagai “benda” konsumsi seperti makanan dan
barang-barang konsumsi lainnya. Pernyataan nya pada dasarnya juga didasari atas postulate
tentang perempuan yang sudah menjadi mindset di dalam masyarakat barat bahwa keberadaan
perempuan adalah inferior dan hanya sebagai pelengkap keberadaan kaum lelaki.
Pada dasarnya dikotomi dalam masyarakat adalah sebuah hasil konstruksi gender yang
menciptakan pengelompokan-pengelompokan berkelas di dalam suatu masyarakat. Widjajanti
M. Santoso (2011) mengemukakan “pengelompokan masyarakat….mengacu pada cetak biru
tertentu yang memperlihatkan relation of rulling…”, ia kemudian menambahkan bahwa
“relation of rulling memiliki apa yang oleh Smith disebut sebagai Rulling apparatus, yaitu
mekanisme pelaksanaannya. Rulling apparatus memiliki dua bentuk, yaitu diskursus ilmiah dan
diskursus teks public (public textual discourse). Melalui pembagian ini, smith memperlihatkan
bahwa konstruksi social mengatur kehidupan individu dan masyarakat di segala aspek
kehidupan. Diskursus ilmiah mengacu pada penjabaran yang berhubungan dengan keilmuan”
(santoso, 2011:46). Melalui konstruksi social dan diskursus keilmuan tersebut kaum patriarkhat
kemudian mencoba menciptakan suatu bentuk anihilasi terhadap eksistensi perempuan dengan
cara menciptakan suatu kebudayaan yang di dalamnya diselipkan doktrin-doktrin yang berupa
definisi-definisi tentang sosok perempuan ideal dalam masyarakat melalui media massa maupun

kesusastraan. Sehingga kebudayaan tersebut kemudian mengkonstruksi “bentuk” perempuan dan
menihilkan eksistensi perempuan yang seharusnya merupakan suatu eksistensi yang bebas dan
setara dengan kaum laki-laki. Anihilasi terhadap perempuan ini sudah mulai terjadi sejak dulu,
dan bahkan hingga sekarang anihilasi terhadap perempuan masih terjadi dan terus berkembang.
Melalui proses konstruksi dalam masyarakat tercipta suatu dikotomi gender yang kemudian
melahirkan konsep-konsep maskulinitas dan feminitas. Dalam dikotomi gender disebutkan
bahwa secara social laki-laki dan perempuan memiliki perannya masing masing, dan peran dari
keduanya adalah berbeda (fakih, 1996).
Gender merupakan sebuah konstruksi social yang tidak berpihak pada perempuan.
Konstruksi gender pada dasarnya diciptakan melalui hegemoni tentang definisi-definisi antara
3

laki-laki dan perempuan. Istilah gender sendiri adalah sebuah istilah konsep yang tidak sama
dengan seks atau jenis kelamin. Gender adalah seperangkat peran yang diperuntukkan untuk
laki-laki dan perempuan yang disosialisasikan melalui proses social budaya (mujianto,dkk,
2010). Dalam konstruksi social, laki-laki yang ber-gender masculine dikonstruksi secara budaya
sebagai sosok yang kasar, kuat, perkasa, dan jantan (fakih, 1996). Sedangkan perempuan yang
ber-gender feminime dikonstruksi secara social dan budaya sebagai sosok yang lemah lembut,
cantik, emosional, keibuan, irasional,dll (sugihastuti-suharto, 2002). Berawal dari sebuah
konstruksi social yang digunakan kalangan patriarkhat untuk menguasai lingkungan sosial, kini

gender bahkan telah menjadi sebuah senjata bagi kaum laki-laki yang digunakan tidak hanya
untuk untuk menguasai lingkungan dan struktur sosial namn bahkan untuk menguasai dan
mematikan eksistensi perempuan.
Dari definisi gender tentang feminitas, kaum patriarkhat kemudian bahkan menciptakan
fakta-fakta ilmiah tentang kelemahan-kelemahan perempuan yang menjadikan posisi perempuan
“harus” berada di bawah laki-laki. Keadaan perempuan yang lemah, lembut, irasional, cantik,
dan elegan,dll. menjadikan kaum perempuan menjadi kaum yang harus dilindungi dan tidak
mampu membela diri sendiri. Bahkan dari hegemoni atas definisi perempuan yang merupakan
konstruksi gender dalam masyarakat tersebut, kaum laki-laki kemudian menciptakan batasanbatasan terhadap perempuan yang harus dipatuhi dan diyakini oleh masyarakat. batasan-batasan
tersebut meliputi: tentang bagaimana perempuan harus berlaku, bertutur kata, dan bersopansantun di masyarakat; tentang keterbatasan perempuan yang membuat perempuan harus berada
di bawah perlindungan laki-laki, tentang pembatasan bahwa perempuan tidak mampu untuk
berada sejajar dengan laki-laki, khususnya dalam dunia professional. Hal-hal ini ditunjukan
dengan simbolisasi perempuan dan laki laki dalam dunia kerja yang oleh masyarakat telah
diyakini dan disetujui sedemikan rupa. Hubungan simbolisasi perempuan dan laki-laki dalam
dunia kerja tersebut tidak menunjukkan hubungan yang paragdimatik (setara) melainkan
hubungan yang sintagmatik (bertingkat) misalnya: seorang dokter adalah laki-laki, seorang
perawat adalah perempuan, seorang bos adalah laki-laki dan seorang sekretaris adalah
perempuan (mujianto, dkk, 2010). Hubungan simbolik sintagmatik antara laki-laki dan
perempuan dalam dunia kerja menempatkan perempuan pada posisi yang berada di bawah lakilaki. Batasan-batasan dan kodifikasi tentang posisi tersebut sebenarnya tidak hanya menghambat


4

gerak kaum perempuan, bahkan membunuh segala kesempatan yang dimiliki oleh kaum
perempuan untuk memperjuangkan emansipasi dan kesetaraan gender.

Konstruksi Gender Melalui Disiplin Keilmuan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa kalangan patriarkhat menciptakan sebuah
konstruksi gender dalam dikotomi maskulin dan feminism melalui berbagai macam cara, salah
satunya ialah dengan menyisipkan hegemoni-hegemoni tentang definisi laki-laki dan perempuan
ke dalam disiplin-disiplin keilmuan yang ada. Konstruksi gender yang dilakukan secara
hegemonic dalam disiplin-disiplin ilmu sudah dilakukan sejak lama bahkan semenjak jaman
yunani kuno. Melalui filosofi filosofi nya, bahkan ada diantara para filsuf yunani kuno yang
mengemukakan bahwa perempuan diciptakan oleh tuhan hanya untuk menyertai laki-laki
(sugihastuti-suharto, 2002: 32). Hal tersebut bahkan di-afirmasi oleh aristoteles (selden 1991:135
dalam sugihastuti Suharto, 2002:32) yang menyatakan bahwa perempuan adalah jenis kelamin
yang ditentukan berdasarkan kekurangan mereka terhadap kualitas kualitas tertentu.
Tidak berhenti sampai disitu, Kathe Millet ( Widjajanti M. Santoso, 2011) bahkan
menyatakan bahwa sebab kaum perempuan merasa memiliki posisi yang lebih rendah dari lelaki
adalah dikarenakan oleh factor psikologis. Dalam hal ini adalah sebuah kastrasi dari Elektra
kompleks yang dijalani oleh perempuan. Millet mengafirmasi pernyataan Jung bahwa castration

atas Elektra kompleks yang terjadi disebabkan oleh kekurangan perempuan atas phallus atau
penis yang merupakan lambing kekuasaan. Pernyataan millet yang mengafirmasi teori Jung
tersebut pada dasarnya adalah sebuah afirmasi atas teori electra complex yang dipaparkan oleh
Sigmund Freud, bapak psikologi, yang dalam teorinya menyatakan:
“…, a girl must successfully negotiate the electra complex if she is to make the transition from a
girl to a normal woman. Like a boy, a young girl is also erotically attracted to her mother, and
like the boy, she too recognizes a rival for her mother‘s affection: the father. Unconsciously,
however, the girl realizes that she is already castrated, as is her mother. Because she knows her
father possesses that which she desires, a penis, she turns her desires to him and away from her
5

mother. After the seduction of her father fails, she turns back toward the mother and identifies
with her. Her transition into womanhood being complete, the girl realizes that one day she, like
her mother, will possess a man. Through her relationship with a man, her unfulfilled desire for a
penis (penis envy) will be mitigated, and her sense of lacking will be somewhat appeased”
(Bressler, 1999:152)
Dalam paparannya tersebut dijelaskan bahwa seorang anak perempuan merasa memiliki
kekurangan dikarenakan tidak memiliki penis, sehingga timbul sebuah “penis envy” atau rasa iri
atas kepemilikan penis sehingga untuk menutupinya dan untuk memenuhi hasratnya akan
kepemilikan penis, seorang perempuan akan berusaha untuk memiliki laki-laki. Usaha

perempuan untuk memiliki laki-laki sebagai imbas dari Elektra kompleks tersebut pada akhirnya
memaksa wanita untuk menuruti tipe wanita ideal yang digambarkan oleh kaum lelaki. Hal inilah
yang kemudian menjadi salah satu proses politik seksual yang dilakukan kalangan patriarkhat
dalam melakukan konstruksi gender di masyarakat.
Ranah disiplin keilmuan yang dijadikan sebagai sarana kalangan patriarkhat untuk
menanamkan hegemoni dalam melakukan konstruksi gender di masyarakat tidak hanya meliputi
ranah social maupun psikological, bahkan ranah disiplin imu kebahasaan yang dianggap sebagai
suatu disiplin ilmu yang crucial pun telah menjadi sebuah sarana bagi mereka. Disiplin ilmu
kebahasaan merupakan sebuah ranah yang penting dikarenakan komunikasi antar manusia
dilakukan melalui bahasa, tidak hanya itu, perkembangan kebudayaan dan social juga dilakukan
melalui medium bahasa. Ferdinand de Saussure (Winfried Noth, 1990), dalam teori nya tentang
Semiology, yang berdasarkan pada konsep structural kebahasaan mengemukakan bahwa makna
dalam bahasa tercipta atas unsur oposisi biner. Dalam unsur oposisi biner, keberadaan suatu
makna dipengaruhi oleh makna lainnya yang saling bertolak belakang misalnya hitam dan putih.
Namun dalam oposisi biner ini, terdapat superioritas dan inferioritas makna seperti halnya putih
adalah superior sedangkan hitam adalah inferior. Konsep oposisi biner yang diciptakan oleh
Saussure ini kemudian juga secara langsung menciptakan sebuah makna inferior atas eksistensi
perempuan (mujianto dkk, 2010). Selain oposisi biner yang meletakkan posisi perempuan dalam
inferioritas, Saussure juga mengemukakan tentang adanya hubungan paradigmatic dan
sintagmatik atas tanda tanda (audifak, 2007).


Hubungan paradigmatic dalam suatu penandaan

terjadi pada tanda tanda yang setara sedangkan hubungan sintagmatik dalam suatu penandaan
6

terjadi ketika suatu tanda memiliki fungsi sebagai pelengkap atas tanda yang lainnya sehingga
dalam hubungan ini terjadi sebuah fungsi bertingkat atas tanda tanda yang berbeda. Kemunculan
fungsi paradigmatic dan sintagmatik ini juga secara langsung maupun tidak langsung
memberikan suatu hubungan antara laki-laki perempuan yang bersifat sintagmatic. Disebutkan
demikian karena doktrin yang ada dalam masyarakat atas definisi perempuan adalah bahwa
perempuan berkedudukan lebih rendah daripada lelaki dan keberadaannya berfungsi sebagai
pelengkap eksistensi laki-laki.[]
Konstruksi gender yang berpihak pada laki-laki ini tidak hanya berhenti pada ranah-ranah
ilmu humaniora melainkan juga pada ranah ranah ilmu scientifik, misalnya saja pada ranah ilmu
fisiologi. Disebutkan bahwa secara fisik wanita memiliki kekuatan tubuh yang jauh di bawah
laki-laki, kecepatan, kekuatan, dan ketahanan tubuh wanita tidak akan mampu menyamai laki
laki. Oleh karena itu, segala aktifitas wanita harus dibatasi dan tidak semua bidang dapat
dikuasai oleh perempuan. Pustulat seperti ini kemudian memupuskan harapan perempuan untuk
menegakkan emansipasi perempuan, karena anggapan yang sudah lama tertanam pada

masyarakat tersebut kemudian membuat batasan-batasan semu yang menciptakan garis yang tabu
bila dilalui oleh perempuan. Misalnya saja dalam dunia olahraga, sepakbola yang popular adalah
sepakbola yang dimainkan oleh kaum lelaki, sehingga dalam bidang ini dominasi
profesionalitasnya dimiliki oleh lelaki. Bahkan ketika muncul pertandingan sepakbola
perempuan, pertandingan tersebut tidak banyak diminati oleh masyarakat secara luas. Hal
tersebut kurang lebih juga banyak terjadi di dalam dunia professional lainnya yang memang
sudah dikonstruksi secara hegemonic oleh kalangan patriarkhat melalui ranah disiplin keilmuan.

Konstruksi Gender Melalui Kesusastraan
Kathe millet yang memusatkan pandangan kritik sastra feminis nya melalui perspektif
sexual politic menganggap bahwa kesusastraan merupakan dokumen dari kesadaran kolektif
kaum patriarkhat (sugihastuti-suharto, 2002: 14). Menurutnya, kaum patriarkhat menciptakan
sebuah konstruksi gender dalam masyarakat melalui media sastra, dan melalui media
kesusastraan tersebut setidaknya ada tiga proses konstruksi yang dilakukan oleh mereka dengan
7

sistematika politik seksual: pertama, para penulis laki-laki membangun karakter laki-laki dan
perempuan; kedua, para penulis tidak menggambarkan seksualitas dengan gabungan
penyimpangan feminitas; dan ketiga, struktur fiksi merupakan lukisan dari budaya laki-laki
(sugihastuti-suharto, 2002:14).

Melalui media kesusastraan, kaum patriarkhat menciptakan gambaran gambaran tentang
berbagai macam sosok perempuan secara sepihak. Terlebih lagi, semua gambaran tentang sosok
perempuan tersebut tidak diciptakan secara objektif melainkan secara subjektif pengarang.
Melalui karya karya yang ada, mereka memaksa semua pembaca, baik pembaca laki-laki
maupun pembaca perempuan, untuk melihat dan menggambarkan perempuan melalui perspektif
laki-laki. Pada akhirnya, melalui cara tersebut para pengarang laki-laki menanamkan hegemonihegemoni sebagai material penyusun konstruksi gender dalam pemikiran pembaca tentang
bagaimana sosok perempuan yang umum dan ideal, maupun bagaimana sosok-sosok perempuan
jahat. Mengenai hal ini, simone de beavoir, seorang tokoh feminis sesudah perang, melalui
bukunya yang diterbitkan pada tahun 1949 dengan judul the second sex (sugihastuti-suharto,
2002:12) mengemukakan secara implisit bahwa penggambaran kaum perempuan yang dilakukan
oleh kaum patriarkhat melalui mitos mitos dan sejarah sejarah yang dimanifestasikan dalam
kesusastraan khususnya, tidak pernah tepat dan sesuai dengan fakta yang ada mengenai kaum
perempuan. Mereka melalui karya-karya nya menciptakan penggambaran yang mengkonstruksi
sosok perempuan yang pada dasarnya hanya sesuai dengan perspektif laki-laki saja tanpa
sedikitpun memperhitungkan objektifitas fakta tentang sosoknyata perempuan (sugihastutisuharto, 2002:12).
Konstruksi-konstruksi terhadap pola dikotomi gender yang dilakukan oleh kalangan
patriarkhat tersebut secara nyata dibuktikan melalui karya-karya banyak sastrawan dunia yang
hingga kini masih menjadi kanon maupun legenda. Misalnya saja dalam catenburry tales, sebuah
kumpulan cerita-cerita pendek karya Geoffrey Chaucer. Dalam salah satu ceritanya yang
berjudul the wife of bath’s tale yang mengisahkan tentang perjalanan seorang kesatria yang
mencari jawaban tentang hal yang paling diinginkan seorang wanita dari suaminya. Dalam cerita
tersebut ada berbagai macam konstruksi terhadap persepsi atas definisi perempuan perempuan
yang ideal, tentang berbagai macam tipe perempuan yang menginginkan berbagai macam hal
yang berbeda, dan tentang pola tingkah laku perempuan yang ideal. Pada akhir cerita sang
8

kesatria pada akhirnya menemukan jawaban bahwa hal yang paling diinginkan oleh seorang
perempuan dari suami nya adalah kekuasaan penuh atas sang suami. Penggambaran yang
sedemikian tentang konsepsi perempuan menciptakan sebuah konstruksi social dan pola pikir
kaum perempuan tentang apa yang harus dilakukannya, maupun tentang seperti apa seharusnya
perempuan itu, menurut sudut pandang laki laki. Jawaban yang ditemukan oleh sang kesatria
bahwa seorang perempuan menginginkan kekuasaan penuh atas suaminya juga pada dasarnya
adalah sebuah doktrin yang ditujukan bagi para pembaca, baik itu pembaca laki-laki maupun
pembaca perempuan. Dalam jawaban tersebut, ada sebuah implikasi bahwa untuk mampu
memiliki kekuasaan terhadap suami, sorang istri harus menjadi sesosok istri yang ideal bagi lakilaki (suami) sehingga secara hegemonic, pernyataan tersebut juga adalah sebuah pertanyaan
retoris yang ditujukan pada para pembaca, khususnya pembaca perempuan tentang apakah
sebagai seorang wanita ia mampu menjadi sesosok wanita ideal yang diinginkan oleh lelaki
sehingga kelak mampu memiliki kuasa penuh atas suaminya atau tidak. []
Contoh lain mengenai konstruksi gender yang disisipkan dalan karya sastra adalah
konstruksi gender yang ada dalam karya legendaris yunani kuno, illiad and odyssey yang ditulis
oleh homer. Dalam penceritaannya sosok para wanita digambarkan sebagai ibu rumah tangga,
pemuas hasrat seksual lelaki, dan bahkan diposisikan pada tingkatan social kelas bawah yang
lemah dan harus dilindungi. Pola konstruksi yang memaksa pembaca untuk melihat dunia
dengan sudut pandang laki-laki dalam karya sastra tidak hanya terdapat dalam kanon-kanon
dunia pertama, bahkan di dalam cerita-cerita kanon Indonesia pun banyak terdapat pola
penceritaan yang mengandung konstruksi gender yan sedemikian rupa; seperti contohnya pada
kanon sitti nurbaya karangan marah rusli (sugihastuti sugiharto, 2002). Meskipun dalam cerita
juga terdapat pesan pesan tentang emansipasi wanita yang menunjukkan perjuangan sitti nurbaya
untuk lepas dari tradisi kolot di daerahnya yang menjadikan wanita sebagai subordinasi, namun
pesan pesan tersebut disampaikan dengan sudut pandang penceritaan laki-laki sehingga terkesan
bahwa cerita tersebut lebih mengajak pembaca untuk “mengasihani” kaum perempuan daripada
“menyadarkan" pembaca akan pentingnya kesetaraan gender.
Konstruksi gender yang dilakukan oleh kaum patriarkhat melalui kesusastraan tidak
hanya dengan medium karya sastra dewasa, bahkan konstruksi sudah mulai dilakukan pada anakanak melalui medium berupa dongeng dan cerita-cerita fiktif untuk anak-anak seperti contohnya
9

dalam cerita Cinderella, putri salju, dll. Cerita-cerita dongeng, fable, dan kisah anak-anak lainnya
secara general memiliki pola dan struktur yang hampir sama bahkan sangat mirip. Pola dan
struktur yang mirip tersebut tidak hanya terdapat dalam dongeng-dongeng dan cerita anak-anak
dari dunia pertama yang menjadi kanon, namun juga terdapat pada dongeng dan cerita anak-anak
dari dunia kedua maupun ketiga. Misalnya saja pada pola cerita cinderela dan bawang merah
dan bawang putih. Dalam kedua cerita yang berasal dari dua belahan dunia yang berbeda
tersebut terdapat suatu pesan (baca: doktrin) tentang bagaimana seorang gadis harus berperilaku
dan berfikir. Tidak hanya itu, bahkan di dalam kedua cerita yang mirip tersebut juga terdapat
sebuah konstruksi terhadap penggambaran wanita yang ideal. Namun kontruksi tentang wanita
yang ideal tidak hanya berhenti pada wanita baik yang ideal melainkan juga pada wanita jahat
yang ideal.
Carl Gustav Jung, seorang ahli psikologi mengemukakan bahwa kesamaan atas unsurunsur penceritaan dalam dongeng, mitos dan jenis jenis cerita lainnya yang terdapat di hampir
semua belahan dunia tersebut bukan disebabkan karena kebetulan semata, melainkan
dikarenakan oleh kesadaran kolektif yang terdapat pada ranah psikologi seluruh umat manusia.
Kesadaran kolektif tersebut berkumpul dan diturunkan secara turun temurun dari generasi ke
generasi. Jung menyebut kesadaran kolektif yang dimiliki oleh seluruh umat manusia ini sebagai
archetype (Bressler, 1999:154). Kalangan feminis, khususnya yang bergelut dalam bidang kritik
sastra memahami dan menerima pernyataan Jung tersebut; hanya saja mereka tidak sadar bahwa
keberadaan kesadaran kolektif ini sebenarnya juga merupakan suatu kumpulan atas dokumen
dokumen konstruksi kaum patriarchal yang telah mulai dibentuk sejak jaman dahulu sehingga
terkondensasi dalam psyche masyarakat dan berevolusi menjadi collective unconscious yang
kemudian menjadi unsur-unsur archetype. Jung, dalam bukunya psikologi transpersonal
menyatakan bahwa ada unsur-unsur pembentuk archetype salah satunya adalah “the great
mother”. Unsur archetype “the great mother” melambangkan dua sisi kewanitaan yang ada
dalam diri manusia yaitu ibu peri dan ibu tiri. Pernyataannya tentang keberadaan unsur ini dalam
diri manusia menjadi sebuah bukti kuat bahwa melalui konstruksi dengan medium kesusastraan
kaum patriarkhat menciptakan penggambaran atas sosok ideal eksistensi perempuan.

10

Konstruksi Gender Melalui Industri Media Massa.
Media massa adalah salah satu medium yang digunakan dalam pembentukan
kebudayaan. Melalui media massa berbagai macam kebudayaan baru telah tercipta, dan seiring
berbagai macam terciptanya kebudayaan-kebudayaan baru tersebut muncul pula arus dinamika
budaya yang kemudian membentuk berbagai macam konstruksi dalam system kemasyarakatan,
salah satu nya adalah dikotomi gender. Dikotomi gender, yang menghasilkan maskulinitas dan
feminitas, lahir dari Konstruksi gender dalam masyarakat yang merupakan salah satu hasil
konstruksi kebudayaan yang diciptakan melalui media massa. media massa tumbuh dan
berkembang pesat khusus nya pada era revolusi industry dimana pada masa revolusi industry
tersebut perusahaan-perusahaan besar saling berlomba untuk menghasilkan profit terbesar.
Dalam usahanya untuk meningkatkan profit dan menciptakan kebutuhan-kebutuhan serta
kebudayaan-kebudayaan baru bagi masyarakat melalui media massa, perusahaan-perusahaan
besar tersebut kemudian menggunakan jasa public relation . Public relation, pada masa itu
merupakan suatu ranah jasa yang baru dalam dunia professional. Di dalam public relation, segala
teori ilmu dicoba untuk diaplikasikan dalam usahanya untuk menciptakan suatu kebutuhan baru
bagi public demi kepentingan perusahaan. Dalam konstruksi kebudayaan yang dilakukan oleh
para pelaku public relation berbagai macam disiplin ilmu, khususnya ilmu social dan humaniora
dipergunakan guna mensukseskan usaha-usaha nya demi perkembangan industry (peningkatan
profit perusahaan).
Salah satu tokoh pionir dalam dunia public relation ini adalah Edward Bernays yang juga
merupakan seorang murid dari bapak psychoanalisis Sigmund Freud. Pada masa awal karirnya
bernays membuat sebuah gebrakan baru dalam praktik public relation. Barneys dibantu oleh A.
A. Brill, seorang psychoanalyst menciptakan sebuah kodifikasi baru atas makna rokok dengan
tujuan meningkatkan penjualan rokok karena pada saat itu client nya adalah sebuah perusahaan
rokok.

Brill mengungkapkan bahwa wanita menganggap rokok tembakau sebagai symbol

kebebasan, merokok adalah sebuah sublimasi atas oral eroticism; menghisap sebatang tembakau
dengan mulut membangkitkan erotisme pada zona mulut (oral zone). Maka bagi wanita,
keinginan untuk merokok adalah sebuah keinginan yang normal. Bahkan para wanita yang
pertama kali mencoba untuk merokok merasa telah melebihi kaum lelaki karena telah berani
menirukan mereka untuk merokok. pada masa sekarang emansipasi perempuan telah
11

menciptakan penekanan-penekanan atas berbagai keinginan yang bersifat “perempuan”.
Sekarang semakin banyak perempuan yang menggeluti profesi laki-laki….tembakau, yang
disamakan sebagai symbol kelelakian, bagi wanita telah menjadi sebuah symbol sebagai obor
kebebasan (Wikipedia.com). dengan berdasarkan atas analisis psikologi Brill tersebut bernays
kemudian menyerukan rokok sebagai sebuah symbol kebebasan bagi perempuan. Seruan bernays
akan kebebasan perempuan yang disimbolkan dengan keberanian perempuan untuk menghisap
tembakau tersebut kemudian mendorong para perempuan untuk mulai mengkonsumsi tembakau.
Hal tersebut membuat penjualan tembakau pada waktu itu meningkat secara signifikan karena
disamping para lelaki yang mengkonsumsi tembakau, perempuan pun mulai berani untuk
mengkonsumsi tembakau, bahkan merasa bangga karena dengan menghisap tembakau mereka
menjadi merasa setara dengan kaum lelaki. Dalam hal ini, psychoanalisis kemudian dijadikan
sebagai senjata bagi kaum patriarkhat untuk memaksa kaum perempuan mengikuti pola
konstruksi yang diciptakan oleh mereka (patriarkhat). Mengenai kasus sedemikian rupa yang
juga muncul dalam industry perfilm-an, Laura Mulvey dalam karya nya yang berjudul visual
pleasure and narrative cinema yang terbit pada tahun 1975, menyatakan bahwa teori
psychoanalisis dijadikan sebagai senjata yang menunjukkan tentang bagaimana masyarakat
patriarkhat melalui alam nirsadar nya membuat struktur atas bentuk film (Psychoanalytic theory
is thus appropriated here as a political weapon, demonstrating the way the unconscious of
patriarchal society has structured film form) (mulvey, 1975).
Fenomena tentang aplikasi psychoanalysis dalam praktek public relation yang
menciptakan kesuksesan besar industry rokok merupakan sebuah contoh besar tentang
bagaimana kaum patriarkhat membentuk perempuan melalui media massa dan memanfaatkannya
untuk meningkatkan profit dalam dunia industry. Dalam kasus ini, wanita tidak hanya
dikonstruksi secara budaya namun juga dibuat bingung atas makna eksistensinya sendiri.
Perempuan kemudian tidak diberi pilihan lain kecuali menjadi subordinasi atau dimanfaatkan
eksistensi serta pemikiran-pemikirannya. Bahkan usaha perempuan untuk mendapatkan posisi
yang sejajar dengan kaum laki-laki pada waktu itu justru dimanfaatkan oleh kaum patriarkhat
dalam dunia industry untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Pemanfaatan eksistensi perempuan dalam dunia industry tidak hanya berhenti pada tahap
penanaman hegemoni yang membuat kaum perempuan menjadi consumer aktif, pemanfaatan
12

perempuan dalam industry bahkan hingga pada tahapan pemanfaatan perempuan sebagai tenaga
kerja yang murah. Dalam hal ini, bahkan pekerjaan perempuan dikategorikan sebagai unpaid
labour (santoso, 2011:49). Dikatakan demikian karena perempuan dipekerjakan secara murah
dan pekerjaannya dianggap memiliki kualitas yang berada di bawah pekerjaan para pekerja lakilaki, padahal anggapan tersebut bukanlah sebuah fakta melainkan hanya sebuah hegemoni agar
perempuan mau bekerja dengan upah yang lebih murah. Subordinasi perempuan dalam dunia
industry bahkan masih berlangsung hingga sekarang. Terbukti bahwa di sebagian besar pabrikpabrik yang memfokuskan pada produksi, jumlah pekerja perempuan lebih banyak daripada
jumlah pekerja laki-laki.
Pada era masa kini, perempuan bukan hanya dikonstruksi sebagai gender yang
diposisikan dalam kelas yang berada di bawah laki-laki, namun perempuan bahkan dikonstruksi
sebagai objek bagi pelaku-pelaku dunia industry. Konstruksi yang dilakukan tidak cukup hanya
pada ranah kebudayaan masyarakat, bahkan lebih spesifik, yaitu pada pola pikir dan perilaku
konsumsi kaum perempuan. Jadi dalam konstruksi gender masa kini, khususnya terhadap
perempuan, hegemoni-hegemoni lebih difokuskan terhadap perempuan secara langsung. Hal ini
dikarenakan perempuan adalah titik tolak dimana kebudayaan mulai ditanamkan sejak masa
anak-anak, sebab perempuan berperan sebagai lingkungan awal dimana anak mulai belajar
bermasyarakat dan berkebudayaan.
Melalui industry media massa, pola pikir perempuan dikonstruksi agar mengakui dan
mau menganggap dirinya sebagai mahluk kelas dua dalam masyarakat. Dalam media massa
elektronik misalnya, sosok perempuan digambarkan sebagai sosok yang dapat memenuhi
keinginan laki-laki. Perempuan dalam media ditampilkan sesuai dengan sudut pandang laki-laki
yang memandang perempuan melalui perspektif male gaze yang didominasi oleh unsur
voyeurism. Dengan konsep konstruksi yang membuat perempuan menuruti permintaan unsur
voyeuristic dalam male gaze para patriarkhat terbukti telah berhasil menciptakan sebuah
kebudayaan popular yang mampu memuaskan hasrat seksual laki-laki dan membuat perempuan
menjadi objek dalam pemuasan hasrat seksual tersebut. Bukti-bukti tersebut terlihat jelas dalam
kebudayaan popular masa kini yang mendorong kaum hawa untuk menampilkan bagian-bagian
tubuh nya agar sekedar dianggap seksi oleh kaum adam. Bahkan, konstruksi kebudayaan popular
yang dibuat oleh para patriarkhat mampu mengubah cara pandang masyarakat tentang
13

keutamaan perempuan. Bila konstruksi patriarkhat masa lampau mengutamakan akan sosok
perempuan yang sopan santun, cerdas, berintelegensi tinggi, konstruksi perempuan dalam
budaya popular masa kini mengutamakan sosok perempuan yang seksi, cantik, dan mampu
memancing gairah seksual laki-laki tanpa mementingkan unsur intelegensi, sopan santun, dsb.
Konstruksi terhadap perempuan yang sedemikian rupa sangat menguntungkan kaum
lelaki, dan sebaliknya sangat merugikan kaum perempuan; karena dengan anggapan-anggapan
tentang sosok perempuan yang seperti itu (yang mampu menuruti male gaze), eksistensi
perempuan sedikit demi sedikit mulai jatuh pada nihilisme yang membuat kaum perempuan
menjadi tidak memiliki tujuan yang pasti dalam menjalani kehidupan sehingga kaum patriarkhat
dapat leluasa menjadikan perempuan sebagai budak-budak yang akan menuruti apapun kehendak
laki-laki.
Konstruksi gender yang menempatkan perempuan pada posisi inferior merupakan sebuah
politik seksual sepihak yang berakibat fatal bagi eksistensi perempuan. Konstruksi dalam
masyarakat yang telah dibentuk sedemikian rupa, yang menjadikan laki-laki memiliki posisi
superior menciptakan keleluasaan bagi kaum patriarkhat untuk menduduki kursi kekuasaan di
dalam masyarakat, bahkan di dalam hampir seluruh aspek kehidupan. Jika konstruksi yang
sedemikian tidak didekonstruksi dan dibiarkan terus berkembang maka eksistensi perempuan
akan jatuh pada lubang gelap nihilisme yang mampu mengaburkan arah tujuan perempuan dalam
menjalani kehidupan. Untuk menanggulangi hancurnya eksistensi perempuan dan untuk
menegakkan serta memperkuat pilar-pilar emansipasi perempuan guna mencapai equality di
dalam masyarakat maka diperlukan suatu usaha konkrit yang sekiranya akan mampu
mendekonstruksi pola kebudayaan yang telah dikonstruksi oleh kalangan patriarkhat demi
kepentingan pribadi mereka. Usaha dekonstruksi atas pola kebudayaan yang berpihak terhadap
laki-laki tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satu nya dengan
meningkatkan kesadaran perempuan dan menumbuhkan ketertarikan generasi muda, khususnya
perempuan, untuk mempelajari ilmu-ilmu social dan humaniora serta ilmu filsafat karena
kebudayaan dikonstruksi oleh kaum patriarkhat melalui disiplin-disiplin ilmu tersebut.

Banyubiru, 13 agustus 2012
14

Referensi

Fakih, Mansour, Analisis Gender danTransformasi Sosial, 1996, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugihastuti; Suharto, Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya, 2002, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Santoso, Widjajanti M., Sosiologi Feminisme Konstruksi Perempuan dalam Industri Media,
2011, Yogyakarta: Lkis.
Eco, Umberto, A Theory of Semiotics, 1979, Bloomington: Indiana University Press.
Bressler, Charles E., Literary Criticism an Introduction to Theory and Practice, 1999, New
Jersey: Prentice Hall.
Mujianto Dkk., Yan, Pengantar Ilmu budaya, 2010, Yogyakarta: PelangiPublishing.
Mujianto, Yan, An Introduction to Culture Studies, 2008, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Semarang.
Audifax, -Semiotika- Tuhan Tafsir atas Pembacaan Manusia Terhadap Tuhan, 2007,
Yogyakarta: PINUS BOOK PUBLISHER
Nӧth, Winfried, Handbook of Semiotic, 1990, USA: Indiana University Press.
Dalby, Andrew, Rediscovering Homer, 2006, New York, London: Norton
http:// The Canterbury Tales - Wikipedia free encyclopedia .htm
Mulvey, Laura, Visual Pleasure and Narrative Cinema, 1975.

15

16